Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 16

Wida Pov

Saat ini jam makan siang sudah mulai. Aku langsung keluar dari kantor dan langsung menuju sebuah cafe yang letaknya hanya beberapa meter dari gedung perusahaanku. Dengan langkah cepat akhirnya aku sampai juga di cafe yang dijanjikan Lusi. Aku melihat sahabatku itu lalu aku memburunya. Kami pun duduk di meja bertuliskan angka 12 yang terdapat selembar kertas berlaminating menu makanan dan minuman di atas meja. Lalu Lusi mengambil menu kertas dan melihat menu tersebut. Sedangkan aku hanya melihat bingung ke arahnya. Aku menangkupkan kedua tangan di atas meja.

"Ada apa kamu memintaku ke sini?" Tanyaku pada Lusi yang duduk berhadapan denganku.

"Kamu mau makan apa?" Tanyanya tanpa ekspresi. Aku menautkan kedua alis.

“Aku gak jadi laper, karena melihat sikapmu itu.” Kataku benar-benar penasaran.

“Huuufff …. Hati-hati dengan suamimu.” Ucapnya yang sukses membuatku terperanjat.

“Maksudmu?” Aku agak memekik dengan jantung yang berdebar-debar kencang.

“Jadi begini ceritanya.” Lusi menarik napas dalam-dalam lalu menghempaskannya keras. “Sebelum Andrew tewas jatuh dari kamar hotelnya, ternyata Andrew melakukan transfer uang 20 milyar ke rekening suamimu. Berarti Denta telah menemui Andrew sebelum Andrew tewas.”

“Apa??? Andrew mentransfer uang sebanyak itu pada Denta???” Aku memekik lagi karena semakin terkejut.

“Ya … Aku mempunyai kecurigaan kalau Andrew diancam oleh Denta. Tapi tak ada bukti kalau Denta yang melakukan pembunuhan karena CCTV merekam Denta keluar dari kamar hotel Andrew dan Andrew lah yang mengantarkan Denta keluar.” Jelas Lusi.

“Terus, ada bukti lain?” Tanyaku setengah panik.

“Tidak ada … Tidak ada yang bisa membuktikan kalau Denta adalah pembunuh Andrew. Tapi, entah kenapa aku sangat mencurigai suamimu itu. Paling tidak, Denta telah memeras Andrew, dan kemungkinan besar mengancam Andrew sampai Andrew ketakutan dan bunuh diri.” Jelas Lusi lagi.

Apa-apaan ini, jantungku seperti tertohok besi panas yang sangat menyakitkan. Lusi bahkan tidak menjelaskan situasinya secara mendetil, tetapi entah kenapa aku begitu yakin bahwa Denta lah dibalik kejadian tewasnya Andrew. Mataku menatap mata Lusi yang juga sedang menatapku intens. Sorot mata kami seakan tengah bertukar info. Aku dan Lusi terus saling pandang, mata kami seakan mengisyaratkan 'kita harus mengambil tindakan’.

“Apa yang akan kita lakukan?” Tanyaku kemudian.

“Aku akan melaporkan kejadian ini pada Robby. Biar Robby yang mengurusnya. Dan itu berarti kamu harus rela kehilangan suamimu.” Jawab Lusi.

“Tapi kita belum punya bukti apa-apa.” Aku coba menahan Lusi.

“Denta sudah mengambil nyawa sahabat kita. Denta telah membuat Andrew bunuh diri.” Lirih Lusi.

“Bolehkah aku minta waktu untuk menanyakan hal ini pada Denta?” Tanyaku sangat berharap.

“Terlambat! Aku sudah bicara dengan Robby.” Ungkap Lusi yang membuat jantungku semakin tak karuan.

“Ka..kamu???” Aku mentapanya tak percaya.

“Kalau kamu ingin selamat, malam ini juga kamu harus pergi meninggalkan rumahmu. Bawa juga anak-anakmu. Karena rumahmu akan menjadi makam siapa saja yang ada di dalamnya. Anak buah Robby akan bergerak pukul 21.00 tepat.” Ujar Lusi sembari bangkit dari duduknya.

Entah apa yang aku rasakan saat ini. Terbelenggu oleh dilema yang berkepanjangan. Aku hanya bisa melihat kepergian Lusi sambil menitikan air mata. Masalah ini ternyata menjadi lebih buruk, bahkan sangat buruk. Ceritanya semakin tak terduga, dan aku merasa kalau aku lah penyebab semua dari masalah ini. Jika saja aku tetap berjalan di jalan yang benar, sangat dipastikan masalah ini tidak akan pernah terjadi. Pada akhirnya hanya penyesalan yang tersisa, yang tanpa henti terus menyiksa.

Dengan badan lunglai, aku pun keluar dari cafe dan kembali ke kantorku. Saat berada di depan pintu ruanganku, kuhentikan langkah dan berbalik. Di sana pintu ruangan Siska. Entah kenapa kakiku melangkah ke pintu itu. Aku menekan bel pintu yang tak lama si pemilik ruangan membukakan pintunya. Aku langsung memeluk Siska dan menangis sejadi-jadinya. Siska yang memang lemah lembut tak lantas menanyakan keadaanku. Dia malah mengusap-usap punggungku dengan penuh kasih sayang. Setelah aku merasa puas menangis, aku lepas pelukanku.

“Boleh aku bicara denganmu?” Kataku disela isak tangisku.

“Masuklah.” Ajak Siska.

Kami berdua masuk ke ruangan atasanku itu. Aku dan Siska duduk di sofa panjang dengan posisi bersebelahan. Siska memegangi tanganku dan berkata, “Ada apa sampai kamu menangis seperti itu?”

“Suamiku … Denta akan dibunuh Robby.” Jawabku dengan suara serak.

Tampak raut muka terkejut dari Siska, namun tak lama, Siska malah tersenyum dan berkata, “Apa yang menyebabkan Robby ingin membunuh suamimu?”

Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Siska tentang hari ini, tentang masalahku, tentang kematian Andrew, dan tentang kecurigaanku pada Denta, tak lupa tentang Robby yang akan ‘menghabisi’ Denta, juga semua emosi yang aku pendam. Tak kusangka diakhir cerita Siska malah tertawa.

“Kenapa kamu tertawa? Apa ini lucu?” Tanyaku terheran-heran.

“Tidak … Maafkan aku … Aku hanya senang saja. Kamu gak perlu bertanya kenapa aku senang. Jadi saranku, kamu harus berdiri di samping suamimu. Aku tahu kalau kamu ingin memintaku untuk menghentikan Robby bukan? Oh tak perlu dijawab karena akan aku jawab permintaanmu itu. Robby tidak akan bisa dihentikan, dia akan tetap membunuh suamimu. Tetapi, dia tidak akan mampu membunuh suamimu.” Katanya yang sukses membuatku linglung.

“Ke..kenapa kamu bi..bisa bilang begitu?” Tanyaku semakin tak mengerti.

“Kamu hanya perlu percaya padaku. Kembali lah pada suamimu. Dia lah yang akan memenangkan pertempuran berdarah ini.” Ujar Siska sukar dipercaya.

“A..aku tidak yakin …” Lirihku sangat menyangsikan ucapan Siska.

“Terserahlah … Tapi aku sudah memperingatimu. Pikirkahlah baik-baik sebelum kamu mengambil keputusan.” Ujarnya lagi.

Rasanya aku tidak menemukan solusi di sini. Aku pun kemudian berdiri dan melangkah mundur perlahan-lahan. Aku merasa sedang berbicara dengan orang asing. Wanita di depanku ini seperti bukan Siska yang aku kenal. Ide macam apa yang menyuruhku untuk membela orang yang pasti akan mati. Itu sangat tidak masuk akal. Yang ada di otakku sekarang adalah pulang dan menangis sekencang-kencangnya. Ya, aku pun berlari kuluar ruangan Siska lalu ke ruanganku. Segera saja aku sambar tas tanganku kemudian berlari-lari ke parkiran. Hati dan perasaanku sangat hancur. Aku beranjak naik ke mobilku dan melajukannya menuju rumah.​

-----ooo-----​

Denta Pov

Waktu terus berlalu sesuai ketetapan sang pemilik kehidupan. Pagi, siang, malam hingga senja datang dan ditutup dengan malam tak pernah absen menyambangi manusia. Senang atau tidak, manusia pun terus bergerak mengikutinya. Tanpa bisa protes, kenapa pagi tiba-tiba menjadi siang kemudian larut menuju malam. Maka kehidupan ini tidak pernah mau menunggu manusia. Dimensi waktu dunia, tak pernah bersedia menanti manusia. Gulungan awan pagi yang bewarna biru kemudian berganti warna hitam di malam hari, tak pernah peduli apakah manusia suka dengan pergantian tersebut. Karena manusia memang tak punya daya, kuasa apalagi kekuatan. Nyatanya memang hidup terus berjalan. Senang dan bahagia dalam sekejap bisa saja berubah menjadi sedih kembali. Bahwa hidup menggeret manusia dalam pusaran masalah yang akan selesai satu dan tumbuh lagi satu. Begitu seterusnya. Hingga semua berakhir ketika denyut nadi terhenti.

Ketika semua masih kusimpan rapi, rasanya tak ada masalah. Semua masih terkendali. Tepatnya aku bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Hingga suatu ketika. Saat hati dalam kondisi baik. Cuaca bagus dan angin bertiup pelan. Tanpa rencana. Akhirnya yang tersimpan rapi itu pun mulai terbuka. Saat secara tiba-tiba Wida menanyakan sesuatu yang sangat tidak terduga.

“Apakah benar kamu menemui Andrew sebelum Andrew tewas bunuh diri?” Tanya Wida.

Pertanyaan itu terlontar saat aku baru saja masuk ke ruang tengah setelah memarkirkan mobil di garasi. Langkahku memelan namun sampai juga di sofa tempat Wida duduk dengan arah pandangan ke layar televisi. Aku pun duduk di sofa tunggal dekatnya. Aku tak segera menjawab karena otakku tiba-tiba blank.

“Apa benar kamu meminta uang padanya? Dan untuk apa uang itu?” Pertanyaan Wida semakin tajam. Rupa-rupanya dia sudah tahu dengan apa yang kurahasiakan selama ini.

“Aku memang meminta uang itu padanya sebagai ganti kerugian atas apa yang telah dia lakukan padaku.” Akhirnya aku menceritakan sedikit padanya. Sungguh, sedikit sekali. Dengan harapan, tak akan pernah menembus dinding misteri kematian Andrew.

Tapi ternyata salah. Dinding itu retak, hancur. Menembus telinga Wida. “Kamu yang membunuh Andrew kan?”

“Aku tidak membunuhnya, aku hanya mengancamnya. Mungkin dia menjadi depresi lalu bunuh diri.” Kataku tajam sama seperti tatapanku padanya. Aku sungguh terkejut dengan ucapannya. Apalagi Wida sekarang menyebutku dengan ucapan ‘kamu’ yang tak pernah sekali pun dia ucapkan padaku.

“Kenapa kamu merahasiakannya sudah hampir satu minggu padaku kalau kamu bertemu Andrew sebelum kematiannya?” Tanyanya sangat akurat. Tepat sasaran langsung membingungkan.

“Apakah itu penting untukmu?” Aku bertanya balik untuk mengalihkan kebingunganku.

“Sebenarnya, apa yang sedang kau rencanakan?” Wida bangkit dari duduknya dan perlahan mundur menjauhiku. Entah apa yang dia pikirkan tentangku, apakah dia benar-benar mencurigaiku atau tidak, tetapi saat ini sepertinya dia sudah mencurigaiku.

“Apa yang kamu bicarakan?” Aku terus membalikan pertanyaannya.

Tiba-tiba Wida membalikan badan kemudian berlari ke arah garasi. Entah kapan dia memegang kunci mobilnya, tetapi yang jelas dia bisa menghidupkan mesin mobilnya dan pergi entah kemana. Aku baru sadar, seharusnya aku menghentikan wanita itu. Aku berlari ke teras rumah, namun mobil Wida sudah melesat di jalan, aku tidak bisa menghentikannya. Aku merutuki diri sendiri. Aku seperti orang bodoh sekarang, aku mulai memukul-mukul kepalaku.

Aku kembali ke dalam rumah. Kulirik sekilas jam dinding di ruang tengah yang menunjukkan pukul 20.45 malam. Aku tak dapat lagi memikirkan apapun selain membaringkan tubuhku ke atas sofa, meskipun otak telah mengingatkan jalan menuju kasur yang empuk di kamar. Untuk mengusir keresahan, aku pejamkan mata sambil terus berdoa semoga hari ini baik-baik saja. Mudah-mudahan apa yang ditunjukan Wida tadi hanya emosi sesaat dan segera mengendap. Baru saja aku merasa nyaman, tiba-tiba smartphoneku berdering. Aku ambil alat komunikasiku itu dari saku celana. Begitu kulihat, nama yang tertulis pada panggilan masuk itu adalah Siska. Secepatnya aku menerima panggilannya itu.

“Hallo …” Sapaku seramah mungkin.

“Denta … Berhati-hatilah! Sebentar lagi akan ada tamu tak diundang padamu.” Katanya dan langsung saja sambungan telepon terputus.

Aku tentu saja terperanjat. Ini bukan waktunya main-main. Peringatan Siska adalah alarm bahaya untukku. Tak perlu dipikirkan lagi sebab musababnya, ini sudah pasti buntut dari sikap Wida yang sangat dramatis. Aku tidak menyangka jika aku akan kedatangan tamu tak diundang. Secepatnya aku mengunci seluruh pintu dan jendela akses masuk ke rumahku, dan menunggu tamu tak diundang itu di ruang depan rumah.

Benar saja, dari jendela aku melihat tiga orang berjaket hitam masuk ke halaman rumah. Dua diantaranya mempersiapkan senjata yang aku pikir mereka sedang memasang alat peredam di ujung senjata mereka. Senjata api itu kemudian mereka masukan kembali ke balik jaket. Tak lama, ketiganya sudah berada di teras rumah dan akhirnya terdengar bel rumah. Mereka bertiga kini berada tepat di depan pintu.

“Siapa pun kalian bertiga di sana! Tetap diam! Tak ada gerakan!” Kataku setelah merapal mantera gendam.

“Baik.” Jawab mereka hampir bersamaan.

Aku pun segera membuka pintu dan melihat ketiganya berdiri mematung di tempat masing-masing. Tentu saja ketiganya telah berada dalam penguasaanku. Alam sadar mereka telah aku kuasai sepenuhnya. “Sekarang, kalian masuk dan duduklah di sofa!”

“Baik.” Jawab mereka lagi hampir bersamaan.

Mereka pun masuk ke dalam rumah lalu duduk di sofa. Kuperhatikan mata mereka tinggal putih semua. Ingatan mereka kosong akibat cekokan manteraku. Perlu diketahui, aku saat ini menggunakan mantera gendam yang mengambil seluruh ingatan korban. Ada juga mantera gendam yang hanya beraksi pada gerakan tubuh saja tanpa menghilangkan ingatan korban seperti yang kulakukan pada Andrew.

“Siapa yang menyuruh kalian?” Tanyaku sekedar ingin tahu.

“Robby.” Semua menjawab serempak. Dan aku sebenarnya sudah mengira jawaban itu.

“Kenapa Robby menyuruh kalian membunuhku?” Tanyaku lagi.

“Karena ada laporan kalau Anda telah membunuh salah satu anggota komunitasnya.” Jawab mereka sebenarnya dalam bahasa yang agak berlainan, tetapi aku mendengar dari salah satu dari mereka.

“Dari siapa Robby mendapat lapora itu?” Tanyaku lagi.

“Lusi.” Jawab ketiganya sangat kompak.

“Hhhhmm … Dia ternyata …” Gumamku langsung teringat pada wanita yang memberiku suntikan perangsang. “Apakah kalian tahu di mana rumah wanita yang bernama Lusi itu?” Tanyaku kemudian.

“Tahu …”

“Kalau begitu … Antar aku ke rumahnya!” Kataku.

“Baik …” Ucap ketiganya serempak. Sekarang mereka menjadi boneka atau anak buahku.

Mereka langsung bangkit dan berjalan keluar rumah. Aku ikuti mereka dari belakang. Setelah mengunci pintu aku terus mengikuti mereka ke sebuah mobil mini bus. Dua orang duduk di depan, satu orang duduk bersamaku di jok belakang. Tak lama mobil melaju dengan kecepatan sedang ke arah pusat kota. Di dalam perjalanan aku sempat menelepon Uci untuk segera ke pusat kota. Aku ceritakan seadanya tentang situasi yang sedang aku alami. Uci pun dengan sigap melaksanakan instruksiku.

Dalam satu jam, akhirnya aku sampai di sebuah rumah yang memiliki halaman cukup luas. Aku suruh ketiga orang yang dalam penguasaanku untuk masuk ke dalam rumah tersebut dan melumpuhkan setiap orang yang ada di dalam rumah itu. Maksudku melumpuhkan di sini, orang-orang yang ada di rumah itu diikat kuat di kursi sehingga mereka tidak bisa berkutik. Tali tambang plastik sengaja aku ambil dahulu di tokoku saat aku melewatinya. Ketiganya turun dari mobil, dua diantaranya langsung mengeluarkan senjata api dari dalam jaket. Sementara aku tetap di dalam mobil. Pikiranku, seluas-luasnya rumah ini tidak akan lebih jarak lurusnya dari 10 tumbak atau sekitar 37,5 meteran, atau dengan perhitungan 1 tumbak sama dengan 14 meter persegi atau kira-kira 3,75 meter X 3,75 meter, sehingga pengaruhku tidak akan terlepas.

Tak lama, kulihat pintu terbuka. Si pembuka pintu langsung dikejutkan oleh todongan pistol dan digiring masuk oleh boneka-bonekaku. Beberapa detik berselang terdengar teriakan-teriakan suara wanita. Sesekali terdengar makian dan ucapan-ucapan kasar. Saat aku berada di teras hendak masuk ke dalam rumah, smartphoneku berdering dan ternyata Uci yang meneleponku.

“Ya Uci …” Sapaku.

“Om dimana?” Tanya Uci di seberang sana.

“Om berada di Jalan Terusan Jakarta. Ada perumahan bernama Puri Cendekia. Masuk ke perumahan itu, terus cari rumah dengan nomor C-8 Blok 2.” Jelasku.

“Siap om …” Jawab Uci dan sambungan telepon terputus.

Aku masih mendengar teriakan-teriakan kasar juga tangisan di dalam sana. Untuk sementara waktu aku duduk di kursi teras. Lebih baik menunggu salah satu bonekaku melapor bahwa pekerjaan mereka sudah selesai. Sekitar 15 menit berselang, aku mendapat laporan kalau orang-orang penghuni rumah sudah berhasil di lumpuhkan. Baru saja hendak masuk, motor Uci masuk halaman. Aku segera mencegah ‘anak buahku’ menembak. Aku bilang padanya kalau orang yang baru datang adalah anak buahku juga.

“Bagaimana om?” Tanya Uci dengan napas memburu.

“Entahlah … Om juga tidak tahu harus bagaimana. Tapi, coba kita lihat siapa yang ada di dalam. Rasanya, tantemu ada juga di sana.” Kataku.

“Oh, begitu ya?” Wajah Uci terlihat berubah sendu.

Aku dan Uci juga bonekaku masuk ke dalam rumah dan langsung ke ruang tengah. Tentu saja aku disambut dengan tatapan terkejut dari tiga orang yang telah terikat kuat pada kursi.

“Pa..papaaa …!” Seru Wida dengan derai air mata yang deras. Wajahnya pucat seperti mayat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lututnya bergetar bagai ada gempa.

“Jangan lagi panggil aku papa. Telingaku sakit.” Kataku sambil menatap wajah wanita yang bernama Lusi yang juga sedang menangis.

“Bajingan! Lepaskan aku! Jantanlah kalau kau berani!” Teriak pria di sebelah Lusi.

“He he he … Ternyata kau … Abdi …” Kataku sambil mendekatinya.

“Lepaskan aku! Lawan aku secara jantan, kalau kau benar-benar laki-laki!” Teriaknya sangat garang.

“Sayang sekali, Abdi … Bukan saatnya untuk berduel … Saatnya kalian mati …” Kataku penuh ancaman.

“Tidak … Tidak sayang … Ingat! Aku ini ibu dari anak-anakmu … Hiks … Hiks … Hiks …” Ujar Wida disertai dengan tangisannya.

“Apakah kau ingat, kalau aku ini ayahnya saat menyuruh mereka membunuhku?” Kataku sengit sembari mengalihkan pandanganku pada Wida.

“Itu bukan ideku …” Jawabnya.

“Tidak peduli … Siapa pun ide itu berasal, kalian sudah berusaha membunuhku.” Kataku yang disambut teriakan dan makian Abdi.

‘BUUGHH!!!’ Tiba-tiba bogem mentah Uci menghajar rahang Abdi begitu keras hingga laki-laki itu pingsan.

“Bawel!” Ucap Uci sembari mengusap-usap kepalan tangannya.

“Uci … Tolong tante Uci … Tolong tante … Hiks … Hiks … Hiks …” Wida masih berusaha meminta pertolongan. Uci hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tiba-tiba aku teringat penyiksaan yang dilakukan Lusi padaku. Aku pun beralih ke hadapannya. Wajah Lusi yang tertunduk aku angkat dengan mengangkat dagunya, “Beritahukan! Di mana zat perangsang yang kau berikan padaku tempo hari itu!” Kataku setelah mengaktifkan mantera gendam untuknya.

“Ada di lemari obat, di dapur.” Jawabnya tentu dengan tak sadar.

Aku pergi ke tempat yang ditunjukan Lusi setelah melepas gendamku pada wanita itu. Aku ingin tahu, bagaimana reaksinya saat mengalami rangsangan seksual yang maha dahsyat dan tak bisa melampiaskannya. Akhirnya aku menemukan lemari obat, bukan sembarang lemari obat tetapi lemari besar yang penuh dengan obat-obatan sampai-sampai aku bingung obat mana yang aku harus ambil. Ah, aku ingat setelah membaca tulisan di sebuah botol, ‘AFRODISIAK’. Wanita itu menyebutkannya saat memberiku zat ini. Aku ambil dua botol dan dua suntikan, kemudian membawanya ke ruang tengah.

“Ini dia … Ini kan yang kau berikan padaku dulu itu?” Kataku seraya memperlihatkan botol yang kubawa pada Lusi.

“Oh! Jangan … Aku mohon jangan lakukan … Kamu tidak tahu takarannya …” Wajah pucat pasinya penuh dengan ketakutan, bibirnya bergetar hebat, matanya melotot seakan bola matanya mau keluar.

“Oh ya? Itulah keuntunganku. Aku tidak akan memakai takaran karena aku tidak tahu, yang aku ingat kau memberiku setengah dari suntikan ini.” Kataku sembari mengisi suntikan dengan zat kimia yang bernama Afrodisiak.

“Jangan! Bukan begitu! Ada zat lain!!! Aaaaakkkhhh!!!!” Lusi tak sempat meneruskan ucapannya karena aku langsung menancapkan suntikan di bahunya dan memasukan zat kimia itu ke dalam tubuhnya.

Luar biasa! Kepala wanita itu langsung mendongak, napasnya memburu sangat kencang. Tak lama ia mulai mengerang-ngerang menahan sesuatu yang mendesak-desak tubuhnya. Beberapa detik kemudian, Lusi meronta-ronta sampai kursi yang ia duduki terguling ke samping. Jujur, aku jadi khawatir. Jangan-jangan dia sedang sekarat.

“Air … Air …” Lusi berkata dalam erangannya.

Tiba-tiba Uci berlari ke arahnya dan memberikan minuman mineral yang entah dari mana asalnya. Lusi menenggak seperti tak pernah minum sebulan. Lusi meminta lagi dan Uci berikan sebotol air mineral lagi yang ia ambil dari meja sofa.

“Kau membunuhnya … Kau membunuhnya … Hiks … Hiks … Hiks …” Ujar Wida yang masih terus menangis.

“Ya … Memang aku ingin membunuhnya … Dan sekarang giliranmu …” Kataku sembari mengisi suntikan dengan zat kimia bernama Afrodisiak.

“Oh… Tidak… Hiks … Hiks … Hiks …” Wida menangis sejadi-jadinya.

“Om … Jangan …” Tiba-tiba Uci mencegahku dengan suara memelas.

Aku melihat wajah Uci yang sendu. Aku heran kenapa sifat sangar Uci hilang seperti ditelan bumi. Padahal ia paling bersemangat untuk menghabisi musuh-musuhku. Uci pun menggelengkan kepala sambil menahan tubuh Lusi yang terus meronta-ronta sambil mengerang kesakitan.

“Kenapa?” Tanyaku pada Uci.

“Eyang Ratih … Eyang Ratih melarang kita berbuat seperti ini.” Jawabnya yang sukses membuatku terperanjat.

“Di mana beliau?” Tanyaku sembari mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan.

“Eyang membisikan padaku om … Eyang menyuruh orang-orang ini dibawa ke tempatnya.” Jawab Uci.

Aku sangat percaya pada Uci dan tidak ada alasan lagi untuk membantahnya. Aku letakkan suntikan di atas meja lalu menghampiri Wida yang tertunduk dan menangis. Aku menatapnya penuh kebencian. Aku ingin sekali menyiksanya secara fisik dan psikis. Sayang, aku tidak bisa melaksanakan keinginanku itu.

“Kau akan mendapat hukuman dari leluhurmu. Aku harap hukumanmu sangat berat!” Kataku.

Wida menengadahkan wajahnya yang basah oleh air matanya, “Maafkan aku …”

“Tidak ada maaf bagimu. Kelakuanmu itu sudah sangat menyakiti hatiku. Saatnya hari pembalasanku.” Kataku sembari menyuruh anak buahku membuka tali ketiga sanderaku. Kemudian memerintahkan lagi agar mengikat tangan dan kakinya saja.

“Sekarang kamu tidur! Jangan bangun sebelum kuperintahkan!” Kataku pada Wida yang tentunya kalimat itu telah diisi oleh mantera gendam. Wida pun langsung tergeletak tidur. Tidur paling nyenyak yang dia pernah rasakan.

Begitu pula pada Lusi. Aku akhiri penderitaannya dengan menyuruhnya tidur. Laki-laki yang bernama Abdi pun yang kebetulan tersadar dari pingsannya, aku gendam supaya tertidur. Akhirnya ketiga sanderaku dibawa ke mobil milik Wida. Kuletakkan ketiga sanderaku di jok belakang sedemikian rupa sehingga mereka duduk bersandar di sandaran jok. Uci kuperintahkan membereskan ketiga bonekaku yang dibuat seolah-olah mereka kecelakaan. Entahlah apa yang akan Uci lakukan, aku serahkan sepenuhnya kepada Uci.

Aku larikan mobil dengan kecepatan maksimal di beberapa titik jalan yang kosong. Jalanan yang kosong membuatku tertantang untuk memacu mobil lebih cepat. Bukan untuk balapan tetapi aku ingin segera sampai di tempat tujuan. Aku memacu mobilku seperti buronan yang sedang dikejar polisi, terlihat layar LED spidometer mobilku menunjukan kecepatan laju kendaraanku melebihi angka 100km/ jam, angka yang benar-benar menunjukkan kecepatan mobil seorang pembalap di film fast and furious, dan sepertinya aku harus menurunkan kecepatan laju mobilku karena aku masih sayang dengan nyawaku dan juga siapa yang akan menjaga anak-anakku seandainya aku tiada.

Tak terasa, aku sudah lima jam memacu kendaraanku dengan sekali mengisi bahan bakar di perjalanan tadi. Akhirnya aku sampai di desa terdekat dengan hutan yang menuju petilasan Eyang Ratih Prameswasari. Jam lima subuh kurang sedikit sudah nampak masyarakat yang beraktivitas. Aku pun mendekati tiga orang pemuda yang hendak ke ladang. Aku ceritakan sedikit tentang kejadian yang menimpaku dan terakhir aku meminta bantuan mereka untuk membawa para sanderaku ke petilasan Eyang Ratih Prameswasari yang tentunya dengan imbalan lumayan besar. Mungkin mereka agak kurang peduli dengan ceritaku, terlihat sekali mereka sigap membantuku karena imbalan yang aku tawarkan pada mereka.

Kami pun akhirnya membawa Wida, Lusi dan Abdi menuju ‘tempat kediaman’ Eyang Ratih Prameswasari. Perjalanan ke atas bukit memakan waktu selama dua jam melintasi hutan belantara. Ketiga pemuda seperti telah terbiasa membawa beban berat sehingga tak terlihat lelah walau jalan menanjak sembari memanggul orang. Selama perjalanan ke puncak bukit hanya sekali terdengar pernyataan, ‘sayang sekali wanita cantik seperti mereka mendapat hukuman dari leluhur’. Rupanya para pemuda itu sadar, kalau leluhur kami sudah menghukum maka tidak akan pernah ada yang selamat.

Akhirnya, aku dan rombongan sampai di petilasan Eyang Ratih Prameswasari. Ketiga pemuda itu langsung turun ke desanya lagi setelah mendapat upah dariku sebesar 1 juta per orang. Mereka bilang takut berlama-lama di tempat Eyang Ratih Prameswasari yang terkenal sangat angker. Aku pun hanya sebentar di makam Eyang Ratih Prameswasari dan meninggalkan Wida, Lusi dan Abdi yang masih tertidur pulas. Kata Uci, nanti Eyang Ratih lah yang akan membangunkan ketiganya. Aku berlari-lari untuk mengejar para pemuda penolongku dan kami pun kembali bersama-sama menuju desa.

“Kang … Apakah akang pernah bertemu Eyang Ratih Prameswasari?” Tanya seorang pemuda padaku.

“Ya, beberapa kali.” Jawabku.

“Ah, akang termasuk orang yang sangat beruntung. Kami warga desa pamulihan, tak ada satu pun yang pernah bertemu Eyang Ratih. Dulu ada satu orang yang katanya pernah bertemu, dia menjadi orang kaya dengan sangat cepat.” Ujar si pemuda yang kujawab hanya dengan senyuman.

Kami terus berbincang-bincang sembari terus menuruni bukit yang lebat oleh pepohonan hingga tak terasa kami sampai di tempat mobilku terparkir. Sebelum pergi aku mengucapkan terima kasih dan meminta kepada mereka untuk tidak menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan alasan Eyang Ratih Prameswasari menyuruh menutup rapat-rapat rahasia ini. Ketiga pemuda itu pun setuju akan merahasiakannya karena takut kuwalat dan terkena murka Eyang Ratih Prameswasari.

Aku segera meluncur meninggalkan desa untuk kembali ke Bandung. Kali ini perjalananku santai saja. Selain tidak diburu waktu, aku pun agak mengantuk. Beberapa kali aku istirahat untuk sejenak memejamkan mata agar rasa kantukku hilang. Walaupun agak tersendat, akhirnya aku sampai di rumah sekitar pukul 14.00 siang. Rasa lelah dan kantuk yang mendera membuatku langsung tertidur di kamar.​

-----ooo-----​

Wida Pov

Aku membuka mata saat merasakan semilir angin menerpa wajahku. Hal pertama yang kulihat adalah pepohonan lebat di sekelilingku. Aku pun bangkit duduk lalu mengedarkan pandangan. Saat aku melihat sebuah makam yang dipayungi sebuah rumah tanpa dinding, bulu kudukku langsung merinding, rasa takut pun hinggap dalam diri. Tak lama berselang, Lusi dan Abdi bangkit dari posisi terlentangnya, bahkan Abdi langsung berdiri sambil memutar badannya.

“Di mana kita?” Tanya Abdi terheran-heran.

“Kita berada di hutan tempat leluhurku bersemayam.” Jawabku sembari terus menatap makam yang aku yakini adalah makam Eyang Ratih Prameswasari.

Aku sendiri sebenarnya belum pernah ke tempat ini. Hanya saja aku pernah mendengar jika ada warga desaku yang dihukum di sini, menurut cerita orang tua atau sesepuh, tidak pernah ada yang selamat, walaupun orang itu sering berkunjung ke tempat ini dan tahu jalan pulang. Kata cerita sesepuh kampung, Eyang Ratih akan selalu menyesatkan orang hukuman tersebut. Walaupun hanya mitos. Tetapi masih banyak masyarakat yang percaya akan hal ini. Aku pribadi pun mempercayainya.

“Kita tidak akan selamat.” Lirihku sambil menahan tangis. Aku pun duduk lesu dengan kepala menunduk hampir menyentuh tanah.

“Apakah kamu tahu tempat ini?” Tanya Lusi sembari memegang tanganku.

“Itu adalah makam leluhurku, leluhur keluarga besarku, leluhur masyarakat adatku. Sayangnya, kita berada di sini pada keadaan yang salah, kiat di sini dalam keadaan mendapat hukuman. Kita tidak akan selamat.” Jelasku dan tangisku pun pecah begitu saja.

“Tahayul … Aku tidak percaya tahayul. Kita akan pulang sekarang. Ayo, kita cari jalan pulang mumpung hari masih siang.” Ujar Abdi berapi-api.

“Benar kata Abdi. Kita bisa pulang. Ayo, kita keluar dari tempat ini.” Ajak Lusi.

Lalu kami pun menyusuri hutan dengan hati-hati. Kami sudah berjalan tanpa alas kaki sejauh berkilo-kilo, hari sudah malam dan kami belum menemukan apa-apa. Aku dan Lusi terus menangis meratapi nasib kami, sementara Abdi terus berusaha mencari jalan keluar dari hutan ini. Sampai akhirnya, kami bertiga memutuskan untuk beristirahat dan tidur menggunakan alas dedaunan. Namun kami tak bisa tertidur karena ada banyak sekali nyamuk di sini yang menyengsarakan. Sekarang kami berada dalam ketakutan dan keputus-asaan yang mencekam dan tanpa harapan. Aku dan Lusi tiada henti menangis. Inikah hukuman yang harus aku tanggung setelah mengkhianati satu-satunya orang yang benar-benar peduli padaku.

Bersambung
 
Makasih updatenya hu, chapter yg mendebarkan, saatnya Luci & Abdi mendapat pembalasan dan menyusuli Andrew, memang layak dapat hukuman berat karena mereka pemain utama yang merosakkan istri Denta malah merencana membunuhnya. Akhirnya Den bakal membuat perhitungan dengan bos besar si Robby. Nasib Wida juga bagai dihujung tanduk, karena lebih memilih mengikut teman berbanding suami.
 
Akhirnya leluhur wida pun turun tangan buat menghukumnya atas kesalahan peeselingkuhan dan ketidak puasan hubungan intim sama denta...malah wida semakin binal semakin haus sex sampe berani 3some juga GB didepan suaminya...menodai leluhur alias karuhun wida sendiri.....
Jadi penasaran lanjutannya nih hukuman apa yg akan dilakukan oleh leluhur wida kepada lusi abdi juga wida..??
Gimana kelanjutannya perseteruan roby dan denta apakah toby juga mempunyai ilmu gendam kaya denta..??
Hatur nuhun kangbroo @Ekdanta diantos update salajeungna kang..
Pokonamah mantap mantap mantap,👍👍👍👍
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd