Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 9
JIWA YANG TAK TERJAGA




“Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua, dalam doa.
Hingga khilaf menyentuh terasa bergetar ku berlalu.
Saat terasa waktu tlah hilang, ku terdiam.
Saat hanya gundah yang bertentangan, ku bernyanyi.
Cinta cita harapan dan ku terbawa dalam kisah yang lama.”

“Tentang Aku”, Jingga








.:: PAGI DI LERENG GUNUNG MANDIRI



Khoirunnisa Ramadhanti
sudah terbangun sejak subuh hadir.

Seperti halnya pagi yang lain akhir-akhir ini, ia melakukan sambungan video call dengan sang suami yang saat ini tengah berada di Manado untuk kegiatan kampusnya. Tapi lain dari biasanya, wajah manis Nisa terlihat cemberut di depan layar ponsel. Pagi-pagi sekali ibu muda berparas ayu itu sudah harus menghadapi kabar buruk.

Kabar buruknya adalah Haris harus menunda kepulangannya. Sang suami berulangkali meminta maaf karena harus tinggal lebih lama dari jadwal semula.

Jadi begitu ceritanya, Mi,” wajah Haris terlihat lesu, “Aku tidak mungkin pulang hari ini, karena ternyata harus menghadiri acara sarasehan yang mendadak diadakan di Manado.”

“Yaaaaah, jadi Abi pulangnya mundur gitu? Kok bisa sih? Kan Abi sudah janji mau pulang besok. Mau ngapain sih lama-lama di sana? Kecantol cewek Manado yah? Cewek sana kan manis-manis, putih-putih. Ummi gak ada apa-apanya.”

Yaelaaaah, Ummi kayak ga kenal Abi aja. Mana ada wanita lain yang bisa hadir di hati Abi kecuali Ummi yang semanis gulali dan setajam silet?

“Hihihi. Gombal ah! Justru karena sudah sangat kenal, makanya jadi sebel sama Abi. Udah tau ditungguin, eh malah mundur pulangnya. Gimana sih Abi selama ini? Apa ga sadar apa kalau dikangenin?”

Ish, so sweet. Akhirnya ngaku juga, jadi selama ini Ummi kangen banget ya sama Abi?” terdengar suara Haris berubah menjadi ceria mendengar kerinduan sang istri kepadanya.

“Idih. Jangan asal nuduh yaaa. Noh anak-anak yang nanyain terus kapan Abi pulang, kalau Ummi mah sudah biasa di-php-in sama Abi,” ucap Nisa. Tentu saja dia juga merindukan sang suami. Malam-malamnya terasa sepi tanpa sang tambatan hati.

Oh anak-anak…” Haris tersenyum di layar ponsel Nisa, dia tahu Nisa kadang enggan menyampaikan perasaan dan apapun yang ia rasakan secara verbal, memang sudah begitu dari sananya, Nisa bukan orang yang akan terus terang mengucapkan kerinduan, “Ummi sama sekali ga ada kangen-kangennya sama Abi gitu?”

“Hmm, gimana yah? Enaknya ada atau nggak?”

Gimana hayooo. Siapa tahu kalau Ummi bilang kangen sama Abi, Abi pulangnya bisa lebih cepet?”

“Idih. Dari tadi aja udah minta maaf melulu karena ga bisa pulang, kok tiba-tiba bisa berubah pikiran. Mana ada yang seperti itu, Bi. Udah ah, Ummi ga mau ngomong apa-apa lagi. Capek diboongin melulu sama suami.”

Haris tertawa, “Hahahaha. Iya juga ya, Mi. Yaaaah mau gimana lagi. Namanya juga tugas dari yayasan, mana bisa Abi menolak. Apalagi sudah turun surat SK-nya. Kata Pak Rektor, karena sekalian mumpung Abi sedang tugas di sini. Intinya sih menjalin kerjasama gitulah, pertukaran pembicara antar kampus. Kan lumayan, Mi… modal portofolio buat Abi S3 nanti.”

Nisa sebenarnya paham tugas sang suami, tapi akhir-akhir ini entah kenapa rasa kesepian itu amat menuntut dan Nisa perlahan-lahan mulai tidak tahan. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali terakhir kali ia dipeluk dan bermain cinta dengan Haris. Bagaimanapun, dia juga wanita biasa yang ingin dicinta dan mencinta, wanita biasa yang rindu pada sang suami yang selalu memujanya.

Lagipula selain Yuna, Ummi kan sudah punya teman baru di sana sebagai pengganti Abi. Bisa diminta tolong kalau butuh bantuan. Orangnya handal kok.

“Hah!? Siapa?”

Mang Juki kan siap buat jagain Ummi selama Abi di Manado,” seloroh Haris tentunya dengan maksud hendak bercanda.

Jelas saja Nisa langsung sewot dengan wajah memerah, “Ish! Apaan sih Abi! Becandanya ga lucu tau! Enak aja jagain Ummi. Tidak perlu dijagain! Sudah mandiri!”

Haris tertawa terbahak-bahak, “Iya, iya… dih ini cuma becanda aja, Mi. Habisnya kalau Ummi cerita soal Mang Juki biasanya kayak sebel banget begitu. Padahal dia kan orang baik.

Nisa hanya mencibir. Setiap dia teringat kejadian dengan Mang Juki, wajahnya langsung memerah, dia tidak ingin membicarakan apapun mengenai hal itu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Biar saja menjadi aib yang tak perlu terulang, tak perlu dikenang, dan tak perlu diingat lagi.

Nisa langsung mengubah topik, dia tidak suka berbicara mengenai Juki, “Ya udah, Abi selesain tugas dulu di sana tidak apa-apa. Asal jangan lupa pulang dan ingat kalau Abi punya anak dan istri di rumah yang menunggu. Jadi jangan main gila ya.”

Ya sudah pasti ingat lah.”

Nisa tersenyum sangat manis kepada sang suami, ia membentuk bibirnya seperti ciuman, “sayang Abi.”

Sayang Ummi. Sampaikan salam ke anak-anak. Setelah pulang nanti kita jalan-jalan. Bagaimana?”

“Siap.”

Setelah ucapan salam dari keduanya, sambungan telepon kemudian ditutup.

Nisa mendesah. Ibu muda jelita itu memejamkan mata sembari meletakkan kepalanya kembali ke bantal. Ya Tuhan, kenapa Mas Haris tidak pulang? Dia benar-benar kesepian di sini. Tidak tahukah dia betapa Nisa merindukan sang suami?

“Ummi? Kakak laper,” terdengar lirih panggilan si sulung di ujung pintu kamar. Gadis kecilnya memanggil dengan suara yang lucu.

Nisa buru-buru membuka mata dan bangkit dari pembaringan, ia melihat Ceny sedang berdiri di samping pintu, memeluk teddy bear yang amat panjang sehingga kaki boneka itu menyentuh lantai.

“Laper ya, sayang? Duh kasihannya. Tapi ini masih pagi, sayang. Tempat belanja belum buka, tukang sayur keliling pasti belum ada. Mau Ummi bikinin sereal dulu?”

Ceny sang sulung mengangguk.

Nisa pun tersenyum, Ia membentuk rambut panjang lurusnya menjadi gulungan bun kecil, dan melangkah ke arah sang putri yang masih bersandar di pintu. Ia lantas menggandeng putri kesayangannya itu menuju ke dapur.

“Kakak mau maem yang mana? Jagung? Warna-warni? Coklat?”

“Coklat aja, Mi.”

“Siap.” Nisa tersenyum sembari menyentil hidung sang putri dengan ujung jari. Ia melirik ke arah jendela, sinar mentari belum lagi bersinar, pertanda pagi masih belum menyapa seutuhnya.

Meskipun tidak berukuran besar, dapur Nisa didesain seperti dapur modern yang dilengkapi dengan island berkompor listrik di tengah ruangan dan meja makan tak jauh dari posisi ia memasak. Sementara berbatas dinding, ada wastafel lebar dengan jendela mengarah ke taman kecil di belakang. Untuk ukuran sebuah rumah cluster di lereng gunung, dapur Nisa bisa terbilang cukup lumayan.

“Abi hari ini pulang ya, Mi?” tanya Ceny yang duduk di tepian island dapur, “Aboy sebelum tidur menangis mencari-cari Abi.”

“Abi masih agak lama, sayang. Kan baru kerja. Kalau sudah pulang nanti, kita berempat jalan-jalan ya. Mau tidak?” Nisa membuka lemari penyimpanan di samping kulkas, dan mengeluarkan sekotak sereal.

“Asyik… mau dong, Mi.”

Nisa menuang cereal coklat ke dalam bowl yang ia ambil dari rak piring, lalu membuka kulkas untuk mengambil sekotak susu kemasan. Ia mencampurkan susu ke dalam mangkuk sereal yang sebelumnya sudah disiapkan. Setelah selesai mengembalikan susu ke dalam kulkas, Nisa mengambil sendok dan mendorong mangkuk itu ke Ceny.

Monggo, Den Ayu.”

“Hihihi… Ummi manggil kakak masak Den Ayu. Hihihi…”

Gadis mungil itu pun menikmati hidangan yang sudah disajikan sang bunda. Nisa duduk di depan Ceny sembari membuka buku resep peninggalan sang Mama yang ia simpan di laci yang ada di sisi island. Masak apa hari ini ya? Daging-dagingan? Gorengan? Atau healthy food saja?

Ding.

Ada pesan singkat masuk ke ponselnya. Nisa merogoh ke dalam kantong piyama yang ia kenakan dan mengambil smartphone-nya. Kenapa lagi ya si Abi? Kok tiba-tiba saja kirim message?

Karena terburu-buru, Nisa tak menengok ke layar notifikasi, padahal seandainya dia sempat memeriksanya, maka di sana dia akan melihat kalau pesan singkat itu bukanlah dari Haris sang suami. Pesan singkat itu dikirim oleh nomor asing tak dikenal yang ternyata mengirimkan deretan gambar pada Nisa.

Baru setelah membuka layar WhatsApp, Nisa tahu pesan singkat itu dikirim oleh nomor asing. Biasanya dia akan cuek dan tidak membuka pesan seperti itu. Tapi sialnya, kali ini dia terlanjur memencet dan aplikasi itu pun terbuka.

Siapa sih pagi-pagi begini kok sudah

Sembari mengerutkan kening kaerna penasaran, ibu muda itu mengusap layar smartphone-nya, dan membuka aplikasi pesan singkat. Deretan gambar yang kemudian muncul membuat Nisa tertegun. Butuh waktu sebelum semua gambar itu terunduh secara sempurna.

Hahhh!? Gambar-gambar ini… bukankah ini gambar…!?”

Nisa terkejut!!

Matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar tanpa suara, tangan kiri berusaha menutup mulutnya, dan tangan kanan melemparkan ponsel itu menjauh darinya. Ponsel itu terlontar ke sofa yang tak jauh dari island tempatnya berada bersama Ceny.

Si-siapa yang mengirimkan gambar tak senonoh itu padanya!?

“Ummi?” tanya Ceny keheranan, melihat bundanya kaget, putri sulung Nisa itu tentunya juga ikut kaget, “Ummi kenapa?”

“Ti-tidak apa-apa. Ummi tidak apa-apa, sayang.”

Ceny turun dari kursi dan melangkah menuju sofa. Rasa penasaran membungkus gadis cilik itu, dia hendak mengambil ponsel yang baru saja dilemparkan oleh Nisa, “Ummi takut lihat apa sih? Kakak ambilin yah.”

“Ja-jangaaan!” Nisa buru-buru berlari menuju sofa, mendahului Ceny, dan mengantongi smartphone-nya kembali.

“Ummi?” Ceny terheran-heran. Tidak seperti biasa, sang bunda yang sehari-hari terlihat tenang, kini panik dan kebingungan.

Sambil mengatur napas, Nisa mencoba tersenyum pada anak tertuanya, “Ummi tidak apa-apa, sayang. Hanya kaget saja. Sudah, Kakak habiskan serealnya, ya. Setelah itu jangan lupa sembahyang dulu. Ummi tunggu di sini.”

Ceny mengangguk dan menuruti semua perintah sang Bunda. Ia kembali ke island dan dengan lahap menyantap sereal yang belum habis ia makan. Ceny masih sesekali melirik ke sang bunda yang terlihat tidak nyaman.

Nisa memang sedang tidak nyaman, sama sekali tidak nyaman. Dia baru saja mendapatkan kiriman pesan singkat yang tidak senonoh. Lima pesan singkat berupa gambar datang beruntun, dan langsung membuatnya geregetan.

Ia mendapatkan kiriman gambar-gambar penis.

Gambar-gambar itu sebenarnya ingin langsung ia hapus, tapi ia menundanya. Bukan karena apa-apa, meskipun Nisa merasa jijik tapi rasa penasaran menghentikan niatnya untuk menghapus. Nisa bisa saja menghapus pesan jorok dan merendahkan seperti ini, tapi dia ingin tahu siapa pelakunya. Siapakah yang mengirim foto-foto ini kepadanya? Bagaimana dia bisa mengetahui nomor WhatsApp Nisa?

Nisa meneguk ludah dan mencoba mengamati gambar yang sungguh tidak ia inginkan itu.

Entah siapa yang mengirimkan foto-foto ini padanya, tapi sepertinya ini berasal dari penis yang sama. Besar, berotot, hitam, penuh dengan urat melingkar seperti tali tambang, ujung gundul yang tidak rapi dan batang yang memiliki tonjolan-tonjolan mengitari. Bukan penis yang normal dan bersih seperti milik Haris.

Jijik sekali! Cih. Kurang ajar betul! Siapa yang berani-beraninya!?

Wajah Nisa memerah karena cukup lama dia melihat penis yang sepertinya lebih besar dari milik Haris itu. Dia bukan wanita petualang dan hanya pernah tahu batang kejantanan milik sang suami saja – dan milik Mang Juki.

Nisa menghela napas panjang. Nomer pengirim gambar itu tidak dikenal dan tidak tersimpan di deretan daftar nama di kontak ponselnya.

Ini bisa siapa saja.

Ibu muda itu jelas merasa ketakutan.

Nomer siapa ini ya?

Tiba-tiba ponsel yang sedang berada di tangannya berdering. Jelas Nisa makin kaget. Di layar hapenya kini tertera nomer asing yang tadi mengirimkan foto-foto vulgar. Bukannya segera ditutup, Nisa secara tidak sengaja justru menekan tombol terima.

Heheheh…”

Terdengar suara kekehan seorang pria di ujung sana.

Kenalkah Nisa dengan suara itu? Dia harus memancingnya berbicara, “Heh! Jangan kurang ajar ya! Kamu kirim apa ke aku? Siapa kamu? Pagi-pagi begini kok sudah bikin ulah!?”

“Ummi?” Ceny menatap bundanya dengan sedikit ketakutan.

Menyadari ada sang putri di hadapannya, Nisa melirihkan suaranya, “Siapa kamu!?”

Heheheh…”

“Kurang ajar!”

Suatu saat nanti, Nisaku sayang. Kontolku akan menjajah memekmu, kontolku akan meraja di liang cintamu, akan membuatmu mendesah keenakan, akan membuatmu merasa dicinta, dan kamu memintaku memperkosamu dengan sekasar mungkin karena kamu akhirnya merasakan arti kenikmatan yang selama ini gagal diberikan oleh suamimu.”

Orang itu sudah mulai banyak bicara, tapi Nisa masih belum mengenali suara sang pria. Geram sekali rasanya ibu muda jelita itu, apalagi kata-katanya juga vulgar dan menjijikkan. Orang ini tidak pantas diberi panggung!

Bagaimana menurutmu bentuk kontolku? Menggairahkan bukan? Kamu ingin menyentuhnya, menciumnya, dan menghisapnya, kan? Apakah kamu ingin menjilatinya lama-lama sampai basah dan memasukkannya ke…”

Klk.

Nisa menutup sambungan teleponnya. Dengan menahan amarah yang sudah menumpuk, Ibu muda itu memejamkan mata sembari meletakkan kepalanya ke belakang, bersandar pada bantalan yang ada di sofa. Ia menghela napas panjang. Siapa orang ini? Kenapa dia mengganggu kehidupannya yang tenang? Nisa tak habis pikir ada orang yang sedemikian jahat.

“Ummi?” Ceny duduk di samping sang Bunda.

“Eh, Kakak!?” Nisa baru menyadari kalau sejak tadi Ceny melihat kepanikannya saat menghadapi teror, “su-sudah habis makanannya?”

Ceny mengangguk. Nisa mengelus dahi sang putri dan melirik ke arah island. Oh iya, makanannya sudah habis.

“Ya sudah sekarang Kakak ke kamar dulu ya, Ummi cuci mangkok sebentar.”

Ceny mengangguk dan menarik boneka beruangnya kembali ke kamar. Sesekali bocah kecil itu melirik ke arah sang Bunda.

“Ummi marah?”

Nisa tersenyum dan menggeleng, “Tidak, sayang. Hanya mengantuk saja. Sudah sana Kakak kembali ke kamar.”

Ceny berlari kecil menuju ke kamarnya.

Nisa melangkah menuju ke wastafel dan mencuci mangkok yang tadi digunakan oleh sang sulung. Ia berulang kali memejamkan mata, tak sanggup menghapus image menjijikkan yang baru saja ia lihat. Ia tidak ingin mengingatnya, sungguh tidak ingin, tidak mau, tidak berminat, tidak membutuhkan.

Meskipun memang harus diakuinya, walaupun menjijikkan, penis itu sangat besar.

Ia baru-baru ini mengetahui seberapa besar milik Mang Juki, tapi sepertinya yang ini jauh lebih besar lagi, apalagi dibandingkan dengan milik Mas Haris.

Punya siapa?



.::..::..::..::..::.



Pagi yang sibuk.

Saat anak-anaknya tengah bermain di belakang, Nisa menyiapkan sarapan dan snack ringan untuk kedua buah hatinya. Ibu muda jelita itu harus memastikan makanan selesai dimasak dan dihidangkan untuk anak-anak sebelum dia berangkat pergi.

Selain urusan anak-anak, Nisa juga sudah menyelesaikan tugas hariannya. Semua baju sudah selesai dicuci dan dijemur, sementara rumah sudah benar-benar rapi dan bersih karena ia pel dan sapu pagi ini.

Kalau sudah selesai beraktivitas begini, barulah ibu muda mungil berparas manis itu bisa sejenak bersantai. Apalagi Yuna sang tetangga sudah datang untuk bantu menjaga kedua buah hatinya.

Sebentar lagi Nisa akan turun ke kaki Gunung Mandiri untuk menengok Nisa Cakes – kios kue miliknya yang tengah dijaga oleh Aida sang keponakan, untuk itu dia harus menyiapkan motor dan barang-barang yang hendak dibawa turun. Wanita bertubuh mungil itu melangkah ke halaman luar rumah dan mengeluarkan motornya dari dalam garasi.

“Pagi, Mbak.”

“Selamat pagi.”

Suara ramah yang menyapa langsung membuat Nisa membentangkan senyuman manis di bibir tipisnya dan membalas dengan sapaan juga. Ternyata yang menyapa Nisa adalah sepasang suami istri muda yang tengah berjalan-jalan pagi berkeliling cluster beriringan bersama dengan anak mereka.

Nisa belum pernah melihat pasangan ini sebelumnya. Apakah mereka tamu atau penghuni baru? Semalam sih Nisa melihat ada truk yang masuk membawa barang-barang dan peralatan rumah tangga, jadi sepertinya baru ada yang pindah rumah. Kebetulan memang ada rumah yang sudah lama kosong di lokasi paling ujung cluster.

Tapi karena masih belum kenal dan baru saling menyapa, tak ada percakapan antara pasangan itu dan Nisa.

Nisa memasang standard dan menyalakan motor Vespa matic-nya. Suara dengungan kecil terdengar sebelum akhirnya mesin motor itu menyala dengan lembut. Ibu muda jelita itu memang selalu rajin merawat motornya dengan perhatian.

Nisa menoleh ke kanan dan ke kiri. Kayaknya ada sesuatu yang kurang. Apa ya? Oh iya. Kalau pagi begini – biasanya Mang Juki sudah nongol tanpa diundang. Hari ini kok tidak terlihat batang hidungnya ya? Kemana dia?

Tumben.

Eh, tapi kenapa juga mikirin? Justru seharusnya Nisa bersyukur kalau mamang-mamang arogan itu tidak nongol. Karena dengan begitu tidak ada kesempatan bagi pria tua itu untuk menggoda Nisa seperti yang sebelum-sebelumnya dia lakukan. Risih rasanya Nisa menanggapi godaan gombal semacam itu.

Tapi… kemana dia ya? Apakah dia sakit? Mengerjakan proyek tempat lain? Atau…?

“Selamat pagi, Nisa cantik.”

Nisa tertegun. Siapa yang menyapanya? Mang Juki? Ibu muda itu menengok dan menemui Pak Hamzah berdiri di dekat pagar rumah Nisa. Pria tua itu mengenakan baju olahraga, demikian pula pria di sebelahnya – Pak Santo.

“Eh, pagi juga Pak Hamzah. Pak Santo.”

Kedua pria itu mengangguk hampir bersamaan, Pak Hamzah tersenyum lebar sementara Pak Santo hanya diam membisu.

“Bapak-bapak habis dari mana nih kok pakai baju olahraga? Habis dari badminton di lapangan depan, Pak?” tanya Nisa kepada Pak Hamzah.

“Betul sekali. Kok Nisa bisa tahu?”

“Ya sekedar tebak-tebak aja sih, Pak. Kok sampai siang begini?”

“Iya, kebanyakan ngobrol sampai lupa waktu dengan Bapak-bapak yang lain. Kapan-kapan ikut yuk. Daripada Nisa sendirian di rumah mending ikut kami olahraga di lapangan. Ibu-ibu yang lain kan juga banyak di sana, ngajak anak juga boleh. Kalau Nisa ikut, suasana pasti jadi lebih cerah karena ada bidadari dari khayangan yang ikut berolahraga, wah pasti heboh dan seru. Bapak-bapak yang main bulutangkis juga bakal jadi lebih semangat. Betul tidak Pak Santo?”

Pak Santo hanya mengangguk kecil dan menatap Nisa tanpa berkedip.

“Bisa aja Pak Hamzah,” Nisa tertawa kecil, “tapi boleh juga sih, Pak. Kapan-kapan deh saya dan anak-anak atau mas Haris ikut olahraga..”

“Ya udah, kami lanjut jalan lagi ya, Nisa cantik,” Pak Hamzah pamit.

“Mari…” Pak Santo mengikuti.

“Silakan Bapak-bapak, salam buat istri.”

Kedua orang itu pun berlalu meninggalkan Nisa yang mematikan motor yang sejak tadi ia panasi. Rasa-rasanya sudah cukup. Nisa hendak menyiapkan hal-hal lain sebelum berangkat ke Nisa Cakes.

“Sudah mau berangkat aja, Neng.”

Ma-Mang Juki? Oh, bukan.

Nisa menengok ke arah belakang dan seperti kemarin saat ia membutuhkan bantuan untuk membuka pintu garasi, sekali lagi ia melihat sosok seorang pria tua yang mengenakan peci butut, kaos bola warna merah, celana olahraga, dan sarung yang warnanya sudah memudar dislempangkan ke pundak.

Pria yang sudah sepuh itu memiliki kulit wajah yang keriput sehingga garis-garis wajahnya terlihat jelas. Rambut dan kumisnya yang putih beruban dengan matanya terpicing setiap saat sehingga dari jauh hanya terlihat segaris saja.

“Eh, Uwak Sobri. Habis jalan-jalan pagi keliling kompleks ya?” sapa Nisa ramah, “luar biasa memang Uwak ini. Selalu jaga kondisi jadi awet muda dan terlihat sehat.”

Maknyeeeees, diajak senyum oleh seorang bidadari seperti Nisa membuat Uwak Sobri jadi merasa adem dan bersemangat pagi ini. “Iya nih, Neng. Maklum sudah tua jadi harus giat olahraga biar kondisi badan selalu segar.”

“Mantap deh, Uwak.” Nisa mengangkat jempol tangannya sembari menebar senyuman yang memamerkan deretan gigi rapi berwarna putih bersih. Memang mempesona si Nisa ini, pantas saja banyak yang mengidamkannya karena dia adalah sosok seorang pasangan yang lengkap dari A sampai Z, tidak hanya ayu, tapi juga suportif, dan mudah bergaul dengan siapa saja.

“Mau jalan ke kios, Neng?” Uwak Sobri berjalan mendekat ke arah Nisa yang masih memanasi motornya, “udah mendung tuh. Takutnya nanti hujan.”

“Iya nih, Uwak,” Nisa menatap langit, “mungkin saya tidak akan lama-lama di kios. Banyak jemuran. Takut baju anak-anak tidak kering, hihihi.”

“Oalah hahahaha.” Uwak Sobri tiba-tiba teringat sesuatu, “Eh iya, kalau tidak salah semalem ada paket buat Neng deh, datengnya malem banget abis jam sepuluh. Ojek online-nya nitip ke saya karena katanya buru-buru takut kemalaman di jalan. Katanya sih sudah nelpon ke Neng gak diangkat-angkat.”

Nisa mengerutkan kening, “Paket? Paket apa ya, Wak?”

“Lah, saya mana tahu, Neng. Pan cuman dititipin doang.” Uwak Sobri mengangkat bahu.

Perasaan Nisa tidak pernah memesan apa-apa atau menunggu kiriman dari siapapun. Kalau terkait dengan bahan makanan dan keperluan masakan selalu langsung dikirim ke kios, bukan ke rumah. Termasuk paket untuk endorse pakaian, makeup, dan lain-lain juga dikirim ke kios.

“Mau diambil, Neng? Takutnya paket penting.”

“Mmmh… saya ga merasa beli sesuatu deh, Wak. Ga ada yang kasih tahu juga kalo ngirim sesuatu. Lagian kalo pesen kan langsung ke rumah, bukan dititipin di rumah orang lain. Aneh banget.”

“Ya mana saya tahu, Neng. Benernya malam itu juga saya bawa ke sini, tapi udah gelap gitu, jadi saya tunda. Eh malah pagi ini kelupaan bawa. Untung ketemu Neng Nisa yang cantik cerah ceria jadi inget lagi.”

“Hmm.”

“Jadi gimana, Neng?”

“Ya udah nanti aja saya ambil, Wak. Sepulang dari kios, mungkin menjelang sore. Kalau sekarang saya harus siap-siap dulu. Boleh?”

“Siap, Neng. Nanti kita ketemu lagi.”

Uwak Sobri merasa sangat beruntung.



.::..::..::..::.



.:: KETIKA SIANG DATANG



Nisa memarkirkan motornya tepat di depan toko rotinya. Wanita berparas manis itu melirik ke arah smartwatch-nya yang mungil dan berwarna merah muda.

Pukul satu tepat.

Pantas saja panas banget.

Ia menyeka dahi dengan punggung tangan untuk menyapu keringat yang telah leleh, hari ini benar-benar panas sekali – padahal pagi tadi mendung menggantung di langit Kembang Arum Asri. Begitu mudahnya alam berubah, bagaikan membalik telapak tangan.

Saat masuk ke dalam Nisa Cakes, suasana begitu sepi dan senyap – tumben sekali tidak ada yang menyapanya. Sesaat kemudian barulah ia melihat kalau sang keponakan sedang duduk melamun di pojok ruangan. Tatapannya kosong dan wajahnya pucat.

Nisa mengerutkan kening. Dengan anggun wanita berparas ayu itu mendekati sang keponakan, “Aida?”

Tidak ada jawaban. Pandangan Aida masih kosong.

“Aida, kamu kenapa?” Tepukan di bahu dan lembut dari sang Tante ternyata justru mengagetkan. Tubuh Aida sampai loncat. Buru-buru Aida menoleh ke arah sumber suara.

“Eh, Tante Nisa, hehehe.”

Senyum canggung terpaksa Aida keluarkan. Ia tak mau tantenya yang sangat ia sayang itu mengetahui apa yang sedang dirinya pikirkan sekarang.

Melihat keponakan cantiknya tersenyum canggung. Ibu muda yang memiliki paras jelita itu pun mendekat lalu duduk di bangku kosong yang berada di sebelah Aida. Aida lekas menggeser tempat duduknya sejenak. Kedua bidadari cantik itu pun duduk berjejeran di tempat duduk di toko roti mereka yang aslinya disediakan untuk pelanggan.

“Kamu lagi mikirin apa, Da? Tante boleh tau ga?” Tanya Nisa dengan memasang senyum ramahnya.

Aida menoleh sekilas. Ia tersenyum kecil sebelum menundukkan wajah ayunya kembali.

Melihat keponakannya bersikap seperti itu membuat Nisa merasa khawatir. Ia lekas memeluknya lalu mengelus-ngelus lengannya dengan kasih sayang.

“Aida, apa kamu mau istirahat dulu? Kayaknya masalah kamu lagi berat deh. Gapapa kalau Tante ga boleh tau. Tapi seenggaknya, kamu cerita ya ke orang yang paling kamu percaya. Jangan dipendam semua sendiri. Itu ga baik. Nanti kalau kamu pendam semuanya sendiri, terus kamu ga kuat. Yang ada kamu stress dan itu bisa meledak, jatuhnya tidak baik. Tolong ungkapin masalahmu ya nanti.” Nisa lekas memberikan nasehat kepada keponakan kesayangannya. Ia tahu kalau Aida bukan gadis yang suka dipaksa kalau ada apa-apa. Ia lebih suka memberikannya perhatian.

Beruntung, langkahnya berhasil. Tiba-tiba Aida menangis.

“Sayaaaaang,” Nisa lekas memeluknya dengan erat. Aida pun membalas pelukan Tantenya. Ia menyandarkan tubuhnya ke arah wanita mungil itu. Ia pun melampiaskan semua emosinya dengan menjatuhkan air mata sebanyak-banyaknya.

Tak banyak kata yang terungkap. Tak banyak kata yang terucap. Tak banyak kata yang keluar dari lisan manisnya yang membuat Nisa urung tahu mengenai masalah yang dialami oleh keponakannya itu.

Aida hanya terisak-isak. Nisa pun terus menenangkannya dengan mengelus-ngelus punggung Aida. “Udah gapapa. Kamu kuat kok, Da. Kamu kuat. Udah tuntasin aja dulu. Luapin semua emosimu itu,” kata Nisa yang membuat tangisan Aida semakin kencang.

Aida menguatkan pelukannya. Rasanya begitu nyaman ketika dapat melampiaskan rasa kesalnya gara-gara kejadian semalam.

Cukup lama Aida menangis hingga perlahan dirinya mulai tenang kembali.

“Tan-tante. A...ku, min...ta maaf,” ucap Aida lirih di sela isak tangisnya.

“Hmm? Minta maaf? Kok minta maaf? Kenapa memangnya?” Nisa bertanya-tanya.

“Gapa...pa, a...ku cuma ma...u, minta ma...af ke tante.”

Seketika nangisnya mulai kejer lagi. Ia menyesal karena sudah menyeret nama sang Tante yang baik dan bagaikan bidadari itu ke dalam masalah pribadinya.

“Udah-udah gapapa. Iya Tante maafin. Udah kamu tenang dulu ya. Jangan dipikirin lagi,” kata Nisa terus menenangkannya. Ia sebenarnya masih belum paham apa masalah Aida, tapi Nisa berusaha untuk terlebih dahulu meredakan kesedihan Aida.

“I-iya tan...te” Aida mencoba tenang. Ia pun mengusap air matanya di tengah pelukan Tante kesayangannya.

Setelah merasa baikan. Ia melepaskan diri dari pelukan tantenya. Aida masih menyeka air matanya menggunakan kedua tangannya. Sedangkan Nisa hanya tersenyum sambil berharap keponakannya itu mau menceritakan apa yang terjadi kepadanya.

“Gimana, udah baikan?” Tanya Nisa sambil tersenyum ramah.

“Iya, Tante. Makasih.” Jawab Aida sambil menunduk ke arah depan tanpa berani menatap wajah tantenya.

“Iya. Sama-sama.” Jawab Nisa tersenyum.

“Tante…” kata Aida terhenti.

“Iya, ada apa Aida?” Nisa menjawab. Ia senang, mungkinkah keponakannya ini akan bercerita kepadanya?

“Aku boleh cuti ga hari ini? Aku ga bisa fokus kerja dari tadi, Tante,” ucap Aida yang membuat Nisa khawatir.

“Oh. Iya boleh. Ya bolehlah sayang. Gapapa kamu istirahat dulu. Kamu tenangin dulu dirimu ya.” Ucap Nisa dengan lembut.

“Iya Tante makasih.” Jawab Aida yang lekas bangkit sambil menyeka air mata yang tersisa di wajahnya.

Nisa hanya mengangguk. Ia pun meratapi kepergian Aida yang terlihat buru-buru meninggalkan Nisa Cakes.

Setelah Aida menghilang dari pandangannya. Senyum yang ada di wajah Nisa tadi memudar. Terlihat ekspresi wajah khawatir dari sang ibu beranak dua itu. Tak seperti biasanya Aida bersikap seperti ini. Biasanya, kalau ada apa-apa pasti Aida akan bercerita, termasuk masalah percintaan ataupun keuangan. Tapi, kali ini? Aida sama sekali tidak bercerita. Ada apa?

“Semoga kamu baik-baik aja, Aida.” lirih Nisa berucap sembari menatap kosong ke arah pintu keluar toko rotinya.

Setelah mendesah panjang, Nisa pun mulai berkegiatan.

Berhubung Aida minta cuti, maka hari ini Nisa yang akan menggantikan Aida menjaga toko. Ibu muda itu pun segera menelpon Yuna sang tetangga untuk bisa menjaga Ceny dan Abay lebih lama lagi, tentu saja Yuna tidak keberatan. Tepat setelah Nisa menutup telpon dengan Yuna, lonceng pintu berdenting.

Seorang pria masuk sembari tersenyum lebar, “Selamat siaaang, Aidaaaa. Eh? Lho? Mbak Nisa!? Tumben ini Mbak Nisa yang jagain toko. Aida kemana?”

“Pagi, Pak Tarun. Aida sedang istirahat, Pak. Tidak enak badan. Jadi hari ini dia ijin pulang lebih awal. Pak Tarun apa kabar? Lama tidak ketemu yaa.” Nisa melangkah anggun mendekati etalase roti terdepan untuk menemui sang satpam tua.

“Saya kebetulan kabar baik, Mbak Nisa bagaimana kabarnya?”

“Baik juga, Pak. Alhamdulillah.”

Mereka berdua bersalaman.

Tangan putih halus mulus milik Nisa terlihat kontras saat bertemu dengan tangan legam sang satpam tua.

Senyum Nisa yang berbibir tipis membuat Pak Tarun belingsatan, berasa ada sesuatu yang gatal di selangkangannya. Bener-bener nih si Nisa, kecantikan dan keindahannya dari jarak dekat bikin penis Pak Tarun berdenyut-denyut.

“Untunglah akhirnya Mbak Nisa yang menjaga toko ini sendiri…” ucap Pak Tarun lirih. Satpam tua itu cengengesan.

Entah kenapa Nisa sebenarnya tidak nyaman berdua saja dengan sang satpam jika tidak ada Aida atau orang lain, tapi mau bagaimana lagi, saat ini suasana sepi dan Pak Tarun adalah satu-satunya temannya ngobrol. Tidak mungkin juga kan bagi Nisa untuk bersikap galak atau judes?

Ibu muda berparas manis itu menyunggingkan senyum melalui bibir tipisnya, “Lho, kok Pak Tarun bilang untung akhirnya saya yang jaga toko? Kenapa tuuuh?”

“Kenapa yaaa? Mungkin karena akhirnya saya bisa berduaan saja dengan wanita secantik Mbak Nisa. Benar-benar mimpi jadi kenyataan, jadi saya merasa beruntung.”

Nisa tertawa renyah, suara serak-serak basahnya membuat ular kecil Pak Tarun menggeliat tak nyaman dan membesar. “Bisa aja, Pak Tarun. Kita kan sudah sering ngobrol berdua. Apa bedanya yang dulu-dulu sama sekarang?”

“Kalau yang sekarang, saya bisa sedekat ini dengan Mbak Nisa, jadi cantiknya benar-benar terlihat nyata. Kalau yang dulu-dulu, hampir tidak pernah bisa begini, selalu ada Aida di antara kita,” Pak Tarun menyeringai sembari mendekat ke arah Nisa. Keduanya kini hanya berbatas etalase roti dan kue. Kepala Pak Tarun mendekat ke arah Nisa yang sedang menata kue dalam sebuah nampan di atas etalase.

“Ah, masa sih beda? Apanya yang beda? Nggak beda, ah. Sama aja, Pak Tarun.” Nisa mencoba menjawab celetukan sang satpam tua meskipun fokusnya tetap di roti yang disusun di nampan.

“Beda dong,” bau rokok di mulut Pak Tarun tercium oleh Nisa hingga ia pun memundurkan kepalanya, ibu muda itu tidak menyukai bau rokok. Ia mengernyit benci, tapi Pak Tarun tidak peduli, sang satpam tua itu tetap keukeuh berusaha mendekat, “Saya yakin beda kok. Wangi Mbak Nisa yang dulu dan sekarang beda. Apa ganti parfum?”

“Ah, mana pernah saya ganti parfum, Pak. Saya selalu memakai parfum yang sama dari tahun ke tahun,” Nisa berbohong karena tidak ingin memperpanjang percakapan tidak bermutunya bersama sang satpam tua.

Ketika Nisa merasa jengah, Pak Tarun justru bergairah.

Bibir indah itu… wajah cantik itu… kulit mulus itu… sial, sudah sedekat ini dengan bibir tipis Nisa tapi masih belum bisa mengecupnya. Ough, bibir itu pasti manis sekali bila dicium, dihisap, dan dikulum. Lebih manis lagi kalau sudah melingkar di batang penisku

Pak Tarun akan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan istri Haris yang anggun dan indah itu. Seandainya saja dia bisa membuat Nisa jatuh cinta kepadanya dalam sekali jentikan jari, maka dia akan mengurung Nisa tanpa busana di sebuah kamar yang tak akan bisa dibuka oleh siapa saja, dan dia akan menyetubuhi tubuh wanita ayu berkulit putih mulus itu berkali-kali dan berkali-kali, tanpa henti pagi, siang, sore, dan malam.

Oh, Nisa… kamu tidak tahu betapa aku mendambamu. Tubuhmu yang mungil, susumu yang setangkup, pantatmu yang bulat itu… aughhh, aku akan menikmati semuanya. Tubuhmu adalah milikku, Nisa cantik. Mungkin tidak sekarang, tapi dengan bantuan Aida – aku pasti akan mendapatkanmu! Akan kubuat kau merem melek saat kontolku menghunjam jauh lebih dalam daripada yang pernah dimasuki oleh suamimu di memek sempitmu, Nisa-ku sayang.

Batin Pak Tarun bergejolak.

“Eh, Pak Tarun kok ngeliatin saya-nya begitu amat sih. Amat aja gak segitunya, hihihi.”

Nisa mencoba bercanda dengan sang satpam. Ibu muda itu tentunya tidak ingin Pak Tarun jadi terlalu serius dengan percakapan mereka sekaligus mencoba membuat Pak Tarun sadar ia sedang menatap Nisa dengan pandangan aneh.

“Eh… iya, Mbak. Habis saya bingung sama Mbak Nisa ini apa nggak capek…”

“Ya, kadang capek, Pak. Tapi kan harus dijalani. Pagi ngurus anak, masak, nyuci, jemur, bersih-bersih rumah, dan lain-lain. Lalu siangnya ke sini buat bantu Aida siapin kue dan roti. Saya bersyukur dapat menjalani itu semua dengan gembira, jadi tidak merasa capek.”

“Heheh. Bukan itu maksud saya…”

“Lho? Trus apa, Pak?”

“Saya itu jadi bingung, apa Mbak Nisa nggak capek cantik terus?”

Wajah Nisa pun memerah. Yaelaaah, kirain capek ngapain, malah ngegombal. Bisa-bisanya si kotak amal. “Eh, Pak Tarun ini lho. Godain saya terus. Kalau saya nanti klepek-klepek bagaimana hayo? Memangnya Pak Tarun mau tanggung jawab?”

“Haaa jelas mau dong! Kalau buat Mbak Nisa saya akan bersedia bertanggung jawab untuk apapun.”

“Hmmm, memang laki-laki itu di mana-mana sama saja. Gombal sana gombal sini, yang penting niat terpenuhi, padahal yang digombali sudah punya anak dan suami.” sindir Nisa.

“Eh! Saya beda, Mbak…! Kalau Mbak Nisa jadi pasangan saya, saya pasti akan jadi pria yang setia dan tak akan pernah berpaling.”

“Hmm, apa iya? Lagipula saya nggak cantik menarik, Pak. Saya ini biasa-biasa saja. Usia juga sudah mulai merambat naik, hampir kepala tiga. Anak juga sudah dua.”

“Eh, siapa bilang? Mbak Nisa itu luar biasa cantik, ayu, dan manis…”

Belum sampai selesai ucapan dari Pak Tarun, suara denting pintu terdengar dan beberapa orang customer masuk ke dalam toko Nisa. Ibu muda itu pun menyambut mereka dengan ramah.

“Sebentar ya, Pak. Saya layanin pelanggan dulu.” Bisik Nisa sembari buru-buru bersiap di depan etalase, meninggalkan Pak Tarun yang terbengong-bengong.

Awalnya dua, lalu datang tiga, setelah itu empat, lama kelamaan lebih banyak lagi. Nisa tak lagi bisa bercakap-cakap dengan Pak Tarun. Para pelanggan lama menyapa dan ngobrol dengan Nisa, pelanggan baru memilih dan memesan kue. Satu persatu mereka menyapa dan memesan kue-kue Nisa.

“Eeeeh, Mbak Nisa. Kok tumben jaga sendirian, Mbak?”

“Lho, Nisa? Kamu sendiri yang jaga? Ini mau pesan 20 box bisa?”

“Mbak, yang kue ini masih ada berapa? Saya bisa ambil lima belas?”

“Adek mau yang mana? Cookies?”

Entah kenapa hari ini di saat Aida memutuskan untuk cuti, justru banyak sekali pembelian. Nisa bersyukur sekali, apalagi banyak pembeli yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin mereka pelanggan yang biasa bertemu dengan Aida.

Seorang wanita yang sangat cantik masuk ke dalam Nisa Cakes, ia langsung memesan sepuluh jenis kue. Perempuan jelita itu berambut hitam panjang dan indah yang dibiarkan tergerai, mengenakan kaos ketat yang memamerkan keindahan buah dadanya yang besar membusung dan hotpants ketat yang membungkus pantat bulat menggemaskan.

Pak Tarun sampai terpana melihat bidadari yang molek itu.

Di belakang sang wanita jelita, berdiri seorang pria buruk rupa yang bertubuh kurus, namun terlihat seperti seorang penjaga yang siap sedia. Sepertinya dia sopirnya, bukan seorang bodyguard.

Wanita jelita itu mengayunkan tangan pada sang sopir, “Mas Paidi mau yang mana?”

“Saya juga dapat?”

“Ya iyalah. Penginapan kita jauh dari Indomaret, kalau nanti malam laper gimana? Udah pilih aja. Kita bakal semalaman suntuk melek lho,” Perempuan jelita itu mengedipkan mata dan menggandeng sang pria dengan mesra supaya mendekat ke etalase dan membiarkannya memilih beberapa kue dan jajanan pasar yang disediakan.

Sang sopir kurus selesai memilih beberapa kue.

“Jadi total berapa, Kak?” tanya sang wanita jelita pada Nisa.

Nisa tersenyum dan menyebutkan angka total sembari membungkus semua belanjaan sang wanita jelita yang cantiknya bagaikan seorang selebriti itu. Setelah selesai pembayaran, keduanya keluar sembari bergandengan.

Nisa tertawa kecil. Kirain cewek sama sopirnya, ternyata sepasang kekasih.

Tak lama kemudian, ada dua wanita berkerudung yang datang. Keduanya sangat jelita dengan porsinya masing-masing. “Kak Amanda mau pesan apa buat Jodi?” tanya salah satu di antara mereka, “aku mau beliin roti pisang buat om Raharjo. Minta dua ya, Mbak.”

Nisa tersenyum manis dan mengangguk, “roti pisang dua. Ada lagi yang lain, Kak?”

Wanita jelita yang satu lagi menepuk dagunya dengan telunjuk, “Hmm. Boleh deh, yang buat Jodi samain aja, Astari.”

“Dua lagi ya, Mbak.”

Nisa mengangguk dan segera mengemas pesanan.

Setelah kakak beradik itu selesai, sudah antri sepasang pria dan wanita, sepertinya mereka pasangan suami istri, atau setidaknya kekasih. Kebetulan wanitanya juga berkerudung seperti kedua wanita sebelumnya. Perempuan cantik berkerudung itu langsung mendekati Nisa. “Siang, Kak.”

“Siang. Ada yang bisa saya bantu?”

“Iya, ini Kak… saya mau konfirmasi ulang pesanan snack untuk acara pengajian di Pondok Pesantren Modern al-Insan.”

“Sebentar saya cek dulu ya.” Nisa memeriksa daftar pesanan yang sudah ditulis oleh Aida, beruntung bagi ibu muda cantik itu karena Aida menyusunnya dengan sangat rapi dan apik, “oh iya. Untuk minggu depan ya? Kemarin yang memesan atas nama… Nisa. Wah mirip nama saya, benar ya? Atas nama Nisa?”

“Betul sekali, Kak. Namanya sama ya? Hihihi.”

“Iya. Nah, apa yang bisa kami bantu?”

“Jadi rencananya kami mau menambah tiga puluh kotak lagi untuk hari yang sama. Kira-kira apakah bisa? Untuk DP-nya akan kami berikan tambahan hari ini.”

“Hmm… isi box snack-nya ada ini… ini… dan ini… sepertinya sih bisa. Tidak ada masalah kalau mau ditambah,” Nisa tersenyum ramah setelah kembali memeriksa pesanan. Dia berharap Aida tidak akan cuti saat hari pesanan itu datang.

Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Kak.” Wanita cantik berkerudung itu pun mengeluarkan uang dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Nisa.

“Sama-sama. Ini pembayaran DP tambahan ini atas nama siapa ya?”

“Rachel. Saya Rachel.”

“Oh Rachel. Baik. Terima kasih,” Nisa menyerahkan bukti pembayaran pada wanita bernama Rachel yang mengenakan kerudung itu. Setelah menyelesaikan urusan mereka, ia dan pria yang berdiri di belakangnya pun meninggalkan Nisa Cakes.

Tak lama setelah pasangan itu, muncul kakak beradik yang datang dengan senyum lebar. Sang kakak adalah seorang wanita jelita dan adiknya seorang pemuda tampan.

“Eh, lama tidak kelihatan Kak Nisa. Apa kabar? Kemana ajaaa?” sapa sang kakak, “kangen sama duo Ceny dan Abay.”

“Hai Sherly. Baik-baik aja kok, hihihi. Biasa lah, ngurus Ceny sama Abay di rumah. Halo Roy. Kamu gimana kabar?”

Roy nyengir membalas sapaan Nisa dan langsung menunjuk salah satu kue di etalase, “Kak. Minta itu dua ya. Satunya lagi buat Ayah. Ayah suka banget sama roti yang itu.”

“Siaaaaaap.”

Dengan sigap Nisa melayani sepasang kakak beradik itu. Satu demi satu tamu yang datang ia layani dengan cekatan.

Melihat toko Nisa ramai dan tak kunjung berhenti melayani pelanggan, Pak Tarun pun lama kelamaan merasa tersingkirkan dan tak mendapat tempat karena Nisa jadi lebih sibuk mengurus tamu. Akhirnya satpam tua itu hanya bisa menggerutu dengan kesal dan meninggalkan Nisa Cakes sembari bersungut-sungut tanpa sekalipun digubris oleh Nisa yang sibuk melayani sendirian.

Wasyu. Sombong banget habis punya banyak pelanggan, aku dicuekin.

Cih… Oke! Sekarang kamu boleh jumawa, Nisa. Tapi kelak, vagina kamu itu hanya untuk kontol aku, sayang. Kamu tak akan lagi mempedulikan pelanggan, kamu hanya akan ngangkang dan membuka bibir memekmu lebar-lebar untukku.

Tunggu saja tanggal mainnya. Heheheh
.



.::..::..::..::.



.:: KALA MALAM MENJELANG



Nisa sebenarnya lelah sekali sore menjelang malam itu, tapi hatinya senang karena hari ini semua yang ia jual benar-benar bisa sold out. Sudah lama rasanya ia melayani sendiri semua pelanggan sehingga terkesan kaku. Untung beberapa pelanggan masih ia kenali sehingga bisa santai melayani mereka.

Nisa memarkirkan vespa matic-nya di depan garasi rumah. Gelap sudah mengintai di atas ufuk. Sebentar lagi matahari akan beristirahat dan digantikan oleh sang malam yang menangkup seluruh sudut bumi dari mulai tanjung hingga teluk.

Sebelum masuk ke dalam rumah, ibu muda itu jadi teringat sesuatu.

Oh iya jadi ingat ada paket. Paketnya di rumah Uwak Sobri. Hrrh. Diambil tidak ya?

Nisa ragu-ragu, tapi sesaat kemudian kakinya seperti bergerak tanpa bisa ia kendalikan, berjalan menyusuri jalur kompleks untuk menuju rumah contoh yang berada paling depan. Ia sengaja tidak mengendarai motor karena jarak rumah Uwak Sobri tidaklah sejauh itu.

“Malam, Nisa. Kok jalan sendirian aja nih? Mau kemana? Boleh ditemani?” tanya salah seorang tetangga yang sudah berumur. Kalau sore-sore begini si aki-aki ini biasanya jalan karena hendak berkumpul dan bermain catur dengan teman-teman nongkrongnya di dusun Growol.

“Eh, Eyang Wiryo. Terima kasih banyak, tidak perlu repot-repot. Saya cuma ke depan aja kok. Eyang sehat?”

“Alhamdulillah saya sehat terus, apalagi kalau sore-sore begini bisa bertemu wanita secantik Nisa. Sudah pasti saya jadi merasa sangat segar.”

“Ah, Eyang Wiryo bisa aja.”

“Eh, beneran lho. Kalau saja saya masih muda, saya pasti pengen menikahi Nisa. Sudah ayu, ramah, humble, lengkap banget. Istri idaman. Sayang sudah keduluan sama Mas Haris. Sayang sekali.”

“Aduuuududuh, Eyang. Udah ah, saya jadi malu nih. Saya mana ada cantik-cantiknya kalau dibandingkan sama cucu Eyang yang jadi model itu.”

“Heleh. Cantikan kamu kemana-mana.” Eyang Wiryo sebenarnya mau lebih banyak memuji Nisa, tapi ibu muda itu sepertinya tidak nyaman diperlakukan seperti itu, ia pun merubah topik pembicaraan, “Nisa mau ke warung?”

Sebenarnya sih tidak, tapi daripada kepanjangan urusannya, Nisa hanya mengangguk. “Iya, Eyang. Tapi mau ke tempat Uwak Sobri dulu.”

“Oh begitu… ya sudah, saya duluan ya, Nduk.”

Monggo, Eyang.”

Tidak jauh dari posisi percakapan antara Eyang Wiryo dan Nisa, terdapat dua penduduk desa Bawukan yang berjalan ke arah berlawanan. Mereka hendak menuju pemancingan yang ada di belakang cluster Kembang Arum Asri.

Nisa pun tersenyum ramah, keduanya senyum bersama untuk membalas senyum sang bidadari saat berpapasan. Nisa mengenali mereka berdua sebagai sosok-sosok yang paling sering membantu ketika ada kegiatan gotong royong di manapun.

Ketika sudah jauh, pria pertama menengok ke belakang, “Itu yang namanya Nisa ya? Istrinya Haris? Manis, coeg.”

Lha rumangsamu? Kamu pikir kayak apa kembangnya Kembang Arum Asri? Kalau sudah di-recommend sama Pak RT, itu artinya barangnya memang bening, Nyuk.”

“Heheheh. Liat pantatnya, coeg! Nyeplak coeeeg!!”

“Kebayang kan, gimana kalo kontol kita nyelip di bokongnya dia? Kalau dia jadi istriku, ku anal sampe mampus dah.”

“Putih beud dah, coeg. Pasti memeknya pink itu. Body begitu ga nyangka udah anak dua. Beuuuh, pengen nyodok dia, coeeeg. Nambahin dedek baru biar jadi tiga, empat, lima…”

Bkggh!

Ada pundak kokoh yang kemudian mendorong dan membuat mereka hampir terjatuh!

“A-apa-apaan sih, coeg! Wasyuu! Siapa sih yang beran… ehm… saya pikir siapa.”

“Ma-malam, Om.”

Orang itu diam saja sembari menatap keduanya dengan galak.

Kedua pemancing itu pun melangkah pergi, menyingkir, dan menjauh dari sosok yang baru saja mendorong pundak mereka. Mereka tidak ingin mencari masalah.

Sosok itu adalah Mang Juki.

Ia mengawasi Nisa dari jarak jauh. Mau kemana sang bidadari surga-nya itu?

Juki tidak mau ikut campur urusan Nisa, tapi dia merasa harus mengikuti sang bidadari. Ia melirik ke arah rumah Nisa, melirik ke jendela. Juki tahu ia sedang diawasi oleh Yuna, yang tengah menjaga anak-anak Nisa.

Ia tahu Yuna saat ini sedang tak mengenakan sehelai benang pun.

Juki mendengus dan membenahi batang kejantanan yang baru saja ia gunakan untuk memuaskan Yuna, lalu melangkah mengikuti kemana Nisa pergi.

Ia tak peduli kalau Yuna jadi sebal dan cemburu karena ini.

Juki merasa ada sesuatu yang aneh.



.::..::..::..::.



“Monggo diminum dulu, Neng. Sudah saya siapkan.”

Segelas teh hangat dan sepiring gabin tersedia di hadapan Nisa. Ibu muda itu duduk di hadapan Uwak Sobri, di dalam ruang tamu rumah contoh yang menjadi tempat tinggal sang kakek tua.

“Waaaah, terima kasih banyak, Wak. Kok jadi repot begini? Saya kan cuma mau ambil paket saja.”

“Hahaha. Jarang-jarang tempat saya ini dikunjungi bidadari cantik Kembang Arum Asri. Bolehlah saya memberikan suguhan walaupun ala kadarnya saja, Neng.”

“Idih, apaan sih, Uwak. Saya ini mana ada cantik-cantiknya? Saya ini cuma emak-emak anak dua, Wak. Yang cantik itu kayak Amy, Shinta, tuh.”

“Mereka memang cantik, tapi pesona Neng Nisa kesukaan Uwak, Neng.”

“Hahahaha, bisa aja,” pandangan Nisa menyusur tempat di sekitar mereka, “masih tetap seperti dulu saat saya pertama kali ke sini. Bersih, apik, dan rapi. Padahal sudah tidak ada lagi unit yang tersisa ya. Kenapa rumah contoh ini masih digunakan, Wak?”

“Kurang tahu kalau soal itu saya mah. Kemungkinan karena pihak developer-nya mau jual rumah ini.”

“Hmm… bisa jadi bisa jadi…”

Monggo diminum, Neng.”

“Iya, Wak. Terima kasih, ya.” Nisa meminum teh hangat yang disuguhkan kepadanya. Hmm, ternyata rasanya enak. Tak biasa. “Kalau boleh tahu, Uwak tinggal di mana?”

“Kalau saya di belakang, Neng. Di samping taman rumah ini. Tempat tinggal saya di kamar ART. Hahaha.”

“Oh begituuu. Tapi Uwak luar biasa, tempat ini masih sangat terawat dan rapi. Semua perabotan bersih tanpa debu. Tahu begini saya juga mau rumah saya dibersihin Uwak Sobri, hihiih.”

Uwak Sobri tertawa, “Biasa aja, Neng. Namanya juga orang kurang kerjaan. Haahah. Saya hanya melakukan apa yang saya bisa. Saya kan dibayar buat jaga rumah aja. Kesannya ga baik kalau rumahnya tidak rapi.”

Nisa merasa hangat luar biasa. Entah kenapa dia jadi berkeringat. Nisa meneguk tehnya lagi. “Keluarga Uwak sering kemari?”

“Jarang, Neng. Orang setua saya siapa yang peduli? Masih bisa hidup aja mereka mungkin heran. Saya sih santai-santai aja. Di usia saya begini mau ngapain lagi? Mending berduaan sama Neng Nisa begini, segar saya. Ayu-nya Neng Nisa ga ngebosenin! Bikin gemes!”

“Hhahaaha, mulai lagi deh tuh.”

Keringat Nisa makin deras. Kenapa sih ini?

“Kenapa, Neng? Gerah ya? AC sudah saya nyalain, Neng. 18 derajat. Kurang dingin?”

“Sa-saya juga tidak tahu, Wak. Tiba-tiba aja kok… panas banget…”

“Coba diminum lagi. Mungkin haus banget. Neng kelihatan capek.”

Nisa sekali lagi menyeruput teh yang diberikan Uwak Sobri. Napasnya justru makin tersengal-sengal. Kenapa dia? Kenapa tubuhnya seperti panas dan hangat dan tak bisa dikendalikan, adrenaline-nya terpacu tanpa sebab, dan anehnya ia merasa sangat… terangsang?

“Kenapa, Neng?”

“Ti-tidak tahu, Wak. Saya… saya…” Nisa meneguk ludah, dia mencoba mengatur dirinya sendiri yang makin tak terkendali, “bo-boleh saya minta paketnya? Saya mau pulang aja, Wak. Rasa-rasanya saya… saya kurang sehat. Hhh… hhh… hh…”

Kenapa dia merasa kepanasan? Ga-gatal… di… di bawah sana…!?

Nisa terengah-engah seperti orang kehabisan napas, kenapa ini? Kenapa dia horny sekali? Kenapa rasanya sangat panas? Mata Nisa berkaca-kaca, ia bahkan tidak bisa berdiri, ia duduk terpaku, “U-Uwaakk… saya kenapa ini ya?”

Uwak Sobri buru-buru berpindah duduk di samping Nisa. “Jangan-jangan Neng ketempelan? Saya minta ijin ya, Neng.”

Nisa mengangguk.

Ibu muda itu bingung. Pandangannya berkunang-kunang, napas tak beraturan, keringat deras mengucur di sekujur badan.

Uwak Sobri mengelap keringat di dahi dan wajah Nisa, lalu perlahan-lahan menarik lepas hijabnya. “Ini dilepas saja ya, Neng? Boleh?”

Nisa mengernyit, dia tentu saja harus menolak! Dia harus menolak! Dia tidak boleh… tidak boleh…

Nisa mengangguk.

Dengan leluasa, Uwak Sobri melepas hijab sang bidadari, melepas jarum pentul Nisa dan meletakkanya dengan hati-hati di atas meja. Setelah kerudungnya dilepas, Uwak Sobri membuka ikatan tali rambut Nisa, dan menggerai rambutnya yang panjang dan indah. Hmm, sungguh perempuan ini sangat menjaga penampilannya, tidak peduli mengenakan kerudung atau tidak, ia tetap merapikan rambutnya dengan apik.

Nisa menggeleng karena malu saat Uwak Sobri mengelus rambut panjangnya.

“Sudah lebih lega, Neng?”

Nisa mengangguk… tapi sesaat kemudian ia menggeleng, dengusannya makin kencang, “be-belum… belum… kenapa ini? Uwak… saya… saya minta tolong… kenapa ini?”

“Buka kancing bajumu, Neng. Satu saja yang paling atas. Mungkin sesak.”

Entah kenapa, Nisa menurut saja.

“Masih gerah, Neng?”

“Ma-Masih…”

“Buka satu lagi kancing atasnya.”

“Ta-tapi…”

“Sudah buka saja…”

Napas Nisa kian berat. Ia terengah-engah. “U-Uwak… saya tidak bisa… saya mau pulang saja… saya tidak mau…”

“Buka kancing bajumu, Neng.”

“Ta-tapi…”

Kepala Nisa pusing sekali sampai-sampai dia tidak bisa memutuskan apapun. Dunia terasa berputar dan tak berhenti bahkan untuk beristirahat sekalipun. Tubuhnya terasa hangat dan panas, sementara kemaluannya… kemaluannya…

Uwak Sobri tersenyum di belakang Nisa. Ia merangkul ibu muda yang tengah kebingungan itu, “Bagaimana rasanya, Neng?”

“Pa-panas… tapi… tapi…”

Kancing kedua Nisa terlepas. Lalu tanpa ia sadari, Uwak Sobri melepas kancing ketiga, keempat, dan seterusnya. Hingga akhirnya Baju Nisa terbuka, terlihat ia mengenakan tanktop warna hitam yang mungil menutup tubuh indahnya.

“Hhh… hhh… hhh… hhhhh…”

Napas Nisa tak lagi teratur. Matanya berkunang-kunang, air mata menetes di pipinya, dia ingin melepaskan diri dari pelukan sang musang tua, tapi tubuhnya seperti tak mau digerakkan

“A-apaa yang Uwak lakukan…? Aku gaa maaaaauuuuu… aku ga mauuuuuuu…”

Uwak Sobri menelusupkan tangannya ke dalam baju Nisa yang sudah terbuka. Jari jemarinya dengan nakal menelusup ke dalam tanktop, ke dalam bra, merasakan kemulusan buah dada yang menurutnya sempurna dari seorang bidadari surga.

“Ooooh, edan empuk banget, Neng. Mulus banget kulit putih kamu. Kenyal banget susu kamuuu…”

“Aaaaaahhhh…” lenguh Nisa perlahan, ia memejamkan mata.

Tidak. Ia jelas tidak mengijinkan ini terjadi! Kenapa dia bisa takluk semudah itu dari seorang laki-laki tua? Nisa takut tak mampu bertahan jika rangsangan demi rangsangan terus menerpanya.

Jemari nakal sang pria tua kini memilin puting susu kanannya.

“Aaaahhaaagghh… Hhhh… hhh… hhh…”

Nisa jengkel sekali pada dirinya yang mudah sekali jatuh ke dalam rangsangan Uwak Sobri. Masa hanya dengan diremas-remas saja dia sudah jatuh ke dalam perangkap birahi? Masa dengan mudah tubuhnya mengkhianatinya?

Nisa mencoba melawan. Remasan di dada semakin kencang, Uwak Sobri dengan mahir memilih pentil susu sang bidadari.

Nisa seperti kena setrum!

“Ahaaaaaaaaaaakghhhh!” kepala Nisa terlontar ke belakang, ambruk di pundak Uwak Sobri. “A-aaaaku tak taahaaan! Aku tak taaaahaaaaaan!! Apa yang telah Uwaak lakukan padakuuuuu!?”

“Yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa-apa lho, Neng. Sedari tadi duduk di sini.”

“Ta-tapi tubuhku… tubuhku… aaaaaakkkhhh…”

“Apa yang kamu inginkan, Neng? Kenapa kamu jadi seperti ini? Coba jelaskan apa yang kamu rasakan, Uwak akan tolong,” meski kalimatnya seakan mencoba memberikan solusi, pria tua itu justru menyeringai di balik kebingungan sang ibu muda.

“A-aku tidak tahuuuuu… aku tidak tahuuuuuuuu… panaaass…”

“Betul sekali, hawa di luar sangat panas. Ruangan ini panas. Kamu merasa panas. Sekarang kamu buka bajumu, Neng. Buka satu persatu. Kamu kepanasan karena memakai baju yang terlalu tebal dan tertutup. Lakukan dengan perlahan-lahan. Buka semuanya.”

Jika mengikuti akal sehat, Nisa tidak akan mengikuti keinginan Uwak Sobri. Tidak akan mungkin terjadi dan tidak akan terbayangkan hal semacam itu. Bagaimanapun seorang Nisa terlalu cerdas, pintar, dan dewasa untuk jatuh ke perangkap konyol. Tapi ini bukan situasi normal. Ini di luar kebiasaan. Ini di luar nalar.

Nisa menjadi penurut.

Dengan buah dada yang diremas-remas tanpa henti, Nisa makin tenggelam ke dalam sudut tergelap kesadaran.

Setelah tadi kancing bajunya ia buka, kini semuanya ia lucuti, mulai dari baju, hingga pakaian dalam. Semua dilakukannya seolah-olah dia dalam pengaruh hipnotis.

Nisa telanjang di depan Uwak Sobri.



.::..::..::..::.



Juki merasa tak nyaman. Intuisinya mengatakan kalau ada yang tidak beres.

Dia tadinya tidak ingin mendekat ke arah rumah yang dituju oleh Nisa, karena ya… logika saja. Ngapain dia masuk ke sana dan mencampuri urusan orang lain?

Tapi kenapa ibu muda cantik itu seperti lama sekali berada di rumah Uwak Sobri? Perasaan Juki pun menjadi seperti ter-sugesti. Mang Juki yang sering berkeliling dan membantu warga sekitar tahu kalau Uwak Sobri tidaklah sealim yang terlihat dan semua orang tahu Nisa adalah istri idaman di lingkungan ini. Kombinasi mengerikan.

Jiwa ingin melindungi-nya bangkit. Dia ingin melindungi Nisa dan tak ingin ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada wanita idamannya. Penasarannya semakin membuncah dan tak bisa dikendalikan lagi.

Juki pun buru-buru mendekat ke rumah Uwak Sobri yang berada di bagian terdepan cluster Kembang Arum Asri. Rumah contoh itu sudah fully furnished dan nyaman ditinggali, meskipun begitu Uwak Sobri tidak menempati rumah utama, melainkan ia tinggal di sebuah kamar kecil yang terpisah dari rumah utama, dan berada di bagian belakang, terlindung oleh tembok tinggi yang tak bisa dipanjat.

Sembari mengendap-endap supaya tidak ketahuan, Juki mencoba masuk melalui pintu samping yang merupakan pintu pagar berteralis tinggi. Pria tua itu mencoba membuka pintu sekuat tenaga. Juki mencoba menggerakkan pintu, tak bergeming.

Sial! Gagal!

Ada gembok tebal terkait di kunci dan pintu itu sangat kokoh. Tidak mungkin melalui pintu ini. Jadi sudah pasti, untuk mencapai kamar Uwak Sobri, satu-satunya jalan adalah harus masuk ke rumah terlebih dahulu melalui pintu depan, lurus melalui ruang tamu, melewati dapur terbuka, membuka pintu ke arah taman, dan belok kanan ke arah ruang asisten rumah tangga – kamar tempat tinggal Uwak Sobri.

Tapi itu kalau Nisa ada di kamar Uwak Sobri, Mang Juki sesungguhnya tidak tahu di mana Nisa berada. Yang dia tahu adalah jika sedikit saja terlambat, Nisa mungkin sudah di…

Ah, dia tidak ingin berpikiran macam-macam. Dia harus berpikiran positif meski intuisinya mengatakan sebaliknya. Buru-buru Mang Juki ke teras depan rumah, memastikan bahwa tidak ada tetangga yang melihatnya, dan mencoba membuka pintu.

Klk.

Mang Juki terkejut! Di luar dugaan, pintu itu ternyata bisa dibuka!? Si tua bangka itu lupa mengunci pintu?

Mengendap-endap masuk ke rumah yang terang, Mang Juki mulai menajamkan seluruh indera, bisakah dia mendengar atau melihat sesuatu? Kamar Uwak Sobri di belakang ruang utama dan dapur. Kesanalah ia sekarang menuju.

Ternyata pintu menuju taman pun tak terkunci, Juki makin laju bergerak, ia tak boleh lama-lama. Pria tua itu memicingkan telinga dan ia terkejut setengah mati!

Ada suara! Terdengar suara desahan!!

Buru-buru Juki menuju pintu kamar Uwak Sobri. Dia pernah beberapa kali ke tempat ini untuk membenahi atap yang bocor, jadi dia hapal harus kemana. Sampai di sana, Juki mulai mengendap-endap kembali dan mencoba mendengarkan apa yang terjadi di balik pintu.

“Mmmhh… aaaahmm… U-Uwaaak… mmmhhh… apa yaaaang… aku tidak mauu beginiiiih… Uwaaaak…!?”

I-itu suara Nisa!?

Mang Juki langsung naik darah.

“Uwaaak!!” Ia menggedor pintu, “Bukaaaaaa pintunyaaa!! Bukaaaa Uwaaaak!! Ngapain kamuuuuu?!!”

Entah berapa kali Juki menggedor pintu kamar Uwak Sobri, dia benar-benar khawatir dengan nasib sang bidadari surga idamannya. Istri Haris itu jelas berada di dalam, entah sedang diapain oleh sang pria tua menjijikkan yang menghuni kamar.

“Uwaaaaaak!!”

Pintu terbuka, demikian juga dengan jendela tak lama kemudian. Tapi Juki tetap tak bisa masuk ke dalam. Baik pintu maupun jendela sudah terpasang teralis nan kokoh. Sesuatu yang tidak ia ketahui dan jelas membuat Mang Juki terkejut! Kapan si ular tua itu meneralis kamarnya?

Lebih terkejut lagi Mang Juki saat menyaksikan apa yang ada di dalam kamar! Ia menggoyang-goyang teralis yang terpasang di jendela dengan amat geram!

“Uwak… jangan sembarangan sampeyan! Bebaskan dia! Bebaskaaaaan! Itu istri Haris, Uwaak!”

Tubuh molek Nisa sudah tergeletak di atas ranjang Uwak Sobri, telanjang bulat tanpa mengenakan sehelai benang pun. Ia tengah menyentuh kemaluannya sendiri dan menggesek-geseknya dengan ujung jari. Seperti sedang tenggelam dalam birahi yang amat tinggi sehingga melupakan siapa dia dan sedang apa dia sekarang.

Bagaimana mungkin Uwak Sobri bisa membuat Nisa yang alim dan anggun menjadi sosok seperti ini? Rasa-rasanya tidak mungkin!

Kecuali…

“Heheheh. Halo Juki. Datang juga kamu. Kenapa tidak mengetuk pintu dulu? Pasti kubukakan pintunya untukmu,” sindir Uwak Sobri. Dia tahu sekali sejak tadi Juki sudah menggedor-gedor pintu kamarnya.

“Uwak Sobri! Apa yang sampeyan lakukan padanya? Jangan-jangan Uwak sudah…”

“Aku tidak melakukan apa-apa. Dia sendiri yang tiba-tiba begitu.”

Dari sisi kamar yang gelap, Mang Juki akhirnya bisa melihat sosok pria tua yang sedang ia cari-cari. Ia sedang membawa gelas dan menuangkan bubuk berwarna putih dari sebuah sachet plastik bening ke dalam gelas itu, lalu mengaduknya hingga bercampur. Juki tidak berani membayangkan bubuk apa itu dan apa efeknya, tapi ia memperkirakan obat yang sama sudah diberikan kepada Nisa dengan dosis yang besar.

“Uwak! Apa itu yang Uwak campur?”

“Apa ya? Lupa namanya, Juki. RS… RSP… Halah mbuh! Apa gitulah namanya. Mana inget orang tua seperti aku nama obatnya. Kamu juga pasti sudah tahu, Juki. Obat ini dikasih si Lan. Katanya efeknya cepat, obatnya mujarab. Ternyata bener.”

Mata Juki terbelalak.”Uwak! Jangan lakukan ini. Sampeyan bukan kriminal. Ini penjara hukumannya! Saya bisa jebloskan Uwak ke bui!”

“HILIH KINTIL! SOK PIHLIWIN!! Jangan bilang kamu ga pengen nyodok pepeknya! Mending seperti aku, langsung ke tujuan!! Kalau mau bilang aja! Nanti setelah aku selesai aku kasih giliran!!”

Mang Juki mencoba memasukkan logika ke otak pria tua yang sudah terjebak oleh nafsu birahi liar itu, tapi bagaimanapun ia mencoba, Juki tahu Uwak Sobri tak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan, memek Nisa.

Juki mendekatkan kepalanya ke jeruji teralis sementara tangannya mencengkeram dengan erat teralis itu, “Uwak tidak takut dibui? Tidak kasihan sama keluarga yang pasti menanggung malu dan akibatnya? Lepaskan dia dan saya tidak bilang ke siapa-siapa apa yang terjadi. Lepaskan dia, Uwak. Dia tidak bersalah apa-apa sama Uwak…”

“Hehheh.” Tiba-tiba saja Uwak Sobri memelorotkan celananya dan memperlihatkan penis yang sama sekali tidak indah dipandang, “bodo amat sama bui. Bisa ngentotin si Nisa itu impian nomer satuku! Kamu pasti juga pengen kan? Selama ini kan kamu ngerjain rumah si Haris. Pasti bisa ngintip Nisa mandi dan pipis. Gimana? Wangi banget ya dia?”

“Ngghhh… ja-jangaaan… aku tidak mauuuu…!! Ahhhhh…..! ahhh!!” Nisa yang mendengar namanya disebut kian kencang menggesek kemaluannya sembari melelehkan air mata. Tubuhnya tidak mendengar apa yang diperintah otaknya.

Juki semakin geram dan khawatir, “Uwaaaak!”

“Aaaaaaah.” Uwak Sobri mengocok penisnya dengan kencang. Sepertinya hal itu sudah ia lakukan sejak tadi karena penis besar itu mengeras dan sudah hampir mencapai puncaknya. Selain mengocok penisnya sendiri, tangan Uwak Sobri juga meremas-remas buah dada mungil Nisa yang sudah telanjang bulat.

“Susunya enak sekali diremas, Juki. Enaaaaaakghhh.. eeehhmmm…”

“Aaaaaah! Aaaaaaaah!! Mmmmhhhhgg!!”

Nisa menggelinjang, mendesah, dan merintih. Semua yang dilakukan oleh ibu muda jelita itu semakin membuat Mang Juki tak tega dan bingung bagaimana bisa menyelamatkannya. Wanita berparas ayu itu sudah dicekoki obat perangsang hebat yang membuatnya mabuk dan tak berdaya.

“Uwaaaaaak!! Lepaskan diaaa! Jangan sakiti dia, Uwaaaak!”

“Aku tidak menyakiti dia, Juki! Aku memberikan kenikmatan! Kasihan banget cewek secakep dan cemanis ini kok disakiti. Aaaaarrrghhh!” Uwak Sobri menyeringai, ia memuncratkan cairan kental ke dalam gelas yang baru saja diaduknya.

Juki melotot. Pria tua bangsat edan itu baru saja mencampur cairan yang sudah tidak karuan itu dengan pejuh kentalnya.

“Kamu haus, sayang? Ayo minum dulu yuuuk. Ayo minum dulu…”

Memanfaatkan tangan kiri, Uwak Sobri mengangkat kepala Nisa. Dengan kurang ajar, pria tua itu lantas mengecup bibir Nisa yang tengah mabuk dan kelimpungan. Bibir tua hitam, kering, dan pecah-pecah milik Uwak Sobri menangkup bibir tipis Nisa yang sangat diidam-idamkan oleh Mang Juki.

Cpph. Mmmhh. Cpp.

Tubuh Juki bergetar karena terbakar api cemburu. Ia marah sekali bukan dia yang memberikan kecupan ke bibir manis Nisa. Genggaman tangannya pada teralis makin kencang. Uwak Sobri melepaskan kecupannya dan tertawa sembari mengejek Juki.

Bangsat si aki-aki ini! Nisa itu jatahnya!! Kenapa diambil!?

“Heheheh. Pengen yaaaa!? Enak sekali bibirnya, Juki. Enaaaak sekali!”

“Bangsaaaaaaat!!”

“Sekarang saat yang kita nanti-nantikan.”

“Tidak… tidak! Jangan Uwaak! Jangaaan!” Juki melotot ketika gelas yang dipegang Uwak kemudian diminumkan ke Nisa. Ibu muda itu bahkan tak sanggup melawan dan menolak. Ia sudah benar-benar intoxicated, sudah teler.

Glkh. Glkh. Glkh.

Tanpa sadar apa yang ia minum, Nisa menenggak sampai habis cairan yang ada di dalam gelas Uwak Sobri. Termasuk juga pejuh yang saat ini meleleh di pinggir bibir sang ibu muda berparas ayu itu.

“Jilat sayang, jangan sampai belepotan.”

“Ji-jilat?” tanya Nisa lemah.

“Itu obat.”

“Ba-baiklah…”

Ibu muda itu pun menyeruput dan akhirnya menelan cairan kental berwarna putih yang tadinya meleleh melalui pinggir mulutnya. Entah kenapa ia mau saja saat diperintah melakukan tindakan itu oleh Uwak Sobri.

Uwak Sobri meletakkan gelas di samping pembaringan. Nisa terlentang di sampingnya.

Juki memukul tembok. “Keluar dan hadapi akuuuu! Jangan sakiti diaaaa!”

Di dalam kamar, Uwak Sobri menyeringai, “Heheh. Orang pintar akan kalah sama orang bejo, Juki. Setelah ini kamu mungkin akan menghajarku sampai menjadi bubuk. Mungkin akan membunuhku dan mengumpanku ke kolam lele Pak No. Tapi saat ini… kamu adalah pecundang. Karena aku yang akan mendapatkan hadiah utamanya.” Uwak Sobri tersenyum puas, “Jangan munafik. Kamu juga menginginkan tempik istri Haris ini bukan? Dia memang molek, Juki. Dia memang menarik dan sangat indah. Bibirnya enak sekali kukecup dan tentunya tempik-nya pasti sangat legit.”

Pria tua itu mengelus-elus paha Nisa yang terlihat mulus dan indah. Istri Haris itu menggelinjang dan kebingungan harus berbuat apa karena tenggelam dalam obat yang membuatnya tak mampu seratus persen sadar, apalagi dosisnya baru saja ditambah.

Wajah Juki memerah karena marah.

“Uwaaaaak!! Jangan macam-macam Uwaaak! Sialan!!”

Pria tua itu mengedipkan mata pada Mang Juki, ia kemudian membuka dan merentangkan kaki indah sang bidadari. Sehingga baik Uwak Sobri maupun Mang Juki sama-sama bisa melihat bibir kewanitaan ibu muda jelita itu dengan jelas.

Dalam ketelanjangannya, Nisa memiliki bibir vagina yang bersih, terawat, dan terlihat merah muda merona di bawah bulu kemaluan halus yang terpangkas rapi, apik, dan simetris. Benar-benar wanita ideal yang mencintai kebersihan.

“Mari kita coba bagaimana rasanya. Heheh.”

Uwak Sobri menjulurkan lidahnya yang panjang ke arah Juki, lalu membuka lebar bibir kemaluan Nisa dengan jari-jemarinya. Kakek-kakek tua cabul itu lantas menjulurkan lidah ke arah memek Nisa.

Slrp.

Lidah itu akhirnya menyentuh bibir liang cinta sang dewi.

Slrp. Slrp. Cppp. Cphh. Slrp.

“Aaaaaaaaaaaaahhhhhh!” Nisa menggelinjang dan memejamkan mata. Ia tak kuat diperlakukan seperti ini. Entah kenapa tubuhnya terasa panas dingin tak karuan, ingin sekali rasanya ia dipeluk, disentuh, dan dilecehkan, “Ma-Mas Haris… Mas Haris… aku tidak bisaaaa… aku tidak bisaaaa… maafkan aku, Maaas. Maafkan akuuuu… aku tidak bisaaaa… tolooooooong!! toloooooooong!!”

“Bertahanlah aku akan menolongmuuuu!” Mang Juki mencoba berteriak sambil terus mencoba membongkar teralis yang rapi dan kokoh terpasang. Tapi sayang, mau bagaimanapun ia mencoba, jika hanya dengan tangan kosong, ia tak akan bisa masuk dan menyelamatkan sang bidadari surga dambaannya.

Bagaimana ini?

Nisa menyadari siapa sosok yang berada di jendela, Mang Juki adalah harapan terakhirnya, Uwak Sobri kini mengoleskan lidahnya dengan bebas di bibir kemaluan sang ibu muda. Membuat Nisa makin menggelinjang, mendesah, dan mengembik ketakutan. Dia tidak ingin dperkosa!

“Haaaaaakghhh! Aaaah! Aahhhhhh!! Aaaahhh!! Tolooong!! Tolong akuuuu!! Mang Jukii!! Tolong akuu, Maaaaaaang!! Toloooooooong!!”

Sementara Juki kebingungan, lidah Uwak Sobri menjelajah tiap sisi bibir vagina Nisa. Ibu muda berparas ayu itu tak bisa menahan tubuhnya yang disentuh sedikit saja sudah sangat parah rasanya. Begitu panas, begitu menghamba pada nafsu.

“Hmm, enakkghhh… manis legit pepekmu, Neng. Baru sebentar saja dijilat dan disentuh, sudah basah sajaaaaa. Hahahahaha… bagaimana? Apa kamu mau di-kenthu? Kamu mau di-entotin? Kamu mau kontolku masuk ke pepekmu, sayang?”

Kenapaaaa!? Kenapa liang cintanya sudah basah? Padahal Uwak Sobri hanya melakukan itu saja kepadanya. Kenapa…? Apakah gara-gara dia kobel-kobel tadi? Sial! Kenapa tubuh Nisa seperti ini!? Dia tidak mau! Dia tidak ingin basah! Dia tidak mau disentuh dan dilecehkan oleh Uwak Sobri!!

Tapi… tapi kenapa dia tidak bisa menolaknyaaaaa!?

“Aaaahkkkkhhhhh… pa-panaaas… aku tidak bisaaaaa… akuu tidak bisaaaaaa… kenapa ini!? kenapaaaa!!?? Toloooong, aku tidak mauuuuuu!! Jangaaaaaaan!!”

Nisa kebingungan dalam ketidakmampuannya bergerak bebas. Alih-alih jijik dan menolak, kenapa dia justru perlahan-lahan mulai tenggelam dalam panas yang membakar? Tolong Mang Juki! Tolong Nisa, Mang Juki! Cepatlah tolong!

“Kamu mau disodok pepeknya, Neng? Kalau mau coba katakan: Nisa mau kontol.”

Air mata mengalir di pipi Nisa. Dia bergerak tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan, tubuhnya seakan bergerak sendiri.

“Hhhhh… hhhh…” Nisa menatap Uwak Sobri dengan galak, tapi ia tetap gemetar sembari meremas-remas susu dan menggesek bibir kemaluannya sendiri, Nisa mencoba melawan tapi tak berdaya, tubuhnya sangat panas dan tersiksa. Ia harus disodok sekarang! Ia harus ngewe sekarang! Sekarang juga harus ada penis yang masuk ke vaginanya!! Kalau tidak, ia akan kesakitan sekali, ia tidak tahan! Nisa sudah tidak peduli penis siapa yang akan masuk ke liang cintanya asalkan dahaga ini bisa dipuaskan!

“Ni-nisa… ma-maaauu… kkk…”

Mang Juki berteriak dengan geram.

Ia mulai putus asa.

“Hhhh… hhh… hhh…” napas Nisa sangat berat dan terengah-engah, napsu luar biasa menembus angannya yang sudah tidak karuan. Dia hanya ingin merasakan kenikmatan. Dia harus merasakan kenikmatan. Kenikmatan apapun itu. Dia ingin kepuasan. Dia ingin di-entotin.

Sekarang. Dia gatal sekali. Tubuhnya panas sekali.

Kenikmatan. Dia butuh kenikmatan.

Dia butuh…

Nisa merentangkan kakinya lebih lebar lagi, dan memegangnya dengan erat di depan batang kejantanan Uwak Sobri yang kian kencang menegak. “Hhhh… hhh… hhh… kkk… kkk… kkkontol… kkkontoool…. masukkkaaaaaaan…!! Masukkaaaan, Uwaaaaak!!”

Sekali lagi, Uwak Sobri mengedipkan mata pada Juki. Ia menempatkan kontolnya yang kencang besar di bibir kewanitaan Nisa. Perlahan-lahan, ujung gundul milik pria tua itu ditekan ke dalam.

“Ahaaaaaaaaaakghhhh!!”

Kepala Nisa terlontar ke belakang karena merasakan sesuatu yang berbeda dan jauh lebih besar dari yang selama ini ia dapatkan. Ibu muda itu memejamkan mata dengan pasrah. Ia meremas-remas dadanya sendiri.

“Aku tidak maaauuu… tidaaaaak mauuuuu… jangaaaaaaan… kenaaapaaaaaa… kenapaaa? Tolong akuuu… tolong selamatkan akuuuu… jangaaaan… siaaapapunn tolong aku…! Uwaaakkk… ampuuuun…..! Ampuuuuuun…! Jangaaaaaan!! Aku sudah menikaaaah!! Aku ini istri mas Harissss!! Toloooooong… toloooooong…!! Ampuuuun! Ampuun!! Ampuun!”

Uwak Sobri kegirangan, Mang Juki kesetanan.

Kepalan tangan Juki berdarah karena memukul-mukul tembok tanpa hasil.

Ia merasa putus asa.

“Aku akan berteriak dan memanggil orang kampung sini, Wak. Sampeyan akan diarak dan dikuliti hidup-hidup!!” ancam Juki.

“Biarin saja, asal sudah bisa ngentotin bidadari paling indah di tempat ini, aku puaass! Hahaha!”

Nisa menatap ke arah Juki dengan pandangan kosong. Tolong. Dia minta tolong. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Nisa dalam bahaya besar. Dia hendak diperkosa Uwak Sobri.

“Sudah saatnya, Neng. Bersiaplah.” Uwak Sobri menarik pinggulnya, lalu mendorong kemaluannya ke depan.

Nisa menjerit.





BAGIAN 9 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 10
 
Mantap, Suhu @killertomato!
Ada Alya dan Mas Paidi juga muncul cameo.

Naga-naganya Mang Juki yang, di antara barisan pejantan pengincar Nisa, akhirnya bakal sukses menjatuhkan hati Nisa, nih!
Tinggal nunggu Sukirlan jadi sosok hero-nya Reva.

Berarti nanti pasangan sejolinya: Alya-Mas Paidi, Nisa-Mang Juki, Reva-Lan (?)
 
Terakhir diubah:
Ketika Mang Juki akan bergerak keluar meminta bantuan dari warga sekitar dia mendengar lolongan panjang dari suara Nisa, ya dia akhirnya bisa dijebol oleh Uwak Sobri
Sesaat sebelum berjalan keluar Mang Juki menengok ke arah wajah Nisa. . .Wajah Nisa menggelengkan kepala
Untuk sesaat Mang Juki kebingungan dengan situasi yang dia hadapi, td Nisa minta tolong sekarang dia menggelengkan kepalanya. . .

Saat kebingungan masih melanda Mang Juki terdengar suara Nisa pelan sambil bergetar "Mang . . .Sudah jangan panggil orang, nanti malah keluarga saya hancur. Mas haris akan malu kalo dia tau istrinya sudah ternodai".
Ahirnya Mang Juki hanya bisa diam dan melihat saat Nisa yang masih dalam efek minuman perangsang dengan liar dan gairahnya melayani Uwak Sobri. . .
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd