Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bagian 3

Tempat pertemuan yang diberitahu Arief merupakan sebuah kafe yang terletak di salah satu mal. Kafe tersebut lumayan terkenal dengan berbagai menu beverages maupun cakenya. Berbagai macam kopi tersedia di tempat ini, mulai dari kopi tubruk hingga kopi dalgona yang fenomenal. Dari ala Espresso ataupun Americano, hingga latte. Cocok bagi mereka para coffee snob.

Pikiran Leli sudah bermacam-macam selama perjalanan. Yang dia inginkan hanya satu yaitu kebenaran akan info yang diberitahu oleh Arief. Jannah memang telah disebut oleh suaminya beberapa kali dan dia tahu kalau Jannah adalah cinta pertama suaminya, tetapi apakah benar suaminya selingkuh itu yang dia tidak ketahui.

Menemukan Arief tidaklah sulit, pria itu sedang duduk di balkon kafe sambil menerawang jauh. Dia juga tidak peduli lagi dengan minumannya yang sudah dingin. Leli dengan mudah menemukan pria itu dari penampilan seperti yang diceritakan oleh Arief.

Perlahan-lahan Leli memperhatikan dengan seksama bagaimana penampilan Arief. Pria ini mengenakan jaket track berwarna hitam, memakai celana jeans dan sepatu kets. Perawakannya yang santai, tapi tatapan wajahnya jelas bukan orang yang sedang terlihat santai. Entah apa yang sudah dia alami selama ini. Namun, satu hal yang Leli tak bisa sangkal wajah Arief cukup tampan dengan jambang dan janggut tipisnya bisa membuat hati perempuan manapun terpana untuk pertama kali.

Leli beristighfar. Bayangannya sudah kemana-mana, segera dia tepis itu.

"Mas Arief?" sapa Leli, walaupun sebenarnya dia sudah yakin itu Arief.

"Iya, saya," jawab Arief.

Leli mengambil tempat duduk di hadapannya. "Sudah lama? Maaf kalau lama."

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Arief.

"Saya Leli," kata Leli.

"Arief," kata Arief. Arief berusaha tersenyum.

"Jujur saya syok mendapatkan ini," kata Leli sambil memperlihatkan amplop coklat yang dibawanya.

"Mbak sudah lihat isinya?" tanya Arief.

Leli mengangguk. Dia mendesah. "Jujur saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Terlebih saya sudah menandatangani surat pernyataan kalau saya mengizinkan suami saya poligami. Dan itu istrinya Mas?"

"Saya sudah bercerai," kata Arief, "jadi itu mantan istri saya. "

"Kapan mas tahu kalau isri mas berselingkuh?" tanya Leli.

"Sudah lama," jawab Arief, "mbak tidak tahu sama sekali kalau suami mbak berselingkuh?"

Leli menggeleng. "Saya tidak percaya dengan ini semua. Rasanya mustahil sekali, dia seorang ustadz dan kirim gambar-gambar porno ke perempuan lain apalagi bukan istrinya. Sampai saling kirim gambar telanjang. Dan astaghfirullah, video itu..."

"Ini semua sebenarnya bukti yang saya berikan ke pengadilan dan saya sudah berjanji kepada pengadilan untuk tidak membeberkan bukti ini ke siapapun. Tapi saya langgar janji itu dan memberikannya kepada mbak Leli."

Leli mengernyit. "Lalu, apa faedahnya kau berikan ini kepada saya?"

"Sebelumnya saya ingin minta maaf. Saya sangat dendam kepada istri saya, karena dia mengkhianati saya. Saya berikan ini kepada Mbak Leli agar mbak Leli tahu, kalau saya orangnya sangat serius dalam mengerjakan sesuatu. Masalahnya adalah, apa yang akan saya sampaikan ini mungkin akan tidak nyaman untuk didengar, bahkan mungkin Mbak sendiri tidak akan sanggup untuk mendengarnya. Adapun saya memberitahu kepada Mbak adalah agar saya bisa melakukannya tanpa penuh keraguan," ujar Arief.

"Maksudnya?"

"Dengan izin Mbak atau tidak, saya akan menghancurkan hidup suami Mbak. Dan tentu saja mantan istri saya, jadi saya ingin Mbak yang tidak terlibat dalam urusan ini bisa menjauh atau setidaknya tidak turut campur dengan apa yang akan saya lakukan ke depan," kata Arief.

Leli terkejut. Dia tak menduga Arief akan seserius ini. Memang Arief sakit hati, tapi tentu saja tak akan menduga Arief akan bertindak sejauh ini. Kalau memang ingin mencelakai suaminya, pastilah Arief sudah punya rencana.

"Kamu mau mencelakai suami saya?" tanya Leli.

"Saya bukan tukang pukul dan juga bukan preman. Menyakiti orang lain secara fisik bukan style saya," jawab Arief.

"Lalu?"

Arief tersenyum sejenak. "Itu rahasia."

"Mas, jangan sampai mas melukai atau menyakiti suami saya. Seburuk-buruknya Mas Thalib, dia masih suami saya, masih bapak dari anak saya," kata Leli, "mas tahu bukan akibatnya kalau sampai bertindak jauh? Mas bisa dimasukkan ke penjara."

"Dengan bukti-bukti yang ada di tangan Mbak masih kurang? Mbak sudah memegang bukti-bukti otentik tentang perselingkuhan suami mbak dan masih tidak percaya?"

"Siapa tahu juga ini rekayasamu. Di dalam Islam menuduh orang berzina itu harus mendatangkan empat saksi, bukti-bukti ini tidak cukup!" ucapnya.

"Jadi mbaknya mau lihat langsung?" tanya Arief.

Leli terkejut. "Melihat langsung?"

"Saya sudah tahu kebiasaan suami mbak dan mantan istri saya. Seharusnya hari ini suami mbak sedang mengisi pengajian bukan?" tanya Arief sambil tersenyum.

"Iya," jawab Leli.

"Ikut saya!" kata Arief sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Kemana? Kau mau menjebakku?"

"Terserah mbak mau percaya atau tidak. Kalau mau, mbak bisa ikut saya dari belakang, pesen saja taksi online," kata Arief.

"Mas naik apa?" tanya Leli.

"Sepeda motor," jawab Arief.

Leli sedikit kebingungan, tentu saja buat dirinya yang selalu menjaga diri dari lelaki lain tidak mungkin harus berboncengan dengan Arief. Dia pun akhirnya memilih untuk naik taksi online saja. Mereka pun kemudian berangkat. Tujuan mereka adalah menuju ke sebuah tempat yang agak jauh dari kota. Lebih ke pinggiran kota, ke tempat yang jauh dari keramaian.

Selama perjalanan Leli terus berpikir tentang Arief. Memang bisa jadi apa yang dikatakan Arief tentang suaminya benar. Wajah lelaki itu sepertinya tidak menunjukkan kalau dia berbohong. Pasti amarahnya sedang memuncak sekarang, sehingga dia berani bilang akan membalas apa yang telah diperbuat oleh ustadz Thalib dan juga Jannah. Leli bimbang untuk harus mempercayai siapa. Taruhlah memang suaminya berzina, bukankah suaminya bisa bertaubat kalau Leli mengizinknnya poligami? Semudah itu bukan?

Namun, jujur hatinya tidak akan mampu menahan diri dari letupan amarah. Bukankah pernikahan itu menjadikan hati tentram. Kalau pernikahan membuat hati tidak tentram lalu apa gunanya semua ini? Apa gunanya kemesraan, cinta dan seluruh pelayanan yang telah diberikan Leli kepada Thalib?

Arief berhenti dan memarkirkan motornya di halaman mushala. Leli pun mengikutinya. Setelah membayar ongkos taksi yang ditumpanginya Leli menghampiri Arief.

"Dimana?" tanya Leli tanpa basa-basi.

"Mbak lihat kampung ini. Sepi kan? Tempat yang sangat cocok untuk berselingkuh," jawab Arief, "ikut saya!"

Arief berjalan lebih dulu, sementara Leli berjalan di belakangnya. Tempat yang mereka kunjungi seperti tidak asing bagi Leli. Perasaannya pun tidak enak.

"Aku rasa aku tahu tempat ini," ucap Leli.

Dan akhirnya Arief berhenti di sebuah rumah. Lingkungan sekitar tempat tersebut cukup sepi. Orang-orang tampaknya punya kesibukan masing-masing sehingga ketika dua orang asing berada di lingkungan itu pun tidak dihiraukan. Leli menutup mulutnya saat tahu rumah yang Arief tunjukkan. Itu rumahnya. Di halaman rumah tersebut ada mobil yang sangat dikenali oleh Leli. Mobil MPV silver tersebut tentu saja milik suaminya. Seharusnya jam segini suaminya mengisi pengajian, tetapi nyatanya mobil tersebut ada di sini. Awalnya Leli ragu kalau itu mobil suaminya, ternyata dia makin yakin setelah melihat plat nomornya. Itu memang mobil suaminya.

Sekali lagi Arief memberi aba-aba untuk mengikutinya masuk. Tentu saja Leli tidak ragu untuk masuk ke halaman rumah itu. Ini adalah rumah orang tuanya. Rumah yang dia tempati saat kecil sebelum kedua orang tuanya pergi. Arief memberi isyarat agar tidak bersuara dengan menempelkan jari telunjuk di bibir. Mereka lalu pergi ke samping rumah.

Daun jendela kamar tampak terbuka, sehingga Arief menunduk dan merendahkan badan sambil berjongkok di bawah jendela kamar tersebut. Mata Leli tampak berkaca-kaca saat mendengar sesuatu.

"Ohh... Mas... ahhh... ehmmm... Mas Thalib... sodok mas.... sodok yang kenceng!" terdengar suara perempuan.

"Oh, Jannah. Sebentar lagi kamu aku nikahi... Ahh... memekmu jepit.... uffhhh... aku ingin mengahmilimu....aahhh...memek enaak!" terdengar suara Thalib.

Leli penasaran lalu mencoba untuk mengintip dari jendela berteralis tersebut. Kamar itu adalah kamarnya. Kamar yang dipakai Leli sejak kecil, kini ternodai oleh perzinaan suaminya dengan wanita lain.

Nyaris saja Leli menjerit, tetapi telapak tangan Arief langsung menutup mulutnya agar tidak bersuara. Dengan kedua matanya, Leli melihat suaminya tanpa busana menindih tubuh perempuan lain. Dia sudah berada di puncak amarah, saking marahnya dia meronta agar Arief melepaskannya. Ingin saat itu juga Leli mendobrak pintu, masuk ke kamar dan memarahi suaminya. Namun, Arief menahannya. Segera Arief menyeret Leli agar suaranya tak heboh dan menyadarkan kedua orang yang sedang bersetubuh itu.

Arief terus menutup mulut Leli hingga menjauh, sampai kira-kira suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Thalib dan Jannah.

"Lepaskan aku! Aku ingin melabrak mereka! Lepaskan!" kata Leli.

Arief terus menyeret Leli menjauh dari rumah tersebut. Mereka pun akhirnya kembali ke mushalla. Keduanya pun duduk di teras dengan Leli menangis tersedu-sedu.

"Kau sudah lihat bukan sekarang? Aku tidak berbohong," kata Arief.

Leli mendongak menatap Arief. Leli mengusap air matanya, saat itu perasaannya benar-benar hancur. Sebenarnya aktivitas persenggamaan itu telah dilihat berkali-kali oleh Arief. Dia sama sekali tidak terangsang, bahkan sangat membencinya. Hatinya sudah remuk redam, tetapi Arief tahu cara menahan emosinya. Dia akan meluapkannya suatu saat nanti pada saat yang tepat.

"Aku sudah berkali-kali melihat adegan itu, aktivitas mesum mereka ini bukan yang pertama. Di video yang aku berikan itu juga kamu pasti telah melihatnya," ucap Arief.

"Aku tak percaya. Mereka memakai rumah peninggalan orang tuaku sebagai tempat untuk berzina," kata Leli.

"Sesungguhnya, rumah itu sudah ditempati oleh Jannah semenjak dia pergi dariku. Thalib yang memberikan tempat tinggal tersebut. Aku tak tahu kalau itu adalah rumah peninggalan orang tuamu," ucap Arief.

Leli mendesah. Di dalam benaknya sekarang berkecamuk banyak pikiran. Orang waras pasti juga tidak akan tinggal diam melihat suaminya berzina di hadapannya. Leli pun tidak punya rasa terangsang sama sekali, bahkan jijik. Sebagaimana dia jijik melihat kotoran hewan tersaji di meja makan lengkap dengan nasi dan sayuran, ambillah kotoran hewan itu sebagai lauk yang siap untuk disantap. Tentunya tidak ada yang mau untuk menyentuhnya.

Tiba-tiba Leli pun muntah. Untungnya, dengan siap Leli muntah di tanah agar tidak mengotori teras mushalla. Bayangan persetubuhan suaminya dengan wanita lain kembali memenuhi otaknya. Agaknya hal itu tak bisa dia singkirkan, bahkan makin menjadi-jadi. Otak perempuan akan selalu teringat dengan hal-hal buruk, terlebih hal-hal yang tidak bisa dimaafkan.

"Antar aku pulang!" pinta Leli.

"Aku akan bantu panggilan taksi online," ucap Arief.

"Mas bonceng saja," ucap Leli.

"Tapi kita bukan mahram," kata Arief.

"Tolong...," pinta Leli dengan memelas.

Akhirnya mau tak mau dan karena terpaksa, Arief pun membonceng Leli. Selama perjalanan, Leli terasa lemas. Dia pun menyandarkan kepalanya di punggung lelaki yang mantan istrinya menjadi selingkuhan suaminya ini. Rasanya punggung Arief tegap, berbeda dengan suaminya. Selama perjalanan pulang juga Leli tidak berbicara sepatah kata pun.

Sesampainya di depan rumah, Leli turun dari motor. Pandangannya masih menerawang. Dia benar-benar syok. "Makasih," ucap Leli lesu.

"Seperti yang aku katakan tadi. Pergilah, menjauh. Aku tak ingin kamu mendapatkan imbas dari usahaku untuk membalas perbuatan mereka. Saya tahu Mbak Leli orang yang baik, apalagi juga punya anak," kata Arief.

Leli masih menatap kosong. "Menurutmu, apakah aku jelek sampai suamiku berselingkuh?"

"Mbak masih cantik kok. Mbak pasti akan mudah dapat pengganti suami mbak. Orang seperti suami mbak jangan diberi hati. Dia akan menghancurkan hidup mbak sedikit demi sedikit."

Leli mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan? Aku susah untuk bercerai dengan suamiku, sebab aku sudah punya anak dan aku hidup sendiri. Aku tidak punya teman, tidak punya keluarga yang bisa menampungku. Maka dari itu untuk bisa pergi dari sini, sangat berat."

Arief mendesah. Dia tak menyangka keadaan Leli seperti itu. "Baiklah, masuklah ke dalam. Saya akan menghubungi Mbak lagi. Tapi ingat! jangan ceritakan tentang apa yang Mbak lihat hari ini ke siapapun. "

Leli menangguk lemah. "Aku pasrah, aku tak bisa melawan. Ini sudah takdir."

"Siapa bilang kau harus pasrah dan tidak bisa melawan?" tanya Arief, "saya ingin memberitahu kepada Mbak, bahwa hidup mbak belum berakhir. Mbak ingin membalas suami mbak? Maka kerjasamalah denganku. Aku sebenarnya tidak ingin melibatkan mbak Leli ke dalam hal ini, tetapi kalau Mbak mau bekerja sama denganku membalas apa yang telah mereka lakukan, maka aku akan sangat terbantu."

Leli mengangguk lagi. Setelah itu dia berbalik badan untuk kembali masuk ke rumah. Tak berapa lama kemudian Arief pun pergi. Mereka saling berpisah tanpa mengucapkan salam perpisahan sama sekali. Leli terguncang jiwanya, sedangkan Arief telah memikirkan rencan-rencana panjang.

* * *​

Paginya Arief dikejutkan dengan ponselnya yang berdering. Di layar tampak nama Lista Herliana. Arief langsung teringat siapa perempuan ini saat melihat wajah di kontaknya.

"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Arief.

"Wa'alaikumsalam," balas List, "ini ama Om Arief?"

"Lista? Apa kabar?" sapa Arief.

"Baik, Om. Om masih ingat ama Lista?" tanya Lista takjub.

"Tentu saja masih ingat. Ada apa nih? Tiba-tiba telepon. Tumben," kata Arief.

"Anu, Om. Jadi gini, Lista kan sudah lulus. Lista kepingin Om dampingin Lista saat wisuda nanti," ucap Lista.

"Lha, kedua orang tuamu?" tanya Arief.

"Orang tua Lista kan jauh, Om. Butuh ongkos kalau ke sini. Om kan dulu membantu Lista dan juga satu-satunya orang yang Lista kenal di kota ini. Makanya, orang tua sudah mengizinkan kok. Biar om saja yang dampingi," jawab Lista.

Pikiran Arief sesaat mengenang tentang Lista. Seorang gadis cantik asal Jawa Barat yang harus merantau ke kota Malang untuk menempuh pendidikan. Saat itu Arief menjadi d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) untuk membiayai beasiswa bagi beberapa pelajar yang terpilih. Setiap bulan Arief terus menyumbangkan program beasiswa tersebut kepada salah satu badan sosial. Awalnya Lista tidak tahu siapa orang baik yang telah menjadi donaturnya. Lista baru tahu siapa orangnya setelah menyelidiki sendiri asal dari beasiswanya dengan bertanya ke badan sosial tersebut. Saat itu Arief masih belum menikahi Jannah. Begitu tahu siapa Arief, Lista sebenarnya langsung tertarik kepada Arief. Walaupun masih muda, Arief sangat perhatian dan tidak pernah menahan diri untuk membantu dan menolong orang lain.

Hari itu Arief baru saja selesai bekerja di kantor tempat usahanya. Usaha yang sedang dia lakukan adalah mendirikan perusahaan software house yang dia kelola bersama beberapa orang teman-temannya. Untuk memulai startup memang tidak mudah. Semenjak lulus dari kuliah dia mencoba bekerja di beberapa tempat. Dengan berbekal pengalaman selama dua tahun bekerja di dua perusahaan besar, dia pun mulai bisnis sendiri dengan membuka kantor sendiri. Padahal gajinya di perusahaan tempat dia bernaung dulu cukup besar dan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan dia juga bisa menabung selama dua tahun tersebut.

"Assalaamu'alaikum," sapa Lista kala itu. Lista saat itu datang dengan kerudung putih. Wajahnya sangat cantik dengan dagu belah. Tidak pendek, juga tidak tinggi. Yang paling diingat Arief adalah senyuman bocah itu. Boleh dibilang Lista adalah perempuan yang murah senyum kepada siapapun.

"Wa'alaikumussalam," jawab Arief, "eee....siapa ya?"

"Maaf, mengganggu, Om. Ini saya Lista, penerima beasiswa," ucap Lista.

"Hah?" tentu saja Arief kaget, "lho, kok? Sebentar, sebentar. Beasiswa? Darimana kamu tahu?"

"Ya tanyalah, Om," ujar Lista.

"Rief, duluan ya," ucap teman kerja Arief saat itu, "siapa tuh? Calon bini? Mbak Jannah itu ya?"

"Sembarangan," ucap Arief, "bukan, udah pulang sana!"

"Mbak, jangan dikejar. Minggu depan mau nikah itu orangnya," kata temannya sambil cekikikan.

"Ooo..." ucap Lista.

"Udah pulang woy!" ucap Arief sambil menendang sepeda motor temannya. Teman kantornya pun terkekeh lalu pergi meninggalkan mereka.

Lista tersenyum manis. Padahal dari awal dia sudah ada perasaan kepada Arief, sayangnya perasaan itu harus kandas. Lelaki yang ada di hadapannya ini akan menikah.

"Gimana tadi? Sampai mana?" tanya Arief, "kamu sampai tahu tempatku kerja ya? Hebat."

"Enggak, Om. Jadi, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku sampai tanya ke badan sosial yang membantuku mendapatkan beasiswa. Kukira Om itu orang mana ternyata malah satu kota ama kampusku," jawab Lista.

"Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Lagipula aku ikhlas kok. Aku berharap dengan aku membantu orang lain, maka hidupku juga akan dipermudah oleh Tuhan. Bukan begitu?"

Lista mengangguk.

"Kamu lapar? Mau aku ajak makan?" tanya Arief.

"Ah, sudah, Om. Tidak perlu repot."

"Ayolah, aku yang traktir!" ajak Arief.

Sejak saat itulah Arief dan Lista dekat. Mereka seperti teman pada umumnya, Lista sangat menghormati Arief sebagai orang yang telah membantunya selama ini. Bahkan orang tuanya pun menaruh hormat kepada Arief. Bagi Lista Arief ibarat wali Allah yang telah menolongnya.

Kembali ke masa sekarang dimana Lista meminta bantuan kepada Arief untuk menghadiri wisudanya. Arief pun akhirnya mengiyakan.

"Okelah, aku akan datang," ucap Arief, "kapan memangnya?"

"Besok Minggu, Om," jawab Lista.

"Lha, hari ini kan Sabtu, berarti besok dong?"

"Bukan, maksudku minggu depan."

"Owalah, gampang wis. Bisa."

"Yey, makasih ya, Om. Ngomong-ngomong salam ya buat Tante Jannah. Lama kali nggak lihat beliau ke pengajian," kata Lista. Dan memang Lista juga mengenal Jannah, tanpa tahu kalau Arief sebenarnya telah berpisah.

"I-iya," kata Arief. "Oh ya ngomong-ngomong kok kamu baru lulus sekarang?"

"Enggak, Om. Lulus sudah lama, aku tinggal ujian untuk mendapatkan sertifikat untuk praktek trus jadi asisten selama beberapa waktu, jadi kelihatan kalau lulusnya lama. Sebenarnya ya enggak. Tinggal wisuda saja," jelas Lista.

"Jadi, sekarang sudah siap jadi ibu bidan, dong," puji Arief.

"Insyaa Allah, Om," kata Lista.

"Luar biasa," kata Arief.

"Ya sudah om. Sampai ketemu besok minggu, eh. Minggu depan, hehehe. Assalaamu'alaikum," ucap Lista mengakhiri pembicaraan.

"Wa'alaikumussalam," ucap Arief juga menutup teleponnya.

Arief menghela napas. Dia tak menyangka kalau orang yang dia bantu selama ini sudah lulus kuliah dan tinggal wisuda. Telepon Arief kembali berdering, kini dari Leli.

"Halo, Assalaamu'alaikum," sapa Arief.

"Wa'alaikumussalam," jawab Leli.

"Iya, Mbak? Ada apa?"

"Mas mau balas dendam kan? Ikutkan aku."

* * *​

=======================

tubikonticrot
 
Bidan yg mirip biduan kah lista itu huhuuu
Sebagaimana disclaimer cerita ini hanyalah karangan belaka. Kalau ada kejadian di dunia nyata dan kebetulan sama, maka itu di luar kendali saya sebagai dalang dari cerita ini. Tapi kalau panjenengan tahu ada cerita yang mirip-mirip ama tokoh di cerita ini dan ternyata, dilalah, kisahnya kok sama... ya sudah, simpan saja.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd