Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Rief sehat Rief?

Jangan lama - lama update... Fans udah pada nunggu nih...
 
penulisnya kaku ber karakter... seperti tokoh utama ....
hehehe

ditunggu updatenya suhu
 
BAGIAN 6

Beberapa bulan yang lalu...


Mobil pickup yang ditumpangi oleh Arief dan ayahnya berguncang-guncang saat melewati jalanan yang tidak mulus bergelombang. Entah sudah berapa kali protes dilayangkan ke pejabat dan dinas terkait, tapi tetap saja jalanan di pedesaan ini tidak pernah baik. Setiap tahun dibiarkan rusak dan hanya ditumpuk dengan koral serta bebatuan kali. Siapapun yang melintas di atasnya pasti berguncang hebat.

Walaupun sudah tua, ternyata Suroso masih bisa mengemudikan mobil pickupnya. Tampak Khalil sedang tertidur dipangkuan Arief. Mereka menuju ke sebuah tempat yang agaknya makin lama makin jauh dari peradaban. Mobil akhirnya berhenti ketika melewati tempat dengan pasir berwarna putih. Ternyata, mereka telah sampai di daerah pesisir. Suroso memberi isyarat agar segera turun. Arief pun turun sambil menggendong Khalil.

"Bapak belum cerita ke kamu. Mungkin kamu juga bingung, kenapa nama bapak ada titel bangsawan Rah di depannya. Tidak lain dan tidak bukan memang bapak keturunan salah satu bangsawan, tapi setelah terjadi sesuatu, bapak pergi. Meninggalkan jati diri bapak yang sebenarnya, terlebih lagi bapak memang orangnya ndugal, bobrok. Semua yang kamu tahu tentang bapak selama ini, bapak tak bisa menutupi," ujar Suroso, "kamu akan menemui salah satu kerabat jauh. Cuma dia yang bisa membantumu untuk menghancurkan hidup seseorang."

"Siapa dia?" tanya Arief.

"Namanya Raden Panji," jawab Suroso, "sudah puluhan tahun bapak tidak pernah bertemu dengannya."

Tanpa banyak bicara, keduanya berjalan menyusuri jalanan yang telah diberi paving tersebut. Paving itu mengarahkan mereka ke sebuah perkampungan kecil dan terlihat ada satu-satunya rumah besar yang paling mencolok di sana. Mereka pun akhirnya berdiri di depan gerbang rumah. Gerbang tersebut memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu jati, dengan pegangan terbuat dari kuningan berbentuk singa. Suroso mengetuk pintu gerbang.

Suara ketukan itu tentu saja keras. Orang yang ada di dalam rumah juga pasti mendengarnya. Tak butuh waktu lama bagi kedua orang itu menunggu hingga pintu pun terbuka. Terlihat wajah seorang lelaki dengan jambang dan jenggot lebat serta memakai blankon muncul di pintu.

"Suroso!?" sapa orang itu dengan suara berat.

"Panji!" sapa Suroso balik.

Tiba-tiba sebuah tendangan diarahkan ke Suroso, tapi jangan salah, meskipun usia Suroso sudah tidak lagi muda, dia dengan mudah menangkis tendangan itu. Terdengar suara hantaman yang cukup keras sehingga membuat Khalil terbangun dari gendongan Arief.

"Kau mau kita berkelahi di hadapan anak kecil?" tanya Suroso.

Raden Panji menoleh ke arah Khalil yang terbangun sambil mengucek-ngucek mata. Mata Panji tampak berbinar-binar, seakan-akan melihat boneka yang lucu. "Siapa ini?"

"Anak dan cucuku," jawab Suroso.

"Ayah, ini siapa?" tanya Khalil.

Wajah Raden Panji yang tadinya menyeramkan sekarang berubah. "Ini Mbah Kakung, nak. Mbah Kakung."

Khalil kebingungan. "Aku punya dua kakek?"

"Iya, punya dua kakek. Hehehe.... ayo mau main ke dalam? Mbah punya banyak mainan!" ajak Raden Panji sambil mengulurkan tangannya. Khalil tampak menolak. Tentu saja dengan orang asing yang baru saja dilihatnya dia akan merasa tidak nyaman.

"Khalil tidak mengapa, dia kakekmu juga," ucap Suroso.

Khalil ragu-ragu, tapi kemudian membiarkan dirinya digendong oleh Raden Panji. Seperti seorang kakek yang mendapatkan kunjungan dari cucunya, mereka pun masuk ke dalam rumah. Arief benar-benar takjub dengan halaman rumah Raden Panji. Sangat asri dengan berbagai tanaman, pepohonan yang terawat, kolam ikan serta ada kandang ayam. Di samping rumah juga terlihat ada kolam renang. Di bawah pohon mangga besar juga terdapat ayunan. Rumah sebesar ini tentunya menjadi idaman untuk ditempati di hari tua.

Seorang tukang kebun tampak sedang memotongi rumput dan membersihkan dedaunan yang berserakan. Arief memperhatikan beberapa sangkar burung yang dijemur dan dikerek ke tiang. Rupanya Raden Panji juga suka memelihara burung. Orang ini cukup misterius, selama ini dia tidak tahu kalau punya hubungan darah dengan orang seperti Raden Panji.

"Bapak tidak pernah cerita kepadaku kalau aku punya keluarga seperti dia," bisik Arief.

"Ceritanya panjang. Kau bisa tanyakan langsung kepadanya," ucap Suroso.

Khalil diajak main Raden Panji ke kandang ayam. Dalam sekejap anak itu sudah sibuk mengejar ayam. Terdengar suara jeritan dan kegembiraan dari seorang anak kecil. Wajah Raden Panji juga tampak senang melihat Khalil yang gembira.

"Apa mengajak anak dan cucumu itu sebagai tanda permintaan maaf? Kalau iya, kau berhasil," kata Raden Panji.

"Jujur aku tidak pernah punya niat untuk meminta maaf," ucap Suroso.

Raden Panji menoleh ke Suroso dengan tatapan tajam. Dia cukup murka. "Lalu, apa maksudmu pergi ke rumahku? Kau sudah mengotori kehormatan keluarga, lalu kemari buat apa? Mau menginjak-injak kehormatan kita lagi?"

"Aku tidak punya maksud untuk itu. Kau lihat sendiri, kita sudah tua. Umur kita juga tidak akan panjang. Sudahilah semua ini, yang berlalu biarlah berlalu. Lagipula, aku pergi dari rumah adalah keinginanku yang ingin hidup bebas, bukan hidup dalam kekangan," ujar Suroso.

"Cuih, prinsipmu itu masih saja tidak aku terima. Kalau saja di dalam darahmu tidak mengalir darah ningrat, aku sudah tebas lehermu," kata Raden Panji, "lalu apa tujuanmu kemari?"

"Arief, bicaralah!" kata Suroso.

Arief menelan ludah. Dia menarik napas sejenak, berusaha menempatkan posisinya dengan benar. Jadi, orang yang ada di hadapannya ini boleh dibilang saudara ayahnya. Lalu, sekuat apa power orang ini sampai ayahnya meminta bantuan kepadanya?

"Aku ingin menghancurkan hidup seseorang," jawab Arief.

Raden Panji melotot. Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang meledak membuat Khalil terkejut. Namun, karena ada ayam yang melintas di depannya, Khalil tidak menghiraukannya lagi.

"Menghancurkan hidup seseorang? Aku tidak salah dengar?" tanya Raden Panji dan lagi-lagi tertawa. "Kau bisa meminta bantuan ke bapakmu itu. Dia preman asli, bukan aku."

"Istriku berselingkuh dengan dia. Dia telah merebut istriku," kata Arief.

Lagi-lagi Raden Panji tertawa. "Istrimu selingkuh? Heh, bocah ******! Dengar ya. Istri selingkuh itu, karena dua hal. Pertama, kamu miskin. Kedua, kamu kurang hebat di ranjang. Melihatmu dekil seperti ini pasti karena kamu miskin! HAHAHAHAHAHAHA"

"Itu tidak salah, juga tidak benar. Aku masih bisa menghidupi anak dan istriku, tapi dia mengkhianatiku dengan kembali ke cinta pertamanya," jawab Arief.

"Woo, ya awakmu kuwi sing kurang sip pas kenthu. Memangnya berapa kali kamu kentu karo bojomu seminggu?" tanya Raden Panji.

"Tidak pasti, kadang tiga kali seminggu," jawab Arief.

"******! Ya gara-gara itu istrimu kabur, kepincut ama orang lain. Orang lain bisa ngenthu bojomu tiap hari, kamu cuma tiga kali seminggu. Makanya kabur, HAHAHAHAHA!" ledek Raden Panji.

Arief menghela napas. Rasanya percuma meladeni omongannya. Tapi memang benar, kata-kata Raden Panji tidak salah. Mungkin juga dia kurang memberikan nafkah batin kepada istrinya. Maka dari itulah Jannah pergi.

Raden Panji menghentikan tawanya. Dia sekarang berkacak pinggang, seolah-olah seperti raja yang memiliki segalanya.

"Kau sudah ceraikan istrimu?" tanya Panji.

Arief menjawab, "Iya."

"Bagus. Kadang memang seorang suami punya problematika yang tidak bisa dia bicarakan kepada istrinya. Sedangkan seorang istri harus melayani suami dalam masa-masa sulit. Aku yakin, kamu tidak banyak menggauli istrimu, karena berbagai persoalan. Jangan takut, aku pernah ada di posisimu. Istriku pernah selingkuh dengan salah satu pelayanku, karena aku terlalu sibuk dan tidak peduli kepadanya. Aku memergoki mereka dan aku beri istriku pilihan untuk pergi dari hadapanku selamanya atau kembali kepadaku. Tentu saja istriku malu dan lebih memilih untuk pergi. Dia pergi, tapi kemudian dibunuh oleh pasangan selingkuhannya. Si pelayan itu menyalahkan semuanya kepada istriku, karena aku mengusir dia dan menghancurkan kehidupannya. Pelayan itu sudah mati, kubuang mayatnya di tengah laut," tutur Raden Panji.

Arief menelan ludah. Ternyata benar, orang ini bukan orang sembarangan.

"Kalau kau ingin menghancurkan kehidupan seseorang, itu pasti bukan istrimu, tapi lelakinya bukan?" tebak Raden Panji.

"Benar," jawab Arief.

"Kau sudah benar menceraikan istrimu. Keluarga kita tidak boleh dikotori oleh para pengkhianat. Dan mungkin memang sudah menjadi sifat yang mengalir dalam darah keluarga ini, kita tidak akan membiarkan orang-orang yang mengusik keluarga ini hidup tenang. Pasti orang yang ingin kau hancurkan hidupnya ini orang yang berpengaruh," tebak Raden Panji lagi.

"Benar, dia seorang ustadz dan orang-orang di sekelilingnya cukup berpengaruh," kata Arief.

"Jadi begitu. Aku mengerti sekarang. Siapa saja mereka? Orang-orang yang ada di sekitar orang ini," tanya Raden Panji.

"Ada banyak, dari pejabat DPR sampai walikota," jawab Arief, "dia sendiri anak dari salah satu ulama di Jawa Timur."

Raden Panji mengangguk-angguk. Dia akhirnya mengerti kenapa Suroso datang ke tempatnya. "Pantas, pantas kau datang kemari Suroso. Ternyata lawanmu berat."

"Apa Pak De bisa membantuku?" tanya Arief.

Raden Panji mengelus-elus jenggotnya. Dia berpikir sejenak. "Aku bisa membantumu, tapi syaratnya cuma satu. Beri aku satu wanita yang bisa menemaniku di sini."

Arief mengernyit, "Maksud Pak Dhe?"

"Aku juga seorang laki-laki, butuh pelampiasan. Semenjak istriku pergi aku tidak pernah lagi merasakan tubuh wanita. Berikan aku satu atau dua terserah, yang penting mereka bisa aku garap," kata Raden Panji sambil tertawa jahat.

"Maksud Pak Dhe, aku sewa pelacur?" tanya Arief.

"G-O-BLOK! Tentu saja bukan. Pelacur bakalan banyak penyakit yang dibawa. Aku bener-bener kepingin punya keturunan," jawab Raden Panji.

"Mau dijadikan istri?"

"Apa aku minta seorang istri? Tidak, aku cuma kepingin perempuan yang bisa aku kentu tiap hari," jawab Raden Panji. "Di tempat ini sepi, kalau malam dingin. Kau tahu kebutuhan utama laki-laki apa bukan?"

Arief mengangguk. "Inggih, Pak Dhe. Saya tahu."

"Ya sudah. Syaratnya cuma itu. Kau bisa berikan setelah selesai aku bantu. Kalau kau tidak persiapkan, kamu yang akan aku hancurkan," kata Raden Panji.

Arief menelan ludah. Ini permintaan yang tidak biasa. Namun, Arief berjanji, "Pasti akan aku usahakan"

"Janjimu aku pegang anak muda!"

* * *

Masa sekarang....

Burung-burung berkicauan membuat suasana asri di Desa Karang Wolu. Desa ini masih asri dengan pemandangan sawah yang menghijau. Dersik membuat dedaunan berdesakan, menimbulkan suara nyanyian alam yang indah. Langit biru dengan beberapa kelompok awan bergerak tertiup angin. Seorang pemuda tampak melintasi jalanan pedesaan dengan sepeda motornya, hingga dia berhenti di sebuah rumah yang mana halaman rumahnya tampak penuh dengan bijih jagung yang dijemur.

Pemuda ini tak lain adalah Arief. Dia memberiksa ponselnya untuk mencocokkan posisi letak GPS yang ada di peta. Ternyata tujuannya sudah benar. Dia kembali menarik gas sepeda motornya, lalu masuk ke halaman rumah yang memang tak berpagar.

Seorang perempuan tertutup hijab berwarna coklat melongok dari dalam rumah. Wajahnya tentu tidak asing bagi Arief, dia adalah Azizah.

"Pak Arief?" seru Azizah.

Arief hanya melambaikan tangannya. Dia segera melepas helmnya, llau turun dari motor.

"Masuk, Pak!" seru Azizah.

Azizah tampak gembira dengan kedatangan Arief. Bagaimana tidak? Orang yang dulu menyelamatkan hidupnya sekarang telah berkunjung ke rumahnya. Ibarat rumahnya sekarang dikunjungi seorang malaikat. Arief lalu masuk ke dalam rumah dan disambut oleh beberapa orang anggota keluarga.

"Bapak, ibu, kenalkan ini Pak Arief. Orang yang menolong Azizah," ucap Azizah memperkenalkan Arief kepada anggota keluarganya.

Tiba-tiba kedua orang tua Azizah langsung menyerbu Arief dan memeluknya. Mereka berkali-kali mengucapkan syukur dan berterima kasih.

"Kalau bukan karena kamu entah jadi apa anak saya, Pak," kata ibunya Azizah.

Cukup mengharukan. Arief berusaha menenangkan kedua orang tua Azizah, mereka tampak benar-benar merasa berterima kasih kepada Arief. Hari itu juga Arief disuguhi berbagai macam makanan yang terenak yang bisa mereka buat. Kedua orang tua Azizah orangnya sangat baik dan sudah paham apa yang terjadi dengan Azizah, sebagai pengidap HIV/AIDS akibat tertular dari Suyoto. Akibatnya Azizah harus mengkonsumsi dengan rutin obat ARV untuk menghambat virus itu berkembang biak. Azizah bisa hidup dengan normal dan seperti orang sehat pada umumnya. Rahasia tentang penyakit ini hanya kedua orang tuanya dan Arief saja yang mengetahui.

Di dinding rumah tampak foto mendiang suami Azizah. Dia tampak sangat mencintai suaminya, sayang kejadianya terlalu cepat. Padahal keduanya juga masih pengantin baru.

Arief hanya bisa berterima kasih setelah menghabiskan hidangan yang telah disuguhkan. Dia pun terlibat perbincangan dengan Azizah.

"Tumben sekali Pak Arief datang," kata Azizah.

"Yah, mau gimana lagi. Memang ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan," kata Arief.

"Hmm, apa itu?"

"Sebaiknya kita cari tempat yang bisa bicara empat mata," kata Arief.

Azizah pun mengerti. "Kita ke sawah saja kalau gitu."

"Ide bagus," kata Azizah, "Bu, Pak, badhe dateng sawah rumiyin kalih Pak Arief."

Setelah minta izin kepada kedua orang tuanya, Azizah dan Arief pun keluar rumah. Mereka berjalan menyusuri jalanan setapak pedesaan. Keduanya terkadang berpapasan dengan orang-orang, terlihat dari kejauhan beberapa anak kecil sedang bermain layang-layang dan kejar-kejaran. Ada pula mereka bermain di kali.

Azizah menuntun Arief untuk melewati pematang sawah. Arief berjalan di atas pematang sawah sambil berhati-hati melihat pijakannya. Walaupun sebenarnya dia tak keberatan untuk kotor-kotoran kena lumpur. Azizah pun akhirnya duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Gubuknya sepi tidak ada orang dan jauh dari keramaian. Dari gubuk ini Arief bisa melihat jalan setapak yang tadi dia lewati. Orang-orang juga bisa melihat mereka, tapi tak akan bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Padi dan tanaman-tanaman lainnya akan menyerap suara mereka, sudah seperti alat kedap suara alami.

"Memangnya Pak Arief ingin bicara apa?" tanya Azizah.

"Aku ingin kamu membantuku," jawab Arief.

"Oh, tentu saja Pak dengan senang hati," kata Azizah, "memangnya ada yang bisa saya bantu?"

"Jadi, aku sudah bercerai dengan istriku," kata Arief.

"Hah? Kok bisa? Apakah itu gara-gara aku, Pak?"

Arief menggeleng. "Bukan, bukan karena kamu, tapi memang istriku selingkuh."

Azizah menghela napas. Dia sepertinya mengerti kesedihan Arief, "Saya turut prihatin ya, Pak. Bapak orangnya baik, tapi malah dapat musibah."

"Tak usah dipikirkan. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, apa kamu bisa membantuku? Tapi, begini. Hal ini agak sulit, bagimu juga bagiku. Jujur ini permintaan tersulitku," kata Arief.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak telah membantu saya selama ini, apapun akan saya lakukan. Bapak mau apa? Ingin saya melayani bapak?"

"Bukan, aku tak mau itu," celetuk Arief.

Ada raut wajah kecewa di muka Azizah. Itu tak bisa ditutupi. Sebenarnya, sudah lama juga dia memendam rasa kepada Arief ini. Semenjak kepergian suaminya, otomatis lelaki yang ada di hadapannya inilah yang selalu merawatnya dan menjenguknya. Dia bahkan berbuat banyak kebaikan sampai memberinya ongkos pulang ke kampug.

Mungkin juga sebagai seorang wanita pengidap HIV dia sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa merasakan cinta dari seseorang laki-laki. Azizah masih ingat bagaimana perlakuan suaminya yang selalu bergairah melihat tubuhnya. Dia juga ingin Arief bisa merasakan apa yang dirasakan oleh suaminya. Namun, dalam hati juga Azizah tahu Arief pasti tidak akan mau menyentuh dirinya yang mana pengidap HIV.

"Aku ingin menghancurkan hidup seseorang," kata Arief.

"Siapa? Mbak Jannah?" tanya Azizah.

"Keduanya," jawab Arief.

"Lalu ada hubungan apa dengan saya, Pak?"

"Aku ingin kamu menggoda laki-laki yang telah merebut istriku," jawab Arief.

Azizah berpikir sejenak. "B-bagaimana caranya? T-tapi ... bapak yakin saya bisa?"

"Aku tanya dulu ke dirimu, keberatan atau tidak?"

"Jujur, aneh. Tapi saya akan bisa mengusahakannya."

"Tapi ini bukan menggoda biasa. Aku ingin kamu benar-benar sampai tidur dengan dia, tanpa pengaman dan bisa menularkan HIV kepadanya," ucap Arief.

Bagai disambar petir Azizah mendengar penjelasan Arief. Azizah menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dibicarakan oleh Arief. Laki-laki di hadapannya ini sedang dalam keadaan emosi yang memuncak. Dia bisa merasakan dari ucapannya. Seorang lelaki baik-baik bisa punya amarah dan dendam seperti ini.

"Kalau kau keberatan tak apa-apa. Aku akan cari orang lain. Aku mengutarakan ini, karena aku yakin kamu bisa menolongku," kata Arief.

Keduanya pun terdiam untuk beberapa lama. Hanya angin kencang saja yang menemani keduanya ditambah dengan suara burung emprit yang terbang kesana-kemari menyolong bijih padi. Azizah menghela napas lagi.

"Saya sanggup," ucap Azizah tiba-tiba.

Arief tidak salah dengar. "Kau apa?"

"Aku sanggup. Bapak sudah berkorban untuk saya, menolong saya dan keluarga saya. Saya akan lakukan apapun untuk bapak," kata Azizah.

Arief mengusap kepalanya sambil menggeleng-geleng. "Kamu tidak perlu memaksa. Kalau kau tak sanggup aku bisa mengerti."

"Beneran, aku sanggup. Aku akan menolong bapak menghancurkan lelaki itu. Siapa dia? Katakan saja. Aku akan goda dia, sampai dia bertekuk lutut di hadapanku," tantang Azizah.

Arief tersenyum. Dia menghargai semangat Azizah sekaligus kasihan. Sebenarnya pula dia tidak tega, tapi dia harus melakukan segala cara untuk bisa membalaskan dendamnya.

"Tapi kalau boleh, saya ingin satu hal saja dari bapak," ucap Azizah.

"Apa, katakan?"

Azizah tersenyum. "Sebenarnya, jujur saya kagum kepada Pak Arief. Bapak telah menolong saya dan keluarga saya. Tidak tahu seberapa banyak nanti rasa terima kasih yang bisa saya haturkan. Bahkan, mungkin kalau Pak Arief ingin menukar nyawa saya pun sanggup. Dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya menyukai Pak Arief."

Arief terkejut.

"Mungkin memang kata orang Jawa, witing trisno jalaran saka kulino. Itu yang terjadi kepada saya, Pak. Saya tak mampu untuk bisa menahan lagi perasaan ini. Bapak kan sudah bercerai, kenapa bapak tidak lupakan saja istri bapak? Move-on, lalu mencari pengganti. Lupakan balas dendam bapak. Saya bisa menjadi pengganti Mbak Jannah. Ah..., tapi saya tahu, cinta tak bisa dipaksa. Bapak masih mencintai Mbak Jannah kan dalam hati?"

Arief tidak bisa membantahnya. Perasaan cinta itu masih ada walau sedikit. Kalau misalnya sudah tidak cinta lagi, tak mungkin dia repot-repot ingin balas dendam.

"Perasaan balas dendam ini ada, karena bapak masih mencintainya. Bapak hanya ingin dia minta maaf bukan? Katakan kalau aku salah. Sebenarnya itu yang bapak inginkan selama ini, permintaan maaf darinya," kata Azizah.

Lagi-lagi Arief tidak membantah. Dia mengangguk, "Mungkin kau benar. Aku tak bisa melupakannya, masih ada sedikit rasa cinta di dalam dadaku. Maka dari itulah aku seperti dikhianati. Bagaimana tidak? Dia cinta pertamaku dan juga ibu dari anakku. Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja?"

Azizah mengangguk. "Berarti benar. Saya bersedia membantu bapak. Asalkan bapak mau membantu saya, satu hal saja."

"Katakan, apa yang bisa aku lakukan?" tanya Arief.

"Saya ingin tidur dengan bapak," jawab Azizah.

"Hah?"

* * *

===================
tubikonticrot
 
Terakhir diubah:
mohon mangap ya gaes,
saya masih sibuk. Untuk next update belum tahu kapan. Sedang ngurus banyak hal dari merawat ortu sampai pindahan kantor.

Real life yang utama brother... Semoga semua urusan bisa lancar ya...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd