***
Aku mendongak. Menatap Nenek tak percaya. Tanpa aku sadari, kontolku sudah mengeras. Shit. Aku ... apakah aku benar-benar nafsu dengan Nenekku sendiri?
Sementara itu, Nenek menangkup kedua pipiku.
Cup!
Nenek yang pertama memulai. Begitu agresif tanpa tedeng aling-aling. Bibir kami sudah saling melumat. Aku memejamkan mata. Pun dengan Nenek. Aku membiarkan perasaan kami mengalir. Menyatu. Ciuman ini ... aku bisa merasakan kemelut suasana hati Nenek: marah, rindu, benci. Rasa-rasanya perasaan itu tidak ditujukan kepadaku.
Aku membuka mata. Mendorong pelan kedua pundak Nenek, lalu menegur, "Nenek jangan bercanda."
Tanpa menghiraukan ucapanku, Nenek menggandengku masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu.
Di kursi paling panjang yang ada di ruang tamu, Nenek naik ke atas pangkuanku. Wajahnya buas penuh nafsu birahi. Nenek mengalungkan kedua tangan di leherku, kemudian kembali nyosor pada bibirku. Tak kusangka, sambil berciuman, dada Nenek bergetar hebat. Ia malah menangis tersendat-sendat sambil menggumamkan nama Kakek. Menyumpah serapah.
Sejurus, kedua tanganku kugunakan untuk membelai rambut panjang serta punggungnya, tangisan Nenek kian kencang. Pilu. Seakan besarnya rasa kesedihan ia pikuk sendiri.
Lambat laun, seiring getaran tubuh Nenek kembali normal, tangisnya juga berangsur reda. Pun bibirnya mulai terlepas. Aku tetap membelainya untuk beberapa lama.
Sampai di mana, Nenek sendiri yang mulai bergerak. Ia sedikit menegakkan badan. Menatapku sayu. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata, Nenek melumat bibirku. Menghisap. Menggigit kecil. Kemudian, lidah Nenek menyeruak memaksa menerobos bibirku. Aku tanpa banyak drama mengikuti keinginan Nenek. Membiarkan Nenek melakukan apa yang ia mau. Sebab, biasanya wanita lebih suka aksi daripada retorika belaka. Karena love language dengan skin touch lebih mudah untuk dipahami. Tak berbeda jika pasangan main kita beda usia. Dua kali, atau mungkin tiga kali. 18 tahun melawan 55 tahun. Bagaimana aku mengatakannya? Ini terlalu gila, bajingan.
Suara hisapan serta kecupan dari bibir Nenek membangkitkan gairahku. Mau tak mau, aku harus meladeninya. Kugunakan sedikit pengalamanku menamatkan video porno yang berjumlah 100 scene di dalam ponsel.
Aku mengikuti insting kelelakianku.
Kami saling mengadu teknik ciuman dan belitan lidah. Sesekali menelusuri rongga mulut. Tak lagi kupedulikan bau mulut Nenek yang rasa tembakau rokok dan kopi. Bagiku, kalau sudah nafsu yang berkuasa, mau bau nitrogen pun dijabani. Bajingan.
"Hmm ... mmm .... hmmm ..." Nenek menyudahi ciuman. Ia mengambil nafas barang sejenak sambil memandangku. Sayu sekali. Yang kemudian, ia berucap, "Kamu sudah pernah main wanita, Le?"
"Nenek bercanda. Apa aku terlihat seperti seorang cucu yang kelakuannya kayak binatang?" aku balik bertanya. Sengaja aku mengajaknya ngobrol untuk membangkitkan feel agar lebih lepas jika nantinya terjadi aksi coblos-mencoblos. Sekadar menyatukan vibes pelepasan statusku sebagai perjaka di usiaku yang dua bulan lagi 19 tahun.
"Hahaha. Cucu gendeng. Yo wes, Nenek ajarin. Tapi dasar-dasarnya kamu tahu harus ngapain, kan?" Nenek tertawa renyah, seraya membelai rahangku.
"Nonton bokep sedikit membantuku, Nek. Aku akan mencoba sebisaku. Tapi Nenek jangan terlalu berharap, lho, ya."
"Pinter. Ini baru cucu Nenek. Dan Nenek yakin insting kejantananmu bisa bicara lebih."
"Mari kita lihat apa yang bisa aku lakukan."
"Nenek pikir, semua Nenek di dunia ini punya hasrat untuk ngenthu sama cucunya sendiri."
Aku memijat pelipisku yang berdenyut. "Aku rasa, cuma Nenek yang punya pikiran bejat seperti itu."
"Nenek siapa dulu, dong?" kicau Nenek dengan memasang wajah jenaka.
"Gak usah ngomong!"
"Kamu kayak Kakekmu, Le. Ganteng. Gagah. Barangmu juga besar. Pasti enak masuk di tempek Nenek yang sempit ini," bisik Nenek, mesum.
Sempit katanya? Baiklah, mati kita buktikan, Palu Gatot.
Sekarang aku sudah terpancing. Dan Nenek sukses membuatku panas. Dengan gemas, aku membopong tubuh Nenek. Membawanya masuk ke dalam kamar. Menidurkannya di atas ranjang.
Tanpa membuang waktu, aku menggumuli tubuh padat Nenek. Aku mulai dari mencium dan menghisap bibir tebalnya kencang, lalu berlanjut mendaratkan kecupan di leher, berikut sebuah cupangan warna merah terpatri di sana.
"Hmm ... Leeee ... ahhhhh ... ahhhhhh ...." Nenek sontak mendesah, tangannya menjambak rambutku kuat. Tak hanya itu, telinga Nenek menjadi sasaran jilatanku. Aku tambahi gigitan untuk mendengar lebih jelas suara desahan Nenek yang kian membakar libidoku.
"Oh! Ayo, Le, gek ndang lebokno pelimu seng gedhe iku nang tempek Nenek. Nenek wes ndak tahan pengen di kenthu. Memek Nenek gatel banget pengen dicoblos!" (
Oh! Ayo, Nak, buruan masukkan Kontolmu yang besar itu ke memek Nenek. Nenek sudah tidak tahan ingin dientot. Memek Nenek gatel banget ingin dicoblos!) pinta Nenek, sambil menatapku mupeng. Bibir bawahnya ia gigit sendiri, menambah keseksian wanita yang setengah abad lebih ini.
Aku kembali berpindah ke depan wajah Nenek. Senyuman miring tersungging di bibirku, sebelum aku berkata serak, "Sabar. Belum saatnya, Nenek." Sambil kuberikan kecupan ringan di bibir tebalnya.
Wajah Nenek yang sebelumnya centil kelewat genit, kini justru berubah malu-malu layaknya bocah ABG. Ia membuka-tutup mulutnya saat sebelah tanganku mengangkat tengkuk lehernya agar memudahkan tanganku yang lain membuka pengait kurang.
Boing-boing!
Gundal-gandul dua buah dada raksasa bak pepaya yang sudah masak tapi tak lekas di panen. Dari cahaya luar yang masuk melalui celah jendela, dapat aku nikmati sajian indah di depan mata. Bongkahan payudara dengan aerola besar berwarna hitam, berikut kedua puting susu bak dot bayi yang belum diapa-apakan sudah setengah mengacung. Seolah benda kegemaran para lelaki itu tersenyum padaku. Mataku kembali bergerak liar. Menangkap siluet indah dua buah puncak bukti berwarna hitam gelap, besar, dan lonjong.
Juh!
Aku ludahi kedua areola Nenek, lalu meratakannya. Kemudian ...
Hap!
Tanpa banyak cakap, aku caplok salah satunya. Dimulai dari sebelah kiri, lalu berpindah ke sebaliknya. Sesekali mulutku mengigit kecil daging susunya. Meninggalkan jejak merah di sana-sani. Aku tambahi dengan remasan-remasan agak kuat untuk menambah rangsangan hingga titik maksimal.
Luar biasanya, sesuai ucapan Nenek di area dapur, payudara Nenek mengeluarkan ASI. Rasanya hambar, tapi masih ada rasa manisnya.
Slurp, slurp, slurp!
Cup, cup, cup!
Begitu buas aku menyedot dan menghisap payudara Nenek kanan-kiri. Bergantian. Limpahan ASI yang tertelan di mulutku langsung diproses masuk ke dalam tenggorokan. Lambungku sedikit tersenyum karena telah diberi asupan nutrisi bergizi langsung dari sumbernya. Bajingan.
"Ahhhh ... Leee ... emut pentil Nenek, Leee ... ahhhh ... iya gituuu ... cah bagusss ... pinter banget kamu, Leee .... ahhhh ... ahhhhh ... habiskan susu Nenek, Sayang ...." Ceracau ngawur Nenek dengan nafas tersengal. Ia merem melek merasakan permainan bibir dan lidahku.
Perlahan namun pasti, puting Nenek kian membengkak, mengeras, dan membesar, seiring menguatnya hisapanku. Bunyi caplokanku menandakan betapa aku menikmati onderdil tua milik Nenek.
"Ssshhh ... ssshhhh ... ahhhh ... enak, Le! Ssshhh ... Leee ... emut lagi ... lebih kuattt ...." Kembali Nenek mendesah dan mendesis-desis manja. Suaranya serak-serak basah, yang kontan membuat si Palu Gatot meronta-ronta, sesak nafas.
Mendengar desahan Nenek yang terasa merdu di telinga, aku naikkan intensitas rangsangan dengan mengalihkan sebelah tangan mengelus perutnya yang masih tertutup daster. Yang kemudian, jemari tanganku bergerak melepaskan kancing daster yang menghalangi tanpa kendala.
Sret!
Aku hentikan sejenak aktifitasku pada payudara Nenek. Kini aku memfokuskan penuh perhatian untuk meloloskan jarik yang ia kenakan.
Saat kain itu terlepas dari badan Nenek, aku bisa melihat perut Nenek yang hanya memiliki satu lemak jahat. Aku cubit gemas. Membuat Nenek mengerang manja. Ia menatapku penuh nafsu tanpa berucap apapun. Hanya mulutnya yang terbuka.
Sedetik. Dua detik.
Kekagumanku akan wanita desa yang hampir mustahil aku jumpai di kota semakin menambah daya dobrak ledakan birahi.
Mataku jelalatan. Tanganku ikut bergerilya mengelus setiap jengkal area pinggul Nenek. Dalam sekali tarik, penutup terakhir berwarna putih yang membungkus area paling intim seorang wanita, telah sepenuhnya terekspos. Kugunakan tanganku untuk membuat kedua pahanya mengangkang. Alamak! Bagian organ intim Nenek mempertontonkan rimbun hutan rimba. Masih menyembunyikan bentuk sesungguhnya gua di baliknya.
Dengan tangan sedikit tremor, aku sibak memek Nenek Kontan tangan Nenek menahan tanganku yang berusaha mengintip organ kewanitaannya.
Kemudian, Nenek menggeleng pelan. "Jangan dilihat, Le. Nenek malu. Punya Nenek udah jelek."
Aku melirik Nenek, nakal. "Serius, deh. Badan Nenek masih seksi. Punya Nenek juga bagus." Aku memberinya sanjungan. Tapi, ucapanku benar adanya. Saat tanganku kembali menyibak kewanitaan Nenek yang lebat bulu kemaluan, dapat kulihat memek tembem berwarna coklat kehitaman dengan tiga lipatan di dalamnya. Labia mayora-nya nampak menggelambir. Unik dan mengundang rasa penasaran. Apalagi klitoris sebesar biji kacang polong yang nyempil di sana membuatku beberapa kali meneguk ludah. Ngiler.
"Masa, sih?" Nenek membuang muka. Ekor matanya menatapku mengejek, "bagus mana sama bintang porno kesukaanmu?"
"Ya jelas bagus bintang porno, dong."
"Tambeng. Dari dulu jail terus! Nenek tambah ndak suka sama kamu!"
Aku tertawa. Sesaat, aku mendaratkan bibir. Kuimbangi dengan lidahku yang menjilat tipis biji klitoris Nenek.
Nenek refleks menggeliat dan melenguh, "Ughhh! Siapa yang nyuruh kamu njilat tempik Nenek ... ahhhhh!"
Slurp!
Aku hisap kuat klitoris Nenek. Aroma memek khas wanita bau kelabang menyeruak menusuk indra penciuman. Perihal yang kulakukan barusan adalah agar Nenek tak mengucapkan kata-kata ngawurnya seperti biasa. Saat ini, aku ingin membuat persetubuhan pertamaku semanis mungkin. Itu saja.
Lick! Lick! Lick!
Aku kerahkan teknik menjilat memek yang sering aku tonton dan pelajari dari video porno. Aku gunakan jemari tangan kanan untuk menggosok bibir vagina sambil menghisap dan menjilat klitoris Nenek. Tanganku yang lain kugunakan untuk menggerayangi sebelah payudara Nenek. Pun memilih putingnya yang kian lancip.
"Ahhhh! Ahhhh! Aduhhh! Geli, Leee! Sssshhh! Ahhh! Ssshhh! Ehmmmm! Leeee!" badan Nenek bergerak bagai ular kepanasan. Kedua tangannya menekan-nekan kepalaku. Dari bibirnya kadang mendesah dan mendesih. Kontraksi memek Nenek mulai merespon. Mengeluarkan cairan pre-cum, yang biasa orang sebut pelumas alami wanita. Dan dalam hitungan detik, bau pekat memek Nenek semakin menajam. Hingga sesaat, Nenek melolong panjang, seiring pinggulnya terangkat ke atas, "OHHHHHHH!!!"
SEEERRRRRRR!!!
Belum.
Ini belum cukup.
Tanpa aba-aba, saat badan Nenek masih menikmati getar gelombang orgasme, aku colokkan jari tengahku ke dalam celah kewanitaannya. Menerobos masuk. Mencari titik g-spot. Agak ke atas. Yap, dapat!
"Siap-siap, Nek."
Clek! Clek! Clek!
Aku kocok tanganku dengan tempo sedang, lalu cepat. Semakin cepat. Lebih cepat.
Wajah Nenek, aku tatap. Matanya terbelalak. Lalu, memutih. Badannya belingsatan tak karuan. Pahanya bergetar hebat sekali. Lebih dahsyat seperti sebelumnya.
"AWWWW! AHHHHHH! LEEEEEE! ENAKKKKK!"
Crats! Crats! Crats!
Teriakan Nenek sedikit terlambat saat di mana vaginanya berkedut-kedut. Mengeluarkan air mancur bening bernama squirt. Menyembur deras membasahi pakaian, dan pastinya tanganku, dong!
Bajingan.
Sepertinya Nenek baru pertama kali merasakan squirt. Itu terbukti saat badannya yang mengejang tanpa henti. Air mancur kembali mengucur saat tanganku yang sempat berhenti, kini bergerak pelan. Squirt meleleh keluar dari sisa celah jari tengahku.
Sejurus, kukeluarkan jariku. Aku elap ke paha gempal Nenek, lalu aku merangkak naik. Memberikan kecupan dan memeluknya lembut. Aku lalu berbisik di telinganya, "Enak, ya, Nek?"
"Hhhh ... hhhh ... Le ... enak banget ...." Suara Nenek putus-putus. Matanya masih terpejam. Tapi dari ekspresi wajahnya tergambar jelas kepuasan.
"Kenapa, Nek? Kok lemes gitu?" aku mencoba mengajak Nenek bercanda, sambil memelintir puting kirinya yang keras dan besar.
"Ugh! Enak, Le, Nenek belum ... hhh ... permah diginiin ... ohhhh ... sek kerasa, Le. Agak ngilu ... ohhhh ...." Pungkas Nenek, sembari membuka mata perlahan. Menatapku sayu.
"Berarti sama Adam belum pernah dijilat memeknya gitu, Nek?"
"I-iya."
"Jadi langsung dicoblos, gitu?"
"Iya!"
"Kering, dong? Nggak enak, Nek."
"Iya! Gustiii! Dasar cucu tambeng!" gemas sekali Nenek menyahuti candaanku. Ia mencoba bangkit. Duduk. Otomatis susu besarnya bergoyang-goyang. Aku ikut berdiri. Kami saling berpandangan. Lucu sekali melihat ekspresi nenekku satu ini. Kemudian, Nenek berucap, "Ayo. Buka bajumu, Le." Sambil memegang ujung kausku, Nenek membantuku melepaskan satu persatu kain yang menempel di tubuhku. Telanjang sudah aku sekarang. Mengingat Nenek melepaskan celana dan celana dalamku sekaligus. Dan sedetik, kudengar Nenek memekik kaget dengan mata membola sempurna.
Aku heran. Kutautkan kedua alisku. "Ada apa, Nek? Ngagetin aja."
"GUSTI! INI BURUNGMU, LE?!" Nenek menutup kedua mulutnya yang menganga dengan sebelah tangan. Matanya hampir tak berpindah objek. Hanya fokus kepada si Palu Gatot yang kali ini tegak menjulang maksimal. Besar dan panjang. Warna coklat khas warga lokal. Sebuah benda pusaka kebanggaanku sejak lahir.
"Kan sebelumnya sudah lihat. Masa aku harus bilang kalau ini burungnya sapi?"
Tak ada niatan Nenek untuk menjawab gurauanku. Tangannya bergerak sendiri menjamah batang kontolku. Mencoba mengenggamnya. Tidak bisa. Hampir mustahil jempol dan kelingkingnya bertemu.
"Gimana, Nek? Mau dibandingin sama siapa punyaku?" aku sedikit jumawa.
"Gendeng, Le! Jelas ndak bisa dibandingkan sama siapa-siapa. Nenek pikir ibukmu dulu ngidam ngemut kontol kuda. Jadi keluarnya bocah berkontol kayak pentungan hansip gini!" Nenek berseru heboh.
Tak kuasa aku menahan tawa melihat komentar langsung dari Nenek. Bagaimana, ya? Nenek adalah orang pertama yang melihat bagian terlarangku. Si Palu Gatot yang panjangnya melebih pusar. Besarnya laksana lengan bayi. Kalau diibaratkan, kontolku ini seperti dildo size XL. Paham, kan? Jangan kira aku bocah ingusan dan punya barang standar-standar saja. Begini-begini, aku pandai merawat aset berhargaku untuk istriku kelak. Bajingan.
Sejurus, Nenek melakukan tugasnya. Ia mulai menurunkan badan hingga wajahnya pas menghadap perutku.
Hap!
Nenek memasukkan kepala kontolku terlebih dahulu. Ah! Rasanya hangat campur geli. Belum lagi lidah Nenek menyapu-nyapu lubang kencingku. Membuatku menggelinjang keenakan.
Tanganku refleks memegangi kepala Nenek. Perlahan, Nenek menelan centi demi centi batang kontolku. Nampak penuh sesak mulutnya. Padahal baru separuh. Kendati demikian, kenikmatan saat kepala Nenek mulai maju mundur menimbulkan sensasi kejut listrik statis di sekujur syarafku. Aku memejamkan mata. Membiarkan Nenek melakukan apa yang bisa ia lakukan.
Beberapa saat berlalu. Nenek menyudahi menyepong kontolku. Saat secara perlahan mengeluarkan kontol dari dalam mulut, saliva yang begitu banyak ikut keluar.
"Ayo, Le, masukkin ke tempik Nenek, ya." Dengan muka memelas, Nenek mengiba.
"Jangan terlalu berharap, ya, Nek. Aku baru pertama soalnya."
"Iya, cucuku sayang."
Aku posisikan diriku menindih Nenek. Yang tentunya dada kami saling menempel. Ketat. Selanjutnya, Nenek memegang kontolku, lalu mengarahkan ke depan pintu gerbang liang senggamanya.
"Angkat dikit badanmu, Le. Terus tekan pelan-pelan, yo. Duh! Gedhe banget! Nenek sampai merinding!" beo Nenek. Memberi instruksi.
Tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan kenikmatan dan sensasi persenggamaan pertamaku bersama Nenekku sendiri. Jiwaku terasa melayang di awang-awang.
Sleb ... sleb ... blessss!
Sensasi masuknya kontolku secara perlahan-lahan. Dimulai dari kepala kontolku membelah memeknya begitu nikmat yang teramat sangat.
Terasa memek Nenek sangat licin, hangat. Tetapi, untuk menusuknya sampai dalam, tidak mudah. Butuh tenaga ekstra sambil menahan luapan nafsu yang menggila.
Hampir seluruh batang kontolku tengggelam dilahap memek Nenek. Ada kiranya 4 cm yang masih tertahan karena kurasakan sudah mentok hingga menyentuh lubang terdalam yang paling kecil. Apa mungkin itu cincin rahim? Benarkah? Berarti sudah mentok, dong? Bajingan!
Di sisi lain, terasa hangat, becek, ketat, tidak longar juga tidak sempit, namun menyedot-nyedot. Aku berasa memasuki dimensi lain.
"Tahan sebentar, Le! Sudah mentok! Ohhhhh! Enak banget, Le! Oh, Kobe! Cucuku ganteng! Kontolnya gedhe!" kembali ngawur, Nenek meracau dengan nafas tertahan.
"Ughhhh! Nek! Kok anget gini, Nek?" bisikku di dekat telinga Nenek.
"Suka ndak, Le?"
"Suka, Nek."
"Ya udah. Coba kamu tarik terus masukkan lagi burungmu. Pelan-pelan. Memek Nenek ngilu."
"Siap, Nenekku yang nakal."
Saat masih dalam posisi menindih, aku melakukan dua hal sekaligus. Pertama, aku hisap puting susu Nenek sebelah kanan. Dan yang kedua, aku mengikuti perintah Nenek dengan menarik pinggul, yang otomatis batang kontolku ikut keluar. Yang kusisakan hanya kepala kontolku saja.
Nenek mengerang sensual. Ia meraba-raba punggungku. Berganti menjambak-jambak rambutku. Kulirik sekilas jika Nenek tengah memejamkan mata dengan mulut ternganga lebar.
Berikutnya, aku kembali mendorong pinggulku secara perlahan. Centi demi centi batang si Palu Gatot mulai merangsek. Terbenam. Tertelan. Masuk ke dalam lubang kenikmatan.
BLESSSS!
Keintiman ini membuatku tanpa sadar melesakkan kontolku sepenuhnya. Mentok. Jauh lebih dalam menghujam rahim. Melewati rintangan terbesar yang membuatku menahan nafas beberapa sedetik.
Di sisi lain, badan Nenek kembali bergetar. Lebih hebat. Dan kurasakan sebuah cairan membasahi kepala kontolku. Hangat.
"Leeee! Cek jerune! Ahhhhh! Nenek metu maneh! Metu akeh! Leeee!" (
Nakkkk! Sungguh dalam sekali! Ahhhhh! Nenek keluar lagi! Keluar banyak! Nakkkk!) raungan Nenek merasakan sensasi hujaman batang kontolku yang menjejal penuh memeknya.
Aku penasaran. Jantungku tak berhenti berdegup. Batang kontolku juga kian menegang dan berdenyut-denyut.
Sampai beberapa lama, tanpa banyak bicara Nenek mendorong tubuhku dan menariknya kembali. Yang kemudian, aku menjadi paham jika aku harus mulai bermain.
Plok! Plok! Plok!
Apa yang diharapkan pemula sepertiku? Meskipun aku memiliki batang kontol luar biasa, aku tetaplah bau kencur soal genjot-menggenjot. Itu dibuktikan akan gerakanku yang kadang lambat, kadang cepat, dan kadang berhenti untuk sekadar menikmati dinding becek memek Nenek.
"Ahhhh ... jancuk ... enak tenan, Leee! Aduhhh ... edan ... edan ... matek aku ... ohhhh ... ohhhhhh .. putuku jancuk!" (
Ahhhh ... jancuk ... enak sekali, Nakkk! Aduhhh ... gila ... gila ... mati aku ... ohhhh ... ohhhhhh .. cucuku jancuk!) racauan andalan Nenek yang selalu ngawur kembali terlontar. Semakin menambah keintiman permainanku.
Hanya puluhan tarikan serta dorongan pinggulku, aku merasakan gelombang nikmat yang mulai membuatku panas dingin. Hal ini berujung pada sensitifitas kontraksi pada kontol dan seluruh otot di bawah.
"Ohhhh! Nekkk! Aku mau ngecrot, Nekkk! Nekkk! Aduhhh! Ohhhh! Ohhhh! Ohhhhh!" aku menggeram tak karuan. Gerakanku semakin tak terkendali.
Demikian pula dengan Nenek yang ikut menggerakkan badannya. Kedua kakinya mengikat pinggangku. Rapat.
"Sssshhh ... Leeee ... tahan dulu! Nenek juga mau ... ahhhh ... ahhhhh ... Nenek jugaaaa ...." Deru nafas Nenek tersengal. Ia menatap mataku tajam. Kedua tangannya mengarahkan tanganku untuk memainkan kedua payudaranya. Dan secepat kilat, kumainkan susunya. Meremas kuat sambil kembali menetek di putingnya.
Semakin gila. Ini tidak benar. Ini tidak boleh. Tapi aku tak kuasa menolak kenikmatan hubungan badan tabu bersama Nenek. Wanita anggun yang melahirkan ibu dan dua adik ibu yang lain. Oh, ini salah!
Sedetik ....
"NENEKKKK!!!"
"KELUARKAN, SAYANG! AYOOO! OHHHHH! NENEK JUGAAAA!!!"
CROT! CROT! CROT! CROT!
SEEERRRRR! SEEERRRRR!
Sialan.
Spermaku keluar untuk yang kedua kalinya. Yang pertama di kamar mandi. Dan yang kedua di tempat yang seharusnya.
Di dalam memek Nenek, aku memborbardir liang senggama dengan berliter-liter tembakan sperma. Badanku berasa rileks. Plong. Kenikmatan tiada tara yang sungguh tiada bandingannya dengan onani.
Sementara itu, Nenek kejang-kejang. Matanya terpejam rapat. Suara lolongan terakhirnya tertelan oleh bibirku yang langsung melumatnya.
Kami berdua berdiam sebentar. Menikmati puncak klimaks yang baru saja kamu gapai.
Sampai akhirnya, kontolku mulai lemas. Dan dengan bantuan tarikan pinggulku, si Palu Gatot yang full senyum keluar dari liang surgawi Nenek.
Aku tergolek di samping Nenek. Rasa lemas dan ngantuk yang luar biasa kurasakan. Kuperhatikan Nenek bergerak pelan rebah di dada bidangku. Nenek memandang mataku sembari tersenyum manis, lalu mengelap peluh di keningku.
Mata teduh Nenek, ditambah belaiannya yang penuh kasih sayang membuatku hanyut. Sebelum aku terjatuh ke dalam kegelapan, kudengar Nenek berbisik lembut, "Kontol cucu Nenek memang yang terbaik."