Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
BAGIAN 7A
SEBERKAS CAHAYA




Dari balik jendela di kamarku, menyelinap seberkas cahaya.
Hingga kuterjaga segera, dari tidurku malam itu, dan mimpi yang mesra.
Ketika daku membuka jendela, sinar mentari menyambut pagi.

Burung-burung pun memberikan salam,
Dalam kesejukan dan indahnya pagi.
Seandainya suasana pagi ini, kan sepanjang hari, betapa bahagia
.”

- "Pagi", Tika Bisono





.:: PAGI DI LERENG GUNUNG MANDIRI



Reva Dwi Adinda membuka mata indahnya perlahan-lahan.

Ia terbangun dengan kelopak mata yang seakan terganjal sesuatu nan berat. Telapak tangannya ditangkupkan ke dahi untuk sesaat. Jam berapa sekarang? Waktu seperti berlalu sedemikian cepatnya, baru saja dia datang, kini sudah pagi menjelang, tabungan waktu pun menghilang. Dia bahkan sudah tak ingat kapan dia tidur semalam. Semua bagai kilasan cahaya yang hanya lewat dalam temaram.

Gadis jelita itu terbangun dengan menggunakan daster batik kembang-kembang yang enak dipakai saat terlelap, entah kenapa hari ini dia merasa malas sekali bangun dari tidurnya. Ada sesuatu yang tidak ingin ia ingat setelah mengalami kejadian yang semalam terjadi.

Apa yang terjadi semalam? Dia telahberciuman dengan Sukirlan.

Tidak.

Dia tidak ingin mengingat-ingatnya. Kubur dalam-dalam kenangan buruk semalam. Dia tidak ingin mengingat apapun, dia tidak ingin terbersit apapun dalam benaknya. Apa yang terjadi semalam adalah kesalahan yang tidak ingin dia ungkit dan dia ingat lagi untuk selama-lamanya.

Reva memutar kepalanya, ia berada di sebuah kamar sederhana berdinding kayu berdebu yang mulai menunjukkan renta usia, dinding lapuk yang sudah tak lagi muda, kayu yang mulai keropos, dan atap rendah yang seadanya. Reva tak mengeluh apalagi jijik karena tahu ini adalah rumah sederhana di desa yang dihuni pasangan renta. Untuk membenahi ini semua dibutuhkan banyak dana dan tenaga yang saat ini kemampuan untuk melakukan hal itu tak mereka punya.

Rumah ini jelas bukan rumah mewah, tidak memiliki perangkat serba modern lengkap, dan sekali lagi – sangat sangat sederhana dengan banyak keterbatasan yang harus dimaklumi. Tapi Reva bukan gadis manja, dia tidak pernah meminta lebih dari calon suaminya. Ini sudah lebih dari cukup. Justru menjadi tugasnya dan Prima kelak untuk memberikan tenaga dan dana demi orang tua mereka, mengembalikan jasa dan budi mereka meski tak pernah diminta, tapi sudah menjadi tugas anak yang telah mapan untuk membahagiakan dan mencukupi kebutuhan orang tua, bukan lagi sebaliknya.

Reva melirik ke arah jam dinding bulat di dinding yang sepertinya merupakan hadiah dari produk pompa air. Pak Yusdi selain bekerja di ladang terkadang juga membantu warga kampung yang butuh dibenahi pompa airnya. Jam yang berdetak di dinding dan sesahutan yang terdengar di luar menunjukkan waktunya beribadah pagi. Gadis jelita itu pun mengusap wajahnya, bangkit, merapikan pembaringan, dan mencari perangkat doa-nya, tak lupa ia mengenakan kerudung langsung pakai.

Saat membuka pintu untuk bersuci di kamar mandi, Reva bertemu dengan ibu Prima yang tengah membawa bahan makanan menuju ke dapur. Sepertinya baru saja dari warung.

“Ibu?”

“Ealah, Nduk. Sudah bangun?” Suara sang ibu yang merdu dan lembut membuat Reva merasa tenang dan nyaman. Sungguh keluarga Prima yang sederhana dan baik hati membuatnya merasa berada di tempat yang tepat.

“Sudah Ibu, ini Reva mau sembahyang dulu.”

“Boleh… boleh… keran air ada di belakang ya, Nduk.”

Ibu Prima sekali lagi memberikan informasi yang sebenarnya sudah diketahui oleh Reva, tapi tentu gadis jelita itu tidak protes dan malah merasa hangat karena sang Ibu yang sudah sepuh mempedulikannya. Keduanya berjalan beriringan ke belakang, kebetulan lokasi tempat bersuci dan dapur berdekatan. Reva pun menggandeng sang wanita tua itu.

“Ibu mau masak? Kok pagi sekali?”

“Lha iyae, Nduk. Kalau nanti-nanti kan tidak sempat. Ibu sama Bapak harus ke ladang setelah ini, kami berdua harus berangkat pagi-pagi sekali, begitu juga adeknya Prima. Nah kan kasihan kalau kamu sama Prima tidak ada lauk.”

“Eh, jangan repot-repot Ibu. Nanti Reva aja yang masak buat mas Prima. Bapak sama Ibu tidak perlu capek-capek untuk kami, meskipun tidak terlalu enak, Reva bisa kok memasak,” protes Reva lembut. Sebenarnya dia kasihan melihat kedua orang tua Prima masih harus bekerja di ladang.

“Ibu tidak ada kompor lho, Nduk. Itu masak pakai tungku kayu.”

“Kan ada Mas Prima yang bantuin. Pokoknya saya tidak ingin kedatangan saya malah bikin Bapak, Ibu, dan Dena repot.”

Ibu Prima tersenyum dan mengelus lengan sang calon mantu, “Ealah, Nduk. Mana ada kata repot untuk anak sendiri, cah ayu? Ibu ini sudah lama sekali tidak memasak untuk Prima. Kami - khususnya Ibu, kangen banget sama Prima karena sejak dia bekerja di kota lain, kami jadi sangat jarang bisa bertemu. Kesempatan seperti inilah yang Ibu tunggu-tunggu.”

Reva merebahkan kepalanya dengan lembut di pundak Ibu Prima itu. Bukan untuk membebani, tapi untuk berbagi kasih.

Sang ibu melanjutkan lagi, “Di masa kecilnya dulu, ibu bisa sedikit membahagiakannya dengan masakan ibu, hanya itulah yang bisa Ibu lakukan untuk Prima, membuatkan masakan. Lha kalau uang kan Ibu tidak punya. Jadi sekarang, hanya hal itu juga yang bisa Ibu lakukan untuk Prima.”

Kalimat demi kalimat itu diakhiri dengan tawa renyah Ibu Prima yang membuat batin Reva tersentuh, dia terenyuh. Reva kembali berdiri tegak, ia tersenyum lebar, sang gadis jelita sangat memahami apa yang ingin dilakukan wanita tua sederhana itu.

“Kalau begitu Ibu tunggu Reva ya. Reva akan bantu Ibu setelah sembahyang! Pokoknya Reva harus bantuin Ibu.”

“Ealah nggak usah, Nduk. Ibu bisa kok. Ini cuma masak sayur lodeh, ikan asin, sama goreng tempe aja.”

“Tidak ada kata tidak dan tidak boleh menolak. Pokoknya tunggu Reva ya, Bu! Kalau tidak ditunggu, Reva ngambek. Hihihi.” Reva memeluk lengan Ibu Prima dengan mesra, menuntunnya ke arah dapur.

Ibu Prima tertawa, “Ya sudah sana sembahyang dulu. Hitung-hitung Ibu ajarin cara memasak makanan rumahan seperti yang disukai Prima. Ibu buka semua rahasia dapur Ibu. Kalau besok kalian tinggal bersama, kamu yang akan menggantikan ibu ya, Nduk?”

Reva mengangguk dan tersenyum teramat manis, “Percayakan Prima pada Reva, Bu.”

Keduanya saling bergandengan ke arah belakang rumah di mana dapur dan kamar mandi berada.

Bahagia itu sederhana.

Setelah mensucikan diri dan sembahyang, Reva pun langsung membantu Bu Ruminten yang tengah berbenah di dapur. Di sana ternyata sudah ada Pak Yusdi dan Dena yang membantu mengatur kayu bakar di bawah tungku untuk memasak.

“Halo Dena. Bantuin Ibu ya?”

“Eh, Mbak Reva.” Dena tersenyum manis. Adik Prima yang masih bersekolah itu memiliki wajah yang mirip dengan Mas Prima, kalau sang tunangan bisa dibilang ganteng, maka adiknya juga cantik dengan senyum yang indah. “Iya ini, biar bisa cepat selesai.”

“Bapak,” sapa Reva ramah saat bertemu dengan Pak Yusdi.

“Eh, Nduk… kok sudah bangun?” tanya pria tua berwajah ramah itu pada sang calon mantu, dia geleng kepala setelah celingak-celinguk dan tidak menemukan anak sulungnya, “Si Prima ini bagaimana. Calonnya sudah bangun kok dia masih aja tidur… biar Bapak bangunkan, Nduk.”

“Eh, ti-tidak usah, Pak. Biar Mas Prima istirahat saja. Semalam kebetulan kami berdua pulangnya agak kemalaman jadi Mas Prima tentunya masih sangat kelelahan.”

“Dia itu mau bantu aku, Pak’e. Mbok ya biar saja to. Sini… sini, Nduk,” Bu Rum menepuk pundak sang suami yang langsung paham. Reva dengan senang hati menarik dingklik atau kursi kecil untuk duduk di samping Ibu Prima.

“Oalaaaah, mau bantuin Bune toh,” Pak Yusdi tertawa sembari garuk-garuk kepala, “Ya wes aku siap-siap dulu.”

Bu Rum tersenyum pada Reva, “Dasar bapaknya Prima itu memang kadang-kadang. Hehehe. Oh iya, Nduk… kami berdua kan sebentar lagi ke ladang, jadi nanti biar Dena yang nyiapin makanannya ya, Nduk. Kamu tidak usah ikut repot-repot juga. Dena sudah biasa kok.”

“Lho, Bapak dan Ibu tidak ikut makan pagi?”

Yo wes pasti tidak sempat kalau pagi ini kami juga ikut sarapan, kesiangan toh, Nduk. Sudah tidak apa-apa, biar Dena juga nanti yang membawakan makan dan minum ke ladang.”

Reva terdiam, ia melirik ke arah sebuah sudut, di sana sudah ada rantang dan termos yang disiapkan. Kalau begitu biar nanti dia saja yang mengantarkan rantang makanan dan termos minum untuk Pak Yusdi dan Bu Rum. Kasihan Dena kalau harus bolak balik dari sekolah, rumah, dan ladang.

“Baik, Bu.” Reva mengangguk dengan tetap berniat mengantarkan makanan itu nanti meskipun diam-diam saja.

“Nah, sekarang sini duduk di samping Ibu. Akan ibu ajarkan cara membuat sayur lodeh kesukaan Prima. Ini bukan sayur lodeh biasa-biasa saja karena pakai resep andalan yang rahasia,” wanita tua itu tertawa renyah.

Reva ikut tertawa. Hal-hal seperti inilah yang membuatnya setuju mau menikah dengan Prima. Kesederhanaan, kehangatan, kebahagiaan, semua hal yang tidak akan bisa dibeli dengan uang. Reva duduk di samping Bu Ruminten dan mulai mendengarkan semua petunjuk yang beliau sampaikan.

Saat itu terasa sekali dalam batin Reva. Ada hidup dalam kehidupan. Ada hangat dalam kehangatan.

Reva merasa tenang.



.::..::..::..::.



Sukirlan enggan menatap wajah seseorang yang terlihat memelas di hadapannya. Males sekali rasanya pagi-pagi berhadapan dengan yang beginian. Ia mengusap-usap wajahnya yang masih terasa kering karena belum mandi. Rambut yang biasanya basah klimis kini kering dan menjulang seperti ijuk.

Pria berwajah preman itu duduk sambil menyilangkan kaki, ia sesekali memperhatikan sisi lain kios kecilnya di mana beberapa orang tengah merapikan buah-buahan di sebaran rak yang sudah disiapkan sebagai dagangannya hari ini, para pekerja itu termasuk Kohar dan Gandos – kedua anak buah andalannya.

Sukirlan mendesah sembari kembali memperhatikan orang yang tengah duduk bersimpuh di depannya. Ah! Pagi yang sungguh tidak menyenangkan, esuk-esuk wes ketemu seng koyo ngene.

“Mas Lan… saya harus bagaimana? Saya sudah bingung sekali…” Orang di hadapan Sukirlan berucap lirih, seluruh beban hidupnya menumpuk di bahunya, kenyataan yang membuatnya ada di persimpangan hidup mati tanpa ada yang peduli. Pria itu sudah bertemu dengan Sukirno dan Sukirman tanpa sukses, Sukirlan adalah harapan terakhirnya.

Piye to Mas Dikin? Gimana? Apa yang saya bisa bantu? Kalau Mas No dan Mas Man saja tidak bisa membantu, apalagi saya. Saya ini kan cuma tukang jual buah-buahan. Lihat saja di sekeliling Mas. Di sini adanya orang ngerapiin jeruk, salak, apel, semangka, buah naga, melon, pisang, sama mangga. Apa coba yang Mas Dikin pikirkan dengan datang ke saya? Berharap saya bisa membantu apa? Kasih semangka? Melon? Salak?”

Sadikin yang usianya menjelang empat puluh tahun adalah salah satu warga di Kampung Growol, ia sebenarnya dikenal sebagai orang yang supel dan gampang bergaul dengan siapa saja. Dia juga akrab dengan tiga bersaudara penguasa wilayah Kembang Arum yaitu: Sukirno, Sukirman alias Pak RT, dan Sukirlan – tapi paling akrab dengan si Lan. Akhir-akhir ini dia terjerat pinjaman online yang kian hari kian menumpuk.

“Ma-Mas Lan kan sudah tahu saya akhir-akhir sedang kekurangan dana karena dipakai untuk biaya rumah sakit anak saya yang secara bergantian di-opname gara-gara demam berdarah dan membenahi ruang tamu yang kejatuhan pohon besar saat hujan dan angin kencang beberapa minggu lalu. Saya sudah habis-habisan, Mas. Saya bangkrut. Pinjaman online saya sudah menggunung, saya bingung mesti bagaimana lagi untuk mengatasi masalah ini, jadi saya…”

“Lha emange Mas Dikin tidak punya BPJS? Biaya rumah sakit kan bisa dipangkas BPJS.”

“A-ada, Mas… tapi saya juga masih nunggak pembayarannya. Jadi belum bisa digunakan. Sejak di-PHK saya tidak bisa membayarnya. Sekarang saya bingung sekali harus bagaimana. Saya minta tolong untuk dicarikan solusi, Mas.”

“Solusi?” Sukirlan mendelik, “Piye toh iki kok aku malah harus nyariin solusi. Yang punya masalah siapa yang harus repot siapa. Lha terus Mas Dikin itu mau minta tolong gimana? Saya bisa bantu apa? Jelas-jelas mas Dikin baru saja kena PHK, tidak kerja, belum ada pemasukan apa-apa. Istri juga ibu rumah tangga biasa. Anak masih kecil-kecil masih sekolah. Mas Dikin bayarnya nanti gimana? Saya tidak bisa menawarkan kerja ke Mas Dikin lho, ini yang kerja di sini aja wes kebanyakan. Kios buah saya ini kecil, lagipula Mas Dikin ini aneh. Apa Mas pikir saya orang kaya? Boro-boro, Mas. Untungnya berapa sih jual buah begini?”

“Sa-saya tahu, Mas. Saya juga bingung bisa bayarnya gimana. Tapi saya pasti akan cari kerja, Mas. Saya pasti akan dapet kerjaan yang jelas. Nanti saya akan bayar semuanya ke Mas Lan beserta bunga-bunganya setelah saya kerja. Saya janji Mas. Beneran, saya janji.”

Sukirlan menyeringai. “Woalah, jangan umbar janji, Mas. Kayak caleg aja sampeyan ini, sukanya berjanji tapi tidak pernah bisa menepati.”

“I-iya Mas…”

“Jadinya mau pinjem duit? Ya bisa saja tapi tidak banyak. Saya juga butuh kepastian, Mas Dikin. Saya ini kan bukan orang kaya. Uang yang masuk saya pakai buat modal beli dagangan lagi. Ini yang nyetok buah kan juga bukan semuanya saya, ada yang barang titipan. Jadi kalau mas Sadikin mengira saya uangnya berlimpah, itu salah besar. Saya ya sama aja kayak Mas Dikin, sering punya masalah keuangan.”

Sadikin menunduk lunglai.

Sukirlan menghela napas, ia menggoyang kepalanya sebagai tanda panggilan ke arah Kohar. Pria berambut kribo itu pun berlari kecil untuk menghampiri Si Lan, “Ya, Bos?”

“Dompetku ada di dalam tas yang kugantung di dekat lemari di dalam, tolong ambilin.”

“Siap.”

Mata Sadikin berkaca-kaca, wajahnya yang memelas berubah menjadi sumringah, “Te-terima kasih, Mas! Terima kasih!”

“Hus! Memangnya buat kamu? Aku mau bayar buah-buahan sama sopir itu yang sudah mengantarkan buah.”

“Oh.” Wajah Sadikin kembali berubah menjadi sedih.

Sukirlan melirik pria yang lebih tua darinya itu, “Gini wes Mas Dikin, saya butuh jaminan dari Mas Dikin. Saya akan memberikan pinjaman untuk Mas Dikin dengan persyaratan khusus. Mas Dikin harus melakukan tiga hal untuk saya.”

“A-apa tiga hal itu, Mas?” Sadikin meneguk ludah.

“Yang pertama, Mbak Yeni istri Mas Dikin harus bekerja di sini untuk menjaga kios dari siang sampai sore, menggantikan saya. Ini hanya berlaku sementara saja. Hanya ketika Mas Dikin masih berhutang sama saya. Kalau sudah lunas semuanya, kontrak Mbak Yeni bekerja di sini saya putus. Piye?”

Sadikin berkeringat, Yeyen istrinya harus bekerja di sini? Bersama orang-orang ini? Ia melirik Kohar dan Gandos yang menyeringai buas ke arahnya. Kok perasaannya tidak enak ya.

Yeni atau sering ia panggil Yeyen adalah istri yang penurut dan tidak pernah bertindak aneh-aneh jadi dia pasti akan manut jika diminta sang suami untuk bekerja pada Mas Lan, tapi amankah istrinya itu di sini? Wajah manis Yeyen cukup populer dan dia bahkan pernah menjadi kembang desa seberang saat masih gadis. Kini setelah melahirkan dua anak pun, tubuh sang istri masih menggiurkan dan wajah manisnya selalu mengundang banyak godaan pria hidung belang meski untungnya tak ditanggapi oleh istri Sadikin itu.

Piye, Mas? Sepertinya kamu ragu-ragu. Saya tidak memaksa lho.” Sukirlan tersenyum.

“Sa-saya coba bicarakan dengan Yeyen nanti, Mas. Saya takutnya tidak bisa meminta dia untuk…”

“Ya diusahakan kan bisa. Sampeyan kan suaminya. Piye toh?”

“I-iya, Mas,” Sadikin memejamkan mata, “pas-pasti bisa, Mas. Yeyen istri saya selalu mengikuti perkataan suami.”

“Bagus. Jadi kita anggap permintaan saya yang pertama sudah oke ya. Permintaan saya yang kedua adalah Mas Dikin harus melakukan suatu hal untuk saya,” Sukirlan tersenyum lagi. Senyuman yang sangat aneh bagi Sadikin. Senyuman yang meskipun tipis tapi terkesan ganas.

“Hal apa itu, Mas?”

Sukirlan menengok ke arah jauh – ke sebuah persimpangan jalan antara kiosnya dan jalur menuju ladang dan persawahan. Ada seseorang yang tengah berjalan sembari membawa termos dan rantang. Seorang gadis jelita yang tadi malam ada dalam pelukannya. Gadis itu tak akan melewati kios buah ini dan akan langsung ke ladang dengan berbelok di persimpangan.

Sukirlan menyeringai.

“Heheh. Saya yakin Mas Dikin akan menyukai tugas yang saya berikan saat ini.”

Sadikin bingung.

“Tapi sebelum saya kasih tahu Mas tentang permintaan yang kedua ini dan sebelum Mas Dikin melaksanakannya, saya juga akan menyampaikan permintaan saya yang ketiga. Jika Mas Dikin setuju dengan kedua syarat itu maka saya akan meminjamkan uang pada Mas Dikin.”

“A-apa tugas itu, Mas?” Sadikin makin tegang. Kok aneh ini. Apa yang orang ini pikirkan?

“Permintaan saya yang kedua dan ketiga adalah...”

Sukirlan terus memandang ke arah jauh – ke arah gadis yang sedang berjalan di persimpangan. Gadis yang seharusnya berjalan lurus namun malah belok ke kiri. Dia lalu membungkuk dan mendekat ke arah Sadikin. Preman menyeramkan itu berbisik di telinga sang pria yang tengah mengemis kepadanya.

Mata Sadikin terbelalak.

“A… Apaaa!?”



.::..::..::..::.



“Kamu yakin mau ke ladang sendirian? Memangnya kamu tahu tempatnya?”

“Tahu, Mas. Kemarin kan Mas pernah ajak aku lewat di depan ladang Bapak Ibu sewaktu kita mau turun ke Pager Jurang. Pokoknya patokannya tugu kecil yang ada patung ikan lele-nya kan? Di belakang tugu kecil itu ada jalan pematang, ikutin terus sampai ke gubuk kecil yang di bawah pohon rindang.”

“Iya betul… tapi…”

“Ya udah sih, Mas anterin aja si Dena ke sekolah, biar aku yang anterin makan buat Bapak sama Ibu. Kasihan si Dena kalau harus bolak-balik. Ya walaupun sudah biasa, setidaknya kita bisa membantu beberapa hari ini kan? Aku mau membantu Bapak Ibu, Mas.”

Prima garuk-garuk kepala, dia sebenarnya ragu-ragu, tapi dia tahu apa yang disampaikan oleh sang tunangan benar adanya, “Ya sudah, boleh deh. Tapi kamu jalan kaki ga apa-apa, sayang? Sepeda si Dena kempes rodanya. Terus tempatnya itu kan ada patung lele yang ke…”

“Gapapa, udah tenang aja. Nanti aku cari sendiri. Aku hapal kok.”

Prima mengangguk. Ia pun menggunakan satu-satunya motor yang dimiliki Pak Yusdi untuk mengantarkan Dena ke sekolah.

Reva pun segera bekerja dengan cepat, Ia merapikan rantang dan termos, menyiapkan gelas dan piring, dan mengemas semuanya dengan rapi dan kuat. Pada saat jam makan yang telah diberitahukan oleh Dena, gadis jelita itu bergegas berjalan untuk menyusul Pak Yusdi dan Bu Rum di ladang.

Pemandangan seorang gadis cantik yang membawa rantang dan termos melalui jalanan dusun tentu saja menjadi pemandangan yang unik dan menarik. Banyak orang langsung berdecak kagum melihat kecantikan tunangan Prima itu. Tubuhnya yang indah dan segar ditambah wajah ayu yang tidak membosankan membuat Reva segera menjadi tontonan gratis yang luar biasa bagi bapak-bapak di desa Bawukan.

Lenggang kakinya yang putih dan jenjang membuat setiap kali ia melangkah, para pria selalu memperhatikan bagaimana pantatnya bergoyang. Padahal Reva mengenakan pakaian yang cukup sopan, yaitu kaos putih di balik kemeja flanel merah biru kotak-kotak, dan celana training panjang warna hitam dengan tiga garis di sisi yang berhasil menyembunyikan keindahan kakinya dengan sempurna.

Beberapa orang bapak-bapak yang tengah nongkrong di depan sebuah bengkel geleng kepala melihat lenggok manis sang dara muda.

“Siapa itu Pak Sar?” salah satu dari mereka menyenggol lengan teman yang satu lagi.

“Kurang tahu, Pak Mo. Pak Alip kali yang tahu. Siapa itu, Pak? Kok aku baru tahu ada barang bening begini di dusun kita.”

Pak Alip menjulurkan lidah, “Itu calonnya si Prima, Pak. Calon mantunya Pak Yus. Cakep banget ya orangnya? Mulus, bening, mana putih pula. Cantiknya gak abal-abal sukses bikin cegukan. Dia dari kota, Pak. Ke sini mau liburan sekaligus bikin foto prewed. Nikahnya sudah direncakan beberapa bulan lagi kalau tidak salah.”

“Oalah begitu to. Sudah ada yang punya. Eh tapi kok Pak Alip tahu?”

“Bu Rum yang cerita tadi pagi pas lewat sini. Tapi semalam aku sudah lihat Prima gandeng cewek ini ke acaranya mas Lan.”

“Hah!? Acaranya Mas Lan?!” Kedua pendengar yang lain terkejut. Mereka sudah paham sekali seperti apa acara yang diadakan oleh seorang Sukirlan. “Ngapain sih si Prima mengajak tunangannya ke sana?”

Ketiga pria dewasa itu mulai melenceng pembicaraannya dan membicarakan tentang kelakuan Sukirlan dan jaring laba-laba kekuasaan yang ia sebarkan sebagai seorang preman di kampung Kembang Arum.

Sementara itu, sang dara jelita yang tengah membawa rantang dan termos melangkah dengan yakin menuju ke target tujuannya, tugu sepasang lele yang sedang saling menelungkup satu sama lain. Tapi ada satu hal tak terduga yang tidak diketahui oleh Reva yang tengah membawa rantang dan termos untuk Pak Yusdi dan Bu Ruminten, fakta yang tadi hendak disampaikan oleh Prima namun terlewat.

Di jalan yang dilalui oleh sang dara jelita itu - tidak hanya terdapat satu tugu kecil dengan tema lele, melainkan ada empat. Jaraknya bahkan tidak berdekatan. Yang seharusnya jadi patokan bagi Reva, adalah tugu lele yang kedua.

Reva berbelok ke pematang sawah di tugu yang pertama.

Hasilnya? Dia berjalan terlalu jauh masuk ke ladang milik orang, menelusuri jalan pematang yang asing begitu jauh – hingga sampai ke sebuah kawasan rimbun dengan pepohonan rindang yang menjadi satu dengan sebuah komplek pemakaman, tempat yang biasa ada di tengah-tengah bentangan sawah.

Reva mulai mengerutkan kening. Dia kebingungan.

Lho? Mana gubuknya? Kok malah masuk ke sini? Mana kuburan lagi. Apa salah jalan ya? Perasaan sudah benar jalannya kemari. Lewat tugu lele terus belok kan?

Dia mengeluarkan ponselnya, mencoba bertanya pada Prima, tapi lagi-lagi gadis muda berparas jelita itu tidak beruntung. Karena dia lupa mengisi ulang baterai smartphone-nya sehingga saat ini mati total.

Aduh dasar bodoh. Lupa nge-charge semalam. Sekarang gimana nih enaknya?

Mau tidak mau, Reva sepertinya harus kembali ke jalan utama. Entah itu untuk mencoba lagi mencari jalur pematang yang benar, atau bertanya pada orang yang kemungkinan melalui jalan utama tadi. Gadis itu mencoba keluar dari wilayah rimbun dan melihat ke kiri atau kanan, mencoba mencari gubuk yang terlihat di kejauhan. Apa yang di sana itu? Kok gubuknya sepi ya?

Mungkin dia harus kembali dan…

“Gadis cantik, apa yang kamu lakukan di tempat ini?”

Reva terkejut!

Dia menengok ke belakang. Siapa yang bicara kepadanya? Dia mengira dia sendirian di tempat ini?

Ternyata tidak.

Ada seseorang di sana, berdiri tak jauh darinya. Seorang pria dengan pakaian yang lusuh seperti baru saja mandi lumpur, dia membawa clurit kotor dan mengenakan caping lebar yang menutup sebagian wajahnya. Dari sekilas lihat, Reva memperkirakan pria itu berumur sekitar 30 hingga 40 tahun. Pria itu juga membawa kantong besar untuk mengambil rumput pakan ternak, tetapi masih kosong. Napas pria itu naik turun dengan cepat, seakan-akan dia baru saja berlari sangat kencang.

Apakah dia seorang petani yang tengah beristirahat?

Atau siapa?

“Ma-maaf, Pak. Saya sepertinya salah jalan. Saya sedang mencari ladang yang dikerjakan oleh Pak Yusdi dan Bu Rum. Apakah Bapak tahu di mana ladang itu? Atau mungkin Bapak tahu saya harus kemana?” tanya Reva dengan sopan.

Dalam hati Reva terus saja berdoa semoga dia dipertemukan dengan orang baik sehingga bisa segera mengantarkan makanan dan minuman untuk kedua orang tua Prima. Kasihan kalau sampai mereka tidak sarapan karena dia terlambat menghantarkan makanan ini.

Pria di hadapan Reva mendengus dengan kesal, tiba-tiba saja pria itu membentak Reva! “Lonte!! Kamu yang salah jalan, kenapa aku yang harus repot!?”

Reva tentu saja terkejut diperlakukan dengan kasar. Lah!? Gimana dah? Kok begini banget? Kan dia bertanya baik-baik. Ya sudah lah, percuma bertanya ke si Caping. Gadis itu bersiap berbalik dan kembali ke jalan utama. Situasinya terlalu aneh dan ini masih di wilayah makam, sepertinya tidak baik terlalu lama di sini, terlebih dengan orang asing.

“Kalau begitu, saya minta maaf sudah salah jalur. Permisi,” Reva masih mencoba bersikap sopan meski wajahnya cemberut. Dia melangkah pergi dan berniat kabur secepat mungkin.

“Siapa yang menyuruh kamu pergi!? Kurang ajar! Sudah seenaknya masuk wilayah orang sekarang mau kabur begitu saja! Diam di tempat!! Kamu telah melakukan satu kesalahan!!”

Reva terkesiap!! Tubuhnya bergetar dengan hebat, adrenalinya tiba-tiba saja terpacu dengan kencangnya. Reva benar-benar tidak menduga dan sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan yang beginian.

Karena…

Saat ini ada clurit terkalung di lehernya dari belakang.

“Pak! Apa-apaan ini?! Kesalahan apa!? Saya tidak melakukan apa-apa!”

Keringat mulai membasahi tubuh gadis muda itu. Ada apalagi sih ini!? Kenapa tiba-tiba orang aneh itu mengalungkan clurit? Apakah Reva sudah berbuat salah? Perasaan dia tidak melakukan apa-apa di sini kecuali celingak celinguk.

Orang di belakang Reva mulai mendekat dan perasaan gadis itu tambah runyam, “Pak! Saya melakukan apa, Pak? Kesalahan apa yang sudah saya lakukan? Bapak sebaiknya tidak mengada-ada. Sedari tadi saya hanya…”

“DIAM!”

Bibir Reva terkatup rapat, terlebih ketika ia merasakan clurit tajam itu menggores sedikit kulit lehernya. Apa yang semula putih mulus, kini menjadi tergaris oleh darah.

“Aduh…” Reva mengernyit kesakitan.

“Kalau kamu diam, aku tidak akan menyakitimu. Sebaliknya kalau kamu banyak bacot, aku akan menggorok lehermu sampai putus. Paham?”

Reva terdiam.

“PAHAM TIDAK!?”

“Pa-paham…” lirih gadis itu berucap, situasinya makin genting dan gawat. Apa sih maksud orang aneh ini? Siapa dia? Kenapa dia hendak melakukan kekerasan pada Reva? Kenal juga nggak. Orang itu memang meminta Reva supaya diam, tapi Reva tidak ingin diam saja dan pasrah, “…tapi saya harus segera mengantarkan rantang dan termos makanan ini pada Pak Yusdi dan Bu Ruminten.”

Si Caping geram, “Kalau aku bilang diam ya diam.”

Saat itulah Reva merasakan ada tangan yang meremas pantat bulatnya, gadis itu jelas makin panik, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

“Pak! Bapak ngapain!? Kenapa saya di…”

“DIAM! SUSAH AMAT SIH DISURUH DIAM!?” Clurit makin tenggelam di lehernya, mulai membuat garis yang membuatnya perih. Suara serak dan bentakan orang itu membuat Reva makin bergidik ketakutan.

“Kamu tahu kesalahan kamu apa?”

Reva menggeleng kepala dengan sangat perlahan agar clurit sang penyerang tidak menyakitinya. Keringat deras membasahi wajah dan seluruh tubuh gadis mungil dan cantik itu, “Ja-jangan sakiti saya, Pak. Memangnya salah saya apa?”

Orang itu tak berhenti meremas-remas bulat pantat sang dara muda. Sungguh luar biasa memang tubuh gadis ini. Dia tidak tinggi dan tidak gemuk, tapi buah dada dan pantatnya sungguhlah sangat molek dan menggoda, seakan-akan memanggil para pria untuk tidak hanya sekedar melihat, melainkan juga memegang, dan meremas-remas.

“Saya sudah lama sekali tidak memperoleh daging yang lezat dan wangi begini.”

“Hentikan Pak! Saya akan teriak!! Saya akan…!”

Tangan pria itu tak berhenti, kini bahkan meremas-remas buah dada Reva dari belakang, “Teriak saja. Tidak akan ada yang bisa mendengarkan teriakan kamu di tempat ini. Kamu tahu kesalahan kamu apa?”

“Tidaaaak! Saya tidak tahuuuu!!”

“Kesalahanmu adalah datang ke sini. Datang ke kawasan Kembang Arum di lereng Mandiri. Kesalahan itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupmu. Kamu terlalu cantik, terlalu molek, dan terlampau indah untuk berada di sini.”

Meski tubuhnya bergetar karena takut, apalagi dadanya terus menerus diremas, Reva merasa ada sesuatu yang aneh. Tangannya segera bergerak untuk mencoba melepaskan tangan yang sedang meremas-remas dadanya.”

“Le-lepaskan!”

“Hmm… dadamu tidak terlalu besar, tapi empuk sekali. Duh kenyal sekali. Beruntungnya aku hari ini bisa menikmati dada yang indah dan molek seperti ini. Aku tidak akan membiarkan mangsa sepertimu lepas, sayang. Hari ini kamu akan merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal.”

Reva terbelalak!

Si Caping ini mau memperkosanya!?

Dia hendak berteriak, tapi selain clurit yang terkalung mengancam di leher, kini mulutnya pun dibekap oleh sang penyerang. Ia tak bisa leluasa bergerak, karena takut clurit akan bergerak tanpa kendali. Ia mencoba meronta, tapi apa daya orang itu jauh lebih kuat dan teguh.

Reva tentu saja tidak ingin menyerah semudah itu, apalagi nasibnya sedang dalam ancaman, orang tak dikenal itu jelas punya niat buruk. Dengan usaha terakhir ia memundurkan kepala dan badan, menghentak ke belakang, mencoba menggunakan tubuhnya untuk menyerang sekaligus melepaskan diri dari serangan lawan.



Tapi bukannya berhasil, keadaan justru berbalik.

Orang itu melepaskan clurit dan bekapan tangannya di mulut Reva, lalu mendorong tubuh sang dara ke samping.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhh!”

Reva jatuh.

Apa yang ia takutkan sepertinya akan menjadi kenyataan. Tubuh Reva ambruk ke samping sehingga gadis jelita berkerudung itu jatuh tertelungkup memeluk tanah. Rantang dan termos yang ia bawa terjatuh. Makanan yang ia bawa buyar tersebar.

Orang itu langsung luruh ke bawah dan menekan dengan kencang bagian belakang kerudung yang dikenakan Reva dengan lututnya hingga gadis itu tak bisa mengangkat kepala. Tangan sang penyerang mengunci kedua tangan Reva di belakang hingga ia sama sekali tak bisa bergerak. Gadis jelita itu jelas semakin panik, dia benar-benar sedang berada dalam bahaya besar.

“Lepaskan! Lepaskaaaaaaan!!! Tolooooooooooooong!! Toloooooooong!!”

Percuma saja Reva berteriak. Siapa yang akan mendengarnya? Lokasinya jauh dari pemukiman dan gubuk ladang terdekat. Di berada di tanah tak bertuan, no man’s land. Nasibnya berada di ujung tanduk, di tangan seorang pria yang sama sekali tidak dia kenal.

Entah bagaimana caranya, Si Caping berhasil mengikat kedua tangan Reva di belakang dengan tali tambang yang ia keluarkan dari dalam karung. Meskipun meronta sekuat tenaga, Reva bukan lawannya. Apapun yang ia lakukan, selalu berhasil ditahan. Tubuh gadis molek itu kini tergeletak di tanah, tanpa daya, tanpa tenaga, tanpa asa.

Air mata Reva mulai menggenang. Kenapa hal seperti ini terjadi kepadanya? Kenapa begitu tiba-tiba ada kejadian seperti ini? Dia mencoba meronta dan merengek, mencoba mencari cara untuk lepas, “Lepaskan akuuu… aku mohoooon, lepaskaaaan. Ampuuun… Aku salah apaaaaa…?”

“Heheh. Aku kan sudah bilang. Kesalahanmu adalah datang ke lereng Gunung Mandiri, ke kawasan Kembang Arum,” Orang itu mengelus-elus pantat Reva yang masih terbungkus celana training, dia tidak mengira akan mendapatkan mangsa seperti Reva, “Aku akan menikmati ini. Sangat sangat menikmati ini. Kamu cantik sekali, sayang. Sangat cantik. Sungguh anugerah yang menjadi kutukan, karena gara-gara kecantikanmu itu kamu akan menjadi mangsaku. Dengan ini kamu akan tahu bagaimana rasanya dientotin di samping kuburan. Heheh.”

“Nggak mauuuuu. Aku nggak mauuuu. Lepaskaaaaaaann. Lepaskaaan! Bajingaaan! Jangaaan!! Aku tidak maauuuuuu! Aku sudah punya tunangaaaan! Ampuni akuuu!”

“Memangnya aku peduli?”

Jelas bahwa orang itu tak akan pernah melepaskan Reva. Siapa juga yang bodoh akan melepaskan tubuh seindah Reva yang sudah berada dalam jangkauannya? Dengan kasar orang itu kembali menekan kepala Reva dan melucuti celana trainingnya.

Reva melotot! Celaka!!

Ia takut, marah, bingung, panik, dan tegang dalam waktu bersamaan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang bisa dilakukannya? Bagaimana cara menyelamatkan diri dari situasi segawat ini?

Reva semakin panik saat menyadari kalau bagian bawah tubuhnya kini sudah ditelanjangi. Celana trainingnya ditarik dan dilempar jauh ke area pemakaman, begitu juga dengan celana dalamnya yang jatuh ke parit basah dan becek. Ia benar-benar sudah tak mengenakan apa-apa lagi di bagian bawah, sementara kaos, kemeja, dan kerudung masih tetap ia kenakan.

Reva meronta dengan melemparkan kakinya kemanapun ia bisa, seperti orang yang tengah bersepeda. Gadis itu juga menggerakkan tubuhnya dengan mencoba menjauh bagaimanapun caranya. Ia menjerit-jerit, berteriak, mengeluarkan semua daya upaya untuk lepas dari sang penyerang.

“Lepaskaaaaaaan! Lepas! Lepaaaaaaassskaaaaaan!! Kuraaang ajaaar!”

Tak ada yang berhasil. Semua upayanya gagal.

“Heheheh. Mau dicoba bagaimanapun tidak akan bisa, sayang.” Orang itu dengan santai meraba dan mengelus-elus pantat mulus sang dara jelita. Reva meronta dan meronta, dia tidak akan memberikan kemudahan bagi pria yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Sungguh sebuah nasib yang tak terbayangkan olehnya, dinodai oleh bajingan yang sama sekali tak dikenalinya.

“A-aku mohon…” suara Reva mulai lemas. Air matanya kini semakin berderai. Ia paham jika dia tak akan bisa lepas dari dekapan pria ini. Dia akan diperkosa, bahkan… amit-amit… mungkin dia akan dibunuh. Seluruh kehidupannya dan apa saja kebahagiaan yang pernah ia alami terlintas dalam benaknya. Gadis itu sesunggukan.

Reva merasakan jari-jemari sang pria tak dikenal mulai mengelus paha mulusnya.

“Mama…” bisik Reva lemah. Bibirnya bergetar, tubuhnya gemetar, keringatnya deras mengalir sebagaimana air mata yang mulai leleh tak terkendali. Reva tidak ingin menangis dan terlihat lemah, dia adalah seorang pejuang, seorang pemberani, dia tidak mau dilecehkan dengan mudah seperti ini.

Kaki gadis itu direnggangkan oleh sang penyerang.

Reva mengatupkan kelopak matanya. Ia meremas kepalan tangannya sendiri. Apakah ini saatnya? Beginikah caranya dia kehilangan sesuatu yang selama ini dia simpan baik-baik untuk Mas Prima? Inikah ujungnya? Setelah seumur hidup berjuang inikah akhirnya? Inikah saatnya dia kehilangan sesuatu yang sangat ingin ia persembahkan untuk sang suami tercinta kelak.

Reva tidak rela, sungguh ia tidak rela. Dia tidak pantas diperlakukan seperti ini oleh seorang jahanam yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.

“Kenapa…?” bisik Reva, “kenapa kamu melakukan ini? Kita bahkan tidak kenal sama sekali. Aku tidak pernah melakukan apapun kepadamu. Kenapa kamu tega menyakitiku? Aku punya keluarga dan tunangan yang akan mencariku…”

“Kamu tidak tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kamu.”

Reva tambah gemetar ketakutan, “Si-siapa kamu?”

“Percuma saja kusebut nama. Kan sudah kubilang, kamu tidak kenal aku, tapi aku tahu siapa kamu. Aku tahu kamu tunangan dari Prima, anak pak Yusdi. Aku juga tahu kamu pasti sudah tidak sabar ngentot dengan Prima kan? Anak ayam semolek kamu memang pantesnya dientot sampe lemas, tapi orang yang seharusnya menyetubuhi gadis dengan memek seindah milikmu ini bukanlah Prima, tapi aku.” Orang itu mengelus bagian luar bibir kemaluan Reva yang masih sangat rapat dan indah, tubuh gadis jelita itu pun menggelinjang. Kakinya yang jenjang dan putih mulai terbercak oleh tanah yang kotor, orang itu berdecak kagum melihat keindahan bibir liang cinta sang dara, “kamu bener-bener belum pernah disentuh ya? Rapet banget. Heheh. Kehormatan bagiku.”

“Jangaaaaan! Aku tidak mauuuuu! Lepaskaaaan akuuuuu! Toloooooooooooongg!!”

“Mau kamu berteriak bagaimanapun, tidak akan ada yang dengar. Aku kan sudah bilang, tempat ini jauh dari jalan terdekat. Kamu mau meronta seperti apa juga, aku akan tetap melakukan ini. Sudah kepalang basah, tidak mungkin bisa mundur. Maafkan aku, Prima. Tapi calon istrimu… akan menjadi mangsa kontolku. Aku yang akan menyeruput nikmat perawannya. Hahahahahah.”

Orang itu tiba-tiba membalik badan Reva, membuat gadis itu terlentang menatap rindang pepohonan dan awan biru berarak di atas langit. Tapi Reva tentu tidak akan sempat menikmati pemandangan, terlebih setelah sang penyerangnya luruh ke bawah, ke selangkangan Reva.

Gadis itu ketakutan.

“A-apa yang kamu lakukan? Kenapa ke bawah sanaaa!? Apa yang kamu lakukaaaaan!?”

Slrp.

Reva melotot! “Tidaaaaaaaaaaaaaak!!”

Terasa permukaan lidah sang pria yang kasar dan basah menyentuh dan mengoles bibir kewanitaan tunangan Prima yang sungguh sangat cantik itu. Kaki Reva kembali menjejak, mencoba menendang sang pria yang telah melecehkannya. Tapi hal itu ternyata tidak menghentikan sang penyerang. Ia memegang erat kaki jenjang sang dara, dan mengangkatnya ke pundak.

“Tidaaaak mauuuuu! Tidaaaak!!”

Orang itu dengan mudah mendapatkan akses ke memek Reva. Capingnya ternyata telah dilepas dan Reva bisa melihat jelas sosok seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun yang berkulit sawo matang dengan mata sedikit sipit dan berwajah kotak. Wajahnya terlihat sangat penuh hawa nafsu yang tidak terkendali, birahi yang ingin segera dilampiaskan.

Reva sungguh sangat ketakutan.

Gadis yang tangannya terikat itu berusaha beringsut menjauh, tapi kakinya benar-benar terkunci. Lidah sang penyerang pun beraksi. Reva meraung ketika merasakan elusan lidah pemerkosanya di bibir kemaluannya, sesekali melesak ke dalam, mencicipi cairan yang perlahan mulai leleh di vagina sang dara jelita.

Slrp. Slrp. Slrp.

Enak sekali, ini luar biasa.

Jadi begini rasanya cairan pelumas liang cinta seorang dara yang berasal dari kota. Begini rasanya cairan nikmat yang diimpikan oleh banyak pria. Begini rasanya cairan yang mengalir dari sumber air suci seorang bidadari.

Slrp. Slrp. Slrp.

Tubuh Reva gemetar dan bergetar, ia menangis. Ia tahu tangisan tak akan mengubah apa-apa. Gadis itu hanya bisa berdoa agar semua ini cepat selesai dan tak akan ada orang yang tahu apa yang telah terjadi kepadanya.

“Mas Prima… Mama…” bisik Reva lemah, memanggil orang-orang yang paling ia kasihi. Seolah-olah dengan bisikannya akan ada yang datang untuk menolong. Tapi Reva juga tahu harapan itu semu. Di tempat ini, siapa yang bisa menolongnya?

Tangan pria kurang ajar itu terus menerus mengelus dan menjamah paha mulus Reva, menikmati tiap jengkal kaki jenjang sang dara.

“Mmmhh…” lenguh sang pria yang kian tenggelam dalam birahi.

Slrp. Slrp. Slrp.

“Kakimu yang jenjang, pahamu yang mulus… mmmhh… mmmhh… memek kamu yang masih terkatup… mmhhh… semua akan segera menjadi milikku. Tubuhmu akan segera menjadi milikku… kamu tak akan pernah bisa mengulangi malam pertama, dan malam pertamamu tak akan pernah terjadi. Karena hari ini, akulah yang akan mendapatkan manisnya cairan madu darimu. Akulah yang akan menjadi yang pertama untukmu dan kamu tak akan pernah bisa melupakan aku. Heheh… hahahahaha.”

Orang itu berdiri, Reva mencoba beringsut kembali untuk meninggalkan sang penyerang. Tapi pria itu menendang kaki dan perut Reva.

Bkkk! Bkkkhhhh!

“Aaaahhhhh!! Ahhh!”

Reva meraung kesakitan, kaki dan perutnya sakit bukan kepalang setelah ditendang oleh sang penyerang. Dia bukan hanya dilecehkan tapi juga disakiti oleh orang ini. Tubuh Reva meringkuk karena sakit yang ia rasakan.

“Heheh. Tungguh aku, manis. Aku akan segera memberikanmu kenikmatan yang tak terbayangkan, kenikmatan yang sesungguhnya…”

Pria itu mulai melucuti celananya sendiri, membuka gesper, memelorotkan celana, dan menunjukkan kemaluan yang ternyata tidak besar. Pendek dan kecil seperti burung pipit, hampir mengkerut di atas kantong kemaluan yang lebih besar. Reva terdiam melihat penis yang sebentar lagi akan masuk ke dalam vaginanya itu.

Satu kaki muncul.

Tiba-tiba saja.

Menendang kantong kemaluan si Caping dengan sekuat tenaga.

Bledaaaaakghhh!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaghhhkkk!”

Penyerang Reva berteriak kesakitan. Ia jatuh terduduk sembari meraung dan memegang kemaluannya yang bukan main nyerinya. Tapi ia hanya bisa beristirahat sesaat karena tak lama kemudian, kaki yang sebelumnya hampir meremukkan kemaluannya, kini terayun untuk menendang kepalanya.

Bledaaaaakghhh!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaghhhkkk!”

Tubuh pria kurang ajar itu terayun dan terbanting ke tanah. Kembali ia mengerang kesakitan. Tapi rasanya sang penyerang masih belum puas. Serangan ketiga meluncur tanpa aba-aba. Menjejak kepalanya untuk tenggelam di genangan lumpur.

Bkkkkkkkghhh!

Pria itu gelagapan tak bisa berteriak karena lumpur masuk ke dalam mulutnya. Ia meronta, namun jejakan kaki di kepalanya tak berhenti justru semakin bertubi.

Bkkkkkkkghhh! Bkkkkkkkghhh! Bkkkkkkkghhh!

Kepala pria itu makin tenggelam di lumpur.

Orang yang baru datang langsung membuka kaos hitam bergambar cover album lawas grup band metal Megadeth yang ia kenakan dan menggunakannya untuk menutup bagian bawah tubuh Reva.

Ia juga mencoba melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan sang dara.

“Kamu tidak apa-apa?”

Reva menggeleng dan menundukkan kepala, setelah tangannya lepas, dia merapatkan kaos dari orang yang telah menolongnya untuk melingkar di pahanya dan menutup selangkangannya yang telanjang.

“Te-terima kasih, Mas Lan…” ketus ucapan yang keluar dari bibir Reva.

Sukirlan tersenyum lebar. Ya, orang yang telah menolong Reva adalah Sukirlan. Orang yang sebenarnya juga pernah melecehkannya.

“Sama-sama, cantik.” Si Lan melongok kesana kemari dan akhirnya menemukan apa yang dia cari, celana training Reva, “Akan kuambilkan celanamu, tapi kalau celana dalam… lebih baik jangan dipakai, sudah basah karena lumpur.” Sukirlan buru-buru memberikan celana training yang tak begitu jauh darinya dan diberikan kepada Reva.

“O-orang itu?”

“Hah?” Sukirlan mengerutkan kening. Ia baru sadar kalau ia lengah dalam pengawasan. Penyerang Reva tadi sudah tak ada lagi di dekat mereka. Entah kemana dia pergi! Orang itu hanya meninggalkan caping yang tergeletak di tanah. Sukirlan mendengus marah, “Sial! Aku tidak sempat mengikat tangannya! Kemana dia sekarang!? Kamu lihat kemana arah perginya?”

Reva menatap Sukirlan dengan wajah takut dan menggeleng.

“Apakah dia akan…”

“Jangan khawatir, dia tidak akan menyakitimu. Seharusnya dia tahu siapa aku dan siapa yang berkuasa di tempat ini. Aku akan selalu melindungimu.”

Reva mencibir dan mendengus.

Sukirlan nyengir lebar.

“Orang itu sudah benar-benar pergi? Tidak akan kembali lagi?”

Sukirlan menggeleng, “Tidak. Aku yakin dia sudah pergi. Kalaupun kembali ya silakan saja. Akan aku layani.”

Reva menghela napas panjang. Ia menyiapkan celana trainingnya dan menatap Sukirlan dengan tatapan kesal. Ia baru saja hendak diperkosa orang dan diselamatkan oleh orang yang pernah melecehkannya. Bagaimana coba rasanya? Campur aduk, marah, kecewa, kesal, dan merasa bodoh.

“Aku mau pakai celananya. Putar badanmu.”

“Kenapa harus berputar?”

“Apa kamu tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan!? Aku mau pakai celanaku dulu!”

Sukirlan mencibir, “Aku mau melihat memek kamu. Kenapa juga harus berputar. Apalagi kamu sedang pakai pakaianku. Kalau kelamaan tidak pakai baju, aku bisa masuk angin. Kamu tidak khawatir kalau aku masuk angin?”

“Aarrrgh! Terserahlah!”

Reva bangkit, melemparkan kaos Sukirlan ke kepala pria itu, dan mengenakan celana trainingnya cepat-cepat. Sukirlan tertawa, dia masih sempat melihat paha mulus Reva dan bibir kewanitaan sang dewi yang tadi sempat dicicip oleh pria tak dikenal. Indah banget memang si Reva ini, sangat pantas dijadikan kekasih bahkan istri.

“Indah sekali pemandangan di sini,” Sukirlan terkekeh. “Apalagi kalau tahu di balik celana itu kamu tidak mengenakan apa-apa. Heheh.”

“Jangan macam-macam ya! Aku baru saja hendak diperkosa orang kurang ajar, dan sekarang kamu berdiri di hadapanku begini!? Kamu pikir aku wanita seperti apa? Sudah ah! Aku mau pergi!”

“Wanita seperti apa? Kamu wanita yang kuat, yang tahu bagaimana harus bersikap, dan aku tergila-gila kepadamu. Aku akan menjadikanmu kekasihku sampai akhir hayat. Kita akan tidur bersama dan aku akan selalu menyetubuhimu setiap malam. Kamu tidak akan pernah pergi dariku karena kontolku adalah yang terbaik untuk memekmu.”

“Ngaco!”

Reva menghapus air matanya, kalimat-kalimatnya masih penuh getar karena ia belum benar-benar pulih dari rasa shock yang mengungkungnya, tapi ia berusaha tegar di hadapan Sukirlan.

“Tapi bagaimana…” Reva merasa ada yang aneh, ada sesuatu yang membuatnya merasa curiga, “Bagaimana kamu bisa berada di sini? Bukankah tempat ini jauh dari jalan raya? Teriakanku pun pasti tak terdengar dari jarak jauh. Kenapa bisa ada kamu di sini?”

Sukirlan mengangkat bahu, “Kenapa tidak? Kamu tidak tahu kan siapa yang dimakamkan di sini? Ini adalah makam leluhurku. Mungkin sudah takdir, kamu diarahkan ke sini. Karena sesungguhnya aku punya firasat yang aneh, semalam aku memimpikan leluhurku - simbah buyutku yang dimakamkan di sini, beliau datang ke mimpiku dan memintaku datang tepat di jam-jam segini. Di mimpi yang sama, kita menikah dengan meminta doa restu beliau.”

“Apaan sih!? Aku tanya beneraaaan!!”

“Aku jawabnya juga beneran. Aku tidak tahu apa yang membuatmu sampai kemari, tapi bukankah untung sekali aku juga ada di sini pada saat yang bersamaan? Kios buahku tak jauh dari sini dan aku sering datang untuk membersihkan makam. Itu sudah jadi kebiasaan dan kegiatan rutinku. Kamu bisa membersihkan diri di kios buahku kalau mau. Kurang baik apa coba aku ini? Ayolah menikah saja denganku dan kita akan bahagia…”

Reva kesal dan meninggalkan Sukirlan. Dia mencari-cari rantang dan termosnya. Gadis itu menghela napas panjang karena makanan Pak Yusdi dan Bu Rum tidak bisa diselamatkan, dia harus pulang ke rumah untuk menggantinya. Padahal waktu sudah semakin siang, bisa-bisa dia terlambat mengirim makan dan orang tua Prima itu bekerja dengan perut kosong.

Bagaimana ini?

“Pergilah ke kios buahku, aku akan menggantinya dengan buah-buahan. Segar dan sehat. Aku buatkan juga teh hangat buat Pak Yudis dan Bu Rum. Bagaimana?” Sukirlan memberikan tawaran. Ia sudah mengenakan kembali kaosnya.

“Tidak terima kasih. Lebih baik aku pulang dan mengambil…”

Sukirlan menatap Reva tak percaya, “Kamu ini benar-benar… Aku sudah menolongmu tadi. Dari perkosaan! Perkosaaan! Edan! Itu peristiwa mengerikan yang hebat! Tapi lihat sekarang! Sekarang kamu terlihat begitu tenang seolah-oleh tidak ada kejadian apapun! Bisa-bisanya sikapmu seperti itu! Kamu benar-benar perempuan yang…”

“Yang apa?”

Sukirlan dia mendekat ke arah Reva. Begitu dekat sampai-sampai wajah mereka hampir bersentuhan. Tercium bau rokok dari mulut sang pria di hadapan Reva.

“Kamu perempuan yang sangat cantik.”

“Menjijikkan. Menjauh dariku.”

”Tidakkah kamu setidaknya mempertimbangkan kalau jelek-jelek begini ada sedikit perbuatan baik yang tulus aku lakukan hanya untukmu? Aku tadi sudah menolongmu dan sekarang menawarkan buah-buahan sebagai pengganti sarapan Pak Yusdi dan Bu Rum dengan gratis. Kurang baik apa aku ini?”

“Aku membencimu.”

“Aku justru sangat menyukaimu dan sepertinya aku makin mencintaimu. Aku tahu tidak mudah bagimu untuk menerimaku di hatimu, tapi perlahan-lahan, akan kutunjukkan bahwa akulah yang tepat untukmu. Kontolku adalah pasangan yang tepat untuk memek kamu, cantik.”

Reva mendengus dan membalikkan badan. Ia mengambil rantang dan termos yang berserakan, “mending mati daripada memilih kamu.”

“Jadi kamu tidak mau?” tanya Sukirlan.

“Tidak mau apa?”

“Menggantikan makanan dengan buah. Gratis.”

Reva menghela napas panjang, tidak ada pilihan lain saat ini. Atau sebenarnya ada tapi pikirannya sedang sangat kalut, Reva mengangguk. “Berjalanlah di depan. Tunjukkan jalannya. Aku akan menyusul di belakangmu. Aku tidak akan pernah berjalan beriringan dengan bajingan seperti kamu.”

Sukirlan tersenyum, akhirnya luluh juga cewek keras kepala ini, meskipun tetap tidak mau kalah dan angkuh. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Mumpung ada di pemakaman ini, Sukirlan ingin memanfaatkan lokasi.

“Aku tidak ingin dikasihani dan berhutang budi padamu. Buah-buahan itu akan kubayar. Tidak perlu sok-sokan kasih gratis. Aku tahu kamu tidak sebaik itu.”

“Baiklah. Tapi ada syaratnya.”

Reva kesal sekali, “Apalagi sih?”

“Ikut aku.”

Reva kembali membalikkan badan dan melihat Sukirlan melangkah menuju ke pemakaman. Mau ngapain lagi dia? Sukirlan mengulurkan tangan, Reva menggeleng.

“Ada sesuatu yang harus kita lakukan di pemakaman. Tapi pemakaman itu becek dan penuh alang-alang tinggi. Kalau aku gandeng, kamu bisa menemukan jalan dan pijakan yang tepat.”

Reva menggerutu dan menerima uluran tangan Sukirlan. Keduanya bergandengan melewati garis makam yang aman dan beberapa pijakan batu yang tepat.

“Mau kemana kita?” tanya Reva kesal. Ini sudah semakin siang. Bukannya buru-buru malah mau melakukan hal entah apa.

Sukirlan memberikan tanda supaya Reva diam. Pria berwajah buruk itu pun berbisik, “Aku tahu kamu ingin segera mengantarkan makanan, istirahat, dan menenangkan diri karena baru saja mengalami tindakan pelecehan yang tidak termaafkan. Tapi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ada aturan yang harus dipatuhi di pemakaman ini, terutama karena tadi kamu sudah mengalami tindakan tidak senonoh di sini. Yang meskipun bukan salahmu, tapi tetap harus minta maaf atas apa yang telah terjadi. Sudah aturan dan harus dilakukan sekarang karena sudah menjadi adat di sini.”

Reva terdiam dan menurut.

Keduanya kini berada di depan sebuah makam dengan nisan batu dan bendera kayu di atas bambu. Reva mengerutkan kening. Leluhur Sukirlan… seorang pahlawan? Ia ikut saja ketika Sukirlan duduk di batu yang ada di samping makam. Gadis itu bersiap duduk di samping si Lan dengan tangan masih saling bergandengan.

Si Lan tersenyum lagi pada Reva, “Kamu tidak mengenakan celana dalam. Tidak sopan duduk di tanah pemakaman ini. Duduklah di pangkuanku. Ini sudah adat.”

Reva merengut dan duduk di pangkuan Lan. Karena posisinya tidak nyaman, gadis itu terpaksa mengalungkan tangannya di leher sang begundal. Sungguh Si Lan menjadi amat puas.

Sukirlan pun mulai mengelus nisan di hadapannya, “Halo Mbah, apa kabar? Aku ke sini karena mau berterima kasih Simbah sudah melindungi gadisku hari ini. Kalau tidak karena firasat yang dikirimkan Simbah kepadaku, aku mungkin tidak bisa datang dan menolongnya pada waktu dan saat yang tepat. Gadisku benar-benar beruntung aku bisa menolongnya dan tidak mencemari pemakaman ini.”

Reva ingin menjitak kepala Si Lan. ‘Gadisku’? Seenaknya saja terong bakar ini menyebut.

“Saya minta maaf kalau sebelumnya ada kejadian tidak sopan dan tidak senonoh yang terjadi di tanah kosong di sebelah makam. Sesungguhnya apa yang terjadi bukanlah salah gadisku ini. Dia hendak diperkosa dan tak bisa berbuat banyak untuk melawan. Sekali lagi mohon maaf.”

Dengan sengaja Sukirlan menggerakkan kakinya sehingga pantat Reva yang hanya terbungkus celana training terasa kenyal di paha sang begundal.

“Apa yang kamu…!?”

Reva sudah bersiap menghardik Sukirlan, tapi pria itu menatapnya dengan serius. “Ucapkan maaf pada leluhurku terlebih dahulu supaya kedepannya nanti diberikan keselamatan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan senonoh seperti tadi.”

“Tindakan tidak senonoh!? Aku ini korban!”

“Sst… sudah, lakukan saja.”

Reva pun geram, belum selesai deg-degan hampir diperkosa oleh pria tidak dikenal selesai diproses oleh batinnya, malah ada kejadian di luar nalar begini.

Tapi Reva tentu saja harus mengikuti tradisi. Dia tak kuasa menolak adat.

“Leluhur, saya mohon maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi. Mohon maaf atas apa yang terjadi terjadi. Saya juga tidak ingin hal tersebut terjadi. Saya hanyalah orang yang tidak sengaja datang dan tiba-tiba saja hendak diperkosa. Saya hanyalah korban yang telah dilecehkan, kaget, shock, dan tidak tahu harus berbuat apa. Mohon maaf jika saya telah mengganggu ketenangan di tempat ini.”

“Leluhur, terima kasih. Mohon doa restu atas hubungan saya dengan gadis saya ini.”

Reva berdiri dan mendorong tubuh Sukirlan, “Apa-apaan sih kamu? Sudahlah! Ayo kita segera jalan.”

Gadis jelita itu meninggalkan Sukirlan sendiri.

Sang begundal menyeringai sembari menepuk nisan di depannya, “Berani taruhan, Mbah. Kelak dia akan hadir kembali di sini tapi statusnya sudah sebagai istriku. Akan kutaklukkan bidadari angkuh itu.”

Sukirlan menikmati pemandangan lenggak-lenggok pantat montok Reva yang menjauh darinya. Pantat tanpa celana dlam yang belum lama tadi disentuh oleh laki-laki lain.

Di depan orang lain, Reva memang selalu berusaha tak terlihat lemah, kuat, dan tangguh. Saat ini pun seperti itu. Dia baru saja mengalami salah satu peristiwa terburuk dalam hidupnya yang bagi orang lain mungkin akan menjadi trauma hebat dan kenangan yang menghantui, tapi saat ini gadis jelita itu kembali menunjukkan sosok yang angkuh dan teguh, yang tak bisa disentuh, yang bahkan tak terlihat tanda-tanda shock. Seolah-olah usaha pemerkosaan pada dirinya hanya biasa saja.

Benarkah demikian?

Saat berjalan menjauh dari Sukirlan, Reva berusaha menutup diri agar wajahnya tak terlihat dari belakang, karena sesungguhnya air matanya meleleh deras membanjiri wajah, sekuat mungkin ia bertahan agar tak sesunggukan.

Reva menangis jika ingat apa yang baru saja terjadi. Ia hampir diperkosa orang tak dikenal. Beruntung ia diselamatkan oleh Sukirlan. Di balik keangkuhannya, Reva berusaha menekan diri agar terlihat tangguh.

Pada akhirnya, dia adalah seorang wanita biasa.



.::..::..::..::.



Penyerang Reva terlari terbirit-birit menyeberang pematang ke arah jalan raya, ia tidak berhenti berlari bahkan ketika kemudian mencapai sebuah perempatan dan berbelok ke kiri. Ia terus berlari sampai ke satu kios buah-buahan yang saat itu tidak ada pengunjung.

Pria itu masuk dan terengah-engah. Keringat deras membanjiri sekujur tubuhnya. Ia benar-benar sudah tidak kuat lagi. Ia sangat lelah dan akhirnya ambruk.

Ia terlentang di lantai dengan sangat kecapaian.

Seseorang datang dan meletakkan sebotol minuman kemasan di samping kepala penyerang Reva. Dia terkekeh-kekeh sembari berlutut.

“Kata Gandos kamu sudah bekerja dengan bagus, Mas Dikin.” Orang yang berlutut di dekat penyerang Reva itu benar-benar geli, “Heheheheh. Jangan lupa besok bawa Yeyen ke sini untuk bekerja. Kamu sudah berhasil menjalankan tugas kedua dan ketiga dari Bos Sukirlan, tinggal permintaan pertama.”

Sadikin yang sedang kecapekan setengah mati bahkan tak bisa menatap wajah Kohar dengan jelas karena banjir keringat menutup matanya. Ya, dia melakukan hal-hal buruk dan melecehkan Reva karena perintah dari Sukirlan.

Masih terngiang jelas dalam benaknya apa yang dibisikkan oleh Sukirlan.

Permintaanku yang ketiga adalah meminta Mas Dikin legowo saat nanti kuhajar habis-habisan. Tapi jangan heran kenapa kamu harus menerima saja kuperlakukan begitu. Itu tak lain dan tak bukan karena kamu harus melecehkan seorang gadis sebagai permintaan yang kedua. Jadi permintaan pertama membawa Yeni kemari, permintaan kedua melecehkan seorang gadis, dan yang ketiga adalah ikhlas saat kuhajar. Ingat baik-baik, permintaan kedua adalah melecehkan, bukan memperkosa. Boleh melakukan apa saja asal tidak memasukkan kontol Mas Dikin yang pendek dan kecil itu ke dalam memek wanginya. Paham!?

Sadikin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Apa yang telah dia lakukan!? Karena hutang pinjol, dia baru saja melecehkan seorang wanita! Sungguh perbuatan yang rendah dan menjijikkan! Dia benar-benar pria yang paling rendah di antara yang rendah.

Bodoh sekali!

Lebih bodoh lagi… dia sebentar lagi harus menyerahkan Yeyen ke kubangan lumpur yang sama sepertinya. Dia akan menjerumuskan istrinya yang lembut, baik hati, dan berbakti pada suami ke dalam lingkaran setan pria-pria jahanam ini, dan dia tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Sadikin menangis sesunggukan.

Kohar mendengus, “Bajindal. Hla kok malah mewek!? Piye to kih!? Gimana sih jadi laki-laki!? Hadehhh. Wes, ayo cepat diminum airnya. Jangan berlama-lama di situ, takutnya sebentar lagi ada pelanggan. Masuk saja ke dalam kalau mau istirahat. Takutnya Mas Lan pulang dengan gadis itu kemari.”

Kohar berdiri dan meninggalkan Sadikin sendirian untuk menengok ponselnya yang sedang di-charge di samping rak buah jeruk.

Sadikin merasakan dunia yang indah kini sudah meninggalkannya, dan dia berjalan menuju dunia gelap yang berujung pada keruntuhan. Tidak ada happy ending di ujung terang hidup sederhananya.

Hanya satu hal hari ini yang membuatnya merasa tenang. Satu hal saja. Satu hal yang tak pernah ia bayangkan.

Saat ia melecehkan Reva yang molek dan wangi, ia merasakan ketenangan yang tak pernah ia sangka-sangka ia rindukan. Begitu ia menjilati bibir kewanitaan gadis itu, Sadikin tahu dia tak akan pernah merindukan gadis yang lain.

Tentu saja Yeyen istrinya merupakan wanita yang menggairahkan. Yeyen yang pernah menjadi kembang desa adalah wanita yang sangat menawan, matang, dan cantik, tapi… Reva… adalah… adalah…

Reva… adalah bidadari yang berbeda.

Dia adalah bidadari yang paripurna. Bidadari surga yang selendangnya disembunyikan sehingga ia tak lagi bisa terbang dan pulang ke rumahnya di nirwana.

Dia benci pikirannya sendiri, tapi saat menyerang Reva tadi, ada sempat terbersit dalam benaknya untuk benar-benar menyetubuhinya untuk dirinya sendiri, untuk memperkosa Reva dengan sungguh-sungguh, untuk menikmatinya sampai akhir. Reva tak hanya mempesona, tapi juga sangat menggairahkan. Sadikin menepuk dahi.

Apa yang terjadi padanya?

Tadi malam dan saat bangun tidur hari ini, dia bahkan tidak tahu siapa Reva. Tapi beberapa jam setelah bangun pagi dan berbicara dengan Sukirlan, Sadikin sudah berusaha menodai gadis itu meskipun sebagai bagian dari rencana si Lan.

Sekarang, Sadikin jadi menginginkan Reva. Tapi tidak seperti yang dibayangkan Sukirlan. Dia tidak akan menyamakan diri seperti bajingan itu. Sadikin menginginkan Reva bukan untuk dirinya sendiri.

Sadikin melihat bagaimana pandangan jijik gadis itu saat melihat penisnya yang kecil. Gadis sialan itu… gadis yang angkuh, tak kenal takut dan penuh percaya diri itu… pasti akan sangat memuaskan untuk melecehkan dan merendahkannya di hadapan pria-pria yang bahkan jauh lebih menjijikkan daripada Sukirlan.

Kini Sadikin tahu Sukirlan menginginkan tunangan Prima itu.

Bagus.

Sadikin jadi punya kartu as.

Sadikin akan membuat Sukirlan menyesal telah meremehkan dirinya. Dia memang membutuhkan uang Sukirlan, itu tidak ia pungkiri. Dia akan membayar hutang-hutang itu jika sudah bekerja. Tetapi jika mereka sampai menyakiti dan melecehkan Yeyen istrinya, maka dia akan membuat Sukirlan membayar perbuatannya karena gadis yang dia inginkan akan Sadikin umpankan pada orang-orang yang tidak berhak menikmati tubuhnya – seperti orang-orang di Tempat Pembuangan Sampah Sementara yang ada di lereng Gunung Mandiri.

Sadikin tertawa. Lalu menangis, lalu tertawa sambil menangis.

Kohar yang melihatnya hanya garuk-garuk kepala.

Kenapa lagi orang ini?

“Sudah cepetan ke kamar dulu sanaaa!”



BAGIAN 7A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7B
 
Makasih updatenya

Saya suka seperti ini, domba pun bisa menyeruduk kalau keadaan terdesak.
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd