Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

SECRET OF FREYA [2019]

-elena-

Semprot Lover
Female
UG-FR+
Daftar
22 Aug 2017
Post
244
Like diterima
68
Lokasi
East Java
Bimabet
b051ba1313390930.jpg




Salam hormat dari Elena buat jajaran Admin, Supmod, Momod, Panitia Even LKTCP 2019, Dewan Juri, Peserta dan para reader SF Cerpan.

Sebetulnya sih El baru juga dalam dunia tulis menulis/cerita one shoot dengan sentuhan erotis/panas di dalamnya. Seperti tema evennya kali ini, adalah Fresh Meat. Setelah mendapat paksaan dan juga dorongan, plus support dari salah satu TS/suhu yang cukup Elena kenal (Tidak ingin di sebutkan ID/namanya), hingga El mempunyai keberanian untuk ikut menjadi peserta dalam pagelaran even terakbar SF Cerpan.

Jadi yah gitu deh.

Intinyamah, ijinkan El untuk memposting satu cerita sebagai pelengkap even LKTCP 2019, juga sebagai bentuk partisipasi El sebagai pecinta forum 46 yang kita cintai bersama.

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Nama-nama tokoh, tempat kejadian dan alur hanya settingan. Jika terdapat kesamaan dari nama tokoh dan kejadiannya itu hanya kebetulan saja.

Selamat membaca....!!!




------------------------------000*000------------------------------​





Freya”

Sapaan lembut baru saja di dengar oleh gadis pemilik paras cantik bernama lengkap Freya Mariska. Ujung bibir yang tipis dan berwarna merah muda membuat se-garis senyuman seiring pergerakan wajahnya ke arah suara sapaan.

“Tom,” Freya balas menyebut nama si pria.

“Sorry macet” Tomi kembali beralasan ke Freya. Alasan keterlambatannya tiba di tempat janjian mereka bertemu.

“Dasar” Senyum Freya di balas si Tomi dengan menyengir. “Kalo gak mau kena macet tinggal di luar Jakarta aja, Tom.”

“Hehe, bisa aja lo.” lalu Tomi melempar candaan berikutnya dengan cepat. “Tapi kalo pindahnya bareng lo, gw mau deh. Hehe”

“Emoh, dih ngapain sih.”

Respon Tomi hanya menyengir kuda. Selanjutnya Freya melempar senyum kesekian kali ke Tomi. Gelengan kepala menyertai gerakan Tomi yang baru saja menarik kursi di hadapan Freya.

“Belum selesai juga, Fe?” sekedar basa-basi, Tomi yang telah duduk di depan Freya melempar sebuah pertanyaan. Tak lupa Tomi menggeser kursi ke belakang, agar kedua kakinya berposisi nyaman di bawah sana. Tinggi Tomi 177 cm, cukup tinggi bagi standar orang Indonesia.

Freya mengangguk pelan.

Seharusnya jawabannya sudah di ketahui oleh Tomi, jika sebuah cerita dengan unsur panas yang sedang di kerjakan oleh Freya belum rampung. Tomi juga adalah satu-satunya pria yang sering menjadi pendengar keluh kesah Freya. Bahkan Tomi termasuk pembaca setia cerita-cerita karangan dari Freya setiap harinya. Tomi mengetahui banyak tentang Freya. Kesehari-harian Freya, hobby, bahkan status Freya yang masih Jomblo hingga sekarang ini tak luput dari pantauan Tomi.

Enam bulan yang lalu mereka mengikrar sebuah hubungan persahabatan. Sebuah ikrar yang tak terucap, namun kedekatan mereka sudah cukup mengartikan sesungguhnya.

“Gw masuk ke zona BT lagi deh hari ini,” Tomi berbisik pelan. Dari nadanya terdengar jika Tomi merasa kesal seperti biasanya.

Freya mendengarnya. Kemudian menatap wajah Tomi. Kuluman di mulut Freya, pandangan mata berbinar kerap kali membuat Tomi berfikir, apakah gadis itu sedang menggodanya atau hanya sekedar sebuah candaan semata. Tapi sukses membuat Tomi hilang rasa kesal.

Apa yang sedang di pikirkan Freya, masih menjadi sebuah misteri bagi seorang Tomi. karena hal itu, hingga sekarang Tomi masih enggan melangkah lebih jauh untuk mempertanyakan kedekatan mereka. Menginginkan lebih dari seorang sahabat.

Sekali lagi Freya melempar senyum, sebelum bola matanya mulai berpaling. Jari jemari Freya yang awalnya terhenti bergerak karena kedatangan Tomi, kini telah mulai asyik menari di atas keyboard notebook. Tuts keyboard mulai tersentuh oleh ke-sepuluh jemari lentik Freya, mengetikkan kata demi kata.

Tomi menatap wajah Freya. Meski bola mata Freya tidak terarah kepada Tomi, namun dengan menggunakan ekor mata Freya mengetahui jika wajah Tomi membentuk sebuah senyuman beberapa detik.

Terucap kalimat mengagumi kecantikan Freya, dalam hati Tomi.

“Lo gak mesan minuman, Tom?” menyadari Tomi diam saja, Freya bertanya tanpa melepaskan pandangannya dari layar notebook.

“Wait!”

Lengan kanan Tomi terangkat untuk memanggil salah satu pelayan cafe. Salah satu pelayan yang berdiri tak jauh, berjalan menghampiri meja mereka. Setelah mencatat pesanan dari Tomi, maka pelayan itu berjalan meninggalkan meja mereka untuk menyiapkannya.

“Ahhh... sibuk melulu lo Fe” efek dari fokus Freya dengan pekerjaannya kembali, membuat Tomi menyatakan protesnya secara tidak langsung. Tomi berfikir buat apa bertemu jika hanya membiarkannya sendiri. Padahal jelas-jelas Freya yang mengajaknya bertemu. Namun sekarang justru Freya masih tetap sibuk dengan kerjaannya.

Tomi meraih ponsel dari saku celana.

Merasakan hal aneh, Tomi meletakkan ponselnya ke atas meja. Niatnya bermain HP terganti karena merasakan hawa dingin ganjil. Sebuah perasaan yang sering ia alami belakangan ini. “Anjir, gw ngerasain lagi aura yang gak ngenakin Fe” kata Tomi sambil mengelus tengkuknya.

Perhatian Freya teralihkan. Dua mata milik gadis itu menyipit menatap wajah Tomi. “Lo jangan bikin mood gw ilang deh Tom. Suka banget bikin gw merinding.”

“Hehe, seriusan. Masa iya gw bohong sih ama lo, Fe.”

“Cih” Freya mencibir sahabatnya itu. “Mending lo cuci muka dulu, mungkin ada yang ngikutin lo ke sini.”

“Ah gak lah, kan lo tau kalo gw anak ‘Indigo’. Bisa liat sesuatu yang gak di liat oleh orang biasa.”

"Indigo apaan? Indomie goreng?

“Lo gak liat di sekeliling lo, ada yang aneh atau apa gitu?” Freya bertanya lagi ke Tomi.

“Biasa aja sih, Fe.”

“Ada setan gitu?” tanya Freya. Gadis itu ikutan memutar pandangannya ke sekeliling.

“Setan biasa aja Fe. Setiap tempat pasti akan ada penghuninya.”

“Ohhh my, stop lo jelasin detailnya. Jir, bulu kuduk gw merinding.” Freya baru saja mengusap lengannya bergantian. Bahunya ikutan bergidik di kala pikirannya mulai terpengaruh dengan perkataan Tomi.

“Hahaha, selow Fe. Mereka gak bakal ganggu kok.”

“Hufhh, Jadi kenapa lo ngerasa aneh tadi? Padahal lo kan udah biasa liat kayak gituan.”

“Gak tau, gw juga belum dapat jawabannya sih, Fe. Perasaan ini baru belakangan ini gw rasain.” Jelas Tomi.

Apa yang di katakan Tomi berbeda dari yang di pikirkannya. Tomi masih menyembunyikan sesuatu. Pria itu tak ingin si Freya benar-benar kehilangan mood hari ini.

“Daaah ah, gw gak mau dengar lagi.” Freya reflek menutup kedua telinganya. Matanya terpejam, kepalanya bergerak sesaat ke kiri dan kanan.

“Haha, iya iya. Sorry kalo gw udah nakutin lo lagi.”

“Gw lanjut ngetik lagi Tom, dikit lagi selesai kok.”

“Ok.”

Freya berfokus ke kerjaannya lagi, sedangkan Tomi kembali memandang sekeliling mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun kedua matanya yang sejak kecil dapat melihat hal-hal aneh di sekelilingnya, tidak menangkap adanya hal yang berbeda.

Matanya hanya melihat beberapa aktivitas penghuni cafe yang sedang berdiam di beberapa titik. Tomi menghitung arwah gentayangan, jumlahnya tak lebih dari lima. Yang jelas Tomi tak menemukan satu kejanggalan apapun. Hingga tarikan nafas darinya menghentikan aktivitasnya mencari sesuatu yang aneh di tempatnya berada.



“Hai, kalian kak Freya dan kak Tomi kan?”

Freya menghentikan gerakan jari di keyboard dan melihat ke arah suara yang baru saja menyebut namanya.

Berbeda dengan Tomi. Cowok itu tampaknya baru saja kaget, karena ia benar-benar tidak melihat atau menyadari kedatangan orang yang menyebut namanya barusan. Selama ini Tomi dapat dengan mudah merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, namun tidak untuk kali ini. Tomi kehilangan kemampuannya itu.

Kemudian Tomi melayangkan pandangan ke arah yang sama dengan Freya. Ia menemukan sesosok pria memakai kaca mata, dengan kemeja dan celana jeans. Pria itu tersenyum. Membuat alis bagian kanan Tomi bergerak ke atas.

“Astagaa benar, Kak Tom, kak Freya gak nyangka ketemu di sini.”

Tomi menyempatkan melirik ke Freya. Gerakan alis yang naik turun darinya mengisyaratkan pertanyaan kepada Freya tentang siapa orang itu. Freya sendiri menggidikkan bahu, sama halnya dengan Tomi jika ia sendiri juga tak mengenal pria itu.

Melihat wajah penuh tanya dari Tomi dan Freya, pria itu melempar senyum. “Aku Dika, kak.”

“Dika?” Tomi memperhatikan sosok pria itu dengan seksama. Otaknya berkerja dengan waktu yang cepat. Mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan dimana mereka bertemu sebelumnya.

“Astaga kak. Hehe, aku Dika junior kakak. Padahal kemarin sempat ngobrol di depan gedung direktorat.”

“Oh ya. Dika mahasiswa baru kan?” Freya berbicara setelah mengingat sosok Dika.

“Hehe iya kak. Yang pernah bikin kak Freya kesal. Hehe.”

“Kesal?” Tomi bergumam. Otaknya masih mengingat-ngingat tentang kejadian itu.

“Masih ingat hari terakhir Ospek? Kan Dika yang ngejar-ngejar kakak minta tanda tangan kakak.”

“Oh iya gw ingat.”

“Oh itu elu.” Tomi mengingatnya, kemudian menimpali ucapan dari Dika. Kejadian yang teringat olehnya. Di hari terakhir OSPEK, tiba-tiba saja Freya di kejar oleh seorang mahasiswa baru untuk meminta tanda tangan. Usut punya usut, ternyata Dika ini adalah salah satu penggemar Freya.

“Dika ganggu kalian gak?”

“Hmm, seharusnya begitu.” secepatnya Tomi memberikan jawaban kepada Dika.

“Hehe, kak Tom bisa aja.”

“Kalo mau gabung, silahkan Dika.” Berbeda dengan jawaban yang diberikan Freya. Gadis itu tak permasalahkan jika ada pria lain yang berada satu meja dengan mereka.

Tatapan tidak menyenangkan di berikan Tomi ke Dika.

“Emang mau ngapain lo disini?” tanya Tomi.

“Itu kak, kebetulan Dika pengen belajar nulis cerita ke kak Freya.”

“Hmm, belajar?” Tomi bergumam. Gesture tubuh Tomi menandakan jika dia tidak senang atas keberadaan Dika sekarang ini. Apalagi Tomi merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sedangkan Freya memandang ke arah Dika lagi dan mengernyitkan dahinya. “Lo mau jadi penulis juga?”

Rupanya pertanyaan dari Freya mengganggu pikiran Tomi. Padahal Tomi hanya ingin berdua dengan Freya, justru Freya sendiri yang seolah-olah memberikan kesempatan kepada orang ketiga untuk mengganggu.

“Tapi maaf bro. Gw ma dia lagi sibuk dan gak pengen di ganggu, ngerti gak sih?” nada sinis penuh intimidasi di keluarkan Tomi. “Kalo belum ngerti, mending lo buka kamus atau cek google, kata tak pengen di ganggu artinya apa.”

Freya merespon perkataan Tomi dengan gerakan kepala ke kiri lalu ke kanan sebanyak dua kali.

“Ya udah deh, mungkin Dika gak beruntung kali ini.”

“Next time aja, Dik.” Balas Freya.

“Hehe, iya kak.”

“Udah kan? Sekarang mending lo pergi deh” usir Tomi.

Dika tersenyum dan memberikan anggukan tanda jika dia mengerti.

“Sampai jumpa lagi, kak Freya.” ujarnya sebelum berbalik meninggalkan meja Tomi dan Freya.



“Kan kampret. Pamitnya ke lo doang.”

“Hehe.” Freya balas dengan tawa ringan. “Biarkan saja. Lagian dia gak salah kok.”

“Ahh, menurut lo gak. Tapi gw paham betul, kalo dia gak hanya berniat belajar membuat suatu cerita melainkan ingin mendekati lo Fe.”

“Oia? Bagus dong, kalo klik berarti gw gak jomblo lagi.”

“Terus gw?”

“Hahahahaha kan lo suka jadi jomblo selamanya.” Bahu Freya berguncang, di sertai buah dada yang masih tertutup oleh kaos ikut berguncang hingga sesaat menjadi perhatian Tomi.

“Mata lo tuh. Bikin risih aja. Haha” Freya melanjutkan tingkahnya, tertawa renyah menampakkan gigi putih dan berjejer rapi miliknya.

“Ups! Sorry habisnya-“

“Apaan?” sebetulnya Freya tidak perduli apa yang dilakukan oleh Tomi. Karena Freya sendiri sangat menikmati tatapan nakal Tomi, seperti yang terjadi barusan.

Seperti di sengaja, tubuh Freya bergerak ke samping. Lalu Freya menyondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Dadanya membusung, senyum simpul terlukis di wajahnya.

Glek!..

Tomi memandangnya tak berkedip. Tenggorokan kering, di sertai ludah tertelan sebanyak dua kali.

“Toket lo gede tau.” Tomi keceplosan mengeluarkan kalimat yang sudah terkontaminasi dengan otak mesumnya.

“Hahahaha, hati-hati ntar lo sange lagi.”

“Udah kali.”

“Ya udah, lo ke toilet sana. Biar lega.” Balas Freya sambil mengembalikan posisinya seperti semula. Bagian dada yang sempat menyiksa batin Tomi, telah terhalang oleh monitor notebook.

“No thanks! gw gak suka self service, Btw!”

“Kalo gw bantuin?” tanya Freya. Tatapan matanya lurus ke Tomi dan seperti mengartikan sesuatu.

“Mulai deh. Jangan mancing-mancing tau.”

“Hahahaha, gw suka banget melihat ekspresi lo kayak gini, Tom.”

“Fiuh.” Tomi menghela nafas dihadapan Freya. Kemudian berusaha menahan gejolak birahinya terhadap gadis di hadapannya itu. Andai saja Freya serius dengan ucapannya barusan, maka Tomi tak akan menyia-nyiakannya. Namun sayang. Bukan pertama kalinya Freya mengatakan hal itu kepada Tomi. Seolah-olah perkataan dari Freya tentang keinginan membantu Tomi menyelesaikan birahinya, hanya angin lalu saja.

“Gw serius” ekspresi Freya berubah. Diam dan tenang, pandangannya masih tak teralihkan. Bola matanya membulat, bahkan Tomi dapat melihat samar-samar pantulan dirinya dari kedua bola mata si gadis.

Tomi hampir saja keselek dan beranggapan Freya masih melempar candaan.

Lalu kedua mata Tomi mulai berhenti berkedip. Ia membalas tatapan Freya.

“Iya gw serius.” Freya mengulang pernyataannya barusan.

“What?”

“Iya.”

“Lo se-serius Fe?”

“Iya.”

Tomi memperbaiki posisi duduknya. Tatapannya tetap lurus ke Freya, deguban jantungnya mulai naik.

“Tapi gak sekarang. Hahaha” Freya tertawa geli.

Tomi menghela nafas panjang setelah melihat perubahan ekspresi di wajah Freya.

Gadis itu tersenyum di hadapan Tomi, seolah-olah senyumannya itu mengisyaratkan bahwa si gadis telah berhasil mempermainkan perasaan Tomi.

Berbeda dengan Tomi. Sebetulnya tak dapat di sembunyikan oleh Tomi, jika secuil kekecewaan baru saja melandanya. Tergambar jelas dari ekspresi wajahnya yang beberapa detik tertangkap oleh Freya.

Tomi sadar jika Freya bukan gadis yang gampangan. Dia menyayangi gadis itu. Pengakuan seperti itu saja, sudah cukup membuat Tomi senang. Dia tak perlu memaksakan kehendak, cukup menunggu dengan sabar hingga waktunya tiba.

“Gw gak bakal maksain kok. Kapan pun lo siap, gw gak akan nolak.”

“Ya iyalah, haha udah ah. Bahas lain lagi.”

“Masih pengen disini?” Tomi memutus obrolan. Ia melirik ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kebetulan gw lagi ada urusan di-“

“Gw juga mau ke perpus. Kalo lo mau duluan, silahkan.”

“Ya sudah, gw tinggal gak apa-apa kan?”

“Iya gak apa-apa. Santai aja.”

“Btw, kapan lo siapnya Fe?” Tomi menyinggung sesaat ke Freya.

“Hmm, kapan ya?” bola mata Freya berputar, senyum simpul dengan mulut terkulum membuat Tomi mengangkat pundak disertai helaan nafas. Pria itu tak ingin berlama-lama berada di dekat Freya. Karena jika tidak, dia tak dapat memberikan garansi kepada dirinya sendiri untuk tidak memberikan sedikit paksaan kepada Freya agar bisa melakukan secepatnya.

Apalagi sejak lama Tomi menyadari jika Freya adalah seorang gadis yang tak menyukai pemaksaan. Maka dari itu, cara yang terbaik adalah pergi minimal beberapa jam dari sisi Freya.

Tak begitu lama, Tomi beranjak dari duduk.

“Jangan self service lagi. Sabar aja, gak lama lagi kok. Hihi”

“Oke noted. Gw akan sabar menunggu Fe. Dah ya, gw tinggal dulu.”

“Sip. Hati-hati nyetirnya.”

“Sip.”



-----000-----​



Suasana sore di sebuah appartemen, di dalam sebuah kamar sedang terjadi suatu aktivitas. Di dinding kamar yang bercat abu-abu terdapat beberapa poster dari dewa-dewi jaman dahulu. Dari salah satu poster, terdapat poster Dewa Lades dan Dewi Harpani dalam keadaan tak berbusana. Pelukis terkenal yang tak di ketahui namanya telah sukses membuat gambar kedua dewa itu se-sempurna mungkin. Dewa dan Dewi yang terkenal penuh tipu daya untuk mendapatkan keinginannya, menaklukkan manusia. Mengajak pengikutnya untuk melakukan hubungan seks bebas. Telah lama di puja oleh pemilik appartemen.

Di atas ranjang, sedang terjadi kegiatan hingga bergerak-gerak mengeluarkan suara berdecit, membalas sapa suara penuh birahi yang bersahut-sahutan.

Tergeletak bra berenda warna hitam, celana dalam mini warna senada dengan bra, menemani celana panjang jeans denim yang tertindih kaos di lantai tak jauh dari ranjang.

“Uhhhhhhhh!!”

Lenguhan binal terdengar samar dari sesosok gadis bertubuh padat berisi, berkulit putih, telanjang, dan sedang beraksi meliuk-liuk penuh semangat diatas tubuh seorang pria dalam posisi terlentang, yang juga sedang dalam kondisi telanjang. Kedua tangan si gadis sedang di atas kepala, kedua telapak tangannya sedang sibuk mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan gerakan yang sensual. Desisan nikmat darinya makin membangkitkan gairah si cowok di bawahnya.

Kerap kali si gadis mendongakkan kepala ke atas sambil mengibaskan rambut hitam pekat miliknya ke kanan dan ke kiri. Kibasan helai rambutnya menambah kesempurnaan penampakan sosoknya yang sedang di tatap oleh si cowok. Sebagai bentuk ekspresi kenikmatan yang sedang menyusup kedalam setiap aliran darah, dan kedalam setiap sumsum. Punggung gadis yang terlihat mulus dan licin itu, kini terlihat mengkilat karena keringat yang di keluarkan melalui pori-pori kulit tubuhnya.

Tubuh telanjang tanpa selembar benang itu bergoyang semakin hot dan bertambah semakin erotis, ketika batang penis yang sedang ditungganginya semakin menancap jauh kedalam vagina dengan bulu yang di cukur tipis membentuk segitiga.

“Sshhhh!!.. Oughh!.. Aaakhhh!!” Suara desahan kedua insan yang sedang memacu birahi itu saling bersahutan berirama dengan suara gesekan khas sepasang kemaluan mereka.

Tak tinggal diam. Kedua telapak tangan si cowok bergerak meremas pinggul si gadis yang masih saja bergerak liar di atasnya. Puas dengan itu, tangan si cowok meremas dua payudara yang bergerak bebas di hadapannya. Seiring remasan di kedua buah payudaranya, si gadis langsung mencondongkan tubuh ke belakang dengan kedua tangan lurus kebelakang bertopang pada lutut cowok yang sedang di tungganginya.

Gerakan pinggul yang tadinya berupa goyang memutar berubah menjadi tak beraturan. Kadang bergerak maju mundur dengan frekwensi yang cepat. Kadang lambat, kadang naik turun, kadang berputar. Wajah cantik berhias bibir sensual itu memerah menahan letupan gairah.

“Ohhh!.. ohhhh! Nikmat bangetthhs!..” rengek mesum gadis itu sambil memejamkan mata, tapi dengan pinggul yang masih terus bergerak mengulek batang penis berurat si cowok.

Cowok itu segera menegakkan tubuhnya untuk meraih buah dada ranum yang terlonjak-lonjak karena gerakan erotis dari tubuh gadis itu sendiri. Sepasang buah dada ranum yang berhiaskan puting warna coklat kemerahan tampak sudah mengacung keras, menandakan gairah yang dialami si empunya semakin tinggi dan bertambah tinggi.

Tak berapa lama, puting susu itu pun sudah terperangkap dan terkulum nikmat didalam mulut. Terbelit lembut oleh lidah nakal si cowok yang sekarang mulai menguasai, menjilati, dan menyentil sepasang puting imut tersebut pake ujung lidah.

Si gadis langsung melingkarkan kedua tangannya ke leher belakang si cowok, dan menekan kepala bagian belakang biar wajah cowok itu terbenam dan menempel erat pada kedua payudaranya yang tampak semakin merangsang dengan adanya peluh.

“Isaaappp! Gigitin skaliaanshh putinghh nyashh! Akhh..” rengek si gadis memberikan instruksi. Gerakan pinggul yang tadinya maju mundur, sekarang menjadi gerakan spiral naik turun mengurut-urut penis si cowok.

30 menit lamanya mereka bergelut di atas ranjang, hingga lenguhan panjang dari si gadis mengiringi langkahnya mencapai puncak tertinggi atas nama kenikmatan. “Gw ke.. keluaarrrrrsh!! Akhh!..”

“Gw jugaaaa ahhhk!.. akhhk!”

Si cowok ikut mengerang panjang tanpa berusaha mencabut penis yang masih tertanam dalam lubang kenikmatan si gadis. Penisnya berkedut-kedut di sertai semburan cairan sperma beberapa kali ke dalam rahim si gadis.

Si cowok bergeser.

Si gadis menolehkan wajah ke samping, mata mereka berpandangan di sertai senyuman penuh kepuasan darinya.

“Hosh!!.. Hosh!!..”

“Uhhh enak bangetttshh!” Si cowok membalas senyuman si gadis.

Tak berapa lama, sepasang bola mata yang telah mencapai puncak kenikmatan sedang menatap langit-langit kamar yang menjadi saksi pertempuran kali ini. Juga akan segera menjadi saksi kejadian hal lain yang sebentar lagi akan terjadi.



“Dewa Lades, terimalah persembahanku yang ke 11.”

Secara bersamaan roh dari kedua orang itu terpisah dari jazad. Salah satu roh berjalan bertemu dengan sesosok monster bertanduk, mata merah menyala, sekujur tubuhnya di kelilingi api merah membara. Roh itu menunduk hormat di hadapan sosok itu.



-----000-----​



Mentari menyambut para pengejar masa depan di sebuah kampus ternama ibu kota. Rame riuh para penghuni kampus mulai berdatangan. Mendominasi para junior yang telah seminggu berada di kampus. Sapaan demi sapaan mulai terjadi baik yang sudah saling mengenal maupun yang tidak. Antara sesama mereka para junior maupun menyapa senior di kala saling berpapasan.

Freya berjalan santai dari parkiran mobil menuju ke gedung fakultas.

Ekor mata bagian kirinya menangkap pergerakan seseorang.

“Fe”

“Tumben lo datang sepagi ini.” Fe melebarkan senyuman ketika menoleh dan mendapati Tomi di pagi hari.

Penampilan Tomi tidak berbeda dari hari-hari biasanya. Berpakaian casual, rambut ikal tersisir rapi. Senyum khas yang selalu si cowok tunjukkan kepada si gadis.

“Lagi semangat nih, ya kali gw bisa gaet salah satu junior” tawa nyengir di tampakkan Tomi.

“Hmm!!..” Tomi mendapat tatapan penuh sidik dari Freya.

“Hehe bercanda kok, gw cuma nungguin lo doang.”

“Nungguin gw jadi cewek lo atau jadi?”

“Jadi semua-semuanya lah. Hahaha!” tawa renyah dari Tomi di balas dengan gelengan kepala oleh Freya.

Kemudian Tomi merasakan suatu perasaan yang aneh. Sebetulnya sudah sejak tadi Tomi merasakan perasaan ganjil seperti ini, tapi dia beranggapan mungkin para penghuni dunia lain di kampus ini sedang berkeliaran di pagi hari, dan mulai bersiap-siap pergi karena menjelang waktu istirahat mereka.

“Lo kenapa lagi Tom?” Freya melempar tanya dan memandang mengernyit saat menyadari perubahaan sikap dari Tomi.

“Perasaan gue gak enakan lagi.” Balas Tomi.

“Ahh lo mah, masih pagi-pagi udah bikin merinding.”

Tomi mengabaikan keanehan yang ia rasakan. Berusaha menjaga sikap hanya untuk Freya. Tomi tidak ingin mengganggu mood Freya sepagi ini. Melihat si gadis tersenyum saja, sudah lebih dari segalanya bagi Tomi.

“Yuk ah.” Maka Tomi mengajak Freya pergi dari tempat ini.

“Yuk”

Dan tiba-tiba langkah Tomi kembali terhenti. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan belakangan ini mulai mengganggunya. “Njir makin merinding aja.”

“Kenapa?”



“Selamat pagi kak Freya dan kak Tomi.” seseorang menyapa. Tomi paling awal memalingkan wajah ke arah pemilik suara itu.

Bulu kuduknya merinding. Berbicara dalam hati, bahwa kenapa dia tidak dapat merasakan kehadiran sosok itu.

“Elo?” Tomi bergumam pelan menatap tak berkedip sosok itu.

“Hi Dik.” Freya ikut menyebut nama si pria.

Senyum menawan dari pria bernama Dika tak menyulutkan rasa penasaran si Tomi. Semakin lama, Tomi semakin yakin akan perasaan yang ganjil ini ada kaitannya dengan Dika.

Untung Freya merespon Dika. Sangat berbeda respon yang diberikan Tomi.

Sebetulnya Dika tidak mempunyai tujuan bertemu dengan Tomi, dia hanya mencari Freya dan ada beberapa hal yang ingin Dika tanyakan langsung. Syukur-syukur jika Freya dapat menerima undangan Dika mengajaknya bertemu di waktu senggang.

Umpan yang diberikan Dika, dengan mudah termakan oleh si gadis. Ajakan Dika untuk sekedar makan siang, rupanya mendapat respon dari Freya.

Freya melempar senyum saat Dika melempar pertanyaan berikutnya. “Kalo tidak keberatan kak, Dika pengen banget belajar dengan kak Freya.”

“Fe?” Tomi bergumam. Ekpsresi darinya menyatakan, ketidaksetujuannya terhadap ajakan dari Dika.

“Kak Tomi ikut juga, biar asyik ngobrolnya. Iya kan kak Freya?”

“Tom?” Freya meminta jawaban ke Tomi.

“Pasti gw ikutan lah. Enak aja biarin lo berdua doang dengannya.”

“Hihihi, gitu dong Tomi sayang.”

“Ehem. Jadi kalian sudah-“

“Sebentar lagi, makanya mulai sekarang lo jangan coba-coba menggodanya.” Tomi membalas cepat pertanyaan yang akan di ungkapkan oleh Dika.

Dika menyengir renyah setelah mendengar pernyataan dari Tomi. Pernyataan yang sangat menantang bagi seorang Dika.

“Aku tidak pernah ada niat buat menggoda kak Freya, kak Tom. Hehe, kebetulan Dika cuma ingin belajar ke kak Freya menjadi seorang penulis cerita panas.”

“Ya itu alasan awal doang. Ujung-ujungnya, lo bakal punya tujuan utama kok. Gw juga laki-laki lah.”

“Hehe, kak Tom bisa aja.”

“Udah.. udah.. kenapa kalian berbicara seakan-akan tidak menganggap gw ada di dekat kalian sih?” Freya merasa dirinya baru saja terlupakan oleh kedua cowok itu.

“Hehe sepertinya Dika tinggal dulu kak, nanti siang after kuliah jangan lupa kak Freya.”

“Oke sip!..”

Dika telah berjalan menjauh dari Freya dan Tomi. Meninggalkan rasa penasaran Tomi terhadapnya.

Tomi menebak jika Dika sedang merencanakan sesuatu terhadap Freya. Tomi tidak akan membiarkan Freya terluka, maka dia akan memberikan sepenuh waktunya untuk Freya. Menemani Freya kemana pun ia pergi.

“Lo serius dengan ajakan dia?”

“Hehe dihh, kenapa lo sekarang jadi cemburuan gini?”

“Gak sih, cuma ada sesuatu yang menurut gw sedang di rencanakan ma tuh anak.”

“Jangan su’udzon dengan orang lain, Tom.”

“Piufffhh. Dah ah, yuk ke kelas.” Tomi tak dapat menentang ucapan dari si gadis. Maka dia mengajak Freya untuk masuk ke kelas.



-----000-----​



Siang hari Tomi mengantarkan Freya bertemu dengan Dika di cafe terletak tidak jauh dari kampus.

“Hai kak.” Melihat kedatangan dua seniornya. Dika melambaikan tangan.

Tomi dan Freya berjalan ke tempat Dika berada.

“Maaf Dik, lo dah lama?” tanya Freya ke Dika.

“Hehe baru kok, kak.”

Tomi sebetulnya sudah sejak tadi merasa perasaannya aneh. Tapi sebisa mungkin, ia menepisnya. Karena satu hal, ada Freya di dekatnya.

Melihat kedua seniornya masih berdiri, Dika lalu mempersilahkan mereka untuk duduk. Tomi mengambil duduk tepat di sebelah Freya. Dika duduk berhadapan dengan Freya. Dan tak lama kemudian seorang pelayan cafe datang membawakan pesanan Dika. Tomi dan Freya pun ikut menyebut pesanan mereka kepada pelayan itu.

Di awali berbasa-basi. Hingga Freya menceritakan pengalamannya pertamakali menjadi penulis cerita.

Tomi sudah pernah mendengar cerita ini. Bahkan sering. Sedangkan Dika terlihat sangat serius mendengar cerita dari Freya. Mendapat perhatian dari Dika, menjadikan Freya semakin semangat.

“Jadi gitu deh Dik, sampai sekarang gw makin senang untuk menulis cerita panas.” Freya menyelesaikan cerita panjangnya. Di sertai anggukan kecil Dika yang cukup mengerti dengan penjelasan si gadis.

“Jadi apa yang harus Dika lakukan sekarang kak?” tanya Dika.

“Lo harus menentukan pengen nulis cerita apa?”

“Cerita panas kak. Hehe”

“Iya gak masalah, mau ada unsur dewasa atau tidak. Itu hak lo sebagai penulis. Tapi yang gw maksud di sini, tentukan dulu lo mau buat cerita genre apa.”

“Hmm, Dika sih lagi suka baca-baca cerita misteri kak. Apalagi yang horor gitu.”

“Hmm, horor. Oke, terus?”

“Nah kebetulan Dika pengen banget buat cerita tentang kisah-kisah mistis jaman dulu, kak.”

“Contohnya?” tanya Freya.

“Hehe, apa ya?” Dika tampak berfikir sejenak.

Obrolan mereka terputus sejenak saat kedatangan pelayan cafe membawakan pesanan Tomi dan Freya. Tomi yang sejak tadi memilih diam, baru saja menyeruput Americano Cappucinonya. Tomi mencoba agar terlihat santai.

“Oia. Kayak ngangkat kisah mistis dewa dewi jaman dahulu kak.” Dika melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti tadi.

“Iya contohnya apa?”

“Dewa Lades, mungkin.”

“Hmm, Dewa Lades? Boleh jelasin gak.. siapa dan bagaimana kisah dia?”

“Hehe, ada di google kok kak.”

“Apa kisahnya menarik?” Freya mulai terlihat ada ketertarikan terhadap cerita Dika.

“Bagi Dika sih, menarik kak.”

“Menariknya dimana?”

“Jadi, konon!.. tapi ini mitos ya kak, hehe”

“Iya.. iya, lanjut aja.”

“Belagu amat si lo” Tomi baru saja ikutan bergumam yang di tujukan ke Dika.

“Hehehe, maafkan Dika” Dika melirik ke Tomi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tatapan Tomi seperti ingin mengunyah hidup-hidup si Dika, sangat berbeda dengan tatapan Dika terhadapnya.

“Udah lanjut aja. Karena jujur, selama ini gw gak pernah buat cerita bertema misteri atau horor gitu. Siapa tau setelah mendengar dari lo, gw punya ketertarikan buat cerita genre tersebut.”

“Jadi Dewa Lades itu di ceritakan, adalah seorang Dewa yang sangat suka berpesta seks.

Pada masa Dewa-Dewi jaman kuno di tanah Jawa, meskipun Dika bukan pengamat sejarah banget ya kak, tetap saja kisah jaman dulu selalu menarik untuk ditelusuri dan ditulis kembali atau di salurkan ke dalam sebuah cerita fiksi. Seperti membahas Dewa Aldes dan Dewi Harpani yang disebut-sebut sebagai Dewa yang di kutuk dan tak pernah musnah hingga terompet sangkakala di bunyikan. Berarti mereka berdua masih hidup kekal abadi.

Konon, setiap 100 tahun sekali Dewa Lades mengadakan pesta seks. Nah menurut yang Dika pernah baca, jika sesuai hitungan maka sebentar lagi waktunya itu akan datang. Kemungkinan Dewa Lades sedang mencari manusia yang di penuhi dosa, roh nya akan di ambil oleh Dewa Lades sehari atau 1 x 24 jam untuk di ikutkan dalam pesta seks itu.”

“Hmm, terus?”

“Tapi tidak semudah itu untuk menemukan siapa orang yang akan terpilih ikut dalam pesta Dewa Lades.”

“Apa yang menarik dari pesta itu?”

“Hehehehe gak tau juga kak, Dika kan belum pernah ikutan.”

“Aishhhh, dasar.”

“Apakah orang-orang yang terpilih, akan tewas?” Tomi melempar pertanyaan. Secuil penasaran hinggap di kepalanya.

“Menurut cerita, roh mereka akan di kembalikan. Tapi ya gitu deh, dosa nya akan berlimpah. Dan akan tetap di pertanggung jawabkan di kemudian hari.”

“Bagaimana cara agar Dewa Lades memilih orang itu?” tanya Tomi selanjutnya.

“Entahlah kak Tom. Hehehe, kan hanya mitos. Kebenarannya belum terbukti.”

“Jadi lo bakal buatin cerita fiksi tentang kisah dewa tersebut?” Freya kini yang bertanya ke Dika.

“Yap. kan mantap tuh kak, kalo Dika bisa berhasil buat cerita seks nya ngangkat kisah pas di party seks.”

“Terus?”

“Tapi Dika belum tau harus memulai dari mana, secara dunia tulis menulis adalah hal baru bagi Dika, kak.”

Fresh meet.” Tomi bergumam.

“Begini Dik, yang gw tau yah.. dan juga pengalaman gw sendiri, kalo mau tulisan lo bagus dan feelnya kerasa. Lo kudu ngangkat cerita yang pernah lo jalani. Minimal lo pernah dengar sendiri dari orang lain.”

“Jadi Dika bakal gagal dong kalo ngangkat tema Dewa Lades?”

“Hmm, gak gitu juga Dik.

Lo coba perbanyak refrensi lo dulu tentang dewanya, baru deh lo coba nulis-nulis kerangkanya. Nanti gw bantuin” kata Freya.

“Atau kak Freya mau, Dika pinjemin buku tua yang pernah Dika beli dari teman?”

“Cerita tentang?”

“Mitos kak.. hehe, ya kisah Dewa Lades juga tapi dari versi yang berbeda.”

“Kedengarannya menarik,” mata Freya berbinar. Seolah ia mulai ada ketertarikan atas ide Dika.

“Besok Dika bawain ya kak.”

“Oke deh.”



-----000-----​



Freya pulang di antar oleh Tomi. Honda civic keluaran tahun 2014 berhenti di parkiran sebuah appartemen.

“Gw gak mampir” kata Tomi setelah menarik tuas rem tangan.

“Kok gitu” kekecewaan terpancar di wajah Freya.

“Tumben?” gumam Tomi. Biasanya juga Tomi yang selalu berkeinginan untuk mampir di kosan si gadis, namun dari ke 10 kali-nya Tomi mengatakan ingin mampir, hanya sekali saja mendapat izin sekedar menikmati secangkir kopi yang disajikan oleh gadis berparas cantik itu.

“Pengen aja di temenin. Gak mau?”

“Hmm, boleh deh.”

“Kalo gak mau, gak apa-apa kok.”

“Iya iya, gitu aja ngambek.” Tomi mencoba menghibur si gadis.

“Yuk kalo gitu.”

“Oke.”



Mereka berjalan bersama menuju ke lift.

Tempat Freya tinggal selama ini terletak di lantai 13. Awalnya Tomi hanya merasakan aura ganjil yang biasa saja terjadi. Akan tetapi, perasaan itu semakin kuat mengganggunya saat mereka berada di dalam lift.

Berdiri di pojok kanan seorang anak lelaki sedang tersenyum ke arah mereka. Tomi dapat melihat jelas anak itu. Yang membuat Tomi gusar, adalah senyum di wajah arwah si anak seolah-olah bukan tertuju kepadanya. Tomi menoleh ke Freya. Ternyata tebakannya salah. Karena tentu Freya tidak menyadari ada orang lain di dalam lift ini selain mereka berdua.

Tomi balik menatap ke arwah si anak.

Gerakan di alis bagian kanan, mengisyaratkan sebuah pertanyaan kepada arwah gentayangan itu. Hanya sekilas dua bola mata yang bagian pupilnya berukuran lebih besar dari manusia biasa, meliriknya.

“Kampret nih anak.” Tomi mengumpat pelan.

Freya menoleh.

“Kenapa lo?”

“Hehehe, kagak” balas Tomi.

“Lo liat sesuatu di dalam lift?”

“Hmm ya gitu deh.”



Pintu lift terbuka.

Mereka berjalan menyusuri koridor panjang hingga tiba di tempat tujuan.

“Tunggu.” Tomi menahan tubuh Freya ketika melihat sebuah bungkusan di depan pintu.

“Apa tuh?”

Tomi melangkah mendekati bungkusan itu.

Bungkusan berbentuk kotak. Sangat rapi, namun bukan itu yang menjadi kegusaran Tomi tiba-tiba.

“Kiriman dari siapa Tom?” tanya Freya mendekat.

“Entahlah.” Kata Tomi. kemudian ia mengambil bungkusan dari lantai, lalu membolak baliknya. “Tanpa nama.”

“Coba liat.”

Tomi memberikan ke Freya bungkusan itu.

“Apaan ini.” Freya bertanya sendiri, tanpa menunggu lama ia membuka sampul berwarna coklat itu. Dan melihat isi dalamnya yang ternyata sebuah buku yang cukup tebal.

“Buku?”

“Ritual Dewa Lades?” Freya bergumam membaca judul buku tersebut. “Tom. Ini apa-apaan?” Freya menoleh ke Tomi. Wajahnya memancarkan suatu pesan negatif. Tomi dapat menangkap ketakutan di sana.

“Lo tenang dulu Fe.”

“Atau buku ini di kirim ma si Dika?” Freya mulai menebak siapa yang mengirimkan buku itu.

“Mungkin iya. Karena tadi kalian sudah membahasnya.”

“Terus, dari mana dia tau alamat gw?”

“Gw juga gak tau. Tapi menurut gw buku ini pasti dari dia.”

Masih menebak-nebak siapa yang mengirim buku itu, tiba-tiba ponsel Freya berdering.

“Siapa?”

“Nomor baru.” Kata Freya setelah melihat layar di ponselnya. Sebuah nomor yang belum tersimpan di memori contact.

“Jawab aja.”

“Gak mau ah. Gw takut Tom.”

“Ada gw disini kok.”

“Ya udah kalo gitu.”

“Jawab aja.”

“Oke.”



Freya menjawab panggilan telepon.

“Halo.”

“Malam kak,” suara itu terdengar tak asing bagi Freya.

“Ini siapa?”

“Dika kak. Hehe, btw udah terima kiriman dari Dika?”

“Ohhh jadi buku ini lo yang ngirim?” terpancar kelegaan di wajah Freya setelah mengetahui siapa yang mengirim buku itu ke alamatnya.

Tomi diam tapi otaknya masih berfikir keras. Apa tujuan Dika melakukan semua ini. Padahal dia bisa memberikan buku itu ke Freya besok, saat mereka bertemu di kampus. Kenapa mesti mengirim ke alamat Freya, tanpa menginformasikan sebelumnya. Berbagai pertanyaan telah bermain di dalam kepala Tomi.

“Iya kak. Nah besok itu rencananya Dika pengen ketemu ma kak Freya lagi, buat membahas lebih jauh cara menjadi penulis hebat seperti kakak.”

“Ohhh, ya udah. Nanti malam gw baca.”

“Sip..maaf malam-malam udah gangguin kak Freya.”

“Iya gak apa-apa Dik.”

Freya memutus sambungan telepon dengan Dika.

Tomi diam sesaat, matanya memandang ke arah lain.

“Lo nyari apaan?” tanya Freya.

“Gak. Hehe,”

“Ya udah, masuk dulu yuk.”

“Oke.”



Satu jam kemudian.

Tomi baru saja berpamitan pulang. Tomi hanya mampir sekedar menikmati secangkir kopi di ruang tamu. Tidak terjadi hal-hal yang aneh antara mereka, karena Freya dimanapun berada selalu sibuk dengan notebooknya.

Setelah mengunci pintu, Freya menyempatkan bersih-bersih di kamar mandi.

Sekembali dari kamar mandi, ponsel Freya berdering.

Ternyata telepon dari Dika lagi.

“Halo Dika.”

“Dika ganggu gak kak?”

“Gak kok, nih baru selesai bersih-bersih.”

Rupanya Dika menelepon untuk bertanya hal detail tentang dunia tulis menulis kepada Freya. Saking penasarannya, Dika mengaku sangat sulit untuk memejamkan mata sebelum rasa penasarannya hilang.

Karena memang Freya lagi santai, maka dia menjelaskan semuanya ke Dika.

Penjelasan dari Freya intinya kalau mau menjadi seorang penulis profesional, maka Dika harus membiasakan menulis setiap hari. Dan harus menjadi kebiasaan utama. Rutin. Ini harus. Mutlak. Tidak bisa Tidak. Adalah penting bagi seorang penulis untuk punya rutinitas menulis setiap hari. Seorang akuntan urusannya menghitung setiap hari. Penyapu jalan bakalan menyapu jalan setiap hari. Olahragawan juga sama.

Maka Freya menyarankan kepada Dika, menulislah setiap hari, meski hanya berupa caption di Instagram atau status di Facebook. Tuliskan sesuatu yang membuatmu bahagia, atau sekadar untuk melepaskan beban. Syukur-syukur, tulisannya bikin orang terinspirasi.

Kedua, Freya menjelaskan jika ingin menjadi penulis maka biasakan diri untuk membaca apapun itu.

“If you don’t have time to read, then you will don’t have the time to write.”

“Sama seperti yang di katakan Stepehen King. Ibarat gizi, bacaan adalah nutrisi untuk otak penulis. Gimana mau sehat, kalau membaca saja malas. Gimana mau menulis novel yang bagus, kalau baca ketentuan pengiriman naskah aja nggak mau?

Baca sebanyak mungkin. Apa pun.

And the most important thing is, read like a writer. Membacalah seperti seorang penulis. Bukan skimming atau fast reading. Pelajari bagaimana penulis-penulis terkenal itu merangkai kata, amati pemilihan diksi mereka, dan catat bagaimana mereka mengolah rasa. Akan lebih bagus lagi jika lo juga membaca berbagai genre tulisan, tak hanya satu jenis tulisan saja. Hal tersebut akan membuat otak lo semakin berisi. Ibarat perpustakaan, perbendaharaannya banyak. Mau apa saja, tinggal pilih untuk dikeluarkan.”

“Berarti Dika jangan cuma fokus ke bacaan genre misteri aja ya kak?”

“Yap. apapun genrenya Dik, biar lo punya banyak refrensi nantinya.”

“Selain itu?”

“Watch TV like a writer

Beberapa ide bisa saja datang dari televisi, baik itu berita, variety show, talk show, bahkan FTV sekalipun. Hanya bedanya dengan orang lain, lo harus menontonnya like a writer. Perhatikan, kenapa acara tersebut menarik, mengapa lo sampai merelakan sekian banyak waktu lo untuk menontonnya? Jika ternyata pada penggal iklan pertama lo sudah nggak betah nonton, ya sudah tinggalkan. Sembari catat dalam hati, apa yang menyebabkan tontonan itu tak layak lo tonton.

Hal-hal yang membuat acara itu menarik, barangkali bisa menjadi pelajaran buat lo, bagaimana caranya menarik perhatian orang dengan tulisan. Begitu pun kalau misalnya lo tidak betah. Apa yang bikin lo gak betah? Hal yang sama mungkin berlaku juga untuk tulisan lo nanti.”

“Emang Dika gak salah minta belajar ma kakak, nih.”

“Gw bukan orang yang pelit ilmu, Dik.”

“Terus kak?”

“Pokoknya kalo lo mau jadi penulis, lo kudu nonton banyak film juga. Nggak cuma sekedar nonton, lo juga harus menontonnya like a writer. Amati bagaimana struktur cerita film tersebut, bagaimana alurnya, bagaimana karakter tokoh-tokoh di dalamnya, dan seterusnya. Gw aja sekarang punya jadwal nonton di bioskop setidaknya sebulan sekali. Ya, masih sebulan sekali dulu. Selebihnya gw akan menonton secara streaming. Yang legal. Selain juga nonton film yang ada di televisi. Hehe.”

“Kemudian jangan lupa juga, bergaul dengan orang yang punya passion yang sama. Lingkungan itu sangat berpengaruh terhadap diri kita. Maka, selektiflah dalam bergaul. Tak usah pedulikan kalau ada yang bilang kita pilih-pilih teman. Itu semua dilakukan demi kesehatan, dan kelangsungan hidup kita sebagai penulis. Baik online maupun offline, bergaullah dengan orang yang punya passion dan semangat yang sama. Kalau ketemunya di komunitas online, sesekali ajak kopdar sembari nyemal-nyemil lucu di kafe.

It works. Really.

Begitu pulang dari kopdaran, coba deh rasakan. Lo akan merasa seperti punya semangat baru.”

“Seperti itu yang Dika rasain kak. Habis ketemuan ma Kak Freya tadi, yah gitu deh. Makanya Dika nelfon sekarang.”

“Gw tau apa yang lo rasakan sekarang. Karena gw juga pernah berada di posisi lo.”

“Hehehe, terus-terus kak?”

“Poin berikutnya.

Kritis terhadap diri sendiri. Every writer falls in love with their own writing. Ini sudah rahasia umum. Banyak penulis merasa tulisannya udah yang paling hebat sedunia. Gw aja sering ngerasain kek gitu juga, kalau sudah bisa menyelesaikan tulisan. Makanya, jeda waktu publish itu perlu, demi membuang pikiran nggak waras itu dari pikiran kita. Sebaiknya, ubah kebiasaan ini. Jangan jatuh cinta pada tulisan lo sendiri. Artinya, selalulah berusaha untuk meningkatkan kualitas tulisan lo. Jangan pernah merasa tulisan lo adalah yang paling bagus di muka bumi. Dengan demikian, lo akan terbuka pada masukan dan saran. Dengan saran dan masukan tersebut, lo jadi bisa belajar untuk memperbaiki tulisan lo agar lebih enak dibaca oleh orang lain.

Ya, kecuali lo maunya cuma buat dibaca sendiri.”

“Terakhir..

Write like it’s your job. Ini yang terpenting.

Saat lo mulai terbiasa menganggap menulis adalah pekerjaan, dan bukan sekadar hobi pengisi waktu luang, maka lo akan terpacu untuk selalu lebih baik.

Lo akan rela menginvestasikan segalanya untuk bisnis atau pekerjaanmu itu. Lo akan mau membuang waktu untuk belajar teknik menulis yang lebih baik. Dan, lo akan berkomitmen untuk menyelesaikan tulisan yang sudah lo mulai. Poin 2,3 dan 4 yang gw jelasin tadi sebenarnya merupakan cara melatih diri sendiri untuk lebih peka dan bisa belajar dari melihat. Sungguh, teori menulis itu banyak, tapi nggak applicable.

Inti pekerjaan menulis adalah soal mengolah rasa. Jadi, sudah siap untuk menjadi seorang penulis profesional belum?”

“Sudah dong kak.”

“Ya sudah, besok kita lanjutin lagi.”

“Oh ya kak, mengenai tema yang bakal Dika buat nantinya. Bantuin Dika ya kak. Tuh buku yang Dika kasih ke kakak sapa tau bisa menjadi refrensi nantinya.”

“Iya, setelah ngobrol ma lo gw bakal baca.”

“Oke deh kak makasih.”

“Sip.”



-----000-----​



Duduk di dalam ruangan penuh kegelapan. Sesosok manusia sedang menunggu kedatangannya. Detik kemudian angin dari empat penjuru mulai menyelimuti ruangan, padahal tak ada celah yang dapat membuat angin sekuat itu masuk. Pintu dan jendela semuanya tertutup rapat. Seolah-olah angin itu muncul dari tembok ruangan, menciptakan suara seperti bunyi siulan. Dari angin terciptalah sekumpulan asap hingga menyatu menjadi sebuah objek.

Dari asap mulai bermunculan percikan api.

Satu-satunya sosok manusia yang berada di ruangan ini melempar senyum sembari memejamkan kedua mata ketika telah merasakan kehadirannya.

Sesosok monster berwarna merah, bertanduk dan sedang tidak menggunakan sehelai benang muncul dari gumpalan asap. Sosok monster itu, adalah rupa asli dari Dewa Lades. Dewa yang penuh dosa dan di yakini akan menjadi penghuni neraka yang kekal abadi.

Monster itu menghembuskan angin dari mulutnya, gumpalan angin yang tak terlihat kasat mata mulai bergerak menuju ke makhluk hidup satu-satunya yang berada di dalam ruangan itu. Mulai terlihat sebuah bayangan keluar dari tubuh orang itu. Semakin lama bayangan itu terpisah dari jasadnya, dan mulai berjalan mendekati Dewa Lades.

“awakedewe ora duwe akeh wektu,” (Waktu kita tidak banyak)

“Nggih”

“Lan kita isih kurang loro makhluk dosa” (Dan kita masih kekurangan satu makhluk berdosa lagi)

“Opo kudune dadi Gemblak, misahake roh saka mayit rolas lan telulas?” (Apakah harus dengan cara Gemblak untuk dapat memisahkan roh dengan jasad mahkluk ke-duabelas dan tigabelas?)

“Amarga kahanan mutlak pungkasan yaiku makhluk sing akeh dosa” (Karena syarat mutlak terakhir adalah makhluk yang dosanya berlimpah)

“Nggih,”



-----000-----​



Kedekatan Dika dan Freya tak terelakkan lagi. Awalnya hanya saling berdikusi, hingga menimbulkan rasa cemburu dalam diri Tomi yang mengamati semuanya. Mulai rutin saling telepon-teleponan. Bahkan tak jarang, ketika sedang bersama Tomi, Freya memperlihatkan ketertarikannya kepada Dika.

Tidak berhenti di situ, Dika mulai sering mendatangi Freya di appartemen. Bahkan tak tanggung-tanggung. Setiap datang Dika selalu membawakan sesuatu buat Freya. Semisal makanan, baju ataupun buku-buku bacaan. Tomi menyadari semua itu, apa yang di miliki Dika tak di miliki Tomi.

Hobi Dika sama dengan Freya. Berbeda dengan Tomi.

Sejujurnya api kecemburuan sudah mulai membakar diri Tomi. Ia mulai merasa sangat tidak nyaman atas kedekatan Dika dan Freya. Seolah-olah posisi Tomi perlahan mulai bergeser. Maka malam ini, Tomi akan membuat perhitungan dengan Dika. Dia mengetahui jika Dika sedang berada di appartemen Freya.



Setiba di tempat Freya, Tomi segera memencet bel.

Pintu di buka. Freya yang membukakan pintu. Tomi hanya sekilas melirik ke Freya, berganti melihat ke satu arah. Yaitu Dika.

“Tom?”

“Kak Tom?”

Freya dan Dika berucap hampir bersamaan.

“Gw udah gak tahan lagi ma lo, kampret bego” jari telunjuk Tomi, lurus ke arah Dika.

“Tom, lo kenapa?” tanya Freya.

“Lo tuh yang kenapa.”

“Loh, emang gw kenapa?”

“Halah, gegara dia lo udah jauhin gw kan?”

“Astaga Tom.”

Tomi telah emosi, berjalan masuk ke dalam. Dia mendekati Dika.

“Bangsaaaat lo.”

“TOMMM JANGAAAAAN!”

Terlambat. Tangan kanan Tomi sudah terayun ke arah Dika. Seketika itu juga, Dika berdiri memaksakan fisiknya bergerak menghindar menjauh.

Tomi menyadari gerakan Dika cukup cepat. Ia lalu berbalik dan ingin memberikan serangan kedua, namun gagal karena Freya sudah memeluknya dari belakang. “Sudah Tom, lo kenapa jadi emosian gini sih?”

“Kak Tom, sabar. Apa salah Dika, kak?”

“Salah lo? Lo udah berani-beraninya ngerebut cewek yang gw cintai.”

“Kak Tomi salah sangka deh,”

“Iya Tom, gw ma Dika gak ada hubungan apa-apa.”

“Halaaaah, kalian berdua masih coba-coba berbohong ma gw? Lepasin gw Fe” Tomi mencoba untuk melepas pelukan Freya.

“Udah deh, mending lo tenang dulu.”

“Gak. Gw bakal hajar nih anak.” saat Tomi mulai berontak, tubuh Freya yang lebih lemah darinya baru saja terdorong ke samping.

“Auwww.”

“Fe. Lo gak apa-apa?” Tomi berbalik dan mendapati tubuh Freya sudah terjatuh di sofa.

Tapi rupanya tubuh Freya yang terjatuh, tidak mengurungkan niat Tomi untuk menghajar Dika.

“Sorry Fe, kali ini gw bener-bener emosi ma nih anak”

“Tom please..”

Tomi tak menghiraukan permohonan si gadis. Ia berjalan mendekat ke Dika. Terdengar teriakan meraung marah.

Dika masih berusaha menghindar setiap serangan dari Tomi. Merasa di permalukan oleh Dika, Tomi semakin murka. Apapun ia raih lalu melempar ke arah Dika. Vas bunga, remote AC, benda-benda kecil. Semua dapat di hindari oleh Dika.

“Kak Tom, jangan salahkan Dika kalo berbuat kasar ke kakak”

“Bangsaat lo, sini lo jangan jadi pecundang” suara Tomi yang keras membuat Dika akhirnya tak dapat menahannya lagi.

“Tom udah Tom, berhenti.” Freya bangkit dan mencoba menahan Tomi yang ingin menyerang Dika.

“Kak Freya, Dika minta izin untuk membalas.”

“Udah Dik, mending lo pulang deh.”

“Jangan.. lo harus gw hajar sebelum lo pulang.” Tomi melarang Dika untuk pulang.

“Baiklah. Dika yang maju duluan, atau kakak?”

“Dika udah.” Freya mencoba menahan Dika. Namun tampak senyum penuh arti di wajah cowok itu. Seperti sengaja menunjukkan kepada mereka siapa dia sebenarnya.

“Lepasin gw Fe.. bajingan lo,” Tomi melepas paksa pelukan Freya. Ia berlari, lalu berlompat ke Dika. Dengan mudah serangannya di patahkan oleh Dika. Lalu pukulan balasan di lepaskan Dika, terkena di perut Tomi.

Tomi terdorong hingga menabrak tubuh Freya.

“Kak Freya” Dika menyempatkan memanggil nama Freya.

Tubuh Freya terjatuh ke lantai, Tomi gelap mata dan tak ada niatan sama sekali untuk menolong si gadis.

Perkelahian antara dua pemuda itu tak dapat di elakkan lagi. Pertarungan ini tidak berimbang, Dika lebih mengungguli Tomi. Setelah tiga pukulan dari Dika, baru Tomi dapat membalasnya.

Begitu seterusnya, hingga terdengar suara dentuman keras sebanyak dua kali. BAM!.. BAM!.. Bunyinya cukup keras, seperti suara benda yang di hantamkan ke seseorang.

Detik kemudian, ruang tamu di penuhi asap tebal mengepul yang datang secara tiba-tiba dari empat arah.



-----000-----​



Tomi mulai tersadar. Mata yang terpejam mulai bergerak-gerak, seiring kesadarannya mulai memulih. Ketika berhasil membuka kedua mata, pandangannya ke langit-langit. Suasana kamar, aroma dan juga aura yang semuanya terasa sangat asing bagi Tomi. Matanya mulai berkedip beberapa kali. Bersamaan ia makin merasakan sesuatu yang mengejutkan terjadi pada dirinya.

Perasaannya mulai tidak tenang. Tubuhnya tidak dapat di gerakkan. Hanya kedua bola matanya saja yang dapat bergerak. Namun gerakan matanya terbatas. Karena untuk menggerakkan hingga ke sudut kiri maupun kanan, Tomi harus menggunakan otot-otot seputar mata yang sudah terasa kaku seperti es yang membeku. Tomi memejamkan matanya kembali, mencoba menguatkan mentalnya, sebelum tubuhnya merasakan jari jemari seseorang yang mulai bergerak. Namun sialnya, dia tak dapat melihat dengan jelas wajah dari pemilik jari itu.

Hanya sesaat saja. Karena kedua matanya telah berhasil melihat sosok yang sejak tadi menjadi kekhawatirannya.

Dia menatap paras cantik itu.

Sekedar menggerakkan bibirnya saja, tidak dapat Tomi lakukan. Ekspresi dari Tomi mengisyaratkan berbagai pertanyaan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.

Gadis cantik itu tersenyum menggoda kepada Tomi. Jari telunjuk menyentuh di bibir, “Sssttt, Tom. Lo cukup nikmatin aja.”

Lalu Tomi mulai merasakan jika kemejanya mulai di buka. Satu persatu kancing kemejanya terbuka.

Cowok itu seolah dapat merasakan denyutan jantungnya sendiri setiap kali satu kancing keluar dari tempatnya. Waktu terasa berjalan sangat lambat sebelum kancing terakhir kemejanya terlepas.

Tatapannya masih saja tak teralihkan dari paras cantik itu. Senyuman menggoda seharusnya dapat membangkitkan birahi Tomi, namun itu tidak terjadi.

Dada bidang di tumbuhi bulu-bulu halus mulai terasa tersentuh. Perasaan Tomi mulai kacau. Bukan ini yang seharusnya ia inginkan sejak dulu. Bukan dengan cara ini, keperjakaannya di rebut.

Setelah merasakan dadanya tak tersentuh lagi. Tomi mulai di pertontonkan hal yang sebetulnya sejak dulu ingin ia lihat. Mulut Tomi tak dapat bergerak memanggil nama si gadis. Hanya dalam hati ia berkata, Freya lo kenapa? Apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa lo jadi kayak gini?.

Freya memandang Tomi sesaat. Senyum menggoda Freya, beserta pakaian yang digunakannya mulai terlepas, perlahan-lahan merubah perasaan Tomi. Telah terbentuk suatu rasa. Rupanya Freya sukses membangkitkan gairah Tomi secara perlahan.

Tomi memandang buah dada Freya yang membusung kencang, tertutup oleh bra berwarna hitam.

“Stttt, Tom. Kenapa gak dari dulu, lo liatin toket gw ihh?”

Debar jantung Tomi semakin kencang. Ia mendengar desahan Freya, di sertai gerakan kedua tangan yang mulai tertekuk ke depan.

“Tom, ohhh!..” desahan Freya mulai terdengar lagi. Seiring hembusan nafas menyapu leher Tomi.

Jemari gadis cantik itu perlahan membuka kaitan bra yang terdapat di bagian depan. Ceklek!...

Bra terlepas. Tenggorokan Tomi mulai kering. Apalagi saat matanya mulai menikmati gerak erotis Freya menggapai resleting celana dan menurunkannya pelan. Jemari lentik Freya berpindah ke ujung pinggang celana dan dengan gerakan pelan mendorongnya ke bawah.

Lepas.

“Malam ini, lo bakal ngelihat tubuh gw Tom dalam keadaan bugil, sstthh..”

Freya tersenyum lagi.

“Elu sih, gw udah sering mancing-mancing tapi lo masih sok-sokan gak terpancing. Fiuhhh!..”

Gadis cantik itu kini hanya menyisahkan celana dalam, buah dada sekal menghias puting berwarna kemerahan, lekuk indah pinggulnya tak lagi terbungkus.

“Tom, udah.. lo gak usah protes. Nikmati saja sayangggshh!..” seolah mampu menangkap pergolakan batin yang ada dalam diri Tomi. Freya berucap. Kalimat yang diucapkan Freya seperti tidak membuat perasaan Tomi tenang. Padahal Tomi melihat jelas buah dada gadis itu membusung indah, kencang dan padat.

Tomi merasakan lagi, celananya mulai terlepas dari tubuhnya. Hingga celana di lempar begitu saja ke lantai.

Melihat celana dalam Tomi tidak membentuk suatu gundukan tinggi, membuat Freya geleng-geleng kepala.

“Lo gak sange ma gw, Tom?” tanya Freya. Tomi melihat wajah gadis cantik itu mulai cemberut.

“Kalo gw buka ini, pasti lo bakal ngaceng. hihihi!” Freya mengeluarkan desahan sambil menurunkan celana dalamnya. Meloloskan dari kedua kaki jenjangnya, hingga terlepas.

Tomi tak dapat menahannya lagi. Freya berhasil. Terlihat dari celana dalam Tomi, mulai membentuk sebuah gundukan. Tawa kecil Freya seolah-olah menggambarkan keberhasilannya.

Tubuh Tomi merasakan sesuatu menyentuh di bawah sana. Kali ini bukan hanya itu saja, tengkuknya merasa hembusan nafas menggoda. Ia juga dapat merasakan sentuhan telapak tangan dari perut berjalan semakin ke bawah. Sebuah sentuhan tangan yang sangat dingin, seolah tanpa suhu tubuh. Celana dalam Tomi mulai di lepaskan. Tak lupa juga, setelah itu kemeja Tomi mulai di lepaskan melalui lengan kanan lalu lengan kiri. Memaksa tubuh Tomi sedikit terangkat ke atas.

Tubuh telanjang Tomi mulai bergidik saat tangan itu bergerak lembut ke arah kemaluannya.

Alis cowok itu mengernyit, seolah menahan sesuatu.

“Tom, ngaceng juga.. uhhk!..”

Tangan itu mulai bergerak. Kemaluan Tomi mulai di genggam, kemudian di kocok perlahan.

Kocokan halus penuh desahan, menambah gairah Tomi. Ketegangan mulai terjadi, hingga membuat tubuh Tomi tersentak ketika putingnya ikutan di kecup. Tanpa sepatah katapun, tubuh Tomi mulai di cumbu. Tomi hanya dapat memejamkan mata sesaat. Mencoba menahan rasa itu.

Ritme kocokan di kemaluannya mulai di tingkatkan.

Kemudian tak begitu lama, Tomi membuka mata kembali. Ia merasakan kecupan di tubuhnya terhenti. Ia menatap kedua bola mata gadis berparas cantik yang sangat ia cintai. Ternyata gadis itu mempunyai sisi yang tak pernah Tomi pikirkan selama ini. Gadis itu sangat binal dan seksi.

Gadis itu memanyunkan bibir. Ada senyum tertahan di wajahnya.

Tomi pasrah dengan semua ini.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, Tomi tak lagi ingin memikirkannya.

Tomi di buat terkejut, ketika bibirnya mulai di kecup. Matanya masih terbuka, dan sempat memandang ke Freya. Hingga ia kembali memejamkannya, dan berusaha menerima ciuman yang lembut.

Bibir Tomi yang kaku tak dapat di gerakkan mulai menerima serangan lidah yang memaksa masuk ke dalam.

Selanjutnya tubuh Tomi mulai tertindih, sedangkan bibirnya masih di lumat. Ciuman itu bergerak cepat ke pipi, mengigit leher Tomi, lalu balik lagi menyerang di bibir.

“Ohhh Tom, lo seksi banget.”

Lalu Tomi merasakan tubuh yang menindihnya mulai bergerak turun hingga terhenti di pusar. Pusarnya di gelitik, di gigit hingga ke punggul. Kemudian Tomi merasakan remasan di pantatnya dengan gerakan berirama.

Suara desahan saling bersahut-sahutan.

“Oughhh Tom,”

“Konti lo ngaceng keras, ohhhh!.. nikmatilah Tom, buatlah dosa besar malam ini. Ohhhh Tom,” Freya mendesah, ekspresinya tampak menahan gairah.

Tiba-tiba Tomi merasakan kemaluannya mulai basah, bersamaan mulai terjadi kocokan lembut. Ia sempat mendengar sesuatu di lempar begitu saja ke lantai. Seperti sebuah botol. Hanya sesaat saja perhatiannya teralihkan, karena detik berikutnya Tomi mulai merasakan ujung kemaluannya telah menyentuh sesuatu. Hangat, lembut dan licin di batang kemaluannya yang mulai tertanam secara perlahan.

Sebelah tangan mulai menahan di dada Tomi. Sementara tangan yang lain mengarahkan ujung batang kemaluan Tomi memasuki lubang yang basah. Dalam satu gerakan kasar, batang kemaluan itu berhasil masuk sepenuhnya.

“Oooouhhhhhh.. Ooooooohhh..”

Suara menjerit terdengar, juga Tomi baru saja di dera rasa baru yang begitu asing dan menghentak. Kedua tangan mulai bertumpu di dada Tomi, sambil bokong bergerak naik turun, membuat kemaluan Tomi keluar masuk menghujam lubang itu.

Napas Tomi mulai terengah-engah, sama halnya Freya yang sangat menikmati semua ini. Di antara kedua bibirnya yang terbuka, terdengar desahan erotis yang semakin menambah gairah sang pejantan.

Gerakan pompaan lubang itu yang terhujam batang kemaluan, terus terjadi. Bahkan ritme gerakannya semakin meningkat. Akumulasi semua rasa terkumpul menjadi satu. Tomi mulai merasakan jika kenikmatan ini akan segera berakhir.

Hingga dalam erangan panjang yang bergemuruh meraungkan orgasme dengan penis berdenyut-denyut di dalam lubang.

Croot!.. Croot!.. Croot!..



Freya tampak tersenyum puas.

Gadis cantik yang sedang bertelanjang itu, berjalan mendekat ke ranjang.

“Good job!” sekali tepukan di pundak membuat sosok seorang cowok lainnya akhirnya tumbang dan tidak sadarkan diri.

“Hi Tom, welcome to the party.. sabar, kan gw udah bilang kita bakal ngelakuinnya. Tapi bukan sekarang. Hehehe,”

Setelah mengatakan itu, Freya menepuk lengan Tomi. Cowok itu akhirnya tak sadarkan diri.

Freya lalu memejamkan mata. Perlahan-lahan tubuh telanjangnya terjatuh ke lantai, sebuah bayangan terbang keluar melalui ubun-ubun.

Bersamaan sebuah asap menggumpal dan membentuk sebuah sosok. Dewa Lades menunjukkan diri.

“Tugasku wes rampung. telulas wong wis kapenuhan ing dosa. Wayahe saiki aku ngaso”





-THE END-
 
Terakhir diubah:
Mantappp..tapi kayake ada yang typo deh :

“Lan kita isih kurang loro makhluk dosa” (Dan kita masih kekurangan satu makhluk berdosa lagi).
kalo bahasa jawa, loro = dua.

Suksess buat ceritanya suhu..
:tepuktangan: :tepuktangan::tepuktangan:
 
Sukses untuk ceritanya Mbak :)
 
awal cerita pengen jd tomi, tp pas akhir makin jd pengen banget biar d ajak party

🥳🥳🥳🥳
 
Selamat akhirnya rilis juga :)

Ijin baca dulu ya sis
:pandabelo:
Iyaa selamat membacaa yaaah. Senengnya udah mampir.


Selamat ya sist..
Izin buka lapak dulu

Bacanya ntar malem biar khusuk:beer:
Iyaah makasi, buka lapak gratis kok.
Makasi udah mampir.

Congratz sist 😍 aku bacanya besok siang aja yaa, semacam serem kl liat dari mulustrasinyaaa hihi, aku atut 🙈
Makasiih ya mbak udah mampirr.
Gak seremm kokk hihihii



Selamat atas karyanya di Gelaran LKTCP 2019



Salam dan Sukses Selalu :beer:
Hai iyaaa makasii yah ommm udah mampirr.
 
Berhasil juga postingnya, non.

Lega kan udh berhasil posting.

:beer:
Hooh lega om kek abis gabisa pup berhari hari akhirnya plooongg hahahahaha


Mantappp..tapi kayake ada yang typo deh :

“Lan kita isih kurang loro makhluk dosa” (Dan kita masih kekurangan satu makhluk berdosa lagi).
kalo bahasa jawa, loro = dua.

Suksess buat ceritanya suhu..
:tepuktangan: :tepuktangan::tepuktangan:
Iyaa baru cek cek, makasi ya om udah mampir.

Sukses untuk ceritanya Mbak :)

Iyaaahh makasii ya mas sudah mampir
 
Terima kasih yang sudah mampir dan komen, iya banyak typonya gak sempurna.
Kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha esa.

Nihh kecup satu satu :panlok3::panlok3::panlok3::panlok3::panlok3:
 
b051ba1313390930.jpg




Salam hormat dari Elena buat jajaran Admin, Supmod, Momod, Panitia Even LKTCP 2019, Dewan Juri, Peserta dan para reader SF Cerpan.

Sebetulnya sih El baru juga dalam dunia tulis menulis/cerita one shoot dengan sentuhan erotis/panas di dalamnya. Seperti tema evennya kali ini, adalah Fresh Meat. Setelah mendapat paksaan dan juga dorongan, plus support dari salah satu TS/suhu yang cukup Elena kenal (Tidak ingin di sebutkan ID/namanya), hingga El mempunyai keberanian untuk ikut menjadi peserta dalam pagelaran even terakbar SF Cerpan.

Jadi yah gitu deh.

Intinyamah, ijinkan El untuk memposting satu cerita sebagai pelengkap even LKTCP 2019, juga sebagai bentuk partisipasi El sebagai pecinta forum 46 yang kita cintai bersama.

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Nama-nama tokoh, tempat kejadian dan alur hanya settingan. Jika terdapat kesamaan dari nama tokoh dan kejadiannya itu hanya kebetulan saja.

Selamat membaca....!!!




------------------------------000*000------------------------------​





Freya”

Sapaan lembut baru saja di dengar oleh gadis pemilik paras cantik bernama lengkap Freya Mariska. Ujung bibir yang tipis dan berwarna merah muda membuat se-garis senyuman seiring pergerakan wajahnya ke arah suara sapaan.

“Tom,” Freya balas menyebut nama si pria.

“Sorry macet” Tomi kembali beralasan ke Freya. Alasan keterlambatannya tiba di tempat janjian mereka bertemu.

“Dasar” Senyum Freya di balas si Tomi dengan menyengir. “Kalo gak mau kena macet tinggal di luar Jakarta aja, Tom.”

“Hehe, bisa aja lo.” lalu Tomi melempar candaan berikutnya dengan cepat. “Tapi kalo pindahnya bareng lo, gw mau deh. Hehe”

“Emoh, dih ngapain sih.”

Respon Tomi hanya menyengir kuda. Selanjutnya Freya melempar senyum kesekian kali ke Tomi. Gelengan kepala menyertai gerakan Tomi yang baru saja menarik kursi di hadapan Freya.

“Belum selesai juga, Fe?” sekedar basa-basi, Tomi yang telah duduk di depan Freya melempar sebuah pertanyaan. Tak lupa Tomi menggeser kursi ke belakang, agar kedua kakinya berposisi nyaman di bawah sana. Tinggi Tomi 177 cm, cukup tinggi bagi standar orang Indonesia.

Freya mengangguk pelan.

Seharusnya jawabannya sudah di ketahui oleh Tomi, jika sebuah cerita dengan unsur panas yang sedang di kerjakan oleh Freya belum rampung. Tomi juga adalah satu-satunya pria yang sering menjadi pendengar keluh kesah Freya. Bahkan Tomi termasuk pembaca setia cerita-cerita karangan dari Freya setiap harinya. Tomi mengetahui banyak tentang Freya. Kesehari-harian Freya, hobby, bahkan status Freya yang masih Jomblo hingga sekarang ini tak luput dari pantauan Tomi.

Enam bulan yang lalu mereka mengikrar sebuah hubungan persahabatan. Sebuah ikrar yang tak terucap, namun kedekatan mereka sudah cukup mengartikan sesungguhnya.

“Gw masuk ke zona BT lagi deh hari ini,” Tomi berbisik pelan. Dari nadanya terdengar jika Tomi merasa kesal seperti biasanya.

Freya mendengarnya. Kemudian menatap wajah Tomi. Kuluman di mulut Freya, pandangan mata berbinar kerap kali membuat Tomi berfikir, apakah gadis itu sedang menggodanya atau hanya sekedar sebuah candaan semata. Tapi sukses membuat Tomi hilang rasa kesal.

Apa yang sedang di pikirkan Freya, masih menjadi sebuah misteri bagi seorang Tomi. karena hal itu, hingga sekarang Tomi masih enggan melangkah lebih jauh untuk mempertanyakan kedekatan mereka. Menginginkan lebih dari seorang sahabat.

Sekali lagi Freya melempar senyum, sebelum bola matanya mulai berpaling. Jari jemari Freya yang awalnya terhenti bergerak karena kedatangan Tomi, kini telah mulai asyik menari di atas keyboard notebook. Tuts keyboard mulai tersentuh oleh ke-sepuluh jemari lentik Freya, mengetikkan kata demi kata.

Tomi menatap wajah Freya. Meski bola mata Freya tidak terarah kepada Tomi, namun dengan menggunakan ekor mata Freya mengetahui jika wajah Tomi membentuk sebuah senyuman beberapa detik.

Terucap kalimat mengagumi kecantikan Freya, dalam hati Tomi.

“Lo gak mesan minuman, Tom?” menyadari Tomi diam saja, Freya bertanya tanpa melepaskan pandangannya dari layar notebook.

“Wait!”

Lengan kanan Tomi terangkat untuk memanggil salah satu pelayan cafe. Salah satu pelayan yang berdiri tak jauh, berjalan menghampiri meja mereka. Setelah mencatat pesanan dari Tomi, maka pelayan itu berjalan meninggalkan meja mereka untuk menyiapkannya.

“Ahhh... sibuk melulu lo Fe” efek dari fokus Freya dengan pekerjaannya kembali, membuat Tomi menyatakan protesnya secara tidak langsung. Tomi berfikir buat apa bertemu jika hanya membiarkannya sendiri. Padahal jelas-jelas Freya yang mengajaknya bertemu. Namun sekarang justru Freya masih tetap sibuk dengan kerjaannya.

Tomi meraih ponsel dari saku celana.

Merasakan hal aneh, Tomi meletakkan ponselnya ke atas meja. Niatnya bermain HP terganti karena merasakan hawa dingin ganjil. Sebuah perasaan yang sering ia alami belakangan ini. “Anjir, gw ngerasain lagi aura yang gak ngenakin Fe” kata Tomi sambil mengelus tengkuknya.

Perhatian Freya teralihkan. Dua mata milik gadis itu menyipit menatap wajah Tomi. “Lo jangan bikin mood gw ilang deh Tom. Suka banget bikin gw merinding.”

“Hehe, seriusan. Masa iya gw bohong sih ama lo, Fe.”

“Cih” Freya mencibir sahabatnya itu. “Mending lo cuci muka dulu, mungkin ada yang ngikutin lo ke sini.”

“Ah gak lah, kan lo tau kalo gw anak ‘Indigo’. Bisa liat sesuatu yang gak di liat oleh orang biasa.”

"Indigo apaan? Indomie goreng?

“Lo gak liat di sekeliling lo, ada yang aneh atau apa gitu?” Freya bertanya lagi ke Tomi.

“Biasa aja sih, Fe.”

“Ada setan gitu?” tanya Freya. Gadis itu ikutan memutar pandangannya ke sekeliling.

“Setan biasa aja Fe. Setiap tempat pasti akan ada penghuninya.”

“Ohhh my, stop lo jelasin detailnya. Jir, bulu kuduk gw merinding.” Freya baru saja mengusap lengannya bergantian. Bahunya ikutan bergidik di kala pikirannya mulai terpengaruh dengan perkataan Tomi.

“Hahaha, selow Fe. Mereka gak bakal ganggu kok.”

“Hufhh, Jadi kenapa lo ngerasa aneh tadi? Padahal lo kan udah biasa liat kayak gituan.”

“Gak tau, gw juga belum dapat jawabannya sih, Fe. Perasaan ini baru belakangan ini gw rasain.” Jelas Tomi.

Apa yang di katakan Tomi berbeda dari yang di pikirkannya. Tomi masih menyembunyikan sesuatu. Pria itu tak ingin si Freya benar-benar kehilangan mood hari ini.

“Daaah ah, gw gak mau dengar lagi.” Freya reflek menutup kedua telinganya. Matanya terpejam, kepalanya bergerak sesaat ke kiri dan kanan.

“Haha, iya iya. Sorry kalo gw udah nakutin lo lagi.”

“Gw lanjut ngetik lagi Tom, dikit lagi selesai kok.”

“Ok.”

Freya berfokus ke kerjaannya lagi, sedangkan Tomi kembali memandang sekeliling mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun kedua matanya yang sejak kecil dapat melihat hal-hal aneh di sekelilingnya, tidak menangkap adanya hal yang berbeda.

Matanya hanya melihat beberapa aktivitas penghuni cafe yang sedang berdiam di beberapa titik. Tomi menghitung arwah gentayangan, jumlahnya tak lebih dari lima. Yang jelas Tomi tak menemukan satu kejanggalan apapun. Hingga tarikan nafas darinya menghentikan aktivitasnya mencari sesuatu yang aneh di tempatnya berada.



“Hai, kalian kak Freya dan kak Tomi kan?”

Freya menghentikan gerakan jari di keyboard dan melihat ke arah suara yang baru saja menyebut namanya.

Berbeda dengan Tomi. Cowok itu tampaknya baru saja kaget, karena ia benar-benar tidak melihat atau menyadari kedatangan orang yang menyebut namanya barusan. Selama ini Tomi dapat dengan mudah merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, namun tidak untuk kali ini. Tomi kehilangan kemampuannya itu.

Kemudian Tomi melayangkan pandangan ke arah yang sama dengan Freya. Ia menemukan sesosok pria memakai kaca mata, dengan kemeja dan celana jeans. Pria itu tersenyum. Membuat alis bagian kanan Tomi bergerak ke atas.

“Astagaa benar, Kak Tom, kak Freya gak nyangka ketemu di sini.”

Tomi menyempatkan melirik ke Freya. Gerakan alis yang naik turun darinya mengisyaratkan pertanyaan kepada Freya tentang siapa orang itu. Freya sendiri menggidikkan bahu, sama halnya dengan Tomi jika ia sendiri juga tak mengenal pria itu.

Melihat wajah penuh tanya dari Tomi dan Freya, pria itu melempar senyum. “Aku Dika, kak.”

“Dika?” Tomi memperhatikan sosok pria itu dengan seksama. Otaknya berkerja dengan waktu yang cepat. Mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan dimana mereka bertemu sebelumnya.

“Astaga kak. Hehe, aku Dika junior kakak. Padahal kemarin sempat ngobrol di depan gedung direktorat.”

“Oh ya. Dika mahasiswa baru kan?” Freya berbicara setelah mengingat sosok Dika.

“Hehe iya kak. Yang pernah bikin kak Freya kesal. Hehe.”

“Kesal?” Tomi bergumam. Otaknya masih mengingat-ngingat tentang kejadian itu.

“Masih ingat hari terakhir Ospek? Kan Dika yang ngejar-ngejar kakak minta tanda tangan kakak.”

“Oh iya gw ingat.”

“Oh itu elu.” Tomi mengingatnya, kemudian menimpali ucapan dari Dika. Kejadian yang teringat olehnya. Di hari terakhir OSPEK, tiba-tiba saja Freya di kejar oleh seorang mahasiswa baru untuk meminta tanda tangan. Usut punya usut, ternyata Dika ini adalah salah satu penggemar Freya.

“Dika ganggu kalian gak?”

“Hmm, seharusnya begitu.” secepatnya Tomi memberikan jawaban kepada Dika.

“Hehe, kak Tom bisa aja.”

“Kalo mau gabung, silahkan Dika.” Berbeda dengan jawaban yang diberikan Freya. Gadis itu tak permasalahkan jika ada pria lain yang berada satu meja dengan mereka.

Tatapan tidak menyenangkan di berikan Tomi ke Dika.

“Emang mau ngapain lo disini?” tanya Tomi.

“Itu kak, kebetulan Dika pengen belajar nulis cerita ke kak Freya.”

“Hmm, belajar?” Tomi bergumam. Gesture tubuh Tomi menandakan jika dia tidak senang atas keberadaan Dika sekarang ini. Apalagi Tomi merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sedangkan Freya memandang ke arah Dika lagi dan mengernyitkan dahinya. “Lo mau jadi penulis juga?”

Rupanya pertanyaan dari Freya mengganggu pikiran Tomi. Padahal Tomi hanya ingin berdua dengan Freya, justru Freya sendiri yang seolah-olah memberikan kesempatan kepada orang ketiga untuk mengganggu.

“Tapi maaf bro. Gw ma dia lagi sibuk dan gak pengen di ganggu, ngerti gak sih?” nada sinis penuh intimidasi di keluarkan Tomi. “Kalo belum ngerti, mending lo buka kamus atau cek google, kata tak pengen di ganggu artinya apa.”

Freya merespon perkataan Tomi dengan gerakan kepala ke kiri lalu ke kanan sebanyak dua kali.

“Ya udah deh, mungkin Dika gak beruntung kali ini.”

“Next time aja, Dik.” Balas Freya.

“Hehe, iya kak.”

“Udah kan? Sekarang mending lo pergi deh” usir Tomi.

Dika tersenyum dan memberikan anggukan tanda jika dia mengerti.

“Sampai jumpa lagi, kak Freya.” ujarnya sebelum berbalik meninggalkan meja Tomi dan Freya.



“Kan kampret. Pamitnya ke lo doang.”

“Hehe.” Freya balas dengan tawa ringan. “Biarkan saja. Lagian dia gak salah kok.”

“Ahh, menurut lo gak. Tapi gw paham betul, kalo dia gak hanya berniat belajar membuat suatu cerita melainkan ingin mendekati lo Fe.”

“Oia? Bagus dong, kalo klik berarti gw gak jomblo lagi.”

“Terus gw?”

“Hahahahaha kan lo suka jadi jomblo selamanya.” Bahu Freya berguncang, di sertai buah dada yang masih tertutup oleh kaos ikut berguncang hingga sesaat menjadi perhatian Tomi.

“Mata lo tuh. Bikin risih aja. Haha” Freya melanjutkan tingkahnya, tertawa renyah menampakkan gigi putih dan berjejer rapi miliknya.

“Ups! Sorry habisnya-“

“Apaan?” sebetulnya Freya tidak perduli apa yang dilakukan oleh Tomi. Karena Freya sendiri sangat menikmati tatapan nakal Tomi, seperti yang terjadi barusan.

Seperti di sengaja, tubuh Freya bergerak ke samping. Lalu Freya menyondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Dadanya membusung, senyum simpul terlukis di wajahnya.

Glek!..

Tomi memandangnya tak berkedip. Tenggorokan kering, di sertai ludah tertelan sebanyak dua kali.

“Toket lo gede tau.” Tomi keceplosan mengeluarkan kalimat yang sudah terkontaminasi dengan otak mesumnya.

“Hahahaha, hati-hati ntar lo sange lagi.”

“Udah kali.”

“Ya udah, lo ke toilet sana. Biar lega.” Balas Freya sambil mengembalikan posisinya seperti semula. Bagian dada yang sempat menyiksa batin Tomi, telah terhalang oleh monitor notebook.

“No thanks! gw gak suka self service, Btw!”

“Kalo gw bantuin?” tanya Freya. Tatapan matanya lurus ke Tomi dan seperti mengartikan sesuatu.

“Mulai deh. Jangan mancing-mancing tau.”

“Hahahaha, gw suka banget melihat ekspresi lo kayak gini, Tom.”

“Fiuh.” Tomi menghela nafas dihadapan Freya. Kemudian berusaha menahan gejolak birahinya terhadap gadis di hadapannya itu. Andai saja Freya serius dengan ucapannya barusan, maka Tomi tak akan menyia-nyiakannya. Namun sayang. Bukan pertama kalinya Freya mengatakan hal itu kepada Tomi. Seolah-olah perkataan dari Freya tentang keinginan membantu Tomi menyelesaikan birahinya, hanya angin lalu saja.

“Gw serius” ekspresi Freya berubah. Diam dan tenang, pandangannya masih tak teralihkan. Bola matanya membulat, bahkan Tomi dapat melihat samar-samar pantulan dirinya dari kedua bola mata si gadis.

Tomi hampir saja keselek dan beranggapan Freya masih melempar candaan.

Lalu kedua mata Tomi mulai berhenti berkedip. Ia membalas tatapan Freya.

“Iya gw serius.” Freya mengulang pernyataannya barusan.

“What?”

“Iya.”

“Lo se-serius Fe?”

“Iya.”

Tomi memperbaiki posisi duduknya. Tatapannya tetap lurus ke Freya, deguban jantungnya mulai naik.

“Tapi gak sekarang. Hahaha” Freya tertawa geli.

Tomi menghela nafas panjang setelah melihat perubahan ekspresi di wajah Freya.

Gadis itu tersenyum di hadapan Tomi, seolah-olah senyumannya itu mengisyaratkan bahwa si gadis telah berhasil mempermainkan perasaan Tomi.

Berbeda dengan Tomi. Sebetulnya tak dapat di sembunyikan oleh Tomi, jika secuil kekecewaan baru saja melandanya. Tergambar jelas dari ekspresi wajahnya yang beberapa detik tertangkap oleh Freya.

Tomi sadar jika Freya bukan gadis yang gampangan. Dia menyayangi gadis itu. Pengakuan seperti itu saja, sudah cukup membuat Tomi senang. Dia tak perlu memaksakan kehendak, cukup menunggu dengan sabar hingga waktunya tiba.

“Gw gak bakal maksain kok. Kapan pun lo siap, gw gak akan nolak.”

“Ya iyalah, haha udah ah. Bahas lain lagi.”

“Masih pengen disini?” Tomi memutus obrolan. Ia melirik ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kebetulan gw lagi ada urusan di-“

“Gw juga mau ke perpus. Kalo lo mau duluan, silahkan.”

“Ya sudah, gw tinggal gak apa-apa kan?”

“Iya gak apa-apa. Santai aja.”

“Btw, kapan lo siapnya Fe?” Tomi menyinggung sesaat ke Freya.

“Hmm, kapan ya?” bola mata Freya berputar, senyum simpul dengan mulut terkulum membuat Tomi mengangkat pundak disertai helaan nafas. Pria itu tak ingin berlama-lama berada di dekat Freya. Karena jika tidak, dia tak dapat memberikan garansi kepada dirinya sendiri untuk tidak memberikan sedikit paksaan kepada Freya agar bisa melakukan secepatnya.

Apalagi sejak lama Tomi menyadari jika Freya adalah seorang gadis yang tak menyukai pemaksaan. Maka dari itu, cara yang terbaik adalah pergi minimal beberapa jam dari sisi Freya.

Tak begitu lama, Tomi beranjak dari duduk.

“Jangan self service lagi. Sabar aja, gak lama lagi kok. Hihi”

“Oke noted. Gw akan sabar menunggu Fe. Dah ya, gw tinggal dulu.”

“Sip. Hati-hati nyetirnya.”

“Sip.”



-----000-----​



Suasana sore di sebuah appartemen, di dalam sebuah kamar sedang terjadi suatu aktivitas. Di dinding kamar yang bercat abu-abu terdapat beberapa poster dari dewa-dewi jaman dahulu. Dari salah satu poster, terdapat poster Dewa Lades dan Dewi Harpani dalam keadaan tak berbusana. Pelukis terkenal yang tak di ketahui namanya telah sukses membuat gambar kedua dewa itu se-sempurna mungkin. Dewa dan Dewi yang terkenal penuh tipu daya untuk mendapatkan keinginannya, menaklukkan manusia. Mengajak pengikutnya untuk melakukan hubungan seks bebas. Telah lama di puja oleh pemilik appartemen.

Di atas ranjang, sedang terjadi kegiatan hingga bergerak-gerak mengeluarkan suara berdecit, membalas sapa suara penuh birahi yang bersahut-sahutan.

Tergeletak bra berenda warna hitam, celana dalam mini warna senada dengan bra, menemani celana panjang jeans denim yang tertindih kaos di lantai tak jauh dari ranjang.

“Uhhhhhhhh!!”

Lenguhan binal terdengar samar dari sesosok gadis bertubuh padat berisi, berkulit putih, telanjang, dan sedang beraksi meliuk-liuk penuh semangat diatas tubuh seorang pria dalam posisi terlentang, yang juga sedang dalam kondisi telanjang. Kedua tangan si gadis sedang di atas kepala, kedua telapak tangannya sedang sibuk mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan gerakan yang sensual. Desisan nikmat darinya makin membangkitkan gairah si cowok di bawahnya.

Kerap kali si gadis mendongakkan kepala ke atas sambil mengibaskan rambut hitam pekat miliknya ke kanan dan ke kiri. Kibasan helai rambutnya menambah kesempurnaan penampakan sosoknya yang sedang di tatap oleh si cowok. Sebagai bentuk ekspresi kenikmatan yang sedang menyusup kedalam setiap aliran darah, dan kedalam setiap sumsum. Punggung gadis yang terlihat mulus dan licin itu, kini terlihat mengkilat karena keringat yang di keluarkan melalui pori-pori kulit tubuhnya.

Tubuh telanjang tanpa selembar benang itu bergoyang semakin hot dan bertambah semakin erotis, ketika batang penis yang sedang ditungganginya semakin menancap jauh kedalam vagina dengan bulu yang di cukur tipis membentuk segitiga.

“Sshhhh!!.. Oughh!.. Aaakhhh!!” Suara desahan kedua insan yang sedang memacu birahi itu saling bersahutan berirama dengan suara gesekan khas sepasang kemaluan mereka.

Tak tinggal diam. Kedua telapak tangan si cowok bergerak meremas pinggul si gadis yang masih saja bergerak liar di atasnya. Puas dengan itu, tangan si cowok meremas dua payudara yang bergerak bebas di hadapannya. Seiring remasan di kedua buah payudaranya, si gadis langsung mencondongkan tubuh ke belakang dengan kedua tangan lurus kebelakang bertopang pada lutut cowok yang sedang di tungganginya.

Gerakan pinggul yang tadinya berupa goyang memutar berubah menjadi tak beraturan. Kadang bergerak maju mundur dengan frekwensi yang cepat. Kadang lambat, kadang naik turun, kadang berputar. Wajah cantik berhias bibir sensual itu memerah menahan letupan gairah.

“Ohhh!.. ohhhh! Nikmat bangetthhs!..” rengek mesum gadis itu sambil memejamkan mata, tapi dengan pinggul yang masih terus bergerak mengulek batang penis berurat si cowok.

Cowok itu segera menegakkan tubuhnya untuk meraih buah dada ranum yang terlonjak-lonjak karena gerakan erotis dari tubuh gadis itu sendiri. Sepasang buah dada ranum yang berhiaskan puting warna coklat kemerahan tampak sudah mengacung keras, menandakan gairah yang dialami si empunya semakin tinggi dan bertambah tinggi.

Tak berapa lama, puting susu itu pun sudah terperangkap dan terkulum nikmat didalam mulut. Terbelit lembut oleh lidah nakal si cowok yang sekarang mulai menguasai, menjilati, dan menyentil sepasang puting imut tersebut pake ujung lidah.

Si gadis langsung melingkarkan kedua tangannya ke leher belakang si cowok, dan menekan kepala bagian belakang biar wajah cowok itu terbenam dan menempel erat pada kedua payudaranya yang tampak semakin merangsang dengan adanya peluh.

“Isaaappp! Gigitin skaliaanshh putinghh nyashh! Akhh..” rengek si gadis memberikan instruksi. Gerakan pinggul yang tadinya maju mundur, sekarang menjadi gerakan spiral naik turun mengurut-urut penis si cowok.

30 menit lamanya mereka bergelut di atas ranjang, hingga lenguhan panjang dari si gadis mengiringi langkahnya mencapai puncak tertinggi atas nama kenikmatan. “Gw ke.. keluaarrrrrsh!! Akhh!..”

“Gw jugaaaa ahhhk!.. akhhk!”

Si cowok ikut mengerang panjang tanpa berusaha mencabut penis yang masih tertanam dalam lubang kenikmatan si gadis. Penisnya berkedut-kedut di sertai semburan cairan sperma beberapa kali ke dalam rahim si gadis.

Si cowok bergeser.

Si gadis menolehkan wajah ke samping, mata mereka berpandangan di sertai senyuman penuh kepuasan darinya.

“Hosh!!.. Hosh!!..”

“Uhhh enak bangetttshh!” Si cowok membalas senyuman si gadis.

Tak berapa lama, sepasang bola mata yang telah mencapai puncak kenikmatan sedang menatap langit-langit kamar yang menjadi saksi pertempuran kali ini. Juga akan segera menjadi saksi kejadian hal lain yang sebentar lagi akan terjadi.



“Dewa Lades, terimalah persembahanku yang ke 11.”

Secara bersamaan roh dari kedua orang itu terpisah dari jazad. Salah satu roh berjalan bertemu dengan sesosok monster bertanduk, mata merah menyala, sekujur tubuhnya di kelilingi api merah membara. Roh itu menunduk hormat di hadapan sosok itu.



-----000-----​



Mentari menyambut para pengejar masa depan di sebuah kampus ternama ibu kota. Rame riuh para penghuni kampus mulai berdatangan. Mendominasi para junior yang telah seminggu berada di kampus. Sapaan demi sapaan mulai terjadi baik yang sudah saling mengenal maupun yang tidak. Antara sesama mereka para junior maupun menyapa senior di kala saling berpapasan.

Freya berjalan santai dari parkiran mobil menuju ke gedung fakultas.

Ekor mata bagian kirinya menangkap pergerakan seseorang.

“Fe”

“Tumben lo datang sepagi ini.” Fe melebarkan senyuman ketika menoleh dan mendapati Tomi di pagi hari.

Penampilan Tomi tidak berbeda dari hari-hari biasanya. Berpakaian casual, rambut ikal tersisir rapi. Senyum khas yang selalu si cowok tunjukkan kepada si gadis.

“Lagi semangat nih, ya kali gw bisa gaet salah satu junior” tawa nyengir di tampakkan Tomi.

“Hmm!!..” Tomi mendapat tatapan penuh sidik dari Freya.

“Hehe bercanda kok, gw cuma nungguin lo doang.”

“Nungguin gw jadi cewek lo atau jadi?”

“Jadi semua-semuanya lah. Hahaha!” tawa renyah dari Tomi di balas dengan gelengan kepala oleh Freya.

Kemudian Tomi merasakan suatu perasaan yang aneh. Sebetulnya sudah sejak tadi Tomi merasakan perasaan ganjil seperti ini, tapi dia beranggapan mungkin para penghuni dunia lain di kampus ini sedang berkeliaran di pagi hari, dan mulai bersiap-siap pergi karena menjelang waktu istirahat mereka.

“Lo kenapa lagi Tom?” Freya melempar tanya dan memandang mengernyit saat menyadari perubahaan sikap dari Tomi.

“Perasaan gue gak enakan lagi.” Balas Tomi.

“Ahh lo mah, masih pagi-pagi udah bikin merinding.”

Tomi mengabaikan keanehan yang ia rasakan. Berusaha menjaga sikap hanya untuk Freya. Tomi tidak ingin mengganggu mood Freya sepagi ini. Melihat si gadis tersenyum saja, sudah lebih dari segalanya bagi Tomi.

“Yuk ah.” Maka Tomi mengajak Freya pergi dari tempat ini.

“Yuk”

Dan tiba-tiba langkah Tomi kembali terhenti. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan belakangan ini mulai mengganggunya. “Njir makin merinding aja.”

“Kenapa?”



“Selamat pagi kak Freya dan kak Tomi.” seseorang menyapa. Tomi paling awal memalingkan wajah ke arah pemilik suara itu.

Bulu kuduknya merinding. Berbicara dalam hati, bahwa kenapa dia tidak dapat merasakan kehadiran sosok itu.

“Elo?” Tomi bergumam pelan menatap tak berkedip sosok itu.

“Hi Dik.” Freya ikut menyebut nama si pria.

Senyum menawan dari pria bernama Dika tak menyulutkan rasa penasaran si Tomi. Semakin lama, Tomi semakin yakin akan perasaan yang ganjil ini ada kaitannya dengan Dika.

Untung Freya merespon Dika. Sangat berbeda respon yang diberikan Tomi.

Sebetulnya Dika tidak mempunyai tujuan bertemu dengan Tomi, dia hanya mencari Freya dan ada beberapa hal yang ingin Dika tanyakan langsung. Syukur-syukur jika Freya dapat menerima undangan Dika mengajaknya bertemu di waktu senggang.

Umpan yang diberikan Dika, dengan mudah termakan oleh si gadis. Ajakan Dika untuk sekedar makan siang, rupanya mendapat respon dari Freya.

Freya melempar senyum saat Dika melempar pertanyaan berikutnya. “Kalo tidak keberatan kak, Dika pengen banget belajar dengan kak Freya.”

“Fe?” Tomi bergumam. Ekpsresi darinya menyatakan, ketidaksetujuannya terhadap ajakan dari Dika.

“Kak Tomi ikut juga, biar asyik ngobrolnya. Iya kan kak Freya?”

“Tom?” Freya meminta jawaban ke Tomi.

“Pasti gw ikutan lah. Enak aja biarin lo berdua doang dengannya.”

“Hihihi, gitu dong Tomi sayang.”

“Ehem. Jadi kalian sudah-“

“Sebentar lagi, makanya mulai sekarang lo jangan coba-coba menggodanya.” Tomi membalas cepat pertanyaan yang akan di ungkapkan oleh Dika.

Dika menyengir renyah setelah mendengar pernyataan dari Tomi. Pernyataan yang sangat menantang bagi seorang Dika.

“Aku tidak pernah ada niat buat menggoda kak Freya, kak Tom. Hehe, kebetulan Dika cuma ingin belajar ke kak Freya menjadi seorang penulis cerita panas.”

“Ya itu alasan awal doang. Ujung-ujungnya, lo bakal punya tujuan utama kok. Gw juga laki-laki lah.”

“Hehe, kak Tom bisa aja.”

“Udah.. udah.. kenapa kalian berbicara seakan-akan tidak menganggap gw ada di dekat kalian sih?” Freya merasa dirinya baru saja terlupakan oleh kedua cowok itu.

“Hehe sepertinya Dika tinggal dulu kak, nanti siang after kuliah jangan lupa kak Freya.”

“Oke sip!..”

Dika telah berjalan menjauh dari Freya dan Tomi. Meninggalkan rasa penasaran Tomi terhadapnya.

Tomi menebak jika Dika sedang merencanakan sesuatu terhadap Freya. Tomi tidak akan membiarkan Freya terluka, maka dia akan memberikan sepenuh waktunya untuk Freya. Menemani Freya kemana pun ia pergi.

“Lo serius dengan ajakan dia?”

“Hehe dihh, kenapa lo sekarang jadi cemburuan gini?”

“Gak sih, cuma ada sesuatu yang menurut gw sedang di rencanakan ma tuh anak.”

“Jangan su’udzon dengan orang lain, Tom.”

“Piufffhh. Dah ah, yuk ke kelas.” Tomi tak dapat menentang ucapan dari si gadis. Maka dia mengajak Freya untuk masuk ke kelas.



-----000-----​



Siang hari Tomi mengantarkan Freya bertemu dengan Dika di cafe terletak tidak jauh dari kampus.

“Hai kak.” Melihat kedatangan dua seniornya. Dika melambaikan tangan.

Tomi dan Freya berjalan ke tempat Dika berada.

“Maaf Dik, lo dah lama?” tanya Freya ke Dika.

“Hehe baru kok, kak.”

Tomi sebetulnya sudah sejak tadi merasa perasaannya aneh. Tapi sebisa mungkin, ia menepisnya. Karena satu hal, ada Freya di dekatnya.

Melihat kedua seniornya masih berdiri, Dika lalu mempersilahkan mereka untuk duduk. Tomi mengambil duduk tepat di sebelah Freya. Dika duduk berhadapan dengan Freya. Dan tak lama kemudian seorang pelayan cafe datang membawakan pesanan Dika. Tomi dan Freya pun ikut menyebut pesanan mereka kepada pelayan itu.

Di awali berbasa-basi. Hingga Freya menceritakan pengalamannya pertamakali menjadi penulis cerita.

Tomi sudah pernah mendengar cerita ini. Bahkan sering. Sedangkan Dika terlihat sangat serius mendengar cerita dari Freya. Mendapat perhatian dari Dika, menjadikan Freya semakin semangat.

“Jadi gitu deh Dik, sampai sekarang gw makin senang untuk menulis cerita panas.” Freya menyelesaikan cerita panjangnya. Di sertai anggukan kecil Dika yang cukup mengerti dengan penjelasan si gadis.

“Jadi apa yang harus Dika lakukan sekarang kak?” tanya Dika.

“Lo harus menentukan pengen nulis cerita apa?”

“Cerita panas kak. Hehe”

“Iya gak masalah, mau ada unsur dewasa atau tidak. Itu hak lo sebagai penulis. Tapi yang gw maksud di sini, tentukan dulu lo mau buat cerita genre apa.”

“Hmm, Dika sih lagi suka baca-baca cerita misteri kak. Apalagi yang horor gitu.”

“Hmm, horor. Oke, terus?”

“Nah kebetulan Dika pengen banget buat cerita tentang kisah-kisah mistis jaman dulu, kak.”

“Contohnya?” tanya Freya.

“Hehe, apa ya?” Dika tampak berfikir sejenak.

Obrolan mereka terputus sejenak saat kedatangan pelayan cafe membawakan pesanan Tomi dan Freya. Tomi yang sejak tadi memilih diam, baru saja menyeruput Americano Cappucinonya. Tomi mencoba agar terlihat santai.

“Oia. Kayak ngangkat kisah mistis dewa dewi jaman dahulu kak.” Dika melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti tadi.

“Iya contohnya apa?”

“Dewa Lades, mungkin.”

“Hmm, Dewa Lades? Boleh jelasin gak.. siapa dan bagaimana kisah dia?”

“Hehe, ada di google kok kak.”

“Apa kisahnya menarik?” Freya mulai terlihat ada ketertarikan terhadap cerita Dika.

“Bagi Dika sih, menarik kak.”

“Menariknya dimana?”

“Jadi, konon!.. tapi ini mitos ya kak, hehe”

“Iya.. iya, lanjut aja.”

“Belagu amat si lo” Tomi baru saja ikutan bergumam yang di tujukan ke Dika.

“Hehehe, maafkan Dika” Dika melirik ke Tomi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tatapan Tomi seperti ingin mengunyah hidup-hidup si Dika, sangat berbeda dengan tatapan Dika terhadapnya.

“Udah lanjut aja. Karena jujur, selama ini gw gak pernah buat cerita bertema misteri atau horor gitu. Siapa tau setelah mendengar dari lo, gw punya ketertarikan buat cerita genre tersebut.”

“Jadi Dewa Lades itu di ceritakan, adalah seorang Dewa yang sangat suka berpesta seks.

Pada masa Dewa-Dewi jaman kuno di tanah Jawa, meskipun Dika bukan pengamat sejarah banget ya kak, tetap saja kisah jaman dulu selalu menarik untuk ditelusuri dan ditulis kembali atau di salurkan ke dalam sebuah cerita fiksi. Seperti membahas Dewa Aldes dan Dewi Harpani yang disebut-sebut sebagai Dewa yang di kutuk dan tak pernah musnah hingga terompet sangkakala di bunyikan. Berarti mereka berdua masih hidup kekal abadi.

Konon, setiap 100 tahun sekali Dewa Lades mengadakan pesta seks. Nah menurut yang Dika pernah baca, jika sesuai hitungan maka sebentar lagi waktunya itu akan datang. Kemungkinan Dewa Lades sedang mencari manusia yang di penuhi dosa, roh nya akan di ambil oleh Dewa Lades sehari atau 1 x 24 jam untuk di ikutkan dalam pesta seks itu.”

“Hmm, terus?”

“Tapi tidak semudah itu untuk menemukan siapa orang yang akan terpilih ikut dalam pesta Dewa Lades.”

“Apa yang menarik dari pesta itu?”

“Hehehehe gak tau juga kak, Dika kan belum pernah ikutan.”

“Aishhhh, dasar.”

“Apakah orang-orang yang terpilih, akan tewas?” Tomi melempar pertanyaan. Secuil penasaran hinggap di kepalanya.

“Menurut cerita, roh mereka akan di kembalikan. Tapi ya gitu deh, dosa nya akan berlimpah. Dan akan tetap di pertanggung jawabkan di kemudian hari.”

“Bagaimana cara agar Dewa Lades memilih orang itu?” tanya Tomi selanjutnya.

“Entahlah kak Tom. Hehehe, kan hanya mitos. Kebenarannya belum terbukti.”

“Jadi lo bakal buatin cerita fiksi tentang kisah dewa tersebut?” Freya kini yang bertanya ke Dika.

“Yap. kan mantap tuh kak, kalo Dika bisa berhasil buat cerita seks nya ngangkat kisah pas di party seks.”

“Terus?”

“Tapi Dika belum tau harus memulai dari mana, secara dunia tulis menulis adalah hal baru bagi Dika, kak.”

Fresh meet.” Tomi bergumam.

“Begini Dik, yang gw tau yah.. dan juga pengalaman gw sendiri, kalo mau tulisan lo bagus dan feelnya kerasa. Lo kudu ngangkat cerita yang pernah lo jalani. Minimal lo pernah dengar sendiri dari orang lain.”

“Jadi Dika bakal gagal dong kalo ngangkat tema Dewa Lades?”

“Hmm, gak gitu juga Dik.

Lo coba perbanyak refrensi lo dulu tentang dewanya, baru deh lo coba nulis-nulis kerangkanya. Nanti gw bantuin” kata Freya.

“Atau kak Freya mau, Dika pinjemin buku tua yang pernah Dika beli dari teman?”

“Cerita tentang?”

“Mitos kak.. hehe, ya kisah Dewa Lades juga tapi dari versi yang berbeda.”

“Kedengarannya menarik,” mata Freya berbinar. Seolah ia mulai ada ketertarikan atas ide Dika.

“Besok Dika bawain ya kak.”

“Oke deh.”



-----000-----​



Freya pulang di antar oleh Tomi. Honda civic keluaran tahun 2014 berhenti di parkiran sebuah appartemen.

“Gw gak mampir” kata Tomi setelah menarik tuas rem tangan.

“Kok gitu” kekecewaan terpancar di wajah Freya.

“Tumben?” gumam Tomi. Biasanya juga Tomi yang selalu berkeinginan untuk mampir di kosan si gadis, namun dari ke 10 kali-nya Tomi mengatakan ingin mampir, hanya sekali saja mendapat izin sekedar menikmati secangkir kopi yang disajikan oleh gadis berparas cantik itu.

“Pengen aja di temenin. Gak mau?”

“Hmm, boleh deh.”

“Kalo gak mau, gak apa-apa kok.”

“Iya iya, gitu aja ngambek.” Tomi mencoba menghibur si gadis.

“Yuk kalo gitu.”

“Oke.”



Mereka berjalan bersama menuju ke lift.

Tempat Freya tinggal selama ini terletak di lantai 13. Awalnya Tomi hanya merasakan aura ganjil yang biasa saja terjadi. Akan tetapi, perasaan itu semakin kuat mengganggunya saat mereka berada di dalam lift.

Berdiri di pojok kanan seorang anak lelaki sedang tersenyum ke arah mereka. Tomi dapat melihat jelas anak itu. Yang membuat Tomi gusar, adalah senyum di wajah arwah si anak seolah-olah bukan tertuju kepadanya. Tomi menoleh ke Freya. Ternyata tebakannya salah. Karena tentu Freya tidak menyadari ada orang lain di dalam lift ini selain mereka berdua.

Tomi balik menatap ke arwah si anak.

Gerakan di alis bagian kanan, mengisyaratkan sebuah pertanyaan kepada arwah gentayangan itu. Hanya sekilas dua bola mata yang bagian pupilnya berukuran lebih besar dari manusia biasa, meliriknya.

“Kampret nih anak.” Tomi mengumpat pelan.

Freya menoleh.

“Kenapa lo?”

“Hehehe, kagak” balas Tomi.

“Lo liat sesuatu di dalam lift?”

“Hmm ya gitu deh.”



Pintu lift terbuka.

Mereka berjalan menyusuri koridor panjang hingga tiba di tempat tujuan.

“Tunggu.” Tomi menahan tubuh Freya ketika melihat sebuah bungkusan di depan pintu.

“Apa tuh?”

Tomi melangkah mendekati bungkusan itu.

Bungkusan berbentuk kotak. Sangat rapi, namun bukan itu yang menjadi kegusaran Tomi tiba-tiba.

“Kiriman dari siapa Tom?” tanya Freya mendekat.

“Entahlah.” Kata Tomi. kemudian ia mengambil bungkusan dari lantai, lalu membolak baliknya. “Tanpa nama.”

“Coba liat.”

Tomi memberikan ke Freya bungkusan itu.

“Apaan ini.” Freya bertanya sendiri, tanpa menunggu lama ia membuka sampul berwarna coklat itu. Dan melihat isi dalamnya yang ternyata sebuah buku yang cukup tebal.

“Buku?”

“Ritual Dewa Lades?” Freya bergumam membaca judul buku tersebut. “Tom. Ini apa-apaan?” Freya menoleh ke Tomi. Wajahnya memancarkan suatu pesan negatif. Tomi dapat menangkap ketakutan di sana.

“Lo tenang dulu Fe.”

“Atau buku ini di kirim ma si Dika?” Freya mulai menebak siapa yang mengirimkan buku itu.

“Mungkin iya. Karena tadi kalian sudah membahasnya.”

“Terus, dari mana dia tau alamat gw?”

“Gw juga gak tau. Tapi menurut gw buku ini pasti dari dia.”

Masih menebak-nebak siapa yang mengirim buku itu, tiba-tiba ponsel Freya berdering.

“Siapa?”

“Nomor baru.” Kata Freya setelah melihat layar di ponselnya. Sebuah nomor yang belum tersimpan di memori contact.

“Jawab aja.”

“Gak mau ah. Gw takut Tom.”

“Ada gw disini kok.”

“Ya udah kalo gitu.”

“Jawab aja.”

“Oke.”



Freya menjawab panggilan telepon.

“Halo.”

“Malam kak,” suara itu terdengar tak asing bagi Freya.

“Ini siapa?”

“Dika kak. Hehe, btw udah terima kiriman dari Dika?”

“Ohhh jadi buku ini lo yang ngirim?” terpancar kelegaan di wajah Freya setelah mengetahui siapa yang mengirim buku itu ke alamatnya.

Tomi diam tapi otaknya masih berfikir keras. Apa tujuan Dika melakukan semua ini. Padahal dia bisa memberikan buku itu ke Freya besok, saat mereka bertemu di kampus. Kenapa mesti mengirim ke alamat Freya, tanpa menginformasikan sebelumnya. Berbagai pertanyaan telah bermain di dalam kepala Tomi.

“Iya kak. Nah besok itu rencananya Dika pengen ketemu ma kak Freya lagi, buat membahas lebih jauh cara menjadi penulis hebat seperti kakak.”

“Ohhh, ya udah. Nanti malam gw baca.”

“Sip..maaf malam-malam udah gangguin kak Freya.”

“Iya gak apa-apa Dik.”

Freya memutus sambungan telepon dengan Dika.

Tomi diam sesaat, matanya memandang ke arah lain.

“Lo nyari apaan?” tanya Freya.

“Gak. Hehe,”

“Ya udah, masuk dulu yuk.”

“Oke.”



Satu jam kemudian.

Tomi baru saja berpamitan pulang. Tomi hanya mampir sekedar menikmati secangkir kopi di ruang tamu. Tidak terjadi hal-hal yang aneh antara mereka, karena Freya dimanapun berada selalu sibuk dengan notebooknya.

Setelah mengunci pintu, Freya menyempatkan bersih-bersih di kamar mandi.

Sekembali dari kamar mandi, ponsel Freya berdering.

Ternyata telepon dari Dika lagi.

“Halo Dika.”

“Dika ganggu gak kak?”

“Gak kok, nih baru selesai bersih-bersih.”

Rupanya Dika menelepon untuk bertanya hal detail tentang dunia tulis menulis kepada Freya. Saking penasarannya, Dika mengaku sangat sulit untuk memejamkan mata sebelum rasa penasarannya hilang.

Karena memang Freya lagi santai, maka dia menjelaskan semuanya ke Dika.

Penjelasan dari Freya intinya kalau mau menjadi seorang penulis profesional, maka Dika harus membiasakan menulis setiap hari. Dan harus menjadi kebiasaan utama. Rutin. Ini harus. Mutlak. Tidak bisa Tidak. Adalah penting bagi seorang penulis untuk punya rutinitas menulis setiap hari. Seorang akuntan urusannya menghitung setiap hari. Penyapu jalan bakalan menyapu jalan setiap hari. Olahragawan juga sama.

Maka Freya menyarankan kepada Dika, menulislah setiap hari, meski hanya berupa caption di Instagram atau status di Facebook. Tuliskan sesuatu yang membuatmu bahagia, atau sekadar untuk melepaskan beban. Syukur-syukur, tulisannya bikin orang terinspirasi.

Kedua, Freya menjelaskan jika ingin menjadi penulis maka biasakan diri untuk membaca apapun itu.

“If you don’t have time to read, then you will don’t have the time to write.”

“Sama seperti yang di katakan Stepehen King. Ibarat gizi, bacaan adalah nutrisi untuk otak penulis. Gimana mau sehat, kalau membaca saja malas. Gimana mau menulis novel yang bagus, kalau baca ketentuan pengiriman naskah aja nggak mau?

Baca sebanyak mungkin. Apa pun.

And the most important thing is, read like a writer. Membacalah seperti seorang penulis. Bukan skimming atau fast reading. Pelajari bagaimana penulis-penulis terkenal itu merangkai kata, amati pemilihan diksi mereka, dan catat bagaimana mereka mengolah rasa. Akan lebih bagus lagi jika lo juga membaca berbagai genre tulisan, tak hanya satu jenis tulisan saja. Hal tersebut akan membuat otak lo semakin berisi. Ibarat perpustakaan, perbendaharaannya banyak. Mau apa saja, tinggal pilih untuk dikeluarkan.”

“Berarti Dika jangan cuma fokus ke bacaan genre misteri aja ya kak?”

“Yap. apapun genrenya Dik, biar lo punya banyak refrensi nantinya.”

“Selain itu?”

“Watch TV like a writer

Beberapa ide bisa saja datang dari televisi, baik itu berita, variety show, talk show, bahkan FTV sekalipun. Hanya bedanya dengan orang lain, lo harus menontonnya like a writer. Perhatikan, kenapa acara tersebut menarik, mengapa lo sampai merelakan sekian banyak waktu lo untuk menontonnya? Jika ternyata pada penggal iklan pertama lo sudah nggak betah nonton, ya sudah tinggalkan. Sembari catat dalam hati, apa yang menyebabkan tontonan itu tak layak lo tonton.

Hal-hal yang membuat acara itu menarik, barangkali bisa menjadi pelajaran buat lo, bagaimana caranya menarik perhatian orang dengan tulisan. Begitu pun kalau misalnya lo tidak betah. Apa yang bikin lo gak betah? Hal yang sama mungkin berlaku juga untuk tulisan lo nanti.”

“Emang Dika gak salah minta belajar ma kakak, nih.”

“Gw bukan orang yang pelit ilmu, Dik.”

“Terus kak?”

“Pokoknya kalo lo mau jadi penulis, lo kudu nonton banyak film juga. Nggak cuma sekedar nonton, lo juga harus menontonnya like a writer. Amati bagaimana struktur cerita film tersebut, bagaimana alurnya, bagaimana karakter tokoh-tokoh di dalamnya, dan seterusnya. Gw aja sekarang punya jadwal nonton di bioskop setidaknya sebulan sekali. Ya, masih sebulan sekali dulu. Selebihnya gw akan menonton secara streaming. Yang legal. Selain juga nonton film yang ada di televisi. Hehe.”

“Kemudian jangan lupa juga, bergaul dengan orang yang punya passion yang sama. Lingkungan itu sangat berpengaruh terhadap diri kita. Maka, selektiflah dalam bergaul. Tak usah pedulikan kalau ada yang bilang kita pilih-pilih teman. Itu semua dilakukan demi kesehatan, dan kelangsungan hidup kita sebagai penulis. Baik online maupun offline, bergaullah dengan orang yang punya passion dan semangat yang sama. Kalau ketemunya di komunitas online, sesekali ajak kopdar sembari nyemal-nyemil lucu di kafe.

It works. Really.

Begitu pulang dari kopdaran, coba deh rasakan. Lo akan merasa seperti punya semangat baru.”

“Seperti itu yang Dika rasain kak. Habis ketemuan ma Kak Freya tadi, yah gitu deh. Makanya Dika nelfon sekarang.”

“Gw tau apa yang lo rasakan sekarang. Karena gw juga pernah berada di posisi lo.”

“Hehehe, terus-terus kak?”

“Poin berikutnya.

Kritis terhadap diri sendiri. Every writer falls in love with their own writing. Ini sudah rahasia umum. Banyak penulis merasa tulisannya udah yang paling hebat sedunia. Gw aja sering ngerasain kek gitu juga, kalau sudah bisa menyelesaikan tulisan. Makanya, jeda waktu publish itu perlu, demi membuang pikiran nggak waras itu dari pikiran kita. Sebaiknya, ubah kebiasaan ini. Jangan jatuh cinta pada tulisan lo sendiri. Artinya, selalulah berusaha untuk meningkatkan kualitas tulisan lo. Jangan pernah merasa tulisan lo adalah yang paling bagus di muka bumi. Dengan demikian, lo akan terbuka pada masukan dan saran. Dengan saran dan masukan tersebut, lo jadi bisa belajar untuk memperbaiki tulisan lo agar lebih enak dibaca oleh orang lain.

Ya, kecuali lo maunya cuma buat dibaca sendiri.”

“Terakhir..

Write like it’s your job. Ini yang terpenting.

Saat lo mulai terbiasa menganggap menulis adalah pekerjaan, dan bukan sekadar hobi pengisi waktu luang, maka lo akan terpacu untuk selalu lebih baik.

Lo akan rela menginvestasikan segalanya untuk bisnis atau pekerjaanmu itu. Lo akan mau membuang waktu untuk belajar teknik menulis yang lebih baik. Dan, lo akan berkomitmen untuk menyelesaikan tulisan yang sudah lo mulai. Poin 2,3 dan 4 yang gw jelasin tadi sebenarnya merupakan cara melatih diri sendiri untuk lebih peka dan bisa belajar dari melihat. Sungguh, teori menulis itu banyak, tapi nggak applicable.

Inti pekerjaan menulis adalah soal mengolah rasa. Jadi, sudah siap untuk menjadi seorang penulis profesional belum?”

“Sudah dong kak.”

“Ya sudah, besok kita lanjutin lagi.”

“Oh ya kak, mengenai tema yang bakal Dika buat nantinya. Bantuin Dika ya kak. Tuh buku yang Dika kasih ke kakak sapa tau bisa menjadi refrensi nantinya.”

“Iya, setelah ngobrol ma lo gw bakal baca.”

“Oke deh kak makasih.”

“Sip.”



-----000-----​



Duduk di dalam ruangan penuh kegelapan. Sesosok manusia sedang menunggu kedatangannya. Detik kemudian angin dari empat penjuru mulai menyelimuti ruangan, padahal tak ada celah yang dapat membuat angin sekuat itu masuk. Pintu dan jendela semuanya tertutup rapat. Seolah-olah angin itu muncul dari tembok ruangan, menciptakan suara seperti bunyi siulan. Dari angin terciptalah sekumpulan asap hingga menyatu menjadi sebuah objek.

Dari asap mulai bermunculan percikan api.

Satu-satunya sosok manusia yang berada di ruangan ini melempar senyum sembari memejamkan kedua mata ketika telah merasakan kehadirannya.

Sesosok monster berwarna merah, bertanduk dan sedang tidak menggunakan sehelai benang muncul dari gumpalan asap. Sosok monster itu, adalah rupa asli dari Dewa Lades. Dewa yang penuh dosa dan di yakini akan menjadi penghuni neraka yang kekal abadi.

Monster itu menghembuskan angin dari mulutnya, gumpalan angin yang tak terlihat kasat mata mulai bergerak menuju ke makhluk hidup satu-satunya yang berada di dalam ruangan itu. Mulai terlihat sebuah bayangan keluar dari tubuh orang itu. Semakin lama bayangan itu terpisah dari jasadnya, dan mulai berjalan mendekati Dewa Lades.

“awakedewe ora duwe akeh wektu,” (Waktu kita tidak banyak)

“Nggih”

“Lan kita isih kurang loro makhluk dosa” (Dan kita masih kekurangan satu makhluk berdosa lagi)

“Opo kudune dadi Gemblak, misahake roh saka mayit rolas lan telulas?” (Apakah harus dengan cara Gemblak untuk dapat memisahkan roh dengan jasad mahkluk ke-duabelas dan tigabelas?)

“Amarga kahanan mutlak pungkasan yaiku makhluk sing akeh dosa” (Karena syarat mutlak terakhir adalah makhluk yang dosanya berlimpah)

“Nggih,”



-----000-----​



Kedekatan Dika dan Freya tak terelakkan lagi. Awalnya hanya saling berdikusi, hingga menimbulkan rasa cemburu dalam diri Tomi yang mengamati semuanya. Mulai rutin saling telepon-teleponan. Bahkan tak jarang, ketika sedang bersama Tomi, Freya memperlihatkan ketertarikannya kepada Dika.

Tidak berhenti di situ, Dika mulai sering mendatangi Freya di appartemen. Bahkan tak tanggung-tanggung. Setiap datang Dika selalu membawakan sesuatu buat Freya. Semisal makanan, baju ataupun buku-buku bacaan. Tomi menyadari semua itu, apa yang di miliki Dika tak di miliki Tomi.

Hobi Dika sama dengan Freya. Berbeda dengan Tomi.

Sejujurnya api kecemburuan sudah mulai membakar diri Tomi. Ia mulai merasa sangat tidak nyaman atas kedekatan Dika dan Freya. Seolah-olah posisi Tomi perlahan mulai bergeser. Maka malam ini, Tomi akan membuat perhitungan dengan Dika. Dia mengetahui jika Dika sedang berada di appartemen Freya.



Setiba di tempat Freya, Tomi segera memencet bel.

Pintu di buka. Freya yang membukakan pintu. Tomi hanya sekilas melirik ke Freya, berganti melihat ke satu arah. Yaitu Dika.

“Tom?”

“Kak Tom?”

Freya dan Dika berucap hampir bersamaan.

“Gw udah gak tahan lagi ma lo, kampret bego” jari telunjuk Tomi, lurus ke arah Dika.

“Tom, lo kenapa?” tanya Freya.

“Lo tuh yang kenapa.”

“Loh, emang gw kenapa?”

“Halah, gegara dia lo udah jauhin gw kan?”

“Astaga Tom.”

Tomi telah emosi, berjalan masuk ke dalam. Dia mendekati Dika.

“Bangsaaaat lo.”

“TOMMM JANGAAAAAN!”

Terlambat. Tangan kanan Tomi sudah terayun ke arah Dika. Seketika itu juga, Dika berdiri memaksakan fisiknya bergerak menghindar menjauh.

Tomi menyadari gerakan Dika cukup cepat. Ia lalu berbalik dan ingin memberikan serangan kedua, namun gagal karena Freya sudah memeluknya dari belakang. “Sudah Tom, lo kenapa jadi emosian gini sih?”

“Kak Tom, sabar. Apa salah Dika, kak?”

“Salah lo? Lo udah berani-beraninya ngerebut cewek yang gw cintai.”

“Kak Tomi salah sangka deh,”

“Iya Tom, gw ma Dika gak ada hubungan apa-apa.”

“Halaaaah, kalian berdua masih coba-coba berbohong ma gw? Lepasin gw Fe” Tomi mencoba untuk melepas pelukan Freya.

“Udah deh, mending lo tenang dulu.”

“Gak. Gw bakal hajar nih anak.” saat Tomi mulai berontak, tubuh Freya yang lebih lemah darinya baru saja terdorong ke samping.

“Auwww.”

“Fe. Lo gak apa-apa?” Tomi berbalik dan mendapati tubuh Freya sudah terjatuh di sofa.

Tapi rupanya tubuh Freya yang terjatuh, tidak mengurungkan niat Tomi untuk menghajar Dika.

“Sorry Fe, kali ini gw bener-bener emosi ma nih anak”

“Tom please..”

Tomi tak menghiraukan permohonan si gadis. Ia berjalan mendekat ke Dika. Terdengar teriakan meraung marah.

Dika masih berusaha menghindar setiap serangan dari Tomi. Merasa di permalukan oleh Dika, Tomi semakin murka. Apapun ia raih lalu melempar ke arah Dika. Vas bunga, remote AC, benda-benda kecil. Semua dapat di hindari oleh Dika.

“Kak Tom, jangan salahkan Dika kalo berbuat kasar ke kakak”

“Bangsaat lo, sini lo jangan jadi pecundang” suara Tomi yang keras membuat Dika akhirnya tak dapat menahannya lagi.

“Tom udah Tom, berhenti.” Freya bangkit dan mencoba menahan Tomi yang ingin menyerang Dika.

“Kak Freya, Dika minta izin untuk membalas.”

“Udah Dik, mending lo pulang deh.”

“Jangan.. lo harus gw hajar sebelum lo pulang.” Tomi melarang Dika untuk pulang.

“Baiklah. Dika yang maju duluan, atau kakak?”

“Dika udah.” Freya mencoba menahan Dika. Namun tampak senyum penuh arti di wajah cowok itu. Seperti sengaja menunjukkan kepada mereka siapa dia sebenarnya.

“Lepasin gw Fe.. bajingan lo,” Tomi melepas paksa pelukan Freya. Ia berlari, lalu berlompat ke Dika. Dengan mudah serangannya di patahkan oleh Dika. Lalu pukulan balasan di lepaskan Dika, terkena di perut Tomi.

Tomi terdorong hingga menabrak tubuh Freya.

“Kak Freya” Dika menyempatkan memanggil nama Freya.

Tubuh Freya terjatuh ke lantai, Tomi gelap mata dan tak ada niatan sama sekali untuk menolong si gadis.

Perkelahian antara dua pemuda itu tak dapat di elakkan lagi. Pertarungan ini tidak berimbang, Dika lebih mengungguli Tomi. Setelah tiga pukulan dari Dika, baru Tomi dapat membalasnya.

Begitu seterusnya, hingga terdengar suara dentuman keras sebanyak dua kali. BAM!.. BAM!.. Bunyinya cukup keras, seperti suara benda yang di hantamkan ke seseorang.

Detik kemudian, ruang tamu di penuhi asap tebal mengepul yang datang secara tiba-tiba dari empat arah.



-----000-----​



Tomi mulai tersadar. Mata yang terpejam mulai bergerak-gerak, seiring kesadarannya mulai memulih. Ketika berhasil membuka kedua mata, pandangannya ke langit-langit. Suasana kamar, aroma dan juga aura yang semuanya terasa sangat asing bagi Tomi. Matanya mulai berkedip beberapa kali. Bersamaan ia makin merasakan sesuatu yang mengejutkan terjadi pada dirinya.

Perasaannya mulai tidak tenang. Tubuhnya tidak dapat di gerakkan. Hanya kedua bola matanya saja yang dapat bergerak. Namun gerakan matanya terbatas. Karena untuk menggerakkan hingga ke sudut kiri maupun kanan, Tomi harus menggunakan otot-otot seputar mata yang sudah terasa kaku seperti es yang membeku. Tomi memejamkan matanya kembali, mencoba menguatkan mentalnya, sebelum tubuhnya merasakan jari jemari seseorang yang mulai bergerak. Namun sialnya, dia tak dapat melihat dengan jelas wajah dari pemilik jari itu.

Hanya sesaat saja. Karena kedua matanya telah berhasil melihat sosok yang sejak tadi menjadi kekhawatirannya.

Dia menatap paras cantik itu.

Sekedar menggerakkan bibirnya saja, tidak dapat Tomi lakukan. Ekspresi dari Tomi mengisyaratkan berbagai pertanyaan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.

Gadis cantik itu tersenyum menggoda kepada Tomi. Jari telunjuk menyentuh di bibir, “Sssttt, Tom. Lo cukup nikmatin aja.”

Lalu Tomi mulai merasakan jika kemejanya mulai di buka. Satu persatu kancing kemejanya terbuka.

Cowok itu seolah dapat merasakan denyutan jantungnya sendiri setiap kali satu kancing keluar dari tempatnya. Waktu terasa berjalan sangat lambat sebelum kancing terakhir kemejanya terlepas.

Tatapannya masih saja tak teralihkan dari paras cantik itu. Senyuman menggoda seharusnya dapat membangkitkan birahi Tomi, namun itu tidak terjadi.

Dada bidang di tumbuhi bulu-bulu halus mulai terasa tersentuh. Perasaan Tomi mulai kacau. Bukan ini yang seharusnya ia inginkan sejak dulu. Bukan dengan cara ini, keperjakaannya di rebut.

Setelah merasakan dadanya tak tersentuh lagi. Tomi mulai di pertontonkan hal yang sebetulnya sejak dulu ingin ia lihat. Mulut Tomi tak dapat bergerak memanggil nama si gadis. Hanya dalam hati ia berkata, Freya lo kenapa? Apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa lo jadi kayak gini?.

Freya memandang Tomi sesaat. Senyum menggoda Freya, beserta pakaian yang digunakannya mulai terlepas, perlahan-lahan merubah perasaan Tomi. Telah terbentuk suatu rasa. Rupanya Freya sukses membangkitkan gairah Tomi secara perlahan.

Tomi memandang buah dada Freya yang membusung kencang, tertutup oleh bra berwarna hitam.

“Stttt, Tom. Kenapa gak dari dulu, lo liatin toket gw ihh?”

Debar jantung Tomi semakin kencang. Ia mendengar desahan Freya, di sertai gerakan kedua tangan yang mulai tertekuk ke depan.

“Tom, ohhh!..” desahan Freya mulai terdengar lagi. Seiring hembusan nafas menyapu leher Tomi.

Jemari gadis cantik itu perlahan membuka kaitan bra yang terdapat di bagian depan. Ceklek!...

Bra terlepas. Tenggorokan Tomi mulai kering. Apalagi saat matanya mulai menikmati gerak erotis Freya menggapai resleting celana dan menurunkannya pelan. Jemari lentik Freya berpindah ke ujung pinggang celana dan dengan gerakan pelan mendorongnya ke bawah.

Lepas.

“Malam ini, lo bakal ngelihat tubuh gw Tom dalam keadaan bugil, sstthh..”

Freya tersenyum lagi.

“Elu sih, gw udah sering mancing-mancing tapi lo masih sok-sokan gak terpancing. Fiuhhh!..”

Gadis cantik itu kini hanya menyisahkan celana dalam, buah dada sekal menghias puting berwarna kemerahan, lekuk indah pinggulnya tak lagi terbungkus.

“Tom, udah.. lo gak usah protes. Nikmati saja sayangggshh!..” seolah mampu menangkap pergolakan batin yang ada dalam diri Tomi. Freya berucap. Kalimat yang diucapkan Freya seperti tidak membuat perasaan Tomi tenang. Padahal Tomi melihat jelas buah dada gadis itu membusung indah, kencang dan padat.

Tomi merasakan lagi, celananya mulai terlepas dari tubuhnya. Hingga celana di lempar begitu saja ke lantai.

Melihat celana dalam Tomi tidak membentuk suatu gundukan tinggi, membuat Freya geleng-geleng kepala.

“Lo gak sange ma gw, Tom?” tanya Freya. Tomi melihat wajah gadis cantik itu mulai cemberut.

“Kalo gw buka ini, pasti lo bakal ngaceng. hihihi!” Freya mengeluarkan desahan sambil menurunkan celana dalamnya. Meloloskan dari kedua kaki jenjangnya, hingga terlepas.

Tomi tak dapat menahannya lagi. Freya berhasil. Terlihat dari celana dalam Tomi, mulai membentuk sebuah gundukan. Tawa kecil Freya seolah-olah menggambarkan keberhasilannya.

Tubuh Tomi merasakan sesuatu menyentuh di bawah sana. Kali ini bukan hanya itu saja, tengkuknya merasa hembusan nafas menggoda. Ia juga dapat merasakan sentuhan telapak tangan dari perut berjalan semakin ke bawah. Sebuah sentuhan tangan yang sangat dingin, seolah tanpa suhu tubuh. Celana dalam Tomi mulai di lepaskan. Tak lupa juga, setelah itu kemeja Tomi mulai di lepaskan melalui lengan kanan lalu lengan kiri. Memaksa tubuh Tomi sedikit terangkat ke atas.

Tubuh telanjang Tomi mulai bergidik saat tangan itu bergerak lembut ke arah kemaluannya.

Alis cowok itu mengernyit, seolah menahan sesuatu.

“Tom, ngaceng juga.. uhhk!..”

Tangan itu mulai bergerak. Kemaluan Tomi mulai di genggam, kemudian di kocok perlahan.

Kocokan halus penuh desahan, menambah gairah Tomi. Ketegangan mulai terjadi, hingga membuat tubuh Tomi tersentak ketika putingnya ikutan di kecup. Tanpa sepatah katapun, tubuh Tomi mulai di cumbu. Tomi hanya dapat memejamkan mata sesaat. Mencoba menahan rasa itu.

Ritme kocokan di kemaluannya mulai di tingkatkan.

Kemudian tak begitu lama, Tomi membuka mata kembali. Ia merasakan kecupan di tubuhnya terhenti. Ia menatap kedua bola mata gadis berparas cantik yang sangat ia cintai. Ternyata gadis itu mempunyai sisi yang tak pernah Tomi pikirkan selama ini. Gadis itu sangat binal dan seksi.

Gadis itu memanyunkan bibir. Ada senyum tertahan di wajahnya.

Tomi pasrah dengan semua ini.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, Tomi tak lagi ingin memikirkannya.

Tomi di buat terkejut, ketika bibirnya mulai di kecup. Matanya masih terbuka, dan sempat memandang ke Freya. Hingga ia kembali memejamkannya, dan berusaha menerima ciuman yang lembut.

Bibir Tomi yang kaku tak dapat di gerakkan mulai menerima serangan lidah yang memaksa masuk ke dalam.

Selanjutnya tubuh Tomi mulai tertindih, sedangkan bibirnya masih di lumat. Ciuman itu bergerak cepat ke pipi, mengigit leher Tomi, lalu balik lagi menyerang di bibir.

“Ohhh Tom, lo seksi banget.”

Lalu Tomi merasakan tubuh yang menindihnya mulai bergerak turun hingga terhenti di pusar. Pusarnya di gelitik, di gigit hingga ke punggul. Kemudian Tomi merasakan remasan di pantatnya dengan gerakan berirama.

Suara desahan saling bersahut-sahutan.

“Oughhh Tom,”

“Konti lo ngaceng keras, ohhhh!.. nikmatilah Tom, buatlah dosa besar malam ini. Ohhhh Tom,” Freya mendesah, ekspresinya tampak menahan gairah.

Tiba-tiba Tomi merasakan kemaluannya mulai basah, bersamaan mulai terjadi kocokan lembut. Ia sempat mendengar sesuatu di lempar begitu saja ke lantai. Seperti sebuah botol. Hanya sesaat saja perhatiannya teralihkan, karena detik berikutnya Tomi mulai merasakan ujung kemaluannya telah menyentuh sesuatu. Hangat, lembut dan licin di batang kemaluannya yang mulai tertanam secara perlahan.

Sebelah tangan mulai menahan di dada Tomi. Sementara tangan yang lain mengarahkan ujung batang kemaluan Tomi memasuki lubang yang basah. Dalam satu gerakan kasar, batang kemaluan itu berhasil masuk sepenuhnya.

“Oooouhhhhhh.. Ooooooohhh..”

Suara menjerit terdengar, juga Tomi baru saja di dera rasa baru yang begitu asing dan menghentak. Kedua tangan mulai bertumpu di dada Tomi, sambil bokong bergerak naik turun, membuat kemaluan Tomi keluar masuk menghujam lubang itu.

Napas Tomi mulai terengah-engah, sama halnya Freya yang sangat menikmati semua ini. Di antara kedua bibirnya yang terbuka, terdengar desahan erotis yang semakin menambah gairah sang pejantan.

Gerakan pompaan lubang itu yang terhujam batang kemaluan, terus terjadi. Bahkan ritme gerakannya semakin meningkat. Akumulasi semua rasa terkumpul menjadi satu. Tomi mulai merasakan jika kenikmatan ini akan segera berakhir.

Hingga dalam erangan panjang yang bergemuruh meraungkan orgasme dengan penis berdenyut-denyut di dalam lubang.

Croot!.. Croot!.. Croot!..



Freya tampak tersenyum puas.

Gadis cantik yang sedang bertelanjang itu, berjalan mendekat ke ranjang.

“Good job!” sekali tepukan di pundak membuat sosok seorang cowok lainnya akhirnya tumbang dan tidak sadarkan diri.

“Hi Tom, welcome to the party.. sabar, kan gw udah bilang kita bakal ngelakuinnya. Tapi bukan sekarang. Hehehe,”

Setelah mengatakan itu, Freya menepuk lengan Tomi. Cowok itu akhirnya tak sadarkan diri.

Freya lalu memejamkan mata. Perlahan-lahan tubuh telanjangnya terjatuh ke lantai, sebuah bayangan terbang keluar melalui ubun-ubun.

Bersamaan sebuah asap menggumpal dan membentuk sebuah sosok. Dewa Lades menunjukkan diri.

“Tugasku wes rampung. telulas wong wis kapenuhan ing dosa. Wayahe saiki aku ngaso”





-THE END-

Kisah yang apik dan kaya.... hanya masih penasaran karena kurang penjelasan: dewa lades itu ngapain sih?
 
Ceritamu cocok di buatin cerbung tuh.
kali aja pengen buat cerita lagi...

:pandajahat:
Kayaknya kalau di buat cerbung Om Tj siap jadi PR nya ya Om :panlok4:
 
Gila, yaa si freya ternyata udah gila. Ampe sahabatnya ndiri dikorbanin. Tp berasa kurang detil maksud dari endingnya. Mereka semua mati gitu yakk?

Tips menulisnya keren, master. Saya suka saya suka. Seks scenes tomi menipu, wkwkwkwk sungguh tega dirimu pada kami. Semoga dapet penilaian yang bagus dari para juri.

Rating 8/10
 
Gila, yaa si freya ternyata udah gila. Ampe sahabatnya ndiri dikorbanin. Tp berasa kurang detil maksud dari endingnya. Mereka semua mati gitu yakk?

Tips menulisnya keren, master. Saya suka saya suka. Seks scenes tomi menipu, wkwkwkwk sungguh tega dirimu pada kami. Semoga dapet penilaian yang bagus dari para juri.

Rating 7,5/10
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd