Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
BAGIAN 10
HASRAT JIWA




“Mungkin kita bukan cinta aku tak peduli
Tapi kita manusia yang punya hasrat jiwa
Setiap saat setiap waktu, kuingat dirimu
Setiap saat setiap waktu, kuingin berjumpa, kuingin bercinta

Walau kupendam gejolak namun asmara tetap ada
Tak bisa kutolak karna kau yang terindah
Yang mungkin memuaskan segalanya.”

“Kau Yang Terindah” -
Java Jive





Kemarahan Amy meledak.

“Tapi bukan begitu perjanjiannya, Pak! Bukannya Bapak sendiri yang bilang kalau tidak akan ada yang melecehkan saya.”

Sekali lagi, Amy menyesali keputusannya yang percaya begitu saja kepada kata-kata manis dari bandot tua seperti Pak Man. Mana ada ceritanya seekor singa akan diam saja apabila disodorkan daging empuk di hadapannya. Perempuan seperti dirinya, sudah tentu akan jadi bulan-bulanan di hadapan para penjahat kelamin seperti Pak Man dan Pak Barsono.

“Tuh kan, dari tadi siang Dek Amy ini yang diomongin perjanjian mulu, perjanjian mulu. Padahal janjinya sendiri saja selalu dilupakan.”

“Lupa bagaimana sih, Pak?”

“Lah, itu buktinya masih panggil saya Bapak. Harusnya manggil apa hayo? Lupa tho? Halah. Kakean cangkem.”

Yaelah, urusan panggilan aja jadi masalah, pikir Amy dalam hati. Memang dasar pejantan tua ini suka banget bersilat lidah.

“I-Iya maaf. Maksud saya, kan tadi siang perjanjian kita tidak begini, Mas Man,” ujar Amy sambil memberi penekanan lebih pada kata Mas dan Man di akhir kalimat.

“Nah, gitu dong, Dek Amy. Kan lebih enak didengarnya, lebih merasuk ke hati gitu, hahaa...” Jawab Pak Man sambil tersenyum-senyum penuh arti. “Tapi sepertinya selama ini Dek Amy sudah salah paham.”

“Salah paham bagaimana, Mas?”

“Coba ingat-ingat, apa janji saya tadi siang?”

“Mas janji kalau tidak akan ada yang melecehkan saya kan?”

“Salah, Dek Amy.”

“Lho kok bisa salah? Wong saya dengar sendiri kok Mas Man ngomong begitu!”

“Jelas salah, lah! Tadi siang saya cuma bilang kalau SAYA tidak akan melecehkan Dek Amy. Nah kalau yang melakukannya adalah orang lain, itu urusan lain, tidak masuk ke janji saya, hahaa...”

“Ku-kurang ajaaar...” Gumam Amy dengan suara yang sangat pelan, hingga Pak Karjo yang tengah berdiri tepat di belakangnya pun tidak bisa mendengar umpatan tersebut.

“Apalagi kalau dilakukan mau sama mau. Ya itu sih namanya bukan pelecehan ya, tapi bersenang-senang. Hahaa...”

Amy benar-benar mengutuk pilihannya yang setuju-setuju saja dibawa ke tempat ini. Kini, dia terjebak di lokasi terpencil di lereng gunung, sambil dikelilingi oleh tiga orang pria yang semuanya mempunyai pikiran kotor tentang tubuh indahnya. Ya, Pak Karjo yang selama ini diam pun termasuk di dalamnya, terbukti dari sentuhannya pada payudara perempuan muda tersebut. Berteriak kencang sekalipun tidak ada gunanya, karena tidak mungkin ada orang yang akan menolongnya di sini.

“Jadi bagaimana, Dek Amy? Hari sudah malam lho, kalau makin lama nanti justru makin dingin. Kasihan lho Pak Karjo itu sudah berdiri terus di sana, nanti malah bisa sakit. Dek Amy mau tanggung jawab bawa Pak Karjo ke Puskesmas nanti? Jauh lho lokasinya. Apalagi kalau Pak Karjo harus dirawat di rumah sakit. Wah repot urusannya.”

Amy mulai menggertakkan giginya, tanda bahwa ia sudah merasa begitu kesal.

“Memangnya Mas pikir yang mau ke sini malam-malam itu siapa? Kuntilanak juga nggak mau disuruh ke tempat gelap dan sepi begini. Saya ke sini kan cuma karena nurutin perjanjian yang Mas langgar sendiri!”

“Eladalah, kok Dek Amy malah ngomel-ngomel iki piye tho...”

“Pokoknya saya mau pulang sekarang! Perjanjian kita batal!” Ujar Amy dengan tegas, sambil bertolak pinggang, seperti ingin menunjukkan kalau dia juga punya keberanian di hadapan para pria tersebut. Ia tidak peduli kalau pose seperti itu justru membuat buah dadanya makin membusung, lengkap dengan putingnya yang makin menonjol dari balik kaos putihnya, karena tidak ada beha yang melapisinya.

“Oh gitu. Yo wis, kalau itu maunya Dek Amy. Pak Barsono! Cepat antar Dek Amy pulang ke rumah. Penuhi saja semua keinginannya.”

“Se-Serius ini Pak Man?”

Pria tua yang sedari tadi membantu Pak Man mengatur pencahayaan demi hasil foto yang terbaik tersebut jadi ragu sendiri. Mengapa semudah itu sang ketua RT membiarkan mangsanya lepas dari jebakan. Ini jelas beda dari biasanya.

“Serius lah Bar. Kapan sih aku pernah nggak serius? Memangnya aku RT gadungan apa?” Lanjut Pak Man dengan wajah yang tidak kalah tegas dari Amy. “Kalau dia mau pulang, ya silakan pulang. Ini kan masih negara merdeka, ya setiap rakyatnya punya kebebasan untuk melakukan apa pun yang mereka mau.”

Tak hanya Pak Barsono, Amy pun heran melihat perubahan sikap Pak Man yang seperti berbalik 180 derajat tersebut. Sepertinya hal tersebut mustahil terjadi, apabila tidak ada udang di balik batu, dan ternyata Amy langsung mendapatkan jawabannya.

“Dek Amy bebas. Aku pun juga bebas… bebas membagikan foto-foto mesum Dek Amy ke setiap orang yang aku inginkan. Begitu kan yang njenengan mau, Dek Amy?”

“Hah!? E-Eh, Pak… Ma-maksud saya Mas Man... Bukan begitu maksud saya,” raut wajah Amy langsung berubah, dari yang sebelumnya galak jadi penuh dengan ketakutan. Dalam hati ia bingung sendiri, kenapa jadi galakan Pak Man daripada dia?

Lha piye to kih? Lalu apa maksud kamu, Dek Amy? Kan sudah saya turuti kemauan kamu yang katanya mau pulang. Mau pulang ya silakan. Sekarang saja kalau mau pulang, nanti Pak Bar akan antar. Kurang baik apa saya?”

“Maksud saya... duh, gimana sih... Tapi jangan disebar juga foto-foto saya, Mas.”

“Lah, suka-suka saya dong. Hape juga hape saya, kok situ yang ngatur.”

“Saya kan sudah bilang dari tadi siang, kalau foto-foto itu disebar, keluarga saya bisa hancur, Mas. Bagaimana nanti nasib Kevin kalau ayahnya pergi meninggalkan dia? Mas tega hal seperti itu terjadi pada saya?”

Tanpa sadar, air mata pun mulai menetes melewati pipi Amy yang begitu halus mulus tanpa bercak. Ia benar-benar berharap rasa belas kasihan dari pemimpin wilayah RT tersebut.

“Lho kok nanya saya. Itu sih masalah Dek Amy. Bukan masalah saya. Rak yo ngono toh, Pak Bar? Betul apa betul?”

Pria tua bertubuh gembul yang berada di samping Pak Man hanya mengangguk-angguk seperti boneka Mampang. Ia sebenarnya tidak mengerti apa maksud percakapan kedua orang itu, tetapi feeling-nya mengatakan bahwa ia harus mengikuti saja permainan Pak Man, demi bisa turut mereguk kenikmatan dari tubuh Amy.

Siapa sih yang bisa menolak godaan ibu muda bertubuh semok seperti dia? Apalagi dengan balutan pakaian seksi yang tengah ia kenakan malam ini. Amy adalah salah satu idola di kawasan Kembang Arum – bahkan bisa dibilang yang paling cantik.

“Tuh, Pak Bar saja bilang iya kok.”

“Baik! Baik! Baik, Mas. Sa-saya minta maaf,” Amy meneguk ludah, sial. Dia harus tetap mengikuti kemauan orang bejat ini. “Jadi saya harus apa supaya Mas Man tidak mengirimkan foto-foto tersebut ke orang lain? Saya mohon banget, Mas, jangan sampai ada orang lain yang melihat foto-foto itu.”

Weleh, weleh… Kamu ini memang selalu plintat-plintut ya, Dek Amy. Sebentar mau sebentar nggak, sebentar mau sebentar nggak. Lama-lama saya tidak sabar menghadapi kamu. Bodo amat ah, sekarang juga saya share fotonya ke Pak Dul, supirnya suami kamu itu,” ujar Pak Man sambil mengambil ponselnya dari kantong celana.

Amy melotot terkejut.

“Ja-jangan, Pak. Saya mohon hentikaaaaaannn...” Ujar Amy setengah berteriak.

Dengan nada teriakan yang begitu memelas, Pak Karjo yang masih berada di dekat Amy jadi ikut tak tega. Dia masih bingung apa yang sebenarnya terjadi malam ini.

Pak RT mencari-cari nama di kontaknya, “Duuul... Duuul... Dul itu huruf depannya apa ya Bar? Kok saya jadi lupa.”

“Ya D toh, Pak RT. Kalau Dul depannya ya pasti D... Kalau cool, nah itu pembawaan saya Pak, hehehe. Saya kan orangnya cool.”

Haish cocote,” Pak RT menemukan nama yang ia cari, “Oh iya, bener juga awalannya D.”

Amy makin bingung apa yang harus ia lakukan agar bisa mencegah Pak Man mengirimkan foto seksinya kepada supir yang biasa dimintai tolong oleh suaminya untuk mengantar ke luar kota.

Foto seksi dari Amy yang seharusnya hanya menjadi konsumsi sang suami bernama Ghema Mahardika, alias Ge, sesaat lagi akan bisa dinikmati oleh Pak Dul yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Ge dan Amy. Bila dibiarkan, foto tersebut pada akhirnya bisa saja jatuh ke semua penghuni Cluster Kembang Arum Asri. Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan oleh sang ibu muda jelita.

Perempuan muda yang baru mempunyai satu anak tersebut pun langsung menolehkan wajahnya ke arah Pak Karjo dan mendekati pria tua tersebut.

“Maaf ya, Pak Karjo,” bisik Amy.

“Ma-Maaf u-untuk a-apa M-mbak A-a-amy?”

Dengan perlahan, Amy menarik kepala sang penjaga pos pendakian, dan membiarkan bibir mereka saling bersentuhan. Awalnya Amy merasa jijik karena bau jigong yang menyeruak dari mulut sang pria tua tersebut, seperti sudah setahun tidak gosok gigi.

Namun ia tetap bertahan, demi memberikan tontonan menarik bagi Pak Man dan Pak Bar. Harapannya, sang ketua RT akan mengurungkan niat untuk membagikan foto seksinya kepada orang lain. Hal yang sama pun dia lakukan sebelumnya, dengan melepaskan beha yang ia kenakan tepat di hadapan Pak RT berotak binatang itu.

Bibir mereka terpisah sesaat, ada garis air liur yang menjadi jembatan di antara bibir keduanya. Salah satu sisi menempel di Amy, sisi lain menempel di Pak Karjo.

“Mb-Mbak A-Amy ng-nggak ap-ap-apa...?” Tanya Pak Karjo di sela-sela kecupan mereka.

Pria tua tersebut sebenarnya merasa kasihan juga dengan perempuan cantik yang sudah bersuami tersebut. Namun ia tentu tidak bisa memungkiri bahwa kecupan sang bidadari terlalu nikmat untuk ia lewatkan, dan tidak menolak diperlakukan seperti itu. Dalam mimpi saja belum tentu dia bisa mendapat kepuasan seperti ini.

“Tidak apa-apa, Pak Karjo. Semua ini demi keselamatan saya dan keluarga,” bisik Amy di telinga pria tua tersebut, yang tentu tidak sampai terdengar oleh Pak Man dan Pak Barsono. Kedua bandot tua tersebut hanya bisa melihat bahwa kedua insan di hadapan mereka sedang asyik memadu birahi dengan penuh nafsu.

“Pak Man…! Pak Man…! Lihat tuh, ada yang langsung cipokan...” teriak Pak Barsono yang menarik perhatian Pak Man.

“Naaaahhh... Ini baru tontonan seru,” teriak Pak Man, sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana.

“Josss punya neh, Pak RT. Tema foto kita malam ini adalah Kembang Turi Dimakan Belibis, alias Beauty and The Beast, hahaa...”

“Sudah cepat ambil kamera kamu Bar. Nanti kita bisa ketinggalan momen.”

“Lah iya, bener juga. Keburu ngecrot nanti modelnya ya.”

“Jangan lupa motto komunitas Fogmi kita, Bar. Pantang ngecrot sebelum jepret, hahaa...”

Amy tidak mengindahkan kata-kata porno yang dilontarkan oleh kedua pria tua tersebut, dan hanya fokus melakukan pose tidak senonoh dengan Pak Karjo. Pose yang seharusnya tidak ia lakukan dengan alasan apa pun, karena ia telah mempunyai seorang suami, serta anak yang sedang menunggu di rumah.

Kini Amy dan Pak Karjo telah terlihat seperti sepasang kekasih, meski dari sudut mana pun, tidak bisa dibilang serasi sama sekali. Yang satu bak pualam yang bersih dan suci tanpa noda, sedangkan yang satunya lagi seperti sampah organik yang sudah lama mengompos.

Kali ini tanpa diperintah lagi oleh Pak Man, Pak Karjo mulai memasukkan tangannya dari bawah kaos putih ketat yang dikenakan Amy. Begitu masuk, pria tua tersebut langsung memilin-milin pentil payudara Amy yang memang sudah tidak mengenakan beha. Hal itu praktis membuat tubuh sang jelita, yang sebelumnya merasa kedinginan karena udara malam yang menusuk tulang, jadi menghangat karena birahi yang mulai naik ke permukaan.

Amy mulai berpikir apakah keputusannya untuk membiarkan Pak Karjo menyentuh tubuhnya yang mulus adalah keputusan yang tepat atau tidak. Di satu sisi, ia tahu pria tua tersebut hanya menuruti perintah dari Pak RT. Namun di sisi lain, dari sudut mana pun jelas-jelas apa yang dilakukan oleh sang penjaga trek pendakian tersebut sudah sangat melewati batas.

“Kenapa susah banget sih untuk memilih hal yang benar dalam hidup ini,” pikir Amy dalam hati, sambil menahan libidonya yang mulai naik.

Perempuan cantik yang merupakan istri sah dari seorang dosen tersebut akhirnya menyalurkan hasratnya dengan cara mengecup bibir keriput milik Pak Karjo. Awalnya hanya kecupan biasa, tapi lama kelamaan berubah menjadi cumbuan yang liar. Amy bahkan mulai berani mengeluarkan lidahnya, yang langsung disambut dengan kuluman liar oleh sang penjaga pos pendakian.

“Mmhhhhhhhh... Pak Karjoooo...” Rintih Amy saat pria tua yang tengah memeluknya tersebut mulai menghisap-hisap lidahnya. Amy pun bisa merasakan puting payudaranya mulai dicubit dan ditarik oleh jemari Pak Karjo, sehingga menimbulkan rasa geli yang tiada tara.

“B-bi-bibir M-mbak A-am-amy le-lembut ba-banget, me-mem-memeknya pa-pasti le-legit n-nehhh...” Ujar Pak Karjo sambil mendorong lidahnya agar bisa berbalik memasuki rongga mulut sang bidadari.

Hal itu tentu sangat mudah ia lakukan, selain karena giginya yang sudah bolong di sana-sini, juga karena kondisi Amy yang sudah mulai pasrah untuk digerayangi olehnya.

“Nah, gitu dong kalau jadi model. Kan jadi semangat kita yang motret,” ujar Pak Man yang langsung mengambil foto dari berbagai angle, diikuti oleh Pak Barsono tepat di sebelahnya. “Ayo ekspresinya yang lebih binal lagi dong, Dek Amy. Matanya dibuka, tatap mata Pak Karjo dalam-dalam, seperti perempuan yang sedang kasmaran.”

“Pak Karjo coba jangan cepat-cepat cipoknya, susah ini ngambil gambarnya. Nah iya, berhenti dulu begitu, mainin lidah di dalem nggak apa-apa, yang penting dari luar jangan kelihatan bergerak dulu, hahaa...” Kali ini giliran Pak Barsono yang memberi arahan.

Pak Karjo tentu senang sekali diperintah seperti itu. Lidahnya langsung berputar-putar di dalam rongga mulut Amy. Ia baru berhenti saat Amy kemudian melotot tajam ke arahnya, tanda bahwa ia merasa terganggu diperlakukan seperti itu.

“Sekarang coba Dek Amy berputar, lalu Pak Karjo memeluk dari belakang. Nah iya benar begitu... Cocok tenan...”

Amy kembali menuruti perintah Pak Man dengan memposisikan tubuhnya membelakangi Pak Karjo. Dengan posisi begini, ia jadi tidak perlu berhadapan dan berciuman dengan pria tua tersebut. Namun posisi baru ini justru dimanfaatkan oleh penjaga pos pendakian itu untuk memeluk tubuh Amy dari belakang. Tangannya pun secara otomatis bergerak masuk ke balik kaos putih yang dikenakan Amy, dan kembali menggerayangi buah dada perempuan tersebut yang menonjol indah.

“Nghhh... Apa ini Pak, kok ada yang menonjol di bawah?” Bisik Amy lirih.

“I-itu... E-errrr ma-maaf M-Mbak A-a-amy, sa-saya ng-nggak ta-tahan...”

Karena hanya mengenakan celana jeans ketat untuk membalut bagian bawah tubuhnya, Amy jadi begitu sensitif ketika ada benda asing yang menyentuh tubuhnya di bagian bawah. Itulah mengapa ia langsung sadar ketika ada sebuah benda tumpul nan keras yang mulai menusuk-nusuk bokongnya dari belakang.

“Agak dijauhkan dong, Pak. Ini namanya pelecehan. Saya nggak suka…”

“M-maaf ba-banget M-Mbak A-Amy... Ka-kayaknya mu-mus-mustahil, ha-habis tu-tubuh M-Mbak A-Amy ba-ba-bahenol ba-banget ssiihh...”

Amy pun sadar bahwa ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pak Karjo, karena ia pun terpaksa melakukan ini. Keterpaksaan yang sebenarnya justru dinikmati oleh pria tua tersebut.

“Wah, mantap punya model kita kali ini, Bar. Jauh banget sama sesi-sesi foto kita sebelumnya, isinya cuma gambar sapi, iwak lele, sama Mbokde Mawut si rentenir yang gelas emasnya guedem-guedem itu.”

“Kalau ini sih nggak ada lawan, Pak RT. Hmm, tapi sepertinya ada yang kurang.”

“Apa tuh, Bar?”

“Itu lho, espreso Mbak Amy kurang gimana gitu?”

Espreso? Espreso apa toh maksudmu kih? Ekspresi kali maksudnya?”

“Nah iya, itu maksud saya, Pak RT. Hahaa...”

“Wooo, wedhus!! Bilang dong dari tadi,” jawab Pak Man sambil memperhatikan pose Amy dan Pak Karjo dengan serius, layaknya seorang fotografer profesional. “Tapi memang kayaknya kurang binal eskpresi kamu Dek Amy. Coba kepalanya mendongak sedikit...”

Amy pun menuruti perintah dari ketua RT mesum tersebut, dengan cara mengangkat dagu ke atas hingga kedua matanya menatap ke arah langit. Meski dalam hati Amy sebenarnya berusaha menahan birahinya yang sudah sedikit naik, akibat dorongan bertubi-tubi ujung pentungan Pak Karjo di selangkangannya.

Pak Karjo memang tidak menggerakkan pinggulnya sama sekali, sehingga Pak Man dan Pak Barsono pun tidak melancarkan protes sama sekali. Namun dengan tempo yang teratur, ujung penis tersebut terus saja menegang dan menyentuh bokong Amy, kemudian rebah lagi. Terus saja hal tersebut terjadi berkali-kali.

“Nah sekarang matanya melirik sedikit ke sini, Dek Amy yang cantik. Duh, kebablasan... menjauh sedikit. Ya benar begitu... Tapi bibirnya mungkin bisa dibuka sedikit... Yak, pas banget.”

Pak Man tampak puas dengan keahliannya mengatur pose model foto yang ada di hadapannya tersebut.

“Kalau kayak begini bagaimana Pak Bar?”

“Nah, ini sih sempurna banget Pak RT. Pak Karjo jangan kalah binal, coba sekarang kecup leher Dek Amy dari belakang. Ya, tahan... jangan bergerak yaaa.”

Tak terasa sudah sekitar 15 menit Pak Man dan Pak Barsono mengambil pose dari pasangan model mereka di tengah keheningan malam. Amy dan Pak Karjo sebenarnya tidak terlalu sering berganti gaya, tapi kedua fotografer mereka sepertinya tidak mau membuang-buang kesempatan emas untuk merekam momen kemesraan tersebut. Karena itu, mungkin sudah ada ratusan foto yang tersimpan di kamera keduanya.



Ketika Pak Man dan Pak Barsono tampak mulai membereskan perlengkapan foto mereka, Amy pun membuka suara untuk mengakhiri sesi foto tersebut. “Apakah sudah, Mas Man? Boleh saya istirahat sekarang?”

“Iya, sudah kok... Silakan Dek Amy kalau mau istirahat.”

Amy kemudian berjalan ke arah mobil, diiringi tatapan kecewa dari Pak Karjo, yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan udara dingin yang menerpa, karena tubuh sang bidadari telah memberinya kehangatan.

Begitu membuka pintu depan mobil yang berada di sisi kiri, alias sisi penumpang, Amy langsung memeriksa tas tangan yang ia bawa sebelumnya. Namun ia merasa kaget ketika tiba-tiba ada yang menarik tubuhnya dari belakang. Mulutnya pun langsung dibekap dengan tangan, sehingga ia tidak bisa berteriak.

“Jangan teriak kalau kamu tidak mau nyawamu terancam, mengerti?”

Amy pun mengangguk, sebuah tanda bahwa ia tidak akan melakukan perlawanan sama sekali kepada penyergap tersebut. Sesuai janji, tubuh Amy pun dilepas, dan didudukkan di atas jok penumpang, sehingga keduanya kini saling berhadapan. Dengan perlahan, sang penyerang menggunakan tangannya untuk menggerayangi tubuh Amy yang indah, termasuk payudaranya yang membusung nan menggoda.

“Kenyal banget susumu, Dek Amy, adudududuh... Dari tadi aku ngaceng banget ngeliat toket montok punya kamu ini. Sudah gak tahan banget pengin ngenyot secara langsung, hahaa...” ujar pria tersebut dengan suara yang begitu pelan. Ia sepertinya tidak ingin ketahuan oleh dua orang pria lain yang entah sedang ada di mana saat ini.

“Mmmmhhh, hentikan Pak Bar. Apa yang Bapak lakukan? Bukannya sudah ada perjanjian bahwa tidak akan ada pelecehan terhadapku di sesi foto kali ini?” ujar Amy lirih sembari menatap ke depan, ia menggigit bibir karena lagi-lagi tubuhnya dirangsang hebat melalui sentuhan pria selain suaminya.

“Persetan dengan itu!! Yang bikin perjanjian kan Pak RT, bukan aku. Lagian aneh-aneh saja Pak RT itu, punya barang bagus begini kok ya bisa-bisanya bikin perjanjian sampah begitu. Jadi sayang kan... mending saya aja yang nikmatin. Hahaaa...”

Amy sempat melirik ke sisi lain mobil, dan ternyata Pak Man tengah sibuk mengobrol dengan Pak Karjo di lokasi yang cukup jauh. Karena itu, mereka tidak bisa melihat bagaimana perempuan bertubuh molek tersebut sedang dijamah oleh Pak Bar, karena terhalang oleh body mobil. Amy sempat berpikir untuk langsung berteriak dan menarik perhatian sang pimpinan RT, yang sepertinya selama ini cukup bisa menepati janjinya.

Tapi bagaimana kalau nanti Pak Bar justru nekat menyakitiku kalau aku berteriak minta tolong? Jangan-jangan pula justru Pak Man dan Pak Karjo nantinya malah ikut menggerayangi tubuhku? Apa jadinya kalau aku menjadi bulan-bulanan nafsu mereka? Ahhh... aku binguuunng,” gumam Amy dalam hati.

Di tengah kebimbangan Amy, Pak Bar mulai berani mengangkat kaos putih yang dikenakan perempuan tersebut, sehingga menampakkan keindahan payudaranya yang menggairahkan.

Selama beberapa detik, pria tua itu tampak mengagumi keindahan dada Amy yang indah itu, sebelum kemudian membenamkan wajahnya di belahan payudara sang dara. Ia bahkan sempat menggoyang-goyangkan kepalanya di belahan dada tersebut, seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan mainan.

Amy tidak mau menyerah begitu saja, dan berusaha melawan.

Perempuan tersebut coba meraih ke dalam tas tangannya yang kini sudah berada di lantai mobil. Setelah beberapa kali percobaan, ia akhirnya berhasil mengambil sebuah semprotan merica yang memang sudah ia siapkan sebelumnya. Ia pun langsung mengarahkan semprotan itu ke arah wajah Pak Bar, yang secara reflek langsung menghindar.

Pssssssstttt.

Aduh sial!

Amy tahu bahwa suara semprotan tersebut berbeda dari biasanya. Ternyata, isinya sudah habis. Pantas saja beratnya lebih ringan dari biasanya. Lagi-lagi, sebuah kecerobohan membuat Amy tidak bisa mendapatkan apa yang ia mau.

“Ihh... nakal sekali kamu ya bidadari manis. Sekarang rasakan balasannya,” Pak Barsono kemudian menyerang Amy dengan cara mengemut-emut puting payudaranya dengan kasar dan membabi buta.

“Ngghhh...” Meski sudah ditahan, tetap saja ada desahan yang mulai keluar dari celah di antara kedua bibir Amy.

Tiba-tiba saja.

“Baaaarrr...? Baaaarrrr...? Barsonoooo!? Di mana kamu Baaaarrrr?”

Terdengar teriakan Pak Man yang memanggil-manggil kawannya tersebut. Karena itu, Pak Barsono pun langsung menghentikan aktivitasnya dan mengumpat.

“Anjiiinnnggg... Kenapa dia sebentar banget sih ngobrolnya dengan Pak Karjo,” gerutu Pak Barsono.

Dengan gemas, ia mengecup bibir Amy yang indah, sebelum menowel payudara perempuan tersebut yang masih terbuka. Setelah itu, ia pun berdiri dan membereskan kembali pakaiannya agar rapi seperti semula.

“Aku di sini Pak RT...”

“Heh! Lagi ngapain kamu di situ!?” ujar Pak Man curiga, begitu ia mendapati bahwa Pak Barsono dan Amy tengah berada di sisi lain mobil.

Ia menatap ke arah Amy yang sedang duduk di kursi depan mobil dengan pakaian yang juga telah kembali rapi. Perempuan tersebut seperti tengah membereskan sesuatu di tasnya.

“Ini nemenin Amy ngobrol aja. Habis Bapak serius banget sama Pak Karjo, hahaa...”

“Ngobrol atau ngobrol?”

“Beneran ngobrol doang kok, Pak. Iya kan Dek Amy? Tuh tanya saja sama orangnya...” Ujar Pak Barsono sambil memberikan kode dengan cara mengedipkan mata ke arah perempuan tersebut.

“I-Iya kok, Mas Man. Kami hanya ngobrol,” jawab Amy, meski dengan nada yang ragu-ragu.

Pak Man sempat berpikir sejenak, berusaha mencerna apa yang tengah terjadi di hadapannya. “Ya sudah, ayo kita pulang, Bar.”

“Sekarang banget neh, Pak Man?”

“Iya, sekarang... Aku sudah ditungguin sama ibunya anak-anak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.”

“Baik kalau begitu, Pak,” jawab Pak Barsono yang langsung menuju sisi pengemudi, dan masuk ke dalam mobil.

Amy baru saja ingin menutup pintu, namun ditahan oleh Pak Man. “Kamu duduk di belakang sama saya, Dek Amy.”

Perempuan tersebut pun mengangguk, dan memenuhi permintaan dari ketua RT tersebut. Sebelum meninggalkan lokasi pos pendakian, mereka sempat melambaikan tangan ke arah Pak Karjo, yang sebenarnya masih merasa kecewa karena kemaluannya sudah dibuat ngaceng, tapi tidak diberi pelampiasan yang memadai.

Duhh... enaknya coli sambil bayangin Mbak Amy…” gumam Pak Karjo dalam hati, “atau bayangin istrinya pengamat gunung yang baru ditugaskan di sini itu. Aduh siapa namanya saya jadi lupa... Ahh iya, Mbak Maya!



.::..::..::..::..::.



Amy mengerjapkan mata seiring dengan semakin santernya suara kokokan ayam yang berasal dari luar rumahnya. Perempuan berparas manis itu pun mulai meregangkan otot-otot tangannya yang kaku, berusaha menepis semua rasa kantuk yang masih mendera tubuhnya.

Seperti namanya, lingkungan di sekitar cluster Kembang Arum Asri memang benar-benar masih asri, jauh dari hingar bingar perkotaan yang hanya dipenuhi oleh gedung, polusi, dan kemacetan. Itulah mengapa Amy sebenarnya sangat suka ketika ia harus pindah ke perumahan di bawah lereng Gunung Mandiri tersebut setelah menikah dengan suaminya. Daerah baru ini mengingatkannya pada kampung halamannya yang berada di sebuah dataran tinggi di Jawa Barat. Hanya saja, ia tidak menduga kalau kawasan yang indah tersebut ternyata juga dipenuhi oleh manusia-manusia bejat seperti Sukirman sang ketua RT.

Ia memandang ke samping, di mana anaknya yang bernama Kevin masih tertidur lelap di ranjang yang sama. Wajahnya yang begitu lucu memantik perasaan gemas di diri Amy.

Semalam, Pak Man ternyata benar-benar memenuhi janjinya untuk langsung memulangkan Amy ke rumah, meski sepanjang perjalanan tangannya tidak berhenti untuk memeluk dan menggerayangi tubuh indah perempuan tersebut. Namun setidaknya, pria tersebut tidak ingkar akan ikrarnya untuk tidak melakukan pelecehan yang berlebihan.

Sesampainya di rumah tadi malam, Amy langsung mengizinkan Mbah Tri untuk pulang, dan memutuskan untuk bergabung dengan anaknya untuk tidur di kamar yang sama.

“Apakah mungkin Pak RT sebenarnya tidak punya maksud buruk di balik ancamannya kepadaku? Ahh, sebaiknya aku tidak terlalu percaya seperti itu dulu...” gumam Amy dalam hati.

Perempuan tersebut kemudian menggeser posisinya di atas tempat tidur hingga bisa memeluk tubuh mungil anak satu-satunya itu dengan erat.

“Maafkan Mama yang sering ceroboh, lambat dalam mengambil keputusan, dan terkadang justru melakukan hal yang salah, ya Kevin. Namun kamu harus tahu, kalau apabila Mama hanya bisa memilih satu hal untuk Mama pertahankan di dunia ini, maka Mama akan memilih kebersamaan dengan kamu,” gumam perempuan tersebut dengan nada lirih.

Amy tentu sudah menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan semalam lalu memasukkannya ke ember cucian, karena tidak mau lagi mencium sisa-sisa bau tubuh Pak Karjo atau Pak Barsono yang sempat menempel di badannya. Ia kini telah kembali mengenakan busana santainya di rumah, yaitu sebuah daster panjang yang sedikit longgar. Dan karena tidak ada Pak Man di dekatnya, ia pun bisa kembali mengenakan beha dan celana dalam seperti biasa, layaknya perempuan pada umumnya.

“Mama...” Tanpa diduga oleh Amy, anaknya itu ternyata sudah mulai sadar dari tidurnya.

“Eh, anak Mama sudah bangun?”

“Epin lapeeeeerrr...” ujar sang buah hati yang bahkan belum bisa menyebut namanya sendiri dengan baik tersebut.

“Hahaa... Epin mau makan apa?”

“Nggak tahu... binguunng...”

“Mau telor ceplok atau nugget?”

“Nugget...”

“Baik, kalau begitu Mama buatkan dulu ya sebentar. Epin tunggu di sini dulu.”

“Iya, Ma...” Sambil memeluk kembali boneka Ultraman yang memang selalu ia bawa ke mana-mana.

Amy langsung beranjak ke dapur, yang berada di bagian belakang rumah. Ukuran ruangan memasak tersebut tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman karena langsung menghadap ke halaman belakang yang masih dipenuhi pepohonan rindang yang asri.

Ia sempat mengambil ponselnya untuk memeriksa apakah ada pesan dari sang suami yang sedang dinas ke luar kota dan belum tahu kapan bisa pulang ke rumah, atau pesanan online yang masuk dan harus ia proses. Ternyata, ponselnya tersebut benar-benar sepi bagai kuburan.

Karena itu, Amy pun langsung menuju kompor untuk memanaskan minyak di atas penggorengan dan memasukkan nugget beku ke dalamnya. Namun sambil memasak, ia tetap tidak bisa menghilangkan memori akan kejadian semalam, yang berlangsung akibat paksaan dari Pak RT mesum itu. Ia masih ingat betul bagaimana ia merasa begitu terhina saat tubuhnya dipeluk, disentuh, dan digerayangi oleh pria tua bernama Pak Karjo, yang bahkan berani untuk mengulum-ngulum bibir indahnya.

Perempuan bernama lengkap Amira Nursyifah tersebut jadi teringat kembali akan masa-masa awal ia tinggal di Cluster Kembang Arum Asri, di mana pada waktu itu ia baru saja menjalin pertemanan dengan Nisa dan Shinta. Pertemuan setiap pagi di warung sayur Bi Jum selalu menjadi saat-saat yang paling ia nantikan. Dan dari obrolan dan gosip di tempat itulah, Amy jadi mengetahui siapa itu pimpinan RT bernama Sukirman, serta pengaruhnya yang cukup besar mulai dari cluster tempatnya tinggal, hingga Kampung Growol dan Kampung Bawukan.

“Kalian sering merasa aneh nggak sih kalau ketemu Pak RT itu? Setiap kali berpapasan, tatapannya selalu aneh. Kayak gimana yaaa… mesum banget gitu, seperti kayak lagi menelanjangi kita,” ujar Nisa pada suatu hari, “matanya semacam ngelihatin dari ujung kaki ke ujung rambut, trus balk lagi ke bawah sembari senyum-senyum gaje gitu.”

“Iya, Kak. Pernah suatu hari pas saya lagi ketemu dia di depan Cluster, masa dia ngeluarin lidahnya terus diusap gitu ke bibirnya, kayak lagi bayangin yang nggak-nggak,” tanggap Shinta, “hiii… syereeem.”

“Masa sih? Kok kayaknya aku nggak pernah merasa begitu?” Jawab Amy sambil terus memilih-milih sayur yang akan ia beli dan masak di rumah. Itu adalah jawaban jujur, karena ia memang tidak pernah terlalu memperhatikan sang ketua RT tersebut.

“Ah, Amy mah agak lain. Kamu tuh nggak pernah perhatian kalau ada apa-apa. Itu kuping kalau nggak nempel di kepala juga pasti ketinggalan di rumah,” ujar Shinta meledek temannya tersebut, yang langsung disambut gelak tawa ketiganya.

Berkebalikan dengan Amy, Shinta adalah sosok perempuan yang selalu memperhatikan segala sesuatu, bahkan seringkali terkesan overthinking. Itulah mengapa saat Pak RT meminta Amy untuk mengirimkan KK, ia sudah mewanti-wanti sahabatnya sesama penghuni cluster tersebut untuk berhati-hati. Dalam hati, Amy merasa sedikit menyesal telah mengabaikan peringatan dari temannya tersebut.

“Ssssttt... Kalian jangan kenceng-kenceng kalau ngomongin Pak Man,” ujar Bi Jum dengan suara yang sangat pelan, seperti takut ada orang lain yang mendengarkan, meski sebenarnya hanya ada mereka berempat di warung sayur tersebut.

“Hmm, memangnya kenapa Bi Jum?” Tanya Amy dengan suara yang tidak kalah pelannya. Baik Nisa dan Shinta pun sama-sama mendekatkan telinganya ke arah ibu tua sang penjual sayur tersebut.

Bi Jum pun menceritakan bahwa daerah tempat Cluster Kembang Arum Asri berada sebenarnya punya sejarah panjang, termasuk kenapa saat ini terdapat dua kampung yang sebenarnya cukup berdekatan, tetapi seperti terpisah satu sama lain. Namun dalam sejarah panjang tersebut, ada peranan penting salah satu tetua yang masih hidup sampai saat ini, yaitu Prawiro Dirjo, alias Mbah Jo.

“Mbah Jo itu bukannya bapaknya Pak RT, Bi Jum?” Tanya Amy.

Leres, Mbak Amy. Dia punya tiga orang anak sedarah yang amat dikenal di kawasan ini, yaitu Sukirno, Sukirman, dan Sukirlan.”

Sang penjual sayur tersebut kemudian melanjutkan ceritanya, tentang pengaruh Mbah Jo di daerah tersebut yang kemudian menurun ke anaknya. Karena sejak kecil mendapat privilege dan penghormatan dari banyak penduduk desa, ketiga anak Mbah Jo pun tumbuh menjadi sosok yang juga ingin dihormati hingga sekarang.

Namun ketiganya punya aspirasi kehidupan yang berbeda, di mana Sukirman tertarik masuk ke politik lewat jalur RT meski akhirnya tidak kunjung naik kelas, sedangkan Sukirlan ingin menjadi pebisnis sukses tetapi uangnya selalu habis untuk foya-foya dan main perempuan. Sang kakak tertua, Sukirno, justru lebih tidak jelas lagi hidupnya karena seperti tidak mempunyai aspirasi apa pun.

“Pak Man itu sudah punya istri dan anak belum sih, Bi Jum?” Tanya Amy yang penasaran, karena ia tidak pernah sekalipun melihat pria tua itu menggandeng perempuan.

“Hahahaha...” sang pedagang sayur itu tertawa terbahak-bahak.

“Lho, kenapa malah tertawa, Bi Jum?”

“Habis Mbak Amy ini pertanyaannya aneh, mungkin karena memang kalian masih baru ya tinggal di sini.”

“Aneh kenapa?” Selain Amy, Nisa dan Shinta pun sebenarnya tidak paham arah pembicaraan Bi Jum, tetapi mereka memilih diam dan terus mendengarkan saja.

“Ya aneh, lha sudah terkenal banget kalau ketiga kakak beradik itu mata keranjang semua... Sukirno, mertuanya Mbak Intan itu, walaupun sudah punya istri dan anak, sebenarnya masih suka ke tempat pelacuran di kampung sebelah. Sukirlan apalagi, mentang-mentang masih bujangan, setiap ada kembang desa yang baru mekar pasti sudah langsung dibabat sama dia.”

“Nah kalau Pak RT bagaimana, Bi Jum? Pak RT?” Tanya Amy yang makin gemas karena Bi Jum tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

Mbok ya sabar tho, Nduk. Saya kan harus satu-satu ceritanya...”

“Ma-maaf, Bu...”

“Iya, tidak apa-apa. Kalau Pak Man itu memang tidak sefrontal adiknya Sukirlan dalam mendekati perempuan, tapi diam-diam dia sudah mempunyai dua orang istri, satu di Kampung Growol dan satunya lagi di Kampung Bawukan. Istri pertama yang di Kampung Growol sudah melahirkan dua anak, yang kedua di Kampung Bawukan setahu saya belum punya anak. Tapi...”

“Tapi kenapa, Bi Jum?”

“Tapi ya itu kan istrinya yang resmi. Cuma dia dan Gusti Allah yang tahu berapa banyak perempuan di daerah sini maupun di luar sana yang sebenarnya sudah dia cicipi, Mbak.”

“Oohhh...” Amy berusaha meresapi informasi yang baru kali ini didapatkan dari Bi Jum.

“Wah, pas kalau begitu,” tiba-tiba Shinta yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

“Pas bagaimana, Shin?” Tanya Amy.

“Ya pas lah. Pak RT kan sudah punya satu istri di Kampung Growol, terus satunya lagi di Kampung Bawukan.”

“Terus? Pasnya di mana?”

“Siapa tahu dia mau nambah satu istri lagi dari Cluster Kembang Arum Asri, hahaha... Biar komplet.”

“Haisshhh... amit-amit jabang bayiii... Mbok ya kalau ngomong itu dipikir dulu, Shintaaaa...” Protes Amy sambil mencubit-cubit lengan sahabat barunya tersebut waktu itu.

“Tahu neh, ada-ada saja kamu kalau ngomong, Shin,” ujar Nisa yang mulai menanggapi. “Tapi kalau misalnya Pak RT memang ada niatan begitu, siapa ya yang kira-kira dipilih? Hampir semua penghuni cluster sudah menikah semua kan?”

“Jangan salah, Mbak Nisa,” tiba-tiba Bi Jum kembali ikut nimbrung. “Istri kedua Pak Man itu awalnya sudah punya suami lho. Tapi kemudian mereka cerai, lalu perempuannya dinikahi sama Pak RT.”

“Wah, wah, wah... Makin seru kalau begini. Jangan-jangan di antara kita bertiga bakal ada yang jadi istri ketiga Pak Man, hahaa...” ujar Shinta dengan nada tergelak, sementara Amy dan Nisa justru langsung berpandangan. Senekat itu ya Pak Man? Keduanya merasa khawatir dengan keselamatan mereka.

“Hhhh.”

Eh? Kok bau gosong? Astagaaa!

Amy langsung tersadar dari lamunannya, dan menemukan nugget yang ia goreng ternyata sudah menghitam. Aroma gosong pun menyebar ke seantero dapur.

Astaghfirullah... Kok aku bisa seteledor ini sih...”



.::..::..::..::..::.



Setelah selesai menyuapi anaknya, Amy memutuskan untuk menyapu dan mengepel rumah sembari mengawasi sang buah hati yang tengah bermain sendirian di ruang tamu. Kemudian, berbagai pekerjaan rumah pun ia selesaikan, hingga tak sadar bahwa matahari sudah naik lumayan tinggi, meski belum sampai di puncak.

“Permisi... Assalamualaikum... Spadaaa...”

Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari luar rumah.

Amy pun bertanya-tanya siapa yang datang pagi-pagi begini ke kediamannya, karena ia sepertinya tidak mengharapkan kedatangan siapa pun. Apa jangan-jangan itu suara kurir yang biasa mengantar paket? Tapi bukankah ia tidak sedang menunggu paket apa pun? Atau mungkin suaminya tiba-tiba belanja online?

Amy langsung mengambil kerudung instan yang memang selalu ia letakkan di tempat yang mudah terjangkau di ruang keluarga, agar bisa segera dikenakan apabila ada situasi dadakan seperti ini. Dan karena daster yang ia pakai saat ini mempunyai lengan yang pendek, Amy pun tak lupa memakai sebuah cardigan untuk luaran yang juga ia gantungkan di tempat yang sama.

Alangkah terkejutnya perempuan tersebut begitu membuka pintu rumah, karena di sana sudah ada seorang pria setengah baya yang bertubuh cukup tinggi, meski posturnya sedikit kerempeng, dengan hidung pesek yang menambah kesan aneh di wajahnya yang tidak simetris. Berbeda dengan Pak Man yang mempunyai kumis kotak seperti Jojon, pria yang satu ini justru tidak memiliki kumis sama sekali, digantikan dengan beberapa janggut tipis di dagunya.

“Selamat pagi, Dek Amy yang cantik. Wah pagi ini sudah kelihatan segar sekali, bagai mentari yang menyinari cluster Kembang Arum Asri... Hehehehe...” ujar pria yang masih berdiri di teras tersebut sambil cengengesan.

Ternyata orang sialan ini yang datang. Amy menghela napas panjang.

“Mau apa pagi-pagi datang ke sini, Pak Barsono? Bukannya sesi foto-fotonya sudah selesai tadi malam?” Jawab Amy dengan ketus, sambil tetap berdiri tepat di pintu rumahnya, seperti memagari agar tidak ada seorang pun yang masuk.

“Waduh... Kok jawabnya ketus begitu sih? Nanti cantiknya cepat hilang digondol kucing lho...”

“Lebih baik Bapak to the point saja, mau apa sebenarnya datang ke rumah saya?”

“Nah, bagaimana kalau untuk yang to the point itu, kita obrolin di dalam rumah saja? Setuju kan?”

“Di sini saja, Pak. Tidak usah bertele-tele. Suami saya sedang tidak ada di rumah, akan jadi fitnah kalau Bapak masuk ke dalam.”

“Duh... Bagaimana ya? Kalau saya bicarakan di sini, dan ada orang yang lewat, nanti mereka jadi tahu lho betapa binalnya pose Dek Amy dan Pak Karjo semalam waktu di pos pendakian. Apa justru itu yang Dek Amy mau?”

Amy meneguk ludah, ia tampak bingung dengan apa yang seharusnya ia lakukan. Membiarkan pria hidung belang tersebut masuk ke dalam rumahnya, sama saja dengan membiarkan seekor macan keluar dari kandangnya. Namun di sisi lain, ia pun merasa harus berhati-hati menghadapi Pak Barsono yang memiliki banyak foto dirinya dengan Pak Karjo.

Pak Barsono bisa membaca kegelisahan di wajah Amy.

“Tadi kan Dek Amy bilang kalau suami Dek Amy sedang tidak ada di rumah? Justru bagus kan, jadi dia tidak perlu tahu keberadaan foto-foto yang saya ambil tadi malam? Hehehe... Saya cuma ingin ngobrol santai saja kok, casual gitu lho kata anak-anak jaman sekarang...”

“Tapi Pak...”

“Ahh, kelamaan mikirnya... Saya jadi pegal neh berdiri terus di sini...”

Belum tuntas proses berpikir perempuan bertubuh molek tersebut, Pak Barsono sudah terlebih dahulu menanggalkan sandal swallow berwarna biru putih miliknya di teras, dan melewati Amy yang masih berdiri di pintu.

“Ja-jangan masuk, Pak...”

Amy berusaha mencegah pria tua tersebut untuk masuk ke dalam rumah dengan cara menarik lengannya, tapi tenaga Amy jelas tak sebanding dengan Pak Barsono. Dengan mudah, pria yang biasanya mendampingi Pak RT kemana-mana tersebut pun bisa menerobos masuk.

Pak Barsono langsung bertemu pandang dengan penghuni rumah yang lain.

“Eh, ada adek kecil... Lagi main sendiri ya? Mau Om temenin nggak? Hehehe...”

“Om capa?” Tanya sang anak dengan polos.

“Om ini orang baik, yang hobinya bikin Mama kamu senang. Kamu suka kan kalau Mama kamu dibikin senang? Hahaa...”

“Cenang Om. Epin cenang kalau Mama bahagia.”

“Tuh kan, anakmu saja suka kalau Mamanya dibikin senang. Hehehe...”

“Cepat menjauh dari anak saya!!”

“Lho? Memangnya kenapa? Wong kami cuma mau main bareng kok. Hehehe...”

Amy langsung berinisiatif untuk menggendong anaknya ke dalam kamar, berusaha menjauhkannya dari pria berotak mesum tersebut.

“Kevin bobo dulu yuk di kamar, sudah siang neh.”

“Tapi Epin acih mau maiiinn...”

“Iya, nanti habis bobo Kevin bisa main lagi, sekarang Kevin istirahat dulu ya,” bujuk Amy, sembari menutup pintu kamar rapat-rapat.

Dengan telaten, perempuan tersebut merebahkan sang anak di atas tempat tidur, lalu mengelus-elus kepalanya dengan lembut. Sesekali ia menyanyikan lagu pengantar tidur yang biasa ia dendangkan demi membuat Kevin mengantuk. Dan benar saja, tak lama kemudian sang anak sudah meringkuk di pelukan Amy sambil memejamkan mata.

“Baiklah... Satu masalah kelar, tinggal satu masalah lagi yang harus aku bereskan. Berani benar si tua bangka itu membawa-bawa anakku ke dalam masalah ini,” gumam Amy pelan.

Begitu keluar dari kamar, Amy langsung clingak-clinguk mencari keberadaan Pak Barsono. Ternyata, pria tua tersebut tengah asyik mengunyah pisang goreng yang tersaji di atas meja makan, yang juga terletak di ruang keluarga. Ia tampak menikmatinya dengan lahap, seperti orang kelaparan yang sudah tidak makan tiga hari tiga malam.

“Pwiswang gworwengnya ewnak bwanget, Dwek Awmy...” Ujar Pak Barsono sambil terus mengunyah.

Dengan raut wajah yang dingin, Amy langsung mengambil kursi lain yang ada di meja makan tersebut, dan duduk di atasnya. Matanya menatap tajam ke arah pria tua tersebut, dengan sedikit bumbu amarah dan rasa jijik di dalamnya.

“Duh, serem banget tatapannya...” Lanjut pria tua tersebut setelah makanan di dalam mulutnya habis tertelan. “Jangan galak-galak begitu, nanti cepat tua lho.”

“Lebih baik langsung saja, apa sebenarnya maksud Bapak datang ke sini? Disuruh Pak RT?” Tanya Amy ketus. “Saya minta, apa pun tujuan dan alasan Bapak datang, jangan pernah sangkut pautkan dengan anak saya, dia tidak tahu apa-apa.”

“Kok jadi Pak RT sih?”

“Ya kan biasanya Bapak selalu sama Pak RT.”

“Hahaa... Begitu ya?” tanggap Pak Barsono sambil mengeluarkan cengirannya yang tidak bisa dianggap lucu.

“Jadi untuk apa Bapak ke sini?”

“Jadi begini, Dek Amy... Aduh, bagaimana ngomongnya ya.”

“Cepetaaaaannn!!”

“Iya, iya... Sabar dong. Kalau di tempat tidur pasti sukanya buru-buru juga ya? Hahaa... Nggak enak tahu, Dek. Lebih enak yang lama.”

Amy pun diam, menunggu penjelasan selanjutnya dari Pak Barsono. Perempuan tersebut seperti sudah lelah menanggapi candaan porno pria tua itu.

“Intinya, saya tidak tahu ada apa antara Dek Amy dengan Pak RT. Katanya ada perjanjian antara kalian, tapi saya juga tidak tahu perjanjiannya seperti apa...”

“Lalu?”

“Tapi karena sesi foto-foto semalam, saya jadi tidak kuat menahan ini neh,” ujar Pak Barsono sambil menunjuk ke arah selangkangannya. “Dan saya ke sini untuk meminta pertanggung jawaban Dek Amy.”

“Lho, bapak yang pengin itu, kok saya yang harus tanggung jawab?”

“Duh, jangan sewot begitu dong. Kita sama-sama ingin kejadian semalam tetap menjadi rahasia kan? Lagipula, permintaan saya tidak muluk-muluk kok.”

“Memangnya apa permintaan Bapak?”

“Saya hanya ingin merasakan berada di posisi Pak Karjo waktu sesi foto semalam. Bagaimana?”

“Maksud Bapak?”

“Ya, saya cuma ingin diizinkan untuk memeluk tubuh Dek Amy, tidak lebih.”

Amy terdiam, lama. Ia jelas sedang berpikir keras. Tidak mudah memutuskan hal yang tidak enak seperti ini. “Cuma peluk saja?”

“Iya, cuma peluk saja. Toh Pak Karjo semalam nggak sampe ngapa-ngapain juga kan? Atau justru Dek Amy lagi pengin diapa-apain? Hahaa...”

Amy pun coba berpikir apa untung ruginya apabila ia menyetujui permintaan Pak Barsono, yang sebenarnya terdengar cukup “aman”. Ia sebenarnya sudah merasa jengah apabila harus terus menerus memenuhi permintaan aneh pria-pria tua seperti Pak Barsono dan Pak Man. Namun mereka memang memegang kartu As dari Amy akibat kecerebohannya sendiri, sehingga perempuan tersebut pun tidak bisa mengelak.

“Baik...” jawab Amy dengan lirih.

“Apa tadi kata Dek Amy? Saya tidak dengar.”

“Iya, Pak. Kalau cuma peluk saja boleh,” kata-kata tersebut pun terdengar seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan di telinga Pak Barsono.

Bayangkan saja, bidadari cantik yang sudah menjadi bahan gunjingan, atau mungkin bahan coli, dari para pria di wilayang Kembang Arum kini merelakan tubuhnya untuk dipeluk olehnya. Pak Barsono sendiri sebenarnya sudah bersiap untuk melakukan cara-cara kasar apabila Amy memutuskan untuk menolak, untungnya dia tidak perlu melakukan itu.

“Nah, gitu dong. Kan jadi enak. Hehehe... Sekarang Dek Amy coba berdiri.”

“Lho, mau sekarang juga, Pak?”

“Lah iyaa... Memangnya mau kapan lagi? Nunggu suami kamu pulang? Hahaa...”

Amy menggertakan giginya tanda bahwa ia tengah merasa begitu kesal. Namun ia tetap memenuhi permintaan sang pria tua, karena waktunya memang cocok, di mana suaminya belum pulang dari dinas di luar kota, sedangkan anaknya sudah ia keloni hingga pulas. Perempuan tersebut pun bangkit dari kursi yang ia duduki.

“Meskipun dengan daster dan jilbab begini, tubuh kamu tetap terlihat bagai putri keraton, Dek Amy,” desis Pak Barsono yang juga telah berdiri, dan mulai memposisikan tubuhnya di belakang perempuan cantik tersebut.

Istri dari Ge tersebut merasakan bulu kuduknya naik, ketika Pak Barsono mulai merengkuh tubuhnya dari belakang, seperti yang dilakukan oleh Pak Karjo semalam. Meski saat ini Amy mengenakan pakaian yang berbeda, yaitu daster panjang dengan bra dan celana dalam yang masih terpasang sempurna, namun desir-desir birahi yang sudah lama tidak ia rasakan kembali bangkit ke permukaan.

Duhh, kamu sih gara-garanya Mas Ge... Kenapa lama banget sih harus ikut simposium sialan itu, mana pake meminta-minta foto seksi segala. Kan aku jadi ikutan pengin, tapi tidak ada penyaluran,” gerutunya dalam hati.

Pak Barsono mulai menyandarkan kepalanya di pundak Amy, merasakan campuran aroma sabun lavender yang selalu digunakan perempuan tersebut saat mandi, bercampur dengan sedikit keringat yang mulai muncul setelah ia menyelesaikan pekerjaan rumah. Pria tua tersebut kemudian langsung menggesek-gesekkan hidungnya di leher perempuan cantik itu.

“Aroma tubuhmu benar-benar menggoda, Dek Amy. Bikin kontol saya langsung berdiri tegak di balik celana,” bisik Pak Barsono. “Beruntung sekali suami kamu bisa menikmati wangi seperti ini setiap hari.”

Seperti tak puas hanya dengan menghirup wangi tubuhnya, Pak Barsono pun mulai mengusap-usap bagian payudara Amy yang membusung, meski hanya dari balik daster.

“Ngghhh... Saya sudah ngiri banget sama Pak Karjo yang semalam bisa remas-remas toket kamu ini secara langsung. Tapi entah kenapa, saya justru lebih suka kamu yang seperti sekarang, dengan busana yang begitu keibuan seperti ini, membuat saya jadi lebih ngaceng, Dek...”

Amy hanya bisa menggigit bibir bawahnya saat usapan demi usapan dari Pak Karjo mulai menyerbu buah dadanya. Pria tua tersebut sepertinya tidak main-main saat mengatakan bahwa dia lebih suka permainan yang lambat, karena rangsangan yang ia lancarkan memang lebih ke arah romantis. Hal itu sejujurnya membuat ibu beranak satu itu jadi mulai terbuai.

“Coba kita lihat ada apa di bagian bawah sini ya, Dek... Semalam kan saya belum sempat lihat, hehehe...”

Dengan perlahan, Pak Barsono mulai menarik ujung daster yang dikenakan Amy ke atas. Perempuan tersebut berusaha mencegahnya, tapi gagal. Senti demi senti, betis dan paha Amy yang begitu mulus dan tanpa bulu, karena selalu ia rawat demi memuaskan sang suami tercinta, mulai tersingkap. Kulitnya yang putih seperti menyinarkan cahaya yang pasti membuat semua pria jadi terpana saat melihatnya.

“Lembut sekali paha kamu ini, Dek Amy. Seperti tahu yang belum digoreng, hehehe...”

“A-apa-apaan ini, Pak!? Jangan main-main! Tadi kan bilangnya cuma peluk saja...!?” Amy coba menepis tangan Pak Barsono yang mulai nakal menggelitik bagian dalam pahanya, hingga mendekat ke selangkangan.

“Siapa sih yang bisa tahan dengan tubuh seindah kamu ini, Dek... Kalau bisa ngentotin kamu sekali saja, pasti akan jadi memori terindah bagi orang kampung seperti saya, hehehe...”

“Jangan bercanda, Pak. Tidak sudi saya membuka kemaluan saya untuk Bapak... Atau pria-pria lain yang bukan suami saya.”

“Masa sih? Kok sepertinya kamu suka saya giniin...” Tiba-tiba Pak Barsono meremas gundukan indah yang berada di balik celana dalam Amy, membuat pemiliknya terpekik.

“Nggghhh... Stooooppp, Pak. Hentikaaaann! Ini sudah kelewatan...”

“Kelewatan? Hahaa... Memangnya kamu bisa apa kalau saya kelewatan? Lebih baik kamu menikmati saja, Dek Amy,” lanjut Pak Barsono sambil memonyongkan bibirnya untuk menyentuh pipi Amy yang tembam. Pria tua tersebut tampak sudah begitu gemas dengan sosok ibu muda yang tengah ia peluk itu.

Dengan sedikit paksaan, Pak Barsono menarik celana dalam berwarna hitam yang dikenakan Amy ke bawah, hingga terlepas dari tungkai kakinya yang jenjang. Hal itu membuat jemari sang pria tua bisa langsung menyentuh pintu masuk menuju liang senggama perempuan manis itu.

“Saya tidak menyangka kalau Dek Amy yang selama ini selalu berperilaku alim di luar sana, selalu mengenakan pakaian yang tertutup, ternyata mudah becek juga ya kalau disentuh sama pria tua seperti saya. Hahaa...” ujar Pak Barsono yang bisa merasakan betapa lembabnya selangkangan Amy saat menyentuhnya.

“Hentikan Paaakk... Saya mohooonnn...”

Kepanikan yang datangnya terkesan terlambat mulai menjalar ke seluruh tubuh Amy, termasuk ke otak di mana tempat setiap manusia mengambil keputusan. Saat tubuhnya hanya dipeluk saja oleh Pak Barsono, Amy memang masih merasa aman, dan bahkan ada perasaan nyaman saat dipeluk pria tua tersebut. Namun ketika kini bagian bawah tubuhnya telah begitu terekspos, Amy pun mulai dihantui ketakutan akan kehancuran kehormatannya.

“Bukankah Dek Amy sendiri yang membiarkan saya masuk, membuat anak Dek Amy tidur, bahkan menutup semua pintu. Itu cara agar tidak ada yang akan mengganggu kita kan? Hahaa...”

“Bukan begitu, Pak... Aaaahhhhhh...”

Kata-kata Amy terputus saat jari telunjuk Pak Barsono mulai menelusuri bibir kemaluannya dari bawah sampai atas. Meski belum menerobos masuk ke dalam, tetapi hal itu sudah bisa membangkitkan hasrat birahi sang perempuan yang masih berusia muda itu.

“Saya tidak peduli dengan Pak RT yang mungkin akan menghajar saya setelah ini, karena sepertinya ia ingin menjadi yang pertama menggagahi Dek Amy. Saya rela dihukum seperti apa pun, selama bisa mencicipi memek kamu yang jempolan ini, Dek...”

“Ber-berhenti Paaaakkk... Nggghhhh....”

“Jawab dulu pertanyaan saya yang waktu itu, Dek Amy. Jadi berapa kali kamu ngeseks sama suami dalam sebulan? Hah?”

“Ngghhhh...” Amy berusaha menggeleng-gelengkan kepala demi menahan birahi, sekaligus keengganan untuk menjawab pertanyaan pria tua tersebut.

“Ayo jawab dong, Dek Amy...” ujar Pak Barsono sambil mencubit lembut bagian selangkangan perempuan bertubuh langsing itu.

“Se-Sekali, Paaaaakkk... Aaahhhhh, geli di situuuu....” Erang Amy saat merasakan jemari Pak Barsono seperti berputar-putar di bibir vaginanya, melambungkan libidonya hingga menembus batas normal.

“Ya ampuuunn... Sayang banget punya istri montok begini cuma dipake sebulan sekali. Sini saya tambahin jatahnya ya. Hahaa...”

“Sttoooppp... Paaaakkk...”

Tanpa diketahui oleh Amy, sejak tadi Pak Barsono telah melepas kancing celana panjangnya, hingga melorot ke bawah. Pria tua itu ternyata tidak mengenakan celana dalam lagi di baliknya, sehingga pentungan jumbo miliknya yang berwarna kehitaman, langsung menegak ke depan. Tanpa aba-aba, Pak Barsono pun mulai menyentuhkan batang kontolnya tersebut di bokong sang perempuan.

“Ahhhh... Apa-apaan ini, Pak!” Teriak Amy dengan ngeri, saat merasakan bokongnya didorong oleh sebuah benda tumpul yang begitu keras.

“Sudah, lebih baik kamu nikmati saja... Paling nanti malah minta nambah. Hahaa…”

“Saya mohon jangan Paaaakk... Aaahhhh…”

Setiap kali Amy mengajukan penolakan, Pak Barsono langsung membalasnya dengan cara mengusap-usap lembut bibir vaginanya, membuat sang perempuan kegelian dan tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

Amy baru sadar bahwa posisinya kini tengah berada di jurang kenistaan. Ia berusaha berontak, tetapi dekapan Pak Barsono di tubuhnya semakin kencang. Ia tidak bisa berkutik, bagai ayam jago yang sudah kehilangan taji. Ia kembali mengulang setiap pilihan yang ia ambil sebelum ini, dan menyesalinya.

Pipinya kini mulai sembab akibat air mata yang mulai mengalir, sedangkan wajahnya terdongak ke atas, melihat langit-langit rumah tempat ia membina bahtera rumah tangga dengan sang suami tercinta. Dan di tempat yang sama, pagar ayu-nya sebagai seorang istri sebentar lagi akan diterobos oleh pria tua mesum yang tengah mengarahkan batang penisnya ke pintu liang surgawi milik Amira Nursyifa.

“Hhh… hhh… hhh… Ahaaaaaaaaakghhhh!!”

Tubuh Amy melonjak, matanya terbuka lebar. Tidak. Tidak. Tidaaaaak!! Ia merasakan sesuatu yang asing menyeruak masuk ke dalam bibir surgawinya. Sesuatu yang berujung gundul, sesuatu yang tak berhak, dan tak diinginkan.

Semua kehidupannya bersama Ge dan kehidupan rumah tangganya yang tenang tanpa gangguan terbersit dalam bayang yang tak berkesudahan. Dengan ini rumah tangganya yang indah dan bahagia… hancur sudah semuanya!

“Bagaimana rasanya, Dek Amy? Enak bukan?”

I-ini tidak akan muat. Tidak akan muat!! Terlalu besar!!

Amy menjerit.





BAGIAN 10 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 11



NEXT WEEK : Shinta yang Menggemaskan
IN TWO WEEKS : Maya Bermula
 
semangat terus hu untuk berkarya di forum ini, andai suhu seperti ente udah gak mau lagi berbagi karya disini, pasti forum ini akan rugi besar, karena penulis macam suhu membuar cerita panas gak terkesan murahan, penuh drama dan membangun hasrat bagi para pembaca, isi cerita ditambah penyajian tulisan sangat teratur dan sesuai kaidah penulisan profesional, jadi sangat enak dan memanjakan imajinasi pembaca...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd