Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Akhirnya update juga setelah sekian lama..
Ayo hu lancrotkan lagi...kita selalu setia menunggu update nya

Semangaaat!!
 
Bimabet
Bagian 10


Beberapa tahun yang lalu….


Kuliah. Inikah yang diinginkan oleh Arief? Semenjak kematian ibunya, dia sudah tidak punya lagi tujuan selain mengikuti kata bapaknya. Di dalam dirinya ada rasa ingin memberontak. Ingin hidup bebas, tetapi tetap saja perasaan itu tertahan oleh keinginan Suroso.

“Apa kau yakin ingin hidup bebas? Apa arti kehidupan sebenarnya bagimu? Orang seperti dirimu tahu apa itu arti kehidupan?” pertanyaan bapaknya benar-benar membuatnya berpikir.

Dia yang selama ini mudah sekali mencabut nyawa orang lain pun mulai berpikir tentang kehidupan. Kuliah adalah salah satu jalannya. Sayangnya di perkuliahan pun dia bingung. Bagaimana caranya untuk bisa belajar tentang kehidupan? Materi kuliah yang diajarkan pun tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Teman? Arief tidak punya teman, setidaknya untuk saat ini.

Terkadang teman-temannya mengajaknya untuk bisa nongkrong. Namun, Arief tidak suka. Bukan berarti dia tidak suka diajak nongkrong, tetapi pembicaraan yang ada di tongkrongan itu dia tidak suka. Tongkrongan cowok apa yang paling banyak dibicarakan kalau bukan soal cewek, bola dan hobi.

Seperti sekarang ini. Teman-temannya mengajaknya untuk nongkrong di salah satu tempat yang biasa anak-anak mahasiswa nongkrong di tempat itu sambil cuci mata. Dan seperti biasa Arief hanya tersenyum, tertawa, dan menanggapi tanpa ada perasaan sama sekali. Dia mampu melakukan itu, membiaskan pancaran wajah kebahagiaan, padahal di dalam dirinya dia ingin sekali mengalirkan darah teman-temannya ini.

Di meja ada banyak perlatan yang bisa digunakan. Seperti asbak, gelas, meja, kursi dan botol air mineral. Arief bisa memikirkan puluhan cara untuk menghabisi orang-orang yang cukup menyebalkan baginya ini. Namun, dia tak melakukannya. Memikirkannya saja sudah jadi fantasi dia setiap saat, hal itu cukup menghibur.

“Eh, menurut kalian arti kehidupan itu apa?” celetuk Arief tiba-tiba.

Semua teman-temannya terdiam. Ini pertanyaan serius atau cuma bercanda?

“Tiba-tiba banget tanya gituan,” jawab salah satu temannya.

Arief tersenyum saja mendengar reaksi mereka.

“Yang jelas, pertanyaan itu nggak bisa aku jawab. Tapi kalau ingin pertanyaan itu terjawab, kenapa tidak kau tanya saja kepada ustadz-ustadz di luar sana? Aku yakin mereka akan dapatkan jawaban yang tepat,” kata temannya Arief yang lain.

Arief berpikir sejenak. Masuk akal apa yang mereka katakan. Barangkali dengan mendekatkan diri kepada tuhan dia akan mendapatkan jawabannya. Tidak butuh waktu lama, yang dilakukan Arief saat itu adalah pergi masjid di kampusnya sambil menunggu waktu untuk salat.

Pemuda itu duduk saja di teras masjid. Tidak banyak yang dia lakukan selain mengamati orang yang sedang lalu lalang. Beberapa anak ekstra kerohanian sedang melakukan rapat. Dari bilik wanita juga tampak sedang melakukan rapat. Apakah akan ada kegiatan? Arief tidak tahu.

Adzan berkumandang. Saat itu waktu ashar. Arief mengikuti cara orang-orang beribadah. Dia sudah lupa caranya, sehingga perlu melihat lagi untuk tahu apa yang dia kerjakan. Saat salat pun dia mengikuti orang-orang. Hingga akhirnya ingatannya pun kembali. Dia tahu caranya beribadah. Ah, ibadahnya mudah. Apa yang membuat orang-orang tidak mau melakukannya? Tidak sampai sepuluh menit, gerakannya pun bisa dilakukan oleh orang sehat ataupun orang sakit. Di dalam benaknya, Arief mengatakan ibadah salat ini tidak berat.

Dan kebetulan, setelah salat. Ternyata ada pengajian saat itu. Ada seorang ustadz yang terlihat sudah paruh baya berjenggot lebat sedang duduk bersila. Tidak di mimbar? Gumam Arief dengan pikirannya.

Pakaian ustadz tersebut sederhana. Baju koko warna hijau muda dengan celana kain. Dia tampak sibuk melihat buku dan catatan yang dibawanya. Arief yang masih duduk di masjid mencoba untuk mengikuti pengajian tersebut.

Ternyata itu adalah pengajian rutin yang sering diadakan di kampus. Sang ustadz memulai pengajian tersebut, dengan ucapan salam, kemudian dilanjut dengan memuji tuhan, bersyukur serta membawakan satu dua ayat, lalu hadist. Setelah itu baru masuk ke materi-materi. Unik. Tidak banyak ustadz seperti ini yang langsung berbicara dengan dalil. Ustadz ini tidak pernah mengajak jama’ah untuk bercanda, juga tidak pernah mengatakan menurut pikirannya sendiri. Namun, bukan itu yang dicari Arief. Dia ingin pertanyaan-pertanyaannya dijawab, maka masuklah ke dalam sesi tanya jawab.

“Baiklah, kita masuk ke sesi tanya jawab. Ada yang ingin bertanya?” tanya ustadz tersebut.

Arief mengangkat tangannya.

“Yak, silakan!” kata ustadz.

“Mohon maaf sebelumnya, ustadz. Saya ingin bertanya hal yang mungkin jauh dari apa yang ustadz jelaskan tadi,” kata Arief.

“Iya, tidak apa-apa. Silakan!” ujar ustadz.

“Apa sebenarnya makna kehidupan itu?”

Ustadz terdiam. Seluruh jama’ah juga terdiam. Beberapa jama’ah perempuan yang ada di bilik khusus perempuan penasaran dengan orang yang bertanya. Saat itulah Jannah mengintip. Dia untuk pertama kalinya melihat Arief saat itu.

“Pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Tetapi, kalau misalnya jawaban saya salah, maka itu semua karena kebodohan saya sendiri. Saya yakin anak muda ini sedang dalam pencarian jati dirinya. Betul?” tanya ustadz.

Arief mengangguk. “Iya, ustadz.”

“Disebutkan di dalam Al Quran yang artinya Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. Di dalam kehidupan ini hanya ada dua macam entitas, yaitu Pencipta dan Ciptaannya. Tuhan dan makhluk-Nya. Manusia makhluk, batu makhluk, matahari makhluk, bulan makhluk, hewan juga makhluk, jin juga makhluk. Hanya satu yang disebut tuhan. Setiap makhluk hidup diberi jatah masing-masing untuk hidup. Mereka diberi waktu, diberi rezeki dan diberikan pengetahuan, serta kekuatan. Setiap makhluk memiliki waktu yang berbeda, rezeki yang berbeda, pengetahuan yang berbeda serta kekuatan yang berbeda.

“Di antara mereka ada yang diberi kelebihan rezeki, ada yang diberi kesempitan rezeki. Ada yang diberi waktu yang banyak, ada yang diberi waktu yang sedikit. Dan setiap makhluk memiliki peranan masing-masing di dunia ini. Ada yang jadi dokter, ada yang jadi mahasiswa, ada yang jadi polisi, ada yang jadi tukang bangunan, dan lain-lain. Disamping peranan-peranan itu, manusia juga punya andil dalam menggerakkan keadaan, sebab itulah mereka diberikan permasalahan. Setiap manusia diberikan permasalahan agar kehidupan ini berjalan. Tanpa permasalahan maka kehidupan tidak akan berjalan. Dan dari permasalahan-permasalahan tersebut ada yang diakhiri dengan cara yang baik dan ada yang diakhiri ddengan cara yang buruk.

“Setiap makhluk disebutkan menjadi abdi atau hamba bukan karena tanpa alasan. Yang pertama, yaitu mereka telah diberikan segala sesuatu yang diminta dan tidak diminta. Contohnya udara. Berapa banyak oksigen yang dihirup oleh manusia sejak dia lahir sampai sekarang? Tentu saja banyak. Bisakah dinilai dengan uang? Tidak. Lalu, tentunya ketika sang Pencipta mencabut nikmat tersebut, apa yang terjadi? Manusia tentu tidak bisa hidup. Oleh sebab itulah manusia butuh yang namanya bersyukur. Kenapa manusia butuh bersyukur? Agar dia bisa menghargai kehidupan.

“Coba bayangkan seandainya dalam beberapa detik saja misalnya oksigen tiba-tiba lenyap. Ini oksigen ya, senyawa yang ada di alam semesta ini. Apa yang akan terjadi? Api akan padam. Api butuh oksigen, tumbuhan akan berhenti berfotosintesis, hal ini akan membuat tumbuhan-tumbuhan akan mati, manusia? Manusia tanpa oksigen akan mengakibatkan dia mati. Air akan menguap menjadi hidrogen. Tanah yang dipijak manusia akan luruh, karena tanah juga butuh oksigen. Lapisan ozon akang menghilang dan bumi akan dibakar oleh radiasi nuklir dari matahari. Kehidupan di planet ini akan lenyap.

“Padahal dengan adanya oksigen seorang ibu bisa melahirkan anaknya. Seorang akan bisa bekerja untuk mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Seorang yang sakit paru-parunya akan sembuh. Tanaman-tanaman akan tumbuh dengan subur, dan manusia serta seluruh makhluk di bumi akan dilindungi dari sinar matahari. Demikian, mungkin jawaban yang bisa saya sampaikan,” kata ustadz.

“Jadi maksud ustadz apakah menghargai kehidupan itu artinya membiarkan semua makhluk untuk hidup?” tanya Arief.

“Lebih tepatnya memberi kesempatan diri sendiri untuk bisa bermanfaat untuk mereka yang hidup,” jawab ustadz, “sebab ada kalanya keadilan harus ditegakkan kepada mereka yang memang bersalah, tapi dengan cara yang baik. Yaitu dengan mematuhi hukum yang berlaku.”

Arief menipiskan bibirnya. Dia berusaha memahami apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut.

“Nama ustadz siapa kalau boleh tahu?” tanya Arief sekali lagi.

“Nama saya Hamzah, masnya namanya siapa?” tanya ustadz balik.

“Nama saya Arief,” jawab Arief, “kalau boleh saya ingin tanya-tanya lebih lanjut lagi.”

“Oh, silakan. Dengan senang hati,” jawab ustadz Hamzah.

Jannah tersenyum melihat Arief dari kejauhan. Tidak biasa seorang mahasiswa bertanya hal seperti itu. Di dalam pikiran Jannah, pemuda ini orang yang baik.

“Eh, anak mana sih dia?” tanya Jannah penasaran.

“Nggak tahu, nggak pernah nongol juga dimari,” jawab temannya Jannah.

Rasa penasaran Jannah makin menjadi saat hari-hari berikutnya Arief mulai aktif pergi ke masjid. Makin banyak melakukan ibadah dan ikut pengajian. Meskipun begitu tidak terbesit di hatinya untuk menyukai pemuda ini, sebab dia saat itu sudah memiliki hubungan dengan Thalib.

Thalib, pemuda ini lebih senior dari dia maupun Arief. Bahkan sudah mendekati wisuda. Mereka sudah menjalin hubungan—meskipun tidak diketahui oleh orang-orang—sejak Jannah di semester ketiga. Jannah memang terpesona dengan Thalib. Orangnya cerdas dan penuh pesona. Mungkin itu pula yang menjadikan Jannah tertarik kepada Thalib selama ini.

Di area kampus ada tempat yang cukup aman untuk mojok. Letaknya agak ke dalam, jauh dari lalu lalang mahasiswa. Tempat tersebut ada di balkon lantai dua, di gedung fakultas bahasa. Fakultas bahasa mahasiswanya tak begitu banyak. Sehingga jadwal perkuliahan mereka pun sepi. Entah kenapa fakultas bahasa tidak terlalu favorit di kampus ini.

Jannah dan Thalib tampak sedang duduk-duduk di sana dengan posisi Jannah duduk di pangkuan Thalib. Thalib menciumi leher Jannah sambil kedua tangannya sibuk masuk ke dalam baju Jannah dan meremas kedua toketnya. Hal yang terlihat tidak lazim, tapi mereka sudah lakukan.

“Mas, kalau lulus nanti mau nikahin aku?” tanya Jannah.

“Iya, kan mas sudah janji,” ucap Thalib.

“Beneran lho ya, nggak bohong,” kata Jannah.

“Iya,” ucap Thalib, “aku janji akan menikahimu. Dan tolong, jaga ini buat aku ya.” Thalib mengusap selakangan Jannah.

“Iya, aku janji,” kata Jannah.

Keduanya lalu berciuman. Jannah sudah bertekad untuk tidak melepas segelnya kecuali kepada Thalib. Mereka berdua juga sudah berjanji untuk segera menikah setelah Thalib lulus nanti. Dan kegiatan mereka kalau lagi senggang adalah petting. Mereka selalu mencari cara untuk ketemuan dan melakukan petting. Tidak sampai penetrasi.

Jannah menggelinjang setiap kali jemari Thalib menggelitik klitorisnya. Setiap hari pasti celana dalamnya basah oleh lendir hasil kelakuan Thalib. Jannah pun merintih-rintih saat Thalib sudah nggak sabar lagi untuk segera melihat isi dalemannya. Mahasiswa semester akhir itu pun kini berlutut di lantai dengan kepalanya mengobok-obok selakangan gadis itu.

Sudah barang tentu jannah tak kuasa menahan gejolak orgasmenya yang nyaris sampai. Thalib juga mengetahui hal tersebut. Dia makin bersemangat menghisap klitoris Jannah hingga Jannah menutup mulutnya agar suaranya tertahan. Kedua pahanya pun terangkat dan dari vaginanya keluar semburan-semburan kecil yang mengakibatkan gamis yang dipakainya basah.

“Mas, basah ini gamisnya adek,” ucap Jannah sambil mengatur napasnya.

“Nggak apa-apa, nggak bakal kelihatan juga kok,” ucap Thalib. Kini dia berdiri sambil membuka resleting celananya, lalu mengeluarkan isinya.

Jannah yang sudah mengerti keinginan Thalib kemudian menggenggam batang tersebut. Dia ciumi dengan gemas kepala kontol itu. Setelah itu dia masukkan ke dalam mulutnya. Jannah rela melakuan blowjob kepada Thalib karena rasa cintanya. Kedua insan yang saling mencintai ini memang sudah tak kuasa menahan birahi, meskipun begitu mereka punya komitmen untuk melakukan hubungan sex pertama kali nanti setelah menikah.

Jadi Thalib cukup puas dengan disepong oleh Jannah. Terlebih selama ini spermanya tak pernah dibuang oleh Jannah, selalu ditelan. Thalib meringis keenakan saat lidah Jannah menggelitik kepala kontolnya. Jannah sangat pintar mengulek benda berotot tersebut, hingga memang tak perlu waktu lama, karena mereka juga harus cepat-cepat pergi, Thalib mendorong-dorong pinggulnya dan mengocok kontol di dalam mulut Jannah.

Pancutan demi pancutan air mani menembak kerongkongan Jannah. Mulutnya penuh dengan cairan sperma Thalib. Perlahan-lahan Jannah menelannya dan tidak jijik. Ia seperti ketagihan dengan sperma pacarnya ini. Setelah maninya habis, Jannah masih sempat-sempatnya menyedot-nyedot kecil lubang kencing Thalib yang membuat pemuda ini ngilu-ngilu sedap.

Jannah lalu membetulkan jilbab dan pakaiannya. Dia mengantongi celana dalamnya yang sudah terlepas setelah mengelap memeknya yang basah. Alhasil dia tak memakai celana dalam saat itu. Thalib benar-benar puas, terlebih lagi mengetahui sekarang Jannah tidak memakai celana dalam di balik gamis lebarnya.

“Ya sudah, Mas duluan ya. Biar nggak ada yang curiga,” ucap Thalib.

“Iya. Adek nanti nyusul,” ucap Jannah.

Thalib membetulkan pakaiannya lalu pergi, sedangkan Jannah menunggu beberapa menit, setelah itu menyusul Thalib. Saat menuruni tangga tiba-tiba dia berpapasan dengan Arief. Kaget sekali Jannah waktu itu.

“Eh, maaf,” ucap Arief, “kaget saya tiba-tiba ada orang.”

“Masnya sedang mencari sesuatu?” tanya Jannah.

“Kebetulan tadi sedang ada acara di aula, trus nyari toilet katanya dekat sini. Tapi bingung bangunannya gede,” jawab Arief.

“Oh, kalau toilet ada di belakang gedung mas. Tinggal lurus aja dari lorong ini ke sana,” ucap Jannah sambil menunjuk.

“Oh. Makasih,” kata Arief, dia segera bergegas pergi.

Jantung Jannah nyaris copot. Apa pemuda itu tahu kalau tadi Thalib barusan turun tangga. Semoga saja tidak ada pikiran aneh-aneh di otak Arief. Inilah awal perjumpaan Arief dan Jannah yang akan mengantarkan mereka ke perjumpaan-perjumpaan berikutnya.

======================bersambung===========================​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd