Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA My Only Sunshine - TAMAT

Pecah parah pas gelud sama "bodigard" anin wkwkwk.

Btw tama sama momo terikat janji apaan tuh, sampe jadi melow banget hehehe.
 
Part 2 – Berteman dengan Rindu

“Huft, revisi lagi~” aku segera melempar beberapa kertas dari laporanku yang harus aku revisi keatas meja komputer. Puci langsung mengganti pakaiannya dengan tanktop dan celana pendek katun. Aku yang kelelahan langsung melemparkan diri keatas kasur. Puci berbaring disebelahku.


“Momo udah dapet apartemen?” tanyaku kepada Puci yang rupanya sedang menarik selimut menutupi seluruh badannya. Iya hanya mengangguk lemah. Matanya menutup perlahan. Aku menerawang keluar. Rasanya aneh bertemu Momo lagi di Indonesia, terlebih lagi di Jakarta.

Puci mendengkur. Lelah sekali sepertinya. Pipinya yang sedikit gembul itu lucu sekali. Aku hanya tersenyum melihatnya, lalu bangkit dan mencium pipinya itu. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk mandi dan merenung seperti biasa. Kucuran air hangat yang membasahi tubuhku membuat ototku yang semula sangat tegang menjadi lebih rileks.


“Huft..” Aku menatap wajahku sendiri di cermin.

wae...” Kucuran air shower itu membantuku menutupi air mataku yang mulai mengalir.

“Bukan ini yang aku harapkan, Momo..” tangisanku semakin kuat. Kuharap Puci tidak mendengarku. Bahuku bergetar hebat, hingga membuatku terduduk lemas dibawah kucuran shower.


Kriett


Pintu kamar mandi terbuka. Puci melangkah masuk secara perlahan. Ia membuka kaos nya, lalu celana pendek yang ia kenakan. Aku yang melihatnya bahkan tidak merasa nafsu karena aku masih teringat Momo. Puci memeluk tubuhku dari belakang. Ia sudah tidak mengenakan apa-apa sekarang. Rambutnya yang sudah pendek itu tetap ia kuncir satu.

“Aku gatau cerita kalian gimana dulu...” bisik Puci lembut. Lembut sekali. Tangisanku masih cukup kencang.

“Tapi, yang jelas, kehadiran dia kesini, bukan kemauan dia juga kan? It’s all was a coincidence. Aku bahkan gatau kamu kenal Momo sebelumnya.” Pelukan Puci semakin erat. Ia mencium pipi kananku. Tangisanku perlahan berhenti.

So, apapun itu, biarkan itu terjadi, okay? Ada aku sekarang disini.” Puci memutar badanku lalu mengecup bibirku lembut. Tangannya meraih kran shower dan mematikannya.


“Hmpph..”

Tangan Puci bergerak menuju penisku yang mulai menegang. Aku yang tidak mau tinggal diam mulai merapatkan tubuh Puci kearahku, lalu meremas toketnya pelan. Lembut, seperti tidak ingin buru-buru seperti biasanya.

“Hgnhh..” Puci mulai mendesah pelan. Ciumanku mulai turun ke lehernya. Aku menjilatinya dengan mesra. Foreplay paling selow nih.

Tanganku meremas kedua buah dadanya itu dan sesekali memainkan putingnya. Badan Puci sedikit bergerak kegelian saat aku memilin kedua putingnya.

“hngghh.. tam....” tangan Puci yang sedari tadi hanya mengelus penisku kini mulai bergerak meremas perlahan penisku yang sudah tegang itu. Aku membaringkan tubuh Puci di lantai kamar mandi ini. Tubuhnya yang proporsional itu mengkilat terkena cahaya lampu dari air yang membasahi tubuhnya tadi. Puci menarik kepalaku, lalu berbisik.

“Satu ronde aja ya?” bisiknya dengan nafas yang berat. Aku mengangguk. Sebenarnya aku tidak tega karena tadi dia sedang asik mendengkur. Namun, karena ini permintaannya, sebaiknya tidak aku sia-siakan.

Tangan kiriku bergerak menuruni tubuhnya, melewati perutnya yang mulus itu, lalu berhenti di bibir vaginanya.

“Basah banget.” Ucapku. Puci hanya me-meletkan lidahnya. Jari telunjuk dan jari manisku mulai memasuki lubang kenikmatan duniawi itu.

“Ahh....” desah Puci sensual saat jariku masuk perlahan. Kusambar bibirnya yang sedikit tebal itu, lalu mulai memainkan jariku didalam vaginanya. Dinding vaginanya yang basah membuatku bisa dengan mudah memaju-mundurkan jariku.

“Hnghh.. ahh... enakkkk..... sayaangg..... aahh...” desahan Puci mulai tak karuan. Jariku bergerak perlahan, cenderung tidak menaikan tempo.

“Cepetin yang.... aahhh....” rengek Puci. Aku hanya tersenyum nakal, lalu mempercepat gerakan jariku itu.

“AHhh... Iyaahhhh..... hngghhh.... enakkkkk......” Tubuh Puci mulai menegang. Vaginanya terasa semakin menjepit jariku. Aku yang tau bahwa Puci akan orgasme mempercepat gerakan jariku.

“HAAAHH... IYAAHH.. ENAKKKK.. AAHHHH AKU KELUAAARRR!!! AAKRhhh..”

Puci orgasme. Cairan kewanitaannya membasahi jariku. Puci yang masih tersenggal secara mendadak menarik tanganku, lalu menjilati jariku yang tadi kugunakan untuk mengocok vaginanya. Aku membiarkannya menikmati cairan cintanya sendiri, sembari menunggu nafasnya teratur kembali.

“Ini mau dianggurin?” tanyaku kepadanya sembari menunjuk penisku yang sudah sangat tegang itu. Puci tersenyum nakal, lalu segera menarik penisku kearah bibir vaginanya.

“Langsung cepet ya..” pinta Puci. Aku hanya tersenyum sesaat, lalu...


Bles.


Penisku masuk seluruhnya kedalam vaginanya. Badan Puci sedikit menegang tadi, namun sudah kembali rileks. Aku mendekatkan wajahku kearah wajah Puci, lalu tersenyum simpul.

“You are mine.” Puci membalas dengan senyuman yang sangat lebar, lalu segera melumat bibirku. Aku mulai menggerakan pinggulku, memompa penisku keluar-masuk didalam vagina Puci.

“Ahhhh.. tam.....” mulut Puci mulai mendesah, bahkan ketika sedang menciumku. Tanganku kembali meremas kedua buah dadanya, namun dengan sedikit kasar. Sesekali aku menarik putingnya keatas, yang diiringi dengan menegangnya tubuh Puci. Genjotanku mulai kupercepat. Cairan orgasme Puci tadi membuat penisku dengan mudah mengisi vaginanya.

“Ah... hgnhh... enaaaakkk.. bangeett... aaahhh....” desah Puci tak karuan. Kepalanya bahkan menggeleng-geleng dan matanya merem melek.

“Ahh... keluarin dimana?”

“DILUAR TAM!” teriak Puci segera. Mendengar hal tersebut, aku semakin mempercepat genjotanku. Suara benturan selangkangan kami terdengar cukup kencang. Vagina Puci semakin menyempit.

“AKU... AAHHH... MAU KELUAR......”

“Tahann... hgnhh... bentar lagi....”

“AAHH... IYAARGHHH... TAMAA...... ARAAGHHHH!!!”

Seiring dengan orgasme Puci, aku yang juga merasakan sebentar lagi akan sampai segera mencabut penisku lalu mengarahkanya ke wajah Puci.


Crott

Crott

Crott

Crott



Semburan spermaku melumuri wajahnya. Beberapa tetes bahkan mengenai rambutnya. Badanku terjatuh diatas badan Puci. Nafas kami tersenggal-senggal. Puci mengelus pipiku, lalu menciumnya. Lembut sekali.

“Aku penasaran sama keluarga kamu.” Bisik Puci tiba-tiba. Terkejut, badanku langsung bangkit duduk.

“Tumben?” tanyaku keheranan.

“Abisnya, kayaknya kamu sama papaku akrab banget. Penasaran aja.” Puci juga bangkit lalu melepas ikat rambutnya. Lepek sekali rambutnya. Aku berfikir sejenak, lalu menghembuskan nafas.

“Kita mandi ya? Habis itu, aku kenalin kamu ke orangtua aku.” Aku menarik Puci berdiri, lalu menyalakan shower. Puci terlihat sangat bersemangat. Aku hanya menggeleng keheranan dengan kelakuan gadis yang katanya Idol Kecintaan Semua.

---

Motorku berhenti di depan sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading. Sebuah rumah mewah 3 tingkat dengan nuansa modern. Tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi. Kami berdua turun dari motor, lalu memencet bel rumah. Seorang satpam berlari kearah kami.

“Ini, den Andhika?” satpam tersebut mencoba mengingat-ingat. Aku tersenyum singkat. Sang satpam tersebut terlihat senang sekali.

“Alhamdulillah, ayo masuk masuk den, non. Motornya biar saya aja yang pindahin ke dalem.” Satpam yang mengenakan papan nama bertuliskan “Jajang” itu segera membuka pintu pagar yang menjulang tinggi. Kulirik Puci, ia seperti masih kaget sekaligus terkagum. Kami berjalan masuk, dan berhenti di depan pintunya.

“Siap menyambut rindu?” Tanya Puci sembari menggandeng tanganku. Aku hanya mengangguk lalu tesenyum. Jantungku berdebar sekali. Pintu ku ketuk, lalu kubuka perlahan. Seorang gadis yang tengah menonton televisi di ruang keluarga bersama 3 orang lainnya itu menoleh ke arahku, lalu memasang tampang terkejut yang amat sangat.

“ABANGGG!” Zee berlari kencang kearahku sesaat setelah aku membuka pintu rumah. Tubuhnya yang cukup bongsor itu menabrak tubuhku dan memeluk tubuhku erat. Pundakku sedikit basah karena tangisannya.
44774034_252144182123431_3286904079282956343_n.jpg

“Azizi kangen. Lama gak ketemu.” Zee berusaha berbicara ditengah tangisannya. Puci yang berdiri di sebelahku mengelus punggungku.

“Kalo kangen, ketemu Pucchi di teater kan cukup.” Aku tertawa. Zee melepas pelukannya dan menunjukan wajah kesalnya. Lucu sekali adikku ini. Zee lalu berlari kearah pucchi dan memeluknya.

“Kak Puci apa kabar? Aku jarang ketemu kak Puci juga di teater.” Zee berbicara ditengah pelukannya. Puci yang masih terkejut dengan kehadiran Zee dirumahku ini hanya melongo.

“Ini adikku, Azizi Shafaa Arnes Asadel, cuman dia mengikuti jejak aku, gak pake nama keluarga selama memperkenalkan diri. Dia adik aku satu-satunya. Mirip ya?” aku menjelaskan sembari mengusap punggung Zee. Puci mengangguk paham.

“Pantes mirip, adiknya toh.” Puci membalas pelukan Zee. Ketiga temannya tadi menghampiri kami.

“Halo kak Puci, halo kakaknya Zee.” Seorang gadis dengan lesung pipi di dekat ujung bibirnya itu menyapaku, lalu menyalamiku.

“Aku Ramel kak, tapi biasa dipanggil Amel atau Amle.” Aku menjabat tangannya.

46945706_222077902034035_1028765383957252766_n.jpg

“Tama Andhika.” Jawabku singkat. Ia tersenyum lalu melepas jabat tanganku. Selanjutnya, seorang gadis yang berhasil membuatku terkejut.

“Cuman mirip. Ini versi gembil dan pendeknya.” Ucap Zee cepat. Aku membulatkan bibirku membentuk huruf O, lalu menyalaminya.

“Muthe, kak.” Gadis yang secara sekilas mirip dengan Momo ini menyalamiku.
45375682_775258432834501_6379670337515517308_n.jpg

Terakhir, gadis pendiam dengan poninya yang menggemaskan ditunjang dengan pipinya yang gembil.

“A...aku... Nabila, kak... panggil aja Lala.” Ia menyodorkan tangannya dengan ragu. Aku tersenyum lalu menjabatnya dengan hangat.

47013122_326336568091424_8286538090884653438_n.jpg

“Ayo! Kalian berdua pasti laper kan? Kita baru masak spaghetti loh! Ayo!” Zee menarik tangan kami kearah dapur. Aku dan Puci hanya saling tatap lalu tertawa.

“Kakak sama adek gaada bedanya.” Ucap Puci diiringi tawa semuanya.


Hai, rumah. Kepadamu aku kembali.

Hai, Zee. Kamu pasti rindu abangmu kan?





















Hai, Lala.
 
Lala jangan diajarin yg enak enak ya van..kasian..nanti ketagihan
 
Part 3 – Home calling.


Kami berenam duduk mengitari meja makan yang besar ini. Meja makan favoritku semenjak aku kecil dulu. Zee memimpin doa. Kebhinekaan terasa di meja ini kala kami semua berdoa. Namun, bagaimanapun cara semua orang berdoa, mereka mengakhirinya dengan satu kata yang seragam.


“Amin.”

“Ittadakimasu~!” Zee riang sekali. Aku dan Puci hanya tertawa, lalu mulai menyantap spaghetti itu. Zee duduk di bagian ujung meja, sementara aku dan Pucchi berada di sebelah kanan nya. Di sebrang kami ada Muthe, Amel, dan Lala. Aku yang sedang asik-asiknya makan merasa sedang diawasi oleh sepasang mata. Mataku menangkap Lala yang sedang memperhatikanku. Ia sedikit terkejut, lalu berusaha makan kembali.

Salting tuh.

Sepanjang makan, aku tak henti-hentinya memergoki Lala yang sedang mencuri pandang kearahku. Kami mengakhiri kegiatan makan dengan berdoa. Selesai makan, aku membawa piring-piring kotor itu ke tempat cuci piring di belakang. Zee mengekorku.


Hup


Pinggangku dipeluk oleh Zee. Aku yang sedang asik mencuci piring, iseng mencolekan busa ke hidungnya yang mancung itu.

“APA BANGET YA DIKANGENIN MALAH GITU!” hardik Zee. Aku hanya tertawa puas.

“Udah lama kangen nya?” tanyaku sembari melanjutkan kegiatan mencuci piringku.

“DARI DULU!” Zee kembali berteriak. Suaranya yang sedikit berat itu terdengar menggema, pertanda rumah ini sepi.

“Pada kemana deh?” aku yang sudah selesai kembali bertanya kepadanya.

“Papa biasa, mama tadi keluar sama tante Stella, jadi dirumah cuman ada Pa Ujang sama Bi Nenah doang.” Zee menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Tanganku yang masih basah aku keringkan dengan cara mengelus pipi Zee.

“Uwuuwuu pipi bolongkuwh~”

“ABAAANGG!!!!” Zee berlari kearahku. Aku yang reflek langsung berlari mengitari meja makan. Keempat gadis tadi hanya tertawa sembari menonton, sementara aku dan Zee sedang asik kejar-kejaran di dalam rumah.

“ZEE, MAU DIBANTU GAK?!” teriak seseorang.

“GAK GITU CARA MAINNYA PUT!” Aku berteriak dengan nada sedikit kesal kearah Puci yang sudah mengambil ancang-ancang menangkapku. Puci kembali tertawa. Aku secara reflek berlari ke lantai dua diikuti Zee dan keempat krucil itu. Aku langsung mengarahkan tubuh ini ke sebuah ruangan yang ada, namun tertahan karena ruangan ini dikunci. Zee yang melihatku berhenti di ambang pintu ikut berhenti, pun dengan keempat perempuan penyemangat tadi. Aku masih mematung didepan ruangan itu. Tidak kusangka, aku masih ingat betul kebiasaan ku dengan Zee saat kami berdua masih kecil saat itu.


“ih abang curang!”

“mama, abang larinya ke kamar!”

“Ayo, anak papa gaboleh lari-lari dirumah hei”

“Wlee, azizi lambat wlee”

“Azizi tuh gak lambat tau!”

“Hei, udah udah, gak mama suapin loh nanti.”



Ingatan masa kecilku kembali seketika. Zee berjalan ke arahku, diikuti Puci. Aku yang melihat itu, langsung mengangkat tubuh Zee agar ia bisa menggapai celah kusen ventilasi ruangan ini. Ia menyerahkan sebuah kunci sesaat setelah tubuhnya aku turunkan. Kunci tersebut sangat berdebu, cenderung berkarat.

“Kuncinya gak Azizi buang, bang. Maaf.” Zee menunduk. Aku merasakan jantungku sangat berdebar sekarang. Puci menggenggam tangan kiriku dan tangan Zee.


Klek.

Krieett.



Pintu berwarna putih pucat yang sebagian sisinya tertutupi stiker itu terbuka. Membuka sebuah ruangan yang sangat aku rindukan sejak dulu. Aku berjalan masuk perlahan. Puci yang berusaha mengikutiku kedalam rupanya ditahan Zee untuk tetap berdiam di ambang pintu. Tanganku menekan saklar lampu, dan menyala lah semua lampu yang ada. Kamarku.

Kamar ini rapih sekali. Seingatku, sebelum melangkah pergi dari rumah ini, aku mengacak-ngacak seluruh barang yang ada di kamar ini. Namun, aneh sekali ketika aku masuk kamar ini sangat rapih.

Kasur king size itu sekarang terbungkus sprei warna putih pucat, kontras dengan warna dinding nya yang hitam pekat. Lemarinya masih utuh, rupanya pintunya diperbaiki. Meja belajarku bersih. Buku novel favoritku tersusun rapih di raknya. Beberapa frame foto masa kecilku dan Zee masih ada disana. Puci dan Zee perlahan-lahan menghampiriku. Mereka berdiri tepat dibelakangku. Aku membungkukan badan, meraih bagian kolong kasurku. Mencari sesuatu.

Sret

Sebuah kotak berwarna kombinasi navy dan pink itu terseret keluar. Aku terduduk memandangnya.

“Maafin Azizi, bang.” Zee berbicara sangat pelan sembari menunduk. Puci merangkulnya, lalu mengusap pundaknya.

“Put?” Puci kaget saat aku memanggilnya.

“Boleh ya?” aku meminta ‘izin’ kepada Puci. Meski tidak mengerti ia tersenyum dan mengangguk pelan. Aku membuka kotak itu. Terlihat beberapa barang di dalamnya, mulai dari jam tangan, kamera polaroid, sebuah music box, beberapa surat, tiket bioskop, beberapa hasil polaroid, dan sebuah kalung berwarna perak. Menumpahkan isinya. Hal itu menarik perhatian semuanya, tak terkecuali Puci. Aku mengambil kalung itu. Sebuah kalung dengan ukiran huruf hangul khas Korea bertuliskan “모모” itu membuatku meneteskan air mata. Polaroid-polaroid itu membuat dadaku nyeri. Dan music box itu..

Puci mengambil music box itu, lalu membukanya. Alunan nada mulai terdengar dari music box itu. Nada awal yang terdengar rancu tadi membentuk sebuah lagu. Lagu dari AKB48 berjudul Eien Pressure, aku yakin mereka semua mengenali lagu itu. Didalam music box itu, ada sebuah cincin.

“She was my fiancee, Put.” Ucapan dari mulutku itu sontak membuat semua kaget, kecuali Zee.

It was for my family bussines. But, I know her since we’re at elementary school. Back then, she was a cute girl who always sit alone, because no one wants to be her friend.” Tubuh Puci bergetar mendengar penjelasanku. Ia membiarkan music box itu terbuka, lalu memelukku dari belakang. Ia mulai menangis.

Everything was changed since we met. That time, exactly one month after Momo dissapeared. After I promised her to stay. After I promised her, to not making love again before our wedding.” Puci masih memelukku erat. Tangisannya mulai membasahi kaosku.

“Then, we met. I dont know. Since Momo was gone, all of my love to her also gone. Then, I met Her again. With you.” Ucapanku membuat Zee terkejut. Ketiga teman Zee tadi hanya memandangi kami.

“Ne, Zee. Dia sekarang di Indonesia lagi.” Aku bangkit berdiri, memasukkan semua barang-barang tadi kedalam kotak itu, lalu menaruhnya kedalam kolong kasur lagi. Tubuku menghadap Puci. Aku mengusap air matanya.

“Aku... gapapa kok.... kalo misal... hiks.... kamu milih... Momo...” Puci terisak. Aku memeluknya sejenak.

“Once it’s you, then it’s always you, Put.” Aku mengecup pipi nya. Puci tersenyum.

“Semenjak abang pergi, Azizi selalu bersihin kamar abang, apalagi setelah semuanya waktu itu. Azizi suka tidur disini juga kalo kangen abang. Azizi kesepian bang. Semua gapeduli sama Azizi lagi semenjak abang pergi.” Zee buka suara dan juga ikut terisak. Ketiga temannya tadi menenangkan nya.

Aku memeluk Zee, diikuti Puci dan teman-temannya tadi. Suasana berubah sendu.

“Delivery pizza enak nih.” Aku memecah keheningan ditengah pelukan itu. Sontak semua orang menoleh kearahku dengan wajah berbinar.

“AYOO!!!”

----

“Kamu yakin gak mau aku anter ke rumah Ayana?” tanyaku pada Puci yang sedang mengenakan sepatunya itu.

“Gapapa gausah, kamu biar family time dulu sama Zee. Tapi nanti kayaknya aku nginep deh di rumah kak Ayana.” Ucap Puci sembari berdiri lalu membersihkan celananya itu. Aku tersenyum lalu memeluknya dan mencium keningnya lembut.

“Take care ya sayang~” aku melambai. Ojek online pesanannya telah tiba di depan rumahku.

“Iya sayang dadah~” Puci naik lalu mereka melaju pergi. Aku kembali masuk kerumah. Amel dan Muthe sudah pamit duluan karena urusan lain, sehingga tersisa Lala. Aku duduk ditengah-tengah mereka.

“KOK GENDUT SEKARANG!” Zee berkacak pinggang di depanku sesaat setelah aku duduk.

“Pan baru beres makan dah buset. Ini masih sixpack tau.” Aku mengangkat kaosku sedikit, memperlihatkan otot perutku.

“Oh, bagus deh, kirain jadi buncit gitu.” Zee duduk di pangkuanku, persis seperti kebiasaannya dulu.

“DAH GEDE, BERAT TAU!” aku menggulingkan badan Zee ke samping. Ia hanya nyengir tanpa dosa. Lala masih terdiam. Aku menoleh kearahnya.

“Kenapa, La?” aku bertanya. Lala menolehkan kepalanya kearahku. Ia menelan ludah.

“Gapapa kak, aku cuma mau pamit pulang aja.” Lala menggaruk belakang lehernya yang aku yakin tidak gatal.

“Yaudah, abang aku yang anterin ya!” Zee segera mendorongku kearahnya. Hidungku membentur kepalanya. Sesaat, indra penciumanku menerima sebuah aroma yang menusuk.

RAMBUTNYA WANGI BENER DEH.

Aku segera menarik kepalaku kembali. Lala sepertinya terkejut. Zee masih sibuk menonton drama Korea yang sedang diputar di televisi.

“Rumah dimana La?” aku bertanya sembari bangkit dari duduk ku. Lala tidak berani menatapku.

“Di Kuningan kak..”

“Woah, searah kita. Baiklah, krucil manjakuh...” aku menarik tubuh Zee agar berdiri.

“Abangmu yang ganteng ini mau beranjak dari kenangan masa laluku, mengantarkan teman seperjuanganmu ini menuju tempat tinggalnya.” Aku memeluk Zee. Zee memelukku lebih erat.

“Take care disana, Bang. Sering-sering kerumah gini ya. Azizi kangen.” Ucap Zee lalu melepas pelukannya. Aku menarik tangan Lala menuju keluar. Selesai memakai sepatu, kami menuju motorku yang masih terparkir di tempat yang seharusnya. Garasi.

“Dadah Azizi Asadel kesayangankuwh~” aku memacu motor bersama Lala. Tangan Lala memelukku perutku. Ia tidak banyak bicara.

“Kuningan nya dimana La?”

“Mega Kuningan.” Aku terkejut.

“KITA SE APARTEMEN?!”


---

Pintu lift terbuka. Sejak turun dari motor, tangan Lala masih menggenggam tanganku. Kami berhenti di depan kamarnya. Ia berbalik. Tingginya yang hanya se leherku membuat ia harus mendongak. Poninya tersingkap kesamping. Pipi gembul itu lucu sekali.

“M...makasi kak...” Lala menunduk. Aku mengusap pucuk kepalanya.

“Sama-sama. Kamu takut ya daritadi sama aku?” Aku menunduk agar bisa melihat wajahnya yang sedang tertunduk itu.

Astaga, lucu banget.

Tak kusangka, ia mengangguk pelan.

“Waktu itu, aku lihat kakak di McD nonjok orang. Aku kaget. Ternyata kakak nonjok pacarnya kak Anin, sampe giginya mental.” Lala masih tertunduk.

“Hahaha. Yaudah lah ya, toh udah ini masalahnya.” Aku kembali ke posisiku, bersiap untuk melangkah pergi. Namun, tak kusangka, Lala menahan tanganku.

“J..jangan dulu pergi...” katanya. Pelan sekali. Aku kembali memandangnya. Matanya yang sipit itu memandangku dengan tatapan lain.


--

BRAK!

Pintu kamarku tertutup dengan kencang, Lala segera menguncinya dari dalam. Ia masih terus menciumiku dengan ganas. Nafsunya sepertinya sudah terbendung semenjak melihat otot perutku di rumah tadi. Tangannya berusaha mengangkat kaosku dengan kasar. Aku membantunya dengan melepas ciuman kami sebentar.

“Jangan ganteng-ganteng kak jadi Cowok. Kalo ada yang sange, susah kan ngeladenin nya?” Lala berbisik pelan di telingaku. Aku terkejut. Nadanya menggoda sekali. Ciumanku mengarah ke lehernya.

“Hnghh.. kaak....” Lala mendesah. Aku tidak sanggup menahan nafsuku ketika mendengar suaranya. Menggoda sekali. Ia berinisiatif melepas kaosnya. Dua gundukan itu menyapaku sesaat setelah kaosnya terlepas. Jika mengambil sebuah istilah, toketnya ‘Pas di genggam’.

I’m yours, kak.”
 
Terakhir diubah:
Hai, Halo kak!
Merayakan legalnya dique lalapo sih updatenya ini ehe~

selamat menunggu update ya kak, mungkin gak akan cepet-cepet karena sedang menghadapi dosbing yang sangat kucinta~~
 
Ini sebenarnya jadi perdebatan saya sendiri, yang bener itu Fiancé atau Fiancée sih hu?
Artinya kan sama

Alias

Kampret kau, Tama :elu::elu:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd