Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sekarang Sedang Jatuh Cinta (Side story 10)

Saya gak suka hashtag Snyder cut karena saya yakin versi dia gak akan bagus juga.

TAPI KALO FRIESKA CUT YA HARUS RILIS DONG!
 
wah saya ketinggalan keramaian disini...

#ReleaseTheFrieskaCut
 
Kecewaaaa, suhu sama aja kayak warner bros nih tidak mendengarkan kemauan fans :ngacir:
 
Part 8: Bikin Stress Aja!

Sudah 2 bulan sejak hari pertemuanku dengan Gaby di sudut FX itu. Sudah 2 bulan pula aku dan Julie telah melancarkan rencana kami yg menurutnya sudah ia susun dengan matang. Rencana untuk merebut Gaby kembali agar ia kembali menjadi kekasihku. Sebenarnya sampai hari inipun aku masih tidak tau bagaimana detail rencana itu maupun apa saja yang akan kami lakukan. Sejauh ini Julie hanya menyuruh untuk melanjutkan hari-hari seperti biasa dan jangan pernah melewati 1 penampilan Gaby pun di theater.

"Bersikap biasa dan jangan pernah puas dengan kak Feni… nanti aku kasih tau detail selanjutnya" itulah kata-kata darinya yang ia minta padaku untuk terus mengingatnya.

Begitulah, aku harus menahan diriku dari Feni yang memiliki nafsu tinggi dan sangat ahli dalam urusan "main" itu. Meski Julie memintaku untuk menahan, namun bukan tandanya aku harus menyiksa diri agar tidak terpuaskan karena aku bukan robot. Setidaknya aku harus bisa membuat Feni kalah tak berdaya sebelum ia mengalahkanku, sisanya biar aku buang saja di toilet perintahnya.

"Kak Yusa hari ini ada kegiatan apa?" Tanya Feni saat ia sibuk mengoleskan selai pada roti tawarnya menggunakan pisau roti.
"Nonton theater aja nanti." Kataku sambil memainkan HPku.
"Oh gitu, berangkat bareng dong?" Feni membuatkan dua buah roti tawar dengan selai coklat untuk kami berdua.
"Kyaknya gak deh, kamu duluan aja…" balasku padanya.
"Kenapa sih kak? Akhir-akhir ini kak Yusa aneh." Feni duduk di sampingku dengan kedua kakinya naik ke sofa membuat celana dalamnya mengintip sedikit dari kaus oversizednya.
"Aneh gimana? Gak kok…" aku menoleh kearahnya santai.
"Ih tuhkan kak Yusa jawabnya aja gitu." Ia memanyunkan bibirnya cemberut.

Aku tak menoleh sedikitpun padanya seperti yang di perintahkan Julie, buat seolah-olah aku berubah dan tak lagi memperdulikan Feni. Agar ia tak lagi menggangguku dan mungkin ia akan pergi.

"Cuekin kak Feni, bikin dia gak betah. Kak Yusa harus bisa jangan gak enakan terus!" Begitulah kata-kata Julie yang ia sampaikan sambil melahap kentang goreng hingga mulutnya penuh.

Feni masih duduk di sebelahku tanpa merubah posisinya, namun terlihat jelas di wajahnya bahwa moodnya pagi ini memburuk. Ia memilin ujung kausnya sambil memakan roti tawarnya dengan malas. Tak tega, namun harus ku lakukan.

"Fen, btw kamu udah di apartementku hampir 4 bulan kamarmu sendiri gimana?" Tanyaku padanya.
"Masih ku perpanjang kok kak, buat kalo Umi dateng ke Jakarta dari cianjur." Katanya kembali menoleh kearahku dengan semangat.
"Oh gitu, kenapa gak kamu tempatin? Kamu gak takut ketauan Umi?" Tanyaku kembali.
"Gak kak, aku udah bilang sama Umi kok kalo…" Feni menghentikan kata-katanya, wajahnya memerah.
"Kalo apa Fen?" Tanyaku bingung.
"Rahasia!" Balasnya membuang muka.
"Yee kok gitu. Kita gak bisa tinggal bareng terus loh, gak baik." Tambahku.
"Iiih aku udah bilang Umi kok kalo aku tinggal sama pacarku! Walaupun Umi keberatan tapi aku bilang kalau kita pasti nikah jadi Umi gak perlu khawatir aku di macem-macemin." Kata-kata Feni membuatku terpaku.

Benar yang Julie bilang, bukan hanya karena soal Gaby. Namun membiarkan Feni tinggal lebih lama memang akan semakin memperkeruh masalah, suatu saat kami berdua akan mendapat masalah dari ini semua dan mungkin tak akan bisa kembali lagi. Sebenarnya Julie telah memaksaku untuk mengusir Feni namun aku memintanya untuk bersabar dan dengan cara halus agar Feni pindah dengan sendirinya.

"Pertama, kita harus menyingkirkan kak Feni" kata Julie waktu itu.
"Hah? Gila lu Jul, masa mau kita bunuh?!"
"Bukan! Usir dari apartement kakak. Yakali kita sampai bunuh orang!" Julie memukul bahuku dengan kesal.


Aku bangkit dari sofa, muncul rasa geram dan kesal di kepalaku. Kata-kata Feni itu seolah memborgolku dan kehidupanku, kata-kata Julie benar adanya. Secara tidak langsung Feni telah memberikanku masalah kepada kedua orang tuanya sendiri. Bisa-bisa aku di nikahkan dengannya karena Feni yang seenaknya memutuskan itu sendiri.

Yusa
Jul, kyaknya gw bakal nyuruh Feni balik ke kamarnya dekat-dekat ini.

Julie
Serius?!

Yusa
Iya serius, dia udah salah ngerti. Nanti gw ceritain kalau ketemu.

Julie
Nah gitu dong, harusnya bisa lebih cepet. Untung kak Gabynya belum move on, bikin stress aja!

Yusa
Haha iya bawel, lu kan tau gw orangnya gak enakan.

Julie hanya membaca pesanku itu. Ku masukan kembali HP ke kantung dan menatap kearah Feni yang sedang melanjutkan makannya.

"Fen. Gini loh" aku mencoba membuka obrolan kembali untuk menjelaskan padanya.
"Aku tau, kakak udah ngomong 23 kali soal ini. Tapi aku bakal tetep bikin kak Yusa move on, jadi kakak harus terbiasa lalu nerima aku." Balasnya sambil menatapku tajam.

Kami berdua saling menatap, seperti sedang psywar. Istilah yang Gaby perkenalkan padaku kala kami berdua sedang berdebat soal ayam cepat saji mana yang paling enak. Aku ingat Gaby terus menatap mengintimidasi saat kami sedang makan di Restaurant ayam berlogo kolonel tua dan ia tak berhenti mengeluh saat makan di restaurant bermaskot badut kesukaanku.

"Kamu kalah psywar, aku secara gak langsung mempengaruhi pikiran mu supaya kamu ngerasa kalau ayam cepat saji kesukaanku lebih enak." Kata Gaby kala itu sambil tersenyum meledek.
"Aku kalah karena bucin aja sama kamu." Balasku kesal.
"Salahmu punya pacar anak psikologi wooo!" Ledeknya padaku.
"Kalau itu salah, aku harap aku salah terus." Balasku padanya membuatnya tersipu.


Ah, aku jadi teringat lagi masa itu. Namun aku harus kembali menghadapi kenyataan bahwa saat ini aku tengah berada di dalam debat dengan Feni.

"Aku gak akan move on." Balasku singkat lalu meninggalkannya.
"AKU BAKAL BIKIN KAKAK MOVE ON GIMANAPUN CARANYA…" Balasnya setengah berteriak padaku yang berjalan menuju pintu depan.

Saat aku hampir mencapai pintu depan, tiba-tiba saja pintu depanku terbuka. Seseorang langsung masuk membawa sebuah koper besar, dua buah koper besar yang ia seret dengan susah payah. Membuatku terkejut di tengah hari buta ini.

"Kak Yusa katanya mau jemput aku di bawah, udah tau bawaanku banyak ih!" Gadis Manado ini memarahiku tiba-tiba.
"Coba liat ini aku telepon kakak berkali kali gak diangkat!" Julie menunjukan handphonenya padaku, namun tampilan layarnya adalah sebuah tulisan bukan panggilan masuk.

"Ikutin aja kak, kita buat kak Feni pergi hari ini juga." Begitulah tulisan pada layar HPnya.

"Maaf maaf, aku gak sempet liat HP." Balasku sambil membantunya menggeser koper.

Sejujurnya aku sama sekali tak tau apa yang Julie rencanakan, namun aku percaya bahwa ia memiliki sebuah rencana yang matang.

"Kamu ngapain kesini? Bawa koper pula." Feni bertanya dengan nada ketus.
"Eh ada kak Feni, masih belum pindah kak?" Balas Julie dengan nada yang sama.

Julie menggandeng lenganku, ia melepaskan jaket yang ia kenakan lalu meletakannya di atas counterku. Feni berjalan mendekati kami berdua, lebih tepatnya mendekati Julie dengan wajah sebal.

"Kenapa sih kak Feni? Oh iya aku inget, kak Feni pernah bilang ke yang lain untuk gak boleh dateng ke apartement kak Yusa lagi ya… tapi kali ini aku di undang masa gak dateng" Julie berkata sambil pura-pura sedih yang menyebalkan sekali, inilah kehebatan yang ia miliki untuk membuat orang lain naik pitam.
"Emang iya Fen?" Tanyaku terkejut.
"Eh gak gitu kak Yusa, aku cuma bilang kalau gak penting jangan ganggu kak Yusa di apart." Ia mencoba menjelaskan padaku.

Aku tak menyangka Feni melakukan hingga sejauh itu, aku menjadi semakin tak mengenal dan mengerti dirinya. Aku tak habis pikir kepada siapa saja ia telah melakukan hal ini, aku takut apakah ia juga penyebabku berpisah dengan Gaby.

"Jangan ada yang ke apartement kak Yusa. Katanya dia gak mau diganggu. Kamu jangan bilang kalau karena ada kamu ya, karena aku cuma mau berdua kamu" Julie kembali berbicara.
"Bukannya kak Feni ngomong gitu ke aku, Diani dan kak Mpries?" Julie melipat tangannya di dada, ia memberikan mode menyerang.
"Tutup mulutmu!" Feni menggebrak counter dengan penuh amarah, aku bisa melihat Julie terkejut dan sedikit mengendur.

Aku mencoba menenangkan Feni dan Julie, Feni membenamkan wajahnya di dadaku memelukku erat. Aku menoleh kearah Julie kebingungan dan ia hanya memberiku sebuah acungan jempol.

"Fen, aku gak pernah ya ngelarang siapapun untuk main kesini. Toh dari dulu tempat ini juga udah kyak basecamp buat ngumpul dan main bareng." Kataku sambil melepaskan pelukannya.
"Coba kamu inget-inget deh, liat itu di kolong meja TV ada stacko, Uno, monopoli, werewolf. Semua itu kita bareng-bareng patungan beli buat main dan ngumpul. Inget gak kita sering main sama kak Mpries, Diani, Gaby, Cindy, Julie dan lain-lain. Kamu gak lupa kan betapa serunya waktu itu?" Kataku lagi sambil tersenyum padanya.

Feni melepaskan tanganku yang memegang bahunya. Ia menatapku dan Julie kesal. Ia mendekati Julie yang berada di balik counter namun ku tahan agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.

"Kakak lupa kita udah ngapain aja berdua? Kakak lupa indahnya waktu kita berdua? Kakak lupa hampir setiap bagian kamar ini udah kita jadiin tempat main? Kakak gak lupa kan kalau kita berdua bahagia bareng?" Feni mendekat padaku dan satu tangannya mengelus dadaku sedangkan tangannya yang lain mulai meremas penisku dari luar celana.
"Fen, jangan…" aku mencoba menyingkirkan tangannya, namun tanganku ia arahkan ke dadanya.
"Kakak gak inget kalau kakak selalu puas sama aku, kakak selalu bilang kalau sama aku…" Feni mengelus penisku yang belum sepenuhnya menegang, ku tahan sebisa mungkin rangsangannya agar tidak berpengaruh padaku.

Julie berjalan ke arah kami berdua, ia menatap Feni dengan wajah menyindir membuat Feni melirik dengan jengah.

"Kak Yusa…" Julie memegang tanganku.
"Kenapa Jul?" Tanyaku kebingungan.

Tanganku kini memegang sebuah gundukan yang padat, telapak tanganku tak mampu menangkup gundukan itu. Otomatis tanganku langsung meremasi dadanya yang masih terbungkus kaus tipis putihnya itu. Julie mendesah pelan ketika remasanku mengencang.

"Jadi… nghh.. kak Yusa suka yang mana?" Julie bertanya dengan mata terpejam.
"Yang kecil... atau gede?" Tanya Julie kembali, membuat Feni langsung menoleh padanya.
"Suka… yang gede…" balasku sambil memindahkan kedua tanganku meremas payudara sekal milik Julie.

Feni masih berusaha merangsang penisku dengan tangannya, namun aku tak menghiraukannya dan berjalan mendekati Julie. Ku rengkuh tubuhnya yang sedikit gempal itu ke dalam dekapanku dan meremasi kedua payudaranya, kami berdua berciuman dengan begitu panas di depan Feni yang menatap kami sambil menggigit bibirnya. Tangannya bergetar tanda amarahnya telah memuncak.

"Kak Yusa!" Feni memanggil namaku.
"Mph.. Jul…" aku mencumbu Leher Julie yang terekspos karena ikatan ponytailnya.
"Nghhh kak… enak… mainin terus dada Julie… ouuuh…" Julie meracau menikmati permainanku.
"Kak! Kak Yusa!" Feni mencoba menarik tubuhku namun ku hempaskan dengan sedikit goyangan bahu.
"Aah Jul, dadamu empuk… kenyal banget… ahhh enak sayang…" aku mulai membuka baju milik Julie hingga kini ia menyisakan bra berwarna biru muda saja di bagian atas.

Kami berdua saling bercumbu menghiraukan Feni yang berdiri terpaku menatap kami. Kini tubuhku dan Julie tak lagi berjarak saling memberikan kenikmatan bagi lawan mainnya.

"Nghhhh kak Yusa!" Julie mengerang saat tanganku meremas dadanya dari bagian bawah.
"Kak Yusa awas!!!!!!!" Julie berteriak sambil menghempaskan tubuh kami berdua hingga sama-sama hampir terjatuh.

Sebuah gelas melayang hampir melewati kami berdua. Membuatku terkejut karena Feni terlihat begitu penuh amarah, di tangannya telah terdapat sebuah piring yang siap di lemparkan.

"Astaga kak Feniiiii!!!" Julie berteriak ketakutan.
"Feni! Taro! Bahaya!" Aku mencoba menghentikan Feni.

Namun Feni kembali melempar piring itu dan hampir mengenai Julie yang menghindar tepat saat piring itu sedikit lagi mengenainya. Aku bergerak cepat mendekati Feni, namun kembali menjauhinya karena kini ia memegang sebuah pisau roti.

"Fen… jangan gila…" kaki ku melangkah dengan pelan mendekati Feni.
"KENAPA LO SELALU MUNCUL DI SAAT YANG GAK TEPAT DAN MERUSAK SEMUANYA!" Feni berkata dengan penuh amarah ke arah Julie yang telah bangkit dengan posisi waspada.
"LO SELALU MENJADI PERUSAK, PEREBUT, PENGHANCUR!" Suara Feni bergetar, amarahnya tak lagi terbendung.
"LO SELALU SOK CANTIK, GANJEN, MURAHAN JUALAN BADAN SEXY TAPI PURA-PURA GAK SUKA KALO DI LIATIN DENGAN MESUM. PADAHAL ASLINYA LO GAK JAUH CUMA SEORANG CEWEK KEGATELAN YANG GAMPANGAN!!"
"You don't have any shame? Tinggal di aoartement Kak Yusa 3 bulan, dengan mudahnya ngasih badan ke kak Yusa. Rela di apain aja sama orang yang bahkan gak bisa move on dari pacarnya yang gak pernah ia sentuh? Hahaha Lucu banget sih kak Feni." balas Julie sambil tertawa, Feni nampak semakin naik pitam, jujur saja aku sendiri yang mendengarkan merasa sangat savage apalagi Feni.
"Aku di katain murahan sama cewek yang saat ini cuma pakai celana dalam dan kaus kebesaran di kamar cowok yang punya rasa aja gak sama dia. Kasian banget nih cewek… cuma jadi mainan pacar sahabatnya sendiri… gak tau malu ih pelakor nuduh pelakor…" Julie kembali mencibir.

Feni bergerak dengan cepat ke arah Julie sambil mengarahkan pisau rotinya, ia benar-benar mengincar dan berusaha melukai Julie. Julie terlihat begitu ketakutan dan tak berpindah dari posisinya sedangkan Feni benar-benar berada di luar kendali.

"AAAAARRRGGGHHHH!!!!!" Pisau itu terjatuh, darah segar menetes membasahi lantai.

Pisau itu melukai lengan kananku tepat saat aku mendekap tubuh Julie dan melindunginya dari serangan Feni. Pisau itu memberikan luka sayatan yang cukup panjang di lenganku hingga merobek bajuku sebelum akhirnya terjatuh karena kepanikan Feni. Aku menahan sakit yang terasa di lenganku sambil menenangkan Julie yang menangis ketakutan. Aku menatap Feni tajam, amarahku terpancar dari kedua mataku yang nampaknyamembuat Feni kembali pada kesadarannya. Feni menangis melihat perbuatannya, ia berlari menuju kotak obatku untuk mengambilkan perban dan kapas.

"Jangan coba sentuh kotak obat Gaby!" Aku menghentikan Feni.
"Kamu keluar dulu arghh... Julie takut." Aku mencoba memisahkan mereka berdua terlebih dahulu.
"Kak Yusa… tapi aku… hiks… aku gak bermaksud…" Feni menangis sesenggukan.
"Fen. Ngerti gak?" Kataku kembali tanpa mengalihkan pandanganku padanya.

Darahku masih terus menetes saat Feni menuju ke lantai atas. Aku melepaskan tubuh Julie yang sudah lebih tenang, Julie terkejut melihat luka di lenganku. Ia mengambil kotak obat dan menutup lukanya dengan kapas dan perban.
________________________________________

Satu jam telah berlalu sejak pertengkaran tadi. Aku dan Julie masih duduk di sofa, Julie nampak masih sedikit takut kalau kalau Feni akan kembali menyerangnya. Sedangkan aku masih menahan sakit akibat luka di lengan ku. Pecahan kaca dan bekas darah telah dibersihkan oleh Julie.

"Kak Yusa…" aku mendengar suara Feni memanggilku.
"Iya Fen? Kamu udah tenang?" Tanyaku menoleh ke arahnya yang ternyata sudah rapi.
"Iya kak, maaf…" ia menunduk tak berani memandangku.
"Julie…" Feni memanggil Julie yang tak mau menoleh.
"Maaf…" Feni juga meminta maaf pada Julie namun tidak di gubris.
"Yaudah kalau gitu. Makasih buat semuanya… kak Yusa, makasih…" Feni berjalan perlahan ke arah ku dan Julie.
"Kak, makasih udah buat aku bahagia sejauh ini. Aku gak akan pernah berhenti buat kak Yusa, tapi sepertinya aku kembali ngebangun dari nol setelah semua ini haha…" Feni menitikan air matanya, sebenarnya aku tak tega melihat ini semua.

Feni mencium bibirku, lembut. Ciuman itu berlangsung singkat, namun aku dapat merasakan bahwa ciuman itu penuh dengan rasa sedih, amarah, penyesalan, dan juga cinta. Ia benar-benar mencintaiku, aku dapat merasakannya. Cinta yang mungkin sama besarnya seperti cintaku pada Gaby atau bahkan mungkin lebih besar lagi. Namun cintanya itu tak pernah bisa mengalahkan cintaku pada Gaby, tidak untuk saat ini dan seterusnya.

"Aku pergi ya kak, aku gak akan ganggu kak Yusa. Tapi aku tetap ada di sebelah…" kata Feni lagi.

Feni meninggalkan kamar ini dengan memeluk bantal dan boneka-bonekanya yang ia bawa ke kamarku. Memang Feni tidak membawa apa-apa saat tinggal di sini karena kamar aslinya hanya ada di sebelah. Julie melirik melihat kepergian Feni. Saat Feni menutup pintu depan, barulah ia bereaksi.

"Misi pertama sukses!" Ia mengacungkan jempol padaku.
"Jul, lo gak sedih apa?" Tanyaku melihat tingkahnya yang berubah dengan begitu cepat.
"Gak lah." Balasnya singkat.
"Misi kedua sukses!" Ia kembali mengacungkan jempol.
"Hah?!" Aku kebingungan melihat tingkahnya.

Julie bangkit dari sofa dan berkacak pinggang di depanku. Ia tersenyum bangga dan mengeluarkan handphonenya.

"Sebenarnya misi kedua itu menyingkirkan Diani, udah aku lakuin dari bulan lalu dan mudah. Cuma aku diem aja ke kak Yusa hehe" Julie terkekeh.
"Sekarang misi ketiga" Julie nampak mengotak atik handphonenya.
"Nah pas banget, 5 hari lagi nih. Hari kak Della ngumumin graduate." Kata Julie kembali.
"Trus?" Tanyaku bingung.

Julie tak membalasku namun ia sibuk dengan hpnya. Tak lama alarmnya berbunyi. Ia mengambil jaketnya dan menarik lenganku berdiri. Ia mengambil tas kecil di atas kopernya dan memindahkannya ke sofa, agar tak terlupa.

"Anterin aku ke theater, bentar lagi GR" Julie berkata padaku.
"Lah misinya gimana?" Tanyaku kebingungan.
"Gampang itu mah! Jam berapa sih ini? Aduh takut telat!" Ia nampak begitu terburu-buru.
"Jul, santai sih… aduduh…" tanganku terasa ngilu saat mencoba menghentikan tingkah grasak grusuknya.
"Masih jam segini, GR masih 1 setengah jam kok…" balasku mencoba menenangkannya.
"Nah karena itu!" Julie kembali berkata.
"Kakak aku kasih waktu mandi 15 menit ya, itu udah sama siap-siapnya. Soalnya kakak harus theater juga." Kata Julie padaku.

Ia meletakan semua perlengkapannya ke sisi sofa sebelahku. Ia berlutut di depanku, membuka celana pendek ku dan mengeluarkan penisku. Ia memindahkan kotak tissue di meja ke dekat kami.

"Daripada kakak coli karena kentang trus mandinya jadi lama, mending aku bantuin." Kata Julie sambil mengocok penisku.

Hanya butuh waktu singkat untuk penisku menegang maksimal, karena sisa-sisa rsngsangan yang sejak tadi ku terima. Julie mengecup kepala penisku dan menyentuhnya dengan ujung lidahnya. Ujung lidahnya menyapu kepala penisku dengan cepat membuatnya terasa seperti sebuah gelitikan. Ia memasukan kepala penisku ke mulutnya dan menghisapnya naik turun, tangannya mengurut penisku naik turun.

"Aahh Jul…" aku mendesah keenakan.
"Enha? Mpphhhh….." Julie menelan penisku hingga setengahnya.

Penisku telah basah oleh liurnya, mulutnya terus menghisap penisku naik turun tanpa menggunakan tangannya. Mulutnya begitu ahli memuaskan penisku. Sesekali mulutnya menyedot kuat, pipinya mengempot menekan penisku dari sisi mulutnya. Kembali ia mengulum penisku dengan cepat menimbulkan bunyi dari mulutnya yang membuat nafsumu meninggi.

"Gak keluar-keluar kak?" Julie bertanya sambil mengocok penisku.
"Gak tau padahal enak…" balasku.
"Semalem ngewe? Keluar?" Tanyanya.
"Iya, tapi gak keluar…" Balasku.
"Oh, bisa berarti…" ia membenarkan posisinya.

Aku yang mengerti langsung bangkit dari sofa, mengarahkan penisku pada Julie yang sedang berlutut menatap keatas.

"Aaaahhh… jul…." Aku mengerang saat penisku makin dalam memasuki mulutnya.

Julie menelan habis penisku sampai ke pangkalnya. Ia menahannya beberapa detik lalu mengeluarkannya, liurnya membanjiri penisku hingga menetes ke lantai. Ia mengulanginya beberapa kali membuatku mendesah keenakan.

"Uughh.. oogghh… oggh…" Julie mulai menggerakan kepalanya.

Ia mencoba mengulum penisku yang masuk begitu dalam. Penisku mendapat kenikmatan yabg tiada tara ketika beberapa kali mentok. Julie menatap sayu kearahku, matanya terlihat begitu bangga membuatku merem melek seperti ini.

"Aaaaarghhhh Julieee!!" Aku tak tahan.

Ku pegang kepala belakangnya. Ku goyang pinggulku dengan cepat menghujam mulutnya. Julie memaju mundurkan kepalanya seirama denganku.

"Aaaahhh ahhh…." Aku mendesah saat menahan penisku di dalam mulut Julie.

Mata Julie terus menatapku, matanya berair menahan penisku yang terus menyodok mulutnya. Ku lepaskan penisku untuknya bernafas, liurnya membanjir membasahi dagunya membuat nafsuku semakin meninggi.

"Bentar lagi Jul. Enak…" kataku sambil mengeluskan penisku di wajahnya.
"Hehehehe nakal" katanya sambil mengusap penisku dengan bibirnya yang empuk.

Ia kembali mengulum penisku sambil menyedotnya lalu melakukan deep throat lagi pada penisku. Julie kembali mengambil nafas, lalu melahap penisku kembali.

"Aqqhhhh ahhh…" aku menggenjot mulutnya cepat.
"Aaahhh Jul… Julie… aaah" lidah Julie menyentuh nyentuh penisku dalam mulutnya, menekan nekan membuatku semakin kesetanan.
"Plook plookk ploook"
"Juulll Aaaaaaaaaaaahh…!!!!" Penisku menyemprotkan seluruh isinya memenuhi mulut Julie.

Setelah semprotanku berhenti, ku lepas penisku dan beristirahat di sofa. Menelan seluruh spermaku dan menghisap sperma yang melumer di dagunya lalu berlari ke dapur untuk berkumur dan mengambil air.

"Makasih ya hhhh…." Aku berterima kasih pada Julie dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
"Hhhh iyaaa… aduh mulutku capek…" ia membalasku sambil meneguk sebotol teh.
"Udah sana mandi!" Perintahnya padaku yang langsung segera ku lakukan.
________________________________________

Pertunjukan hari ini selesai, sekarang aku sedang mengantri untuk Hi touch bersama teman-temanku. Tak lama kemudian Hi Touch di mulai. Kami menyusuri tiap member Team J yang menyapa dengan ramah, sampai pada Feni yang hanya menunduk ketika Hi Touch denganku. Aku mengerti pasti dia masih merasa bersalah melihat pundakku yang di perban ini.

"Hai…" sapaku pada Gaby yang menggenggam tanganku erat.

Gaby tak membalas apapun namun matanya nampak begitu sedih, aku tak ingin melihatnya seperti ini. Kehadiranku pasti telah membuatnya sulit, sebenarnya hanya karena rencana Julie lah aku masih menonton theater saat ini. Aku tidak ingin mengganggu Gaby lebih dari ini, aku tak ingin melihatnya bersedih karenaku.

"Kak Gaby penasaran tangan kakak kenapa" Cindy yang berada di sebelah Gaby berkata padaku.
"Kena pisau…" balasku singkat.

Aku dapat melihat Gaby menyenggol Cindy yang dibalas tawa olehnya. Aku senang sekali ia peduli padaku meski tak secara langsung. Rasanya sakit di lenganku ini sudah tidak lagi terasa.

"Rencana 4 kyaknya bisa sekaligus." Julie berkata padaku saat kami melakukan Hi Touch.
"Oke" balasku singkat.

Sesudah Hi Touch, aku bersama teman-temanku turun untuk membeli minum. Teman-temanku bercerita tentang show hari ini dan nampak begitu bahagia. Senang sekali rasanya bisa seperti saat awal aku menonton theater bersama mereka, kesenangan dan masalah kami hanya sebatas waro dan tidak di waro. Tidak sedalam diriku saat ini.

"Gw duluan ya" kataku pada teman-temanku yang berniat untuk demachi.
"Dih cemen banget." Balas mereka.
"Tangan gw harus sembuh bro, 2 hari lagi resto tempat gw magang bakal di sewa buat acara makan-makan besar. Gw di pilih salah satu staffnya" kataku pada mereka.
"Siap pak koki, sukses deh buat lo, hati2!" Kata Senpai lalu mereka melambaikan tangan padaku.

Aku bergegas menuju parkiran dan pulang. Tak berapa lama di jalan, aku telah sampai di apartementku. Setelah meletakan barang-barang, aku memutuskan untuk mandi.

"Kak, jangan lupa rencana ketiga 5 hari lagi, rencana keempat 2 hari lagi." Kata Julie saat aku selesai mandi.
"Hah? 2 hari lagi aku ada job di resto" balasku sambil mengeringkan kepalaku.
"Iya emang, makanya pas." Balasnya padaku.
"Udah ya aku cuma mau ngomong itu, aku balik ke kamar Diani ya" ia meninggalkanku sambil membawa tas dan kopernya.
"Lah kirain kamu tidur di sini?" Tanyaku bingung.
"Gak lah, aku gak mau jadi kak Feni kedua." Balasnya.
"Lah itu koper? Isinya?" Tanyaku semakin bingung.
"Adadeh!"

-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Ane bayangin Feni bawa pisau sambil marah2 malah ngakak wkwk. Nice hu jadi penasaran endingnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd