Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TILIK [LKTCP 2020]

MorgueVanguard

Semprot Kecil
Daftar
18 Jan 2020
Post
83
Like diterima
2.033
Bimabet
Sudah menonton film pendek berjudul “Tilik” yang sedang viral ?

Kalau sudah menonton, bagus ! lo akan langsung paham situasi drama yang TS rilis.

Kalau belum nonton gimana ? ya gak gimana-gimana sih, lanjut baca saja.

Selamat Membaca [DRAMA] TILIK [LKTCP 2020] versi TS khusus untuk gelaran LKTCP tahun ini. Semoga bisa menghibur !


******



“Pak Dokter, gimana kondisi Ibu saya ?” tanya Fikri, pemuda berusia 23 tahun yang terlihat gugup, bertanya kepada Dokter Purjoko, yang barusan masuk ke kamar di temani seorang suster berhijab bernama Yuli. Fikri bertanya tentang keadaan Ibunya yang baru saja di pindahkan dari ruang ICU ke ruangan khusus kelas 1 RSUD Bantul. Kondisi Bu Fatma atau biasa di panggil Bu Lurah, Ibunda Fikri, kini terlihat lebih baik setelah sebelumnya langsung mendapatkan penanganan di ruang ICU.


Fikri

Seorang perempuan muda sebaya dengan Fikri yakni Dian, yang sedang menjadi trending topic di kalangan sosialita Ibu-Ibu di kampung seperti Bu Tejo, Bu Tri, Yu Sam, berdiri di samping Fikri dan mengusap-usap pundaknya, mencoba untuk menenangkan pacarnya itu. Dian bisa turut merasakan kekhawatiran dari Fikri, karena baru dua bulan yang lalu, Bu Lurah juga nggeblak (jatuh sakit) dan mesti opname masuk ke RSUD Bantul karena penyakit darah rendahnya kumat.


Dian

“Tenang Mas Fikri, Bu Lurah sudah tidak apa-apa, cuma memang gulanya naik tinggi, kecapekan. Yang penting istirahat yang cukup, minum obat dan makanannya benar-benar di jaga karena penyakit gula memang banyak pantangan,”

“Oh baik Pak Dokter,” Fikri mengangguk-angguk lega.

“Besok saya cek lagi kondisi Bu Lurah, kalau sudah membaik, paling lusa sudah bisa pulang. Tapi saran dari saya Mas Fikri, tolong sebaiknya Bu Lurah benar-benar istirahat di rumah ya kurang lebih satu minggu minimal. Jangan terlalu ngoyo (memaksakan diri) pulang langsung mulai kerja. Karena bagaimanapun, yuswo (umur) Bu Lurah sudah makin sepuh. Mas Fikri juga di rumah saja, jagain Ibu. Seorang Ibu kalau lihat anaknya ada di dekat, gemati (telaten) merawat, pasti atine bungah (hatinya senang). Kalau Bu Lurah senang, pasti bisa cepat sembuh,” ujar Dokter Purjoko memberikan sedikit nasihat kepada Fikri, putra semata wayang dari Bu Lurah.

Dokter Purjoko yang terbilang masih tetangga, sudah paham dengan kondisi Bu Lurah, terutama kondisi rumah tangga Bu Lurah yang sudah menjanda lama karena cerai dengan Pak Minto, suaminya yang kebetulan teman dulu teman sekolahnya di SMA. Dokter Purjoko sebisa mungkin menjelaskan dengan tutur halus kepada Fikri, karena selain anaknya, kepada siapa Bu Lurah bergantung.

Injih (baik), matur sembah nuwun (terima kasih banyak) Pak Dokter Purjoko,” ucap Fikri sembari menangkupkan kedua telapak tangan yang kemudian di usapkan ke wajahnya, sebagai tanda syukur, Ibunya tidak apa-apa.

“Yasudah, nanti malam sekitar jam delapan, suster Yuli akan mengganti kantung infusnya. Kalau ada apa-apa, bisa hubungi ke Suster Yuli yang jaga ya, saya balik dulu Mas Fikri, masih ada pekerjaan lain,” kata Dokter Purjoko memohon diri.

"Monggo Pak Dokter," balas Fikri dengan penuh rasa hormat.

Dokter Purjoko menatap Dian sekilas tanpa mengucapkan atau menunjukkan ekspresi kemudian berlalu pergi. Suster Yuli tersenyum sembari mengangguk ke arah Fikri, Fikri pun membalas senyum dari Suster Yuli. Pemandangan saling bertukar senyum ini sebenarnya biasa saja, namun tidak bagi Dian yang menangkap momen tersebut.

“Ehemm,” Dian sengaja berdehem cukup keras, membuat Suster Yuli langsung mengucapkan permisi, menundukkan kepala dan kemudian keluar dari kamar. Fikri yang salah tingkah karena aksi genitnya ketahuan Dian, merasa terselamatkan ketika ponsel yang ia kantungi di saku celana bergetar.

“Bapak nelepon, sebentar yo, aku terima telepon di luar, biar gak ganggu Ibu istirahat,” ucap Fikri sembari menunjukkan identitas penelepon di layar ponselnya kepada Dian.

Ada perasaan berdesir ketika layar ponsel menunjukkan identitas sang penelepon "BAPAK" muncul. Mau apa Bapak nelepon Fikri, bukankah ia bilang tadi di mobil baru akan menengok Bu Lurah besok, batin Dian merasa penasaran.

“Oke Mas, aku temanin Ibu, sambil rapi-rapi barang di kamar,” jawab Dian sambil merapikan baju dalam tas yang sengaja Fikri siapkan karena ia jelas akan menginap menunggu Ibunya selama opname.


***

Fikri tersenyum senang, ia merasa sangat bersyukur punya pacar seperti Dian, selain cantik dan boleh di bilang menyandang status sebagai Kembang Desa di kampungnya, ia sangat perhatian dengan Bu Lurah, calon mertuanya -semoga-. Meski begitu, Fikri juga tahu benar bahwa ada banyak kabar tak sedap dari para tetangganya, terutama dari Ibu-Ibu di kampungnya kalau Dian itu perempuan gak benar, sombong sama tetangga bahkan konon ada yang pernah liat Dian jalan-jalan di mall sama om-om. Banyak Ibu-Ibu yang ngrasani (membicarakan di belakang) bahwa Dian dapat duit dari cara gak benar dari hasil pekerjaan yang gak jelas. Ya pokoknya nama Dian ini jelek banget, gak ada bagus-bagusnya di mata para tetangga.

Fikri kadang heran kenapa ada gosip seperti itu. Apa karena Dian cantik dan masih belum menikah di usia 23 tahun, bisa beli motor, ponsel sendiri padahal cuma tamatan SMK dan sebagai anak Yatim dari keluarga kurang mampu ? Apakah anak dari keluarga yang tidak utuh tidak pantas untuk bahagia ? Fikri yang menjadi korban perceraian orang tuanya sepuluh tahun silam, secara tak langsung ikut tersinggung oleh mulut-mulut tajam di kampungnya.

Fikri yang sudah berpacaran dengan Dian selama satu tahun terakhir, satu hari pernah gregetan dan panas kuping mendengar isu-isu tersebut, lalu bertanya kepada Dian. Kenapa ia diam saja menjadi sasaran ghibah Ibu-Ibu sekampung, padahal ia bisa saja memberitahu mereka bahwa pekerjaan dia jelas dan halal, yakni sebagai salah satu staff di Prisma Entertainment, salah satu EO besar di Kota Jogja. Dian sendiri di pasrahi sama bosnya sebagai staf yang mengurusi acara Wedding Organizer. Dian sudah hafal tempat-tempat unik baik di hotel maupun kawasan wisata sekitaran Jogja sebagai tempat untuk resepsi maupun foto prewed. Dian yang lulusan SMK jurusan Pariwisata benar-benar ulet dan supel, menjadi nilai tambah sehingga ia banyak di sukai semua orang. Kecuali para tetangganya sendiri di Desa Lambeturah, Bantul, tentu saja

Dian yang tahu kegelisahan dari Fikri hanya menjawab santai.

Ngopo Mas ndadak njelaske apa gaweanku nan tonggo-tonggo ? ngentek-ngentekke abab ku tok. Nek dasarae wong-wong do ora seneng karo aku, aku meh ngomong opo wae mesti tetap tetap di maido (Buat apa aku mesti menjelaskan apa pekerjaanku kepada tetangga ? cuma menghabiskan nafasku saja. Kalau dasarnya tidak suka sama aku, aku mau ngomong apapun tetap gak di percaya).”

"Tapi kowe dewe pie perasaanmu dadi rasan tonggo-tonggo kat mbiyen (kamu sendiri gimana perasaanmu jadi bahan omongan para tetangga dari dulu) ?" lanjut Fikri yang ingin memahami perasaan Dian.

"Aku urip ora ngandelke cocot tonggo mas. Angger'e ora do nyenggol perasaane Ibukku, aku bakal tetap anteng. Tapi nek ana uwong sing nganti nglarani atine Ibukku, sopo wae uwonge bakalan tak labrak (Aku hidup tidak mengandalkan omongan tetangga. Selama mereka tidak menyinggung perasaan Ibuku, aku akan tetap tenang. Tapi kalau sampai ada orang yang menyakiti hati Ibuku, siapapun orangnya akan ku datangi)."

Fikri cuma manggut-manggut saja mendengarnya bahkan ia salut dengan ketegasan Dian. Dian kurang lebih sama seperti dirinya, jarang bergaul sama tetangga kampung. Pas mulai kuliah di UGM, Fikri lebih memilih ngekos di dekat kampus.Awalnya Bu Lurah melarang Fikri ngekost.

Lha ngopo to le ndadak ngekos ? wong seko ngomah nan UGM ora pati adoh. (Lho kenapa to nak mau ngekost ? kan dari rumah ke UGM tidak terlalu jauh),” tanya Bu Lurah.

Sebuah larangan yang wajar karena dari rumah ke kampusnya Fikri, FE UGM paling hanya 45 menit dari rumah. Bukan karena masalah biaya tambahan yang mesti di keluarkan oleh Bu Lurah jika Fikri ngekos, karena keluarga Fikri termasuk kalangan orang berada. Uang tidak pernah menjadi masalah bagi keluarga Bu Lurah.

Ora masalah adoh cedak bu. Tapi aku pengen wae ngekost ben nek ono tugas, aku ora kemrusung bolak-balik. Kan nek ngekost cedak seko kampus, aku iso konsen sinau Bu (bukan masalah jauh dekat bu. Tapi aku ingin ngekost jikalau ada tugas, aku tidak buru-buru bolak-balik. Kalau ngekost dekat kampus kan, aku bisa konsen belajar Bu),” kilah Fikri mencoba menjelaskan ke Bu Lurah.

Alasan yang sebenarnya bisa di pahami sama Bu Lurah, tapi ia tidak mau kesepian sendirian di rumah, Bu Lurah ingin Fikri sebagai anak tunggalnya paham tanpa ia mesti bilang langsung.

“Ya kalau cuma masalah kemrungsung wira-wira. Ibu tukokke mobil opo pie ? sesuk ayo nan dealer karo (buru-buru karena bolak-balik. Ibu belikan mobil gimana ?ayo besuk ke dealer sama) Ibu, ” Bu Lurah coba membujuk Fikri dengan iming-iming di belikan mobil baru.

Halah, malah tambah sue nan ndalan bu nek gawa mobil. Jogja saiki ruwet, macet nan endi-endi. Po meneh nek ana prei dowo. Wis Ibu tenang, aku iso mandiri dadi anak kosan. Nek pas kuliah prei, aku mulih (Halah, malah jadi lama di jalan kalau bawa mobil. Jogja sekarang ruwet, macet di mana-mana. Apalagi kalau ada libur panjang. Udah Ibu tenang, aku bisa mandiri jadi anak kosan. Kalau pas libur kuliah, aku pulang.),” pungkas Fikri yang keukeuh dengan kemuannya tanpa menyadari maksud tersirat kenapa sang Ibu melarangnya ngekost.

Bu Lurah tidak bisa lagi membujuk keinginan Fikri, apalagi ini semua demi kepentingan kelancaran kuliah Fikri. Bu Lurah juga yakin Fikri akan baik-baik saja karena ia tahu Fikri anak yang baik dan gak neko-neko (aneh-aneh). Lagipula, Bu Lurah juga merasa di usianya yang ke 50 tahun ini ia merasa kesepian, bukan karena kesalahan Fikri. Yang pantas Bu Lurah salahkan adalah Minto, mantan suaminya yang ternyata ada main sama cewek lain. Lebih tepatnya masih suka main cewek. Bu Lurah memutuskan minta cerai ketika ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri, Minto sedang kenthu (ngeseks) dengan salah satu karyawan cewek di ruang kerjanya di Kantor Travel Semar Mesem, perusahaan travel milik Minto.

Di awal semester pertama kuliah, Fikri masih rajin pulang ke Bantul tiap akhir pekan. Hasil nilai akademisnya juga bagus. Namun menginjak semester dua, Fikri mulai jarang pulang, dari yang seminggu sekali kini menjadi dua minggu sekali pulang Bantul. Fikri beralasan selain sibuk kuliah ia juga ikut organisasi di kampus yang sering mengadakan acara di akhir pekan. Bu Lurah mengalah dan kadang ia yang menengok Fikri di Jogja.

Namun semakin lama, Fikri semakin jarang pulang dan semakin sering memberikan alasan. Bu Lurah sudah merasa Fikri sudah asyik dengan dunianya, lupa dengan keadaan Ibunya. Tapi dasarnya Bu Lurah punya sifat yang juga keras, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai Lurah Desa Lambeturah.

Kebiasaan Fikri yang jarang pulang ini berlanjut hingga ia lulus kuliah dan di terima kerja di salah satu perusahaan keuangan di Jogja. Kalau pulang ke rumah Bantul cuma istirahat, tidur, jarang bercengkrama sama tetangga. Selebihnya lebih banyak sibuk mengururus pekerjaan di Kota.


***

Di saat Dian sedang merapikan baju, serta beberapa peralatan pribadi yang Fikri bawa, begitu keluar kamar, Fikri segera turun ke bawah mencari tempat tenang untuk menerima telepon dari Bapaknya.

“Halo Pak, ngapunten nembe kulo angkat (maaf aku baru sempat angkat),” jawab Fikri sopan.

Wis ora popo (Sudah tidak apa-apa).Pie (bagaimana) kondisi Ibumu?” tanya Minto, Bapak si Fikri.

Fikri sebenarnya agak kurang berkenan dengan istilah “Ibumu” yang di ucapkan Bapaknya. Seolah perempuan yang tengah terbaring sakit itu bukan siapa-siapa, padahal perempuan tersebut adalah mantan garwone (istri). Garwo, sigarane nyowo (separuh nyawa). Tapi yawislah, Bapaknya mau nelepon nanya tentang kabar Ibu saja, Fikri sudah senang.

“Syukur Pak, Ibu pun sae, pun mboten nan ruang ICU, pun pindah ing (membaik, sudah tidak berada lagi di ruang ICU, sudah pindah di) kamar kelas 1 lantai 3.”

Oh ngono, iso ta tiliki pora Ibumu (Oh begitu, Ibumu bisa kutengok) ?”

Tilik (menjenguk) Ibu ? kapan Pak ?”

Yo saiki wae, iki Bapak wis nan (Ya sekarang saja, ini Bapak sudah berada di) parkiran mobil RSUD.”

Eh Bapak sampun ten mriki ?Lha sanjange Bapak ajeng tilik Ibu sesuk (Eh Bapak sudah berada di sini ? lho katanya Bapak mau menjenguk Ibu besok).”

“Bapak pas entuk kabar Ibumu nggeblak (dapat kabar Ibumu jatuh sakit) pas posisi arah Jogja, yowis mampir sisan (Yasudah sekalian mampir).”

Njih, kulo ta mriku Pak, ten halaman parkiran mobil ta ? mbeto mobil nopo pak (Baik, aku kesana Pak, di halaman parkiran mobil kan? Bawa mobil apa Pak) ?”

“Pajero ireng (Hitam), plat AD.”

Njih, kulo tutup telpone (Baik, saya tutup teleponnya).”

Fikri lalu menutup ponsel dan dengan tergopoh-gopoh menuju halaman parkir mobil mejemput Bapaknya, Minto, yang punya usaha travel area Jogja-Solo-Semarang. Ia dengan cepat menemukan mobil Bapaknya. Setelah mencium punggung tangan Bapaknya, kedua lalu menuju kamar tempat Bu Lurah di rawat.


Minto

Koe jogo karo sopo nan kene (Kamu jaga sama siapa di sini) ?” tanya Pak Minto kepada Fikri saat keduanya di lorong rumah sakit.

Karo (Bersama) Dian Pak.”

“Oh karo (Bersama) Dian, jik ana bocahe (masih ada anaknya) ?”

Tesih (Masih) Pak, nembe ngancani (Sedang menemani) Ibu.”

“Oh.”

Fikri tidak perlu repot menceritakan tentang Dian kenapa ada bersamanya karena Bapaknya sudah tahu kalau ia berpacaran dengan Dian. Fikri yang menceritakannya waktu ia main ke rumah Bapaknya di Tlogosari Semarang. Bapaknya sih setuju-setuju tidak banyak berkomentar, buat Fikri itu pertanda Bapaknya merestui hubungannya dengan Dian.

Sementara itu Dian yang sudah selesai merapikan barang-barang pribadi Fikri, mulai deg-degan. Ia punya perasaan Pak Minto punya ide nakal, entah gimana ceritanya. Dian cuma bisa senyum-senyum sendiri, senyum getir sih. Karena omongan tentang para tetangga tentang dirinya, pada dasarnya tidak sepenuhnya salah.

Ia memang perempuan yang tidak benar.


***

Sudah dua tahun terakhir ini ia menjalin hubungan gelap dengan Pak Minto, ayahanda Fikri sekaligus mantan suami Bu Lurah.

Sebuah hubungan yang awalnya di barengi keterpaksaan, berawal dari uang pelunasan dari customer yang di bayarkan secara tunai sebesar dua puluh lima juta Rupiah di mana Dian di tugaskan oleh bos untuk mengambil di rumah customer. Setelah proses serah-terima uang di rumah customer, Dian kembali ke kantor namun nahas ia kena jambret sewaktu ia berada di daerah Jalan Kaliurang. Dian beruntung, ia tidak di lukai, namun ketiadaan saksi mata, membuat Dian takut tidak mungkin ada yang percaya uang tersebut hilang kena jambret. Yang ada malah Dian bisa di laporkan customernya atas tuduhan penggelapan uang.

Berhari-hari Dian merasa bingung, diam saja di kosan, minta izin sedang tidak enak badan. Bosnya memberikan izin namun di harapkan dua hari lagi sudah masuk karena uang dari customer yang hendak di pakai untuk proses dekorasi tempat resepsi di Hotel masih Dian pegang.

Dian yang bingung dan putus asa, kepepet. Ia sudah tidak berani membuka Whatsapp dari Bosnya menanyakan uang dari Customer, bahkan ponsel pun ia biarkan mati kehabisan batere. Untuk sementara Dian selamat namun hal itu tak akan lama karena Bos dan teman sekerjanya tahu di mana ia ngekos. Di benak Dian, sudah pasti bosnya mulai curiga kenapa ia susah di hubungi dan ia bisa saja mengirim salah satu temannya untuk mendatangi kosnya.

Dian langsung menyambar tas punggung kecil dan kemudian pergi dari kosan. Yang ada di pikiran Dian sekarang adalah menghindar dari Bos dan teman sekerjanya. Dian mengarahkan motor menuju Mall yang berada cukup jauh dari tempat kerja dan kos-kosannya. Tujuan Dian cuma satu. Mendapatkan uang instan secepatnya. Motornya memang sudah lunas dan ada BPKB tapi kalaupun di gadai, paling banyak hanya sepuluh juta Rupiah. Masih kurang lima belas juta Rupiah lagi. Mau pinjem ke teman juga udah gak mungkin.

Dian berharap, ia bisa menemukan om-om hidung belang di mall yang bisa memberikan uang kepadanya dengan imbalan tubuh dan kecantikannya. Dian bukanlah kembang desa yang suci lagi, sedari lulus SMA ia sudah terbiasa melakukan hubungan suami-istri dengan pacarnya, apalagi pergaulan di Kota Jogja begitu bebas. Sejujurnya, baru kali ini Dian mencoba “menjajakan tubuhnya” jadi ia agak merasa malu.

Sebelum keliling mall dan menebarkan pesona kepada pria hidung belang, Dian pergi ke kamar mandi, untuk sedikit memulas bibir, menaburkan bedak tipis di pipi, menyemprotkan parfum andalannya. Meski Dian hanya mengenakan sepatu casual, celana jeans hitam dan kaos putih polos, Dian percaya dengan penampilan seadanya, ia bisa mudah menggaet cowok. Ya dengan badan ramping tinggi untuk ukuran wanita yakni 165 cm, rambut terurai lurus panjang. Dadanya juga cukup lumayan 34B tidak terlalu besar namun kencang dan membulat dengan kedua puting mungil.

Dian berkaca di kamar mandi cewek. Ia kini sudah mirip dengan mahasiswi-mahasiswi genit yang mencari om-om tajir berhidung belang.

“Dian ? kamu Dian kan ?”

Baru juga Dian keluar dari kamar mandi cewek, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Dian menenggok dan melihat seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain hitam, sepatu pantofel hitam. Penampilannya sangat khas Bapak-bapak.

“Siapa yah Pak?” jawab Dian sambil coba mengingat-ingat siapakah gerangan Bapak ini. Yang jelas Bapak ini mengenal dan tahu namanya. Jadi sudah pasti bukan sekedar orang iseng.

“Lupa kamu sama saya. Saya Pak Minto, mantan suaminya Bu Lurah,”ujar pria tersebut terus terang.

Mendengar kalimat “mantan suaminya Bu Lurah” membuat Dian langsung teringat dengan sosok pria pengusaha kaya raya yang kabarnya memang genit dan suka main perempuan hingga akhirnya ketahuan dan Bu Lurah pun minta pegatan (cerai).

“Oh iya Pak Minto, apa kabar Pak Sehat ?” tanya Dian.

“Nah masih ingat kamu sama Bapak. Sehat saya sehat. Lagi apa kamu, Dek Dian di sini?”

“Lagi jalan-jalan saja Pak, refreshing nenangin pikiran karena masalah kerjaan.” Rada geli sebenarnya ketika Minto memanggilnya dengan imbuhan “Dek” di depan namanya. Kesannya gimana gitu.

“Oh gitu,” ujar Minto sambil manggut-manggut.

Dian kemudian melihat Minto tengah menoleh kesana-kemari. “Eh cari apa Pak ? Pak Minto lagi sama istri ya?”

“Ah enggak, masih duda saya. Mana ada yang mau sama duda tua kayak saya hehe. Saya tadi sedang cari pacar De Dian, kenapa ia membiarkan pacarnya sendirian saja,” rayu Minto tipis-tipis.

Dian ketawa. “Ah pacar apa toh Pak. Jomblo saya.”

“Walah, pada buta apa cowok-cowok di Jogja, masak ada cewek secantik Dek Dian masih jomblo sih ?”

“Haha, yang mau sama cewek ndeso (desa) ini banyak Pak, cuman ya saya lagi pengen kerja dulu, bantu-bantu Ibu. Kalau ada pacar, nanti malah saya cuekkin,” jawab Dian jujur pada bagian ini.

“Bagus-bagus ! saya suka sama anak muda seperti Dek Dian yang pekerja keras. Sukses tinggal tunggu waktu ! Cari pacar buat Dek Dian untuk gampang, mumpung masih muda, semangat saja dulu berkarya ! Dek Dian, kamu sudah makan siang ? ayo kita ngobrol sambil makan. Kalau Dek Dian gak keberatan sih atau malah lagi ngurangin makan biar tetap langsing, hehe,” Minto sekali lagi melancar triknya menggoda cewek. Cewek seusia Dian yang memilih jomblo demi pekerjaan, biasanya akan suka jika di puji tentang kehebatan tekadnya.

Di sisi lain, Dian memikirkan sosok Pak Minto. Duda tua, kaya raya dan hobi main perempuan.

Tiga hal yang memenuhi kriteria om-om yang tengah Dian incar. Semua paket tersebut ada pada Pak Minto. Fiuh, paling tidak, aku tidak perlu berkeliling mall macam cewek gatel, pikir Dian.

Dian senyum-senyum sendiri. “Duh, gimana ya Pak ? Dian ada janji sama teman Dian sih untuk makan bareng di sini,” Dian tentu saja tidak mau terkesan gampangan, jadi ia tidak langsung mengiyakan ajakan Minto.

Namun Dian terlalu naif. Ia tidak menyadari bahwa seorang Minto sudah sarat pengalaman dengan cewek-cewek muda, terutama cewek-cewek yang memang punya maksud tertentu mencari mangsa om-om tajir di mall. Dian, yang boleh di bilang dulu adalah gadis kecil yang tinggal tidak jauh darinya, sebelum ia bercerai dan pindah dari Desa Lambeturah, kini menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik menggugah semangatnya. Minto pun bermain selow dan mengikuti dulu gaya bermain Dian.

“Nah ajak saja sekalian temanmu makan bareng dengan kita, makin ramai kan makin asyik. Udah yuk kita makan dulu. Dian, kamu mau makan Holycow Steak ?” rayu Minto.

Dian jujur saja ngiler mendengar ajakan makan di Holycow Steak yang memang uenak namun mahal. Ia menyadarinya dirinya kini lapar, apalagi dalam beberapa hari ini ia kehilangan selera makan.

Minto tersenyum ketika Dian mengangguk.

Keduanya lalu makan sambil bercerita ringan seputar kegiatan masing-masing, hingga kemudian Minto bertanya sesuatu kepada Dian.

“Dek Dian, tadi kamu cerita kamu lagi masalah di kerjaan, boleh lah cerita-cerita sama saya. Apa lagi sepi job ? Saya lumayan punya banyak kenalan beberapa orang penting di seputaran Joglosemar, beberapa ada yang bercerita hendak menikahkan anak mereka tahun ini. Saya bisa rekomendasikan Prisma Entertainment ke mereka. Dek Dian cukup siapkan portofolio sebaik mungkin, saya yakin bisa dapat tuh.”

Dian tersenyum karena Pak Minto begitu perhatian dan sangat dewasa. Ya tentu saja, dengan perkiraan usia mendekati 50 tahun, ia pasti sudah dewasa, batin Dian coba menebak. Ya memang agak naif si Dian ini. Akibat kurang kasih sayang dari sosok seorang Bapak, membuat Dian mulai termakan aura kebapakan dari Minto.

Sosok Ayah yang simpatik dan sigap membantu putrinya.

“Kalau job sih dalam bulan ini, terhitung padat merayap pak sampai akhir bulan, “ jawan Dian.

“Lho bagus dong itu, jadi apa yang membuat Dek Dian galau di tempat kerja ? atasanmu galak ? tidak cocok dengan teman sekerja ?” Minto coba menebak-nebak.

Dian ingin mengarang sebuah kebohongan agar ia tidak terlalu terlihat putus asa di depan Minto, tetapi ia sudah tidak bisa berpikir jernih, steak yang tersisa dua iris, perlahan Dian singkirkan, ia sudah kehilangan selera makan. Dian sudah memutuskan untuk jujur saja dengan Minto. Ia sudah capek dan kepepet.

Ia tidak peduli jika terjadi suatu keajaiban, semisal Minto berani membayarnya dua puluh lima juta Rupiah, Dian akan ikhlas dengan senang hati melayani menservis pria tua di hadapannya sekarang. Yang penting ia dapat uang yang menjadi sumber keresahannya dalam beberapa hari terakhir.

Bayangan ia di laporkan bosnya atas tuduhan penggelapan uang dari customer yang bisa menggiringnya masuk ke dalam penjara sebenarnya tidak terlalu menakutkan bagi Dian.

Ada hal yang lebih menakutkan bagi Dian.

Omongan para tetangga macam Bu Tejo, Bu Sri dan Yu Sam beserta gerombolannya, jika tersiar kabar di kampungnya, ia masuk penjara karena penggelapan uang. Sudah pasti Ibu-Ibu itu girang bukan kepalang karena ghibah, nyinyiran mereka bahwa dirinya bukan cewek baik-baik akan terkonfirmasi benar. Gak kebayang jika Ibunya yang tinggal sendirian di kampung, mendengar omongan sadis dari mereka. Bisa-bisa Ibunya jatuh sakit lalu meninggal karena tidak tahan mendengar ocehan sadis Bu Tejo cs.

Amit-amit.

Ya, seorang Dian lebih takut terhadap dampak omongan Bu Tejo cs terhadap kesehatan Ibunya di bandingkan masuk ke dalam sel berjeruji dingin berdesak-desakan dengan napi wanita lainnya.

“Dua hari yang lalu saya kena jambret di daerah Jakal Pak. Tas yang berisi uang pelunasan dari pelanggan, raib. Karena saya bingung dan masih shock dengan kejadian tersebut, saya tidak berani masuk ke tempat kerja dengan beralasan sakit, takut di tagih oleh bos tentang uang pelunasan dari pelanggan yang akhir pekan ini melangsungkan resepsi di Hotel Santika. Hari ini ponsel saya tidak berhenti berdering, puluhan atau ratusan chat masuk Whastapp, tapi saya tidak berani mengangkat atau membacanya, karena saya tahu, saya pasti sedang di cari-cari sama bos dan teman kerja.”

“Lalu, apakah Dek Dian cuma bisa meratap dan pasrah dengan posisi tersebut ?” tanya Minto.

“Pak, kalau saya punya uang, pasti akan saya ganti. Tetapi untuk saat ini, tabungan di rekening saya hanya tersisa satu atau dua juta. Saya benar-benar kepepet. Tidak ada saksi mata di sana. Jadi tidak mungkin ada yang percaya dengan cerita saya kalau uang dari customer itu raib kena jambret.”

Minto kemudian menggenggam jemari Dian dan mengelusnya tanpa mengucapkan apa-apa, ia menatap Dian dengan pandangan mata yang meneduhkan, bak seorang Bapak yang menguatkan hati putrinya yang tengah mendapat ujian berat. Dian merasakan kehangatan dari pegangan serta elusan pelan dari Pak Minto. Meski tangan Pak Minto kasar, namun Dian tidak mempermasalahkannya. Dian lalu lanjut bercerita.

“Saya punya beberapa benda lagi yang bisa saya jual untuk mengganti uang tersebut. Saya akan jual motor, perhiasan dan tub-”

“Udah stop. Jangan Dek Dian lanjutkan lagi. Saya sudah paham. Berapa uang yang Dek Dian butuhkan ?” tanpa basa-basi Minto langsung memutus cerita Dian dan langsung bertanya ke inti masalahnya.

“Kalau motor, saya rasa bisa laku di gadau sepuluh jutaan Pak. Lalu saya ada sedikit perhiasan emas dan tabungan ya kira-kira kalau ke kumpul lima jutaan. Jadi saya masih perlu sepuluh jutaan lagi. Kalau Pak Minto..mau dan tertarik..dengan saya…dengan tubuh saya..asalkan Pak Minto bisa memberikan uang kepada saya sepuluh juta..saya siap memberikan tubuh saya untuk Pak Minto nikmati selama satu hari penuh..hiks. ”

Kenyataan ini membuat Dian terisak, dadanya terasa perih, air mata mulai terkumpul di pelupuk matanya. Beban pikiran yang ia tanggung mulai meruntuhkan ketegaran dirinya, terutama ketika ia dengan sadar menawarkan harga untuk menikmati tubuh moleknya di depan Minto.

Ada perbedaan besar antar cewek yang berhubungan seksual demi kepuasan dengan orang yang ia sayangi dengan dengan cewek yang menjual tubuhnya demi uang dan dengan siapapun orangnya. Dian sudah membuang rasa malunya. Ia tahu Pak Minto orang kaya, tetapi uang sepuluh juta Rupiah itu juga banyak, Minto bahkan bisa mendapatkan ayam kampus yang lebih pro dengan tarif jauh di bawah harga itu.

“Oke. Tunggu di sini, saya ambil uang dulu. Dek Dian, habiskan steak-nya. Sayang tinggal dua iris lagi” kata Minto lalu berdiri.

Dian melihat Minto mampir ke kasir untuk membayar makanan yang mereka santap, Dian lega karena paling tidak, Minto tidak menjebaknya dengan kabur begitu saja setelah mendengar ceritanya. Karena entah apa jadinya jika pria tua itu ternyata kabur dan meninggalkan dirinya beserta tagihan yang mesti dia bayar. Dian coba menghitung, paling tidak dari makanan dan minumam yang ia dan Pak Minto pesan, kurang lebih total tagihannya sekitar empat ratus ribuan. Dian tersenyum kecut karena dompet yang ia bawa hanya berisi SIM, STNK dan dua lembar uang lima puluh ribu. Ponsel pun tidak ia bawa. Dompet yang berisi kartu ATM, berada di tas yang satunya yang ia tinggal di kost.

Setelah menghabiskan dua iris steak dan meneguk es jeruk, Dian merasa sudah kenyang. Dian lalu ke toilet untuk mencuci muka, menghilangkan jejak mukanya yang sembap. Dian memoles kembali bedak dan lipstiknya yang sedikit luntur setelah makan dan kena air, tak lupa menyisir rambut dan menyemprotkan parfum. Ia sudah menemukan pria penolongnya. Dan ia malah senang karena pria tersebut bukanlah sepenuhnya orang asing, Pak Minto tetangganya dulu, ia punya seorang putra bernama Fikri. Ia tidak terlalu mengenal Fikri karena dia jarang bergaul keluar rumah.

Selesai berdandan, perasaaan dia kini lebih tenang. Saat ia kembali ke meja, Minto masih belum balik. Saat Dian baru saja menaruh pantatnya yang sekal ke kursi, Minto datang. Ia menenteng handbag terbuat dari kulit berwarna hitam, Dian merasa lega.

“Ini Dek Dian,” Minto menyerahkan tas tersebut ke hadapan Dian.

Dian tidak berani memegang tas tersebut. Lalu Minto menaruh selembar kartu nama di meja. “Dek Dian, saya pergi dulu, ada urusan pekerjaan. Kalau ada apa-apa, bisa kontak ke nomor saya,” katanya.

“Eh ?” Dian malah kaget karena Minto malah pamit mau pergi. Dian malu bertanya tentang kewajiban yang mesti ia tunaikan kepada Pak Minto.

“Dek Dian gak usah mikir yang aneh-aneh, saya gak mau manfaatin kondisi Dek Dian demi kesenangan saya. Yang penting Dek Dian sekarang cepat selesaikan masalahnya. Oia, handbagnya buat Dek Dian saja. Saya duluan ya.”

Minto mengangguk tersenyum dan kemudian bergegas pergi, meninggalkan Dian yang masih bingung. Setelah beberapa saat, Dian mengamati handbag yang masih terlihat baru. Ia baru ngeh dengan merk-nya. Bally Navy Mirror. Ini handbag mahal dan ori ! harganya sekitar dua jutaan. Rasa keterkejutan Dian makin bertambah ketika ia perlahan membuka risliting handbag. Ia melihat tiga gepok besar uang pecahan seratus ribu rupiah. Dian terkejut bukan kepalang saat melihat keterangan yang tertera di pita kertas uang tersebut.


BANK INDONESIA
100 lembar @ Rp 100.000
Rp. 10.000.000,-

Tiga gepok uang ini memiliki keterangan yang sama.

Tangan Dian gemetar, ia nyaris menangis terharu. Ia berniat menjual tubuhnya kepada Minto, sebesar sepuluh juta Rupiah. Namun ia kini mendapatkan uang sebanyak tiga puluh juta Rupiah berada di dalam handbag berharga jutaan yang Minto berikan kepada dirinya dan yang lebih gilanya lagi bagi Dian, Minto tidak mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk bersetubuh dengannya, ia malah pergi sendirian dan hanya meninggalkan selembar kartu nama.

Dian merasa terharu memegang kartu nama tersebut, tangannya masih gemetar dan kemudian dengan penuh kesadaran mencium kartu nama Minto sembari berkata lirih, “Terima-kasih Pak Minto, terimakasih.”

Ada getaran halus berdesir dalam hati seorang Dian.

Dian segera kembali ke tempat kerja dengan hati yang berbunga-bunga. Dian beralasan dia sudah sembuh tapi mesti pulang sebentar ke Bantul menemui Ibunya dan ponselnya ketinggalan di kosan. Bosnya yang sudah khawatir Dian bertindak aneh-aneh membawa lari uang milik customer, ikut lega ketika Dian menyerahkan uang pelunasan tepat dua puluh lima juta Rupiah.

Aktivitas dan kehidupan Dian pun kembali normal, namun tidak dengan perasaan Dian. Ia merasa ingin kembali bertemu dengan Minto, untuk memberikan ucapan serta ungkapan terimakasih secara langsung kepada Pak Minto, bukan sekedar ucapan melalu Whatsapp, bahkan jika Minto menagih dalam bentuk hubungan seks, Dian akan merasa dengan senang hati melayani nafsu pria tua yang sudah membuat Dian mabuk kepayang.

Tanpa Dian ketahui, pada dasarnya, Minto adalah sang musang tua yang sudah memiliki jam terbang tinggi menaklukkan para perempuan muda. Ia tahu benar memainkan perasaan para perempuan. Minto tidak terlalu hobi sebenarnya tidur dengan para perempuan ayam kampus yang jelas-jelas cuma butuh duit. Ia lebih suka menaklukkan para perempuan muda yang basicnya bukan penjaja cinta. Minto menikmati tantangan tersebut, dengan uang yang ia miliki, Minto punya seribu satu cara menaklukan mereka dengan cara yang sangat halus.

Kemenangan yang hakiki bagi Minto adalah ketika perempuan muda yang ia incar, menghentak-hentakkan pinggul di atas tubuh tuanya ketika mereka bersetubuh sambil mengerang manja, karena mereka memang ingin bercinta dengannya, bukan karena merasa di bayar dengan uang.

Hanya saja, Minto mulai merasakan kejenuhan berburu perempuan. Dia usianya yang mulai senja, Minto mulai capek, ia ingin kembali menikah dan memiliki istri, istri yang berusia lebih muda daripada dirinya tentu saja. Di saat itulah tanpa sengaja ia melihat dan bertemu Dian.

Saat berbincang dengan Dian, Minto merasa betah, nyaman bukan sekedar karena kecantikan Dian semata. Bahkan terbayang bagaimana seandainya ia menikahi Dian, ia akan berhenti berpetualang berburu daun muda. Minto merasa mudah baginya menikahi Dian, dengan berbagai macam cara, tetapi kecintaan Dian terhadap Ibunya, yang rentan dengan omongan tetangga, membuat Minto memiliki sebuah rencana.

Sebuah rencana yang akan membuat siapapun bahagia.

Setelah beberapa kali bertemu makan bareng, jalan-jalan berdua ke tempat wisata, Dian dan Minto semakin dekat. Dian semakin menemukan kenyamanan. Bahkan ia tidak segan memanggil Minto dengan sebutan Mas, bukan lagi Pak. Ia tidak peduli dengan usia Minto yang dua kali lipat umurnya, bagi Dian, ia seperti menemukan paket lengkap. Seorang pasangan iya, seorang Bapak iya. Status Minto adalah duda, Dian sendiri ia masih single, keduanya bisa menjalin hubungan dengan bebas. Minto sendiri seperti merasa muda lagi ketika jalan dengan Dian yang enerjik dan ceria. Minto semakin mantap mengeksekusi rencananya.

Rencana tersebut di mulai dengan sebuah persetubuhan yang panas antara dirinya dengan Dian untuk yang pertama kalinya.
.
.
Di dalam sebuah kamar hotel di kawsan Bandungan, Semarang, nampak sepasang sejoli baru saja masuk ke dalam kamar nomor 27. Mereka adalah Minto dan Dian. Minto mengamati seisi kamar. Sementara Dian, masuk ke dalam kamar mandi untuk buang air kecil. Minto meletakkan ponselnya di meja, lalu mendekati Dian yang membelakanginya setelah menutup pintu kamar mandi. Tepat ketika Minto ingin memeluk Dian, Dian membalikkan badannya. Minto segera memeluk pinggang Dian membuatnya merapat dalam pelukan, Dian dengan rambut yang masih tergelung ke atas merespon pelukan Minto dengan mengalungkan kedua tangannya di atas bahu Minto.

Minto dan Dian saling beradu pandangan mata. Tidak perlu lagi ada kata ketika dari mata saja, semuanya sudah terbaca.

Lalu dalam hitungan detik, keduanya terlibat percumbuan yang panas. Keduanya saling menjulurkan lidah dan bergantian mencucup lidah lalu melumatny. Bibir keduanya tenggelam dalam kecipak air ludah. Dian menjambak rambut di belakang kepala Minto agar terus mendekat kepadanya, Dian seolah tidak mau melepas ciuman barang sedetikpun. Sementara Minto semakin merapatkan tubuh bawahnya ke tubuh bagian bawah Dian. Kedua tangan Minto dengan meremas kedua bongkahan pantat Dian yang masih terbungkus rok. Desahan nafas keduanya memenuhi seisi kamar.

Minto lalu mengangkat pantat Dian dan mendudukkannya di meja dekat TV. Setelah ciuman mereka terlepas, Minto lalu menyusuri leher Dian yang mulus dengan ciuman dan ujung lidahnya, Dian merespon dengan mendesah lalu mendongak ke atas. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan seolah ingin agar Minto bisa menikmati semua kulit lehernya. Dengusan nafas Minto yang panas memburu dipadu dengan ujung lidah Minto yang basah, membuat bulu kuduk Dian merinding. Apalagi ketika Minto mulai menciumi kuping dan area di belakang kupingnya. Secara bergantian, Minto menyerang titik kelemahan di leher dan belakang kuping Dian, hal itu membuat desahan Dian berubah menjadi erangan karena seluruh bulu kuduk Dian merinding mendapatkan rangsangan yang begitu intens.

Minto sengaja berlama-lama mencumbu leher Dian, dia tidak peduli jika cumbuannya nanti akan meninggalkan bekas merah-merah di leher Dian yang tidak akan hilang untuk beberapa hari ke depan. Kedua ujung puting Dian pun mulai mengeras, dan vaginanya mulai basah. Gesekan puting Dian yang semakin sensitive terkena bra yang dipakainya membuat Dian semakin kegelian, apalagi pinggang Minto yang kini sejajar dengan selangkangan Dian semakin menekannya. Dian bisa merasakan, penis Minto sudah mengeras di balik celananya.

Meskipun masih memakai celana, ujung penis Minto terasa sekali menekan tepat di selangkangannya. Minto yang merasakan nikmat di ujung penisnya karena gerakan gesekannya menumbuk selangkangan Dian, semakin menggerak-gerakkan pinggangnya seolah sedang menyetubuhi Dian. Tubuh Dian merespon balik, kedua kaki Dian lalu menjepit pinggang Minto. Sehingga tubuh mereka semakin merapat dan tubuh Dian juga membuat gerakan menyambut gesekan dari Minto. Kini mereka berdua seolah sedang bersetubuh hanya saja mereka masih memakai pakaian lengkap.

“Ohhh.ohhh, mas gelii..aaaahhh,”desah Dian di kuping kiri Minto.

Minto lalu menyergap mulut Dian dan kembali mencumbunya. Bergantian bibir bawah lalu bibir atas Dian, Minto melumat bibir Dian dengan tandas terkadang sakit gemasnya Minto menggigit dagu Dian. Keduanya lalu saling memegang kepala belakang pasangannya seakan tidak ingin salah satu dari mereka melepas ciuman panas tersebut, sampai-sampai dari sela-sela dagu mereka mengalir air liur.

Oh baru petting dengan pakaian lengkap begini saja bisa nikmat banget, batin Minto di tengah percumbuannya.

Hampir 10 menit, keduanya bertahan dengan posisi tersebut. Lama-lama Minto ingin merasakan kenikmatan lebih. Minto menarik Dian turun dari meja dan memepetnya ke dinding lalu menarik celana dalam Dian dari dalam rok. Dian merespon dengan meluruskan dan membentangkan kedua kaki jenjangnya, mempemudah Minto melolosi celana dalamnya. Kemudian Minto itu memasukkan tiga jari tangan kirinya yakni jari telunjuk, jari tengah dan jari manis ke dalam mulut Dian.Dian tanpa merasa jijik, mengemut dan menjilati tiga jari yang mulai keriput masuk ke dalam mulut. Lidahnya menjelajah di sela jari hingga benar-benar basah.

Ketiga jemari yang telah basah dan licin oleh air ludah, merayap ke bawah hingga menggerayang masuk ke dalam liang vagina sang Dian yang juga sudah basah. Jari tengah dan jari telunjuk menelusup masuk perlahan dan kemudian perlahan mulai mengorek-ngorek vagina sehingga Dian mendesah dan menggeliat dibuatnya, kedua pahanya terkatup mengapit tangan sang Minto. Sementara tangan Minto yang lain merambat ke atas melepaskan satu-persatu kancing baju kemeja berwarna merah yang di kenakan Dian hingga terbuka semua memperlihatkan bra hitam berukuran 34B.

Dian lantas melepaskan kait branya yang terletak di dada antara dua cupnya dan menyembullah payudara montok berputing coklat muda itu. Minto tidak melewatkan kesempatan bermain-main dengan dua buah gunung kembar nan sekal yang berada tepat di depan matanya. Diusap-usapnya gumpalan daging kenyal itu dengan tangan kanannya, jarinya memilin-milin putingnya sehingga makin menegang, sementara tangan kirinya makin intens mengocok-ngocok vagina Dian. Desahan nikmat terdengar dari mulut si Dian, matanya merem-melek dan nafasnya makin memburu.

“Kamu suka ya Dek vaginamu Mas kobel-kobel,” bisik Minto sambil sesekali membenamkan bibir dan wajahnya di leher Dian.

“Iyah…Mas.. terushh…!” desah Dian sambil mengangguk dan menggenggam tangan Minto yang memegang payudaranya, meminta agar tangan itu terus meremas-remas kedua buah dadanya secara bergantian.

Dian lalu merasakan kakinya dibuka dan basah pada vaginanya. Ternyata Minto sudah menunduk dan membenamkan wajahnya disana. Lidahnya yang panas menjilat-jilat vaginanya disertai gerakan menghisap.

“Uuuhh…Mas…sshhh !” desah Dian kelojotan.

Minto yang nafsunya sudah di ubun-ubun, menyudahi aksi oralnya, Minto berdiri di depan Dian memelorotkan celana panjang berbahan kain dan mengeluarkan penisnya yang sudah mengacung tegak. Sejenak Dian terpana melihat keperkasaan penis Minto yang besar berurat itu, lalu dia menggerakkan tangan menggenggam penis itu, rasanya hangat dan berdenyut karena yang punyanya sedang terangsang, lalu tangannya mulai mengocok batang penis Minto.

“Ohhh…Dek..enak banget !” desahnya sambil membelai rambut Dian.

Dian itu dengan bernafsu menjilati seluruh batang penis di hadapannya, terkadang buah pelirnya pun diemut. Kemudian dia menyibak rambutnya yang sudah agak kusut, beberapa helainya malah mulai berwarna kelabu. Dian membuka mulutnya lebar-lebar mengarahkan kepala penis bak kepala jamur berwarna kemerahan ke dalam mulutnya. Minto mengerang nikmat. Dian mempermainkan batang penis itu, dikulum-kulum dalam mulutnya dan juga diputar-putar dengan lidahnya, tangannya pun memijati buah zakarnya dengan lembut.

Minto sudah tidak tahan lalu menarik lengan Dian agar berdiri lalu disandarkannya ke tembok terdekat. Baju dan branya telah terbuka dan roknya tergulung ke atas memperlihatkan organ-organ kewanitaanya. Minto lalu melumat payudara kanan Dian. Dengan rakus mulutnya menyedoti payudara montok itu sesekali giginya menggigit ringan putingnya yang menggemaskan. Dian memejamkan mata menikmati serangan sang Minto yang terlihat culun tetapi ternyata sangat pintar memberikan kepuasan kepadanya selain uang tentu saja. Minto lalu mengusap-usapkan jarinya pada klitorisnya sehingga Dian makin diamuk birahi, membuat tubuhnya bergetar.

Tak lama kemudian Dian merasakan jari yang mengorek kemaluannya dikeluarkan lalu berganti sebuah benda tumpul lain yang menekan-nekan belahan bibir kemaluannya. Minto itu lalu mengangkat kaki kanan Dian hingga sepinggang, lalu pelan-pelan dia tekan masuk penisnya ke vagina yang telah becek itu.

“Uuhh…!” Dian merintih sambil memeluk Minto lebih erat merasakan setengah dari batang itu melesak masuk ke vaginanya.

Ah, gila keras banget, erang batin Dian.

“Enak Dek ?” tanya Minto lalu berhenti sejenak memperhatikan ekspresi wajah si Dian yang meringis menahan nyeri.

Dian mengangguk dan setelah ekspresi wajahnya kembali normal, Minto mulai menggerakkan penisnya keluar masuk vagina Dian. Tubuhnya tersentak-sentak karena Minto dengan penuh nafsu menghujam-hujamkan batang kemaluannya dalam jepitan vaginanya, tangannya meremas bongkahan pantatnya dengan gemas. Minto lalu mendekatkan wajah mencium bibir sensual Dian dan permainan lidahnya antara keduanya semakin dahsyat sampai air liurnya menetes-netes dari bibir masing-masing.

Erangan-erangan tertahan terdengar di tengah percumbuan itu.

Minto menunjukkan keperkasaannya, ia menggenjot Dian dengan tempo cepat sambil terlibat dalam ciuman yang panas dan cukup lama, hampir lima menit. Begitu mereka melepas bibir, nafas mereka sudah demikian menderu-deru dan berusaha mengambil udara segar. Minto lalu mengangkat kaki Dian yang satunya sehingga tubuhnya tidak berpijak di lantai lagi melainkan semakin mepet ke dinding kamar. Dian juga memeluknya lebih erat dan melingkarkan kakinya di pinggang Minto sementara kedua pahanya disangga sang pejantan tua. Hujaman penis itu makin terasa dalam dalam posisi ini.

“Ohhh…terushh…terus…masssss..” Dian itu menceracau karena merasakan sudah mau mencapai puncak.

Vagina Dian makin basah saja sehingga penis Minto bergerak makin lancar karena cairan itu melicinkan dinding kemaluannya. Tubuh keduanya bergoyang kian liar, Setelah bergumul sekitar limabelas menit, akhirnya Minto mengirimkan hentakan yang cukup keras disertai lenguhan panjang. Demikian pula halnya si Dian yang mencapai klimaks secara bersamaan, matanya membeliak dan tubuhnya berkelejotan.

Dian itu merasakan semprotan hangat di rahimnya, ia tidak peduli lagi ini masa suburnya atau tidak, sementara di selangkangannya cairan vagina itu bercampur dengan sperma yang meleleh keluar. Hujaman Minto makin lemah, terlebih dulu dia turunkan pelan-pelan kaki kanan Dian lalu yang kirinya, terakhir dia menarik lepas penisnya. Tubuh si Dian yang telah lemas melorot hingga terduduk di lantai, dia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi. Wajah Minto tersenyum menunjukkan kepuasan.

Minto lalu menggendong Dian dan merebahkannya di tengah tempat tidur. Keduanya berpelukan dalam posisi masih sama-sama telanjang bulat. Dian meletakkan kepalanya di atas dada Minto. Dian merasa bahagia. Begitu juga Minto.

Ia telah menemukan peraduan terakhirnya.

“Dek.. Mas mau ngomong sesuatu..” Minto mulai membuka obrolan sambil mengelus-elus rambut Dian yang hitam nan panjang.

“Apa Mas..”

“Dek Dian sayang sama Mas gak ?”

Dian lalu melihat ke arah Minto, ia menatap Minto dengan tatapan serius. “Mas, saya memang bukan perempuan yang suci. Tapi saya bukan perempuan murahan, saya mau tidur dengan pria yang saya suka, saya sayang. Apa yang barusan kita lakukan, masih kurang ?” tanyanya.

Minto tersenyum.

“Dek, saya pun sayang sama Dek Dian. Saya pengen memiliki Dek Dian sepenuhnya. Namun, untuk kita menikah kok rasanya tidak mungkin.”

“Maksudmu pie (bagaimana) Mas? Njenengan wedi di rasani wong-wong amargo rabi karo wong wedok sing luwih enom koyo aku (Anda takut jadi bahan pembicaraan orang-orang karena menikah dengan perempuan yang lebih muda seperi aku) ?” sahut Dian lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang.

Minto tertawa melihat Dian merajuk.

Lho opo ora kuwalik ? malah sing dadi rasan-rasan wong kui malah koe to Dek, due bojo wong tuo wis uwanen koyo aku. (Lha apa tidak kebalik ? yang jadi bahan pembicaraan orang-orang itu malah kamu Dek, punya suami sudah tua dan sudah beruban seperti aku).”

Dian menoleh dengan muka cemberut ke arah Minto.

“Aku ra wedi dadi bahan gunjingan uwong Mas. Sing nglakoni uripku kui kan aku, aku ra ngagas cocote wong liyo (Aku tidak takut jadi bahan gunjingan orang, Mas. Yang menjalani hidupku kan aku, aku tidak peduli omongan orang lain),” ujar Dian.

“Hahaha… Dek, kamu nek nesu jan uayu tenan, marai manukku ngaceng neh (kalau marah duh cantik sekali, membuat penisku tegang lagi),” jawab Minto sambil mengocok pelan penisnya yang memang kembali tegang.

“Ish.” Dian ngambek.

Minto mendekati lalu memeluk Dian dari belakang.

“Dek, coba jawab pertanyaan Mas. Kalau aku datang ke rumahmu, terus melamarmu, kira-kira Ibumu kasih restu gak ? aku sama Yu Tatik, Ibumu itu seumuran..”

Kemarahan dan kekesalan Dian langsung surut berganti dengan kesedihan, karena memang benar omongan Minto. Dia dan Minto memang orangnya cuek, tapi Ibunya tidak. Mental ibunya tidak sekuat dirinya dalam menghadapi sasaran ghibah.

Minto mengencengkan pelukan di perut Dian yang ramping. Ia meletakkan dagunya di pundak kanan Dian. Dian membalas dengan memegang kedua lengan Minto yang mendekap perutnya.

“Kalau Dek Dian, memang beneran sayang sama Mas, Mas punya cara. Dengan cara ini, kita berdua bisa bahagia, Ibumu pun juga ikut bahagian bahkan bangga,” bisik Minto pelan.

Dian langsung menoleh ke arah Minto. Matanya nampak membesar pertanda antusias. “Gimana, gimana Mas ?”

“Dek Dian mesti pacaran lalu menikah dengan anakku, Fikri,” ucap Minto tegas.

Dian melongo mendengar ucapan Minto. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sebelum Dian bertanya, Minto langsung membeberkan rencananya.

“Kalau kamu menikah dengan Fikri, kita bisa tetap dekat. Kita bisa sering bertemu. Di depan Fikri, Bu Lurah dan para tetangga, kita hanya menantu dengan Bapak Mertua. Tapi di belakang layar, kita adalah pasangan kekasih. Ibumu pun bakal bangga karena bisa jadi besanan dengan Bu Lurah.

Selain itu, secara tak langsung aku bisa mewariskan semua usahaku, hartaku kepada kamu Dek. Kamu bisa kelola perusahaan travelku. Bahkan Dek Dian bisa punya anak dari benih Mas, bukan dari benihnya Fikri. Di mata hukum, Dek Dian itu menantu, tapi di mataku, Dek Dian itu adindaku. Percayalah Dek, ini jalan satu-satunya agar kita bisa tetap bersama-sama. Aku sayang sama Dek Dian. Gimana, kamu mau Dek ? masalah Fikri, gampang, Mas yang atur skenario biar kamu bisa kenal dan pacaran sama dia. ”

Dian berpikir sejenak namun hanya dengan sebuah senyuman dan anggukan, Minto tahu Dian menyetujui rencananya. “Kamu pinter banget Mas.”

Minto tertawa terkekeh. “Dadi Wong ki kudu sing solutif (Jadi orang itu harus yang solutif).”

Minto langsung menyambar bibir Dian dan keduanya kini kembali bermesraan, berciuman, Minto yang sudah bangkit lagi nafsunya, lalu meminta Dian menungging. Dian memutar membelakangi Minto, menunggingkan pantatnya sementara ia sendiri tengkurap sambil menatap Minto.

“Ayo Mas,” desah Dian sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.

Tangan kiri Minto lalu memegang pinggang Dian, sementara tangan kanannya mengarahkan penis ke relung vagina Dian yang sudah mengkilat basah. Setelah penisku masuk ke dalam vaginanya, kami melenguh bersamaan. Minto langsung menghentak-hentakkan pinggulnya. Satu tangan Minto meremas pantat Dian, sementara satu tangan lagi meremas payudara Dian yang tergantung indah dari bawah.

“Aaahh…aaahh…tekanaaann….lebihh dalaammmm…aaangghh !!” desah Dian seksi.

“Oouhhh…nikmatttt… Dek !!” timpal Minto.

Minto kini mencengkeram sepenuhnya pinggul Dian dan Dian pun juga ikut menumbuk-numbukkan pantatnya ke belakang. Wajah keduanya tampak sayu, terutama Minto, karena nafsunya kini bercampur dengan rasa cinta, ia tidak bisa bertahan lebih lama daripada biasanya.

“DEKKH..AKHHHH…DEKKK…OHHOOKHH !!” Minto mengejan.

Tubuhnya yang gempal dengan perut membuncit mengejang merasakan nikmatnya orgasme untuk yang kedua kalinya di vagina perempuan muda yang ia cintai. Sperma Minto menyembur berkali-kali memenuhi rahim Dian, selama beberapa detik. Minto terus menekan penisnya dalam-dalam di liang vagina Dian sambil bergidik nikmat menuntaskan ejakulasinya. Lendir pelumas vagina Dian dan sperma si pejantan tua bercampur membludak keluar, meleleh turun ke paha dan mendarat di sprei tempat tidur.

Sementara itu Dian juga mengalami orgasme saat Minto menghujamkan penisnya dalam-dalam, memerah semua sperma yang meluncur keluar. Minto lalu ambruk di samping tubuh Dian. Dian pun kini terbaring telentang di samping Minto. Mereka saling berpandangan.

“Mas sayang, cinta sama kamu Dek,” kata Minto sambil mengecup kening Dian.

Dian tersenyum dan memejamkan mata saat Minto mencium keningnya. “Dian juga sayang, sayang banget sama kamu Mas,” balas Dian.

Demi pria yang ia cintai, Dian rela dan siap berkubang dosa menjalin hubungan terlarang dengan Minto, sang calon mertua sekaligus calon suaminya.


***

Ketika Fikri dan Minto masuk ke ruangan, Minto langsung tersenyum penuh arti. “Gimana kabarmu Dek Dian ?”

Dian langsung menghampiri dan mencium punggung tangan Minto. “Baik Pak.”

Buat orang Jawa, mencium punggung tangan orang yang lebih tua adalah sebuah sikap bentuk penghormatan. Namun buat Dian, ciumannya barusan adalah wujud kecintaan kepada Minto, kekasihnya. Fikri yang tidak tahu apa-apa, tidak tahu bahwa ia hanya di jadikan boneka olehnya Bapaknya, justru merasa senang dengan sikap hormat Dian kepada Minto. Kalau Dian dan calon Bapak Mertuanya akur, keinginan Fikri bisa makin melenggang mulus untuk memperistri Dian secepatnya.

Minto lalu menghampiri Bu Lurah yang masih tertidur karena pengaruh obat. Buat Minto, Bu Lurah kini bukan siapa-siapa. Tak ubahnya ia tilik (menjenguk) tetangga atau teman lamanya yang sakit.

“Tadi Ibu-Ibu mau tilik (menjenguk) Ibu Pak, tapi tadi Ibu pas masih di ICU jadi gak bisa di tengok sama mereka. Padahal Ibu-ibu sudah sewa dan naik truk dari desa sampai kesini,” Fikri mencoba basa-basi dengan Bapaknya menceritakan tentangan rombongan Ibu-Ibu yang tadi sore sampai ke RSUD untuk tilik (menjenguk).

“Lho, apa kamu gak kabari mereka Fik, kasian lho jauh-jauh dari desa sampai ke sini,” tanya Minto.

“Eh tadi saya sempat telepon Yu Ning, Pak, mau kasih kabar kalau Bu Lurah belum bisa di tengok. Karena saya hafal sama Yu Ning, ia pasti ngajak para tetangga untuk tilik (menjenguk) Bu Lurah. Namun pas saya coba telepon, susah sekali Yu Ning di hubungi, ya akhirnya rombongan Ibu-Ibu sampai sini tapi gak bisa nengok Bu Lurah,” jelas Dian.

Walah ibu-ibu kae mesti do kecelek (Walah Ibu-Ibu itu pasti pada kecewa),” ujar Minto lalu duduk di sofa yang ada di ruangan.

Lha pripun malih Pak. Oia, Bapak sampun dahar ? nek durung, lagi pengen dahar nopo pak, kulo golekne. (Ya mau gimana lagi Pak. Oia, Bapak sudah makan ? kalau belum, lagi ingin makan apa Pak ? saya carikan).”

Minto yang opportunis, melihat sebuah peluang untuk sedikit bersenang-senang dengan Dian, lalu menjawab.

“Bapak sih sebenere lagi kepengen maem Gudeg Pawon. Tapi ora usah weh, kadohan, golekne Gudeg sing cedak-cedak kene wae ora popo (Gak usah saja, kejauhan, carikan Gudeg yang dekat-dekat sini saja tidak apa-apa).”

Minto sengaja minta di belikan Gudeg Pawon, salah satu makanan legendaris khas Kota Jogja yang lokasinya cukup jauh dari RSUD Bantul. Selain jauh, jam-jam segini juga biasanya lagi ramai-ramainya pembeli. Dengan sedikit permainan kata, Fikri tidak sadar ia sedang di minta pergi secara halus oleh Minto.

Mboten nopo-nopo to Pak. Yawis, Fikri tumbaske riyen njih Pak (Tidak apa-apa to Pak, Yasudah, Fikri belikan dulu ya Pak). Dian, kamu temenin Bapak dulu ya, Mas mau belikan Bapak Gudeg Pawon buat kita bertiga sekalian.”

“Oke Mas,” jawab Dian.

Minto mengangguk senang. “Suwun Yo le, (makasih ya nak).”

Ucapan yang bermakna ganda tentu saja, Minto pantas mengucapkan terimakasih kepada Fikri karena kini ia bisa berduaan sejenak dengan Dian, kekasih gelapnya selama satu-dua jam ke depan.

Njih (Oke) Pak.” Fikri lalu mengambil jaket yang tadi di lipat Dian. “Numpak opo le ? Motor ? wis gowo mobile Bapak wae kae lho (Naik apa Nak ? Motor ? dah kamu bawa mobilnya Bapak saja).”

Nitih motor’e Dian Pak, ben luwih (Naik motornya Dian Pak, biar lebih) cepat.”

Oh yowis, ati-ati le, rasah kesusu. (Oh yawdah, hati-hati Nak, tidak usah buru-buru),” ujar Minto menasehati Fikri.

Fikri pun lalu keluar ruangan, meninggalkan Minto, Dian dan Bu Lurah. Sepasang sejoli dan seorang mantan istri.

Begitu Fikri pergi, Dian langsung menyergap Minto yang duduk di sofa, ia menghujani Minto dengan ciuman. Ia benar-benar kangen dengan Minto karena dua bulan ini mereka belum bertemu karena sama-sama lagi sibuk dengan pekerjaan. Dian tidak memperdulikan Bu Lurah yang terbaring di tempat tidur.

“Hmmpphh..” sambut Minto yang senang karena Dian begitu agresif. Namun di saat yang sama, Minto agak khawatir kalau bercumbu di sini. Minto segera menggamit tangan Dian dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi yang berada di pojok ruangan ini.

Begitu masuk ke dalam kamar mandi, pintu hanya di tutup tanpa di kunci karena sudah nafsu Minto sudah menggelegak.

Minto mendorong tubuh Dian ke dinding kamar mandi. Bibir Dian menjadi sasaran penyerangan Minto di awal. Bibir itu dilumatnya. “Mmmffffhhhhhh...”

Dian tak mau kalah agresif, maka segera ia meraba penis pria itu yang sudah menegang di bawah sana. Masih dengan posisi bibir mereka saling menempel, Minto bereaksidengan membuka satu persatu kancing kemeja yang Dian pakai. Setelah semua kancing terbuka, kini dihadapan Minto, dua bra berwarna hijau yang masih menutupi payudara Dian. Minto menatap tanpa berkedip, garis-garis urat berwarna hijau di bagian gundukan payudara Dian. Sedangkan tangan gadis itu, sudah terasa mulai menurunkan ikat pinggang celana Minto.

Lalu tanpa menunggu lama, Minto menyerang leher Dian terlebih dahulu Menjilat inci demi inci kulit Dian.

“Oughhhh Mas,” mendengar Dian mendesah, Minto jadi makin konak.

Minto melirik ke wajah Dian, ternyata gadis itu sedang memejamkan kedua mata. Kedua tangannya yang tadi berada di selangkangan, kini telah berganti mengacak-ngacak rambut pria itu. Saking gemesnya Minto menggigit kecil gundukan Dian, membuatnya sedikit mendesah. Minto lalu membuka kaitan Bra Dian yang berada di depan. Sontak membuat pria itu menahan nafas sesaat. Kedua matanya bergerak melihat dua biji berwarna pink kecoklatan. Lalu, kepalanya digerakkan maju mendekat ke bagian kanan.

“Oughhttt... Mas, hisap yang kencang, Aku kangen sama Mas,” Dian mulai mendesah nikmat, saat Minto mulai mengenyot puting bagian kanannya.

Lidah pria itu menggelitiknya bergantian dengan yang sebelah kiri. Tangan kanan Minto pun tak tinggal diam, dia meremas payudara Dian bergantian sebelah kiri dan kanan. Sedangkan tangan kiri Minto, mulai meraba tubuh bagian bawah Dian.

Dian yang tidak tahan di kerjai langsung berjongkok dan membuka celana kain dan celana dalam Minto. Penis kesayangan Dian pun melenting keluar dalam posisi sudah mengacung keras. Beberapa saat, Dian masih mengocoknya. Setelah melihat Minto merem melek penisnya kena kocok tangan Dian yang halus, penis tersebut lalu dimasukkan ke mulutnya.

Minto merasakan kenikmatan yang luar biasa. Apalagi kerlingan mata Dian, yang setiap kali ia tunjukkan, membuat Minto makin bernafsu. Dan kini kepala Dian mulai bergerak naik turun mengoral batang penis sang musang tua.

“Shh, uenak banget Dek...” Minto mengerang sambil meraba kepala gadis itu, bersamaan pantatnya di angkat sedikit agar penisnya makin menancap dalam ke rongga mulut Dian. Setelah beberapa saat, Minto ingin langsung ke menu utama.

Minto langsung meminta Dian berdiri dan memutar tubuhnya, Dian yang paham dengan keinginan Minto, lalu memegangi tembok dan membungkukkan badannya ke depan.

Minto menarik ke atas rok diam hingga tersangkut di perut, sementara celana dalam putih milik Dian yang terbayang basah, ia tarik sampai di bawah lutut.

Keduanya mengerang ketika penis Minto menerobos masuk ke liang Vagina Dian yang hangat. Sambil menghantam pantat Dian, sesekali juga tangan Minto kembali meremas payudara Dian bergantian. Baik kiri maupun kanan. Minto makin menggenjotnya dengan tenaga full. Tubuh Dian terhentak-hentak, sedangkan wajahnya sesekali menoleh.

“Terus mas!” erang Dian saat pria itu makin mempercepat menggenjotnya. “Dian... Dian mau keluar!”

Hingga detik-detik yang di nantikan terjadi juga. Tubuh Dian melengkung, Dian mengerang keras, bersamaan badannya kejang-kejang. Menandakan kalau Dian baru saja mencapai puncaknya. Menggapai kenikmatan yang sejak tadi ia inginkan. Ia tidak peduli jika teriakannya akan terdengar keluar karena ia yakin ruangan ini cukup aman dan tidak akan terdengar siapapun di luar kamar, kecuali ada orang yang masuk ke ruangan dan berdiri di depan kamar mandi, niscaya ia pasti mendengar suara-suara desahan.

Sengaja Minto menghentikan gerakan sesaat. Menahan tubuh Dian agar tidak terjatuh ke lantai. “Mas.. nikmat banget.!”

Setelah mengantarkan Dian ke puncak, kini saatnya Minto yang menyusul kekasihnya.

Hanya saja, karena saking asyik memadu kasih, mereka tidak sadar bahwa Fikri yang tadi sudah di parkiran motor, kebingungan mencari dimana Dian memarkirkan motornya, bahkan Fikir juga baru menyadari kunci motor serta ponselnya ketinggalan di kamar. Maka Fikri pun kembali bergegas kembali ke ruangan, yang berada di lantai 3. Namun lift sedang ada perbaikan sehingga ia mesti mencari tangga darurat menuju lantai 3. Ngos-ngosan juga Fikri di buatnya.

Saat berjalan di lorong lantai tiga, Fikri berpapasan dengan Suster Yuli. Fikri pun iseng melempar senyum dan menyapanya. Namun herannya Suster Yuli nampak terkejut saat melihat Fikri.

Jika bukan pria ini yang secara kurang ajar bercinta di dalam kamar mandi, bersama pacarnya, lalu suara desahan siapa tadi yang ia dengar ?? batin suster Yuli.

Lima menit yang lalu Suster Yuli masuk ke ruangan untuk mengantarkan jatah makan malam untuk pasien, di saat itulah ia mendengar suara yang menghebohkan di kamar Mandi. Suster Yuli bergegas keluar dengan perasaaan malu sendiri.

“Ma…lam…Mas,” balas suster Yuli.

Karena merasa sikap Suster Yuli agak aneh, Fikri mengangguk singkat dan kemudian segera bergegas ke kamar.

Suster Yuli lalu teringat tadi ia melihat Fikri bersama seorang pria tua masuk ke dalam kamar.

Jangan-jangan…..

Suster Yuli hendak mencegah Fikri untuk tidak masuk dulu ke ruangan tersebut, namun lidahnya kelu..

Ia cuma bisa menatap punggung Fikri yang kemudian masuk ke dalam ruangan tempat Ibunya di rawat.

Suster Yuli 1000 % yakin Fikri akan mendengar suara aneh yang tadi ia dengar, suara desahan dari dalam kamar mandi.




= SELESAI =
 
Terakhir diubah:
Bu Tedjooooo ndang mrene bukk!!! .. woro² gosyip anyar, onok sing arep terkonang iki 🤣🤣🤣

Good job suhu, ceritanya sungguh menghibur, semoga sukses!! :beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd