Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.

Shhh666

Semprot Lover
Daftar
7 Feb 2022
Post
282
Like diterima
6.683
Lokasi
Nowhere
Bimabet
SEKILAS ABSTRAKSI

1

Aku masih duduk sembari melihat-lihat eksplor Instagram yang menarik ketika jam kerja sudah menunjukkan waktunya pulang satu jam yang lalu. Bu Ratna menegurku.

“Loh kok kamu belum pulang toh, Yas? Mau lembur?” tanyanya.

“Iya kayaknya, Bu. Nanggung masih betah,” jawabku asal-asalan, yang sebenarnya bingung harus melakukan apa lagi setelah habis jam kerja ini.

“Wah rajin banget nih anak didik saya, ya sudah saya duluan ya. Awas loh katanya di sini angker kalo malam,” jawabnya sembari tertawa.

Kuputuskan untuk lembur sampai jam 10 malam saja, setelah itu akan kupikirkan rencana selanjutnya akan ke mana dan akan bagaimana.

Aku fokus mengerjakan power point yang akan dipresentasikan oleh Bu Ratna dua hari lagi di depan manager perusahaan mengenai laporan dan segala hal yang lainnya.

Bu Ratna adalah atasanku dan aku sangat berterimakasih kepadanya, karenanya aku bisa bekerja di perusahaan ini.

Kunyalakan rokokku untuk mencairkan suasana otak agar tetap fokus pada apa yang sedang kukerjakan.

Sempat terpikir ketika bagaimana awalnya aku bisa bekerja di sini. Semuanya tak terencana dan aku tidak berharap lebih mengenai ambisi-ambisi. Memang aku mempunyai ambisi, namun ketika berada di luar rasionalitas dan kemampuan, ujungnya akan kecewa. Maka dari itu, aku selalu memposisikan diri agar rasionalitas dan kemampuan diunggulkan terlebih dahulu, setelah itu mari lihat bagaimana semesta akan menghakiminya.

Bagiku kebahagiaan datang bukan dari seberapa tinggi sebuah pencapaian, namun dari seberapa rasional sebuah harapan.

Satu tahun lalu aku sedang nongkrong di sebuah café yang tidak terlalu ramai, sengaja kupilih karena ingin menikmati suasana yang damai. Hanya ada beberapa orang saja waktu itu, tak sampai sepuluh pengunjung bisa kutaksir.

Ada anak muda yang berpasangan yang sedang dimabuk asmara, ada lima mahasiswa yang sedang berdiskusi entah mengenai apa, yang kutahu dari gestur dan ekspresinya mereka amat menikmati diskusinya.

Aku hanya mengamati saja dan ikut tertawa ketika mereka pecah dengan gelak tawanya.

Salah satu dari mereka, seorang perempuan menyadariku yang ikut tertawa dan membuat kontak mata. Aku hanya senyum dan mengangguk, dia pun begitu. Lalu kualihkan perhatianku pada ponsel yang bergetar untuk melihat notifikasi apa yang masuk.

Sepersekian detik entah bagaimana tiba-tiba saja seorang lelaki yang sedang memimpin diskusi itu menghampiri ke arahku.

“Kang, lagi santai?” tanyanya mengagetkanku.

“Oh iya, gimana? Santai saya,” jawabku setengah bingung.

“Maaf, Kang, mengagetkan, saya cuman ingin menawari Akang untuk gabung diskusi, soalnya dari buku yang saya lihat di meja Akang, sepertinya Akang menyukai filsafat. Kebetulan kami juga lagi diskusi tentang filsafat.”

Dia menjelaskan tujuannya dengan sangat sopan.

“Oh, begitu. Boleh saja kalau ditawari, mangga-mangga,” jawabku tersenyum.

Memang di atas meja terdapat buku Eksistensialisme dan Humanisme karya Sartre yang sedang kubaca, salah satu filsuf Prancis kesukaanku.

Aku memutuskan bergabung karena sudah ditawari, daripada menghabiskan berbatang-batang rokok.

Setelah bergabung dan bersalaman satu persatu sembari memperkenalkan nama, ternyata salah satu dari mereka adalah mahasiswa jurusan filsafat di Universitas Negeri di kota ini.

Terdapat dua perempuan dan tiga laki-laki; Bayu, Rendi, Cikal, Ojay dan Fitri. Yang menghampiri serta mengajakku bergabung adalah Bayu sang mahasiswa filsafat. Perawakannya tinggi dan berambut gondrong, lebih tinggi dariku yang 165 cm.

Dan perempuan tadi yang berkontak mata denganku adalah Ojay, lebih tepatnya Chyntia Jayanti. Berkerudung, namun memakai celana jeans sobek di bagian tulang keringnya. Yang lebih mengagetkan lagi ia memakai kaos tangan panjang bertuliskan Muse, band favoritku. Mungkin ia hanya memakainya saja tanpa memperdulikannya.

Aku tak mempermasalahkan itu, namun temanku, Dandy, sangat rewel apabila ada manusia jenis seperti itu.

Aku mengikuti arah diskusi mereka, dan cukup takjub karena mereka benar-benar membaca buku.

Aku bisa menganalisisnya karena setiap argumen dan perkataan mereka sangat berbobot dan tersusun rapi dalam menyampaikan pikiran-pikirannya sehingga menjadi kalimat yang enak didengar.

Aku cenderung diam, memahami dan merespons seperlunya saja apabila mereka melemparkan pertanyaan kepadaku.

“Menurut Kang Yas, gimana?” tanya Fitri padaku mengenai Humanisme yang sedang mereka bahas di diskusi ini.

“Ya gitu, praktik Humanisme hanya bisa dilakukan oleh manusia saja. Binatang dan tumbuhan mah gabisa ikut praktik Humanisme yah, kasian,” jawabku dengan enteng yang sontak disambut oleh gelak tawa mereka.

Setelah tawa agak reda, Rendi memberanikan diri berbicara kepadaku.

“Kang boleh minta rokoknya? Hehe,” katanya sembari menggaruk-garuk kepalanya kikuk.

“Iya mangga, sok ambil aja yang mau, santai aja biar lebih akrab yah,” kataku nyengir.

“Ga modal lu mah ih baru juga kenal udah dimintain rokok. Eh bagi juga dong, Kang. Hehe,” sambung Fitri yang juga merokok.

Semuanya mengambil rokok yang kutawarkan pada mereka, aku otomatis mengeluarkan satu bungkus lagi di dalam totebag karena aku yakin mereka semuanya merokok.

“Eh lu ga ngerokok, Jay?” tanya Bayu pada Ojay.

“Ngga dulu, nyokap mau jemput takut kecium asapnya hehe,” jawabnya tertawa seraya membetulkan pashminanya.

“Ah elah semprot parfum lah, Jay, bego lu mah,” Fitri menimpali.

“Oh iya juga ya,” kata Ojay tertawa.

“Eh lu dijemput, Jay? Ga balik bareng sama Fitri?” tanya Cikal.

“Ngga nih, nyokap kebeneran bentar lagi balik ngantor, ya udah suruh sini aja sekalian nebeng balik,” jawabnya seraya menghembuskan asap rokok.

Aku hanya mendengarkan obrolan mereka dan ikut tertawa.

“Kang dulunya kuliah filsafat juga?” tanya Fitri.

“Kebetulan iya,” jawabku santai.

“Tersesat ngga?” sambung Ojay.

“Lillahita’alaa,” jawabku setengah tertawa.

Ojay pun tertawa mendengar jawabanku yang dirasanya diluar dugaan.

“Soalnya Bayu masuk jurusan filsafat tersesat katanya, Kang,” kata Ojay dengan tertawa.

"Kampus kita juga, Kang?” tanya Bayu.

“Ngga, di kota seberang sana. Nah kalo duduk di sini baru tersesat nih,” jawabku tertawa spontan dan menular pada yang lainnya.

Tak lama setelah itu, Ibu Ojay datang, dan Ojay langsung berteriak pada Ibunya.

“Maaa… sini..,” teriak Ojay seraya melambaikan tangannya. Kulihat wajah Ibunya tersenyum lalu menghampiri kami.

“Eh lagi pada ngumpul ya, gimana kabarnya kalian?” tanya Ibunya.

Semuanya kompak menjawab “Baik, Bu,” dengan ramah.

“Eh ini, Mas yang waktu itu nolongin teman saya ke rumah sakit ya?” tanya Ibu Ojay padaku memastikan.

“Eh?” kataku kaget, setelah kuangkat wajah dan melihat ke arahnya, aku langsung mengingat kejadian seminggu yang lalu ketika terjadi tabrakan kecil.

“Eh iya, Bu. Maaf saya lupa hehe,” jawabku setengah tertawa.

“Temenmu juga, Kak?” tanyanya pada Ojay.

“Temen baru kenal tadi banget,” jawab Ojay tertawa.

“Tadi banget?” Ibunya kebingunan.

Ekspresinya mengundang tawa Ojay dan diikuti oleh tawa yang lainnya.

“Iya teman baru banget, Bu. Betul. Kebetulan tadi dipaksa ikutan diskusi sama anak Ibu dan teman-temannya.”

Aku inisiatif masuk di antara perbincangan mereka.

“Heh?” kata Ojay kaget yang kemudian tertawa dengan yang lainnya.

“Ah ya sudah, Ibu duluan ya. Selamat haha-hihi lagi mumpung masih muda,” katanya dengan tersenyum.

“Yuk, Kak. Jadi pulang bareng ngga?” sambungnya pada Ojay.

“Duluan ya temen-temen,” kata Ojay tos dengan temannya.

“Kang duluan hehe,” sambungnya yang juga tos denganku.

Aku hanya tersenyum saja. Ibunya menatapku dan menyalami tanganku.

“Makasih ya, Mas. Waktu itu udah nolongin teman saya, kalo ga ada, Mas. Bingung saya harus gimana.

”Eh iya sama-sama, Bu,” kataku.

Itulah pertemuan dan perkenalanku dengan Bu Ratna, Ibunya Ojay.

Semenjak saat itu aku menjadi memiliki pertemuan rutin dengan mereka entah untuk diskusi, kumpul-kumpul tidak jelas, atau apapun itu. Namun tujuannya satu yaitu untuk tertawa bersama.

2

Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 22.30 tak terasa mengingat kejadian itu menghabiskan waktu sekitar kurang lebih 15 menit. Segera kubereskan meja kerjaku, kupakai jaket kulit agar tak terasa begitu dingin saat nanti menembus jalanan.

Kuarahkan kaki ke tempat parkir motor seraya menikmati rokok dengan menghisapnya dalam-dalam.

“Udah beres kerjaannya, Yas?” tanya Pak Dito, security bagian keamanan kendaraan.

“Iya, Pak. Biar cepet liburan,” jawabku tersenyum dan memberikan sebungkus rokok yang kubeli tiga hari lalu di sebuah mini market, dan aku lupa telah membelinya.

“Eh makasih, Yas. Lumayan nih buat nemenin jaga kantor,” ucapnya.

“Sama rokok dulu, Pak. Temeninnya. Nanti sama saya kalo lembur lagi hahaha,” jawabku tertawa sembari menghidupkan motor dan berpamitan padanya.

Selagi menembus jalanan yang masih saja belum sepi, kuputuskan untuk menepi terlebih dahulu ke warung kopi di sebelah gedung bekas kantor ekspedisi yang sudah tak terpakai, dan kini dialihfungsikan menjadi tempat kreasi bagi para mahasiswa. Bayu, Rendi, Cikal, Ojay dan Fitri pun ikut serta meramaikan kegiatan tersebut.

Kuparkirkan motorku di pinggir trotoar untuk memesan kopi hitam dan beberapa makanan ringan.

“Ini, Mas. Mangga kopinya,” kata penjaga warung menghampiriku yang sedang mengecek ponsel.

“Iya, Pak. Makasih,” jawabku ramah.

“Habis dari mana, Mas?” tanyanya membuka percakapan.

“Habis dari kantor, Pak. Nemenin Pak Dito,” jawabku tersenyum.

Yang kemudian hanya direspons dengan senyuman bingung dan mengangguk.

“Bapak kenapa belum tidur? Biar saya aja yang jagain warungnya, Pak,” ucapku asal-asalan.

“Lah jangan, Mas. Masnya cape kan pasti udah pulang kerja lembur,” jawabnya setengah tertawa.

“Berarti kita sama ya, Pak. Sama-sama cape,” ucapku tertawa.

“Saya sering liat sampeyan, Mas. Sering ke gedung sebelah juga kan ya?” tanyanya.

Memang kadang-kadang aku berkunjung ke gedung itu jika sedang ada waktu luang. Bayu dan yang lainnya sering memintaku menghadiri acara diskusi mingguan yang diadakan oleh komunitasnya.

“Iya, kadang-kadang sih, Pak. Ngga sering, kalo lagi mau aja hehe,” jawabku.

“Saya ke dalam dulu, Mas. Diluar anginnya kenceng, udah tua gampang masuk angin,” katanya berpamitan.

“Iya monggo, Pak. Ini uang kopi dan cemilannya,” kataku seraya memberikan uang bayaran.

“Sebentar, Mas. Kembaliannya saya ambilkan,” ucapnya.

“Gausah, Pak. Ambil aja itung-itung nabung kalo kesini lagi,” jawabku.

“Yasudah, nanti kalo kesini lagi, gausah bayar ya, Mas,” katanya tertawa.

“Siap, Pak. Gampang itu mah hehe.”

3

Sinar mentari masuk menerobos jendela kamarku, membuatku silau seketika dengan reflek. Kubalikan badanku menghindari cahayanya namun sia-sia. Rasa kantukku hilang, ingin rasanya mengumpat, namun untuk apa mengumpat kepada mentari yang telah menjalankan tugasnya dengan baik. Segera kubalikan lagi badanku, tanganku menggapai-gapai mencari ponsel yang tergeletak di samping kasur, layarnya masih menampilkan halaman Spotify bekas semalaman mendengarkan lagu-lagu dari Bring Me The Horizon.

Sejenak kuputar ulang kembali ingatanku, apakah ada janji bersama seseorang atau tidak. Rasanya hari minggu ini jadwalku benar-benar kosong.

Kulihat sekeliling kamar kosku, buku-buku tergeletak berhamburan, bungkus rokok tak kalah berserakan juga. Dinding kamarku dipenuhi dengan poster-poster band kesukaan, Bring Me The Horizon, Lamb of God, Suicide Silence, Abominable Putridity, Chelsea Grin, Burgerkill, Seringai, Jasad, Aftercoma, Muse, Coldplay, Paramore, Blink 182, Neckdeep, dan masih banyak lagi yang tersusun rapi menutupi cat dinding kamar.

Perlahan kupunguti buku-buku yang berserakan dan kembali dirapikan di tempat asalnya. Kuputuskan hari ini akan memanjakan kamar kosku yang sudah lama tak kusentuh karena kesibukan kantor. Lagu My Chemical Romance – I Don’t Love You kuputar untuk menemani aktifitas pertama di hari ini.

Kamar indekosku telah menjadi saksi bisu selama setahun lebih bagaimana diri ini merenungi kehidupan yang begitu pelik. Bagiku, kamar ini bernyawa karena selalu mentransfer energi yang melibatkan emosi dalam diri.

--ooo--​
 
PENGIKUT ALUR BAGIAN I: KEJUTAN TAK TERDUGA

1

Bulan Oktober, setahun lalu, aku mendiami indekos ini setelah kuputuskan dengan bulat hengkang dari rumah dan ingin merantau lagi setelah lulus kuliah.

Dua tahun pertama setelah kelulusan kuliah, aku tidak mempunyai pekerjaan tetap. Melamar kesana-sini tak kunjung ada panggilan, dan selalu dimintai uang pelicin agar bisa diterima kerja. Mencoba wirausaha berdagang cemilan, gagal. Sisanya hidupku membebani keluarga, bahkan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tak perlu dibayangkan bagaimana kesalnya keluargaku. Dibalik itu semua, kebutuhanku masih bisa tercukupi, karena mau sekesal apapun keluarga selalu peduli.

Tetapi tak mungkin diriku akan seperti itu terus, hingga terciptanya keberanian untuk membulatkan tekad merantau di kota orang. Kali ini merantau yang benar-benar tanpa alasan dan harapan. Jika sewaktu kuliah merantau karena alasan menuntut ilmu dan dengan harapan agar mendapatkan pekerjaan yang layak. Kali ini aku taruhkan alasan dan harapan itu sesuai dengan alur semesta yang akan membawa bagaimana cerita hidupku.

Bermodal meminjam uang kepada sahabat karib sewaktu kuliah, aku berpamitan pada keluarga dengan dalih ingin mencari kerja. Dengan berat hati mereka mengikhlaskan dan membekaliku dengan doa dan uang seadanya.

Kuputuskan untuk pergi ke Jogja, membawa satu koper dan satu ransel untuk pakaian dan lain-lain. Sisanya kutitipkan pada temanku, termasuk harapan-harapanku, idealismeku, orang-orang tercinta di kotaku, dan masih banyak lagi kenangan yang kutitipkan padanya.

“Suatu saat akan kubawa kesini, Peng,” ucapku pada Cipeng.

“Siap, Yas. Sering-sering pulang, anak-anak nanti pada nanyain,” katanya dengan raut muka tegar.

Namun, bisa kurasakan Cipeng tak rela melepasku yang seringkali mendengarkan keluh kesah tentang pacarnya, dan seringkali rela uangku dipinjam untuk pergi bersama pacarnya.

“Aman, Peng. Nanti kesini lagi kalo udah beres.”

Motorku disimpan di rumah Cipeng, saat itu tak mungkin aku mengendarai motor dengan membawa satu koper dan satu ransel besar.

Surat-suratnya kuserahkan pada Cipeng, menitipkan motor satu-satunya hasil tabungan selama kuliah.

Aku diantar ke stasiun kereta olehnya, menggunakan motorku, atas permintaanku.

Cipeng tetap menungguku sampai kereta tujuanku datang, kurang lebih satu jam Cipeng menemaniku, padahal aku tahu saat itu Cipeng ada shift kerja.

“Peng, bukannya bentar lagi kerja?” kataku mengingatkan.

“Gapapa, Yas. Ga masuk sekali mah santai. Masa temen mau pergi ditinggal,” katanya menatapku dan menepuk pundak.

“Semoga cepet kaya, Peng. Biar ga kerja lagi,” kataku tertawa.

Berbatang-batang rokok kami hisap untuk membunuh waktu yang dilalui tanpa banyak berbincang.

Cipeng adalah tipe orang yang tidak bisa diam, dan selalu ngoceh terus di setiap kesempatan. Tapi waktu itu, Cipeng berbeda, seakan-akan ia mengerti kemauanku yang tak ingin berpura-pura tertawa dalam sebuah perbincangan.

Akhirnya kereta tujuanku datang, aku berdiri, Cipeng juga berdiri. Ia menjinjing koperku, aku menggendong ranselku.

“Ayo, Yas. Keretamu sudah datang.”

Aku mengangguk tersenyum ke arahnya.

Kutarik hisapan rokok di bibirku dan kuberikan pada Cipeng.

“Abisin, Peng. Kenang-kenangan,” kataku setengah tertawa.

Ia menerimanya dan langsung menghisapnya dalam-dalam.

Cipeng menyerahkan koper padaku sesaat ingin memasuki pintu kereta.

“Makasih, Peng. Nitip Ibu, Motor, sama Vera,” ucapku menatap matanya.

Saat itu mata Cipeng sedikit berkaca-kaca mendengar ucapanku.

“Siap, Yas. Laksanakan. Jaga dirimu baik-baik, maboknya kurangin,” katanya berusaha mencairkan suasana yang melankolis.

Aku hanya tersenyum berusaha untuk terlihat tegar.




2

Sekitar satu jam di perjalanan, aku tertidur setelah sebelumnya otakku penuh dengan baying-bayang kenangan. Kuperhatikan sekitar tempat dudukku. Sudah banyak yang turun rupanya, tak sepenuh di awal.

Di ujung belakang bagian kanan terlihat seorang perempuan yang tengah kebingungan seperti sedang mencari sesuatu. Ia melihat ke arahku dan berjalan menghampiri.

“Mas, maaf. Boleh pinjam hpnya sebentar?” ucapnya.

“Oh, mangga, Mbak. Kenapa emangnya, Mbak?” tanyaku dengan mengernyitkan dahi.

“Makasih, Mas. Hp saya hilang kayaknya ada yang ngambil,” ucapnya setengah menangis.

Aku sontak merogoh ponselku di saku jaket, memeriksanya.

“Ah syukurlah,” ponselku tak ikut hilang, aku berucap seraya menyerahkan padanya.

Ia mencoba menghubungi nomor ponselnya. Namun ia menyerah setelah beberapa kali gagal tersambung.

Ia menjelaskan ia tertidur cukup lama dan tidak sadar selama tidur ponselnya berada di genggaman tangannya, ia begitu mengutuk dirinya sendiri. Menyalahkan keteledoran yang seharusnya tak terjadi di transportasi umum seperti ini.

“Mbak, emangnya mau ke mana?” tanyaku dengan hati-hati, takut menambah buruk perasaannya.

“Ke Beringharjo, Mas.”

“Coba di cek lagi barang-barang yang lainnya, Mbak.”

Perempuan itu langsung kembali ke tempat duduknya, memeriksa barang-barangnya satu persatu.

“Syukurlah, barang yang lainnya masih aman,” lirihnya.

“Gimana, Mbak?” ucapku inisiatif menenangkannya karena masih terlihat shock.

Di sekitar kami waktu itu kira-kira ada 8 penumpang, namun terlelap semua. Otomatis mau tidak mau aku yang harus menenangkan si Mbak itu.

“Yang lainnya masih ada, Mas. Syukurlah hanya hp saja yang hilang,” ucapnya lemas.

“Kalo mau hubungin kerabat atau keluarga bisa pake hp saya dulu, Mbak. Kebetulan tujuan kita sama, Beringharjo.”

“Oh iya? Ke Beringharjo juga, Mas?”

“Iya nanti saya ikut mengabari keluarga, Mas. Makasih,” lanjutnya dengan tersenyum.

“Iya, mangga, Mbak. Santai.”

Ia menatapku seraya menjulurkan tangan.

“Oh iya, Mas. Inne,” ucapnya memperkenalkan diri.

“Yas, Mbak,” ucapku ramah.

“Yas?”

“Iya, Mbak?”

“Ih saya nanya, Mas,” ia tertawa.

“Mas namanya, Yas?” sambungnya.

“Yassar, Mbak,” jawabku cepat dengan sedikit tertawa.

Aku berusaha mengakrabkan diri, karena terdorong untuk memberikan pertolongan secara naluri. Jika saja aku memilih untuk diam, mungkin pengalaman dan perasaan simpati yang kini kualami terlewati begitu saja.

Aku percaya semuanya sudah ada yang mengatur, tinggal bagaimana sikap dan cara menghadapinya saja. Terkadang sesuatu terjadi di dalam kendali, terkadang juga sesuatu terjadi di luar kendali. Dan aku yakin kejadian yang dialami Inne adalah yang terjadi di luar kendalinya.

Aku mencoba menghiburnya dengan bercakap-cakap. Cukup panjang kami bercengkrama saat itu. Hingga kutahu, Inne adalah seorang pengajar matematika di salah satu SMA Negeri di Jogja.

Ia baru saja pulang dari Surabaya dalam kegiatan training centre untuk sertifikasi guru muda setelah tiga bulan lamanya.

Inne saat itu memutuskan duduk bersebelahan denganku untuk berjaga-jaga, barang bawaannya ditumpuk di atas barang bawaanku.

“Aku taruh sini ya, Mas,” ucapnya meminta izin padaku.

“Iya di sana aja, Mbak, gapapa,” jawabku ramah.

“Aduh berasa tua banget saya dipanggil, Mbak,” katanya tertawa seraya menutupi mulutnya.

Aku ikut tertawa spontan.

“Saya juga dipanggil, Mas. Padahal ngga kayak Mas-mas,” ucapku datar.

Gaya bicaraku membuat ia tertawa lagi. Syukurlah ia sudah bisa tertawa setelah musibah menimpanya pikirku. Ia terlihat lebih rileks. Terlihat dari cara duduknya yang santai.

“Setengah jam lagi nyampe di stasiun pemberhentian, Yas,” kali ini menyebut namaku.

“Oh iya? Syukurlah kalo gitu.”

Inne memiliki perawakan tinggi semampai, lebih tinggi dariku bila kutebak. Khas perempuan jawa yang memiliki kulit kuning langsat. Ia memiliki tatapan yang teduh, alisnya tebal namun rapi. Berhidung mancung, dan memiliki bibir tipis yang sensual. Oh iya satu lagi, ia berjilbab.

3

Tak terasa, kami sudah sampai di stasiun pemberhentian. Aku dan Inne bersiap-siap mengemasi barang bawaan masing-masing.

“Yas, kita ke mini market dulu sambil istirahat sebentar,” ajaknya.

Benar saja, ia lebih tinggi dariku. Ketika berhadapan dengannya tinggiku hanya sehidungnya. Dan ia biasa saja menyadari hal itu. Justru aku yang sedikit kikuk.

Ia berpenampilan menarik. Meskipun seorang pengajar, namun ia terlihat seperti anak SMA. Gaya berpakaiannya cenderung tomboy. Ia mengenakan kaos polos hitam yang dibalut dengan jaket jeans panjang. Dipadukan dengan warna pashminanya yang senada, rok pisket hitam dan sepatu sneakers putih.

“Kamu mau beli apa, Yas? Biar aku aja yang masuk,” tanyanya padaku.

“Aku juga masuk deh, biar milih sendiri.”

“Ya udah, yuk!”

Kami masuk ke mini market dan bergerak mencari kebutuhan masing-masing. Aku fokus mencari minuman segar. Karena cukup suntuk rasanya setelah duduk hampir 2 jam lebih di kereta. Cukup bingung untuk menentukan pilihan minuman mana yang nanti akan membasahi kerongkonganku.

“Aku juga mau dong, Yas,” ucap Inne yang telah ada di sampingku.

“Yang mana?”

“Yang mana aja, aku gak terlalu tahu minuman segar haha. Aku manut sampeyan, Mas.”

Kami tertawa kecil karena itu.

Setelah membayar ke kasir. Kami duduk di kursi depan mini market. Aku menyalakan rokokku. Ia tak protes, malah menyantap cemilan yang dibelinya barusan.

“Ini kabari dulu keluarganya, In,” kataku dengan menyodorkan ponsel.

“Iya nanti aja, Yas. Lagian aku gak tahu nomer orang-orang terdekatku.”

“Akun medsos inget, kan?”

“Ah iya bener juga, aku ikut log in Instagram aja deh,” ucapnya senang.

Ia mulai mengotak-ngatik ponselku. Kuperhatikan ia tidak sama sekali gagap dalam mengoperasikannya. Jemarinya seakan tersinkronisasi dengan baik sesuai yang ia mau. Kupikir ponselnya yang hilang sama dengan ponsel punyaku.

Inne sudah mengabari keluarganya, sedangkan aku masih bingung. Tak tahu arah tujuan. Entah ke mana lagi kaki ini harus melangkah setelah menapakan kaki di Kota Pelajar ini.

“In!” kataku.

“Ya?” ucapnya memalingkan wajah dari ponselku dan melihat ke arahku.

Inne kini sedang berselancar melihat-melihat foto di Instagramnya dengan ponselku. Aku tak menghiraukannya.

“Kalo sewa kos di daerah sini kira-kira berapa ya? tanyaku.

“Bermacam-macam, beraneka ragam, kayak Indonesia,” jawabnya tanpa menoleh.

“Kamu mau yang gimana?” lanjutnya seraya menatapku.

“Yang jelas bisa di pake buat tidur lah hehe.”

“Kamar mandi dalem apa luar?”

“Dalem aja lah, kasian di luar dingin.”

“Heh!” jawabnya tertawa.

“Sekitar x, kalo daerah sini,” lanjutnya.

“Gampang deh, nanti aku carikan.”

“Kok nanti? Kan butuhnya sekarang buat tidur,” jawabku setengah tertawa.

“Sekarang ikut aku aja dulu, masalah itu gampang.”

Aku sedikit kaget, ikut dia? Kemana? Yang kutahu tujuan ia sekarang adalah ke rumah sakit untuk mengunjungi ayahnya yang sedang dirawat. “Nanti tidur di rumah sakit?” tanyaku dalam hati.

Kuputuskan untuk mengiyakan tawarannya, karena aku sendiri masih bingung jika harus luntang-lantung sendiri. Tadinya akan kuhubungi kenalan Cipeng yang kontaknya diberikan padaku ketika mengantar ke stasiun.

“Hubungi saja nomer ini, Yas. Bilang saja kau kawanku,” ucap Cipeng padaku.

Aku mengiyakan saja tanpa kutanya kenalan Cipeng ini siapa, perempuan atau lelaki, bapak-bapak atau ibu-ibu. Yang jelas aku sudah menyimpan kontaknya dengan nama “Kenalan Cipeng di Jogja”.

Aku menghabiskan tiga batang rokok sembari menikmati cemilan yang dibeli, sedangkan Inne masih saja sibuk dengan ponselku. Kubiarkan saja dan kumaklumi. Tetiba bunyi notifikasi WhatsApp masuk di ponselku.

“Eh astaga, aku hampir lupa, maaf, Yas. Aku malah keasyikan mainin hpmu. Soalnya hpmu sama kayak hpku yang hilang hehe,” katanya sedikit menahan malu.

Tebakanku benar, ponselnya sama dengan ponselku yang sedari tadi asyik diotak-atik olehnya.

“Ini ada WA masuk,” katanya seraya mengulurkan tangan.

“Dari siapa?” dengan sisa ketawaku karena tingkahnya.

“Cipenggg,” katanya memanjangkan bunyi akhirnya.

“Udah nyampe, Bro?” lanjutnya membacanya tanpa kusuruh, Ia menirukan suara lelaki untuk membacanya.

Sontak, itu membuat kami tertawa cukup keras. Kupikir Inne adalah orang yang mudah bergaul, bahkan denganku yang baru saja dikenalinya. Entah karena ia seterbuka itu dengan sikapnya karena aku telah bersimpati kepadanya. Tak tahu, hanya Inne yang tahu.

“Balesin,” ucapku.

“Bales gimana?”

“Udah.”

“Udah?”

“Ya udah.”

Kami tertawa lagi, rupanya ia paham dengan selera humorku yang receh.

“Ih! Gapake, Bro?” tanyanya.

“Terserah.”

“Dasar cewek!” katanya dengan nada yang dibuat kesal.

Kami seperti teman lama yang baru bertemu pada saat itu, aku terkadang menyesuaikan diri ketika bertemu dengan orang baru. Tapi kali ini, bertemu dengan Inne membuat diriku seenaknya karena keterbukaan sikapnya padaku.

4

Inne menyetop mobil angkot setelah diputuskan mengunjungi ayahnya di rumah sakit sekaligus menemui ibunya yang ada di sana.

Ia sengaja memilih angkot yang kosong, karena barang bawaanku dan barang bawaannya cukup membuat risih.

“Ke Rumah Sakit X, Pak,” kata Inne pada Pak Sopir.

Aku mengikuti Inne kemanapun ia melangkah, seperti anak ayam yang selalu mengikuti kemanapun induknya pergi.

“Abis dari mana, Mas, Mbak?” tanya Pak Sopir memecah keheningan.

Aku pikir, yang membuat Pak Sopir bertanya seperti itu adalah; barang bawaan kami yang banyak, mungkin itu landasan pertanyaannya.

“Habis jalan-jalan, Pak,” jawabku.

Inne hanya menoleh senyum ke arahku, tak berusaha membenarkan.

“Harus gitu, Mas. Sering ajak si Mbaknya jalan-jalan, biar seneng terus,” ucap Pak Sopir seraya melirik ke arah Inne melalui kaca spion tengah.

“Iya toh, Mbak?” lanjutnya.

“Setuju, Pak,” kata Inne melirik ke arahku dengan tertawa.

Sekitar 30 menit perjalanan akhirnya kami sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar.

Inne langsung menuju resepsionist dan menanyakan lokasi ruangan atas nama ayahnya yang dirawat. Aku menunggunya duduk di kursi menjaga barang bawaan Inne yang dititipkan.

“Yas!” teriaknya padaku.

Aku mengarahkan muka menatapnya.

“Yuk!”

“Aku di sini aja lah, In,” kataku ragu.

“Ayo buruan sini!” kata Inne sedikit memaksa.

Aku berjalan ke arahnya sembari membawa barang bawaannya.

“Ya udah, aku manut sampeyan, Mbak.”

Aku memakai kalimatnya ketika tadi sewaktu membeli minuman di mini market.

“Ih! Haha,” katanya tertawa.

Aku mengikutinya dari belakang, jalannya agak cepat. Aku memahaminya kenapa ia seperti itu. Tetiba saat kami berjalan, ada suara yang memanggilku.

“Mas! Ransel sama kopernya simpen di sini aja,” kata resepsionist.

“Oh iya, Mbak,” Inne yang menjawab, seraya mengambil barangnya di tanganku.

“Simpen aja deh, biar ngga ribet,” katanya padaku.

Akhirnya kami telah sampai di pintu masuk ruangan ayah Inne dirawat setelah menaiki lift ke lantai 3.

“Aku di sini aja,” kataku.

“Ngga masuk?”

“Malu, nanti aja hehe.”

“Di sini ngga malu diliatin orang?”

Memang benar saat itu banyak orang yang sedang menunggu pasien, ada yang tiduran di lantai, ada yang duduk. Yang kulihat mereka jenuh di sana.

“Ngga, lebih maluan di dalam,” kataku tertawa.

“Aku masuk ya,” seraya menolehku lalu membuka pintu.

Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Yang pasti aku tak ingin memikirkannya, aku hendak mengirim pesan kepada Cipeng.

“Peng, kenalanmu tinggal di daerah mana? Anak siapa?” pesanku.

Tak lama kemudian Cipeng membalas pesanku.

“Di daerah Malioboro, Yas. Gatau anak siapa. Sering dipanggil Codot, alumni kampus x”.

Informasi Cipeng sedikit membantuku, nanti akan kutanyakan pada Inne apabila sudah santai.

Kali ini aku benar-benar mengikuti alur semesta. Siapa yang mengira aku akan bertemu dengan Inne, perempuan cantik yang menyenangkan. Siapa yang mengira aku akan duduk di kursi rumah sakit dan melihat wajah-wajah lelah di sepanjang koridor. Aku berpikir, menjadi seperti air yang mengikuti arusnya cukup menyenangkan, penuh dengan kejutan. Melangkahkan kaki tanpa tujuan tidak terlalu buruk pikirku.

Tetiba dari arah samping terdapat pria yang hendak masuk ke pintu ruangan ayah Inne yang sedang dirawat. Sesaat sebelum membuka pintu, ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk tersenyum. Ia tidak.

Mungkin salah satu dari keluarga Inne, pikirku. Aku tak ambil pusing.

Hasrat ingin merokok tinggi pada saat itu, karena kondisinya cukup sesak. Peluhku bercucuran di balik kemeja flannel yang kukenakan.

“Yas! Masuk!” kata Inne yang tiba-tiba menghampiriku.

“Masuk?” tanyaku bingung.

“Aku udah ceritain semua, mereka ingin bertemu kamu.”

“Aku manut lagi,” ucapku, yang kemudian pinggangku dicubit pelan olehnya.

Apa yang harus kulakukan di dalam sana. Apakah aku harus memperkenalkan diri lagi bila Inne sudah menceritakannya semua. Kenapa jadi rumit pikirku, tinggal nikmati saja alurnya, batinku tersadar kemudian.

“Yas! Yuk!” ajak Inne.

“Iya.”
 
Bimabet
Setelah masuk ke ruangan itu, kulihat Ayah Inne terbaring di kasurnya dengan tenang seraya menoleh ke arahku dan tersenyum. Begitupun Ibunya yang menghampiriku.

“Nak, makasih sudah menolong anak Ibu,” ucapnya sembari memegang kedua tanganku.

Aku langsung salim, mencium tangannya.

“Eh, iya, Bu. Sama-sama,” jawabku ramah.

Aku menyalami semua orang yang ada di ruangan itu. Di sana terdapat enam orang termasuk aku dan Inne. Salah satunya adalah kakak perempuan Inne bersama suaminya, yang tadi menatapku di pintu masuk.

“Makasih, Mas,” kata Ayah Inne ketika aku menyalaminya.

“Nggih, Pak.”

Kami berbincang cukup lama, suasana di ruangan itu begitu hangat kurasakan ketika Inne dengan cerdas menutupi kebingunganku yang tidak tahu harus berbuat apa. Kuakui Inne bisa merubah keadaan hingga aku tak merasakan canggung lagi ketika berbincang dengan mereka.

“Jadi sekarang niatnya cari kos-kosan, Yas?” tanya Mbak Asri, kakaknya Inne.

“Iya, Mbak hehe.”

“Udah ada?”

“Belum sih, Mbak. Tapi udah ada kenalan jadi gampang nanti nyarinya,” kataku dengan yakin.

“Mas, temenmu ada yang punya kos-kosan kan?” tanya Mbak asri pada suaminya Mas Ronald.

“Iya ada, Pak Hendi.”

“Tapi itu khusus mahasiswa, Mas,” lanjutnya padaku.

“Gapapa saya jadi mahasiswa lagi deh,” jawabku setengah tertawa.

Tak kusangka, mereka tertawa dengan jawaban spontanku. Nyatanya Mas Ronald baik-baik saja padaku, hanya saja sepertinya menaruh sedikit curiga karena belum sepenuhnya yakin terhadap cerita Inne. Aku menyadarinya, dan tak mempermasalahkannya.

6

Waktu berjalan begitu cepat, saat itu sudah menunjukkan pukul 18.30.

Inne mendapatkan kabar dari ibunya bahwa besok ayahnya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena sudah seminggu dirawat di rumah sakit itu.

Mbak Asri memutuskan untuk menginap beberapa hari sebelum pulang lagi ke Jakarta.

Sedangkan Inne izin pulang ke indekosnya terlebih dahulu untuk mengeceknya setelah 3 bulan ditinggal ke Surabaya. Kemudian Inne pamit kepada mereka untuk pulang lebih awal. Ia ingin segera berisitirahat dan menyegarkan tubuh.

“Bu, aku ke kosan dulu, ya. Besok ke rumahnya,” kata Inne pada Ibunya.

Ibunya tersenyum mengangguk.

“Kapan mulai ngajar lagi, Nak?” tanya Ibunya

“Lusa, Bu.”

“Ya sudah hati-hati, Nak.”

“Makasih, Nak Yassar,” ucap Ibunya padaku.

Aku tersenyum mengangguk.

Inne memahami kondisiku, yang kemudian ia menjelaskan kepada mereka bahwa aku akan menemui kenalanku untuk mencari indekos. Kami pun berpamitan, mereka mempersilakan. Dan menyuruh Inne untuk mengajakku makan terlebih dahulu.

Setelah keluar dari ruangan itu aku protes kepada Inne seraya berjalan melewati koridor.

“Aku ngga punya kenalan di sini.”

“Diem, katanya manut,” ucapnya tertawa.

Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum. Aku benar-benar mengikuti alur yang diciptakan oleh Inne kali ini, bukan semesta.

Aku baru mengetahui bahwa Inne tidak serumah dengan orang tuanya.

“Kenapa kamu kos, In?” tanyaku sembari menghisap rokokku.

“Yeee tempatku ngajar jauh dari rumah.”

“Emang iya? Disini jauh ngga?”

“Sejaman paling, kenapa? Cape?”

“Lumayan sih,” jawabku.

“Makannya sekarang makan dulu,” ucapnya mengajakku ke sebuah café restoran tak jauh dari rumah sakit.

Kami makan dengan lahap karena sudah sangat lapar. Aku dengan singkat menghabiskan makanan pesananku lalu menikmati sebatang rokok menunggu Inne selesai menyantap pesanannya.

Inne begitu menikmati makannya. Terlihat dari cara ia memasukan suap demi suap ke dalam mulutnya. Aku tak mengajaknya berbicara ketika ia makan. Yang kutahu itu tidak boleh dilakukan. Meskipun sering dilakukan juga olehku. Namun, yang kusadar sekarang aku berada di kota orang, yang mungkin memiliki adat budayanya tersendiri.

“Kamu tidur di kosku aja, Yas,” katanya mengagetkanku.

“Besok saja cari kosannya. Tadinya aku mau telepon temenku biar kamu bisa numpang tidur,” lanjutnya.

“Teleponnya gimana?”

“Nah itu masalahnya, baru inget ga punya hp haha,” ucapnya sembari tertawa.

Aku diam saat itu, bingung harus bagaimana menyikapi dan meresponsnya. Aku tidak berpikir macam-macam dan memvonis ia terlalu berani padaku yang baru dikenali olehnya beberapa jam yang lalu. Aku yakin ia memiliki alasan tersendiri kenapa menawari itu kepadaku. Aku harap ia tidak serius dengan tawarannya.

“Aku tidur di masjid dekat kosmu aja, kalo ada.”

“Yakin?” tanyanya.

“Iya.”

Inne diam, aku juga diam. Suasana menjadi kikuk. Aku menatap kosong jalanan yang penuh dengan lalu-lalang kendaraan. Inne memainkan tisu di tangannya.

Setelah beberapa menit kita saling diam, akhirnya Inne menjelaskan mengenai tawarannya tersebut.

“Yas, maaf kalo tawaranku menyinggung,” ucapnya menunduk.

Aku bingung harus merespons apa selain meneruskan menghisapi rokok di bibirku.

“Aku terbawa suasana, Yas. Rasanya aku udah kenal lama banget sama kamu. Makanya aku nawarin, padahal aku baru kenal beberapa jam sama kamu haha,” tawanya canggung.

“Ah iya, aku paham, In. Maaf juga aku terlalu cepat menyimpulkan.”

“Aih, nanti aja ya maaf-maafannya, lebaran masih lama.”

Kami tertawa lagi, memang Inne pandai mencairkan suasana. Sifat supelnya tertanam dalam dirinya. Rasanya berbeda jauh dengan kebanyakan sikap pengajar matematika di sekolahku dulu yang selalu serius.

7

Aku memesankan driver online untuk Inne pulang menuju indekosnya, dan koperku dibawa oleh Inne agar bawaanku tak terlalu banyak. Kini yang kubawa hanya ransel saja yang sedikit ringan karena telah kupindahkan sebagian isinya ke koper.

“Kamu jangan hilang, Yas. Nanti sama aku di kabarin,” ucapnya sembari membuka pintu mobil untuk memasukan barang bawaannya, termasuk koperku.

“Hahaha semoga tidak ada yang menculik,” jawabku.

Tetiba ia mengeluarkan pena dan buku kecil dari tas jinjingnya, kulihat ia menuliskan sesuatu.

“Berapa nomor WA kamu?” tanyanya tanpa menolehku.

Aku menyebutkannya satu persatu, ia mencatat. Kertas itu dilipat menjadi dua bagian lalu disobekan. Bagian yang satunya diberikan kepadaku, di sana tertulis alamat lengkap indekosnya.

Sementara itu sang sopir masih menunggu dengan sabar tanpa menoleh ke arah kami. Aku mengapresiasi sopir itu sebagai sopir professional.

“Kamu tidur di mana sekarang?” tanyanya.

“Di mana saja, di kosanmu nanti nyusul,” ucapku tertawa.

Ia mencubit lenganku seraya memasuki mobil. Ia melambaikan tangan padaku setelah kulihat jendela pintunya terbuka.

Benar-benar tanpa rencana perjalanan kali ini. Aku mengingat-ngingat kembali susunan peristiwa yang terjadi. Inne kehilangan ponsel, yang lalu kemudian aku dan ia seperti teman lama, hingga kini seperti ada yang hampa di hatiku ketika Inne pergi. Rasanya aku terlalu terbawa suasana setelah lelah dengan semua kejutan. “Benar katamu, In. Terbawa suasana, sedikit menegangkan”.

--ooo—​
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd