Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    495
***

Sembari menunggu sarapan siap, aku putuskan untuk mandi. Terlebih dahulu aku mengambil pakaian ganti dan peralatan mandi. Jangan lupakan handuk warna merah-biru dengan lambang klub sepakbola favoritku, Barcelona.

Di bilik kamar mandi yang terbuat dari dinding beton setinggi dua meter, aku memulai ritual pertama.

Berak.

Aku bakar rokok untuk menambah daya dobrak pusaran energi kue coklat lezat yang keluar dari dalam blackhole.

Kuhabiskan terlebih dahulu rokokku, lalu kubuang ke dalam septic tank. Segera aku membasuh tangan dan lubang matahariku dengan sabun cair. Kulanjutkan menyiramkan air dingin dari bak mandi.

Brrrr!

Aku berasa sedang mandi air es. Bajingan.

Rambut kutuang shampoo. Badan kuoleskan sabun cair. Menggosok rambut terlebih dahulu sampai berbusa, lalu meratakan sabun cair di setiap titik tubuhku yang terjangkau tangan.

Ritual terakhir, tentu saja memanjakan si Otong kesayangan spek berurat yang kuberi nama Palu Gatot, alias panjang berbulu gagah dan berotot.

Rerumputan hitam yang menghiasi Palu Gatot-ku mulai lebat seiring bertambahnya umurku. Terlebih aku jarang cukur-mencukur. Tahu sendiri bukan kalau dipangkas sampai pendek, apalagi sampai gundul, pas menggenakan celana dalam, rasanya kurang nyaman. Bajingan.

Sambil menyabuni dan membelai lembut batang coklat kebanggaanku yang pagi ini dalam sleep mode, aku merasakan nikmat. Dan entah mengapa, aku justru mendongak. Memejamkan mata. Meresapi tangan laknat yang dengan kurangnya berubah haluan menjadi kocokan.

Bayang-bayang kemolekan tubuh artis porno favoritku mulai menginvasi otakku. Membawa serta rasa hangat dan nafsu yang mulai berkobar. Bentukan batang kontol coklatku mulai memanjang, besar. Berikut urat-urat kekar yang mulai menonjol.

Semakin cepat. Cepat. Entah mengapa, saat kocokanku tak lagi bisa dihentikan, nafsu birahiku yang menari-nari di dalam pikiran semakin liar.

Tanpa bisa dicegah, mulutku mendesah, "Sssshhh ... mantap banget, Sayang! Ahhhh! Sepong terus ... ssshhhh ... mentokin, Sayang!"

Clek! Clek! Clek!

Perpaduan sabun cair, sedikit air, dan suara eranganku tentu saja mengundang sosok yang tak kuharapkan. Sosok yang berdiri mengintip dari pintu kamar mandi yang satu engselnya sudah rusak.

Ya, Nenek mengintipku yang sedang onani ria dengan sorot nanar saat di mana mataku mulai terbuka. Seiring desakan lahar panas yang sebentar lagi meledak.

"Ahhhhhh!" tak kupedulikan Nenek. Aku semakin menggila. Mengocok tanpa mengurangi kecepatan. Yang kemudian, badanku bergetar. Kedua kakiku mulai goyah.

Sedetik ...

Crot! Crot! Crot!

Desahanku tertahan nikmat. Semburan sperma meluncur cepat menembak dinding kamar mandi. Lelehan putih kental bau santer tercium wangi pandan.

"Ahhh ... shit ...." Aku ngos-ngosan. Gerakan mengocok tangan kanan sialanku melambat. Lalu, berhenti.

Tap, tap, tap.

Dan sedetik, terdengar langkah kaki mendekat. Herannya, aku justru mematung di tempat. Pun dengan mataku yang tetap setia memperhatikan gerak-gerik Nenek. Kepalang basah. Kucoba mencari sebuah pembelaan andai nantinya Nenek menghujat cucunya yang dengan kurang ajarnya onani sambil mendesah mesum.

"Lapo, Le?" (Ngapain, Nak?) setelah beberapa lama terdiam, Nenek buka suara. Matanya tak lepas dari batang kontolku yang masih tegang seperti semula. Seakan satu kali pengeluaran benih-benih calon astronot tak ada pengaruhnya. Tetap perkasa dan mendongak angkuh nan pongah.

"Ngetokno cakra, Nek." (Mengeluarkan cakra, Nek.) Meski malu, aku tutupi dengan berpura-pura santai. Gugup sedikit, tidak masalah.

"Hmm ... kok masih ngaceng tho, Le?" kembali Nene bertanya. Tak ada yang menyuruh, langkah kaki Nenek mendekati diriku yang masih tetap di posisi awal. Tertangkap jelas di telingaku suara Nenek yang menelan ludah kuat-kuat. "Gedhe, Le." (Besar, Nak.)

"Terus kenapa kalau masih ngaceng? Dan kenapa kalau besar, Nek?" aku berdebar juga dengan situasi serba canggung ini.

Bukannya menjawab, Nenek justru mengajukan pertanyaan semi mengiba, "Nenek boleh pegang ndak?"

"Ngawur! Ingat, Nek, ini punya cucu Nenek." Aku mengelak. Secepat kilat aku membasuh badan, kontol, dan menyiram sisa-sisa cairan. Yang kemudian, segala jenis air bercampur menjadi satu menuju lubang pembuangan.

"I-iya. Ya udah, cepetan keluar. Nenek kebelet pipis."

Tanpa menjawab, segera aku mengeringkan badan dengan handuk, lalu memakai pakaian. Cepat dan praktis. Sambil mengalungkan handuk di leher, aku meninggalkan bilik kamar mandi. Rasa malu pada diriku jelas ada. Namun, sebisa mungkin aku mengalihkan perhatian ke suaka lain.

Di satu sisi, aku mengutuk kebodohanku sendiri. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bisa-bisanya aku onani? Apa otakku sudah terlampaui ikut rusak karena berada di lingkungan abstrak di rumah orang tua ibuku ini? Bajingan.

Di sisi lain, aku merasakan adrenalin yang menggila. Telanjang polos disaksikan oleh seorang wanita. Terlebih wanita itu adalah Nenekku sendiri. Aturan yang berlaku harusnya tak ada nafsu atau apalah itu. Tapi anehnya, aku merasa bangga mempertontonkan bagian terlarangku kepada Nenek. Padahal, pacarku di kota saja belum pernah melihatnya. Pacaran kami pun tergolong sehat tanpa campur tangan nafsu di dalamnya.

Lupakan.

Untuk menghilangkan kemelut hati tersanderakan obsesi tuk melangkah lebih jauh bisa tidur bersama Nenek, aku segera menuju teras depan. Merokok santai. Menikmati udara pagi yang sejuk. Suasana damai pedesaan yang takkan bisa kudapatkan di kota.

Ada kiranya empat batang rokok telah tandas. Hambar juga kalau tak ada minuman hangat. Minimal kopi, lah. Untuk mendapatkannya, jelas aku harus bertemu dengan Nenek lagi. Hanya saja, aku belum siap. Masih malu.

Tak lama, Nenek keluar. Tubuh bongsor nan bahenolnya terbungkus daster panjang lengan pendek motif bunga. Kedua tangannya membawa dua cangkir kopi. Sebuah kebetulan yang mengerikan.

"Ini, Le, kopinya." Suara Nenek berbeda. Lebih ke arah menyapa kekasihnya. Gerak-geriknya pun seperti anak muda yang malu-malu. Mengambil duduk di sebelahku, Nenek hanya menunduk setelah meletakkan dua cangkir kopi di atas meja kecil. Semerbak wangi sabun dan aroma parfum menusuk hidungku. Dasar Nenek tidak tahu umur!

"Makasih, Nek." Aku menjawab apa adanya.

"Hmm ... gimana, Le? Enak ndak di sana?"

"Maksud Nenek di sini, kan?!" aku ngegas.

Nenek nyengir kuda. "Iya. Maksud Nenek itu."

"Lumayan, Nek. Cuma aku sedikit tertekan aja."

"Tertekan kenapa, tho?"

"Nenek masih belum berubah. Masih agak-agak seperti dulu."

"Kenapa kamu masih berpikiran negatif sama Nenek?"

"Lupakan aja, Nek." Aku tak melanjutkan topik ini. Takut merusak mood kami berdua.

Dalam keheningan, kamu hanya merokok dan menyeduh kopi. Dua kegiatan nyata yang kami lakukan sambil memperhatikan aktifitas warga desa yang lalu lalang di jalan. Beberapa dari mereka, terutama para wanita menatap ke arah teras rumah Nenek. Sampai ...

"Ini semua gara-gara Kakekmu, Be." Akhirnya Nenek memulai obrolan. Hampir saja aku ingin meninggalkannya kalau kami hanya diam-diaman.

Aku menoleh. Mendapati raut muka sedih Nenek yang tengah menghisap rokok dalam-dalam. "Apa maksud Nenek?" tanyaku, sembari kembali meluruskan pandangan ke arah depan.

"Nenek ... Nenek ... sakit hati." Nenek menyandarkan punggung. Menatap ke atas dengan mata berkaca-kaca. Lalu, mulailah Nenek bercerita.

Aku mendengarkan dengan seksama untuk menghargai Nenek yang tengah curhat. Mengeluarkan segala uneg-unegnya kepadaku. Dengan bumbu naik-turunnya intonasi suara serta mata yang mulai berair, Nenek mengakhiri sesi curhat sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang nampak berurat hijau halus.

Aku menghembuskan asap rokok ketujuh di pagi ini. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada meracuni paru-paru dengan nikotin ketimbang memperparah beban pikiran karena penuturan Nenek yang memaparkan dari awal bagaimana Kakek bisa terkena stroke sampai hubungan gelapnya dengan Adam, anak muda yang sudah memiliki seorang istri cantik di rumah.

Cerita yang membagongkan ini sungguh membuatku miris. Pasalnya, cerita dari sudut pandang Nenek yang dibagikannya kepadaku, cukup membuat darah mendidih.

Awal mula sisi gelap dua orang tua yang lupa umur adalah saat dua tahun lalu Desa Gentengan mengadakan bersih desa alias slametan. Upacara adat Jawa di mana memberikan sesaji kepada danyang desa. Sesaji yang biasa digunakan warga Desa Gentengan berasal dari setiap keluarga untuk menyumbangkan makanan. Bebas. Apa pun itu.

Bersih desa dilakukan oleh warga untuk membersihkan desa dari roh-roh jahat yang mengganggu. Maka dari itulah, diberikanlah sesaji kepada danyang, karena danyang dipercaya sebagai penjaga desa.

Upacara bersih desa diadakan upacara bersih desa diadakan di Pendopo Kantor Kepala Desa. Bersih desa juga dimaknai sebagai ungkapan syukur atas panen padi keberhasilan Desa Gentengan me-ekspor 50 ton padi kala itu.

Dalam upacara bersih desa ada sedekah bumi yang biasanya berupa nasi tumpeng dan lauk pauk yang dibuat oleh warga desa Seluruh makanan yang ada dalam upacara bersih desa merupakan hasil sumbangan keluarga-keluarga di desa. Sponsor utamanya sudah barang tentu Kakek dan Nenek.

Upacara bersih desa dilakukan selama sehari penuh dengan beberapa tahapan. Di pagi harinya, dilaksanakan kegiatan bersih-bersih seluruh lingkungan desa. Membersihkan gorong-gorong, mengecat jalan, membenarkan lampu jalan, hingga memangkas tanaman yang dirasa menganggu aktifitas warga desa di jalan.

Selain itu mulai dipersiapkan pula alat-alat untuk upacara seperti tikar, panggung, dan tempat sesaji. Pagar pohon yang dikeramatkan di desa juga diganti dengan yang baru. Sementara itu, beberapa warga, khususnya para wanita, mempersiapkan makanan untuk upacara.

Siangnya, tepat tengah hari, kepala desa akan memukul kentongan sebagai tanda semua makanan sudah harus siap diantar ke Pendopo Kantor Kepala Desa. Namun, ada dua orang yang lepas dari pengamatan semua orang. Dua orang yang memiliki kegiatan berbeda.

Di sinilah semuanya dimulai.

Kakek yang kala itu masih sehat secara jasmani dan rohani, melakukan perbuatan tak terpuji. Bersama janda kembang yang usianya masih muda, Kakek mengajak wanita itu berhubungan badan dengan iming-iming sejumlah uang guna membantu melunasi hutang si janda kembang.

Tak ada pilihan. Meski terpaksa, lama-kelamaan si janda kembang menikmati persetubuhannya dengan Kakek. Menurut Nenek, meskipun Kakek sudah tua, fisik dan kejantanannya masih hebat. Terbukti, saat perselingkuhan mereka tercium Nenek di bulan keempat, si janda kembang hamil.

Gempar lah warga desa. Karena selama ini, untuk menutupi aib Kakek, Kakek menyuruh si janda kembang menjalin hubungan pacaran bersama kakaknya Adam yang bernama Ruslan. Dengan satu syarat: tidak boleh bercinta.

Tak ayal, ramai-ramai warga desa menghakimi Ruslan. Mengarak keliling desa. Lalu, mengeroyoknya sampai tewas di tempat karena telah menodai sang janda idola warga.

Nenek yang mengetahui itu semua, awalnya diam. Namun, seiring berjalannya waktu, Kakek tak pernah menyentuh Nenek sama sekali selama lebih dari 6 bulan. Padahal, Nenek sendiri juga masih sehat dan bugar. Menstruasinya pun masih lancar. Di umurnya yang kala itu memasuki 52 tahun, Nenek belum mencapai masa menopause. Tentunya, besar kemungkinan Nenek untuk hamil. Karenanya, Nenek menyusun sebuah rencana. Yaitu membalas kelakuan Kakek tanpa koar-koar. Dan orang yang dipilih Nenek adalah adik dari Ruslan, Adam.

Benar saja. Bertepatan dengan si janda kembang melahirkan anak hasil hubungan bersama Kakek, Nenek hamil 16 minggu. Anak Nenek bersama Adam.

Pertengkaran hebat kala itu antara Kakek dan Nenek mengadu fisik. Kakek yang menghajar dan memukuli Nenek menggunakan kayu. Sementara Nenek balas serangan memakai gagang sapu. Hingga kemudian, Kakek yang sudah emosi tingkat tinggi hendak melancarkan serangan pamungkas dengan mengangkat meja. Tapi apalah daya, takdir berkata lain. Pinggang Kakek mendadak encok. Bukannya meja yang berhasil Kakek lemparkan ke Nenek, justru meja tersebut menimpa dirinya sendiri. Jatuh dengan kepala belakang mendarat terlebih dahulu di lantai. Stroke pun tak terhindarkan.

"Jadi, Nek. Di mana sekarang pamanku?" yang aku maksud adalah anak Nenek. Secara silsalah, benar adanya jika anak yang dikandung Nenek terhitung adik dari ibuku. Sudah jelas bukan aku memanggilnya paman?

Nenek tersedak. Ia melotot ke arahku. "Lah, lah, lah? Kok tambah pekok ngene kowe, Le! Jancuk!" (Lah, lah, lah? Kok tambah bodoh gini kamu, Nak! Jancuk!)

"Sek talah, Nek. Ojok muring-muring sek. Aku gorong mari ngomong. Rungokno sek talah ojok dipedot-pedot. Kebiasaan Ancene." (Sebentar dulu, lah, Nek. Jangan marah-marah dulu. Aku belum selesai ngomong. Dengarkan dululah, jangan dipotong-potong. Kebiasaan memang.)

Dengan wajah cemberut bin penasaran, Nenek manggut-manggut. "Iyo, iyo. Ndang kape ngomong opo, Le." (Iya, iya. Buruan mau ngomong apa, Nak.)

"Sek. Sampe endi mau lekku kepingin takok?" (Sebentar. Sampai mana tadi aku kepingin tanya.)

"Sampe Amerika, jancuk." (Sampai Amerika, jancuk.)

"Guyon tok rek Nenek Iki. Suwe-suwe tak kokop pisan susumu, lho, Nek." (Bercanda mulu Nenek ini. Lama-lama aku caplok juga susumu, lho, Nek.)

"Yo awakmu iku seng guyon tok, Le. Moso ket mau isuk kok bahasanne ngeres tok kowe, Le. Wegah Nenek." (Ya kamu itu yang bercanda mulu. Masa dari tadi pagi kok pembahasannya jorok mulu kamu, Nak. Tidak mau Nenek.)

"Lah Nenek seh nggarai gak fokus." (Lah Nenek sih bikin tidak fokus.)

"Gak fokus lapo maneh?" (Tidak fokus apa lagi?)

"Iku lho, sadar diri titik po'o, Nek." (Itu lho, sadar diri sedikit, dong, Nek.) Aku menunjuk payudara Nenek yang tanpa bra di balik dasternya menggunakan dagu. Belahan payudara berwarna kuning langsat yang selaras dengan kulit Nenek. Ukurannya besar tumpah-tumpah. Kontan saja hal itu membuatku tidak nyaman. Bukan apa-apa, aku hanya takut menuruti hawa nafsu yang sukar terkendali dan terjadi hal yang tak diinginkan. Sejurus, aku kembali fokus, lalu berdeham. "Ehem. Itu'e sampeyan gundal-gandul, Nek. Coba lihat. Minimal pakai beha, Nek." (Ehem. Itunya Anda gundal-gandul, Nek. Coba lihat. Minimal pakai bra, Nek.)

Nenek meremas-remas payudara kanannya yang menggiurkan sambil mencicit, "Wegah. Penak ngene. Isis." (Tidak mau. Enak begini. Terasa sejuk.)

"Ealah. Atek alasan isis barang. Ayo wes tak tukokno beha, Nek. Mumpung pasar sek buka." (Ealah. Pakai alasan sejuk segala. Ayo deh aku belikan bra, Nek. Selagi pasar masih buka.) Aku menyahut cuek.

Nenek menatapku dengan sorot jijik. "Istipar, Le. Iki Nenek kape ngerungokno penjelasanmu tentang, kok isok kowe nyebut paman nang anake Nenek, kok malah jebule per-beha-an. Terkutuk kau, Brengos Macan!" (Istighfar, Nak. Ini Nenek mau mendengarkan penjelasanmu tentang, kok bisa kamu nyebut paman ke anaknya Nenek, kok malah tembus urusan beham terkutuk kau, Kumis Macan!)

"Oke, oke. Tapi jangan dipotong lagi, Nek. Nanti aku nggak bakal mau ngasih penjelasan."

Nenek tiba-tiba menjewer telingaku sampai merah. "Cerewet. Cepat ngomong. Jangan banyak kata pengantar kamu itu. Gemes Nenek lama-lama."

"Aduh-duh-duh! Bajing-"

"Bajing, apa?"

"Daging bajing, Nek. Salah nangkep Nenek itu."

"Apa hubungannya daging bajing sama pertanyaanmu?"

"Nggak ada, hehehe."

"Gemblung!"

"Maksudku gini, lho, Nek. Kan Nenek hamil tho sama Adam berkedok membalas dendam kelakuan Kakek yang bikin sakit hati."

"Terus?"

"Nah, Nenek tadi bilang kalau Nenek hamil. Otomatis kan anak Nenek itu adik ibuku. Dan diakui atau tidak, beliau pamanku. Apa aku salah?"

Nenek menatapku dalam. "Ndak salah. Tapi Ndak bener juga."

"Kok bisa?"

"Soalnya anak yang kamu maksud sudah dipanggil menghadap ke Sang Pencipta. Anak Nenek meninggal sehari setelah Nenek melahirkannya melalui kaisar."

"Caeser, Nek. Ya Tuhan! Ampunilah dosa Nenekku satu ini."

Nenek mendecakkan lidah. "Ya itu pokoknya, Le."

"Hm."

Di teras depan, di mana matahari mulai mengingatkan jika panasnya siap membakar siapa pun yang berjalan di bawahnya, kembali tercipta kebekuan panjang antara aku dan Nenek. Hanya dua mulut yang berlomba-lomba menghasilkan asap tembakau. Sebagai teman obrolan pagi kami, yang kiranya cukup berat.

Mula-mula, Nenek menarik nafas. Bongkahan dada besarnya sedikit membusung. Bajingan.

Kalau kuperhatikan secara menyeluruh, Nenek ini bukan seperti nenek-nenek kebanyakan. Hanya sekali pandang, aku bisa melihat sebuah gambaran. Andai Nenek seorang wanita kota dan bermain sosial media, sudah jelas ia bakal menduduki takhta top three the best MILF ever.

Dimulai dari rambut Nenek yang hitam panjang bergelombang, jauh dari uban. Kemudian, pancaran aura wanita khas pedesaan, ayu keibuan nan manis. Sedikit keriput di bawah mata, tapi overall kulitnya kencang terawat dengan baik. Alis tebal. Mata lebar, seperti mata ibu. Hidung mancung, ah, mancung ke dalam maksudnya. Agak ke bawah ada bibir tebal sedikit ndower yang kebanyakan dibuat ghibah, jelas akan nikmat sekali jika dijejali Palu Gatot-ku. Lalu, menempel ketat kutang putih mangkak ala desa, dipadukan dengan kain jarik coklat untuk menutupi area pusar sampai betis yang dikenakan Nenek menjadi penutup, menyembunyikan daya tarik dua benda kenyal yang menempel di dada, yang jika dibuka pastilah akan melorot sampai pusar. Bercanda. Selanjutnya, ada pinggul lebar ke bawah sampai tembus belakang pantat yang bulat kelewat montok. Melihat onderdil wanita desa yang statusnya nenek kandungku sendiri, seakan aku disadarkan oleh ucapan seorang bintang porno MILF saat kedapatan giliran wawancara dari televisi internasional, "Umur hanyalah angka, tubuh harus tetap muda". Ya, ucapanku itu terasa realistis akan pemandangan eksotis di depan mataku sendiri.

Membayangkan lekuk tubuh Nenek sampai membuat fatamorgana adegan persetubuhan gaya doggy, perlahan membuat si Palu Gatot menggeliat bangun dari tidurnya.

"Ehm ... aku kok mencium orang sedang birahi, ya?"

Ini dia. Perkenalkan, Palu Gatot. Makhluk peliharaan yang bertengger di antara selangkanganku. Biasanya ia suka bangun kalau mencium aroma betina. Betina asli. Bukan yang ada bijinya. Kalian tandai saja kalau semisal ada yang menyahut aneh-aneh, pelakunya ya si Palu Gatot kurang ajar ini.

"Kamu kok ngaceng, Tot?"

"Gimana nggak ngaceng kalau pikiranmu kotor begini. Eh, tunggu! Bangsat! Kamu lagi ngelihatin pentil susu nenekmu sendiri, dan kamu sange? Dasar cucu setan!"

"Jangan merusak suasana, lah, Tot. Lebih baik kamu siapkan fisikmu."

"Bangsat. Cucu biadab! Aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini."

"Oh? Daripada lubang surgawi, kamu lebih memilih lubang sabun, Tot? Begitu?"

"Lho, lho, lho. Ya ndak nooo. Aku kan bergurau saja. Jangan sensi gitu dong Kapten Kobe yang masih perjaka ting-ting. Hihihi."

"Oke. Jadi gimana? Kamu sudah siap belum masuk ke dalam gua besar yang sebentar lagi akan kita jelajahi?"

"Siap nggak siap. Aku manut aja apa kata Kapten."

"Nah gitu, dong. Kalau kamu nurut gini aku jadi bersemangat, Tot."

"Bersemangat melepas perjaka bersama nenek-nenek. Sungguh tidak estetik sekali."

"Udah, jangan banyak cincong. Sana, tapa lagi. Bajingan."

"Kapten celeng!"

Ting!


Bunyi cangkir kopi yang berdenting dengan lepek. Nenek baru saja menghabiskan sisa kopi. Ia menyandarkan punggung ke kursi kayu dengan penyangga dari anyaman bambu. Helaan nafas berat dari mulut Nenek menjadi awal pembuka obrolan setelah sekian lama tercipta jeda.

"Nenek ndak tau harus ngomong apa. Intinya, mulai sekarang kamu, Kobe, tinggal sama Kakek dan Nenek di sini. Belajar mandiri sampai suatu saat nanti kamu yang mengurus ladang kami." Nenek menghisap rokok lagi. Ia duduk tegak. Kemudian meletakkan rokok yang hampir mencapai filter di atas asbak aluminium, sebelum kembali berkata, "Nenek sebenarnya ndak suka sama kamu. Sumpah. Berhubung kamu cucuku, Nenek ndak punya pilihan lain." Wajahnya dibuat sok sedih, dan di waktu yang bersamaan terlukis mimik menyebalkan saat mengatakan itu. Ingin sekali aku ceploki telur, lalu aku goreng. Bajingan.

"Ya. Terima kasih, Nenekku yang cantik." Aku memujinya sambil mencicit.

"Gombalan receh. Coba kamu gombalin kambing." Meski berucap sebaliknya, dapat aku lihat wajah Nenek merasa senang dibilang cantik. Kelemahan wanita, sih. Bukan hal yang baru lagi bagiku.

"Tapi aku memang beneran terima kasih, lho, Nek, karena Kakek dan Nenek tinggal di desa, aku jadi punya kampung halaman."

Aku benar-benar sedih. Benar adanya jika aku berasa tak memiliki sanak keluarga lainnya. Yang kutahu hanya Kakek dan Nenekku saja di desa ini.

Mungkin melihat ekspresiku sedikit berbeda dari sebelumnya, Nenek sontak mendekat. Ia memelukku. Mengelus belakang kepalaku sambil menciumi pucuk kepalaku.

Sesaat, aku merasakan sebuah ketenangan. Aku pejamkan mata. Menikmati campuran aroma pedesaan serta bau badan Nenek yang khas. Begitu candu. Syahdu. Tenggelam hanyut ke dalam pusara bernama kedamaian.

"Le." Nenek memanggilku. Suara seraknya membawaku kembali dari pikiran yang tengah melalang buana. "Gara-gara lihat barangmu pas di kamar mandi, Nenek jadi kepikiran, Le."

"Kepikiran apa, Nek?"

"Kepikiran ... gimana ya rasanya tempik Nenek dimasukin barangmu yang kayak pentungan itu."

"Jangan bercanda. Ini nggak lucu, Nek."

"Hmm, Le." Suara Nenek yang parau semakin menegaskan jika ia sudah dikuasai nafsu tabu hingga mengabaikan akal sehat. "Nenek wes ndak kuat. Ayo, Le, kenthuen Nenek." (Nenek sudah tidak kuat. Ayo, Nak, setubuhi Nenek.)


























DEG!
 
Terakhir diubah:
***

Aku mendongak. Menatap Nenek tak percaya. Tanpa aku sadari, kontolku sudah mengeras. Shit. Aku ... apakah aku benar-benar nafsu dengan Nenekku sendiri?

Sementara itu, Nenek menangkup kedua pipiku.

Cup!

Nenek yang pertama memulai. Begitu agresif tanpa tedeng aling-aling. Bibir kami sudah saling melumat. Aku memejamkan mata. Pun dengan Nenek. Aku membiarkan perasaan kami mengalir. Menyatu. Ciuman ini ... aku bisa merasakan kemelut suasana hati Nenek: marah, rindu, benci. Rasa-rasanya perasaan itu tidak ditujukan kepadaku.

Aku membuka mata. Mendorong pelan kedua pundak Nenek, lalu menegur, "Nenek jangan bercanda."

Tanpa menghiraukan ucapanku, Nenek menggandengku masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu.

Di kursi paling panjang yang ada di ruang tamu, Nenek naik ke atas pangkuanku. Wajahnya buas penuh nafsu birahi. Nenek mengalungkan kedua tangan di leherku, kemudian kembali nyosor pada bibirku. Tak kusangka, sambil berciuman, dada Nenek bergetar hebat. Ia malah menangis tersendat-sendat sambil menggumamkan nama Kakek. Menyumpah serapah.

Sejurus, kedua tanganku kugunakan untuk membelai rambut panjang serta punggungnya, tangisan Nenek kian kencang. Pilu. Seakan besarnya rasa kesedihan ia pikuk sendiri.

Lambat laun, seiring getaran tubuh Nenek kembali normal, tangisnya juga berangsur reda. Pun bibirnya mulai terlepas. Aku tetap membelainya untuk beberapa lama.

Sampai di mana, Nenek sendiri yang mulai bergerak. Ia sedikit menegakkan badan. Menatapku sayu. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata, Nenek melumat bibirku. Menghisap. Menggigit kecil. Kemudian, lidah Nenek menyeruak memaksa menerobos bibirku. Aku tanpa banyak drama mengikuti keinginan Nenek. Membiarkan Nenek melakukan apa yang ia mau. Sebab, biasanya wanita lebih suka aksi daripada retorika belaka. Karena love language dengan skin touch lebih mudah untuk dipahami. Tak berbeda jika pasangan main kita beda usia. Dua kali, atau mungkin tiga kali. 18 tahun melawan 55 tahun. Bagaimana aku mengatakannya? Ini terlalu gila, bajingan.

Suara hisapan serta kecupan dari bibir Nenek membangkitkan gairahku. Mau tak mau, aku harus meladeninya. Kugunakan sedikit pengalamanku menamatkan video porno yang berjumlah 100 scene di dalam ponsel.

Aku mengikuti insting kelelakianku.

Kami saling mengadu teknik ciuman dan belitan lidah. Sesekali menelusuri rongga mulut. Tak lagi kupedulikan bau mulut Nenek yang rasa tembakau rokok dan kopi. Bagiku, kalau sudah nafsu yang berkuasa, mau bau nitrogen pun dijabani. Bajingan.

"Hmm ... mmm .... hmmm ..." Nenek menyudahi ciuman. Ia mengambil nafas barang sejenak sambil memandangku. Sayu sekali. Yang kemudian, ia berucap, "Kamu sudah pernah main wanita, Le?"

"Nenek bercanda. Apa aku terlihat seperti seorang cucu yang kelakuannya kayak binatang?" aku balik bertanya. Sengaja aku mengajaknya ngobrol untuk membangkitkan feel agar lebih lepas jika nantinya terjadi aksi coblos-mencoblos. Sekadar menyatukan vibes pelepasan statusku sebagai perjaka di usiaku yang dua bulan lagi 19 tahun.

"Hahaha. Cucu gendeng. Yo wes, Nenek ajarin. Tapi dasar-dasarnya kamu tahu harus ngapain, kan?" Nenek tertawa renyah, seraya membelai rahangku.

"Nonton bokep sedikit membantuku, Nek. Aku akan mencoba sebisaku. Tapi Nenek jangan terlalu berharap, lho, ya."

"Pinter. Ini baru cucu Nenek. Dan Nenek yakin insting kejantananmu bisa bicara lebih."

"Mari kita lihat apa yang bisa aku lakukan."

"Nenek pikir, semua Nenek di dunia ini punya hasrat untuk ngenthu sama cucunya sendiri."

Aku memijat pelipisku yang berdenyut. "Aku rasa, cuma Nenek yang punya pikiran bejat seperti itu."

"Nenek siapa dulu, dong?" kicau Nenek dengan memasang wajah jenaka.

"Gak usah ngomong!"

"Kamu kayak Kakekmu, Le. Ganteng. Gagah. Barangmu juga besar. Pasti enak masuk di tempek Nenek yang sempit ini," bisik Nenek, mesum.

Sempit katanya? Baiklah, mati kita buktikan, Palu Gatot.

Sekarang aku sudah terpancing. Dan Nenek sukses membuatku panas. Dengan gemas, aku membopong tubuh Nenek. Membawanya masuk ke dalam kamar. Menidurkannya di atas ranjang.

Tanpa membuang waktu, aku menggumuli tubuh padat Nenek. Aku mulai dari mencium dan menghisap bibir tebalnya kencang, lalu berlanjut mendaratkan kecupan di leher, berikut sebuah cupangan warna merah terpatri di sana.

"Hmm ... Leeee ... ahhhhh ... ahhhhhh ...." Nenek sontak mendesah, tangannya menjambak rambutku kuat. Tak hanya itu, telinga Nenek menjadi sasaran jilatanku. Aku tambahi gigitan untuk mendengar lebih jelas suara desahan Nenek yang kian membakar libidoku.

"Oh! Ayo, Le, gek ndang lebokno pelimu seng gedhe iku nang tempek Nenek. Nenek wes ndak tahan pengen di kenthu. Memek Nenek gatel banget pengen dicoblos!" (Oh! Ayo, Nak, buruan masukkan Kontolmu yang besar itu ke memek Nenek. Nenek sudah tidak tahan ingin dientot. Memek Nenek gatel banget ingin dicoblos!) pinta Nenek, sambil menatapku mupeng. Bibir bawahnya ia gigit sendiri, menambah keseksian wanita yang setengah abad lebih ini.

Aku kembali berpindah ke depan wajah Nenek. Senyuman miring tersungging di bibirku, sebelum aku berkata serak, "Sabar. Belum saatnya, Nenek." Sambil kuberikan kecupan ringan di bibir tebalnya.

Wajah Nenek yang sebelumnya centil kelewat genit, kini justru berubah malu-malu layaknya bocah ABG. Ia membuka-tutup mulutnya saat sebelah tanganku mengangkat tengkuk lehernya agar memudahkan tanganku yang lain membuka pengait kurang.

Boing-boing!

Gundal-gandul dua buah dada raksasa bak pepaya yang sudah masak tapi tak lekas di panen. Dari cahaya luar yang masuk melalui celah jendela, dapat aku nikmati sajian indah di depan mata. Bongkahan payudara dengan aerola besar berwarna hitam, berikut kedua puting susu bak dot bayi yang belum diapa-apakan sudah setengah mengacung. Seolah benda kegemaran para lelaki itu tersenyum padaku. Mataku kembali bergerak liar. Menangkap siluet indah dua buah puncak bukti berwarna hitam gelap, besar, dan lonjong.

Juh!

Aku ludahi kedua areola Nenek, lalu meratakannya. Kemudian ...

Hap!

Tanpa banyak cakap, aku caplok salah satunya. Dimulai dari sebelah kiri, lalu berpindah ke sebaliknya. Sesekali mulutku mengigit kecil daging susunya. Meninggalkan jejak merah di sana-sani. Aku tambahi dengan remasan-remasan agak kuat untuk menambah rangsangan hingga titik maksimal.

Luar biasanya, sesuai ucapan Nenek di area dapur, payudara Nenek mengeluarkan ASI. Rasanya hambar, tapi masih ada rasa manisnya.

Slurp, slurp, slurp!

Cup, cup, cup!


Begitu buas aku menyedot dan menghisap payudara Nenek kanan-kiri. Bergantian. Limpahan ASI yang tertelan di mulutku langsung diproses masuk ke dalam tenggorokan. Lambungku sedikit tersenyum karena telah diberi asupan nutrisi bergizi langsung dari sumbernya. Bajingan.

"Ahhhh ... Leee ... emut pentil Nenek, Leee ... ahhhh ... iya gituuu ... cah bagusss ... pinter banget kamu, Leee .... ahhhh ... ahhhhh ... habiskan susu Nenek, Sayang ...." Ceracau ngawur Nenek dengan nafas tersengal. Ia merem melek merasakan permainan bibir dan lidahku.

Perlahan namun pasti, puting Nenek kian membengkak, mengeras, dan membesar, seiring menguatnya hisapanku. Bunyi caplokanku menandakan betapa aku menikmati onderdil tua milik Nenek.

"Ssshhh ... ssshhhh ... ahhhh ... enak, Le! Ssshhh ... Leee ... emut lagi ... lebih kuattt ...." Kembali Nenek mendesah dan mendesis-desis manja. Suaranya serak-serak basah, yang kontan membuat si Palu Gatot meronta-ronta, sesak nafas.

Mendengar desahan Nenek yang terasa merdu di telinga, aku naikkan intensitas rangsangan dengan mengalihkan sebelah tangan mengelus perutnya yang masih tertutup daster. Yang kemudian, jemari tanganku bergerak melepaskan kancing daster yang menghalangi tanpa kendala.

Sret!

Aku hentikan sejenak aktifitasku pada payudara Nenek. Kini aku memfokuskan penuh perhatian untuk meloloskan jarik yang ia kenakan.

Saat kain itu terlepas dari badan Nenek, aku bisa melihat perut Nenek yang hanya memiliki satu lemak jahat. Aku cubit gemas. Membuat Nenek mengerang manja. Ia menatapku penuh nafsu tanpa berucap apapun. Hanya mulutnya yang terbuka.

Sedetik. Dua detik.

Kekagumanku akan wanita desa yang hampir mustahil aku jumpai di kota semakin menambah daya dobrak ledakan birahi.

Mataku jelalatan. Tanganku ikut bergerilya mengelus setiap jengkal area pinggul Nenek. Dalam sekali tarik, penutup terakhir berwarna putih yang membungkus area paling intim seorang wanita, telah sepenuhnya terekspos. Kugunakan tanganku untuk membuat kedua pahanya mengangkang. Alamak! Bagian organ intim Nenek mempertontonkan rimbun hutan rimba. Masih menyembunyikan bentuk sesungguhnya gua di baliknya.

Dengan tangan sedikit tremor, aku sibak memek Nenek Kontan tangan Nenek menahan tanganku yang berusaha mengintip organ kewanitaannya.

Kemudian, Nenek menggeleng pelan. "Jangan dilihat, Le. Nenek malu. Punya Nenek udah jelek."

Aku melirik Nenek, nakal. "Serius, deh. Badan Nenek masih seksi. Punya Nenek juga bagus." Aku memberinya sanjungan. Tapi, ucapanku benar adanya. Saat tanganku kembali menyibak kewanitaan Nenek yang lebat bulu kemaluan, dapat kulihat memek tembem berwarna coklat kehitaman dengan tiga lipatan di dalamnya. Labia mayora-nya nampak menggelambir. Unik dan mengundang rasa penasaran. Apalagi klitoris sebesar biji kacang polong yang nyempil di sana membuatku beberapa kali meneguk ludah. Ngiler.

"Masa, sih?" Nenek membuang muka. Ekor matanya menatapku mengejek, "bagus mana sama bintang porno kesukaanmu?"

"Ya jelas bagus bintang porno, dong."

"Tambeng. Dari dulu jail terus! Nenek tambah ndak suka sama kamu!"

Aku tertawa. Sesaat, aku mendaratkan bibir. Kuimbangi dengan lidahku yang menjilat tipis biji klitoris Nenek.

Nenek refleks menggeliat dan melenguh, "Ughhh! Siapa yang nyuruh kamu njilat tempik Nenek ... ahhhhh!"

Slurp!

Aku hisap kuat klitoris Nenek. Aroma memek khas wanita bau kelabang menyeruak menusuk indra penciuman. Perihal yang kulakukan barusan adalah agar Nenek tak mengucapkan kata-kata ngawurnya seperti biasa. Saat ini, aku ingin membuat persetubuhan pertamaku semanis mungkin. Itu saja.

Lick! Lick! Lick!

Aku kerahkan teknik menjilat memek yang sering aku tonton dan pelajari dari video porno. Aku gunakan jemari tangan kanan untuk menggosok bibir vagina sambil menghisap dan menjilat klitoris Nenek. Tanganku yang lain kugunakan untuk menggerayangi sebelah payudara Nenek. Pun memilih putingnya yang kian lancip.

"Ahhhh! Ahhhh! Aduhhh! Geli, Leee! Sssshhh! Ahhh! Ssshhh! Ehmmmm! Leeee!" badan Nenek bergerak bagai ular kepanasan. Kedua tangannya menekan-nekan kepalaku. Dari bibirnya kadang mendesah dan mendesih. Kontraksi memek Nenek mulai merespon. Mengeluarkan cairan pre-cum, yang biasa orang sebut pelumas alami wanita. Dan dalam hitungan detik, bau pekat memek Nenek semakin menajam. Hingga sesaat, Nenek melolong panjang, seiring pinggulnya terangkat ke atas, "OHHHHHHH!!!"

SEEERRRRRRR!!!

Belum.

Ini belum cukup.

Tanpa aba-aba, saat badan Nenek masih menikmati getar gelombang orgasme, aku colokkan jari tengahku ke dalam celah kewanitaannya. Menerobos masuk. Mencari titik g-spot. Agak ke atas. Yap, dapat!

"Siap-siap, Nek."

Clek! Clek! Clek!

Aku kocok tanganku dengan tempo sedang, lalu cepat. Semakin cepat. Lebih cepat.

Wajah Nenek, aku tatap. Matanya terbelalak. Lalu, memutih. Badannya belingsatan tak karuan. Pahanya bergetar hebat sekali. Lebih dahsyat seperti sebelumnya.

"AWWWW! AHHHHHH! LEEEEEE! ENAKKKKK!"

Crats! Crats! Crats!

Teriakan Nenek sedikit terlambat saat di mana vaginanya berkedut-kedut. Mengeluarkan air mancur bening bernama squirt. Menyembur deras membasahi pakaian, dan pastinya tanganku, dong!

Bajingan.

Sepertinya Nenek baru pertama kali merasakan squirt. Itu terbukti saat badannya yang mengejang tanpa henti. Air mancur kembali mengucur saat tanganku yang sempat berhenti, kini bergerak pelan. Squirt meleleh keluar dari sisa celah jari tengahku.

Sejurus, kukeluarkan jariku. Aku elap ke paha gempal Nenek, lalu aku merangkak naik. Memberikan kecupan dan memeluknya lembut. Aku lalu berbisik di telinganya, "Enak, ya, Nek?"

"Hhhh ... hhhh ... Le ... enak banget ...." Suara Nenek putus-putus. Matanya masih terpejam. Tapi dari ekspresi wajahnya tergambar jelas kepuasan.

"Kenapa, Nek? Kok lemes gitu?" aku mencoba mengajak Nenek bercanda, sambil memelintir puting kirinya yang keras dan besar.

"Ugh! Enak, Le, Nenek belum ... hhh ... permah diginiin ... ohhhh ... sek kerasa, Le. Agak ngilu ... ohhhh ...." Pungkas Nenek, sembari membuka mata perlahan. Menatapku sayu.

"Berarti sama Adam belum pernah dijilat memeknya gitu, Nek?"

"I-iya."

"Jadi langsung dicoblos, gitu?"

"Iya!"

"Kering, dong? Nggak enak, Nek."

"Iya! Gustiii! Dasar cucu tambeng!" gemas sekali Nenek menyahuti candaanku. Ia mencoba bangkit. Duduk. Otomatis susu besarnya bergoyang-goyang. Aku ikut berdiri. Kami saling berpandangan. Lucu sekali melihat ekspresi nenekku satu ini. Kemudian, Nenek berucap, "Ayo. Buka bajumu, Le." Sambil memegang ujung kausku, Nenek membantuku melepaskan satu persatu kain yang menempel di tubuhku. Telanjang sudah aku sekarang. Mengingat Nenek melepaskan celana dan celana dalamku sekaligus. Dan sedetik, kudengar Nenek memekik kaget dengan mata membola sempurna.

Aku heran. Kutautkan kedua alisku. "Ada apa, Nek? Ngagetin aja."

"GUSTI! INI BURUNGMU, LE?!" Nenek menutup kedua mulutnya yang menganga dengan sebelah tangan. Matanya hampir tak berpindah objek. Hanya fokus kepada si Palu Gatot yang kali ini tegak menjulang maksimal. Besar dan panjang. Warna coklat khas warga lokal. Sebuah benda pusaka kebanggaanku sejak lahir.

"Kan sebelumnya sudah lihat. Masa aku harus bilang kalau ini burungnya sapi?"

Tak ada niatan Nenek untuk menjawab gurauanku. Tangannya bergerak sendiri menjamah batang kontolku. Mencoba mengenggamnya. Tidak bisa. Hampir mustahil jempol dan kelingkingnya bertemu.

"Gimana, Nek? Mau dibandingin sama siapa punyaku?" aku sedikit jumawa.

"Gendeng, Le! Jelas ndak bisa dibandingkan sama siapa-siapa. Nenek pikir ibukmu dulu ngidam ngemut kontol kuda. Jadi keluarnya bocah berkontol kayak pentungan hansip gini!" Nenek berseru heboh.

Tak kuasa aku menahan tawa melihat komentar langsung dari Nenek. Bagaimana, ya? Nenek adalah orang pertama yang melihat bagian terlarangku. Si Palu Gatot yang panjangnya melebih pusar. Besarnya laksana lengan bayi. Kalau diibaratkan, kontolku ini seperti dildo size XL. Paham, kan? Jangan kira aku bocah ingusan dan punya barang standar-standar saja. Begini-begini, aku pandai merawat aset berhargaku untuk istriku kelak. Bajingan.

Sejurus, Nenek melakukan tugasnya. Ia mulai menurunkan badan hingga wajahnya pas menghadap perutku.

Hap!

Nenek memasukkan kepala kontolku terlebih dahulu. Ah! Rasanya hangat campur geli. Belum lagi lidah Nenek menyapu-nyapu lubang kencingku. Membuatku menggelinjang keenakan.

Tanganku refleks memegangi kepala Nenek. Perlahan, Nenek menelan centi demi centi batang kontolku. Nampak penuh sesak mulutnya. Padahal baru separuh. Kendati demikian, kenikmatan saat kepala Nenek mulai maju mundur menimbulkan sensasi kejut listrik statis di sekujur syarafku. Aku memejamkan mata. Membiarkan Nenek melakukan apa yang bisa ia lakukan.

Beberapa saat berlalu. Nenek menyudahi menyepong kontolku. Saat secara perlahan mengeluarkan kontol dari dalam mulut, saliva yang begitu banyak ikut keluar.

"Ayo, Le, masukkin ke tempik Nenek, ya." Dengan muka memelas, Nenek mengiba.

"Jangan terlalu berharap, ya, Nek. Aku baru pertama soalnya."

"Iya, cucuku sayang."

Aku posisikan diriku menindih Nenek. Yang tentunya dada kami saling menempel. Ketat. Selanjutnya, Nenek memegang kontolku, lalu mengarahkan ke depan pintu gerbang liang senggamanya.

"Angkat dikit badanmu, Le. Terus tekan pelan-pelan, yo. Duh! Gedhe banget! Nenek sampai merinding!" beo Nenek. Memberi instruksi.

Tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan kenikmatan dan sensasi persenggamaan pertamaku bersama Nenekku sendiri. Jiwaku terasa melayang di awang-awang.

Sleb ... sleb ... blessss!

Sensasi masuknya kontolku secara perlahan-lahan. Dimulai dari kepala kontolku membelah memeknya begitu nikmat yang teramat sangat.

Terasa memek Nenek sangat licin, hangat. Tetapi, untuk menusuknya sampai dalam, tidak mudah. Butuh tenaga ekstra sambil menahan luapan nafsu yang menggila.

Hampir seluruh batang kontolku tengggelam dilahap memek Nenek. Ada kiranya 4 cm yang masih tertahan karena kurasakan sudah mentok hingga menyentuh lubang terdalam yang paling kecil. Apa mungkin itu cincin rahim? Benarkah? Berarti sudah mentok, dong? Bajingan!

Di sisi lain, terasa hangat, becek, ketat, tidak longar juga tidak sempit, namun menyedot-nyedot. Aku berasa memasuki dimensi lain.

"Tahan sebentar, Le! Sudah mentok! Ohhhhh! Enak banget, Le! Oh, Kobe! Cucuku ganteng! Kontolnya gedhe!" kembali ngawur, Nenek meracau dengan nafas tertahan.

"Ughhhh! Nek! Kok anget gini, Nek?" bisikku di dekat telinga Nenek.

"Suka ndak, Le?"

"Suka, Nek."

"Ya udah. Coba kamu tarik terus masukkan lagi burungmu. Pelan-pelan. Memek Nenek ngilu."

"Siap, Nenekku yang nakal."

Saat masih dalam posisi menindih, aku melakukan dua hal sekaligus. Pertama, aku hisap puting susu Nenek sebelah kanan. Dan yang kedua, aku mengikuti perintah Nenek dengan menarik pinggul, yang otomatis batang kontolku ikut keluar. Yang kusisakan hanya kepala kontolku saja.

Nenek mengerang sensual. Ia meraba-raba punggungku. Berganti menjambak-jambak rambutku. Kulirik sekilas jika Nenek tengah memejamkan mata dengan mulut ternganga lebar.

Berikutnya, aku kembali mendorong pinggulku secara perlahan. Centi demi centi batang si Palu Gatot mulai merangsek. Terbenam. Tertelan. Masuk ke dalam lubang kenikmatan.

BLESSSS!

Keintiman ini membuatku tanpa sadar melesakkan kontolku sepenuhnya. Mentok. Jauh lebih dalam menghujam rahim. Melewati rintangan terbesar yang membuatku menahan nafas beberapa sedetik.

Di sisi lain, badan Nenek kembali bergetar. Lebih hebat. Dan kurasakan sebuah cairan membasahi kepala kontolku. Hangat.

"Leeee! Cek jerune! Ahhhhh! Nenek metu maneh! Metu akeh! Leeee!" (Nakkkk! Sungguh dalam sekali! Ahhhhh! Nenek keluar lagi! Keluar banyak! Nakkkk!) raungan Nenek merasakan sensasi hujaman batang kontolku yang menjejal penuh memeknya.

Aku penasaran. Jantungku tak berhenti berdegup. Batang kontolku juga kian menegang dan berdenyut-denyut.

Sampai beberapa lama, tanpa banyak bicara Nenek mendorong tubuhku dan menariknya kembali. Yang kemudian, aku menjadi paham jika aku harus mulai bermain.

Plok! Plok! Plok!

Apa yang diharapkan pemula sepertiku? Meskipun aku memiliki batang kontol luar biasa, aku tetaplah bau kencur soal genjot-menggenjot. Itu dibuktikan akan gerakanku yang kadang lambat, kadang cepat, dan kadang berhenti untuk sekadar menikmati dinding becek memek Nenek.

"Ahhhh ... jancuk ... enak tenan, Leee! Aduhhh ... edan ... edan ... matek aku ... ohhhh ... ohhhhhh .. putuku jancuk!" (Ahhhh ... jancuk ... enak sekali, Nakkk! Aduhhh ... gila ... gila ... mati aku ... ohhhh ... ohhhhhh .. cucuku jancuk!) racauan andalan Nenek yang selalu ngawur kembali terlontar. Semakin menambah keintiman permainanku.

Hanya puluhan tarikan serta dorongan pinggulku, aku merasakan gelombang nikmat yang mulai membuatku panas dingin. Hal ini berujung pada sensitifitas kontraksi pada kontol dan seluruh otot di bawah.

"Ohhhh! Nekkk! Aku mau ngecrot, Nekkk! Nekkk! Aduhhh! Ohhhh! Ohhhh! Ohhhhh!" aku menggeram tak karuan. Gerakanku semakin tak terkendali.

Demikian pula dengan Nenek yang ikut menggerakkan badannya. Kedua kakinya mengikat pinggangku. Rapat.

"Sssshhh ... Leeee ... tahan dulu! Nenek juga mau ... ahhhh ... ahhhhh ... Nenek jugaaaa ...." Deru nafas Nenek tersengal. Ia menatap mataku tajam. Kedua tangannya mengarahkan tanganku untuk memainkan kedua payudaranya. Dan secepat kilat, kumainkan susunya. Meremas kuat sambil kembali menetek di putingnya.

Semakin gila. Ini tidak benar. Ini tidak boleh. Tapi aku tak kuasa menolak kenikmatan hubungan badan tabu bersama Nenek. Wanita anggun yang melahirkan ibu dan dua adik ibu yang lain. Oh, ini salah!

Sedetik ....

"NENEKKKK!!!"

"KELUARKAN, SAYANG! AYOOO! OHHHHH! NENEK JUGAAAA!!!"

CROT! CROT! CROT! CROT!

SEEERRRRR! SEEERRRRR!


Sialan.

Spermaku keluar untuk yang kedua kalinya. Yang pertama di kamar mandi. Dan yang kedua di tempat yang seharusnya.

Di dalam memek Nenek, aku memborbardir liang senggama dengan berliter-liter tembakan sperma. Badanku berasa rileks. Plong. Kenikmatan tiada tara yang sungguh tiada bandingannya dengan onani.

Sementara itu, Nenek kejang-kejang. Matanya terpejam rapat. Suara lolongan terakhirnya tertelan oleh bibirku yang langsung melumatnya.

Kami berdua berdiam sebentar. Menikmati puncak klimaks yang baru saja kamu gapai.

Sampai akhirnya, kontolku mulai lemas. Dan dengan bantuan tarikan pinggulku, si Palu Gatot yang full senyum keluar dari liang surgawi Nenek.

Aku tergolek di samping Nenek. Rasa lemas dan ngantuk yang luar biasa kurasakan. Kuperhatikan Nenek bergerak pelan rebah di dada bidangku. Nenek memandang mataku sembari tersenyum manis, lalu mengelap peluh di keningku.

Mata teduh Nenek, ditambah belaiannya yang penuh kasih sayang membuatku hanyut. Sebelum aku terjatuh ke dalam kegelapan, kudengar Nenek berbisik lembut, "Kontol cucu Nenek memang yang terbaik."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd