Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sekarang Sedang Jatuh Cinta (Side story 10)

Bimabet
Yusa gak lulus² ni, jadi takut buat nongolin diri.,
Tante Vany, anda ternyata dibohongi doang sama Yusa.,
 
Part 10: Siapapun Pasti Akan Jadi Tua.


"Hoaaam udah jam berapa ini? Harus ke kampus nyerahin berkas Internship…" aku duduk di atas kasurku sambil meregangkan tubuhku.
"Masih sempet sarapan ternyata…" aku turun dari kasur sambil mengusap mata dan menggaruk perutku, berjalan gontai menuruni tangga dari ruang tidurku untuk menuju ke kamar mandi.

Langkahku gontai menuruni anak tangga ini satu persatu, ku hirup angin segar yang masuk dari pintu halaman belakang yang terbuka. Seluruh lampu apartementku sudah mati dan berganti dengan cahaya matahari pagi yang menyinari, meskipun tidak secara langsung masuk karena halaman belakangku berlawanan dengan arah terbitnya matahari. Dengan tubuh berantakan, rambut acak-acakan dan wajah bangun tidur yg kumal aku menuju kamar mandiku untuk mencuci muka dan sikat gigi. Begitulah kegiatan sehari-hariku di apartement ini.

"Pagi! Kamu mau cuci muka dulu ya? Aku tunggu ya nanti kita makan bareng…" seseorang berkata dari arah dapur padaku.
"Iya…" balasku asal sambil menutup pintu kamar mandi.

Mencuci muka, menyikat gigi, dan buang air sebagai rutinitas pagiku berjalan dengan begitu lancar. Menyisir rambut yang berantakan karena tidur dan mengecek wajahku apakah masih kotor atau tidak. Setelahnya aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju dapur, berniat membuat sarapan. Aku melihat seorang gadis duduk di atas counter makan dengan 2 porsi nasi dan nugget di depannya, ia tersenyum begitu manis padaku. Ku balas senyumannya itu.

"Yuk makan." Ajaknya padaku.
"Ayo." Aku mendekati dan mengambil duduk di sebelahnya.

Aku mengambil sepiring nasi dan nugget yang terletak di atas meja dan menoleh ke arah kiriku, tempat orang itu berada. Sontak aku terkejut dan jatuh dari kursiku, menghantam lantai dengan keras.

"LOH GABY KAMU KOK ADA DI SINI?!" Tanyaku terkejut melihatnya yang menatapku dengan tak kalah terkejut.
"Hah?!" Iya balik bertanya dengan wajah bingung padaku.
"KAMU! NGAPAIN??!!" Aku bangkit berdiri dan membenarkan kursi dudukku.
"UDAH 2 HARI AKU TINGGAL DI SINI, UDAH 2 HARI JUGA KAMU KAGET LIAT AKU PAS BANGUN TIDUR. KAMU TUH BEGO YA?!" Ia balik marah padaku.
"Eh… Oh iya!" Aku tersadar.

Ya… sejak kejadian di restaurant Olympia, ia benar-benar kabur dari rumahnya dan tinggal bersamaku. Namun sudah 2 hari juga ada orang mencurigakan di sekitar apartementku yang seakan memantau kami berdua membuat kami harus kucing-kucingan.

"Bisa-bisanya aku sekarang tinggal sama pacarku sendiri begini…" pikirku sambil tersenyum.
"Ye malah senyum-senyum, ayo makan!" Gaby menyentil dahiku mengajakku makan.

Gadis cantik berperawakan tinggi semampai dengan rambut tergerai yang masih sedikit berantakan karena hanya di sisir ketika bangun tidur, lesung pipi yang begitu manis di wajahnya, mata yang memiliki tatapan tajam nan lembut, senyum dan bibir tipis yang selalu tersenyum padamu, dan piyama bermotif beruang yang melekat menjadi pemandanganku tiap pagi selama dua hari ini. Ia menjadi pendampingku saat ini, setelah aku dengan hanya bermodal keberanian melamarnya di depan ibunya secara tidak resmi.

*Flashback*

"Gabriela Margaret! Ayo balik ke dalam, lamaranmu sebentar lagi di mulai!" Suara ayahnya menggema memanggil Gaby.

Padahal kami sudah berencana untuk pergi dari pintu gerbang belakang, namun terlambat karena ayahnya sudah muncul terlebih dahulu dari dalam restaurant. Gaby nampak ketakutan, Ibunya berjalan lebih dulu memasuki restaurant. Gaby menoleh kearahku, tangannya gemetar karena ayahnya nampak begitu marah. Aku menyuruhnya untuk masuk ke dalam, dengan senyumanku ini aku berusaha untuk menenangkan dan meyakinkannya. Namun dalam hatiku sebenarnya aku juga takut akan kehilangan dirinya.

"Kalau kamu benar sayang aku, kamu bisa nolak." Kataku padanya, ia menoleh padaku dan memberikan senyuman tipisnya, aku tau ia tak memiliki keberanian untuk itu.

Aku mengikutinya dari belakang dengan jarak, agar ayahnya tidak melihatku ketika mereka berdua kembali ke tengah restaurant. Aku menuju dapur untuk kembali bersiap meneruskan pekerjaanku.

"Untuk kedua pasangan, silahkan maju ke tengah." Suara dari microphone terdengar hingga ke dapur.

Dadaku menjadi sesak mendengar kalimat itu, memang baru saja aku melamar Gaby di depan ibunya namun sebentar lagi ia akan menjadi tunangan seseorang. Seakan semua keberanian yang tadi meluap hilang seketika, semua kata-kataku bagaikan sebuah bualan dari mulut anak kecil yang ditanya gurunya ingin menjadi apa ketika besar nanti. Aku meneruskan apa yang ku lakukan di dapur, bila ayahnya sudah muncul tak ada lagi yang bisa ku lakukan.

"Lu yakin diem aja?" Tanya Head Chef padaku.
"..." Aku tak menjawab pertanyaannya.
"Cowok macem apa lo." Iya berkata sekali lagi.
"Lo sayang gak sama dia? Atau jangan-jangan selama pacaran lo cuma mau enaknya sama dia… jadi lo takut untuk berkomitmen dengan dia." Tambah Head Chef yang berdiri di belakangku.
"Tapi bagus lah, cewek itu dapat cowok yang lebih gentle dan jelas lebih mapan dari mahasiswa yang telat lulus dan bahkan belom selesai magang kyak lu." Aku mengepalkan tanganku mendengar kata-kata Head Chef, aku menghentikan pekerjaanku untuk menahan emosiku.
"Atau emang nih cewek matre, makanya dia gak nolak dijodohin padahal udah punya pacar. Cewek gak bener emang jangan di pertahanin." Tambahnya lagi.

Bugh!

"Diam!" Teriakanku memenuhi dapur, pukulan kencangku tepat mengenai pipi Head Chefku.
"Bisa marah juga lo, tapi ngeliat cewek lu bentar lagi di lamar cowok lain diem aja." Tambahnya sambil memegangi pipinya yang lebam.

Bugh!

Aku tersungkur jatuh, memegangi hidungku yang mengeluarkan darah segar. Pukulan telak mengenai wajahku, tinju dari Head Chef membuatku terpental. Ia menatapku dengan penuh amarah, tangannya mengepal siap memberikanku pukulan. Aku membiarkan diriku duduk di lantai dapur ini, lagi-lagi aku akan gagal menyelesaikan magangku. Restaurant yang telah baik menerimaku semuanya ku kecewakan. Setelah ini tak mungkin lagi aku dapat diterima magang dimanapun, takkan ada restaurant yang akan menerima karyawan dengan reputasi buruk sepertiku.

"Intern lo selesai!" Head Chef menarik tubuhku dengan mudah, membuatku terbangun dari dudukku hanya dalam sekali tarikan.
"Keluar sekarang dan bawa cewek lo pergi!" Ia mendorong tubuhku hingga keluar dari pintu dapur.

Brak!

Suara hantaman kencang dari pintu membuat seluruh tamu undangan terkejut. Aku yang terguling akibat dorongan dari Head Chef berusaha berdiri. Seluruh tamu undangan menoleh kebingungan, bertanya-tanya apa yang terjadi padaku.

"Pergi dari sini, bawa semua yg lo punya dan pergi!" Head Chef menendang tasku.

Karyawan lain melempar barang-barangku, aku yang sangat kesal mencoba untuk masuk ke dalam dapur sambil membawa barang-barangku namun mereka menutup pintunya. Aku menoleh sekeliling, mereka semua menatapku dengan pandangan murka. Aku telah menghentikan acara mereka. MC acara nampak kebingungan dan mencoba mencairkan suasana kembali, mencoba mengalihkan semuanya dariku. Ku coba menenangkan diri di pojok ruangan yang gelap sambil memegangi wajahku yang lebam.

"Cincinnya udah siap?" Tanya MC pada Fajar.
"Siap." Balasnya penuh keyakinan.
"..." Gaby tak menjawab dan hanya mengangguk.
"Ceweknya malu-malu nih haha…" sang MC tertawa kecil, para tamu ikut tertawa.

Bingo bingo akhirnya kita berjumpa lagi~
Bingo bingo~


Ku angkat telepon masuk di HPku, aku yang berada di pojok ruangan nampaknya telah di lupakan oleh semua yang berada di ruangan ini.

"Halo." Kataku lirih.
"Kak, aku di depan pintu restaurant. Kakak pergi sekarang!" Suara Julie nampak begitu terburu-buru lalu mematikan teleponnya.

Aku yang kebingungan tak memperdulikan kata-kata Julie, tak ada lagi semangat di diriku untuk bangkit berdiri dan pergi dari tempat ini. Aku melirik ke arah Gaby dan Fajar yang masih menjadi pusat acara. Kedua orang itu telah mengambil kotak cincin yang diantarkan pada mereka. Gaby melirik ke padaku, ia begitu sedih. Namun di tengah acara seperti ini apakah mungkin aku dapat menghentikannya? Apakah mungkin aku menghentikan acara pertunangan besar ini?
Aku bukanlah siapa-siapa dibandingkan Fajar, aku pun tak mungkin bisa bertarung melawan setiap orang sampai mendapatkan Gaby dan membawanya lari. Ini bukan sebuah drama ataupun manga, aku bukan Luffy ataupun Ichigo Kurosaki yang tak terkalahkan. Aku lebih seperti seorang pecundang lemah yang tak bisa melakukan apa-apa, aku sadar aku bukanlah sang pemain utama.

"Keluar dari sini!" Kata-kata Head Chef terngiang di kepalaku.
"Pergi, bawa semua yang lo punya dan pergi!"
"Kakak pergi sekarang!" Kali ini kata-kata Julie yang terngiang.

Tatapan sedih Gaby kembali berputar di kepalaku, tangisannya kembali terdengar di telingaku.

"Kalau kamu benar sayang aku, kamu bisa nolak" kini kata-kataku sendiri mengisi pikiranku.
"Kalau lo benar sayang dia, lo bisa rebut" suara dari dalam hatiku memenuhi kepalaku.

Fajar mengambil cincin itu, ia membuka kotaknya dan mengeluarkan cincin berlapis emas putih dihiasi permata. Ia tersenyum pada gadis di depannya, gadis yang saat ini masih menatapku dengan wajah yang sangat sedih dan kecewa. Fajar menggenggam tangan gadis itu, mengangkatnya.

"Gaby, aku mau kamu untuk menemaniku dalam suka dan duka, dalam hujan badai dan panas terik, dalam kekeringan, dalam kelaparan, dalam kebahagiaan, dalam kesukacitaan, dalam hari-hari yang kulewati, selamanya." Fajar berkata dengan lantang dan memakaikan cincin itu ke jari manis Gaby.

Seluruh undangan bertepuk tangan gembira melihat Fajar yang telah berikrar kepada Gaby.

"Sekarang untuk wanita, Gaby silahkan pakaikan cincin untuk Fajar." MC memberikan kotak cincinnya pada Gaby.

Gaby menerima kotak cincin itu, ia nampak gemetar dan terus menunduk. MC acara kebingungan melihatnya, MC itu membantu Gaby untuk meneruskan acara ini. Seharusnya Gaby akan mengucapkan ikrarnya pada Fajar saat ini. Aku harus menghentikannya, aku akan berlari ke tengah untuk menghentikan mereka dan membawa Gaby pergi. Aku pasti bisa melakukannya.

"Tunggu!" Teriakku sambil berlari ke arah tengah ruangan restaurant ini.

Aku berlari bersiap untuk membawa Gaby pergi, ia menoleh terkejut ke arahku dan tersenyum, air matanya yang berlinang mulai mengalir keluar membasahi pipinya. Ia mengangkat tangannya menyambut tanganku.

Brugh!

Namun tubuhku terjatuh di tengah lariku, aku terjatuh beberapa meter lagi menuju Gaby. Senyumannya itu berubah menjadi tangisan, tubuhku tersungkur di lantai dan dipegangi oleh Om Edward. Ia begitu kuat membuatku tak mampu bergerak meskipun telah meronta. Om Edward menyuruh Gaby melanjutkan ikrarnya.

"Dalam jalan berliku, melewati jurang yang dalam, menyusuri semak berduri, di atas lumpur yang kotor, di atas salju yang dingin, di tengah panas, melawan badai, tanah berbatu…
Berbaring di padang rumput luas, bermain di kebun yang subur, melewati sungai yang dangkal, memandang lautan luas… aku hanya ingin bersamamu, aku hanya ingin kamu…" Gaby mengucapkan ikrarnya dengan lantang, namun air matanya mengalir tanpa henti.
"Gaby!" Aku kembali memanggilnya mencoba menghentikannya, tubuhku masih berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang menahanku.

Gaby memejamkan matanya, ia menatap Fajar lekat. Ia tersenyum lembut lalu mengalihkan pandangannya padaku, ia juga memberikan senyuman manisnya itu padaku.

"Gab… hiks… hikss…" tangisanku tak bisa terbendung, aku akan kehilangan orang yg paling kucinta tepat di depan mataku.

Ia mengambil cincin dari kotaknya, memegang cincin itu dengan jari tangan kanannya. Fajar mengangkat tangannya ke depan Gaby bersiap menerima cincin itu, sebentar lagi Gaby akan memakaikan cincin itu pada jari manis Fajar. Tak ada lagi yg bisa ku lakukan untuk menghentikan ini.

"Aku hanya ingin bersamamu, hanya kamu…" Gaby kembali mengucap ikrarnya.
"Hanya kamu, Billy… Billy Christa Eyusa…" tangisnya pecah, ia melemparkan cincin itu lalu berlari ke arahku.

Gaby merobek bagian bawah roknya dan berlari ke arahku, suasana restaurant menjadi ricuh. Semua orang terkejut melihat Gaby yang melempar cincin itu, beberapa orang bangkit dari bangkunya untuk mencari cincin yang di lempar asal itu. Sebagian lainnya mencoba menghentikan Gaby. Di tengah kepanikan seperti ini, aku membebaskan diri dari orang-orang yg menahanku dengan seluruh tenagaku membuat mereka terdorong.

"Maaf Pa!" Aku meminta maaf pada om Edward dan berlari ke arah Gaby.
"Makanan datang!" Salah seorang waitress berteriak dan seluruh Koki yang berada di dapur keluar membawa nampan dan kereta makanan.

Mereka berhamburan menuju meja tamu dan beberapa menuju ke meja desserts untuk merefill isinya. Suasana restaurant menjadi semakin ricuh dan padat. Keadaan semakin memanas akibat datangnya para koki. Aku menoleh ke arah pintu dapur dan dapat melihat Head Chef yang berdiri di ambang pintu memberikan acungan jempol padaku. Di tengah kepanikan, pintu depan restaurant terbuka lebar. Di depan pintu itu, ada Julie yang menggunakan dress panjang dengan belahan dada rendah dan belahan rok hingga ke lutut. Ia berdiri di sana sambil memberikan kode padaku.

"Ayo kabur!" Ajakku sambil menggenggam tangan Gaby.
"Iya!" Gaby melepas kedua flat shoesnya dan berlari di belakangku.

Kami berdua lari dan berpapasan dengan Julie yang tersenyum pada kami.

"Tunggu!" Fajar memegang lengan Gaby dan menghentikan langkahnya.
"Lepasin!" Gaby meronta mencoba melepaskan genggamannya.
"Kamu tunanganku!" Fajar masih memegang tangan Gaby menahannya.
"Lepas!" Aku mencoba melepaskan tangan Fajar dari Gaby.

Plak!

Gaby menampar Fajar dengan keras, membuat Fajar terkejut. Julie yang menyaksikan kami pun ikut terkejut. Pipi Fajar memerah bekas tamparan Gaby, matanya menyorot tajam. Gaby membuat Fajar naik pitam, Fajar memegang kedua tangan Gaby dan memaksanya masuk. Tanganku yang terkepal telah bersiap untuk menghajar Fajar.

"Aduh…" Julie terjatuh ke tubuh Fajar.
"Nona, mohon minggir dulu." Fajar mencoba menyingkirkan Julie tanpa melepas Gaby.
"Maaf, kakiku sakit…" Julie berpegangan di dada Fajar, bahkan lebih ke bersandar di dadanya.

Julie mengaduh kesakitan, namun suaranya lebih seperti sebuah desahan. Ia mencoba mengalihkan perhatian Fajar dengan berpura-pura terjatuh dan menggodanya. Ia sedikit menunduk memperlihatkan belahannya dan meminta Fajar untuk memeluk pinggangnya memapah ke dalam. Kami berdua kabur meninggalkan restaurant itu di saat perhatian Fajar teralihkan.
________________________________________

"Untung apartementku deket, dikit lagi kita sampai!" Aku masih berlari sambil menggenggam tangan Gaby.
"Aduh! Aaah!" Gaby menghentikan langkahnya, ia memegangi telapak kakinya.

Aku lupa bahwa ia mencopot sepatunya tadi, kakinya yang tak beralas itu lecet dan sedikit mengeluarkan darah. Ia berlari tanpa alas sejak dari restaurant tadi. Aku jongkok di depannya, memunggungi Gaby yang kesakitan.

"Naik!" Gaby terkejut ketika aku menyuruhnya naik ke punggungku.
"Tapi, kamu kan capek abis lari…" ia nampak ragu.
"Gendong kamu sampai akhir zaman juga bakal aku lakuin. Buruan naik keburu yang ngejar ngeliat kita." Aku memintanya kembali.

Ia naik ke punggungku. Sambil menggendongnya, ku lanjutkan lariku menuju apartementku. 5 menit kemudian kami telah mencapai lobby apartement dan menuju ke lift.

"Mana kakimu yang luka?" Tanyaku pada Gaby yang duduk di sofa, darah di kakinya cukup banyak.
"Celana kamu jadi darah semua itu…" Gaby menunjuk celanaku.
"Iya itu gampang urusan nanti." Balasku, ku bersihkan kakinya pelan-pelan dengan alkohol dan kapas.
"Aaarghh…" ia mengaduh kesakitan.
"Nghhh Yusa!" Gaby kembali berteriak akibat obat merah yang ku oleskan di telapak kakinya.
"Bisa biasa aja gak kesakitannya? Kita cuma berdua ini…" kataku yang tak tahan mendengar suaranya itu.

Setelah mengobati luka Gaby, aku duduk di sampingnya mengistirahatkan diriku. Capek sekali rasanya hari ini, namun semua itu berbuah hasil yang baik. Saat ini orang yang paling ku cinta telah bersamaku, di dalam apartementku. Aku tak tau apa yang akan terjadi kedepannya namun aku harap kami berdua dapat bersama sepertinya hingga nanti.

"Mandi gih. Nanti sekalian ku ganti plaster lukanya" Aku menyuruh Gaby untuk mandi.
"Iya…" balasnya cepat.
"Eh kamu mandi trus pake baju apa?" Tanyaku yang tersadar bahwa ia sedang kabur.
"Pakai bajumu?" Balasnya padaku.
"Tapi kalau pake bajumu… cuma pake bajumu doang…" Gaby berkata sambil malu-malu.

Aku mencoba memahami kata-katanya itu, wajahku memerah setelah mengerti maksudnya. Ia hanya akan memakai bajuku saja karena tak ada lagi yang bisa ia pakai, hanya baju tanpa apa-apa lagi.

"Mesum!" Gaby berteriak padaku.
"Koper ini isinya bajuku sih, di bawain Julie kemarin wleee!" Ia meledekku sambil menunjuk koper besar yang Julie bawa waktu itu.

Gaby berjalan tertatih menuju koper dan mengambil pakaiannya, kemudian menuju kamar mandi.

"Astaga Yusa… otak lu bersihin kek!" Makiku pada diriku sendiri.

Aku dapat mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi itu. Tubuhku benar-benar lelah dan belum terisi apa-apa saat ini.

"Kamu mau makan sayang?" Tanyaku pada Gaby setengah berteriak.
"Mau! Aku belom makan!" Balasnya dari dalam.
"Loh tadi kan di restaurant makan?" Tanyaku padanya.
"Gak! Mana bisa aku makan di saat kyak gitu!" Balasnya lagi.
"Oke." Aku menuju dapur dan membuatkannya makan.

Setelah ia mandi, kami berdua makan bersama untuk pertama kalinya sebagai seorang tunangan yang tak resmi. Kami berdua bercerita banyak hal dan melepaskan rindu, tertawa akan cerita-cerita konyol yang kami bagikan.

"Aku tidur di sofa, kamu di atas aja." Kataku pada Gaby yang nampak sudah mengantuk.
"Gak tidur sama aku?" Tanyanya padaku.
"Gak!" Balasku cepat.
"Hehe, kirain kamu bakal jawab iya, kamu kan mesum wooo!" Ledeknya padaku lalu meninggalkanku menaiki tangga.

Aku merapikan sofaku dan menata bantal untuk tidur, selimut yang terlipat ku buka untuk menjadi alas dan membuka satu selimut lagi untuk kugunakan.

"Met bobo sayang!" Gaby tersenyum padaku dari ujung tangga.
"Met bobo." Balasku padanya.
________________________________________

"Bangun bangun!" Suara seseorang membangunkanku di pagi hari.
"Hoaaam!" Aku mencoba membuka mataku dan menguceknya.
"Bangun!" Orang itu kembali berteriak.

Aku mengerjapkan mataku mencoba menyadarkan diri, ternyata orang itu adalah Julie. Ia berdiri di ambang pintu masih dengan pakaian yang semalam, ia masuk ke dalam apartementku dengan sedikit sempoyongan. Ia berjalan ke arahku pelan.

"Kenapa Jul?" Tanyaku bingung.
"Gapapa…" balasnya dengan wajah sedikit memerah.
"Rencana ke 3 berhasil ya, berarti tinggal rencana ke 4 besok." Kata Julie padaku.
"Jadi lu tinggal sehari di sini, besok lu bakal pindah." Tambahnya.
"Hah?!" Tanyaku terkejut.
"Udah diem, besok gw jelasin semuanya." Ia melambaikan tangan lalu meninggalkanku yang kebingungan.

*Flashback end*

Kami berdua telah kembali dari kampusku, setelah memastikan orang yang mengintai apartementku tak ada kami memasuki apartement dan menuju kamarku.

"Nah akhirnya datang." Julie yang sedang duduk di atas meja dapurku melompat turun ketika kami datang.
"Kok dia bisa ada di dalem?" Bisik Gaby padaku bingung.
"Ini baru 1 dari sekian hal aneh yang dia lakuin. Dia hantu kyaknya." Balasku.
"Udah diem, ayok pindahan." Ia menarik koper ku menuju dekat pintu.
"Lah kita baru beresin dikit, belom selesai packingnya!" Balasku kebingungan dengan perintah Julie.
"Tenang…" Balas Julie padaku.

Suara langkah kaki terdengar menuruni tangga, tak lama kemudian muncul seseorang dari balik dinding. Seorang gadis berambut panjang yang sedang memegang kardus yang tak terlalu besar lalu meletakkannya di dekat pintu.

"Halo! Apa kabar kalian?" Gadis itu tersenyum lebar, senyuman khas miliknya.

Aku terkejut melihatnya. Della berada di depanku. Air mataku tak terbendung melihatnya, Julie mengajak Gaby untuk masuk dan melanjutkan packing. Aku terduduk di lututku, tangisanku terus mengalir tanpa henti. Della mengajakku masuk ke dalam dan menutup pintu. Tangisannya juga tak lagi terbendung.

"Dell, gw kangen sama lo hiks hiks…" tangisanku tak terbendung.
"Gw juga…" balasnya sambil mengelap air matanya dengan tissue.
"Mau…" aku meminta tissue darinya.

Kami berdua kembali menangis tersedu sedu, kerinduan yang tertumpuk airnya pecah keluar. Membanjiri mata kami yang sudah lama tidak saling melihat.

"Lo kemana aja?!" Tanyaku setelah tangisan kami mereda.
"Menghilang… kalo gak gitu, kita gak bakal bisa sampai kyak gini." Balasnya padaku.
"Gw harus bisa melupakan semuanya, JKT48, masa lalu, bahkan melupakan lu. Agar gw bisa mengosongkan hati gw dan pikiran gw, menyusuri jalan baru yang telah gw pilih." Tambahnya.
"Gw masih gak bisa ngelupain lu." Balasku.
"Cewek lo di atas, bisa-bisanya lu ngomong gitu hahaha" tawanya sambil menjitak kepalaku.
"Udah gw bilang lu itu cuma terjebak masa lalu..." Gadis ini menepuk punggungku dengan keras.
"Tapi, gw tau bahwa rasa sayang ini gak pernah berubah..." Balasku menoleh padanya, ingusku yang ikut keluar bersama air mata ku usap dengan lengan bajuku.
"Liat HP lu..." Ia mengeluarkan handphone berlogo apel dari dalam kantung celananya.

Ia memperlihatkan lockscreennya padaku, sebuah foto dua orang anak kecil, cowok dan cewek yang sedang berdiri berjajar. Si cewek sedang tertawa dengan seorang cowok yang nampak habis menangis dengan mata masih berkaca-kaca. Foto yang sama yang menjadi lockscreen handphoneku. Aku menoleh kearahnya yang sedang tersenyum kearahku. Aku tak menyangka setelah selama ini, dia masih tak berubah seperti dulu kala. Ia lebih dewasa, namun di dalam dirinya masih seorang anak kecil yang sama.

"Yusa, gw juga sayang, masih sayang sama lu. Tapi itu semua adalah rasa sayang yang sudah ada sejak kecil. Rasa sayang sebagai seorang keluarga..." Ia mengalungkan lengannya di leherku.
"Lo lebih tua, tapi sampai umur segini masih kyak adik gw aja. Cepet dewasa bodoh hahahahaha!" Tawanya pecah, ia mencekik leherku dengan lengannya itu.
"Delll... Mati gw del.... Hahahaha" aku berusaha melepaskan diri darinya.
"Siapapun pasti akan jadi tua." Kata Della padaku.
"Nah mulai kan lirik lagu lagi…" kataku meledeknya.
"Yee emangnya author…" balas Della tertawa.
"Siapapun pasti akan jadi tua. Sampai tua pun kita nanti, kita bakal terus bersama lebih dari saudara." Katanya sambil menatap ke atas.
"Sampai waktu itu juga, tolong jaga sahabat gw itu ya." Tambahnya padaku.
"Lo sendiri kapan nikah?" Tanyaku padanya.
"Cowok aja belom punya…" balas Della padaku.
"Nanti kalo gw gak dapet-dapet juga, kyaknya Gaby harus berbagi deh sama gw." Tambah Della tertawa.

Kami berdua kembali tertawa. Gaby dan Julie turun membawa barang-barang, semua barang ku telah siap untuk dipindahkan. Apartement yang ku cinta ini, apartement yang penuh kenangan ini akhirnya akan ku tinggalkan.

-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Baca dulu baru Komen..
Euh... Rupanya sama kayak critanya, agak amnesia sejenak lupa crita apa ini oy. Akhirnya sadar lagi guwah
 
"LOH GABY KAMU KOK ADA DI SINI?!" Tanyaku terkejut melihatnya yang menatapku dengan tak kalah terkejut.
"Hah?!" Iya balik bertanya dengan wajah bingung padaku.
"KAMU! NGAPAIN??!!" Aku bangkit berdiri dan membenarkan kursi dudukku.
"UDAH 2 HARI AKU TINGGAL DI SINI, UDAH 2 HARI JUGA KAMU KAGET LIAT AKU PAS BANGUN TIDUR. KAMU TUH BEGO YA?!" Ia balik marah padaku.
"Eh… Oh iya!" Aku tersadar.

yusange kocak hahahaha

perasaan saya aja atau emang makin kesini yusa makin cengeng ya?

alias

apartemennya jual ke jerry sini :pandaketawa:
 
Yah, kirain Yusa bakal dimatiin sama head chef nya


alias gasssss terosss huuu, jan kasih kendor :))
mati mati aja di pikir ini cerita apa :(
Baca dulu baru Komen..
Euh... Rupanya sama kayak critanya, agak amnesia sejenak lupa crita apa ini oy. Akhirnya sadar lagi guwah
selamat membaca hu, semoga suka dan ingat terus haha
Jadi sebenernya, head chef nya baik apa engga sih?

Alias

Tinggal seatap tapi ga diapa-apain, Yusange sok suci
Tapi ada potensi buat poligami, jadi aku dukung Yusange

Alias

Ditunggu adegan Fajar X Julie, hehe
baik yang tidak baik? hahaha

karena sayang(?)

Fajar X Julie? hm...
Hadehhh yusa lo tuh sebenarnya menginginkan siapa? della atau gaby
seharusnya udah kebaca sih dari alurnya... Yusa sudah sadar (?)
Susah, dari sononya udah gitu mah.

Bdw, makasih suhu.. Sehat sel aloo
thanks!
Kentang suhu
YA KENTANG KARENA EMANG GAK DI ADA APA-APAAN KAN DI PART INI :(
Yusa main film action di updetan ini
Apanya action kebanyakan dipukulinnya :(
yusange kocak hahahaha

perasaan saya aja atau emang makin kesini yusa makin cengeng ya?

alias

apartemennya jual ke jerry sini :pandaketawa:
silahkan di nego dengan manager Yusa, bisa hubungi bu Julie :)
Lanjutkannn
sabaaaar.....

______________________

gimana chapter barunya???? sorry ya drama banget, karena emang dasarnya suka nulis drama dan romance. hehe...
 
Part 10: Siapapun Pasti Akan Jadi Tua.


"Hoaaam udah jam berapa ini? Harus ke kampus nyerahin berkas Internship…" aku duduk di atas kasurku sambil meregangkan tubuhku.
"Masih sempet sarapan ternyata…" aku turun dari kasur sambil mengusap mata dan menggaruk perutku, berjalan gontai menuruni tangga dari ruang tidurku untuk menuju ke kamar mandi.

Langkahku gontai menuruni anak tangga ini satu persatu, ku hirup angin segar yang masuk dari pintu halaman belakang yang terbuka. Seluruh lampu apartementku sudah mati dan berganti dengan cahaya matahari pagi yang menyinari, meskipun tidak secara langsung masuk karena halaman belakangku berlawanan dengan arah terbitnya matahari. Dengan tubuh berantakan, rambut acak-acakan dan wajah bangun tidur yg kumal aku menuju kamar mandiku untuk mencuci muka dan sikat gigi. Begitulah kegiatan sehari-hariku di apartement ini.

"Pagi! Kamu mau cuci muka dulu ya? Aku tunggu ya nanti kita makan bareng…" seseorang berkata dari arah dapur padaku.
"Iya…" balasku asal sambil menutup pintu kamar mandi.

Mencuci muka, menyikat gigi, dan buang air sebagai rutinitas pagiku berjalan dengan begitu lancar. Menyisir rambut yang berantakan karena tidur dan mengecek wajahku apakah masih kotor atau tidak. Setelahnya aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju dapur, berniat membuat sarapan. Aku melihat seorang gadis duduk di atas counter makan dengan 2 porsi nasi dan nugget di depannya, ia tersenyum begitu manis padaku. Ku balas senyumannya itu.

"Yuk makan." Ajaknya padaku.
"Ayo." Aku mendekati dan mengambil duduk di sebelahnya.

Aku mengambil sepiring nasi dan nugget yang terletak di atas meja dan menoleh ke arah kiriku, tempat orang itu berada. Sontak aku terkejut dan jatuh dari kursiku, menghantam lantai dengan keras.

"LOH GABY KAMU KOK ADA DI SINI?!" Tanyaku terkejut melihatnya yang menatapku dengan tak kalah terkejut.
"Hah?!" Iya balik bertanya dengan wajah bingung padaku.
"KAMU! NGAPAIN??!!" Aku bangkit berdiri dan membenarkan kursi dudukku.
"UDAH 2 HARI AKU TINGGAL DI SINI, UDAH 2 HARI JUGA KAMU KAGET LIAT AKU PAS BANGUN TIDUR. KAMU TUH BEGO YA?!" Ia balik marah padaku.
"Eh… Oh iya!" Aku tersadar.

Ya… sejak kejadian di restaurant Olympia, ia benar-benar kabur dari rumahnya dan tinggal bersamaku. Namun sudah 2 hari juga ada orang mencurigakan di sekitar apartementku yang seakan memantau kami berdua membuat kami harus kucing-kucingan.

"Bisa-bisanya aku sekarang tinggal sama pacarku sendiri begini…" pikirku sambil tersenyum.
"Ye malah senyum-senyum, ayo makan!" Gaby menyentil dahiku mengajakku makan.

Gadis cantik berperawakan tinggi semampai dengan rambut tergerai yang masih sedikit berantakan karena hanya di sisir ketika bangun tidur, lesung pipi yang begitu manis di wajahnya, mata yang memiliki tatapan tajam nan lembut, senyum dan bibir tipis yang selalu tersenyum padamu, dan piyama bermotif beruang yang melekat menjadi pemandanganku tiap pagi selama dua hari ini. Ia menjadi pendampingku saat ini, setelah aku dengan hanya bermodal keberanian melamarnya di depan ibunya secara tidak resmi.

*Flashback*

"Gabriela Margaret! Ayo balik ke dalam, lamaranmu sebentar lagi di mulai!" Suara ayahnya menggema memanggil Gaby.

Padahal kami sudah berencana untuk pergi dari pintu gerbang belakang, namun terlambat karena ayahnya sudah muncul terlebih dahulu dari dalam restaurant. Gaby nampak ketakutan, Ibunya berjalan lebih dulu memasuki restaurant. Gaby menoleh kearahku, tangannya gemetar karena ayahnya nampak begitu marah. Aku menyuruhnya untuk masuk ke dalam, dengan senyumanku ini aku berusaha untuk menenangkan dan meyakinkannya. Namun dalam hatiku sebenarnya aku juga takut akan kehilangan dirinya.

"Kalau kamu benar sayang aku, kamu bisa nolak." Kataku padanya, ia menoleh padaku dan memberikan senyuman tipisnya, aku tau ia tak memiliki keberanian untuk itu.

Aku mengikutinya dari belakang dengan jarak, agar ayahnya tidak melihatku ketika mereka berdua kembali ke tengah restaurant. Aku menuju dapur untuk kembali bersiap meneruskan pekerjaanku.

"Untuk kedua pasangan, silahkan maju ke tengah." Suara dari microphone terdengar hingga ke dapur.

Dadaku menjadi sesak mendengar kalimat itu, memang baru saja aku melamar Gaby di depan ibunya namun sebentar lagi ia akan menjadi tunangan seseorang. Seakan semua keberanian yang tadi meluap hilang seketika, semua kata-kataku bagaikan sebuah bualan dari mulut anak kecil yang ditanya gurunya ingin menjadi apa ketika besar nanti. Aku meneruskan apa yang ku lakukan di dapur, bila ayahnya sudah muncul tak ada lagi yang bisa ku lakukan.

"Lu yakin diem aja?" Tanya Head Chef padaku.
"..." Aku tak menjawab pertanyaannya.
"Cowok macem apa lo." Iya berkata sekali lagi.
"Lo sayang gak sama dia? Atau jangan-jangan selama pacaran lo cuma mau enaknya sama dia… jadi lo takut untuk berkomitmen dengan dia." Tambah Head Chef yang berdiri di belakangku.
"Tapi bagus lah, cewek itu dapat cowok yang lebih gentle dan jelas lebih mapan dari mahasiswa yang telat lulus dan bahkan belom selesai magang kyak lu." Aku mengepalkan tanganku mendengar kata-kata Head Chef, aku menghentikan pekerjaanku untuk menahan emosiku.
"Atau emang nih cewek matre, makanya dia gak nolak dijodohin padahal udah punya pacar. Cewek gak bener emang jangan di pertahanin." Tambahnya lagi.

Bugh!

"Diam!" Teriakanku memenuhi dapur, pukulan kencangku tepat mengenai pipi Head Chefku.
"Bisa marah juga lo, tapi ngeliat cewek lu bentar lagi di lamar cowok lain diem aja." Tambahnya sambil memegangi pipinya yang lebam.

Bugh!

Aku tersungkur jatuh, memegangi hidungku yang mengeluarkan darah segar. Pukulan telak mengenai wajahku, tinju dari Head Chef membuatku terpental. Ia menatapku dengan penuh amarah, tangannya mengepal siap memberikanku pukulan. Aku membiarkan diriku duduk di lantai dapur ini, lagi-lagi aku akan gagal menyelesaikan magangku. Restaurant yang telah baik menerimaku semuanya ku kecewakan. Setelah ini tak mungkin lagi aku dapat diterima magang dimanapun, takkan ada restaurant yang akan menerima karyawan dengan reputasi buruk sepertiku.

"Intern lo selesai!" Head Chef menarik tubuhku dengan mudah, membuatku terbangun dari dudukku hanya dalam sekali tarikan.
"Keluar sekarang dan bawa cewek lo pergi!" Ia mendorong tubuhku hingga keluar dari pintu dapur.

Brak!

Suara hantaman kencang dari pintu membuat seluruh tamu undangan terkejut. Aku yang terguling akibat dorongan dari Head Chef berusaha berdiri. Seluruh tamu undangan menoleh kebingungan, bertanya-tanya apa yang terjadi padaku.

"Pergi dari sini, bawa semua yg lo punya dan pergi!" Head Chef menendang tasku.

Karyawan lain melempar barang-barangku, aku yang sangat kesal mencoba untuk masuk ke dalam dapur sambil membawa barang-barangku namun mereka menutup pintunya. Aku menoleh sekeliling, mereka semua menatapku dengan pandangan murka. Aku telah menghentikan acara mereka. MC acara nampak kebingungan dan mencoba mencairkan suasana kembali, mencoba mengalihkan semuanya dariku. Ku coba menenangkan diri di pojok ruangan yang gelap sambil memegangi wajahku yang lebam.

"Cincinnya udah siap?" Tanya MC pada Fajar.
"Siap." Balasnya penuh keyakinan.
"..." Gaby tak menjawab dan hanya mengangguk.
"Ceweknya malu-malu nih haha…" sang MC tertawa kecil, para tamu ikut tertawa.

Bingo bingo akhirnya kita berjumpa lagi~
Bingo bingo~


Ku angkat telepon masuk di HPku, aku yang berada di pojok ruangan nampaknya telah di lupakan oleh semua yang berada di ruangan ini.

"Halo." Kataku lirih.
"Kak, aku di depan pintu restaurant. Kakak pergi sekarang!" Suara Julie nampak begitu terburu-buru lalu mematikan teleponnya.

Aku yang kebingungan tak memperdulikan kata-kata Julie, tak ada lagi semangat di diriku untuk bangkit berdiri dan pergi dari tempat ini. Aku melirik ke arah Gaby dan Fajar yang masih menjadi pusat acara. Kedua orang itu telah mengambil kotak cincin yang diantarkan pada mereka. Gaby melirik ke padaku, ia begitu sedih. Namun di tengah acara seperti ini apakah mungkin aku dapat menghentikannya? Apakah mungkin aku menghentikan acara pertunangan besar ini?
Aku bukanlah siapa-siapa dibandingkan Fajar, aku pun tak mungkin bisa bertarung melawan setiap orang sampai mendapatkan Gaby dan membawanya lari. Ini bukan sebuah drama ataupun manga, aku bukan Luffy ataupun Ichigo Kurosaki yang tak terkalahkan. Aku lebih seperti seorang pecundang lemah yang tak bisa melakukan apa-apa, aku sadar aku bukanlah sang pemain utama.

"Keluar dari sini!" Kata-kata Head Chef terngiang di kepalaku.
"Pergi, bawa semua yang lo punya dan pergi!"
"Kakak pergi sekarang!" Kali ini kata-kata Julie yang terngiang.

Tatapan sedih Gaby kembali berputar di kepalaku, tangisannya kembali terdengar di telingaku.

"Kalau kamu benar sayang aku, kamu bisa nolak" kini kata-kataku sendiri mengisi pikiranku.
"Kalau lo benar sayang dia, lo bisa rebut" suara dari dalam hatiku memenuhi kepalaku.

Fajar mengambil cincin itu, ia membuka kotaknya dan mengeluarkan cincin berlapis emas putih dihiasi permata. Ia tersenyum pada gadis di depannya, gadis yang saat ini masih menatapku dengan wajah yang sangat sedih dan kecewa. Fajar menggenggam tangan gadis itu, mengangkatnya.

"Gaby, aku mau kamu untuk menemaniku dalam suka dan duka, dalam hujan badai dan panas terik, dalam kekeringan, dalam kelaparan, dalam kebahagiaan, dalam kesukacitaan, dalam hari-hari yang kulewati, selamanya." Fajar berkata dengan lantang dan memakaikan cincin itu ke jari manis Gaby.

Seluruh undangan bertepuk tangan gembira melihat Fajar yang telah berikrar kepada Gaby.

"Sekarang untuk wanita, Gaby silahkan pakaikan cincin untuk Fajar." MC memberikan kotak cincinnya pada Gaby.

Gaby menerima kotak cincin itu, ia nampak gemetar dan terus menunduk. MC acara kebingungan melihatnya, MC itu membantu Gaby untuk meneruskan acara ini. Seharusnya Gaby akan mengucapkan ikrarnya pada Fajar saat ini. Aku harus menghentikannya, aku akan berlari ke tengah untuk menghentikan mereka dan membawa Gaby pergi. Aku pasti bisa melakukannya.

"Tunggu!" Teriakku sambil berlari ke arah tengah ruangan restaurant ini.

Aku berlari bersiap untuk membawa Gaby pergi, ia menoleh terkejut ke arahku dan tersenyum, air matanya yang berlinang mulai mengalir keluar membasahi pipinya. Ia mengangkat tangannya menyambut tanganku.

Brugh!

Namun tubuhku terjatuh di tengah lariku, aku terjatuh beberapa meter lagi menuju Gaby. Senyumannya itu berubah menjadi tangisan, tubuhku tersungkur di lantai dan dipegangi oleh Om Edward. Ia begitu kuat membuatku tak mampu bergerak meskipun telah meronta. Om Edward menyuruh Gaby melanjutkan ikrarnya.

"Dalam jalan berliku, melewati jurang yang dalam, menyusuri semak berduri, di atas lumpur yang kotor, di atas salju yang dingin, di tengah panas, melawan badai, tanah berbatu…
Berbaring di padang rumput luas, bermain di kebun yang subur, melewati sungai yang dangkal, memandang lautan luas… aku hanya ingin bersamamu, aku hanya ingin kamu…" Gaby mengucapkan ikrarnya dengan lantang, namun air matanya mengalir tanpa henti.
"Gaby!" Aku kembali memanggilnya mencoba menghentikannya, tubuhku masih berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang menahanku.

Gaby memejamkan matanya, ia menatap Fajar lekat. Ia tersenyum lembut lalu mengalihkan pandangannya padaku, ia juga memberikan senyuman manisnya itu padaku.

"Gab… hiks… hikss…" tangisanku tak bisa terbendung, aku akan kehilangan orang yg paling kucinta tepat di depan mataku.

Ia mengambil cincin dari kotaknya, memegang cincin itu dengan jari tangan kanannya. Fajar mengangkat tangannya ke depan Gaby bersiap menerima cincin itu, sebentar lagi Gaby akan memakaikan cincin itu pada jari manis Fajar. Tak ada lagi yg bisa ku lakukan untuk menghentikan ini.

"Aku hanya ingin bersamamu, hanya kamu…" Gaby kembali mengucap ikrarnya.
"Hanya kamu, Billy… Billy Christa Eyusa…" tangisnya pecah, ia melemparkan cincin itu lalu berlari ke arahku.

Gaby merobek bagian bawah roknya dan berlari ke arahku, suasana restaurant menjadi ricuh. Semua orang terkejut melihat Gaby yang melempar cincin itu, beberapa orang bangkit dari bangkunya untuk mencari cincin yang di lempar asal itu. Sebagian lainnya mencoba menghentikan Gaby. Di tengah kepanikan seperti ini, aku membebaskan diri dari orang-orang yg menahanku dengan seluruh tenagaku membuat mereka terdorong.

"Maaf Pa!" Aku meminta maaf pada om Edward dan berlari ke arah Gaby.
"Makanan datang!" Salah seorang waitress berteriak dan seluruh Koki yang berada di dapur keluar membawa nampan dan kereta makanan.

Mereka berhamburan menuju meja tamu dan beberapa menuju ke meja desserts untuk merefill isinya. Suasana restaurant menjadi semakin ricuh dan padat. Keadaan semakin memanas akibat datangnya para koki. Aku menoleh ke arah pintu dapur dan dapat melihat Head Chef yang berdiri di ambang pintu memberikan acungan jempol padaku. Di tengah kepanikan, pintu depan restaurant terbuka lebar. Di depan pintu itu, ada Julie yang menggunakan dress panjang dengan belahan dada rendah dan belahan rok hingga ke lutut. Ia berdiri di sana sambil memberikan kode padaku.

"Ayo kabur!" Ajakku sambil menggenggam tangan Gaby.
"Iya!" Gaby melepas kedua flat shoesnya dan berlari di belakangku.

Kami berdua lari dan berpapasan dengan Julie yang tersenyum pada kami.

"Tunggu!" Fajar memegang lengan Gaby dan menghentikan langkahnya.
"Lepasin!" Gaby meronta mencoba melepaskan genggamannya.
"Kamu tunanganku!" Fajar masih memegang tangan Gaby menahannya.
"Lepas!" Aku mencoba melepaskan tangan Fajar dari Gaby.

Plak!

Gaby menampar Fajar dengan keras, membuat Fajar terkejut. Julie yang menyaksikan kami pun ikut terkejut. Pipi Fajar memerah bekas tamparan Gaby, matanya menyorot tajam. Gaby membuat Fajar naik pitam, Fajar memegang kedua tangan Gaby dan memaksanya masuk. Tanganku yang terkepal telah bersiap untuk menghajar Fajar.

"Aduh…" Julie terjatuh ke tubuh Fajar.
"Nona, mohon minggir dulu." Fajar mencoba menyingkirkan Julie tanpa melepas Gaby.
"Maaf, kakiku sakit…" Julie berpegangan di dada Fajar, bahkan lebih ke bersandar di dadanya.

Julie mengaduh kesakitan, namun suaranya lebih seperti sebuah desahan. Ia mencoba mengalihkan perhatian Fajar dengan berpura-pura terjatuh dan menggodanya. Ia sedikit menunduk memperlihatkan belahannya dan meminta Fajar untuk memeluk pinggangnya memapah ke dalam. Kami berdua kabur meninggalkan restaurant itu di saat perhatian Fajar teralihkan.
________________________________________

"Untung apartementku deket, dikit lagi kita sampai!" Aku masih berlari sambil menggenggam tangan Gaby.
"Aduh! Aaah!" Gaby menghentikan langkahnya, ia memegangi telapak kakinya.

Aku lupa bahwa ia mencopot sepatunya tadi, kakinya yang tak beralas itu lecet dan sedikit mengeluarkan darah. Ia berlari tanpa alas sejak dari restaurant tadi. Aku jongkok di depannya, memunggungi Gaby yang kesakitan.

"Naik!" Gaby terkejut ketika aku menyuruhnya naik ke punggungku.
"Tapi, kamu kan capek abis lari…" ia nampak ragu.
"Gendong kamu sampai akhir zaman juga bakal aku lakuin. Buruan naik keburu yang ngejar ngeliat kita." Aku memintanya kembali.

Ia naik ke punggungku. Sambil menggendongnya, ku lanjutkan lariku menuju apartementku. 5 menit kemudian kami telah mencapai lobby apartement dan menuju ke lift.

"Mana kakimu yang luka?" Tanyaku pada Gaby yang duduk di sofa, darah di kakinya cukup banyak.
"Celana kamu jadi darah semua itu…" Gaby menunjuk celanaku.
"Iya itu gampang urusan nanti." Balasku, ku bersihkan kakinya pelan-pelan dengan alkohol dan kapas.
"Aaarghh…" ia mengaduh kesakitan.
"Nghhh Yusa!" Gaby kembali berteriak akibat obat merah yang ku oleskan di telapak kakinya.
"Bisa biasa aja gak kesakitannya? Kita cuma berdua ini…" kataku yang tak tahan mendengar suaranya itu.

Setelah mengobati luka Gaby, aku duduk di sampingnya mengistirahatkan diriku. Capek sekali rasanya hari ini, namun semua itu berbuah hasil yang baik. Saat ini orang yang paling ku cinta telah bersamaku, di dalam apartementku. Aku tak tau apa yang akan terjadi kedepannya namun aku harap kami berdua dapat bersama sepertinya hingga nanti.

"Mandi gih. Nanti sekalian ku ganti plaster lukanya" Aku menyuruh Gaby untuk mandi.
"Iya…" balasnya cepat.
"Eh kamu mandi trus pake baju apa?" Tanyaku yang tersadar bahwa ia sedang kabur.
"Pakai bajumu?" Balasnya padaku.
"Tapi kalau pake bajumu… cuma pake bajumu doang…" Gaby berkata sambil malu-malu.

Aku mencoba memahami kata-katanya itu, wajahku memerah setelah mengerti maksudnya. Ia hanya akan memakai bajuku saja karena tak ada lagi yang bisa ia pakai, hanya baju tanpa apa-apa lagi.

"Mesum!" Gaby berteriak padaku.
"Koper ini isinya bajuku sih, di bawain Julie kemarin wleee!" Ia meledekku sambil menunjuk koper besar yang Julie bawa waktu itu.

Gaby berjalan tertatih menuju koper dan mengambil pakaiannya, kemudian menuju kamar mandi.

"Astaga Yusa… otak lu bersihin kek!" Makiku pada diriku sendiri.

Aku dapat mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi itu. Tubuhku benar-benar lelah dan belum terisi apa-apa saat ini.

"Kamu mau makan sayang?" Tanyaku pada Gaby setengah berteriak.
"Mau! Aku belom makan!" Balasnya dari dalam.
"Loh tadi kan di restaurant makan?" Tanyaku padanya.
"Gak! Mana bisa aku makan di saat kyak gitu!" Balasnya lagi.
"Oke." Aku menuju dapur dan membuatkannya makan.

Setelah ia mandi, kami berdua makan bersama untuk pertama kalinya sebagai seorang tunangan yang tak resmi. Kami berdua bercerita banyak hal dan melepaskan rindu, tertawa akan cerita-cerita konyol yang kami bagikan.

"Aku tidur di sofa, kamu di atas aja." Kataku pada Gaby yang nampak sudah mengantuk.
"Gak tidur sama aku?" Tanyanya padaku.
"Gak!" Balasku cepat.
"Hehe, kirain kamu bakal jawab iya, kamu kan mesum wooo!" Ledeknya padaku lalu meninggalkanku menaiki tangga.

Aku merapikan sofaku dan menata bantal untuk tidur, selimut yang terlipat ku buka untuk menjadi alas dan membuka satu selimut lagi untuk kugunakan.

"Met bobo sayang!" Gaby tersenyum padaku dari ujung tangga.
"Met bobo." Balasku padanya.
________________________________________

"Bangun bangun!" Suara seseorang membangunkanku di pagi hari.
"Hoaaam!" Aku mencoba membuka mataku dan menguceknya.
"Bangun!" Orang itu kembali berteriak.

Aku mengerjapkan mataku mencoba menyadarkan diri, ternyata orang itu adalah Julie. Ia berdiri di ambang pintu masih dengan pakaian yang semalam, ia masuk ke dalam apartementku dengan sedikit sempoyongan. Ia berjalan ke arahku pelan.

"Kenapa Jul?" Tanyaku bingung.
"Gapapa…" balasnya dengan wajah sedikit memerah.
"Rencana ke 3 berhasil ya, berarti tinggal rencana ke 4 besok." Kata Julie padaku.
"Jadi lu tinggal sehari di sini, besok lu bakal pindah." Tambahnya.
"Hah?!" Tanyaku terkejut.
"Udah diem, besok gw jelasin semuanya." Ia melambaikan tangan lalu meninggalkanku yang kebingungan.

*Flashback end*

Kami berdua telah kembali dari kampusku, setelah memastikan orang yang mengintai apartementku tak ada kami memasuki apartement dan menuju kamarku.

"Nah akhirnya datang." Julie yang sedang duduk di atas meja dapurku melompat turun ketika kami datang.
"Kok dia bisa ada di dalem?" Bisik Gaby padaku bingung.
"Ini baru 1 dari sekian hal aneh yang dia lakuin. Dia hantu kyaknya." Balasku.
"Udah diem, ayok pindahan." Ia menarik koper ku menuju dekat pintu.
"Lah kita baru beresin dikit, belom selesai packingnya!" Balasku kebingungan dengan perintah Julie.
"Tenang…" Balas Julie padaku.

Suara langkah kaki terdengar menuruni tangga, tak lama kemudian muncul seseorang dari balik dinding. Seorang gadis berambut panjang yang sedang memegang kardus yang tak terlalu besar lalu meletakkannya di dekat pintu.

"Halo! Apa kabar kalian?" Gadis itu tersenyum lebar, senyuman khas miliknya.

Aku terkejut melihatnya. Della berada di depanku. Air mataku tak terbendung melihatnya, Julie mengajak Gaby untuk masuk dan melanjutkan packing. Aku terduduk di lututku, tangisanku terus mengalir tanpa henti. Della mengajakku masuk ke dalam dan menutup pintu. Tangisannya juga tak lagi terbendung.

"Dell, gw kangen sama lo hiks hiks…" tangisanku tak terbendung.
"Gw juga…" balasnya sambil mengelap air matanya dengan tissue.
"Mau…" aku meminta tissue darinya.

Kami berdua kembali menangis tersedu sedu, kerinduan yang tertumpuk airnya pecah keluar. Membanjiri mata kami yang sudah lama tidak saling melihat.

"Lo kemana aja?!" Tanyaku setelah tangisan kami mereda.
"Menghilang… kalo gak gitu, kita gak bakal bisa sampai kyak gini." Balasnya padaku.
"Gw harus bisa melupakan semuanya, JKT48, masa lalu, bahkan melupakan lu. Agar gw bisa mengosongkan hati gw dan pikiran gw, menyusuri jalan baru yang telah gw pilih." Tambahnya.
"Gw masih gak bisa ngelupain lu." Balasku.
"Cewek lo di atas, bisa-bisanya lu ngomong gitu hahaha" tawanya sambil menjitak kepalaku.
"Udah gw bilang lu itu cuma terjebak masa lalu..." Gadis ini menepuk punggungku dengan keras.
"Tapi, gw tau bahwa rasa sayang ini gak pernah berubah..." Balasku menoleh padanya, ingusku yang ikut keluar bersama air mata ku usap dengan lengan bajuku.
"Liat HP lu..." Ia mengeluarkan handphone berlogo apel dari dalam kantung celananya.

Ia memperlihatkan lockscreennya padaku, sebuah foto dua orang anak kecil, cowok dan cewek yang sedang berdiri berjajar. Si cewek sedang tertawa dengan seorang cowok yang nampak habis menangis dengan mata masih berkaca-kaca. Foto yang sama yang menjadi lockscreen handphoneku. Aku menoleh kearahnya yang sedang tersenyum kearahku. Aku tak menyangka setelah selama ini, dia masih tak berubah seperti dulu kala. Ia lebih dewasa, namun di dalam dirinya masih seorang anak kecil yang sama.

"Yusa, gw juga sayang, masih sayang sama lu. Tapi itu semua adalah rasa sayang yang sudah ada sejak kecil. Rasa sayang sebagai seorang keluarga..." Ia mengalungkan lengannya di leherku.
"Lo lebih tua, tapi sampai umur segini masih kyak adik gw aja. Cepet dewasa bodoh hahahahaha!" Tawanya pecah, ia mencekik leherku dengan lengannya itu.
"Delll... Mati gw del.... Hahahaha" aku berusaha melepaskan diri darinya.
"Siapapun pasti akan jadi tua." Kata Della padaku.
"Nah mulai kan lirik lagu lagi…" kataku meledeknya.
"Yee emangnya author…" balas Della tertawa.
"Siapapun pasti akan jadi tua. Sampai tua pun kita nanti, kita bakal terus bersama lebih dari saudara." Katanya sambil menatap ke atas.
"Sampai waktu itu juga, tolong jaga sahabat gw itu ya." Tambahnya padaku.
"Lo sendiri kapan nikah?" Tanyaku padanya.
"Cowok aja belom punya…" balas Della padaku.
"Nanti kalo gw gak dapet-dapet juga, kyaknya Gaby harus berbagi deh sama gw." Tambah Della tertawa.

Kami berdua kembali tertawa. Gaby dan Julie turun membawa barang-barang, semua barang ku telah siap untuk dipindahkan. Apartement yang ku cinta ini, apartement yang penuh kenangan ini akhirnya akan ku tinggalkan.

-Bersambung-
Keren hu cma sedikit saran pas di Restoran rasanya kejadiannya cpet banget serasa kaya terburu" Banget.. Hehehe.. Gitu aja sih moga" Kedepan makin keren aja deh..😁😁
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd