Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 7B
SEBERKAS CAHAYA






Pekatnya kabut menyelimuti dinginnya Kampung Growol pagi ini. Tetes demi tetes embun berjatuhan dari ujung dedaunan pohon yang tumbuh rimbun. Suasana di kampung itu masih sangat sunyi dan sepi terutama ketika gelap menyelimuti, namun kala pagi menjelang, suara adzan subuh mulai berkumandang bersahutan dari seluruh penjuru lereng menembus halang dan alang-alang.

Suara panggilan pagi yang terdengar bagaikan melodi, mulai dari Growol, Bawukan, Kembang Arum Asri, ataupun kampung dan perumahan lain yang ada di lereng sang megah Gunung Mandiri, menandakan sudah saatnya beraktivitas kembali.

Intan masih setengah sadar dari tidurnya saat mendengar suara panggilan adzan tersebut. Bagi ibu muda yang juga wanita karir itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, dan mungkin keharusan, bahwa sesiang-siangnya dia bangun, tidak boleh lebih siang dari adzan subuh. Ada banyak hal dan rutinitas yang harus dia lakukan. Siap-siap untuk dirinya sendiri sebelum berangkat bekerja tentunya sudah pasti, tapi hal tersebut adalah rutinitas yang nomor sekian.

Jika rumah tampak berantakan karena kedua anaknya, tidak sampai hati dia untuk berangkat bekerja sebelum membersihkannya terlebih dahulu. Jika masih ada piring kotor sisa semalam, dia juga yang pasti membereskan. Menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga yang lain pun jika bukan dia siapa lagi.

Tapi pagi ini berbeda. Di saat matanya mulai terbuka dan ia mulai terjaga, Intan seperti mendengar suara lain selain adzan subuh.

Ia mengerutkan kening. Suara apa itu? Rintihan? Cukup nyata terdengar.

Ibu muda itu pun berusaha memusatkan pendengaran untuk mengetahui ada apa sebenarnya gerangan. Intan lalu duduk di tepi pembaringan. Sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar anaknya, dia melihat Adnan dan Zafira masih tertidur dengan nyenyak. Udara pagi di kampung yang terletak di lereng gunung memanglah dingin dan kadang sampai terasa menusuk tulang, membuat siapapun kadang enggan untuk segera bangun dari tidurnya. Intan pun merapikan selimut kedua buah hatinya, supaya hangat menyelimuti.

Ibu muda yang cantik jelita itu lalu turun dari pembaringan dan jalan keluar kamar. Sejenak dia membuka kamar suaminya dan melihat sang suami masih tertidur pulas. Kalau bukan suaminya yang merintih, lalu siapa? Intan menutup kembali pintu kamar sang suami dan beranjak ke kamar kedua mertuanya.

Suara rintihan yang dia dengar tadi terdengar semakin jelas. Ah, dari sini rupanya. Rintihan itu jelas datang dari kamar kedua mertuanya.

Suara rintihan itu sepertinya dari sang ibu.

Awalnya Intan mengira rintihan itu terjadi karena kedua mertuanya sedang berasyik-masyuk, tapi… apa iya? Ibu mertuanya saja sudah cukup tua, sepertinya bukan hal semacam itu yang terjadi di dalam sana. Lagi pula, bila didengar degan lebih jelas, suara rintihan tersebut tidak seperti orang yang sedang berhubungan badan.

Intan ragu-ragu, tapi kemudian membulatkan tekad.

Tok. Tok. Tok.

Ibu muda berparas ayu itu pun mengetuk pintu saat sudah berdiri di depan pintu kamar mertuanya. Ketukannya tidak terlalu kencang supaya jika pun ada sesuatu di dalam kamar, ia tidak terlalu mengganggu.

“Ibu?” panggil Intan dengan sopan dari luar kamar, namun tidak ada balasan.

Suara rintihan dari ibu mertuanya masih terdengar, dan cenderung semakin keras. Intan menjadi semakin gelisah, ibu muda yang hanya seorang perempuan biasa itu tentunya khawatir dengan apa yang terjadi di dalam sana. Ia tidak ingin panik tapi rintihan itu sepertinya rintihan kesakitan.

Tok!! Tok!! Tok!!

Intan mengetuk pintu kembali, tapi dengan sedikit lebih bertenaga. Pikiran ibu muda jelita sudah melanglang buana kemana-mana.

“Ibu? Ibu tidak apa-apa? Bapak! Bu!!”

Tok!! Tok!! Tok!!

Untuk kesekian kalinya Intan mengetuk pintu, kali ini dengan semakin kencang. Barulah pada usahanya yang terakhir ini pintu terbuka. Dari balik pintu muncul sesosok pria tua yang paling ia benci di seluruh dunia. Siapa lagi kalau bukan Pak Sukirno alias Pak No yang tak lain dan tak bukan adalah bapak mertuanya sendiri.

“I-ibu… ke-kenapa, Pak?” tanya Intan dengan panik.

Ada dua hal yang membuatnya panik. Pertama tentu saja Intan panik dengan keadaan ibu mertuanya yang berada di dalam. Kedua, dia baru ingat kalau sebenarnya dia selalu terbiasa menghindari berpapasan langsung dengan ayah mertuanya itu saat di pagi hari. Bagaimana tidak, di saat pagi itulah biasanya tingkat ‘kenakalan’ dari bapak mertuanya itu menjadi-jadi. Entah sudah berapa kali pantat bulatnya yang semok atau payudaranya yang indah membulat itu menjadi korban kemesuman tangan tua Pak No.

“Eh kamu. Selamat pagi, Cah Ayu, pagi-pagi sudah mencari aku saja, kangen ya sama aku? Atau…kamu sudah siap untuk menepati janjimu semalam? Heheheh.”

Meskipun terdengar rintihan istrinya dari dalam kamar, alih-alih meminta bantuan, Pak No malah menanggapi kehadiran Intan dengan tak sopan.

Intan memasang wajah marah, dasar pria tua mesum! Istri sedang merintih menahan sakit bisa-bisanya masih berlaku mesum pada sang menantu. Intan sangat geram dengan ucapan sang mertuanya.

“Bapak! Apa bapak sudah gila!? Itu ibu sedang merintih kesakitan! Bapak tega sekali membiarkan Ibu seperti itu! Ibu? Ibu tidak apa-apa?” Intan berusaha melongok ke dalam kamar.

Sekarang wanita ayu itu bisa melihat ibu mertuanya tengah merintih sambil menahan dingin. Sudah jelas ibu mertuanya itu sedang demam tinggi. Meskipun sudah mengenakan selimut yang tebal tapi tubuhnya masih menggigil kedinginan, giginya bergemeretakan dan matanya dikatupkan menahan nyeri di sekujur badan.

Pak No mendorong Intan keluar, “Halah! Tidak usah berlebihan! Itu ibu mertuamu cuma demam biasa saja, nanti minum obat warung paling juga langsung sembuh. Tidak usah panik gitu, cah ayu. Mending sekarang temani saja bapak, kamu sudah janji loh kemarin, huehehehe.”

“Bapak! Bapak benar-benar sudah tidak waras! Intan mau masuk menolong Ibu, bapak jangan macam-macam!” ucap Intan kembali.

Meskipun dia merasa bapak mertuanya itu tidak serius dengan janji yang baru saja ditagih, tapi dia yakin pada saat masuk ke kamar nanti bisa jadi entah bokong atau buah dadanya yang empuk akan menjadi korban remasan tangan mesum mertuanya itu, dan dia tidak sudi mendapatkan perlakuan mesum tersebut.

Intan pun menerobos masuk. Pak No sempat akan mentoel pantatnya namun Intan dengan sigap menepis tangan tua tersebut. Intan lalu menghampiri ibu mertuanya dan langsung menggunakan punggung tangan untuk memeriksa dahi sang mertua.

"Ya ampun ibu panas banget," ucap Intan saat mengusap dahi bu Indri. "Pak, ini ibu sejak kapan panasnya? Kok bapak ga bilang sih? Kalau bilang kan kita bisa bawa ibu ke rumah sakit," lanjut Intan dengan panik.

Pak No ikut mendekat ke arah sang istri.

"Iya, Nduk. Bapak juga khawatir, sekitar jam dua tadi mendadak panas tinggi, piye yo? Duh mana masih subuh-subuh begini, mau pesan kendaraan juga pasti susah," balas Pak No dengan ekspresi yang berubah seratus delapan puluh derajat.

Dalam hati Intan langsung mengutuk Sukirno.

Dasar tua bangka sialan! Tadi saja masih sempat-sempatnya mesumin aku, sekarang sok perhatian dan sok khawatir. Amit-amit! Njijik I! Tua bangka bermuka tua. Sudah bau tanah tapi tidak tahu malu.

Tapi Intan tidak ingin memperkeruh suasana. Yang paling penting saat ini adalah bagaimana caranya ibu mertuanya secepat mungkin mendapat penanganan dokter. Memesan kendaraan online mungkin bisa, tapi akan sangat lama menunggu karena jarang yang beroperasi di dekat dusun mereka.

Pinjam mobil tetangga? Tetangga yang mana? Pak No tidak akan sudi meminjam mobil tetangga karena gengsi, apa bisa pinjam ke Pak Sukirman? Tapi itu artinya dia harus menggunakan koneksi dari sang mertua. Apa ya dia bisa percaya pada Pak No?

Ayo Intan, berpikirlah!

Mengandalkan bapak mertuanya yang mesum itu pasti tidak ada gunanya. Siapa yang bisa dimintakan tolong ya? Sebenarnya Intan sudah langsung kepikiran satu orang, tapi…apa tidak apa-apa subuh-subuh begini? Tapi kan ini keadaan mendesak. Kalau tidak segera dilakukan tindakan takutnya ibu mertuanya akan semakin parah kondisinya. Intan lalu membulatkan tekadnya. Intan lalu beranjak ke kamarnya untuk mengambil smartphone nya.

"Mau kemana nduk?" tanya Pak No dengan lembut.

Cuih!! Di depan istrinya doang sok baik, sok mengayomi. Dasar Serigala berbulu musang!

Intan kembali mengumpat dalam hati. "Cari bantuan!" balasnya dengan acuh.

Dia harus berani melakukan ini. Masa bodoh apa yang akan orang lain pikirkan, fokus utamanya saat ini hanyalah membawa sang ibu mertua ke rumah sakit.

Mudah-mudahan bisa.



.::..::..::..::.



“Kok iso yo?
Kok tegel yo?
Opo salahku?
Ning endi luputku?
Wong sing ra sepiro
Koyo aku iki
Masalah asmoro, mung kebagian loro”

“Kok Iso Yo”, Guton Waton




Pasangan suami istri muda itu masih tidur terlelap saat ringtone dari smartphone sang suami berdering kencang. Rasanya enggan sekali bagi keduanya untuk beranjak dari ranjang empuk yang mereka tiduri. Selain karena masih mengantuk, hawa di lereng Gunung Mandiri memang cukup dingin di kala fajar seperti ini. Mereka berdua hanya berharap panggilan telepon itu segera berhenti.

Namun harapan hanya tinggal harapan. Sampai dering yang ketiga sang istri lalu bangun dan mengambil smartphone milik suaminya.

Dia penasaran juga siapa sih yang pagi-pagi seperti ini sudah mengganggu ketenangan hidup orang lain. Bak disambar petir di siang bolong, bola mata sang istri hampir melompat keluar saat melihat nama siapa yang muncul di layar telepon tersebut. Badannya langsung menghangat, darahnya langsung mendidih. Perasaan baru semalam orang ini bikin emosinya meledak, berani-beraninya subuh-subuh gini telepon.

“Bang! Bang Ardian! Bangun!” seru Shinta pada suaminya yang masih juga terlelap di tidurnya. Suami tercintanya itu tidak terpengaruh sama sekali dengan suara dering telepon miliknya sendiri.

“Bang, ayo bangun, ini ada telepon,” seru Shinta sekali lagi, namun lagi-lagi Ardian tidak menghiraukannya.

“Emhh… ntar dulu aah… masih ngantuk… reject aja…”

Huh! Dasar kebo! Eh, tapi kalau dia kebo aku istri kebo dong? Hadeh!! Lihat saja, awas ya kalau sampai kamu bangun setelah tahu siapa yang telepon!

“Lihat dulu ini siapa yang telepon!”

“Siapa memang?”

“Intan.”

“Hah? Intan?”

Sesuai dengan dugaan Shinta, Ardian langsung bergegas bangkit dari tidurnya setelah mendengar nama Intan disebut. Suaminya itu langsung ingin meraih telepon miliknya namun dengan cekatan juga Shinta menghindarinya. Matanya kembali melotot kepada sang suami.

“Mana hapenya, Ma? itu Intan telepon. Takutnya penting pagi-pagi begini,” ucap Ardian seperti tidak peduli bahwa ada yang salah dari sikapnya.

Iiihh!!! Dasar suami tidak peka sama sekali. Istrinya cemburu setengah mati masih saja Intan Intan Intan!! Awas kamu ya Intan!!

“Tadi katanya masih ngantuk, begitu denger nama Intan kok langsung seger? Hah? Apa-apaan sih kamu, Bang?”

“Emh…,” sungguh malas Ardian meladeni amukan Shinta pagi-pagi begini, ia berusaha tenang meski agak kikuk,“Yah, Pagi-pagi buta gini telepon pasti ada yang urgent, Ma. Intan tidak pernah melakukannya.”

“Halah! Jadi kalau Intan telepon pagi-pagi tandanya urgent, kalau orang lain reject aja? Bisa banget kamu, Bang!”

“Udah dong Ma, mau sampai kapan sih cemburu nya sama Intan, kan aku udah sering bilang kalau aku sama dia itu ga ada apa-apa, sayangnya aku itu cuma sama Mama.”

Kali ini Shinta tidak mau menyerah begitu saja, “Bohong! kalau sayangnya cuma sama aku, Abang reject telepon ini!”

“Aduh, Sayang. Jangan begitu dong, kalau menurut Mama kalau aku sama Intan ada apa-apa, masa iya pagi-pagi buta gini teleponan pas ada Mama? Ga mungkin kan? Logikanya justru kami akan saling menjaga rahasia, tapi kan ini nyatanya enggak. Ayo dong, itu telepon masih nyala, kasihan kalau ada apa-apa. Kita kan harus saling membantu, terutaa kepada yang membutuhkan. Siapa tahu bener-bener situasi yang genting. Nanti kalau ada apa-apa kita juga yang nyesel, punya kesempatan menolong orang tap…”

“DIAM!”

Belum selesai Ardian menyelesaikan kalimatnya yang panjang lebar itu, Shinta sudah lebih dulu menyetopnya.

Halah! kalau udah urusan dengan Intan aja bijakmu keluar semua, Bang.

Shinta membatin sambil mencoba menahan amarah yang merasuki dirinya. Meskipun kesal dan sebel, tapi apa yang barusan disampaikan oleh suaminya itu benar semua. Bagaimana kalau ternyata benar Intan sedang membutuhkan pertolongan darurat? Sekesal-kesalnya dirinya terhadap Intan, tapi dia juga hanyalah seorang wanita biasa yang perasaannya sangat sensitif. Bagaimana kalau dia berada di posisi Intan? Tapi…

Kenapa syiiih musti ke Bang Ardian minta tolongnya? Sebel!! Ugh!!

Sebenarnya hari ini Shinta berniat mau membahas tentang apa yang dia lihat semalam, saat Intan berada di dalam mobil yang sama dengan Ardian. Sebagai seorang istri tentu saja dia sangat tidak rela ada perempuan lain yang apa-apa selalu meminta bantuan suaminya. Kodratnya sebagai seorang wanita yang selalu dipenuhi rasa cemburu tidak bisa menyangkal hal tersebut. Tapi dengan situasi dan kondisi saat ini, sepertinya dia belum bisa mengungkit masalah itu.

Intan masih menggerutu dalam hati namun kemudian menyerahkan telepon suaminya itu kepada yang punya.

“Ya udah nih, tapi di loudspeaker, aku juga mau dengar ada apa!” pinta Shinta dengan memasang wajah cemberut.

Tanpa pikir panjang Ardian lalu mengangkat telepon dari Intan itu.

“Halo, De… eh, Intan. Ada apa ya?”

Ardian langsung meralat sapaannya terhadap Intan yang dibarengi dengan sebuah cubitan keras yang dia terima di paha kirinya.

Assalamualaikum, Mas. Maaf banget pagi-pagi begini telpon.”

Walaikumsalam. Iya tidak apa-apa. Kenapa ya?

“A-anu… maaf kalau boleh dan ga ngerepotin, aku mau minta tolong…”


Saat itu terdengar suara Intan bergetar seperti sedang menangis. Ardian mengerutkan kening, sembari melirik istrinya yang masih cemberut, ia mencoba mencari tahu, “Iya. Kenapa? Kamu kenapa menangis? kamu tenang dulu, tarik napas pelan-pelan, lalu hembuskan…”

I-iya…” terdengar Intan berusaha mengatur napas, menuruti ucapan Ardian. Setelah itu barulah Intan melanjutkan, “i-itu mas… ibu… tiba-tiba beliau demam tinggi… maaf aku bingung mau bawa ke rumah sakit tapi jam segini pasti susah cari kendaraan… ka-kalau boleh…”

Ardian langsung paham. Ternyata apa yang dia khawatirkan tadi benar adanya. Tentu saja dia tidak mau gegabah dalam bertindak. Dia tidak mau membuat istrinya berpikir yang macam-macam, atau membuatnya semakin cemburu. Hal yang tentu saja tidak diinginkan olehnya.

Seolah menarik ulur, Ardian bertanya pada istrinya dengan kode dan isyarat. Dia ingin keputusan nantinya apakah dia akan membantu Intan atau tidak itu harus dengan persetujuan Shinta. Ardian yakin, seorang wanita yang sama-sama seorang ibu seperti Shinta pasti tidak akan tega dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh Intan pagi ini.

Mas? Mas masih di sana? Ka-kalau memang tidak bisa ya udah ga apa-apa.”

“Eh, bentar-bentar,” potong Ardian. Suami dari Shinta itu lalu memberikan kode lagi kepada Shinta. Shinta yang kembali ditanya tentu jadi tidak enak hati.

Ya ada sih ungkapan women support other women. Batin ibu muda jelita itu dalam hati. Tapi, kok ya harus wanita itu sih? Shinta merasa insecure. Intan tidak hanya masih muda, dia sangat cantik, tidak bosan dilihat, dan memiliki aura keindahan yang tak terbantahkan. Mana ada pria yang bisa menolaknya.

Aaaaargh! Syebel! Syebel! Syebel!

“Ya udah, sekali ini saja dan ini karena darurat ya, tidak ada lain kali,” bisik Shinta yang akhirnya mengalah. Ardian tentu saja langsung girang tapi sebisa mungkin dia berusaha untuk menutupinya.

“Halo Intan? Bisa kok, bisa. Tunggu sebentar yah, kamu siapkan dulu saja apa yang perlu dibawa, ini aku langsung manasin mobil dan menuju rumahmu, tunggu yah,” ucap Ardian dengan penuh perhatian.

Tunggu yah…” Shinta mengulang ucapan Ardian dengan cibiran sambil memonyongkan bibir tipisnya, “Cih! Sok perhatian banget! Sama aku tidak pernah segitunya.”

“Apaan sih sayaaaang? Itu tadi buat nenangin Intan aja, biar dianya ga panik, kasihan kan dia pasti sedang kebingungan karena...”

“Bodo amat sama Intan!” cibir Shinta kembali sambil sekali lagi mencibirkan bibir manisnya, “Tunggu yah…”

“Hmm. Kayaknya bakalan diungkit terus nih sepanjang hari. Udah ah, aku mau siap-siap dulu sama manasin mobil. Doain ya semoga tidak ada apa-apa sama ibu mertuanya Intan,” ucap Ardian lalu bangkit dan meninggalkan istrinya.

Sepeninggal Ardian, Shinta kembali meluapkan kekesalannya dengan meremas-remas ujung bawah dasternya. Kekesalannya itu dia luapkan sambil dengan menghentak-hentakkan kakinya. Sekilas terlihat sekali amarahnya, akan tetapi lama kelamaan tingkahnya tersebut justru terlihat menggemaskan.

Iiissshh!!!! Sebel banget ga sih!?

Ya begitulah, ketika sedang kesal tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menahan diri sampai akhirnya meledak. Sudah cukup rasanya Shinta selama ini pada Intan, berani-beraninya wanita brengsek itu terus menerus memepet Ardian. Dia yakin Ardian juga tidak tolol dan senaif itu. Mana mungkin dia menerima semua pendekatan Intan tanpa tendensi apapun.

Selintas lirik, Shinta memperhatikan ke arah ponselnya sendiri yang saat ini tergeletak di atas meja di samping tempat tidur. Seketika wajahnya marahnya berubah, dia menjadi ketakutan. Kalau saja Ardian tahu apa yang Shinta lakukan dengan Pak Hasbi untuk mendapatkan ponsel itu, dia pasti…

Ugh. Pak Hasbi.

Shinta langsung pusing saat ingat sang pria tua yang membuat malam ini menjadi malam yang ingin dilupakan oleh ibu muda berparas manis itu.

Shinta mengambil ponsel itu, mengirimkan pesan singkat ke salah satu orang yang sangat dia percaya, lalu memasukkan ponselnya sendiri ke dalam laci, seakan tidak ingin melihatnya.

Shinta berjalan menuju jendela, membuka tirai sedikit, menatap ke Gunung Mandiri yang berkabut. Ia menatap keluar dengan wajah sedih.



.::..::..::..::.



Jalan lintas kecamatan masih tampak sepi. Waktu memang baru menunjukkan pukul lima pagi. Fajar di ufuk timur masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya saat sebuah SUV melaju dengan cukup kencang. Mobil itu adalah milik Ardian. Di dalamnya ada dirinya sendiri, Intan, bu Indri, dan Pak No yang memaksa ikut. Sedangkan kedua anak Intan tidak diajak setelah tadi meminta pendapat suaminya, mereka dititipkan ke tetangga sebelah rumah yang paling akrab yang juga akan merawat Hendro untuk sementara waktu.

Suasana di dalam mobil yang sedang melaju kencang itu masih cukup panik. Hal itu diakibatkan karena kondisi tubuh bu Indri yang masih sama seperti sebelum berangkat tadi. Badannya masih demam tinggi. Beberapa kali malah mengigau. Beberapa kali pula Intan meminta Ardian untuk lebih cepat lagi mengemudikan mobilnya. Jarak dari Kampung Growol ke rumah sakit yang hanya beberapa kilometer jadi terasa sangat lama bagi Intan. Setiap detik semakin membuat resah dan gelisah.

Intan berada di samping sang ibu mertua, menggamit dan mengelus-elus lengannya dengan lembut.

Duh… kok perasaan perjalanan rasanya lama banget sih? Ibu sabar yah, sebentar lagi kita sampai rumah sakit kok. Sebentar lagi ibu pasti akan sembuh dan sehat seperti sedia kala kembali.

Di kursi depan, Ardian menggerutu sepanjang jalan. Bukan apa-apa, kalau hanya untuk sekedar menolong Intan dia sangat siap dan bersedia, tapi kalau harus seharian berada di samping Pak No alias Pak Sukirno – ya itu lain perkara. Aki-aki satu ini termasuk golongan yang tidak disukainya. Entah kenapa. Mungkin auranya yang gelap dan tidak menyenangkan membuat Ardian merasa tidak aman.

Menjadi seorang penyelamat bagi wanita seayu Intan adalah idaman semua pria normal, semua ingin menjadi orang yang berarti bagi sang dewi. Mungkin itu salah satu dorongan dalam hati kecil Ardian kenapa dia mau serepot ini untuk Intan. Tapi niatnya untuk menjadi satu-satunya pria yang berada di samping Intan menjadi buyar gara-gara Aki-aki yang duduk di sebelahnya ini.

Sebenarnya Ardian cukup heran, bukankah daripada ikut dan tidak bisa berbuat banyak lebih baik di rumah menemani Hendro dan kedua cucunya? Betul sih mungkin dia khawatir terhadap kondisi istrinya, tapi kan sudah ada Intan. Harusnya kan bisa bagi tugas. Ardian berpikir praktis.

Sedangkan dari sudut pandang Pak No, dia merasa senang karena merasa bisa mencegah akal bulus pria bernama Ardian ini untk bisa berduaan bersama Intan.

Tae kucing! Bocah kemarin sore sepertimu pikir bisa berbohong padaku? Aku ini jauh lebih berpengalaman daripada kamu! Aku sudah banyak makan asam garam di dunia per-kenthu-an. Dipikir aku tidak paham dengan apa yang kamu harapkan dari sikap baikmu sama Intan? Pret!! Mana ada jaman sekarang orang berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan. Kamu pasti mengincar memek menantuku ini kan? Hooo… tidak semudah itu. Enak saja. Memek legit Intan adalah milikku, dan hanya akan menjadi milikku seorang, Le. Jangan ngarep kamu! Huehehehe.

Ardian tidak memahami pandangan aneh Pak No ke arahnya.

Untung akhirnya mobil itu sampai juga di satu-satunya rumah sakit yang ada di kota kabupaten. Ardian langsung memberhentikan mobilnya di depan IGD. Setelah turun dia langsung lari ke dalam dan meminta bantuan para perawat yang jaga untuk membantu mengangkat bu Indri. Tidak sampai sepuluh menit kemudian bu Indri sudah mendapat perawatan dan penanganan dari dokter jaga. Karena pertimbangan ketenangan, hanya satu orang yang diperbolehkan ikut masuk ke ruang IGD, dan diputuskan Intan yang menemani bu Indri.

Kedua pria berbeda generasi yang seakan-akan sama-sama mengincar keuntungan dari Intan itu pun hanya bisa menunggu di depan pintu IGD. Antara satu sama lainnya kadang beradu pandangan yang cukup sinis, awkward, dan canggung. Seperti dua predator yang sedang memburu satu mangsa yang sama, dan tidak ingin keduluan. Keduanya seolah bisa saling membaca pikiran satu sama lain.



.::..::..::..::.



“Sampai nanti ku memilih pergi
Pasti kelak kau mengerti besar cinta yang telah ku beri
Tak sampai hati untuk rela karena cinta yang telah ada
Kau hancurkan dengan tega dan berbagi hati dengan dia
Aku lungo ora mergo tego

Nanging aku wis njaga lan wis upoyo ben ra sio-sio
Meski akhire koyo ngene aku milih mlaku dewe
Mugo bener pilihanku wis ikhlas lan lilakno lungaku”

“Lungaku”, Guyon Waton




Laci meja di samping pembaringan Shinta bergetar. Ibu muda manis yang kebetulan masih terjaga itu terkejut. Dia lupa pagi tadi memasukkan ponsel itu ke dalam laci. Shinta membuka laci dan mengambil ponsel yang tadinya bahkan tak ingin dia lihat itu.

Di layar notifikasi terdapat pesan beberapa panggilan terjadi.

Setelah kepergian suaminya tadi Shinta memang langsung mengirim pesan kepada Sabrina, mantan kakak iparnya. Tadinya dia ingin langsung mengungkapkan keluh kesahnya kepada Sabrina, tapi merasa tidak enak karena masih sangat pagi. Jadi dia mengirim pesan kalau misalnya sang kakak sedang tidak sibuk maka Shinta minta tolong untuk ditelepon.

Shinta mengangkat telepon dari Sabrina.

“Mbaaaak.”

Assalamualaikum. Halo? Shin?

“Mbak Sabi…” Shinta menirukan suara tangisan, “Huhuhu… pengen banget nangis deh rasanya hari ini. Huhuhu…”

Belum apa-apa, belum ucap salam, belum ucap selamat pagi, Shinta sudah nyerocos meluapkan isi hatinya.

“Ada apa sih, Say? Setiap hari kok pengen nangis mulu? Hihihi,” goda Sabrina di ujung telepon, “sini cerita sama aku. Kamu kenapa lagi sekarang? Pagi-pagi begindang udah mewek aja.”

“Ruwetlah, Mbak. Ga badan ga hati semuanya sakit, lara ati lara raga, Mbak, huhuhu.”

“Berat nih kayaknya, ini kaitannya dengan Ardian atau Pak Hasbi?”

“Dua-duanya.”

“Waduh!! Eh bentar! Berarti kamu jadi nyamperin rumah aki-aki cabul itu?”

“I-iya… tapi…”

Haaah!?

“Iya jadi… jadi gini…”

“Bentar-bentar, mau cerita yang mana dulu nih? Ardian atau Pak Hasbi?”

“Emh… Pak Hasbi dulu deh…”

“Oke. Si aki-aki tua yang tidak tahu diri itu. Kenapa dengan pak Hasbi? OMG, jangan bilang kalau dia…?”

“Iya, Mbak, huhuhu, ternyata tuh aki-aki emang mesum, bahkan…”

“Bahkan apa?”

“Bahkan aku hampir di…”

“Hampir apa? Shin. Beneran nih! Kalau sampai dia ngapa-ngapain kamu, aku bakal…”

“Aku hampir… ditiduri mbak.”

“Whaaaaat?! Shin! Gila! Kamu sadar kamu ngomong apa!? Ini gila! Lah kamu gak lapor ke siapa gitu? Polisi, Pak RT, Lurah, Camat, siapa kek! Minimal bilang ke suamimu?! Ini gawat lho, Shin! Ini bukan kejadian main-main!”

“I-iyaaaaa, tapi aku… aku masih bingung, Mbak. Aku harus bagaimana dan ngapain, aku masih belum bisa mengambil keputusan. Aku kan tidak bisa bilang ke Ardian kalau aku sendiri yang berniat datang ke sana. Bukankah itu berarti aku menyerahkan diri untuk dilecehkan?”

“Tapi baru hampir kan? Belum benar-benar kejadian kan?”

Alhamdulillah belum kejadian sih. Baru hampir. Aku masih waras kok, Mbak. Tidak mungkin aku mau tidur dengan laki-laki brengsek seperti dia. Udah tua, kegatelan pula.”

Syukurlah. Terus?”

“Terus… terus… semalam setelah kejadian tidak enak sama tuh Aki-aki sialan, pas di jalan pulang aku sekilas melihat… Ardian… Ardian lagi-lagi pulang bareng sama si Intan itu, Mbak. Aku merasa tidak berharga sama sekali, Mbak. Aku merasa sangat rendah. Di sini aku hampir saja diperkosa laki-laki tua yang tidak tahu diri, suamiku sendiri malah jalan sama cewek lain. Hiks…”

“Astaga, ini juga semalem kejadiannya? Terus bagaimana? Kamu jadinya udah ngomong sama suamimu itu belum sebenarnya? Kalau kamu tidak suka dia berduaan sama Intan?”

“Be-belum mba, tadinya hari ini aku baru mau ngomong dari hati ke hati sama abang, nah belum apa-apa udah muncul deh hal baru yang bikin aku makin mangkel mba…”

“Apa lagi sekarang? Kok ruwet banget sih hidup kamu, Shin?”

“Subuh-subuh pagi tadi si Intan itu sudah telepon Abang ngabarin kalau mertuanya sakit dan minta tolong buat dianterin ke rumah sakit, emang ga ada orang lain apa ya? kenapa sih harus bang Ardian? huh! Memangnya dia sopir pribadi!?”

“Iya, makanya…ikutan gemes aku, si Intan ini juga, sudah tahu laki sudah punya bini masih aja kegatelan, mau aku labrakin tuh perempuan gatel?”

“Sebenarnya aku kepengen banget melabrak perempuan gatel itu, Mbak Tapi kita kan tidak punya bukti yang otentik kalau mereka selingkuh. Bisa jadi mereka memang belum ada hubungan apa-apa.”

Iya sih.”

“Tapi kedekatannya itu loh, mancing-mancing orang mikir macem-macem. Bang Ardiannya juga kalau digituin terus kan lama-lama bisa jadi ngarep macem-macem kan? Intan kan cantik banget. Selingkuh itu kadang bukan karena niat, tapi bisa jadi karena ada kesempatan, bisa jadi mereka berdua baper saat berduan. Betul kan mba? Huhuhu…”

“Betul banget, Shin. Yang namanya selingkuh itu kadang yang ngalamin bisa jadi ga sadar, sok-sok baik, sok-sok care, tapi kalau baik dan care kenapa mesti dengan lawan jenis dan yang manis? Kurang asem aja kan kalau kaya gitu. Kadang kita-kita ini yang sudah jadi pasangan resmi pengen dimanja-manja harus kode dulu setengah mati, eh perempuan-perempuan gatel di luar sana bisa dengan mudah dapat perhatian lebih dari suami-suami kita yang emang dasar buaya. Duh! Jadi ikutan syebel kan jadinya, huh!!”

“Coba Mbak ada di sini, rasanya pengen curhatnya sambil nyender gitu, huhuhu.”

“Iya, kapan-kapan yah sayang. Kita harus meet up nih kayaknya…”

“Harus mba, kayaknya udah mulai harus susun rencana buat ngejauhin si gatel Intan itu sama bang Ardian, tapi dengan cara yang elegan gitu.”

“Atur aja, nanti berkabar lagi aja yah say, tapi…”

“Tapi apa, Mbak?”

“Jujur aku jadi penasaran.”

“Penasaran apa?”

“Emh… tapi kamu jangan tersinggung ya.”

“Iya, penasaran apa, Mbak?”

“Itu tadi loh, kan kamu tadi bilang kalau hampir kena sama…emh…”

“Pak Hasbi? Iya… terus?”

“Hihihi, penasaran aja say, kan waktu itu kamu bilang kalau kamu ga sengaja udah pernah pegang tongkatnya, hihihi, beneran gedong say? hihihi”

“Idih…! Mbak Sabrina nih ya! Orang lagi kebingungan, kok malah nanya tongkatnya gede beneran atau enggak sih? Haduuuuuh.”

“Ya namanya juga penasaran. Siapa tahu kan ya.”

“Siapa tahu apaan?”

“Ya… siapa tahu kamu bisa manfaatin tuh aki-aki buat…”

“Buat apa? manas-manasin balik bang Ardian? Idih najis! No way! Ogah, ga level!!”

“Hihihi, iya-iya percaya, masa iya adeku yang cantik ini level nya sama aki-aki bau tanah.”

“Iya kan, hueek!! Bayangin aja mau muntah rasanya.”

“Tapi beneran gede ga say? hihihi.”

“Ish! Mba Sabrina ih! Malu tahu…”

“Ayo dong cerita, nanggung nih setengah-setengah.”

“Ini Mbak beneran mau denger? Aneh banget deh Mbak ih.”

“Beneran.”

Wajah Shinta memerah, untungnya tidak terlihat oleh Sabrina, Ia meneguk ludah, “Jadi sebenarnya… aku memag sudah memegang tongkat itu lagi semalam, Mbak. Tapi… bedanya semalam itu dalam kondisi sudah tegang dan ya ampuuuun, Mbak. Beneran guede banget ternyata, kayaknya sama gedenya dengan lengan aku, ya meski lengan aku ini kecil tapi kan kalau pentungan laki segede lengan kan itu udah gede banget ya?”

“Wow! Serius?”

“Duarius malah!”

“Duh, malah ngebayangin eh kalau benda segede itu masuk sampai mentok gimana ya rasanya, hihihi.”

“Tuh kan! Malah mikir yang enggak-enggak! Gelo emang dasar mba Sabrina mah!”

“Hihihi… sengaja, Shin. Supaya kamu tidak melulu mikirin Intan atau Pak Hasbi dengan sudut pandang yang penuh amarah. Senyum kamu itu manis lho. Banyakin senyum ya.”

“Iya, Mbak. Hayo masih pagi ini… ntar nepsong repot loh. Suami Mbak kan udah ngantor.”

“Belum berangkat dia, masih jam berapa ini, lagian kalaupun sudah berangkat, kayaknya Mbak bakal minta alamat pak Hasbi deh, hahaha.”

“Ish! Gila!”

“Hahaha. Aki-aki… bikin ibu-ibu blingsatan. Oh iya, terus-terus, kamu sendiri gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Ya kamu udah diapain sampai sejauh apa? emang gimana sih ceritanya?”

“Panjang ceritanya, intinya semalem itu aku mau nepatin janji buat masakin dia di rumahnya. Yah, sesuai dengan janjiku waktu itu. Terus tiba-tiba tuh aki-aki nawarin aku minuman jahe gitu, Mbak.”

“Jahe?”

“Iyaa. Katanya sih minuman herbal racikan sendiri, semacam jamu juga katanya entahlah beneran jamu atau bukan, tapi pas aku cobain gak pait sih, mirip minuman jahe pada umumnya. Nah, setelah minum minuman itu tubuhku memang jadi enak sih, jadi relax. Nah aku lupa gimana detailnya tiba-tiba pak Hasbi udah di belakang aku, Mbak, mungkin dia memang udah rencanain semuanya. Setelah melihat perubahan sama tubuhku, dia langsung beraksi deh.”

“Beraksi!? Beraksi gimana? Tuh aki-aki ngapain?”

“Pertama-tama nawarin mijit, aku iyain aja karena emang ngerasa capek, dan ternyata pijitannya rasanya enak banget, mungkin pengaruh dari minuman herbal itu, sampai-sampai bikin aku ga sadar kalau…”

“Kalau apa say?”

“Kalau… tangan tua keriput Pak Hasbi sudah ada di dada aku. Duh, malu banget ih kalau diceritain. Aku berasa kayak cewek murahan, Mbak.”

“OMG, beneran? tetek kamu sudah dijamah sama pak Hasbi? diremas-remas gitu say? kenceng ga remes nya?”

“Belum sih, baru bagian atas nya aja mba diurut-urut gitu.”

“Oh, syukurlah, terus-terus?”

“Ya udah itu aja sih, terakhir pak Hasbi narik tangan aku ke belakang dan maksa buat megang pentungannya, abis itu untungnya Arga sempat nangis, momen itu lah yang bikin aku sadar dari semuanya dan untungnya masih bisa berontak dan kabur.”

“Ya ampuuuun, untung deh kau selamat. Ya kalau yang kayak gitu emang belum bisa dibilang dia mau nidurin kamu, sih. Jatuhnya lebih ke grepe-grepe. Tapi yang pengen aku tanya – apa dengan pelecehan udah sejauh ini kamu masih ga cerita sama suami? ”

“Nah itu, Mbak. Jujur aku jadi bingung nih sekarang. Aku baru kepikiran, kalau aku cerita pelecehan itu ke bang Ardian, takutnya pengakuan itu malah jadi senjata dia buat serang balik aku yang sering mengungkit tentang dia dan Intan.”

“Ah iya, bener juga sih, ya udah simpan dulu aja, toh juga untungnya belum benar-benar kejadian, yang penting kamu sekarang waspada aja, jangan lengah dan sebisa mungkin jangan sampai ketemu langsung dengan pak Hasbi dulu dalam waktu dekat ini.”

“Iya, Mbak. Duh makasih ya udah mau dengerin curhatan aku, kasih masukan pula.”

“Ya, santai aja, Shin. Begitulah gunanya saudara, kita masih saudaraan kan meski sudah bukan bini kakak kamu lagi, hahaha.”

“Hahaha, masih dong, ya sudah, nanti kita sambung lagi ya rumpinya mba Sabrinaku sayang, aku mandiin Arga dulu nih, hehehe.”

“Hehe, iya sama-sama sayang, Mbak juga kayaknya mau mandiin juga, bapaknya anak-anak tapi, hihihi.”

“Ih enak banget, pasti, abis mandiin ikutan mandi juga, keramas lagi, hihihi.”

Hahaha, tahu aja, udah ah, bye…da…

Shinta merasakan ada sedikit kelegaan setelah meluapkan seluruh isi hatinya ke mantan kakak iparnya itu. Perasaannya menjadi lebih tenang sekarang. Memang ya, perempuan itu kalau belum curhat belum bisa tenang. Segala beban yang ada terasa menjadi lebih ringan. Tapi, entah kenapa ada satu kalimat dari Sabrina tadi yang terngiang-ngiang di telinganya.

Memanfaatkan pak Hasbi untuk permasalahan dirinya dengan suaminya tentang Intan? Iiih, nggilani. Ngebayangin saja malas. Sudah pasti aki-aki jompo itu akan minta imbalan lebih.

No no no!!!


Apalagi…

Apalagi Shinta tidak menceritakan kejadian apa yang membuatnya bisa memperoleh kembali ponsel di tangannya ini dari Pak Hasbi.

Shinta bergidik ngeri.

Dia kembali memasukkan ponsel itu ke dalam laci.

Tak ingin melihatnya.



.::..::..::..::.



Sementata itu di rumah sakit, tempat dimana bu Indri di rawat, suasana sudah jauh lebih kondusif, setidaknya untuk Intan, Ardian, dan Sukirno. Kondisi bu Indri sudah mulai stabil dan suhu tubuhnya pun juga sudah menurun setelah mendapat perawatan dari petugas medis.

“Jadi ini selanjutnya gimana, Nduk? Kamu pasti harus kerja hari ini, tapi bapak juga bingung kalau harus jaga sendiri, nggak ngerti sama sekali kalau ada yang harus diurus,” ucap pak No bingung.

Dasar orang tua tidak ada gunanya. Nungguin orang sakit saja tidak becus.

Ingin rasanya Ardian mengumpat seperti itu, tapi tentu saja tidak mungkin.

“Intan sudah ijin cuti hari ini, Pak. jadi bapak tidak usah panik, semuanya sudah aman terkendali,” balas Ardian, “Saya yang akan menyampaikan surat dari Intan ke pimpinan.”

“Lah terus nanti malam gimana? piye yo?”

Intan dan Ardian lalu saling pandang. Keduanya seperti ada yang ingin diungkapkan tapi ragu.

Bilang, enggak, bilang, enggak. Bilang aja deh.

“Pak No. Sebelumnya saya mohon maaf kalau terkesan kurang ajar, tapi kalau tidak salah mas Hendro itu punya adik ya? Apa tidak bisa dihubungi untuk datang dan nemenin Ibu dan bergantian nungguin? Intan juga tidak bisa terus-terusan nungguin di sini, bukan Intannya yang tidak mau, tapi Intan kan banyak kewajiban lain, utamanya tentu mengurus cucu dan Hendro, dan kewajiban lain tentunya pekerjaan di kantornya. Maaf ya pak No, bukan bermaksud menggurui, tapi keadaannya seperti itu.”

Sialan nih bocah, pagi-pagi udah sok paling bijak. Aku harus cari tahu lebih jauh tentang orang ini. Akan aku bikin sengsara dia dan keluarganya. Lihat saja nanti.

“Iya betul nak Ardian, tidak apa-apa, betul sekali sarannya, ya sudah tunggu sebentar ya, coba bapak mau telepon adiknya Hendro dulu.”

Nah gitu dong, action, punya anak lain dimintain tolong, jangan menantu terus yang diandalkan.

Njih pak, monggo, silahkan,” balas Ardian dengan santun.

Tanpa disadari Intan, dua pria yang bersamanya itu ternyata pintar sekali saling bersandiwara. Seandainya dia tahu, pasti akan menjadi lelakon paling kocak menurutnya. Dua pria yang sama-sama sedang berusaha menarik perhatian dan kasihnya.

“Mas, berani sekali bilang gitu ke bapak,” bisik Intan saat bapak mertuanya sudah pergi menjauh dari mereka berdua.

“Ya gimana lagi. Kalau tidak digituin lama-lama dia bakal ngelunjak. Tidak apa-apa, biarin aja. Punya anak lebih satu ya harus adil, kalau gitu kan anaknya yang lain jadi punya kesempatan untuk berbagi, iya to?”

“Paling bisa Mas tuh kalau ngeles.”

Ardian nyengir.

Intan menunduk dan melirik ke arah Ardian, ada perasaan bersalah di hatinya, “ngomong-ngomong mas, Mbak Shinta tadi apakah… aku beneran nggak enak, Mas. Bilang ke Mbak Shinta aku minta maaf sebesar-besarnya telah merepotkan…”

“Dia tahu semuanya kok, bahkan tadi dia denger langsung semua teleponmu.”

“Telponku di-speaker?”

“Iya. Itu kemauan Shinta. Tapi ya ga apa-apa kan? Buktinya dia ngijinin kok. Sudah kamu tenang aja. Shinta tidak sependek itu kok sumbunya. Dia paham kondisi kamu.”

Padahal… batin Ardian dalam hati.

“Syukurlah kalau begitu, Mas, Makasih juga buat tadi udah bantu nalangin dulu uang untuk jaminannya.”

“Sudahlah, tidak usah dipikirin terlalu berat, kita sebagai rekan kerja memang harus saling membantu kan?”

“Nanti aku kembalikan setelah gajian.”

“Nanti dikembalikan setelah ada saja. Lagipula yang tadi itukan cuma buat jaminan ya, kayaknya bakalan lebih dari itu deh biayanya, maaf aku cuma bisa bantu segitu untuk saat ini.”

“Yah Mas Ardian! Tidak perlu minta maaf, Mas! Justru aku yang makasih banget udah dibantu.” Intan merengkuh lengan Ardian dan menggandengnya. Untuk sesaat keduanya saling berpandangan, sangat dekat, dan semakin dekat.

Tapi Intan tiba-tiba sadar. Wajahnya memerah. Ia mundur dan membenahi kerudung karena salah tingkah, “Oh iya, mas Ardian benar kok. Anak pak No yang lain tentunya harus dilibatkan, toh ini untuk orang tuanya sendiri bukan?”

“Betul sekali, nah gitu dong, kalau ada masalah apa-apa itu jangan seolah-olah menjadikan itu bebanmu sendiri, tapi bagikan ke orang lain yang memang pantas untuk ikut menanggungnya, dan niat kamu itu sudah benar.”

“Iya, Mas. Mas Ardian emang selalu benar. Makasih yah sudah selalu menjadi pemberi nasehat yang baik untuk aku.”

“Tidak masalah.”

Tanpa disadari Ardian, Intan sebenarnya juga sedang bersandiwara. Tidak ada sedikitpun niat darinya untuk akan meminta bantuan dari saudara iparnya. Dia tahu betul bagaimana watak mereka semua. Akan makan hati kalau beneran minta tolong ke keluarga Adek Hendro. Bukannya beres semua urusan, malah bakal jadi runyam.

Tapi… kalau bukan dari adik Hendro, lantas Intan akan meminta bantuan ke siapa?



.::..::..::..::.



Suasana rumah makan itu masih cukup sepi karena memang belum waktunya makan siang. Jam masih menunjukkan sekitar pukul sepuluh pagi. Akan tetapi seorang wanita yang anggun dan cantik jelita sudah menunggu di salah satu sudut restoran.

Setelah memastikan semua situasi dan kondisi aman terkendali, Intan pulang ke rumahnya dengan diantar oleh Ardian tentunya. Hari ini dia izin tidak masuk kantor karena kejadian tak terduga tadi pagi.

Seperti biasanya dia lantas menjadi superwoman, menjadi ibu rumah tangga mengurus anak-anak dan suaminya. Hendro pun juga merasa jadi lebih tenang setelah mendapat kabar akan ibunya dari sang istri. Adik Hendro yang lama tidak ada kabar pun akhirnya bisa dihubungi dan berjanji akan berkunjung untuk gantian menunggui bu Indri.

Setelah semuanya dirasa sudah rapi, Intan ijin pamit ke Hendro untuk kembali ke rumah sakit. Tapi sebelum ke rumah sakit, dia lebih dulu mampir ke rumah makan kecil tempat dia berada sekarang. Intan sudah membuat janji dengan seseorang di tempat ini.

Es teh manis yang ia pesan hanya tinggal setengah gelas saat seorang pria tua datang menghampirinya. Ia langsung menarik kursi dan duduk di depan ibu muda nan ayu itu.

"Saya harap kamu punya kabar baik Intan, soalnya saya rela membatalkan janji dengan client penting demi kamu," seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah Pak Wing saat ini duduk di depan Intan. “Client yang sangat-sangat penting, jadi kuharap kabar dari kamu benar-benar kabar bagus.”

"Terima kasih bapak sudah mau menyempatkan waktu untuk menemui saya. Bisa dibilang kabar baik untuk bapak, tapi keputusan yang buruk untuk saya," balas Intan tegas. Dia memang berniat untuk bersikap tegas karena tidak ingin terintimidasi. Sebisa mungkin dia ingin dia yang mengontrol situasi.

"Ya sudah. Baiklah, tidak usah basa-basi. Kita langsung saja, apakah kamu mau menerima penawaran saya kemarin?"

"Saya juga tidak mau berbasa-basi karena tidak ada gunanya juga."

"Jadi?"

"Baiklah, bapak menang, saya tidak ada pilihan lain."

"Tidak ada yang menang dan yang kalah Intan, dengan bantuanmu kita akan menang bersama."

Menang bersama dengan menjadikan aku pelacur, kan? Umpat Intan dalam hati.

"Tapi, ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba mau ambil keputusan itu? Ah, saya tahu, pasti ada hubungannya dengan cutimu hari ini. Katanya ada yang sakit ya? Apa yang terjadi? Siapa yang sakit?"

"Bapak tidak perlu tahu urusan pribadi saya ataupun keluarga saya, hubungan kita hanya semata-mata karena bisnis. Itu saja sudah cukup." Intan tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulutnya sendiri. Bukankah itu artinya dia sudah menerima dengan ikhlas menjadi seorang lady escort?

"Hahaha, baiklah, sampai titik ini pun kamu ternyata masih punya pendirian, itu yang paling saya suka dari kepribadianmu. Jadi kapan kamu bisa memulai peran gandamu itu? Atau minimal kapan kamu mau menandatangani surat perjanjiannya?"

"Sebelum membicarakan hal itu, saya ada syarat yang harus bapak penuhi, itulah alasan saya ajak bapak ketemu di sini sebelum saya balik ke rumah sakit. Saya minta tanda keseriusan dari perusahaan melalui Bapak."

"Tanda keser… oalah ya ampun, paham-paham, Intan-Intan, belum apa-apa udah minta DP aja, orang mah kerja dulu, ada hasil baru dapat bayaran."

Sebenarnya Intan merasa sakit mendapat kalimat seperti itu. Saat ini dirinya benar-benar seperti seorang pelacur murahan yang rela menyerahkan tubuhnya untuk dipakai siapa saja asal mampu membayar. Meskipun bergejolak, dia coba kesampingkan semua hal tersebut demi ibu mertuanya yabg tersayang.

"Bersedia?"

"Oke-oke, saya sih tidak masalah, tapi… bagaimana kalau saya juga minta uang muka? Tentunya kamu tidak mau kan membeli kucing di dalam karung? Heheh."

"Maksudnya? Bapak jangan kurang ajar ya, penawaran bapak waktu itu kan hanya untuk melayani tamu, bukan melayani nafsu bapak juga."

"Ya balik lagi sih, kamu kalau jualan sesuatu tentu pengen memastikan kualitas barang yang kamu jual, kan? Ini disebut quality control. Perusahaan tidak ingin client menikmati barang cacat dan rusak."

Sekali lagi Intan merasakan hatinya sakit seperti teriris-iris. Saat ini oleh Pak Wing dirinya seolah tidak lebih dari hanya sekedar barang yang diperjualbelikan.

"Dengar ya… saya sangat menghargai keberanian dan pengorbananmu untuk keluarga, itu luar biasa sekali. Saya berikan penghargaan setinggi-tingginya. Tapi negosiasi yang baik itu harus win win dari kedua belah pihak, bukan? Tidak masalah kalau saya harus suntik kamu dana terlebih dahulu, tapi kalau saya tidak dapat apa-apa ya cuma kamu doang yang win, saya zonk. Siapa yang tahu setelah terima uang dari saya kamu bakalan kabur atau enggak."

"Bapak masih meragukan saya? Kalau seperti ini mending saya cari bantuan dari orang lain saja."

"Eit tunggu dulu, sebaiknya jangan gegabah. Dipikir-pikir dulu. Mohon maaf kalau kalimat saya tadi ada yang menyinggung perasaanmu. Tapi kita sekarang bicara bisnis, tanpa perasaan dan tanpa emosi. Saya sudah bela-belain datang kesini masa tidak jadi deal sih? Lagipula ya, memang apa bedanya sih melayani saya dengan melayani para bos-bos hidung belang itu? Sama-sama kontol kok yang bakalan masuk ke dalam lubang sempitmu itu, oppss."

"Kurang ajar!!" Intan menggebrak meja. Semua mata di restoran pun memandang ke arah mereka.

"Heheh. Ayolah Intan, sudah terlanjur kamu itu sudah sampai di sini, mundur pun juga paling kamu akan mencari bantuan dengan cara yang sama."

Sejenak Intan merenung. Yang dikatakan oleh pak Wing memang benar adanya. Niatnya sendiri yang sudah mengantarkan dirinya ketemu pak Wing. Mundur pun rasanya akan sangat sulit untuk mendapatkan uang untuk perawatan bu Indri secara instan. Belum lagi, mau itu melayani pak Wing atau siapapun, entah itu benar atau salah dengan keadaannya sekarang, entah itu dosa atau tidak dengan kondisinya sekarang, keduanya sama saja.

Intan menyerah.

"Baiklah, bapak mau kapan?"

"Ya sekarang lah, ada uang ada barang."

"Hah!? Sekarang? Bapak sudah gila ya? Saya harus balik ke rumah sakit!"

"Saya anggap kamu sudah setuju, tinggal nurut saja nanti di sepanjang jalan menuju rumah sakit."

"Maksud nya bagaimana?"

"Sudah, habiskan dulu saja minuman mu itu sekarang, saya antar kamu ke rumah sakit, sekarang jabat tangan saya!" ucap pak Wing.

"Ta-tapi kan…" balas Intan dengan ragu. Saat ini dia berada di dalam tahap kebimbangan. Namun saat mendengar perintah terakhir pak Wing tersebut Intan seolah seperti menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Intan menurut saja dan menjabat tangan yang lengannya berbulu lebat tersebut. Ya, lembaran hidup baru milik Intan sepertinya baru saja akan dimulai.



.::..::..::..::.



“Sepurane sayang, atimu wes kebobolan.
Ora iso jogo perasaan.
Kowe main belakang,
kabeh rosoku tak buang.
Pelanggaran, kowe tak kertu abang.”

“Pelanggaran”, Guyon Waton




Mobil yang dikemudikan pak Wing membelah jalanan antar kecamatan di kaki Gunung Mandiri. Seperti hari-hari biasanya, jalanan yang kiri kanannya mayoritas kebun-kebun warga itu tampak lengang. Hanya ada satu dua pengendara yang sesekali lewat di jalan tersebut.

Di dalam mobil pak Wing tampak sumringah karena sudah satu langkah mendapatkan tubuh Intan. Sedangkan di sisi lain Intan masih tampak linglung dengan keputusan yang baru saja dia ambil. Hatinya kembali gundah dengan keputusan yang baru saja dia ambil.

“Pak?”

“Ya?”

“Emh…”

“Kenapa? Katakan saja tidak usah ragu. Kamu tahu sendiri saya adalah salah satu orang yang paling bisa menerima pendapat orang lain.”

Mosok iyo? kalau aku minta perjanjiannya batal tapi bapak tetep kasih uang apa bapak tetap mau menerima pendapat saya? Ga kan?

“Bapak tidak bermaksud untuk…? Maksud saya lingkungan ini kan, agak kurang…”

“Kenapa? memangnya kamu ada ide tempat lain?” balas pak Wing yang kemudian menepikan mobilnya. Posisi mereka saat ini cukup jauh dari pemukiman warga terdekat. Kendaraan yang lewat pun juga semakin jarang seiring dengan hari yang semakin siang. Kebetulan sekali, jalan ini merupakan jalan menuju rumah sakit.

“Pak!? Yang benar saja! Di sini!? Kalau ada orang yang lewat dan melihat kita bukannya bakal menimbulkan masalah baru?”

“Itu pilihanmu sendiri, ya kalau mau ayo kita cari tempat lain, heheh.”

Intan merasa kesal.

Kenapa sih saat dia sudah dengan terpaksa mengambil jalan ini, ada saja lika likunya. Yang benar saja pak Wing mengajaknya untuk bermain gila di tempat seperti ini. Nafsunya udah di ubun-ubun apa yak? Apa yang bisa dia lakukan sekarang? Berontak pun percuma. Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan hanyalah… negosiasi.

“Maaf pak, kalau di tempat seperti ini bukannya malah tidak akan terlalu berkesan ya? Bukannya akan lebih menyenangkan ya kalau pengalaman pertama itu menjadi sesuatu yang selalu dikenang? Kalau saya sih tidak akan nyaman kalau main di tempat seperti ini, dan pastinya juga akan buru-buru.”

“Tidak salah aku memilihmu.”

“Maksud pak Wing?”

“Kamu cerdas. Baru saja kamu berusaha melakukan negosiasi. Sayangnya negosiasi seharusnya dilakukan sebelum transaksi. Kalau urutannya dibalik tidak akan berhasil karena transaksi sudah dilakukan.”

Sialan! Kok bisa tahu sih?

“Tidak usah bingung. Aku memang sengaja menunggu kalimat itu datang dari mulutmu, tapi…”

“Ta-tapi apa?” Intan merasa dag dig dug kalau-kalau pak Wing tetap memaksa untuk minta dilayani.

“Sebenarnya aku setuju dengan pendapatmu tadi. Akan lebih menyenangkan kalau bisa menyodok-nyodok selangkanganmu di sebuah kamar hotel yang bersih dan wangi, atau misal kita sewa vila yang ada private pool, tapi negosiasi yang sempurna itu harus win win di antara kedua belah pihak, kan?”

Intan mengangguk pelan.

Duh, gimana ini?

“Jadi mau bapak apa sih? jangan bikin Intan jadi bingung gini.”

“Hehehe, to the point saja ya, ya kalau sekarang saya tidak bisa menikmati mulut bawahmu, minimal berikan saya servis dari mulut atasmu.”

“Apa?”

“Tawaran menarik bukan, kamu dapat DP, saya juga dapat DP.”

“Ta-tapi…?”

Saat Intan masih dalam gejolak keragu-raguannya, Pak Wing tiba-tiba membuka ikat pinggang nya sendiri dan dengan tanpa malu-malu, pria tua itu lanjut memelorotkan celana sekaligus celana dalamnya.

“Ih!!”

Intan menjerit pelan saat mengetahui celana pak Wing sudah melorot hingga ke lutut. Ini adalah kali pertama dia melihat kemaluan laki-laki selain milik Hendro suaminya.

Astaga!! Ih, kok ada kulup nya ya? Pak Wing belum disunat kah?

“Saya tambah satu setengah juta kalau boleh keluar di mulutmu.”

Mendengar tambahan uang yang ditawarkan oleh pak Wing membuat Intan semakin yakin dengan pilihannya. Toh untuk saat ini dia hanya perlu untuk memberikan blowjob pada pria tua ini. Paling tidak dia bisa mendapatkan uang dengan cepat. Satu setengah juta cukup lumayan untuk kebutuhan sehari-hari.

Maafkan istrimu ini Mas.

Sekilas Intan teringat dengan Hendro, tapi dia tidak punya pilihan lain. Intan lalu merubah posisi duduknya dengan menjadi menghadap ke arah pak Wing. Dia sampirkan kembali ujung kerudung segi empatnya ke belakang yang tadi sempat jatuh ke depan. Kerudung yang seharusnya menjadi simbol norma-norma agama tersebut seolah tak bisa menjadi benteng pertahanan bagi seorang insan yang sedang mendapatkan ujian.

Benteng pertahanan itu luluh lantak seiring dengan tubuh Intan yang mulai condong ke depan. Tanpa disadari oleh pak Wing, mata Intan mulai memerah. Namun ibu muda dua anak itu mampu menahan air matanya untuk tidak menetes. Dengan menguatkan hati Intan mulai membuka mulutnya lebar-lebar.

Batang kejantanan yang masih lemas terasa kenyal di mulut nya. Meskipun belum keras, tapi Intan merasa ukurannya sudah cukup besar di dalam rongga mulutnya. Dia lalu membayangkan batang kejantanan milik Hendro suaminya yang dulu juga sering dia servis dengan manja seperti ini. Iya, dulu banget sebelum suaminya itu lumpuh akibat kecelakaan.

Intan mencoba mengingat kembali bagaimana dulu dia bisa membuat Hendro melenguh pasrah keenakan kalau kejantanannya sudah dia oral. Lidah basahnya memutar-mutar di ujung kepala jamur milik pak Wing. Batang berurat itu lama-kelamaan mulai mengeras juga. Apalagi dengan bantuan dari sentuhan tangan miliknya yang lembut, memberikan sensasi yang luar biasa bagi pak Wing.

“Ahh, sudah lama sekali saya membayangkan semua ini, Intan. Aku masih tidak percaya bisa kesampaian hari ini.”

Kepala Intan mulai naik turun saat mendengar ungkapan dari pak Wing tersebut.

“Wajah keibuan mu ini loh yang selalu bikin saya gemas…ohh…yahh…”

Intan mulai menyedot, menghisap, dan menjilat inci demi inci permukaan batang kejantanan milik pak Wing. Pria tua yang perutnya mulai membuncit dan kulit mulai keriput itu menggelinjang dan mendesah menahan kenikmatan yang dia rasakan dari oral sex yang diberikan oleh Intan.

“Satu hal lagi, saya selalu penasaran dengan apa yang ada di balik kemeja mu ini, bolehkah saya menjamahnya?” tanya pak Wing. Pria tua itu sengaja ingin mengetes sikap ibu muda yang kepalanya sedang naik turun di atas selangkangannya itu.

“Emh…emh…slurp…emh…”

Rupanya Intan tidak sadar dengan apa yang ditanyakan oleh pak Wing tersebut. Dia masih fokus mengeluarkan semua kemampuannya guna berharap pak Wing bisa klimaks secepat mungkin.

“Owh…Intan…saya tak menyangka servis oral mu ternyata pro juga, beruntung sekali suamimu, pasti dia sangat puas… ahh… saya tak tahan Intan… buah dada mu pasti sangat kenyal kalau diremas…” ucap pak Wing sambil tangannya meraih dua gundukan bukit kenyal di dada Intan.

“Emh…emh…slurp…ahh…emh…pak…apa yangh…slurp…emh...”

Intan mendesah lemah dan sekaligus pasrah saat ada laki-laki selain suaminya yang menjamah buah dadanya tersebut. Ingin rasanya dia menepis tangan nakal tersebut, tapi apa daya, keadaan memaksanya untuk pasrah dengan tuntutan.

“Ahh… ternyata benar, kenyal sekali buah dadamu, cantik. Ahh terus…ahh yahh…lebih dalam lagi… ahh…”

Intan yang sejatinya hanya seorang perempuan biasa yang masih memiliki kebutuhan biologis sedikit banyak mulai terpancing dengan kata-kata nakal dari pak Wing. Alam bawah sadarnya mulai terpancing untuk memberikan respon lebih dan lebih. Gerakan mulut dan tangannya semakin lama semakin cepat, membuat sang pria tua mabuk kepayang. Lidah nya yang empuk dan basah memutar ke seluruh permukaan penis pak Wing. Bagaikan anak kecil yang sedang menjilati sebatang es krim, Intan seolah tidak ingin melewatkan satu bagian pun.

“Ahh… sialan… bisa cepat keluarnya saya kalau begini… aahh ampun… lagi… ahh… ya ya ya teruss ahhh lebih dalem lagi terusshh…”

Mungkin karena ini adalah pertama kalinya pak Wing berhasil merealisasikan fantasinya terhadap Intan, membuatnya kalah telak di hadapan sang bidadari jelita itu. Tubuhnya mengejang. Pinggulnya tersentak-sentak dengan sendirinya. Beberapa kali ujung penis berkulupnya menyodok hingga dasar tenggorokan Intan.

“Emhh…emh…” Intan berusaha agar dia tidak tersedak. Dia juga berusaha menahan agar tidak ada sperma pak Wing yang menetes keluar. Tentu saja dia tidak mau kalau misal pria tua itu tiba-tiba berkelit dengan berbagai alasan sehingga tidak jadi memberikan tambahan uang yang dijanjikan.

“Hhh… hhh… hhh… edan… Luar biasa, yakin kita bakalan mendapatkan banyak proyek kalau servismu luar biasa seperti tadi, mulut atas aja ngempot banget, ga kebayang gimana rasanya mulut bawah, haha,” ucap pak Wing sambil merapikan kembali celananya. Entah itu pujian atau ejekan.

Sementara Intan kembali bangun setelah dengan susah payah berhasil menelan seluruh sperma pak Wing. Dia lalu mengambil tisu di dashboard mobil dan mengelap bibirnya untuk memastikan tidak ada sperma yang tertinggal.

Intan tidak menanggapi ucapan pak Wing tersebut. Dia lalu membuang muka ke arah luar. Air matanya hampir menetes kembali. Tapi sebisa mungkin dia tahan dengan kekuatan hatinya. Mobil pun kembali berjalan dengan senyum kemenangan yang tersungging dari bibir pak Wing.



.::..::..::..::.



Setelah mendapat suntikan dana dari Pak Wing, beban dan pikiran Intan sedikit banyak sudah berkurang. Meskipun bu Indri dipastikan harus dirawat inap, paling tidak dia tidak pusing lagi bagaimana harus membayar semua pengobatan ibu mertuanya. Pikirannya juga semakin tenang saat siang nanti adik iparnya sudah tiba di rumah sakit. Itu artinya dia bisa pulang ke rumah. Bagaimanapun juga, ada anak dan suami di rumah yang harus diurus.

Akan tetapi sedikit ketenangan yang dia rasakan sejak siang tadi buyar semuanya saat bapak mertuanya yang mesum itu tiba-tiba ingin ikut pulang. Katanya tiba-tiba kangen dengan cucunya. Intan bukan anak kemarin sore. Itu pasti hanyalah bualan semata. Aki-aki bau tanah itu pasti ingin menagih janjinya beberapa hari yang lalu.

“Dasar pelacur murahan!” ucap pak No dengan setengah berbisik pada Intan saat mereka berdua menunggu taksi online di depan lobi rumah sakit umum daerah itu.

“Maksud bapak apa? Jangan kurang ajar lagi, bapak tidak kasihan sama ibu di dalam? Ibu sedang sakit dan Bapak malah main-main tidak jelas.”

“Apa hubungannya sama nenek-nenek itu?”

“Terus maksud bapak apa bilang saya pelacur murahan? Saya ini istrinya mas Hendro pak, anak bapak sendiri, saya menantu bapak.”

“Aku tak sudi mengakui menantu yang dengan mudahnya kemana-mana diantar oleh laki-laki yang berbeda. Pagi dengan Ardian, siang dengan siapa tadi? Bosmu itu ya? Hmm…apa jangan-jangan…? Kamu sudah sering mengangkang di depan bosmu itu?”

“Bapak!”

Seandainya bapak tahu aku melakukan semua ini demi ibu, Bapak seharusnya malu jadi suami! Tapi, kalaupun bapak tahu, bapak pasti tidak akan sampai punya hati untuk memakluminya.

“Pelacur murahan sepertimu pantasnya mengangkang di depanku, agar bisa merasakan nikmatnya disodok oleh kontol perkasaku. Lihat saja nanti malam, tidak ada alasan lagi bagimu untuk kabur.”

“Pak… aku…”

“Aku tunggu di kamar saat semuanya sudah tidur. Oh iya, pakai baju yang terbaik, jangan pakai daster rumahan, aku tidak suka. Kalau mau bersolek sedikit tidak apa, aku pasti suka, kamu pasti juga suka kan, nduk, cah ayu, untuk menyenangkan hati bapak mertuamu yang tua renta dan butuh perawatan ini?”

Demi Tuhan kalau tidak terpaksa aku tidak akan sudi untuk melayani nafsu bejatmu pak. Amit-amit semoga Tuhan segera mencabut nyawamu.

Intan hanya bisa menggerutu kesal. Janjinya tempo hari yang keluar karena luapan emosi itu tak disangka akan terealisasi dengan begitu cepat. Pikirnya, dia bisa mengelak sekali lagi karena di rumah tidak pernah sepi. Tapi kenyataannya, tanpa bu Indri di rumah, bapak tua ini pasti akan dengan mudah menjamah tubuh moleknya.

Intan tidak tahu apa yang akan terjadi malam nanti.

Dia hanya bisa mengelus dada.





BAGIAN 7B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 8
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya

Ga nyangka 2x update dalam 1 hari.

Karakter Intan cukup tangguh ya, berbeda dgn Shinta yang menggemaskan, apakah Shinta tidak kalah menggemaskan ketika sudah ditiduri pria selain suaminya hahaha.

#TimShinta
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd