Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sekarang Sedang Jatuh Cinta (Side story 10)

Part 8: Bikin Stress Aja!

Sudah 2 bulan sejak hari pertemuanku dengan Gaby di sudut FX itu. Sudah 2 bulan pula aku dan Julie telah melancarkan rencana kami yg menurutnya sudah ia susun dengan matang. Rencana untuk merebut Gaby kembali agar ia kembali menjadi kekasihku. Sebenarnya sampai hari inipun aku masih tidak tau bagaimana detail rencana itu maupun apa saja yang akan kami lakukan. Sejauh ini Julie hanya menyuruh untuk melanjutkan hari-hari seperti biasa dan jangan pernah melewati 1 penampilan Gaby pun di theater.

"Bersikap biasa dan jangan pernah puas dengan kak Feni… nanti aku kasih tau detail selanjutnya" itulah kata-kata darinya yang ia minta padaku untuk terus mengingatnya.

Begitulah, aku harus menahan diriku dari Feni yang memiliki nafsu tinggi dan sangat ahli dalam urusan "main" itu. Meski Julie memintaku untuk menahan, namun bukan tandanya aku harus menyiksa diri agar tidak terpuaskan karena aku bukan robot. Setidaknya aku harus bisa membuat Feni kalah tak berdaya sebelum ia mengalahkanku, sisanya biar aku buang saja di toilet perintahnya.

"Kak Yusa hari ini ada kegiatan apa?" Tanya Feni saat ia sibuk mengoleskan selai pada roti tawarnya menggunakan pisau roti.
"Nonton theater aja nanti." Kataku sambil memainkan HPku.
"Oh gitu, berangkat bareng dong?" Feni membuatkan dua buah roti tawar dengan selai coklat untuk kami berdua.
"Kyaknya gak deh, kamu duluan aja…" balasku padanya.
"Kenapa sih kak? Akhir-akhir ini kak Yusa aneh." Feni duduk di sampingku dengan kedua kakinya naik ke sofa membuat celana dalamnya mengintip sedikit dari kaus oversizednya.
"Aneh gimana? Gak kok…" aku menoleh kearahnya santai.
"Ih tuhkan kak Yusa jawabnya aja gitu." Ia memanyunkan bibirnya cemberut.

Aku tak menoleh sedikitpun padanya seperti yang di perintahkan Julie, buat seolah-olah aku berubah dan tak lagi memperdulikan Feni. Agar ia tak lagi menggangguku dan mungkin ia akan pergi.

"Cuekin kak Feni, bikin dia gak betah. Kak Yusa harus bisa jangan gak enakan terus!" Begitulah kata-kata Julie yang ia sampaikan sambil melahap kentang goreng hingga mulutnya penuh.

Feni masih duduk di sebelahku tanpa merubah posisinya, namun terlihat jelas di wajahnya bahwa moodnya pagi ini memburuk. Ia memilin ujung kausnya sambil memakan roti tawarnya dengan malas. Tak tega, namun harus ku lakukan.

"Fen, btw kamu udah di apartementku hampir 4 bulan kamarmu sendiri gimana?" Tanyaku padanya.
"Masih ku perpanjang kok kak, buat kalo Umi dateng ke Jakarta dari cianjur." Katanya kembali menoleh kearahku dengan semangat.
"Oh gitu, kenapa gak kamu tempatin? Kamu gak takut ketauan Umi?" Tanyaku kembali.
"Gak kak, aku udah bilang sama Umi kok kalo…" Feni menghentikan kata-katanya, wajahnya memerah.
"Kalo apa Fen?" Tanyaku bingung.
"Rahasia!" Balasnya membuang muka.
"Yee kok gitu. Kita gak bisa tinggal bareng terus loh, gak baik." Tambahku.
"Iiih aku udah bilang Umi kok kalo aku tinggal sama pacarku! Walaupun Umi keberatan tapi aku bilang kalau kita pasti nikah jadi Umi gak perlu khawatir aku di macem-macemin." Kata-kata Feni membuatku terpaku.

Benar yang Julie bilang, bukan hanya karena soal Gaby. Namun membiarkan Feni tinggal lebih lama memang akan semakin memperkeruh masalah, suatu saat kami berdua akan mendapat masalah dari ini semua dan mungkin tak akan bisa kembali lagi. Sebenarnya Julie telah memaksaku untuk mengusir Feni namun aku memintanya untuk bersabar dan dengan cara halus agar Feni pindah dengan sendirinya.

"Pertama, kita harus menyingkirkan kak Feni" kata Julie waktu itu.
"Hah? Gila lu Jul, masa mau kita bunuh?!"
"Bukan! Usir dari apartement kakak. Yakali kita sampai bunuh orang!" Julie memukul bahuku dengan kesal.


Aku bangkit dari sofa, muncul rasa geram dan kesal di kepalaku. Kata-kata Feni itu seolah memborgolku dan kehidupanku, kata-kata Julie benar adanya. Secara tidak langsung Feni telah memberikanku masalah kepada kedua orang tuanya sendiri. Bisa-bisa aku di nikahkan dengannya karena Feni yang seenaknya memutuskan itu sendiri.

Yusa
Jul, kyaknya gw bakal nyuruh Feni balik ke kamarnya dekat-dekat ini.

Julie
Serius?!

Yusa
Iya serius, dia udah salah ngerti. Nanti gw ceritain kalau ketemu.

Julie
Nah gitu dong, harusnya bisa lebih cepet. Untung kak Gabynya belum move on, bikin stress aja!

Yusa
Haha iya bawel, lu kan tau gw orangnya gak enakan.

Julie hanya membaca pesanku itu. Ku masukan kembali HP ke kantung dan menatap kearah Feni yang sedang melanjutkan makannya.

"Fen. Gini loh" aku mencoba membuka obrolan kembali untuk menjelaskan padanya.
"Aku tau, kakak udah ngomong 23 kali soal ini. Tapi aku bakal tetep bikin kak Yusa move on, jadi kakak harus terbiasa lalu nerima aku." Balasnya sambil menatapku tajam.

Kami berdua saling menatap, seperti sedang psywar. Istilah yang Gaby perkenalkan padaku kala kami berdua sedang berdebat soal ayam cepat saji mana yang paling enak. Aku ingat Gaby terus menatap mengintimidasi saat kami sedang makan di Restaurant ayam berlogo kolonel tua dan ia tak berhenti mengeluh saat makan di restaurant bermaskot badut kesukaanku.

"Kamu kalah psywar, aku secara gak langsung mempengaruhi pikiran mu supaya kamu ngerasa kalau ayam cepat saji kesukaanku lebih enak." Kata Gaby kala itu sambil tersenyum meledek.
"Aku kalah karena bucin aja sama kamu." Balasku kesal.
"Salahmu punya pacar anak psikologi wooo!" Ledeknya padaku.
"Kalau itu salah, aku harap aku salah terus." Balasku padanya membuatnya tersipu.


Ah, aku jadi teringat lagi masa itu. Namun aku harus kembali menghadapi kenyataan bahwa saat ini aku tengah berada di dalam debat dengan Feni.

"Aku gak akan move on." Balasku singkat lalu meninggalkannya.
"AKU BAKAL BIKIN KAKAK MOVE ON GIMANAPUN CARANYA…" Balasnya setengah berteriak padaku yang berjalan menuju pintu depan.

Saat aku hampir mencapai pintu depan, tiba-tiba saja pintu depanku terbuka. Seseorang langsung masuk membawa sebuah koper besar, dua buah koper besar yang ia seret dengan susah payah. Membuatku terkejut di tengah hari buta ini.

"Kak Yusa katanya mau jemput aku di bawah, udah tau bawaanku banyak ih!" Gadis Manado ini memarahiku tiba-tiba.
"Coba liat ini aku telepon kakak berkali kali gak diangkat!" Julie menunjukan handphonenya padaku, namun tampilan layarnya adalah sebuah tulisan bukan panggilan masuk.

"Ikutin aja kak, kita buat kak Feni pergi hari ini juga." Begitulah tulisan pada layar HPnya.

"Maaf maaf, aku gak sempet liat HP." Balasku sambil membantunya menggeser koper.

Sejujurnya aku sama sekali tak tau apa yang Julie rencanakan, namun aku percaya bahwa ia memiliki sebuah rencana yang matang.

"Kamu ngapain kesini? Bawa koper pula." Feni bertanya dengan nada ketus.
"Eh ada kak Feni, masih belum pindah kak?" Balas Julie dengan nada yang sama.

Julie menggandeng lenganku, ia melepaskan jaket yang ia kenakan lalu meletakannya di atas counterku. Feni berjalan mendekati kami berdua, lebih tepatnya mendekati Julie dengan wajah sebal.

"Kenapa sih kak Feni? Oh iya aku inget, kak Feni pernah bilang ke yang lain untuk gak boleh dateng ke apartement kak Yusa lagi ya… tapi kali ini aku di undang masa gak dateng" Julie berkata sambil pura-pura sedih yang menyebalkan sekali, inilah kehebatan yang ia miliki untuk membuat orang lain naik pitam.
"Emang iya Fen?" Tanyaku terkejut.
"Eh gak gitu kak Yusa, aku cuma bilang kalau gak penting jangan ganggu kak Yusa di apart." Ia mencoba menjelaskan padaku.

Aku tak menyangka Feni melakukan hingga sejauh itu, aku menjadi semakin tak mengenal dan mengerti dirinya. Aku tak habis pikir kepada siapa saja ia telah melakukan hal ini, aku takut apakah ia juga penyebabku berpisah dengan Gaby.

"Jangan ada yang ke apartement kak Yusa. Katanya dia gak mau diganggu. Kamu jangan bilang kalau karena ada kamu ya, karena aku cuma mau berdua kamu" Julie kembali berbicara.
"Bukannya kak Feni ngomong gitu ke aku, Diani dan kak Mpries?" Julie melipat tangannya di dada, ia memberikan mode menyerang.
"Tutup mulutmu!" Feni menggebrak counter dengan penuh amarah, aku bisa melihat Julie terkejut dan sedikit mengendur.

Aku mencoba menenangkan Feni dan Julie, Feni membenamkan wajahnya di dadaku memelukku erat. Aku menoleh kearah Julie kebingungan dan ia hanya memberiku sebuah acungan jempol.

"Fen, aku gak pernah ya ngelarang siapapun untuk main kesini. Toh dari dulu tempat ini juga udah kyak basecamp buat ngumpul dan main bareng." Kataku sambil melepaskan pelukannya.
"Coba kamu inget-inget deh, liat itu di kolong meja TV ada stacko, Uno, monopoli, werewolf. Semua itu kita bareng-bareng patungan beli buat main dan ngumpul. Inget gak kita sering main sama kak Mpries, Diani, Gaby, Cindy, Julie dan lain-lain. Kamu gak lupa kan betapa serunya waktu itu?" Kataku lagi sambil tersenyum padanya.

Feni melepaskan tanganku yang memegang bahunya. Ia menatapku dan Julie kesal. Ia mendekati Julie yang berada di balik counter namun ku tahan agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.

"Kakak lupa kita udah ngapain aja berdua? Kakak lupa indahnya waktu kita berdua? Kakak lupa hampir setiap bagian kamar ini udah kita jadiin tempat main? Kakak gak lupa kan kalau kita berdua bahagia bareng?" Feni mendekat padaku dan satu tangannya mengelus dadaku sedangkan tangannya yang lain mulai meremas penisku dari luar celana.
"Fen, jangan…" aku mencoba menyingkirkan tangannya, namun tanganku ia arahkan ke dadanya.
"Kakak gak inget kalau kakak selalu puas sama aku, kakak selalu bilang kalau sama aku…" Feni mengelus penisku yang belum sepenuhnya menegang, ku tahan sebisa mungkin rangsangannya agar tidak berpengaruh padaku.

Julie berjalan ke arah kami berdua, ia menatap Feni dengan wajah menyindir membuat Feni melirik dengan jengah.

"Kak Yusa…" Julie memegang tanganku.
"Kenapa Jul?" Tanyaku kebingungan.

Tanganku kini memegang sebuah gundukan yang padat, telapak tanganku tak mampu menangkup gundukan itu. Otomatis tanganku langsung meremasi dadanya yang masih terbungkus kaus tipis putihnya itu. Julie mendesah pelan ketika remasanku mengencang.

"Jadi… nghh.. kak Yusa suka yang mana?" Julie bertanya dengan mata terpejam.
"Yang kecil... atau gede?" Tanya Julie kembali, membuat Feni langsung menoleh padanya.
"Suka… yang gede…" balasku sambil memindahkan kedua tanganku meremas payudara sekal milik Julie.

Feni masih berusaha merangsang penisku dengan tangannya, namun aku tak menghiraukannya dan berjalan mendekati Julie. Ku rengkuh tubuhnya yang sedikit gempal itu ke dalam dekapanku dan meremasi kedua payudaranya, kami berdua berciuman dengan begitu panas di depan Feni yang menatap kami sambil menggigit bibirnya. Tangannya bergetar tanda amarahnya telah memuncak.

"Kak Yusa!" Feni memanggil namaku.
"Mph.. Jul…" aku mencumbu Leher Julie yang terekspos karena ikatan ponytailnya.
"Nghhh kak… enak… mainin terus dada Julie… ouuuh…" Julie meracau menikmati permainanku.
"Kak! Kak Yusa!" Feni mencoba menarik tubuhku namun ku hempaskan dengan sedikit goyangan bahu.
"Aah Jul, dadamu empuk… kenyal banget… ahhh enak sayang…" aku mulai membuka baju milik Julie hingga kini ia menyisakan bra berwarna biru muda saja di bagian atas.

Kami berdua saling bercumbu menghiraukan Feni yang berdiri terpaku menatap kami. Kini tubuhku dan Julie tak lagi berjarak saling memberikan kenikmatan bagi lawan mainnya.

"Nghhhh kak Yusa!" Julie mengerang saat tanganku meremas dadanya dari bagian bawah.
"Kak Yusa awas!!!!!!!" Julie berteriak sambil menghempaskan tubuh kami berdua hingga sama-sama hampir terjatuh.

Sebuah gelas melayang hampir melewati kami berdua. Membuatku terkejut karena Feni terlihat begitu penuh amarah, di tangannya telah terdapat sebuah piring yang siap di lemparkan.

"Astaga kak Feniiiii!!!" Julie berteriak ketakutan.
"Feni! Taro! Bahaya!" Aku mencoba menghentikan Feni.

Namun Feni kembali melempar piring itu dan hampir mengenai Julie yang menghindar tepat saat piring itu sedikit lagi mengenainya. Aku bergerak cepat mendekati Feni, namun kembali menjauhinya karena kini ia memegang sebuah pisau roti.

"Fen… jangan gila…" kaki ku melangkah dengan pelan mendekati Feni.
"KENAPA LO SELALU MUNCUL DI SAAT YANG GAK TEPAT DAN MERUSAK SEMUANYA!" Feni berkata dengan penuh amarah ke arah Julie yang telah bangkit dengan posisi waspada.
"LO SELALU MENJADI PERUSAK, PEREBUT, PENGHANCUR!" Suara Feni bergetar, amarahnya tak lagi terbendung.
"LO SELALU SOK CANTIK, GANJEN, MURAHAN JUALAN BADAN SEXY TAPI PURA-PURA GAK SUKA KALO DI LIATIN DENGAN MESUM. PADAHAL ASLINYA LO GAK JAUH CUMA SEORANG CEWEK KEGATELAN YANG GAMPANGAN!!"
"You don't have any shame? Tinggal di aoartement Kak Yusa 3 bulan, dengan mudahnya ngasih badan ke kak Yusa. Rela di apain aja sama orang yang bahkan gak bisa move on dari pacarnya yang gak pernah ia sentuh? Hahaha Lucu banget sih kak Feni." balas Julie sambil tertawa, Feni nampak semakin naik pitam, jujur saja aku sendiri yang mendengarkan merasa sangat savage apalagi Feni.
"Aku di katain murahan sama cewek yang saat ini cuma pakai celana dalam dan kaus kebesaran di kamar cowok yang punya rasa aja gak sama dia. Kasian banget nih cewek… cuma jadi mainan pacar sahabatnya sendiri… gak tau malu ih pelakor nuduh pelakor…" Julie kembali mencibir.

Feni bergerak dengan cepat ke arah Julie sambil mengarahkan pisau rotinya, ia benar-benar mengincar dan berusaha melukai Julie. Julie terlihat begitu ketakutan dan tak berpindah dari posisinya sedangkan Feni benar-benar berada di luar kendali.

"AAAAARRRGGGHHHH!!!!!" Pisau itu terjatuh, darah segar menetes membasahi lantai.

Pisau itu melukai lengan kananku tepat saat aku mendekap tubuh Julie dan melindunginya dari serangan Feni. Pisau itu memberikan luka sayatan yang cukup panjang di lenganku hingga merobek bajuku sebelum akhirnya terjatuh karena kepanikan Feni. Aku menahan sakit yang terasa di lenganku sambil menenangkan Julie yang menangis ketakutan. Aku menatap Feni tajam, amarahku terpancar dari kedua mataku yang nampaknyamembuat Feni kembali pada kesadarannya. Feni menangis melihat perbuatannya, ia berlari menuju kotak obatku untuk mengambilkan perban dan kapas.

"Jangan coba sentuh kotak obat Gaby!" Aku menghentikan Feni.
"Kamu keluar dulu arghh... Julie takut." Aku mencoba memisahkan mereka berdua terlebih dahulu.
"Kak Yusa… tapi aku… hiks… aku gak bermaksud…" Feni menangis sesenggukan.
"Fen. Ngerti gak?" Kataku kembali tanpa mengalihkan pandanganku padanya.

Darahku masih terus menetes saat Feni menuju ke lantai atas. Aku melepaskan tubuh Julie yang sudah lebih tenang, Julie terkejut melihat luka di lenganku. Ia mengambil kotak obat dan menutup lukanya dengan kapas dan perban.
________________________________________

Satu jam telah berlalu sejak pertengkaran tadi. Aku dan Julie masih duduk di sofa, Julie nampak masih sedikit takut kalau kalau Feni akan kembali menyerangnya. Sedangkan aku masih menahan sakit akibat luka di lengan ku. Pecahan kaca dan bekas darah telah dibersihkan oleh Julie.

"Kak Yusa…" aku mendengar suara Feni memanggilku.
"Iya Fen? Kamu udah tenang?" Tanyaku menoleh ke arahnya yang ternyata sudah rapi.
"Iya kak, maaf…" ia menunduk tak berani memandangku.
"Julie…" Feni memanggil Julie yang tak mau menoleh.
"Maaf…" Feni juga meminta maaf pada Julie namun tidak di gubris.
"Yaudah kalau gitu. Makasih buat semuanya… kak Yusa, makasih…" Feni berjalan perlahan ke arah ku dan Julie.
"Kak, makasih udah buat aku bahagia sejauh ini. Aku gak akan pernah berhenti buat kak Yusa, tapi sepertinya aku kembali ngebangun dari nol setelah semua ini haha…" Feni menitikan air matanya, sebenarnya aku tak tega melihat ini semua.

Feni mencium bibirku, lembut. Ciuman itu berlangsung singkat, namun aku dapat merasakan bahwa ciuman itu penuh dengan rasa sedih, amarah, penyesalan, dan juga cinta. Ia benar-benar mencintaiku, aku dapat merasakannya. Cinta yang mungkin sama besarnya seperti cintaku pada Gaby atau bahkan mungkin lebih besar lagi. Namun cintanya itu tak pernah bisa mengalahkan cintaku pada Gaby, tidak untuk saat ini dan seterusnya.

"Aku pergi ya kak, aku gak akan ganggu kak Yusa. Tapi aku tetap ada di sebelah…" kata Feni lagi.

Feni meninggalkan kamar ini dengan memeluk bantal dan boneka-bonekanya yang ia bawa ke kamarku. Memang Feni tidak membawa apa-apa saat tinggal di sini karena kamar aslinya hanya ada di sebelah. Julie melirik melihat kepergian Feni. Saat Feni menutup pintu depan, barulah ia bereaksi.

"Misi pertama sukses!" Ia mengacungkan jempol padaku.
"Jul, lo gak sedih apa?" Tanyaku melihat tingkahnya yang berubah dengan begitu cepat.
"Gak lah." Balasnya singkat.
"Misi kedua sukses!" Ia kembali mengacungkan jempol.
"Hah?!" Aku kebingungan melihat tingkahnya.

Julie bangkit dari sofa dan berkacak pinggang di depanku. Ia tersenyum bangga dan mengeluarkan handphonenya.

"Sebenarnya misi kedua itu menyingkirkan Diani, udah aku lakuin dari bulan lalu dan mudah. Cuma aku diem aja ke kak Yusa hehe" Julie terkekeh.
"Sekarang misi ketiga" Julie nampak mengotak atik handphonenya.
"Nah pas banget, 5 hari lagi nih. Hari kak Della ngumumin graduate." Kata Julie kembali.
"Trus?" Tanyaku bingung.

Julie tak membalasku namun ia sibuk dengan hpnya. Tak lama alarmnya berbunyi. Ia mengambil jaketnya dan menarik lenganku berdiri. Ia mengambil tas kecil di atas kopernya dan memindahkannya ke sofa, agar tak terlupa.

"Anterin aku ke theater, bentar lagi GR" Julie berkata padaku.
"Lah misinya gimana?" Tanyaku kebingungan.
"Gampang itu mah! Jam berapa sih ini? Aduh takut telat!" Ia nampak begitu terburu-buru.
"Jul, santai sih… aduduh…" tanganku terasa ngilu saat mencoba menghentikan tingkah grasak grusuknya.
"Masih jam segini, GR masih 1 setengah jam kok…" balasku mencoba menenangkannya.
"Nah karena itu!" Julie kembali berkata.
"Kakak aku kasih waktu mandi 15 menit ya, itu udah sama siap-siapnya. Soalnya kakak harus theater juga." Kata Julie padaku.

Ia meletakan semua perlengkapannya ke sisi sofa sebelahku. Ia berlutut di depanku, membuka celana pendek ku dan mengeluarkan penisku. Ia memindahkan kotak tissue di meja ke dekat kami.

"Daripada kakak coli karena kentang trus mandinya jadi lama, mending aku bantuin." Kata Julie sambil mengocok penisku.

Hanya butuh waktu singkat untuk penisku menegang maksimal, karena sisa-sisa rsngsangan yang sejak tadi ku terima. Julie mengecup kepala penisku dan menyentuhnya dengan ujung lidahnya. Ujung lidahnya menyapu kepala penisku dengan cepat membuatnya terasa seperti sebuah gelitikan. Ia memasukan kepala penisku ke mulutnya dan menghisapnya naik turun, tangannya mengurut penisku naik turun.

"Aahh Jul…" aku mendesah keenakan.
"Enha? Mpphhhh….." Julie menelan penisku hingga setengahnya.

Penisku telah basah oleh liurnya, mulutnya terus menghisap penisku naik turun tanpa menggunakan tangannya. Mulutnya begitu ahli memuaskan penisku. Sesekali mulutnya menyedot kuat, pipinya mengempot menekan penisku dari sisi mulutnya. Kembali ia mengulum penisku dengan cepat menimbulkan bunyi dari mulutnya yang membuat nafsumu meninggi.

"Gak keluar-keluar kak?" Julie bertanya sambil mengocok penisku.
"Gak tau padahal enak…" balasku.
"Semalem ngewe? Keluar?" Tanyanya.
"Iya, tapi gak keluar…" Balasku.
"Oh, bisa berarti…" ia membenarkan posisinya.

Aku yang mengerti langsung bangkit dari sofa, mengarahkan penisku pada Julie yang sedang berlutut menatap keatas.

"Aaaahhh… jul…." Aku mengerang saat penisku makin dalam memasuki mulutnya.

Julie menelan habis penisku sampai ke pangkalnya. Ia menahannya beberapa detik lalu mengeluarkannya, liurnya membanjiri penisku hingga menetes ke lantai. Ia mengulanginya beberapa kali membuatku mendesah keenakan.

"Uughh.. oogghh… oggh…" Julie mulai menggerakan kepalanya.

Ia mencoba mengulum penisku yang masuk begitu dalam. Penisku mendapat kenikmatan yabg tiada tara ketika beberapa kali mentok. Julie menatap sayu kearahku, matanya terlihat begitu bangga membuatku merem melek seperti ini.

"Aaaaarghhhh Julieee!!" Aku tak tahan.

Ku pegang kepala belakangnya. Ku goyang pinggulku dengan cepat menghujam mulutnya. Julie memaju mundurkan kepalanya seirama denganku.

"Aaaahhh ahhh…." Aku mendesah saat menahan penisku di dalam mulut Julie.

Mata Julie terus menatapku, matanya berair menahan penisku yang terus menyodok mulutnya. Ku lepaskan penisku untuknya bernafas, liurnya membanjir membasahi dagunya membuat nafsuku semakin meninggi.

"Bentar lagi Jul. Enak…" kataku sambil mengeluskan penisku di wajahnya.
"Hehehehe nakal" katanya sambil mengusap penisku dengan bibirnya yang empuk.

Ia kembali mengulum penisku sambil menyedotnya lalu melakukan deep throat lagi pada penisku. Julie kembali mengambil nafas, lalu melahap penisku kembali.

"Aqqhhhh ahhh…" aku menggenjot mulutnya cepat.
"Aaahhh Jul… Julie… aaah" lidah Julie menyentuh nyentuh penisku dalam mulutnya, menekan nekan membuatku semakin kesetanan.
"Plook plookk ploook"
"Juulll Aaaaaaaaaaaahh…!!!!" Penisku menyemprotkan seluruh isinya memenuhi mulut Julie.

Setelah semprotanku berhenti, ku lepas penisku dan beristirahat di sofa. Menelan seluruh spermaku dan menghisap sperma yang melumer di dagunya lalu berlari ke dapur untuk berkumur dan mengambil air.

"Makasih ya hhhh…." Aku berterima kasih pada Julie dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
"Hhhh iyaaa… aduh mulutku capek…" ia membalasku sambil meneguk sebotol teh.
"Udah sana mandi!" Perintahnya padaku yang langsung segera ku lakukan.
________________________________________

Pertunjukan hari ini selesai, sekarang aku sedang mengantri untuk Hi touch bersama teman-temanku. Tak lama kemudian Hi Touch di mulai. Kami menyusuri tiap member Team J yang menyapa dengan ramah, sampai pada Feni yang hanya menunduk ketika Hi Touch denganku. Aku mengerti pasti dia masih merasa bersalah melihat pundakku yang di perban ini.

"Hai…" sapaku pada Gaby yang menggenggam tanganku erat.

Gaby tak membalas apapun namun matanya nampak begitu sedih, aku tak ingin melihatnya seperti ini. Kehadiranku pasti telah membuatnya sulit, sebenarnya hanya karena rencana Julie lah aku masih menonton theater saat ini. Aku tidak ingin mengganggu Gaby lebih dari ini, aku tak ingin melihatnya bersedih karenaku.

"Kak Gaby penasaran tangan kakak kenapa" Cindy yang berada di sebelah Gaby berkata padaku.
"Kena pisau…" balasku singkat.

Aku dapat melihat Gaby menyenggol Cindy yang dibalas tawa olehnya. Aku senang sekali ia peduli padaku meski tak secara langsung. Rasanya sakit di lenganku ini sudah tidak lagi terasa.

"Rencana 4 kyaknya bisa sekaligus." Julie berkata padaku saat kami melakukan Hi Touch.
"Oke" balasku singkat.

Sesudah Hi Touch, aku bersama teman-temanku turun untuk membeli minum. Teman-temanku bercerita tentang show hari ini dan nampak begitu bahagia. Senang sekali rasanya bisa seperti saat awal aku menonton theater bersama mereka, kesenangan dan masalah kami hanya sebatas waro dan tidak di waro. Tidak sedalam diriku saat ini.

"Gw duluan ya" kataku pada teman-temanku yang berniat untuk demachi.
"Dih cemen banget." Balas mereka.
"Tangan gw harus sembuh bro, 2 hari lagi resto tempat gw magang bakal di sewa buat acara makan-makan besar. Gw di pilih salah satu staffnya" kataku pada mereka.
"Siap pak koki, sukses deh buat lo, hati2!" Kata Senpai lalu mereka melambaikan tangan padaku.

Aku bergegas menuju parkiran dan pulang. Tak berapa lama di jalan, aku telah sampai di apartementku. Setelah meletakan barang-barang, aku memutuskan untuk mandi.

"Kak, jangan lupa rencana ketiga 5 hari lagi, rencana keempat 2 hari lagi." Kata Julie saat aku selesai mandi.
"Hah? 2 hari lagi aku ada job di resto" balasku sambil mengeringkan kepalaku.
"Iya emang, makanya pas." Balasnya padaku.
"Udah ya aku cuma mau ngomong itu, aku balik ke kamar Diani ya" ia meninggalkanku sambil membawa tas dan kopernya.
"Lah kirain kamu tidur di sini?" Tanyaku bingung.
"Gak lah, aku gak mau jadi kak Feni kedua." Balasnya.
"Lah itu koper? Isinya?" Tanyaku semakin bingung.
"Adadeh!"

-Bersambung-
Anjirr.. Kasian bet mpen.. Arrrgghhh.. Mnding siniin aja deh kasian ak liatnya.. Wkwkwkw.. Tpi keren min.. Emosinya dapet bet anjirr..😅😅
 
Part 9 : Sudah Berapa Lama Waktu Telah Berlalu.


"Ngapain pagi-pagi udah di sini?" Tanyaku pada Julie yang sedang asik memakan mie instan di sofa.
"Numpang makan sama numpang nonton, kamar Diani gak ada TVnya." Balasnya tanpa menoleh sedikitpun kearahku yg sedang menuruni tangga.
"Gak ada kegiatan?" Tanyaku lagi.
"Gak ada, theater juga libur." Jawabnya, wajahnya begitu serius menonton berita tentang artis "wanita" yg tertangkap karena kasus narkoba.
"Kak Yusa bukannya harus ke resto? Kan ada acara hari ini." Kata Julie padaku, kali ini dia mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Iya makanya ini mau mandi dan siap-siap." Balasku padanya.

Ku langkahkan kakiku ke arah Julie yang masih memandangku, dengan tangan memegang semangkuk mie instan yang ia tambahi bubuk cabai cukup banyak.

"Ngapain kak?! Aku lagi makan, jangan…" ia bergeser pelan ketika aku semakin dekat.
"Diem jangan gerak." Aku menahan bahu kirinya.
"Ini ada mie nempel di samping bibirmu." Kataku sambil membersihkannya dengan tissue.

Julie terdiam menatapku lalu menampar wajahku, aku terkejut hingga terbengong menatapnya. Tanganku mengelus pipi yang bertapak merah tangan Julie. Ia menatapku dengan kesal dan bersiap menampar sekali lagi.

"Sana jangan urusin aku, buruan mandi!" Julie memerintahkanku untuk mandi dengan wajah yang bersemu merah.

15 menit lamanya aku membersihkan diriku di kamar mandi, 10 menit setelahnya aku telah selesai bersiap dengan kemeja putih dan celana jeansku. Setelah menyisir rambut dan merapikan kasurku, aku kembali turun dari ruang tidurku dan mendapati Julie yang masih belum berpindah dari posisinya. Gadis ini memakan sebatang coklat yang sepertinya ia temukan setelah mengacak-acak isi kulkasku. Julie menoleh padaku yang menuruni tangga lalu berjalan ke arahnya.

"Yaampun ganteng banget kakak aku!" Julie memujiku sambil bertepuk tangan di sambung dengan tawa yang renyah.
"Ngeledek apa gimana nih?! Namanya orang kerja…" balasku padanya.
"Toh nanti di sana bakal ganti pake celemek dan baju koki juga." Tambahku.
"Iya sih, tapi kakak di rumah gak pernah pake celemek deh." Tanyanya padaku.
"Buat apa, aku kan bersih…" balasku lalu mengeluarkan sapu tangan dari kantong.
"Gak kyak kamu yang makan coklat aja belepotan gini Jul" aku membersihkan coklat yang mengotori sela bibirnya, sudah dua kali aku membersihkan sisa makanan dari bibirnya pagi ini.
"Kak…" Julie menatapku sebal.
"Kenapa sih?" Balasku tak mengerti dengan tingkahnya.
"Aku susah susah move on dari kak Yusa, sampai harus tinggal di rumah mama dulu sampai bener-bener lupa!" Ia berkata dengan kesal sambil menunjuk wajahku.
"Sekarang baru 2 hari deket lagi aja kak Yusa udah seenaknya bikin baper… pergi sekarang gak, atau aku gampar lagi!" Julie bangkit dari duduknya mendekatiku dengan tangan terangkat.

Kakiku melangkah mundur karena ngeri, memang seorang wanita ketika marah begitu menyeramkan. Aku tak mau menambah luka lagi di tubuhku karena luka dari Feni saja belum sembuh seutuhnya.

"Yaudah yaudah aku pergi dulu ya…" aku melangkah dengan cepat sebelum Julie semakin kesal dan benar-benar menggamparku.
________________________________________

Julie
Kak, hari ini jangan sampai gagal ya.

Yusa
Tenang, kak Yusa koki paling hebat di semesta.

Julie
Ya terserah lo.

Aku tertawa melihat pesan dari Julie, ku letakkan handphoneku di loker lalu mengenakan seragam restoku. Hari ini adalah hari besar bagi restaurant tempatku magang, karena tempat ini akan menjadi tempat pesta besar. Sebuah acara tahunan dari sebuah keluarga tertentu, aku tak terlalu tau detailnya karena menurut head chef itu semua tidak penting selain menyajikan yang terbaik untuk mereka sesuai prosedur yang dimiliki restaurant ini. Acara ini akan berlangsung nanti malam pukul 7, sekaligus akan menjadi tempat untuk anak dari pemilik acara mengenalkan calon istrinya di sini. Dulu sang pemilik restaurant juga pernah melakukan acara serupa untuk kekasihnya yang sekarang telah ia nikahi. Menurut cerita head chef keluarga sang kekasih sangat puas dengan pelayanan kami semua, sehingga mereka menyarankan Olimpia sebagai tempat spesial bagi keluarga pemilik acara ini yang ternyata masih rekanan dengan istri pemilik restaurant.

"Yusa, kalau sudah siap nanti bantu di sini ya." Salah seorang seniorku yang sedang memasang dekor memanggilku.
"Oke otw!" Balasku sambil setengah berlari menuju ke ruang makan.

Aku membantu memasang taplak meja berwarna putih yang spesial untuk hari ini, karena biasanya meja di Olimpia dilapisi dengan taplak berwarna kuning khas romawi. Memang restaurant ini aslinya memiliki tema makanan eropa, namun dekor dan suasananya di bangun dengan nuansa romawi kuno. Tidak dominan namun memberikan "rasa" yang sesuai dengan romawi kuno. Namun hari yang spesial ini membuat kami sedikit menata ulang tiap meja dan kursi. Memberikan sebuah space besar di tengah-tengah ruangan karena menurut Head Chef di acara nanti akan ada musik dan biasanya mereka akan mulai menari. Kami pun menyusun tiap meja menjadi berbentuk huruf U besar. Setelah kami menyusun meja dan kursi, aku membantu seniorku yang lain memasang banner panjang. Lalu membantu seniorku yang lain memasang tulisan di depan restaurant agar para undangan dapat menemukan tempat ini dengan mudah serta tidak kebingungan untuk registrasi dan mengisi buku tamu undangan.

"Yusa, istirahat dulu sana." Perintah salah seorang seniorku.
"Santai aja bang, belom capek kok!" Balasku yang sedangn memindahkan sebuah pot tanaman ke sudut ruangan.
"Truk minuman udah dateng tuh!" Panggil seniorku yang sedang menyiapkan halaman depan.
"Siap!" Balasku setelah meletakkan pot itu lalu bergegas keluar.

Aku membantu mengangkat krat minuman beralkohol itu di sudut ruangan dan merapikannya. Kemudian mengangkat box ikan segar untuk di bawa ke freezer. Melakukan estafet untuk memindahkan box sayur mayur agar cepat sampai di cooler. Para senior serta Head Chef nampak kebingungan melihat staminaku yang tak habis-habis. Entah mengapa aku juga merasa hari ini begitu bersemangat, aku hanya ingin agar acara malam ini yang juga adalah tugas terakhirku di restaurant ini berjalan dengan baik. Aku ingin membantu sebanyak dan sebisa mungkin sebelum aku menyelesaikan magangku di sini, Head Chef memutuskan untuk mempercepat magang ku 2 minggu bila aku dapat bertugas dengan baik di acara malam ini.

"Yusa, ini hari terakhir lu kan?" Tanya salah seorang senior yang memberikan sebotol air mineral padaku yang sedang duduk di dapur.
"Iya bang, gak kerasa ya. Padahal gw udah mulai nyaman haha." Balasku padanya.
"Kemungkinan lo bakal lulus kapan?" Tanyanya padaku.
"Belum tau bang, kalau lancar sih bulan depan bisa udah selesai." Balasku kembali.
"Lo bakal balik atau cari tempat lain?" Tanyanya lagi.
"Sepertinya gw akan kerja di restaurant nyokap. Lagipula gw ingin di restaurant Italia, sedangkan Olimpia lebih condong ke French." Kataku.
"Udah gw duga sih hahaha." Balasnya sambil tertawa.

Ia menepuk pundakku dengan senyuman. Ia bangga padaku yang membuatku begitu senang. Seniorku yang lain masuk ke restaurant ini lalu memberikanku beberapa kenang-kenangan. Mereka memberiku sebuah Apron Olimpia baru. Aku terharu hingga tanpa sadar air mataku menetes, aku tak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Memang sulit rasanya untuk meninggalkan restaurant yang mau menampung mahasiswa biang keladi yang telah ditendang dari 2 tempat magangnya sepertiku. Mereka benar-benar mengajariku di tengah persaingan antara para koki. Tak hanya Head Chef saja yang memberikanku ilmu, seniorku yang lain juga dengan senang hati berbagi ilmu dan pengalamannya padaku yang masih baru di dunia kerja.

"Lo karyawan magang terbaik yang pernah kita punya. Bahkan kepergian lu ini setara dengan kepergian seorang chef di sini." Kata Head Chef yang datang paling terakhir.
"Seharusnya kita gak melakukan ini sekarang, tapi karena hari ini ada acara besar dan sampai larut. Kita lakukan perpisahannya di tengah hari seperti ini." Katanya lagi.

Mereka merangkul ku, mengacak-acak rambutku, memberikan sepatah dua patah kata untukku. Aku merasa sangat senang memiliki senior hebat seperti mereka.

"Ehem… Cukup, balik ke dapur. Masih banyak preparation yang harus di buat!" Head Chef mengingatkan kami semua.
"Yusa, jangan sampai mengecewakan hari ini ya." Tambahnya padaku.

Setelah meminta izin untuk meletakkan apron itu di loker. Aku kembali ke dapur untuk menyiapkan bumbu-bumbu dan condiment. Head Chef memintaku membersihkan ikan dan memotong sayuran, lalu setelahnya ia menyuruhku ke depan untuk beristirahat karena nanti aku akan lebih banyak di dapur membantunya. Aku menuruti perintahnya karena rasa lelah yg mulai terasa, sepertinya aku benar-benar terlalu memaksakan diri. Beristirahat sebentar sepertinya mekang di butuhkan.

Yusa
Hari ini kegiatannya apa? Skripsinya gimana, pasti lancar kan? Semangat ya sayang!
Sudah hari ke 62 kamu gak pernah bales chat dari aku…


Aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada kontak bernama "Sayangku". Kontak yang satu bulan lalu mengubah display picture yang sebelumnya adalah foto hasil photobox denganku di sebuah mall menjadi foto dirinya sendiri di sebuah museum. Rasa rindu memenuhi hatiku, sesak sekali. Meskipun dua bulan telah berlalu, aku tak pernah lupa bagaimana suaramu, caramu memanggilku, caramu makan, senyum lebarmu, mata indahmu. Aku yang selalu terpana ketika kau tertawa, yang selalu membuat sesuatu yg lucu menjadi sesuatu yg membuat hati berdegup kencang. Kamu yg selalu percaya dan tak pernah cemburu padaku yang begitu mudahnya dekat dengan wanita, yang menurutmu itu adalah tantangan tersendiri.

"Aku yg milih punya pacar baik dan mudah bergaul, jadi aku harus percaya kalau kamu memang berteman aja." Kata-katanya kembali terngiang di kepalaku.

Aku memandangi fotonya di layar HPku, entah sudah berapa lama waktu telah berlalu aku tidak mengganti wallpaper yg kugunakan sejak awal berpacaran dengannya. Foto dirinya sedang tersenyum lebar di sebuah jembatan penghubung antara 2 mall, dengan latar lampu-lampu bangunan perkotaan. Cahaya yang begitu terang namun tak mampu mengalahkan keindahannya. Aku rindu.

"Yusa!" Aku terkejut saat seseorang meneriakkan namaku.
"Eh iya, kenapa? Sorry sorry" aku membungkuk meminta maaf pada seniorku yang ternyata sedari tadi memanggilku.
"Bantuin gw pasang papan nama dong, yang bagian tengah ini ada namanya ternyata. Ini kertas posisinya, lu sebutin dari tengah situ nanti gw yg pasang." Katanya padaku.

Aku menuruti perintahnya dan berjalan menuju bagian tengah ruangan, menghadap kearah bangku-bangku tamu yang berada di bagian paling tengah barisan. Senior itu mengacungkan jempol memberikanku kode untuk memulai menyebutkan nama dan letak mejanya.

"Benny Warouw…" aku mulai menyebutkan nama pertama dan terkejut.
"Iya, terus?" Tanya seniorku.
"Warouw…" kataku lagi, tanganku gemetar.
"Yusa!" Seniorku menyadarkanku kembali.
"Lo kenapa?"
"Ah… sorry… gapapa kok, Benny Warouw dan keluarga. Di paling tengah" kataku berusaha menutupi keterkejutanku.
"Tanuwiyatna dan keluarga di sebelah kanan." Kataku lagi.
"Edward…" aku menghentikan kata-kataku.
"Edward. C… Warouw…" mulutku tercekat, air mata mulai menetes membasahi denah yg ku pegang.
"Loh lo kenapa?" Seniorku meletakan papan nama terakhir di bagian kiri lalu mendekatiku.

Aku mencoba menahan tangisku, namun air mataku mengalir lebih deras. Suara tangis yang ku tahan sebisanya ternyata mengundang para karyawan dan juga Head Chef. Mereka mengerubungiku lalu mengajakku duduk. Setelah menangis beberapa menit hingga tangisku reda, mereka akhirnya bertanya padaku apa yg terjadi. Aku menceritakan pada mereka apa yang terjadi, walaupun aku sebenarnya malu dan ingin menyimpan ini semua namun mereka terus mendesak dan berkata tidak apa-apa.

"Jadi gitu ceritanya…" kataku mengakhiri ceritaku.
"Sabar ya Sa."
"Yg kuat ya Sa."
"Sabar bro." Mereka memberikan semangat padaku.
"Bukan salah dia, ini semua karena gw yang gak bisa ngasih apa yg dia butuhkan." Kataku meluruskan, agar mereka tak menganggap Gaby jahat.

Head Chef mendekatiku dan memintaku bangun. Kedua tangannya terlipat di dada sambil menatap mataku dalam.

"Ternyata cuma cinta-cintaan anak kecil, fokus kerja!" Kata Head Chef membentak kami, terutama padaku.
"Buang-buang waktu aja! Bubar!" Ia kembali memerintahkan kami semua untuk meneruskan pekerjaan kami.
"Yusa!" Head Chef memanggilku yang sedang berjalan menuju dapur untuk kembali bekerja.
"Iya Chef!" Aku menghentikan langkahku dan membalik badan ke arahnya.
"Tunjukin di depan dia kalau lo gak kenapa napa meskipun dia dengan tunangannya di depan lo." Ia mengepalkan tangannya di dada.
"Berikan pelayanan terbaik yang gak bisa dia lupakan!" Nasihatnya membuat hatiku membara.
"IYA CHEF!"
________________________________________

Acara itu akhirnya di mulai, dalam waktu satu jam seluruh tamu akhirnya telah berkumpul. Buku menu sudah diberikan sejak tadi sehingga pesanan yang masuk tidak menumpuk, salah seorang seniorku memberikan kode kalau keluarga Gaby telah datang. Head Chef memberikan ku izin untuk mengintip. Ada keanehan di sana karena keluarga Gaby duduk di meja yang telah disiapkan, namun dengan dua orang suami istri yang tidak aku kenali. Aku memutar mataku mencari keberadaan Gaby yang tidak ku temukan. Head Chef kembali memanggilku.

"Yusa…" panggilnya padaku.
"Iya Chef." balasku.
"Temui mereka sebagai perwakilan Chef." Ia menepuk dadaku memberi perintah.
"Tapi Chef…" balasku ragu.
"Lo tau kan cara rekomendasi? Pelayanan terbaik itu di berikan oleh chef langsung ke meja pelanggan spesialnya. Ini waktunya!" Head Chef mendorong punggungku ke arah pintu.

Aku menghela nafas panjang, menghilangkan semua kekhawatiran dan ketakutanku. Membuang seluruh pikiran-pikiran yang memenuhi kepalaku. Aku menghela nafas sekali lagi lalu melangkahkan kaki ku keluar.

"Selamat malam, menu special hari ini adalah Tuna Casserole untuk menu internasional dan untuk menu lokal kita ada cakalang asap." Kataku memberikan rekomendasi kepada meja tempat orang tua Gaby duduk.
"Saya mau cakalang." Tante Vany memesan satu cakalang padaku, namun ia terkejut ketika menoleh ke arahku.
"Loh Yusa! Yaampun apa kabar nak?" Ia bangkit dari duduknya dan memberikan cipika cipiki padaku.
"Malam Tante, baik Tan. Tante sendiri apa kabar?." Balasku.
"Baik nak, kamu keliatan kurusan… maaf…" Tante Vany memelukku, ia mengusap matanya dengan sapu tangan miliknya.
"Ehem…" Om Edward berdehem, Tante Vany melepaskan pelukannya dan balik duduk.
"Kenalin ini mantannya Gaby, makanya saya sedikit emosional pas liat dia." Tante Vany memperkenalkanku pada kedua orang di depannya.
"Halo, Tanuwiyatna."
Halo, Sandra."
"Halo, saya Yusa." Aku sedikit membungkuk setelah menyalami mereka.

Mereka berdua telah menyelesaikan pesanannya padaku, namun Om Edward masih belum menentukan pilihannya dan terus menatapku. Aku memberikan sebuah senyuman padanya membuatnya menoleh ke arah lain.

"Pesan apa Pak?" Tanyaku kepada Om Edward.
"Kenapa kamu ada di sini?!" Tanyanya padaku dengan nada yang keras.
"Saya magang di sini." Balasku berusaha seramah mungkin meskipun emosiku juga mulai meningkat.
"Saya pesan Tuna, cepat sana pergi kamu cuma pelayan sekarang." Om Edward menyuruhku pergi, aku mencatat pesanannya dan mengangguk.
"Saya ulangi pesanannya…" kata-kataku dipotong Om Edward.
"Gak usah! Sana kamu pergi pelayan!"
"Maaf sebelumnya, saya bukan pelayan. Saya adalah sous Chef yang memberikan pelayanan spesial untuk meja ini, tidak banyak orang yang bisa mendapatkan kesempatan seperti ini." Balasku dengan nada yang tenang.
"Saya akan melayani dua meja spesial malam ini dengan hidangan yang langsung dibuat dan disajikan oleh saya sendiri. Bon Apetit" Balasku sambil membungkuk memberi hormat dan meninggalkan meja ini.

Aku berjalan kembali menuju dapur, namun salah seorang pelanggan memanggilku karena ia tak kunjung disinggahi Waiter. Aku melayani mereka dengan tenang dan profesional.

"Selamat malam, ini menunya, special hari ini Tuna Casserole..." Kataku sambil menyerahkan buku menu di meja nomor 6 ini
"Loh Yusa!" Tamu itu memanggil namaku, membuatku terkejut dan menoleh ke arahnya.

Seseorang yang memanggil namaku itu adalah Gaby, ia begitu cantik dengan blazer coklatnya. Membuatku terpaku memandanginya.

"siapa Gab?" seseorang bertanya pada Gaby, seorang pria tinggi yang berpenampilan tak kalah rapi dengan Gaby.
"Itu… temen aku" balasnya pada pria itu, Gaby menunduk tak menatap mataku.

Aku menyelesaikan pesanan di meja nomor 6 lalu menghampiri meja tempat Gaby berada, ternyata bangku keluarga Gaby ditempati oleh Gaby dan seorang pria tinggi yang tampak begitu gagah.

"Selamat malam, ibu, bapak…" sapaku pada mereka.
"Sudah memesan? Kalau belum…" Gaby memotong kata-kataku.
"Ternyata kamu magang di sini ya…" katanya padaku.
"Iya, jadi menu ha…"
"Kamu apa kabar? Aku baik." Katanya lagi memotongku.
"Baik, kalau begitu pesanannya sudah siap di pesan?" Tanyaku lagi.
"Kamu kenapa kurusan? Kecapean? Kamu jarang makan? Aku kan udah bilang…"
"By, ini siapa?" Pria itu bertanya kepada Gaby.
"By?" Pikirku terkejut.
"Ini pac.. mantan pacarku, yang waktu itu ngobrol sama aku di FX." Balasnya pada pria itu.

Pria itu menoleh ke arahku dan memandang ku dari atas ke bawah. Aku memberikan senyumanku padanya. Ia memberikan tangannya padaku untuk berkenalan.

"Fajar Tanuwiyatna." Ia memperkenalkan dirinya.
"Yusa, Billy Christa Eyusa." Balasku dengan ramah.
"Yusa, kamu gak bisa di sini aja? Udah makan? Kalau boleh aku minta izin Opa biar kamu ikut acara ini aja." Kata Gaby padaku.
"Maaf bu, tapi ini sedang jam operasional dan sedang di sewa untuk acara. Sebagai koki saya harus profesional dan kembali ke dapur untuk menyelesaikan pesanan dua meja spesial yang dipercayakan pada saya." Balasku menjelaskan
"Kalau pesanannya sudah selesai dan sesuai saya meminta izin untuk kembali ke dapur dan menyelesaikan pesanan agar tamu saya tidak menunggu terlalu lama." Tambahku berusaha profesional.

Setelah Fajar memesan makanan untuknya dan Gaby. Aku meninggalkan mereka kembali ke dapur, sesaat memasuki pintu dapur air mataku langsung mengalir deras. Head Chef merangkul bahuku memberikan semangat.

"Good Job, lo pria hebat, lo kuat." Head Chef menyemangatiku.
"Sana berikan yang terbaik!" Ia memerintahkan ku kembali bekerja.

Aku membuatkan pesanan mereka semua dan menyajikannya. Aku melihat Gaby yang tertunduk tak menatapku, membuat dadaku menjadi sesak. Begitu juga tante Vany yang memintaku untuk bergabung namun ku tolak karena pekerjaanku dan juga pandangan kesal yang Om Edward berikan padaku. Aku melakukan tugasku dengan sangat profesional sampai akhirnya acara ini menuju puncaknya, para tamu undangan memutar lagu khas Manado dan mulai menari. Mereka nampak begitu bahagia mengikuti musik dan tarian, sedangkan untuk para karyawan ini adalah saat yang paling tepat untuk beristirahat. Aku meminta izin untuk ke halaman belakang mencari udara segar. Aku duduk di sebuah bangku taman.

Julie
Kak.

Sebuah pesan dari Julie sekitar 3 jam yang lalu. Aku membalas pesan itu yang langsung ia baca dan balas.

Yusa
Kenapa Jul?

Julie
Akhirnya bales, oke rencana ke 4 berjalan mulus.

Yusa
Rencana apa????

Aku bertanya namun ia tak membalas pesanku. Aku memasukan handphone ke dalam saku, waktuku beristirahat hanya sekitar 15 menit lagi.

"Hai." Sebuah suara memanggilku.

Aku sangat mengenal suara itu, aku menggelengkan kepalaku dan tertawa kecil. Baru saja aku berpapasan dan berbincang dengannya sedikit, sekarang isi kepalaku dipenuhi olehnya hingga membuatku mendengar suaranya di halaman sepi ini.

"Hai, kamu gak mau nengok?" Panggilnya kembali.

Aku menolehkan kepalaku dengan cepat dan mendapati Gaby yang tengah berdiri menatapku, air matanya tak terbendung di tengah senyumnya yang merekah. Aku bangkit berdiri tak percaya, ku dekati dia perlahan, namun ia berjalan cepat ke arahku dan memelukku. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukanku. Tangisanku pecah namun aku berusaha kuat di depannya.

"Yusa…" ia menatap mataku, begitu lekat, begitu dalam.
"Iya." Balasku menatapnya.
"Kangen… hiks… maafin aku… aku…" isak tangisnya membuat kata-katanya terputus-putus.
"Udah…" aku kembali mendekapnya dan mengelus rambutnya, ia memeluk tubuhku erat.

Kami berpelukan begitu lama, meluapkan setiap kerinduan dan emosi yang terpendam, menyalurkan perasaan yang disembunyikan. Aku merasakan hangatnya, api cinta kecil yang tak pernah mati kini kembali tersulut membesar. Aku mengajaknya duduk di bangku taman itu.

"Aku bilangnya sakit perut ke toilet hehe." Katanya padaku.
"Siapa yang ajarin bohong? Dasar." Balasku meledeknya.
"Karena aku lama pacaran sama pembohong wooo" Gaby yang sedang memainkan jari-jariku dengan tangannya meledekku.
"Kamu diem!" Gaby menyuruhku diam dengan tangannya.

Ia menghela nafas panjang lalu menatapku dalam.

"Aku sehat, kamu juga kan? Aku udah makan, kamu juga jangan lupa makan." Katanya padaku.
"Aku sebentar lagi tidur, kamu kalo ngantuk duluan aja. Selamat istirahat sayang." Tambahnya.
"Makasih sayang, kamu juga ya." Tambahnya lagi.

Ia menarik nafas lagi.

"Aku sehat, kamu juga kan? Aku udah makan, kamu juga jangan lupa makan." Katanya mengulangi padaku.
"Aku sebentar lagi tidur, kamu kalo ngantuk duluan aja. Selamat istirahat sayang." Ulangnya.
"Makasih sayang, kamu juga ya." Ulangnya lagi.

Gaby kembali menarik nafas. Aku menitikkan air mataku mendengar kata-katanya.

"Sayang…" aku memanggilnya yang masih terus berbicara.
"Udah sayang…" aku mencoba menghentikannya.
"Udah ya, iya aku ngerti…" aku menggenggam tangannya lembut.
"Tapi aku baru 25 kali, masih 37 lagi yang belum aku balas, maaf aku gak bisa balas…" Ia mengeluarkan wajah cemberut khas miliknya, aku kembali memeluknya.
"Sayang makasih ya." Kataku sambil mengelus rambutnya.

Aku merangkul tubuhnya di atas kursi taman ini, Gaby terus memainkan jari-jariku. Kami hanya terdiam tanpa sepatah katapun, namun rasanya semuanya tersampaikan dengan begitu saja. Kami hanya ingin menghabiskan waktu bersama selama yang kami bisa, waktu yang tak bisa kami berikan selama dua bulan lamanya. Namun tak terasa ternyata sudah hampir 20 menit kami berada di sini. Benar saja seseorang memanggil Gaby untuk kembali ke dalam, namun orang itu perlahan menghampiri kami berdua.

"Yusa, maafin Tante ya…" Tante Vany memegang bahuku.
"Tante gak perlu minta maaf, gak ada yang salah kok." Balasku menggenggam tangannya.
"Gaby, ayo balik ke dalam acara tunangannya mau mulai." Tante Vany mengajak Gaby masuk.
"Gak mau ma…" Gaby menolak namun ia melangkah pelan mengikuti karena tangannya di gandeng oleh Tante Vany.
"Gaby, kamu tau kan papamu itu galaknya gimana." Tante Vany kembali mengajaknya.
"Kalau aku maunya sama Yusa gimana? Kenapa aku gak boleh sih ma! Aku udah gede, harusnya aku udah bisa milih sendiri!" Gaby menahan tangan Tante Vany.

Aku berdiri di belakang memandang mereka, aku terpaku, tanganku bergetar hebat. Mengapa di saat seperti ini aku masih saja penakut, mengapa aku tak bisa menjadi lelaki gagah seperti Fajar. Bahkan untuk mengutarakan keinginan ku saat ini saja aku tidak bisa.

"Gaby mama ngerti, tapi mau gimana lagi sayang…" Tante Vany kembali menarik tangannya.

Gaby menoleh ke arahku, matanya berkaca-kaca dengan wajah sedihnya menatap mataku. Tubuhku terus bergetar hebat, aku mengepalkan tanganku kuat-kuat.

"Tante… saya janji tahun ini saya akan lulus, saya akan langsung lanjutin restaurant mama yang di Jakarta dan menabung untuk membangun restaurant saya sendiri, namun sebelumnya saya akan menikahi Gaby saat mengurus restaurant mama, kalau saya bawa kabur Gaby untuk tinggal sama saya sampai kita berdua lulus biar tidak ada keterikatan lagi dan bebas. Boleh gak tante?" Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

Tante Vany menghentikan langkahnya, ia dan Gaby menoleh terkejut. Mereka berdua berjalan kembali ke arahku. Tante Vany menatapku tajam.

"Kamu serius?" Tanya Tante Vany padaku.
"Serius Tan. Saya serius." Balasku mantap, Gaby melepas genggaman Mamanya dan menggandeng tanganku.
"Hanya orang tua gila yang mengizinkan anak gadis tertuanya untuk tinggal dengan pacarnya yang belum memiliki ikatan sedikitpun. Namun Tante percaya kalau tante cukup gila untuk pegang janjimu, tante yang akan lindungi kalian dan menjamin kalian. Namun kalau sampai akhirnya kamu macam-macam…" Tante Vany mencengkram bahuku.
"Kamu tau siapa keluarga Gaby itu kan. Jadi tante tanya sekali lagi, apa kamu yakin?"

Seharusnya saat ini tubuhku bergetar hebat dan mungkin saja kencing di celana menerima ancaman dari Tante Vany. Seharusnya saat ini aku mundur dari rencanaku dan mencari hidup yang aman. Bila laki-laki waras pasti akan langsung ciut menerima perjanjian dari tante Vany, namun semua itu tak berlaku saat ini. Aku memantapkan hatiku menjawab tante Vany.

"Saya janji."

-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
mantap update kenceng gini biar yusange bisa cepet barbar lagi :pandaketawa:

Fajar?
Fajar Sang Idola?
Fajarnya Idola?
Gaby itu seorang idola. Jadi,
Fajarnya Gaby?
 
Jadi keinget cerbung lawas pas adegan "bawa kabur Gaby", situasinya lumayan mirip. But anyway, dramanya keren gab:haha:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd