Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tamu tak Di Undang

masukforum

Semprot Kecil
Daftar
25 Jun 2014
Post
63
Like diterima
44
Bimabet
Ini adalah c0pas salah satu cerita favorit yg entah sangat di sayangkan ga di teruskan 0leh penulis aslinya sejak th 2007. . . Dan saya menc0ba untuk melanjutkan, baik buruk m0h0n Pengertian karena masih nubii . . . Tamu Tak Diundang 1. “Kemarin malam dua narapidana melarikan diri
dari penjara. Kedua pria ini bersenjata dan
sangat berbahaya.” Dony mematikan TV.
“Jadi mereka tahu kemana kita pergi sekarang.”
Dony yang berumur 39 tahun, dipenjara karena
mengedarkan narkoba. Keterkaitannya dengan
jaringan obat bius membuatnya mendapat
hukuman penjara 20 tahun sampai seumur
hidup. “Saat ini mereka pasti sudah menemukan
peta yang aku tinggalkan dan pasti mereka
berpikir kita sedang kabur menuju ke utara. Kita
hanya perlu menunggu 24 jam lalu bergerak ke
selatan. Hari Kamis kita akan bertemu dengan
Eddy dan hari Jumat kita pasti sudah ongkang-
ongkang kaki menikmati hidup di luar negri.”
“Kedengarannya OK,” kata Jono. Jono adalah
rekan Dony dalam pelariannya. Jono sendiri
terpidana 20 tahun atas pemerkosaan dan
penculikan yang diperbuatnya terhadap 2 teman
kuliahnya. Walau terlihat mereka bukan
pasangan yang cocok, Jono sangat setia kepada
Dony selama hidup bersama di penjara.
Ricky memandang istrinya, Lusi. Mereka berdua
memang bukan dipilih secara khusus oleh kedua
narapidana tersebut. Ricky dan Lusi hanya
berada di tempat dan waktu yang salah. Dony
hanya memencet bel rumah itu. Saat Ricky
membukakan pintu, Dony dan Jono menyerbu
memaksa masuk ke dalam rumah. Saat itu suami
istri tersebut baru menyadari betapa parahnya
keadaan mereka. Kedua pria yang dikategorikan
“bersenjata dan sangat berbahaya” baru saja
memaksa masuk ke dalam rumahnya. Ricky
bukan seorang yang bertubuh besar dan ia tahu
bahwa dirinya bukan tandingan kedua
narapidana itu.
“Kelihatannya kita semua akan saling mengenal
lebih jauh lagi dalam waktu 24 jam ke depan.
Kalau kalian mau bekerja sama maka kalian akan
melewati semua ini hidup-hidup. Tapi jika tidak,
akan terjadi pertumpahan darah dengan cepat.
Apa kalian mengerti?”
Ricky menatap Dony lalu menganggukkan
kepalanya. “Kami tidak ingin mencari masalah.
Kami tidak perduli apa yang telah kalian perbuat
atau kemana kalian akan pergi. Kami akan
bekerja sama.”
“Bagus, bagus,” kata Jono sambil berjalan
menghampiri Lusi dan memandangi tubuhnya
dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya,
“Bagus, bagus.”
Dony sadar bahwa akan sulit mengontrol Jono
dalam situasi seperti ini. Sebenarnya ada saja
alasan yang bisa dipakai. Dengan hukuman
penjara 20 sampai seumur hidup, ditambah lagi
dengan kaburnya mereka dari penjara, jika
mereka sampai tertangkap lagi, mereka tidak
rugi apa-apa. Memang pemerkosaan bukanlah
gaya Dony namun sudah lama ia tidak
menikmati wanita dan Lusi sangatlah menarik.
Dengan tinggi badan 157 cm dan berat 50 kg,
kunjungan rutin Lusi ke fitness center 3 kali
dalam satu minggu tidaklah sia-sia. Lusi memiliki
pantat yang bulat dan kencang, perut yang rata
dan payudara yang ranum berisi dan memiliki
lekuk tubuh yang terlihat seperti gitar yang
sudah pasti akan menarik perhatian para pria.
Dony mendapati penisnya mengeras hanya
karena membayangkan tubuh Lusi.
Saat Jono mengelilingi Lusi, Ricky mencoba
untuk menghalanginya namun tangan Dony
sudah mencengkram lehernya. Kekuatan
cengkraman tangan Dony membuat Ricky
terduduk jatuh sambil menghirup udara
sebanyak-banyaknya karena kehabisan nafas.
“Jangan macam-macam, bocah!” kata Dony,
“Jangan coba-coba jadi jagoan. Kamu cuma akan
membuat keadaan jadi tambah buruk dan
bahkan mungkin bisa membuat keluargamu
terbunuh.”
 
Jono menahan lengan Lusi ketika ia hendak
menolong Ricky. “Aduh, Lusi, Ricky baik-baik saja
kok. Dia hanya perlu bernafas dengan baik.
Seharusnya kamu lebih memikirkan keadaanmu
dan juga dia.” Dengan menggunakan gerakan
kepalanya, Jono menunjuk ke arah Winda, anak
Lusi dan Ricky yang baru berumur 15 tahun.
Wajah Winda sangat mirip dengan wajah ibunya.
Dari bentuk tubuhnya, Winda terlihat sudah
masuk ke masa remaja dengan perut yang mulai
mengecil dan buah dadanya yang sudah
terbentuk, walau tidak sebesar payudara Lusi.
“Jangan bawa-bawa dia ke dalam masalah ini!”
teriak Lusi. “Ia hanya anak kecil.” Melihat dirinya
menjadi topik permasalahan, Winda mulai
menangis. Melihat hal ini, Ricky berniat bangkit
berdiri namun usahanya dipatahkan oleh Dony
dengan mendorong tubuhnya dengan kakinya.
“Duduk diam! Kalau kalian semua bekerja sama,
kami tidak akan mencelakai anak itu,” kata Dony
dengan penuh kuasa. Dony tahu dalam hatinya
bahwa Winda yang masih muda itu akan menjadi
godaan yang sangat sulit untuk dilewatkan baik
oleh Jono maupun oleh dirinya. Walaupun
demikian, dengan menawarkan sedikit harapan
akan dapat membantunya mengontrol situasi
seperti ini.
Jono mengambil alih kendali. “Oke, semuanya
duduk di sofa. Ayo sekarang! Dony, kau
perhatikan mereka.”
Setelah itu Jono keluar dari ruangan. Beberapa
saat kemudian ia kembali dengan senyum penuh
kemenangan dan gulungan tali.
“Oke, bung. Berdiri!” perintahnya.
Ricky berdiri dengan perlahan. Pikirannya
berkecamuk. Jika ia membiarkan dirinya diikat, ia
akan menjadi tak berdaya untuk melindungi
keluarganya. Sementara pikirannya masih
berputar, Ricky melihat Jono mengeluarkan pisau
dari kantong belakang celananya lalu
menjambak rambut Lusi dan menariknya
sehingga ia bangkit berdiri. Dengan gerakan
cepat Jono berputar ke belakang Lusi dan
menaruh mata pisau itu ke lehernya. Tanpa
pernah melepaskan tatapannya ke Ricky, Jono
berkata, “Jangan coba-coba jadi jagoan, bung!
Ini sudah diluar kemampuanmu. Satu gerakan
saja bisa mencelakaimu dan juga keluagamu.
Sekarang, tanggalkan bajumu!”
Ricky benar-benar tak menyangka mendengar
perintah itu. Ia memang sudah menduga-duga
apa yang bakal terjadi bahkan sudah menerima
kenyataan bahwa kedua binatang ini mungkin
akan memperkosa istrinya. Namun ia tidak
pernah terpikirkan bahwa mereka menginginkan
tubuhnya.
Dony tersenyum. Hal ini adalah trik lama di
penjara. Menelanjangi seseorang akan
membuatnya merasa tak berdaya dan lemah.
Seseorang yang telanjang akan jauh lebih mudah
dikontrol.
“Ayo cepat, bung. Aku mau semua bajumu
dilepaskan.”
Sementara pikirannya terus berkecamuk, Ricky
mulai membuka satu per satu kancing
kemejanya. Setelah itu ia melepaskan sepatu dan
kaos kaki. Dan yang terakhir ia menanggalkan
celana panjangnya.
Jono mengangguk ke arah celana dalamnya.
“Semuanya, bung. Aku mau kau telanjang
seperti saat kamu dilahirkan,” katanya dengan
senyum yang lebar.
“Tapi…,” Ricky menyela sambil menggerakkan
kepalanya ke arah putrinya yang masih berumur
15 tahun itu.
“Memangnya kenapa, Pa?” ejek Jono. “Winda
belum pernah melihat laki-laki yang telanjang?
Aku rasa ia sudah pernah melihatnya!”
Menoleh ke Winda, ia bertanya, “Bagaimana
Winda? Apakah kamu pernah melihat ular
bermata satu?”
Dony menahan tawa. Jono memang benar-benar
keparat. Ia senang mempermalukan mereka.
Pada kenyataannya Winda sudah tidak perawan.
Ia sudah pernah melakukan hubungan seks
beberapa kali dengan pacarnya, Tommy. Sadar
bahwa saat itu bukanlah saat yang tepat untuk
bercerita tentang hal itu baik kepada kedua
narapidana itu maupun kepada kedua orang
tuanya, Winda menggelengkan kepalanya untuk
menjawab: tidak.
“Semuanya, Pa. Sekarang!” Jono membentak.
Melihat sedikitnya alternatif yang ia miliki, Ricky
menanggalkan celana dalamnya dengan
perlahan. Memang penis Ricky termasuk
berukuran kecil saat berereksi, namun dalam
kondisi seperti ini penisnya bak siput yang
bersembunyi ketakutan.
Melihat hal ini, Jono tertawa terpingkal-pingkal.
“Pantas saja sedari tadi dia berusaha untuk
menyembunyikannya.”
Jono menengok ke arah Winda dan berkata,
“Jangan khawatir, Winda. Hari ini kamu akan
melihat ukuran laki-laki yang sesungguhnya.”
Jono menarik sebuah kursi dari ruang makan dan
menaruhnya di tengah-tengah ruangan. Semua
pandangan jatuh pada Jono saat ia mengitari
Ricky. “Mungkin aku harus memanggilmu: banci
untuk ukuran penismu yang mepermalukan
kaum laki-laki.”
Ditantang seperti itu, Lusi menjawab dengan
pandangan yang membara, “Ricky dua kali lebih
laki-laki dari kau. Dan aku menyayanginya
dengan sepenuh hatiku!”
“Oh, iya, iya,” jawab Jono. Lalu ia memerintah
Ricky, “Kedua tangan di belakang kepala! Tidak
ada gunanya menyembunyikan penismu!”
Merasakan bahwa saat itu adalah
kesempatannya yang terakhir untuk mengambil
alih kekuasaan, Ricky berputar ke kiri. Ricky
merasakan rambutnya dijambak oleh Dony dari
belakang. Jono menonjok perut Ricky dan ia
terbungkuk dan tersungkur kesakitan.
Sementara Ricky masih kesakitan, Jono bergerak
ke belakangnya dan mengamankan kedua
tangannya dengan mengikatnya dengan tali
yang baru dibawanya. Dony dan Jono
mengangkat tubuh Ricky lalu mendudukkannya
ke kursi di tengah-tengah ruangan itu. Jono
kemudian mengikatkan kedua kaki Ricky ke kaki
kursi tersebut, kiri dan kanan.
Dony terkesan betapa cepat semua itu
berlangsung dan kini Ricky telah terikat dan
diamankan. Ricky terlihat sangat memalukan
duduk terikat dengan keadaan telanjang bulat
dengan kedua kakinya mengangkang dan
memperlihatkan penisnya yang kecil terjulur
keluar dari bulu-bulu kemaluannya.
Jono mengedipkan matanya pada Dony lalu
berbalik ke Lusi yang masih duduk di sofa
dengan sorot mata yang penuh ketakutan.
Melihat suaminya terikat dengan kondisi
telanjang seperti itu membuat dirinya dikuasai
oleh keputusasaan. Hanya Tuhan yang tahu apa
rencana kedua narapidana ini atas dirinya dan
keluarganya.
Winda berusaha untuk memalingkan wajahnya
dari ayahnya tetapi ia tak dapat menahan dirinya
untuk mencuri pandang melihat alat kelamin
ayahnya yang walau berukuran kecil namun
terlihat jelas. Winda belum pernah melihat
Tommy dalam keadaan tidak ereksi; Tommy
selalu ereksi saat bersama dengannya. Penis
ayahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan
penis Tommy yang ereksi. Winda tidak tahu
bahwa rasa takut ayahnya dapat mempengaruhi
penisnya.
Jono menjulurkan tangannya ke Lusi. Tanpa
berpikir panjang ia meraihnya. Jono segera
menarik Lusi sehingga ia berdiri di hadapannya.
Kedua matanya tampak berkaca-kaca saat ia
menatap suaminya. Dengan menarik dagunya,
Jono memalingkan wajah Lusi sehingga ia
memandangnya. “Sekarang kita akan berkenalan
lebih dalam,” katanya. Jono membelai
rambutnya lalu merangkulnya dan mengecup
lehernya dengan lembut.
“Ini dia,” pikir Lusi, “Jono akan membawaku
masuk ke kamar dan memperkosa tubuhku. Ia
akan memperkosaku di atas ranjang
pernikahanku.”
“Penis suamimu terlihat kecil sekali, Lusi. Dengan
alat sekecil itu, kamu pasti bermasturbasi untuk
mendapat kepuasan.” Dengan berbisik di depan
telinganya, Jono bertanya kepada Lusi sekali lagi,
“Apakah kamu setiap hari bermasturbasi Lusi?”
“Tidak. Aku tidak pernah,” jawab Lusi.
“Omong kosong!” jawab Jono sambil mendorong
Lusi dengan kasar.
“Cukup sudah! Aku mau lihat kamu telanjang!
Ayo buka semua bajumu!”
Lusi baru tersadar. Laki-laki ini tidak berniat
memperkosanya di kamarnya yang tertutup.
Binatang ini berniat memperkosanya di sini, di
ruang tamu tepat di hadapan suami dan
putrinya.
“Buka semua bajumu, Lusi dan tunjukkan
bagaimana kamu bermasturbasi.”
Lusi menggelengkan kepalanya untuk menolak.
Dengan gerakan yang tiba-tiba, Jono menarik
robek baju Lusi yang menyebabkan kancing-
kancing bajunya beterbangan jatuh. Dalam
keadaan yang masih terkejut Lusi hanya diam
mematung saat Jono memasukkan pisaunya ke
antara buah dadanya lalu memotong BH dengan
satu tarikan.
Saat kedua bukit payudara Lusi tergantung
bebas, Lusi terkesiap, Winda memekik berteriak,
dan Ricky menggeliat-geliat berusaha
melepaskan dirinya dari ikatan. Jono tersenyum
bangga. “Buah dada yang indah, Lusi! Dony,
Lusi mempunyai buah dada yang indah, kan?”
“Sudah jelas itu,” jawab Dony. “Singkat kata, ia
terlihat luar biasa!”
“Mari kita lihat bagian tubuhmu yang lain, Lusi.
Tanggalkan rok itu atau kau mau aku
merobeknya juga?” perintah Jono.
“Tolong,” pinta Lusi, “dapatkah kita masuk ke
kamar. Aku akan melakukan apa saja yang kalian
perintahkan. Apa saja, asal jangan di sini.”
“Lusi, sayang, bagaimanapun juga kamu akan
melakukan apa yang kami perintahkan. Tapi
kalau kamu lebih suka melakukannya di kamar,
boleh-boleh saja,” jawab Jono.
Lusi sedikit merasa lega. Sudah cukup buruk
harus mengalami perkosaan namun akan lebih
buruk lagi jika harus melakukannya di hadapan
suami dan anaknya.
Jono menoleh ke Winda dan berkata, “Winda
sayang, mama kamu mau melakukannya di
dalam kamar. Kamu jadi anak baik yah. Kamu
masuk ke sana dan persiapkan ranjangnya.”
Winda tak bergerak. Ia hanya memandangi Lusi
lalu ke Jono.
“Winda, jangan membuatku untuk meminta dua
kali. Masuk ke dalam kamar dan persiapkan
ranjangnya.”
Winda bangkit berdiri dan dengan terisak ia
menghambur ke dalam kamar.
“Dony, Lusi ingin agar pesta ini dipindahkan ke
dalam kamar. Tolong bantu aku untuk
memindahkan Ricky. Oke?”
Lusi tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
Harapannya untuk menyelamatkan harga dirinya
langsung sirna dalam sekejap. “Bukan,
maksudku hanya kau dan aku,” protes Lusi.
“Wah, Lusi, kita kan tidak mau bersikap egois?
Aku yakin semua mau ikut melihat,” kata Jono
sambil tersenyum.
“Dony, kau mau melihatnya kan?”
Dony mengangguk tanda setuju, “Tentu saja.”
Berjalan menuju Ricky, Jono menatap matanya,
“Bagaimana denganmu, bung? Kau mau melihat
istrimu bermain dengan laki-laki tulen, kan?”
Dengan berusaha untuk melepaskan diri dari
ikatan, Ricky menggeram, “Kalian manusia
keparat! Apa yang telah kami lakukan terhadap
kalian? Lepaskan kami. Silakan bermalam di sini,
lalu pergi setelah kalian siap. Kami tidak akan
melapor ke polisi. Tapi lepaskan kami.”
“Wah, bung. Apakah kau dapat memikirkan cara
yang lebih baik untuk melewati malam ini? Tentu
saja tidak!” kata Jono, “Lusi masuk ke dalam
kamar dan tanggalkan semua bajumu. Dony,
tolong aku dong.”
Dengan kepala terkulai lemas, Lusi berjalan
menuju ke kamar. Dony dan Jono menarik kursi
di mana Ricky terikat masuk ke dalam kamar dan
menempatkannya di ujung ranjang.
“Bagaimana pemandangan dari sana, bung? Nah
begitu dong, bocah baik. Berhenti meronta-ronta
dan tonton saja.”
Seperti yang telah diperintahkan, Winda telah
mempersiapkan ranjang dengan menurunkan
bantal-bantal. Kini ia meringkuk di sudut kamar
sambil terisak tanpa suara.
Lusi berdiri di samping ranjang dengan kedua
tangan di kedua sisi tubuhnya dan payudaranya
bulat menantang.
“Perempuan bodoh!” seru Jono. “Apa kamu tidak
mengerti apa artinya telanjang?”
Jono menatap Winda dan melambai kepadanya,
“Winda, ayo bantu mama kamu menanggalkan
pakaiannya.”
Winda tidak bergerak dan Lusi mulai menangis,
“Jangan ganggu dia. Aku akan melakukannya
sendiri.”
Lusi melakukan apa yang ia katakan. Lusi
menanggalkan roknya dan kini hanya tertinggal
celana dalamnya. Dalam keadaan telanjang, Lusi
terlihat jauh lebih cantik bahkan jauh di luar
harapan Dony dan Jono.
“Ayo tanggalkan celana dalam itu juga, Lusi,”
Jono memberi perintah. Setelah menuruti
perintah Jono, Lusi berdiri dalam keadaan
telanjang bulat di hadapan mereka. Wajahnya
bersemu merah karena malu.
“Lusi aku suka celana dalam kamu tapi bulu-bulu
kamu terlalu panjang sehingga terlihat kurang
pas.”
Mendengar perkataan itu membuat Lusi menjadi
sangat malu bahkan ia berpikir tidak mungkin
untuk bertambah malu dari keadaannya
sekarang. Namun Lusi salah.
“Pergi ke WC dan cukur habis bulu-bulu itu. Aku
mau bulu-bulu itu bersih seperti saat kamu
berumur 12 tahun.”
Lusi memandang Jono dengan tatapan tak
percaya. “Terserah kamu. Jika kamu tidak mau
melakukannya, aku akan melakukannya
untukmu.”
Lusi berjalan masuk ke WC dengan lunglai.
“Dony, ada baiknya jika kau ikut masuk dan
perhatikan dia. Aku akan berjaga di sini bersama
2 bocah ini,” kata Jono.
Pipi Lusi menjadi benar-benar merah saat Dony
mengikutinya masuk ke WC.
Kini perhatian Jono jatuh pada Winda. Ia
mendekati gadis itu dan mulai membelai pipinya.
Dengan suara yang rendah dan pelan sehingga
hanya Winda yang dapat mendengar, Jono
berkata, “Tidak perlu takut, sayang. Aku tidak
akan menyakiti kalian. Biar ini menjadi rahasia
kita berdua. Sebenarnya aku hanya ingin
mempermainkan papamu saja.”
Jono tersenyum dan melihat Winda menjadi
sedikit lebih rileks.
“Sekarang beri tahu aku, gadis secantik kamu…
kamu sebenarnya sudah tidak perawan, kan?”
Winda merasa senang mendengar pujian Jono.
Laki-laki sepantarannya tidak pernah memuji
kecantikannya. Sebenarnya Winda ingin
menceritakan kebenarannya. “Yah, tidak juga
sih,” kata Winda sambil menatap ke bawah.
Jono menarik dagunya dan memaksa Winda
untuk menatap matanya. “Ini kesempatan buat
kamu untuk merealisasikan fantasimu. Kamu
dapat dengan mudah menyalahkan apa pun
yang terjadi malam ini dengan berkata: ‘Aku
tidak punya pilihan lain’. Tidak ada yang akan
dapat menyalahkan kamu atas apa yang kamu
lakukan malam ini. Saat ini aku akan berlaku
kejam terhadap papamu. Dia memerlukan
seseorang yang bisa menenangkan dirinya.
Bagaimana kalau kamu duduk di pangkuannya
sementara aku menyetubuhi mama kamu?”
Winda terkejut mendengar perkataan Jono,
namun juga sedikit tergoda. Apakah ia benar-
benar ingin menyaksikan pemerkosaan atas
ibunya? Sebagian dari dirinya menginginkan
untuk menyaksikannya. Membayangkan dirinya
melihat seseorang berhubungan seks secara
langsung dari dekat membuat hatinya gamang.
Lalu masalah ayahnya. Winda mencintai ayahnya
tetapi ia tidak pernah melihatnya dalam keadaan
telanjang terlebih lagi duduk di pangkuannya
saat ayahnya bertelanjang bulat. Lalu mengapa
ia menjadi basah dengan memikirkan semua ini?
Betapa menjijikannya hal itu? Namun demikian
perkataan Jono terus terngiang-ngiang di
telinganya, “Apapun yang terjadi malam ini,
kamu dapat dengan mudah memberi alasan:
‘Aku tidak punya pilihan lain’.
Dengan anggukan yang nyaris tidak terlihat,
Winda bangkit berdiri dan menghampiri
ayahnya. “Maafkan aku, pa,” Winda berbisik
kepada Ricky. Lalu ia duduk di pangkuannya.
 
ga perlu di copas di sini juga.. di sub sedarah ada ko
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
lanjutken suhu...
 
Sementara itu Lusi mempersiapkan dirinya di WC
ditemani oleh Dony. Lusi pernah mencukur bulu
kemaluannya waktu kuliah namun waktu itu
sudah lama berlalu. Situasi di mana ia harus
mencukur bulu kemaluannya disaksikan oleh pria
asing, sungguh memalukan Lusi. Ia
menyelesaikannya secepat mungkin karena ingin
segera kembali ke kamar. Lusi tidak dapat
mempercayai Jono seorang diri menemani anak
dan suaminya.
Ketika keluar dari WC, Lusi terkejut mendapati
putrinya sedang duduk di pangkuan suaminya
yang terikat dalam keadaan telanjang bulat.
Rona merah di pipi Winda menunjukkan bahwa
semua ini bukan berdasarkan keinginannya.
“Binatang keparat!” pikir Lusi. Jono benar-benar
gila.
“Mari kita lihat hasil pekerjaanmu, Lusi,” ejek
Jono dengan semangat.
Dengan wajah yang merah padam, Lusi
menggeser tangannya dari selangkangannya
dan memperlihatkan kemaluan yang licin tanpa
bulu.
“Nah, ini yang aku maksud,” Jono berkata,
“Cantik, sungguh-sungguh cantik!”
Jono menoleh ke Ricky dan berkata, “Rick, begini
cara yang benar memelihara seorang pelacur.
Lihat, dia memiliki vagina seorang gadis dan
payudara seorang wanita. Tidak ada yang lebih
baik dari ini. Kalau aku jadi kau, aku akan
menyuruhnya untuk tetap seperti ini setiap hari.
Beri tahu aku, Rick. Apakah pelacurmu ini tahu
caranya menghisap batang laki-laki?”
Ini sudah keterlaluan bagi Ricky. “Bangsat!
Keparat kau!!”
“Ck, ck, ck…. Bukan begitu caranya berbicara
dengan tamu,” ejek Jono.
Jono menjambak rambut Lusi dan bertanya,
“Bagaimana, Lusi? Apa kamu penghisap penis
yang hebat?”
Oral seks memang mendapat porsi yang besar di
dalam kehidupan seks Lusi dan Ricky. Ricky
selalu memuji Lusi atas kemahirannya
menghisap penis. Bagi Ricky, Lusi adalah
penghisap yang terbaik yang pernah ia tahu.
Dengan pengalaman yang terbatas, kini Lusi
harus melakukannya dengan pria ini. Memikirkan
dirinya harus menggunakan mulutnya untuk
memuaskan Jono membuat Lusi menjadi jijik.
Jika Jono tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya
dengan baik, mungkin ia akan mengurungkan
niatnya.
“Kata Ricky aku tidak becus dalam hal itu. Kami
jarang sekali melakukannya. Katanya gigiku
sering menyakitinya,” jawab Lusi.
Jono tersenyum sendiri. Ia tidak mempercayai
perkataan Lusi sama sekali. Tidak ada laki-laki
yang akan berkata kepada istrinya bahwa ia
tidak becus dalam oral seks. Bahkan laki-laki
bodoh pun akan mendorong istrinya untuk terus
berusaha untuk menjadi semakin baik dalam
melakukan oral seks.
“Tidak menjadi masalah, Lus. Aku tahu aku
dapat mengajarimu. Mungkin perlu semalaman
untuk itu namun aku yakin kamu akan
menyandang predikat Penghisap Penis Terbaik
malam ini. Kalau masalahnya terletak pada
gigimu, aku dapat merontokkan semua gigimu.
Bagaimana, Don? Apakah kau siap mengajari Lusi
cara berkumur sperma?”
Sejak masuk ke rumah itu, Dony sudah terpikat
oleh kecantikan Lusi. Bayangan Lusi yang
berlutut di hadapannya sambil menghisap
penisnya tentu sangat menarik hatinya.
Dengan putrinya duduk di pangkuannya, Ricky
meronta untuk lepas dari ikatannya. “Keparat
kau! Lepaskan istriku!”
“Memangnya kau punya wewenang apa, hah?!
Aku berencana untuk memakai semua lubang
yang istrimu miliki dan kau akan menonton
semuanya. Sana bercengkrama dengan putrimu
dan nikmati pertunjukan ini.”
Jono menjambak rambut Lusi dan kembali
memberi perintah, “Kalau kau tahu apa yang
terbaik buat dirimu, kau akan menarik keluar
penisku dan mulai membuatnya basah.”
Lusi tahu inilah saatnya. Ia menenangkan dirinya
untuk melakukan apa saja yang diperlukan
untuk menyelamatkan keluarganya. Dengan
gemetar Lusi menurunkan resleting celana Jono.
Saat ia meraih masuk ke dalam celana itu,
tangannya tertahan oleh sesuatu.
“Ayo, keluarkan!” perintah Jono.
Jari-jari Lusi meraba tonjolan itu dan ia baru
menyadari bahwa yang ia raba tak lain adalah
penis Jono. Ya ampun, penisnya besar sekali!!
“Kelihatannya kamu memerlukan bantuan,” kata
Jono sambil tersenyum. Jono membuka
celananya lebih lebar dan membiarkan penis itu
melompat bebas ke luar. Walau hanya dalam
kondisi setengah ereksi, besar penis Jono hampir
dua kali lipat penis suaminya.
Panjang penis itu kira-kira 15 cm dan sangat
tebal sampai jari-jari tangannya tidak dapat
melingkari batang penis itu.
Jono menanggalkan celananya lalu meletakkan
tangannya di pundak Lusi. Ia menekan pundak
itu agar Lusi berlutut di depannya. “Mungkin ini
sedikit lebih besar dari yang biasa kau tangani,
Lus. Tapi kalau kau berkonsentrasi, aku tahu
kamu pasti bisa membuatku senang.”
Winda pun kaget melihat penis Jono. Penis Jono
jauh lebih besar dari penis Tommy. Ia bahkan
tidak menyangka ada penis sebesar itu.
Penglihatan tersebut membuat Winda beringsut
dari duduknya dengan gelisah. Dan hal ini juga
memberi dampak tersendiri kepada ayahnya.
Melihat istrinya berlutut di depan penis yang
besar itu membuat penisnya sendiri menjadi
hidup. Kenyataan bahwa anak gadisnya
bergerak-gerak di pangkuannya bahkan
memperburuk situasi.
Winda tersentak diam dan menahan nafasnya
saat ia merasakan penis ayahnya mulai
membesar dan mengeras. Hal ini membuat
dirinya diam tak bergerak sedikitpun. Mata Jono
dan Winda saling bertemu lalu Jono tersenyum.
Apapun yang terjadi malam ini, dapat dengan
mudah ‘dibenarkan’ dengan memberi alasan:
‘Aku tidak punya pilihan lain’. Winda terus
mengulang-ulang kalimat itu dalam otaknya.
Winda mengatur posisi duduknya sehingga penis
ayahnya yang sudah mengeras bersemayam di
belahan pantatnya. Lalu ia mengelos, tidak
berani menatap Jono.
Sementara itu Lusi berhadapan-hadapan dengan
penis terbesar yang pernah dilihatnya. Bayangan
dirinya menghisap penis itu membuatnya
merasa jijik namun juga mengundang rasa ingin
tahu.
Jono menjambak rambut Lusi ke belakang untuk
memaksa Lusi untuk membuka mulutnya,
“Bilang ‘AAAAAH’!”
Lusi membuka mulutnya. Lalu Jono menaruh
kepala penisnya ke dalam mulut Lusi. Rasanya
seperti menelan ujung pemukul bola baseball.
“Rileks, Lus. Aku tahu kamu pasti bisa,” kata
Jono sambil terkekeh.
“Mungkin memerlukan waktu semalaman tapi
aku tahu kamu pasti bisa memasukkan
seluruhnya ke dalam mulutmu,” sambungnya
lagi.
Mendengar perkataan itu Lusi mulai panik. Lusi
mencoba untuk menarik mundur kepalanya,
namun tangan Jono menahan kepalanya untuk
bergerak.
“Sssttt, rileks saja, Lus. Kalau kau melawan, kau
hanya akan memperburuk keadaan. Sekarang
buka mulut kamu lebih lebar dan bilang
‘AAAAAH’”.
Lusi sadar bahwa keadaan tidak akan berpihak
pada dirinya. Air mata mulai menggenangi
matanya sementara ia berusaha memasukkan
sisa batang penis tersebut ke dalam mulutnya
yang kecil.
Akhirnya Lusi menarik mundur kepalanya dan
melepaskan penis itu. Jono berkata, “Keterlaluan!
Kalau aku harus mengajari dari awal lagi, lebih
baik aku mengajari Winda untuk melakukannya!”
Mendengar hal itu Winda merasakan tubuhnya
mencair. Cairan dari vaginanya mulai merembes
keluar dan membasahi celana dalamnya. Rasa
hangat yang tiba-tiba keluar di sekitar kemaluan
Winda itu dirasakan pula oleh ayahnya.
“Ya ampun!” pikirnya, “Hal ini membuatnya
terangsang! Putriku terangsang karena melihat
binatang-binatang ini memperkosa ibunya
sendiri!”
Ketika Winda menaruh belahan pantatnya ke
atas penis ayahnya, Ricky tersadar kalau ia pun
ikut terangsang.
“Ada apa dengan diriku?” pikirnya. “Istriku
sedang diperkosa dan putriku yang berumur 15
tahun duduk di pangkuanku malah membuatku
berereksi??”
Lusi menanggapi ancaman Jono dengan
menggenggam penis Jono dan memaksa dirinya
untuk tersenyum. “Tidak, tidak. Aku bisa
melakukannya. Aku hanya belum terbiasa
dengan ukurannya yang sangat besar. Aku akan
mencobanya lagi.”
Jono tahu ancamannya berhasil. Lusi takut kalau-
kalau ia malah mengincar Winda yang
sebenarnya ingin ia lindungi.
Jono melirik Winda yang masih duduk dengan
gelisah di pangkuan ayahnya. Ia tahu bahwa
Winda ingin mencicipi penisnya, namun ia masih
ingin bermain-main dengan Lusi terlebih dahulu.
“Oke pelacur, kamu mendapat satu kesempatan
lagi. Buka mulutmu!” Jono menggenggam
penisnya dan tangannya yang lain menekan
belakang kepala Lusi.
Saat ia menekan kepala penisnya masuk, Jono
merasakan lidah Lusi membalur penisnya secara
refleks. “Nah begitu, dong. Pakai lidahmu! Jilat
yang enak dan basah!”
Jono menoleh ke arah Winda dan Ricky lalu
berkata, “Boleh juga servisnya. Tapi jelas dia
belum terbiasa dengan laki-laki tulen. Bagaimana
tontonannya?”
Mendengar omongan kotor Jono, membuat
tubuh Winda meleleh sekali lagi. Cairan dari
vaginanya kembali merembes ke luar. Jono
melihat mata Winda berkedip-kedip sesekali dan
tubuhnya sedikit gemetar.
“Winda buka celana dalam kamu!”
Mendengar hal ini, Winda langsung mematung.
Duduknya yang dari tadi gelisah langsung
terdiam. Sementara Ricky hanya menatap ke
lantai tak berdaya. Dony tahu bahwa pesta baru
saja dimulai.
“Kamu tuli, yah? Aku mau celana dalammu.
Tanggalkan celana dalammu lalu serahkan ke
Dony.”
Dengan gerakan yang lambat, Winda berdiri dari
pangkuan ayahnya dan mulai menurunkan
celana dalamnya yang sudah lembab basah itu.
Matanya menatap lantai lekat-lekat saat Winda
menyerahkan celana dalam itu kepada Dony.
Wajahnya menjadi semakin merah menyala.
Dony menghampirinya dan meraih celana dalam
itu. Basahnya celana dalam itu menjadi suatu
bukti. Dony mendekatkan celana dalam itu ke
wajahnya lalu menghirup aroma khas wanita
yang keluar dari celana dalam itu. “Gila, celana
dalamnya basah, Jon! Perempuan ini banjir dan
membuat celana dalamnya basah kuyup!”
“Aku tahu,” Jono tersenyum, “sekarang kamu
kembali duduk di pangkuan papa, Win!”
Tanpa celana dalamnya, Winda tidak dapat lagi
menyembunyikan gejolak yang semakin
berkembang dalam dirinya. Winda memberikan
tatapan memelas kepada Jono tetapi Jono hanya
menunjuk ke arah ayahnya dengan
menggunakan kepalanya. “Duduk di sana
sementara aku mengajari mamamu bagaimana
memberi servis dengan benar.”
 
Pelan pelqn aja om boz ini cerita bagus ane suka inisiatip ente......lanjutken ....
 
Jono memberikan perhatiannya kembali kepada
Lusi. Winda berputar membelakangi ayahnya lalu
duduk di pangkuannya. Tidak dapat ditutupi
lagi, penis ayahnya sekarang sudah sekeras
batu. Setelah mengatur posisi duduknya, Winda
dapat merasakan penis ayahnya berdenyut-
denyut pada bibir vaginanya yang basah.
“Gerakan lidahmu sudah bagus, tapi kamu harus
memasukkannya lebih dalam lagi,” terdengar
Jono memberi petunjuk kepada Lusi sambil
menahan kepala Lusi dengan kedua tangannya
lalu mulai menekan penisnya lebih masuk ke
dalam mulutnya.
Saat kepala penis itu memaksa masuk lebih
dalam, Lusi berusaha menahannya dengan
lidahnya. Dengan satu tangannya Jono menjepit
hidung Lusi untuk menahan masukan udara ke
dalam paru-parunya. Lusi menjadi panik. Saat
Lusi membuka mulutnya lebih lebar lagi untuk
mengambil nafas, Jono menekan penisnya
dengan mantap masuk sampai ke ujung
tenggorokan Lusi. Air mata sudah berkumpul di
pelupuk mata Lusi. Paru-parunya terasa terbakar
karena kehabisan udara. Jono memperhatikan
wajah Lusi dan di saat-saat terakhir ia menarik
penisnya sedikit sehingga Lusi dapat bernafas
dari sela-sela mulut dan penisnya.
Jono merasakan aliran udara sejuk membasuh
batang penisnya. Lalu ia menekan masuk
kembali penis itu ke tengorokan Lusi. Ketika ia
menarik keluar penisnya lagi, Jono mendengar
Lusi tersedak. “Bagus, bagus. Aku suka
mendengar suara itu.”
Lendir dan ludah meleleh dari mulut Lusi dan
berkumpul di dagunya. Air matanya sudah
penuh menggenangi matanya dan rambutnya
menempel di keningnya karena keringat yang
bercucuran.
Jono memegang dagu Lusi dengan satu
tangannya dan tangannya yang lain memegang
bagian belakang kepala Lusi. Dengan
menggunakan mulut Lusi bak layaknya sebuah
vagina, Jono menggenjot penisnya keluar masuk
tenggorokan Lusi. Lusi terus menerus tersedak
namun Jono tidak memperdulikannya.
“Ini baru namanya hisapan yang benar. Awalnya
memang biasa saja, tapi lama kelamaan dia
semakin jago. Don, kamu mau mencobanya?”
Setelah melihat pertunjukan itu, Dony bisa
bersetubuh dengan batu. Wajah Lusi tampak
berantakan dan tidak karuan. Rambutnya yang
basah oleh keringat menempel dan menutupi
sebagian wajahnya. Lendir dan ludah membasahi
mulutnya dan menggelantung di dagunya.
Jono menjambak rambut Lusi lalu mendorongnya
ke arah Dony.
“Ayo tunjukkan kepada Dony apa yang sudah
kau pelajari!”
Lusi merangkak menghampiri Dony yang sudah
mengeluarkan penisnya.
Jono berkata kepada Ricky, “Perempuan itu
benar-benar penghisap penis yang luar biasa,
bung! Ia hanya butuh sedikit imbalan.”
Jono melirik ke selangkangan Winda dan
mendapati penis Ricky yang sudah mencapai
besar dan kekerasan maksimal itu sedang
menikmati keberadaannya di tengah-tengah
belahan pantat putrinya.
“Aku senang kau menikmati pertunjukan kami,”
kata Jono.
Jono menatap mata Winda dalam-dalam, lalu
mendekatkan wajahnya dan mencium bibirnya.
Pada awalnya karena terkejut dicium tiba-tiba,
Winda hanya diam tak bergerak. Namun setelah
lidah Jono membalur bibirnya, perlahan-lahan
Winda membuka mulutnya dan menerima
permainan lidah Jono.
Setelah Winda memberi respon atas ciumannya,
Jono meraih selangkangan Winda dan mulai
menggesek-gesekkan jarinya ke vagina Winda
yang sudah sangat basah itu. Winda mengerang
dan mendesah dalam mulut Jono.
Lalu Jono memasukkan pertama-tama jari
telunjuknya lalu berikutnya jari tengahnya juga
masuk ke dalam vagina Winda. Jari-jari Jono
basah oleh cairan yang diproduksi oleh tubuh
Winda. Jono meraih lebih ke bawah dan
merasakan penis Ricky yang berdenyut. Jono
menghentikan ciumannya lalu memandang
Ricky lewat bahu Winda. Kedua mata Ricky
dalam keadaan tertutup.
Dengan tangan kanannya Jono mengangkat
pantat Winda sedikit ke atas. Dalam satu
gerakan yang cepat dengan tangan kirinya, Jono
menempatkan kepala penis Ricky ke mulut bibir
vagina Winda yang amat basah itu. Setelah itu
Jono melepaskan tangan kanannya dan
membiarkan tubuh Winda kembali ke posisi
semula.
Hal ini berakibat penis Ricky yang sudah berada
di depan bibir vagina Winda amblas masuk ke
dalam liang kewanitaan putrinya sendiri.
Langsung saja Ricky mendelik dan matanya
terbelalak; Mulut Winda membentuk huruf O
dengan bulat yang sempurna.
Jono tergelak, “Jika kalian berdua berusaha diam
tidak bergerak sama sekali, mungkin papa tidak
sampai menyemprotkan spermanya ke dalam
vaginamu. Tapi jika sampai hal itu terjadi,
mungkin papamu akan juga sekaligus menjadi
kakek dari bayi itu.”
Setelah itu Jono kembali mengecup dalam-dalam
bibir Winda lalu kembali menghampiri Lusi dan
Dony.
Lusi sudah belajar banyak. Walau tidak sebesar
Jono, penis Dony masih jauh lebih besar dari
penis suaminya. Lusi sudah dapat menyesuaikan
dirinya dan Dony dengan lancar menggenjot
penisnya keluar masuk tenggorokannya.
Beberapa kali Lusi tersedak namun semuanya
dapat ia atasi dengan baik.
Genangan air liur berkumpul di lantai di bawah
penis Dony. “Lebih baik bersabar dulu, Don.
Kamu masih mau mencobai vaginanya, kan?”
Dony tersadar bahwa ia mungkin saja sudah
cukup senang dengan menyemprotkan
spermanya ke dalam tenggorokan Lusi namun
kenyataannya mereka masih punya banyak
waktu semalaman.
“Lusi, naik ke ranjang!” perintah Jono. Lusi
menuruti perintah itu setelah melap mulutnya
dengan punggung tangannya. Ia mulai
merangkak naik ke atas ranjang. Jono meraih
pergelangan kaki Lusi dan memposisikannya
sehingga suaminya dapat melihat vaginanya
dengan jelas.
Walau Winda tidak benar-benar berhenti
menggeliat-geliat dalam duduknya, Jono melihat
Winda senantiasa berusaha untuk duduk diam di
atas pangkuan ayahnya sementara penis
ayahnya terbenam di dalam vaginanya. Mata
Winda menatap vagina ibunya lekat-lekat.
“Aku benar-benar suka dengan vagina yang
mulus tak berbulu,” kata Jono memberi tahu. “Ia
terlihat seperti anak kecil dengan payudara,
bukan?" Memang vagina Lusi terlihat benar-
benar menggoda.
 
Jono menjulurkan tangannya dan menyusupkan
jari tengahnya ke dalam vagina itu. Jono sangat
terkejut mendapatkan liang perempuan ini masih
kering. Mungkin Lusi tidak menyukai perlakuan
kasar seperti yang Jono kira. Atau mungkin Lusi
takut terhadap apa yang kedua pria ini akan
perbuat atas dirinya. Apapun penyebabnya
masalah ini harus diatasi. Jono menginginkan
vagina yang licin untuk dipakai.
“Kelihatannya kau perlu dipoles, Lusi. Aku tidak
mau memakai vagina kering. Apa yang harus
kita lakukan untuk mempersiapkan dia, Don?
Kau ada ide?”
Dony tahu Winda sejak tadi sudah
memperhatikan vagina ibunya dengan seksama.
“Mungkin anaknya bisa membantu,” kata Dony
sambil tersenyum.
Ini merupakan ide yang bagus, pikir Jono.
Mungkin memang benar bahwa Winda dapat
membantu memecahkan masalah ini. Jono
menghampiri Winda lalu mengulurkan
tangannya kepada Winda. Walau tidak yakin apa
yang sedang terjadi, Winda meraih tangan Jono.
Dengan perlahan Jono menarik Winda dari penis
ayahnya yang berdenyut-denyut. Jono menatap
mata Winda dalam-dalam. “Aku mau kau
menjilati vagina mama kamu, Win.”
Winda tidak dapat mempercayai
pendengarannya. Ia bukan seorang lesbian dan
lagipula ini ibunya sendiri! Winda mulai
menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergerak
mundur.
“Ingat apa yang aku katakan tadi, Win. Aku tidak
menerima bantahan. Kalau kamu tidak
melakukannya, aku akan menyakiti papa kamu.”
Untuk membuktikan ucapannya, Jono
menghampiri Ricky, mencengkram buah
zakarnya lalu menariknya keras-keras. Ricky
melolong sejadi-jadinya. Mendengar jeritan
ayahnya, Winda menangis, “Stop. Aku akan
menurut. Jangan sakiti dia!”
“Bangsat kalian!!” maki Ricky. “Kalian berjanji
untuk membiarkan anakku!”
“Ah diam kau!” balas Jono. “Waktu tadi penismu
berada di dalam pelacur ini kamu tidak protes
sama sekali! Jadi tutup mulutmu!”
Mendengar Jono menyebut dirinya sebagai
pelacur, hati Winda menjadi panas. “Aku bukan
pelacur!”
Dengan senyum yang dingin Jono menatap
Winda dan berkata, “Kamu akan menjadi pelacur
malam ini. Ayo sekarang ke sana dan kerjakan
apa yang aku perintahkan.”
Winda bukan perempuan murahan. Winda baru
mengijinkan pacarnya meraba payudaranya
setelah mereka berdua cukup lama berpacaran.
Walau demikian ia tidak dapat memungkiri
timbulnya perasaan yang berbeda saat berada di
bawah tekanan kedua pria ini. Saat Jono
memasukkan penis ayahnya sendiri ke dalam
vaginanya, ia memang merasakan kenikmatan.
Dan juga melihat vagina ibunya yang tercukur
bersih membuat mulutnya berair.
Winda juga bukan seorang lesbian walau ia
pernah mempunyai pengalaman dengan seorang
perempuan. Sebenarnya itu bukan hal yang
serius, hanya perbuatan yang sedikit di luar
kendali. Kejadian itu terjadi saat Winda menginap
di rumah temannya (perempuan). Mereka
berdiskusi tentang bagaimana mereka
berciuman dengan pacar-pacar mereka. Cerita
demi cerita dan tanpa sadar berlanjut menjadi
saling mempraktekkan ciuman itu. Jadi itu hanya
sebatas saling berciuman dengan teman
perempuannya.
Namun karena beberapa alasan, pemandangan
vagina ibunya di hadapannya membuat Winda
terangsang saat itu.
“Sudah saatnya kamu menanggalkan semua
pakaianmu juga, Win,” kata Jono. “Lagipula,
hanya kau yang masih mengenakan pakaian,”
Jono menjelaskan.
Lusi langsung menyela, “Jangan! Biarkan dia.
Kalian sudah berjanji!”
Jono mengayunkan tangannya ke wajah Lusi.
Suara tamparan yang keras memenuhi kamar.
“Tutup mulutmu!” kata Jono, “Ini semua
salahmu. Kalau vaginamu tidak kering, kita tidak
perlu bantuan Winda, bukan?”
Lusi terisak. Tidak mungkin mengendalikan
kedua pria ini. Mereka akan melakukan apa saja
yang mereka inginkan dan satu-satunya harapan
Lusi dan keluarganya hanya menuruti keinginan
mereka agar mereka dapat melewati malam itu.
Lusi tahu dalam hatinya bahwa tidak ada
penghinaan yang dapat menghancurkan dirinya
dan keluarganya. Namun saja, malam ini akan
menjadi malam yang sangat panjang.
 
Dengan menjambak rambutnya, Jono menarik
Winda mendekat ke pinggir ranjang. Lusi
memandang putrinya dengan air mata
bercucuran dan berusaha untuk
menenangkannya. “Tidak apa-apa, sayang.
Mama tahu kamu tidak punya pilihan lain. Kita
akan melewati ini semua bersama-sama, oke?”
Lusi memandang melewati bahu Winda dan
pandangannya jatuh ke suaminya. Lusi
melanjutkan, “Kita semua pasti bisa.”
“Aahhh, manisnya,” ejek Jono. “Bagaimana
pemandangan dari sana, bung? Wah, tidak bisa
seperti ini nih. Kepala Winda menutupi
semuanya.”
Jono meraih kaki Lusi dan memutar tubuhnya
menyamping sehingga vaginanya mengarah ke
sudut ranjang. Sambil menuntun Winda
mengitari ranjang, Jono bertanya dengan
lantang, “Apakah kamu pernah mengoral
vagina?”
“Tentu saja tidak!” kata Winda dengan suara
yang hampir berteriak. “Aku bukan lesbian!”
Jono tersenyum. Winda mungkin bukan seorang
lesbian tapi terlihat rasa haus yang tidak dapat
ditutupi dalam tatapan Winda pada kemaluan
ibunya yang mulus.
“Yah, kamu tidak perlu menjadi seorang lesbian
untuk mengoral vagina. Semua perempuan
melakukannya setiap saat. Memangnya kamu
tidak pernah menonton film porno? Tugasmu
sekarang adalah mempersiapkan mama kamu
untuk menerima penisku. Gampang, bukan? Ayo
pasang muka kamu di sana dan mulai jilati bibir
vagina itu.”
Winda memandang ibunya dan berbisik, “Maaf,
ma.”
Ibunya mengangguk dan menjawab, “Aku
mengerti.”
Winda menatap vagina ibunya lalu menyentuh
bibir kemaluan itu dengan tangannya. Lusi
gemetar saat ia merasakan sentuhan itu. Winda
merasakan lembutnya vagina Lusi.
“Bagus, Win,” Jono memberi semangat sambil
mendorong Winda mendekat ke ibunya, “Ayo
beri ciuman.”
Winda belum pernah berada sedekat ini dengan
kemaluan perempuan selain dari miliknya sendiri.
Wangi vagina ibunya lebih pekat dari vaginanya.
Wajah Jono berada tepat di samping telinganya
dan berkata, “Cium seperti kau mencium aku
tadi. Banyak pergunakan lidah… iya, begitu.”
Winda telah memulai tugasnya dan semakin
lama terlihat semakin terbiasa.
“Usap klitorisnya dengan ibu jarimu… Jangan
hentikan permainan lidahmu. Nah begitu.
Permainkan ritme jilatan dan usapanmu,” lanjut
Jono.
Ibunya terasa sedikit asin namun tidak sepekat
wanginya. Winda menusuk vagina ibunya
dengan lidahnya seakan mencari cairan yang
menghasilkan wangi pekat itu.
Sementara itu tubuh Lusi tidak dapat menolak
efek yang timbul atas apa yang dilakukan Winda.
Lidah putrinya terasa sangat menakjubkan. Dan
ibu jari Winda yang menari-nari pada klitorisnya
mulai membuahkan hasil yang ditunggu-tunggu
oleh kedua pria tersebut. Setelah beberapa saat
meneruskan permainan lidah dan jarinya, Winda
dihadiahi dengan rembesan cairan akibat dari
vagina Lusi yang mulai melubrikasi.
Keheningan dalam kamar terpecahkan oleh
suara berkecipak basah dari usaha Winda
mengoral ibunya. Jono mengedipkan mata ke
Dony lalu ia menuntun gerakan kepala Winda
dari gerakan atas-bawah menjadi gerakan kanan-
kiri.
“Masukkan jari tengahmu ke dalam vaginanya,
Win. Pertemukan ibu jari dan jari tengahmu di
antara dinding vaginanya,” perintah Jono.
Perintah yang baru saja Jono berikan akan
memberi efek terstimulasinya G-Spot Lusi.
Winda menuruti perintah Jono dan membuahkan
hasil desahan lirih yang keluar dari mulut Lusi.
Jono dan Dony tersenyum lebar ‘melihat’ hasil
yang memuaskan mereka.
Kemudian Jono menjamah pantat Winda dan
mulai mengelus, meraba, meremas bulatan
pantat itu. Jono menyempatkan jarinya untuk
menerobos masuk ke vagina Winda. Winda
mengeluarkan lenguhan panjang akibat
perbuatan Jono ini.
“Nah begitu, jilat terus. Dia semakin basah, kan,
Win?” tanya Jono.
Winda menjawab dengan erangan. Wajah Winda
yang belepotan basah merupakan bukti atas
basahnya vagina Lusi. Vagina Winda yang
memang sudah basah sejak tadi sekarang terasa
panas membara lantaran permainan jari-jari Jono.
Jono memandang Ricky dan mendapati penis
Ricky yang kecil sudah berereksi sampai besar
yang maksimal. “Putrimu penjilat vagina yang
hebat, bung. Mungkin kau bisa pergunakan
sebagai modal di masa depan,” ejek Jono.
Ricky tidak dapat melepaskan pandangannya
dari Winda yang sedang sibuk menjilati vagina
istrinya. Dengan rambut yang menempel di
wajahnya karena lepek oleh cairan vagina, kepala
Winda bergerak maju mundur, kanan kiri, atas
bawah menyerang vagina Lusi. Sementara itu
jari-jari Winda tidak henti-hentinya menari-nari
pada klitoris Lusi. Kedua wanita ini mengeluarkan
desahan-desahan dari mulut mereka. Ricky
dapat melihat dengan jelas cairan yang keluar
dari vagina putrinya sementara Jono mengocok
jari-jarinya keluar masuk tubuh Winda. Penisnya
sendiri sudah sangat keras bahkan terasa
menyakitkan karenanya.
Jono mendorong Winda ke samping dan kedua
wanita itu mengeluarkan erangan seakan
memprotes. Jono berlutut di antara paha Lusi
dengan penisnya yang besar berdenyut-denyut
seperti monster yang hidup.
“Bagus, Win! Vaginanya sekarang sudah basah,
bahkan boleh dibilang: banjir!”
Jono menarik wajah Winda mendekat wajahnya
lalu menciumnya. Segera saja ia dapat
merasakan lidah Winda mencoba untuk melilit
lidahnya. Jono dapat mencium dan merasakan
vagina Lusi pada bibir Winda. Mengetahui bahwa
dirinya yang mendalangi semua ini membuat
dirinya terangsang. Jono menghentikan
ciumannya lalu meraih tangan Winda dan
meletakkannya di atas penisnya yang sudah
mengeras.
“Mama kamu tidak terbiasa dengan penis
sebesar ini. Mungkin kau bisa membantu dengan
memasukkannya ke dalam vagina mama,” kata
Jono.
Winda belum pernah memegang penis sebesar
itu. Penis di tangannya terasa hidup bergerak-
gerak, bahkan kelihatannya seperti sedang
bernafas. Winda dapat merasakan denyutan
konstan saat ia memegang penis itu. Ia tidak
dapat menutup lingkaran penis itu dengan jari-
jarinya dan penis itu terasa berat. Tatapan
matanya tidak pernah lepas dari penis Jono.
Dengan dituntun tangan Jono, Winda mulai
mengocok penisnya. Cairan pelumas sebesar
butiran mutiara akhirnya keluar dari kepala penis
Jono lalu meleleh ke tangan Winda. Jono
membantu Winda untuk mengoles cairan itu ke
permukaan penisnya.
“Sekarang arahkan penisku, Win. Nah begitu,
dorong masuk kepala penisku ke dalam vagina
mama kamu.”
Penis itu terlihat sangat besar dibanding vagina
ibunya yang kecil. Sudah pasti tidak akan muat.
Winda mulai khawatir akan ibunya. Penis ini
sudah pasti akan merobek vaginanya. Belum lagi
kepala penis Jono masuk sepenuhnya, Winda
dapat melihat ibunya sudah meringis menahan
sakit. Jono mendorong pinggulnya agar penisnya
masuk lebih jauh namun masih saja tertahan.
“Gila, Rick, perempuan ini rapat sekali! Sudah
jelas dia tidak terbiasa bersanggama dengan
penis ukuran pria tulen. Tapi jangan khawatir,
dengan bantuan Winda semua pasti beres.”
Dalam keheningan tiap orang dalam kamar itu
dapat mendengar suara seperti letupan lembut
saat kepala penis Jono masuk menembus bibir
vagina Lusi yang sudah terasa panas membara.
“Oh!” Lusi mendesah. “Pelan-pelan, penis ini
besar sekali. Beri aku waktu untuk menyesuaikan
diri,” kata Lusi lagi.
Pikiran Lusi berpacu. Ia merasa tubuhnya penuh
terisi dan ia baru menerima kepala penisnya saja.
Bagaimana mungkin ia dapat menerima seluruh
penisnya masuk ke dalam tubuhnya. Sudah pasti
tidak bisa.
Jono merasakan hangatnya dinding vagina Lusi
membungkus rapat kepala penisnya. “Mainkan
buah zakarku, Win. Nah begitu. Ya, seperti itu
terasa enak.”
Buah zakar Jono sama besarnya dengan
penisnya. Winda tidak dapat menggenggam
keduanya dengan hanya satu tangan, namun
tetap saja Jono menyukai pijatan tangan Winda
yang mungil itu.
“Beri dia tambahan penis lagi Winda,” perintah
Jono.
Winda menggenggam batang penis Jono dan
mencoba untuk mendorongnya masuk lebih
dalam lagi ke dalam vagina ibunya. Winda dapat
mendengar ibunya mengerang menahan sakit,
namun kebutuhan Jono tidak dapat diacuhkan.
Ia telah sabar menunggu sejak tadi. Dan Jono
ingin merasakan buah zakarnya menampar-
nampar pantat Lusi sekarang.
Dengan menaruh seluruh berat badannya ke
penis itu, Jono mendorong penisnya masuk lagi
sekitar 3 cm. Jono menarik keluar batang
kemaluannya sampai sebatas ujung kepala
penisnya lalu menancapkannya masuk lagi lebih
dalam 4 cm.
“Ayo, sudah setengah jalan,” kata Jono penuh
kepuasan. “Aku tahu kau pasti bisa, Lusi!”
Setiap kali Jono menggenjot penisnya keluar
masuk tubuh ibunya, Winda melihat semakin
banyak bagian penis Jono yang terbenam masuk
vagina tersebut. Ia sudah melepaskan tangannya
dari penis Jono dan kini hanya terpekur melihat
pemandangan itu tepat di depan mukanya.
Ibunya mendesah setiap kali Jono mendorong
masuk penis itu dan pandangan Jono melekat
pada titik pertemuan antara penisnya dan vagina
Lusi. Dan dengan satu dorongan terakhir, tiap
orang di dalam kamar itu dapat mendengar
suara buah zakar Jono menampar pantat Lusi.
Jono menghela nafas dan menahan gerakannya.
Ia membiarkan batang penisnya bermandikan
hangatnya dinding vagina tersebut. Jono dapat
merasakan dinding vagina Lusi seakan memijat-
mijat penisnya seperti jari-jari kecil yang
berusaha menarik penis itu masuk lebih dalam
lagi.
Dengan menarik leher Winda, Jono membawa
wajah Winda mendekat lalu menciumnya dalam-
dalam sementara ia terus menggenjot penisnya
keluar masuk tubuh ibunya. Saat ia merasakan
tangan Winda menyentuh lehernya, Jono sadar
bahwa ia sudah menang. Winda suka dengan hal
seperti ini, sangat suka malah. Sekarang tangan
Winda membelai rambut Jono sementara lidah
Jono bergerilya di dalam mulut Winda.
Jono melepaskan ciumannya dengan Winda agar
dapat lebih berkonsentrasi pada perempuan
yang sedang disetubuhinya. Liang kewanitaan
Lusi sangat rapat namun tubuhnya sudah
melubrikasi demikian banyaknya. Dengan
hentakan panjang dan keras Jono menggenjot
panggulnya dan setiap kali mendorong penisnya
masuk, Jono seakan memaksa udara keluar dari
paru-paru Lusi. “Homph! Humph! Humph!”
Lusi sudah tidak lagi memberikan perlawanan, ia
hanya membiarkan Jono melakukan tugasnya.
Pantat Lusi bergerak-gerak dalam gerakan
melingkar kecil yang membuat penis Jono
menyentuh berbagai bagian dari vaginanya.
Lusi terus mendesah-desah sekarang dan tidak
dapat dipungkiri ia sedang menanjak menuju
klimaks. Vagina Lusi terasa sangat nikmat
sehingga Jono juga merasakan perasaan yang
berkumpul di buah zakarnya yang siap meledak
dalam sebuah orgasme. Namun belum saatnya.
Jono menarik keluar penisnya dari dalam tubuh
Lusi dan ia mendengar Lusi berbisik lemah,
“Tidak…, jangan berhenti… Aku sudah hampir…”
“Jangan khawatir, Lusi. Kau akan
mendapatkannya namun aku masih ingin
bermain-main sejenak. Don, bantu aku. Beri
perempuan ini penismu.”
 
Maaf kalo lama sibuk real,,, lanjutanya ntaran yee masih proses ngerapiin,, mngkiin bes0k pagii,,, :capek:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd