- Daftar
- 24 Nov 2013
- Post
- 1.856
- Like diterima
- 597
Mata-Mata
Prolog
Sekolah Dinas Khusus Mata-Mata Indonesia
5 Juli 1959
Di sebuah tempat di Republik Indonesia
Jam 17.30
Sudah hampir Maghrib. Sekolah Dinas Khusus Mata-Mata sudah sepi sekali. Sekolah mata-mata berdiri tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ini Sekolah yang sangat rahasia. Sengaja didirikan supaya melatih putra/ putri terbaik Bangsa biar belajar seni jadi mata-mata buat bantu jaga keutuhan NKRI.
Pendiri sekolahnya pakar mata-mata tersohor, sudah melanglang buana buat belajar ilmu telik sandi sampai kemana-mana. Awalnya mata-mata yang direkrut hanya dari kalangan tentara. Lama kelamaan dipandang perlu buat rekrut mata-mata sipil supaya mudah melakukan pemantauan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu siswa/siswinya dilatih benar-benar, terkadang lebih daripada Tentara, mulai dari dikuatkan badannya, sampai dibuat cerdas pikirannya. Mata-mata tak boleh lemah. Tak boleh bodoh. Nanti pasti gagal dalam tugas. Mereka dikuatkan lahir batin dulu baru dikirim sampai ke luar negeri biar dilatih sama mata-mata CIA, mata-mata KGB, supaya tambah mahir.
Hasilnya tak main-main. Mereka benar-benar bantu mata-mata Tentara di ujung depan garis perjuangan. Waktu Belanda serang Indonesia di Agresi Militer satu dan dua, para mata-mata sipil pria dan wanita berjuang tanpa pamrih. Mereka pakai teknik sabotase dan perang urat syaraf. Dipecah belah sama mereka tentara Belanda biar kepayahan hadapi tentara Republik. Demikian pula, waktu pemberontakan di dalam negeri meletus dimana-mana mulai dari DI/TII, PRRI, Permesta, sampai RMS, mereka selalu hadir bantu kepentingan Bangsa dengan diam-diam, tak kasat mata, tapi buat reda pemberontakan separatis tadi dengan cara diplomatik, atau bahkan, bila perlu, cara licik.
Ini sebabnya sekolah mata-mata sipil sangat penting artinya dan lulusannya juga sangat berarti nilainya bagi perjuangan Bangsa. Termasuk di tahun sekarang, tahun 1959. Ada seorang pemuda yang baru lulus sekolah mata-mata bernama Pardjo. Wajahnya ganteng lebih tampan daripada orang pribumi biasa. Kulit tubuhnya cokelat kehitaman. Tubuhnya tinggi, ototnya kekar terlatih karena Pardjo tak lengah terus bina fisik dan mentalnya buat bersiap menjalankan tugas Negara.
Pardjo baru lulus Sekolah Khusus tiga hari lalu. Sebentar lagi Sekolah ini akan ditinggalkannya. Pardjo tak tau akan ditugaskan ke mana namun ia ingin kumpulkan sebanyak mungkin kenangan indah di sekolah ini. Termasuk suasana jelang mentari terbenam yang sangat tenang ketika dinikmati tepat di gerbang sekolahnya.
Bagi Pardjo lihat detik-detik matahari tenggelam membawanya pada saat yang menenangkan. Apalagi kini Pardjo tak menikmatinya seorang diri. Ia tengah berdiri bersama seorang wanita cantik yang merupakan adik kelasnya, sesama calon mata-mata, yang berjarak dua tingkat darinya.
Adik kelasnya bernama Lusi. Seorang siswi yang bisa dibilang paling cantik diantara teman satu angkatannya. Lusi lahir di Garut. Ayahnya dulu bekas pegawai Belanda di Garut yang memilih tak pulang ke Negerinya dan lebih pilih jadi orang Indonesia. Ia masih hidup sampai sekarang dan punya perkebunan disana. Inilah yang buat Lusi tak pernah kekurangan uang selama pendidikannya karena dia berasal dari keluarga berada. Ibunya yang asli Garut juga berasal dari keluarga pamong pradja yang hidup berkecukupan.
Wajah Lusi sangat cantik. Hidungnya mancung. Bibirnya penuh. Ia jadi tambah cantik karena ia campuran Belanda-Garut. Wajah campurannya buat banyak orang bilang ia mirip sama bintang film Marylin Monroe. Tahi lalat di pipi kanannya yang buat ia tambah mirip sama Marylin. Bahkan bukan hanya wajahnya, tubuh Lusi juga sama menarik dengannya.
Tubuh Lusi mewarisi tubuh jangkung ayahnya dengan tulang yang lebar seperti orang luar negeri. Yang menjadi daya tarik lebih, tubuh Lusi tidak kurus. Ia sangat sintal tubuhnya. Di saat pendidikan sebagai mata-mata saja tubuhnya sangat menggoda dan mengundang selera kaum pria karena dia adalah wanita blasteran bertubuh molek.
Sekarang, di kala senja nyaris tenggelam, mereka berdua tengah berdiri bersisian seperti halnya sepasang kekasih. Pardjo dan Lusi, walau hanya dua tahun saling mengenal, mereka telah terbit bibit-bibit cinta yang barangkali disemikan oleh daya tarik fisik mereka yang sama menariknya. Yang satu ganteng, tinggi, berotot. Yang satu cantik, sintal, dan molek.
Akan tetapi di senja ini, tepat pada waktu di Ibu Kota Djakarta terjadi peristiwa Dekrit Presiden dimana Dewan Konstituante baru saja dibubarkan oleh Presiden. Di kala Bangsa Indonesia menyatakan tekad kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, Pardjo ungkapkan kata perpisahannya pada Lusi. Katanya, “ Barangkali waktu perpisahan bagi kita telah tiba, Lusi.”
Lusi tatap Pardjo lekat sebagai sebuah jawaban. Alih-alih mengiyakan ia coba utarakan pada Pardjo pendapatnya, “ kenapa harus kau sampaikan kata perpisahan padaku, Mas? Toh kita masih bisa bertemu lagi dalam berbagai kesempatan?”
Pardjo geleng-geleng kepala, ia jawab, “ Mata-mata tidak bisa dipegang, Lusi. Kau harus siap tugas kemana saja. Harus siap lakukan peran apa saja. Semuanya demi kepentingan Bangsa dan Negara.”
Di tengah mereka suasana sore jadi makin gelap. Cahaya hampir redup sepenuhnya. Maghrib sudah hampir tiba.
“ Sepanjang kita percaya sama cinta kita, apa sebenarnya yang bisa pisahkan kita, Mas?” Lusi tak mau kalah. Ia tak seperti kebanyakan wanita pribumi pada umumnya yang biasa bicara sambil merunduk malu. Lusi dididik oleh ayahnya pendidikan ala Belanda. Ia terbiasa nyatakan pendapatnya. Terbiasa bicara. Biasa tempatkan posisi kaum pria sama dengannya. Bila ia bicara, ia tatap langsung mata orang yang diajak bicara. Bukan merunduk.
Pardjo suka sama Lusi, karena ia sangat bisa terima sifatnya yang blak-blakan dan tatap mata orang yang diajak bicara secara langsung. Pardjo tanggapi dia, “ Maksudmu tak apa walaupun aku nanti tugas di Kalimantan Barat dan kau tugas di Garut? Mana bisa cinta dibangun saling berjauhan seperti itu??”
Lusi cerna baik-baik pendapat Pardjo lalu dia berkata, “ Tak ada yang masalah sebenarnya, Mas. Jarak. Waktu. Tak ada masalah. Selama kita saling percaya. Selama kita saling cinta,” Lusi tempatkan posisi berdirinya agar makin dekat ke Pardjo.
Sang Surya seperti bersepakat tenggelam bersamaan dekatnya letak berdiri mereka. Maghrib sudah hampir berkumandang di tengah warna langit yang semakin redup. Di kala cahaya makin gelap, Lusi coba genggam tangan Pardjo. Pardjo tersenyum merasakan tangannya coba digenggam dan ia genggam balik tangan adik kelasnya.
“ Mas, apakah aku salah, kalau aku mencintaimu?” Lusi bicara terus terang sambil genggam tangan Pardjo. Ini sifat aslinya. Ia sampaikan sama apa yang ada di pikiran dengan apa yang ada di mulut. Ia bukan wanita munafik. Sejak pertama masuk sekolah mata-mata sudah ia tunjukkan sifat aslinya.
Pardjo juga sama tak mau lepaskan genggaman tangannya. Ia coba jawab, “ Mencintai mata-mata bukanlah pilihan, Lusi. Maksudku, kau lihat : di saat kondisi Negera makin kacau. Kau jangan terlalu letakkan kepercayaan cintamu pada seorang pria mata-mata.”
Kali ini Lusi tak jawab Pardjo. Ia hanya pandangi saja wajahnya. Dilihatnya baik-baik Pardjo dan Pardjo juga pandangi dia balik. Mereka saling pandang sambil berpegangan tangan. Bila diibaratkan mereka seperti dua sejoli yang menyambut terbenamnya mentari sembari mencoba saling percaya.
Bab 1
Lusi : Tradisi
Bioskop Metropole, Menteng, Djakarta
Rabu, 6 Desember 1961
Jam 20.00
Waktu bergulir demikian cepat. Mereka yang dulu masih bayi cepat jadi anak-anak. Yang anak-anak jadi remaja. Yang remaja jadi orang dewasa. Yang dewasa tiba-tiba jadi orang tua. Begitulah jalannya daripada roda kehidupan.
Tak terasa sekarang akhir tahun 1961. Situasi politik dalam dan luar negeri banyak berubah. Di luar negeri, Presiden Amerika berganti sejak Januari kemarin. Pahlawan Perang Dunia Dua, Eisenhower, diganti oleh laki-laki muda tampan baru berumur di awal empat puluhan bernama John. F. Kennedy. Kennedy bawa harapan pada blok barat. Ia punya pikiran terbuka. Modern. Demoktaris.
Di blok timur, Nikita Kruschev masih berkuasa. Ia coba teruskan prinsipnya Karl Marx, Lenin, dam Stalin : sosialis komunis. Sovyet kuasai banyak wilayah sejak perang dunia dua selesai. Mereka coba tanam lagi pengaruhnya ke Negara dunia ketiga yang baru merdeka kemarin sore, masih coba cari jati diri, dan coba berdiri tegak di tengah pengaruh blok barat dan timur.
Seharusnya dalam persaingan keras dua blok tadi, posisi Indonesia adalah netral karena negara ini merupakan pemimpin Negara Non Blok yang baru saja dideklarasikan. Hanya saja daya tarik kedua blok tersebut sangatlah besar. Indonesia suka tidak suka mulai dipaksakan condong ke arah salah satu diantara kedua blok tadi.
Lusi, gadis cantik calon mata-mata, hidup di era gonjang ganjing antara blok barat dan blok timur sebagai siswi tahun terakhir di Sekolah Khusus mata-mata. Ia tinggal tunggu waktu dilantik dan ditugaskan ke wilayah manapun yang butuhkan tenaganya. Namun demikian, sebagai siswi tahun terakhir yang dicalonkan menjadi lulusan terbaik diantara teman-temannya, Lusi harus hadapi ujian teramat sulit malam ini.
Kata kebanyakan siswa/siswinya yang sudah lulus : ujian nanti teramat sukar. Tidak pernah diketahui bentuknya. Hanya bisa dilukiskan sebagai “pengalaman paling tak terlupakan dalam hidup.”
Ujian terakhir nanti dijadwal tepat jam 24 nanti malam. Sebuah rumah besar di kawasan Menteng, Djakarta, akan menjadi tempatnya. Lusi tau ujian ini akan tentukan nasibnya. Ia harus sungguh-sungguh menghadapinya, akan tetapi ia tak mau terlampau tegang menjalaninya.
Pendidikan ala Belanda dari ayahnya mengajarkannya agar lebih santai menghadapi situasi. Alih-alih tertekan, Lusi diajarkan agar pandai mengalihkan takanan hidup ke sesuatu yang disukainya dan hal tersebut adalah menonton film bioskop.
Sejak ia masih kecil sang ayah rutin mengajaknya nonton bioskop. Tontonan mereka film-film bisu hitam putih yang menarik. Baru setelah bioskop besar Metropole berdiri di Menteng, Djakarta, tahun 1951, Lusi bisa nikmati film dengan ragam berbeda dan sejak saat itu pula, Lusi tetapkan hati gemari film-film buatan Amerika.
Film-film Amerika yang masuk ke Indonesia, tanpa disadari, telah membentuk corak pikirnya, kepribadiannya, dan membantunya lalui masa-masa sulit dalam hidup. Malam ini sebelum hadapi ujian akhir. Lusi ingin tonton film dahulu. Mumpung waktu baru tunjukkan pukul delapan malam. Lusi ke bioskop Metropole naik becak. Ia lalu turun di depan gedung bioskop sejenak nikmati pemandangan di depan.
Ia nikmati suasana Menteng di malam hari. Satu dua motor Vespa tampak keliaran di jalan. Juga empat sampai lima sepeda ontel ditunggangi bapak dan ibu yang bersemangat. Diantara mereka mobil bermerek Pontiac, Morris, dan Borgward melenggang di jalanan begitu megah menambah kesan bahwa Ibu Kota Negera memang layak berada di Djakarta.
Pada waktu asyik memandang kendaraan di jalanan Menteng, Lusi sadar banyak laki-laki disekitarnya yang memandangnya dengan tatapan takjub. Mereka seperti kaget lihat wanita secantik dia, dan bentuk tubuh sesintal dia hadir di tengah mereka. Malam ini, Lusi sengaja pakai gaun warna kuning terang tanpa lengan dengan balutan pinggang yang membalut pas badannya menambah kesan kesintalan tubuhnya yang jauh di atas kecantikan wanita pribumi pada umumnya. Rambut Lusi yang panjangnya sebahu dan berwarna kecoklatan diikat sederhana ikal kuda sebagaimana wanita-wanita barat.
Lusi dandan demikian cantik malam ini karena ia ingin menonton film bioskop terbaru yang keluar : The Breakfast at Tiffany's, sebuah film yang dibintangi salah seorang bintang film idolanya Audrey Hepburn. Lusi sangat mengidolakan Audrey Hepburn dan juga Marylin Monroe. Ia tak malu meniru gaya keduanya. Mencontoh cara membawa diri mereka. Cara bicaranya sampai hal-hal terkecil yang dilihatnya melalui layar lebar.
Setidaknya melihat Audrey Hepburn akan buat Lusi tenang. Sejenak pasti lupa ia beratnya tugas ujian terakhir. Barangkali nanti cara Audrey Hepburn bawa diri di film barunya akan bantu Lusi jalani kenyataan terburuk yang sebentar lagi harus dilalui demi bisa jadi seorang mata-mata.
Tepat di waktu Lusi sedang pikir lekat apa yang akan dilaluinya, pengeras suara gedung bioskop Metropole berbunyi mengabarkan kepada para penonton agar masuk ke ruang teater utama. Lusi tersentak. Ia maju bersama ratusan orang untuk memadati ruang teater yang biasa menampung sampai lebih dari 1500 orang. Penampilan Gedung Metropole adalah terbaik di Indonesia. Bangunannya merupakan corak arsitek modern yang tengah tenar di Barat dengan bangunan berbentuk kubus. Di dalamnya interiornya juga sama modernya. Para pengunjung akan dimanjakan matanya terlebih dahulu ketika melihat interior Metropole yang memiliki ornament unik, tak biasa dan indah.
Benar-benar memanjakan mata dan seluruh pengunjung akan dibuat takjub olehnya. Mereka tak akan kedipkan mata sampai lampu dipadamkan dan pemutar film tayangkan film di layar lebar. Sebuah film yang bagus. Penampilan Audrey Hepburn di Breakfast at Tiffany’s teramat prima. Lusi dibuat tersenyum bahkan tertawa sepanjang film. Apalagi di tengah film Audrey menyanyikan sendiri sebuah lagu indah berjudul “Moon River” yang membuat Lusi jadi tak kuasa menahan air matanya. Lagu ini sangat menyentuh.
Menggambarkan kemampuan menangkap permasalahan hidup secara romantis : sanggup mencari sisi baik dari kehidupan dan bukan berkeluh kesah karenanya. Lusi berharap bila ia menjadi mata-mata kelak, dan Indonesia terjebak dalam perang dengan negara mana pun, ia akan sanggup menangkap indahnya kehidupan di tengah gemuruh desingan senjata yang menyalak akibat konflik tak berkesudahan. Dan ia selaku wanita sanggup berdiri di atas konflik negerinya dengan tetap cantik tak terpengaruh oleh semuanya sambil menyanyikan lagu “Moon River” begitu merdu sebagaimana halnya bintang film favoritnya.
Rabu, 6 Desember 1961
Sebuah Rumah Kosong di Jalan Menteng Djakarta
Jam 24.00
Ujian terakhir bagi Lusi menjadi mata-mata terbaik akhirnya tiba. Ia harus datang seorang diri ke sebuah rumah di wilayah Menteng Djakarta. Wilayahnya orang-orang berada. Tempat mobil Volkswaggen, Alfa Romeo dan Chrysler biasa melintas. Wilayah yang hanya ditinggali oleh orang-orang dengan strata sosial tertentu. Rumah tujuan Lusi adalah rumah bekas orang Inggris dengan dinding kokoh dan halaman luas.
Kata sebagian siswa / siswi yang lulus pendidikan sebagai mata-mata, di dalam rumah ini tempat dilakukan ujian terakhir bagi siswa/siswi terbaik yang akan jadi mata-mata dengan tugas khusus untuk menyelamatkan kepentingan Negara melalui cara perang urat syaraf, psywar, atau sabotase. Tak semua siswa/ siswi bisa menggunakan cara ini. Hanya mereka yang terpilih saja. Sebab kemampuan orang berbeda-beda. Lusi dipandang sanggup. Ia jadi kandidat kuat yang bisa terapkan cara licik ini nantinya.
Tapi semuanya tergantung pada berhasil atau tidaknya ia lewati ujian di balik pintu ini. Lusi sendiri sangat gugup dibuatnya. Dengan hati berdebar ia ketuk pintunya.
“ Hei, Siapa di luar?” Tanya suara dari balik pintu setelah ketukan diberikan.
“ Saya Marylin Monroe.” Jawab Lusi.
“ Mau apa kesini?” Tanya suara dari balik pintu lagi.
“ Mau beli tas warna ungu.”
“ Kau tidak mencarinya di Bioskop Metropole??”
“ Tas warna ungu hanya ada di rumah ini bukan di bioskop Metropole atau di tempat lain.”
Lusi
Semua percakapan yang dilakukan merupakan simulasi pelajaran yang diterima Lusi selama empat tahun pendidikannya. Tidak satu kata dialog tadi boleh dituliskan. Semua harus disampaikan lisan agar menjaga unsur kerahasiaan.
Diantara pertanyaan dan jawaban satu dan lainnya harus tepat. Tidak boleh salah satu kali pun. Barulah ketika tanya jawab tadi sudah benar semua akan diiringi oleh pintu rumah besar menjadi terbuka dan dibaliknya tampak seorang wanita yang merupakan kakak kelas Lusi sendiri yang lulus dua tahun lalu berdiri disana mengenakan gaun rapih dengan rok selutut berwarna hijau dan rambut disanggul ke atas.
“ Selamat datang, Marylin Monroe,” sapa kakak kelasnya. “ Mau apa kau kesini?”
“ Saya kesini ingin beli tas warna ungu,” Lusi cepat menjawab. Walaupun kenal baik wanita di depannya, Lusi bersikap seolah tak kenal.
“ Tentu. Tas warna ungu hanya ada disini. Kita langsung saja kalau begitu. Ujian malam ini ujian terakhirmu. Ujian ini tak lain buat lihat seberapa cepat pikiranmu dan seberapa baik kau simpan rahasia. Kau sudah siap jalani ujian ini?”
Tak ada lagi jalan berbalik ke belakang. Lusi bulatkan tekadnya lalu jawab, “ saya sudah siap.”
“ Bagus. Semoga kau berhasil. Ujianmu malam ini dimulai dengan kau harus ingat baik-baik pesan ini. Jangan kau kasih tau siapa-siapa : tas warna ungu punyanya wanita bernama Yuk Jum. Kau ingat?”
Lusi cerna dan ingat baik-baik informasi yang didengar. Ia kemudian mengangguk.
Kakak kelasnya melanjutkan, “jaga rahasianya. Ujianmu malam ini ada di balik kamar itu, ayo kuantarkan!”
Mereka berdua berjalan bersisian di rumah bergaya Inggris. Lusi memperhatikan betapa mewah rumah yang tengah dimasukinya. Ruangannya besar. Diantara dinding-dinding terpajang lukisan pemandangan alam asri yang menggambarkan kondisi tanah Pasundan. Ada lukisan petani. Ada lukisan tukang becak. Juga terpajang lukisan pedagang pasar yang tengah berjualan di pasar tradisional.
Selain lukisan, ada juga guci antik, jam besar yang berdentang nyaring di jam-jam tertentu serta berbagai hiasan ukiran dari kayu maupun kristal yang menambah kesan mewah dari rumah ini. Sembari ia berjalan, Lusi ditanya sama kakak kelasnya, “sebagai calon mata-mata wanita, apa yang kau mau lakukan dalam hidup ini?”
Lusi jawab. “ Apa saja yang harus dilakukan.”
“ Baik atau buruk?” Sambung pertanyaan kakak kelasnya.
“ Semuanya harus dilakukan.”
“ Demi apa?”
“ Demi kejayaan Negara ini.”
“ Kalau kau disuruh lakukan sabotase kau mau?”
“ Mau.”
“ Kalau kau disuruh lakukan perang urat syaraf kau mau?”
“ Saya mau,” Lusi tak mau pikir dua kali. Ia jawab cepat semua pertanyaan.
“ Cara apa yang akan kau pilih buat lakukan semua itu?”
“ Apa pun caranya.”
Kakak kelasnya mengangguk dengar jawaban Lusi. Sambil buka pintu ia bilang, “ masuklah! Ujianmu ada di dalam.”
Lusi mengiyakan. Ia masuk kamar. Dalam kamar terdapat satu ruangan besar dengan dua tiang berdiri bersisian dimana satu tiang melintang di atas kepala sebagai penghubungnya. Selain itu terletak satu ranjang dengan seprei biru dan satu kursi goyang yang masih bagus. Di bagian samping kiri kamar yang gelap duduk seorang sosok laki-laki yang tak bisa dilihat wajahnya karena ia duduk di tengah kegelapan beserta dua orang wanita di dekatnya yang berdiri pakai baju warna hijau tentara dan topi hijau.
“ Marlyn Monroe,” laki-laki yang duduk di kegelapan bicara. “ Sekarang ujian akhirmu. Kau sudah siap?”
“ Saya sudah siap.” Lusi tak bisa tahan getaran dari balik suaranya. Ia sedikit gugup melihat angkernya suasana di dalam kamar.
Hening sejenak. Tak ada yang bicara. Kedua wanita merapat ke laki-laki itu. Mereka tampak mendiskusikan sesuatu sejenak sambil berbisik-bisik. Setelah bisik-bisk selesai kedua wanita tadi maju dekati Lusi.
Keduanya pakai sepatu boot Tentara jadi berbunyi sepatunya waktu berjalan. Lusi lihat di pinggang mereka terpasang sabuk tebal di sampingnya ada bungkus pistol dan bungkus pisau belati. Kedua wanita tadi bentuknya mirip. Yang buat beda wanita satunya berahang keras. Satunya lagi giginya tanggal di tengah.
Wanita berahang keras maju lebih dulu, “ Kau Marylin Monroe,” ia langsung bentak saja Lusi tanpa keramahan sama sekali.“ Jalang sekali kau!”
Lusi tak ubah prinsipnya. Nyalinya tak ciut. Ia tetap angkat wajahnya tatap mereka.
“ Pakai baju mewah kayak gini,” wanita berahang keras sentuh gaun kuning Lusi. Ia tarik-tarik seperti Polisi tarik bajunya maling.
“ Kau tau mau apa kau disini?” Wanita bergigi tanggal gantian bertanya. Ditempelkan hidungnya ke hidung Lusi agar dekat sekali bicaranya.
Lusi menggeleng.
“ Kau ditangkap karena kau sembunyikan informasi penting. Sini tangan kau!”
Inilah ujian terakhirnya. Lusi membatin. Sudah dimulai.
Kedua wanita tadi tangkap tangan Lusi. Lalu ikat dengan seutas tali yang sudah dipersiapkan. Tangan Lusi dibawa naik ke atas tiang yang disiapkan di tengah kamar. Lusi lekas menjadi tak berdaya dibuatnya.
Wanita bergigi tanggal menunggu sampai Lusi terikat sempurna lalu dia berkata keras, “ kami dapat informasi kau tau siapa yang punya tas berwarna ungu. Kami tanya kau baik-baik, siapa dia yang punya tas warna ungu??”
Lusi tak menjawab.
Wanita berahang keras berjalan ke dalam kegelapan. Ia Lusi lihat ambil sesuatu. Sebuah kayu panjang. Ia lalu dekati Lusi sambil bilang, “kau mau jawab tidak?”
Lusi pilih menjawabnya, “ saya tidak tau apa yang kalian bicarakan.”
Wanita berahang keras tanpa aba-aba angkat tangannya yang pegang kayu lalu sabet punggung Lusi pakai kayu itu. Lusi memekik keras. Kesakitan ia. Punggungnya seperti terbakar. Wanita berahang keras tak kasian liat Lusi memekik. Ia sabet lagi punggungnya. Lagi dan lagi. Sampai Lusi jerit-jerit keras di dalam ruangan karena kesakitan.
Selang beberapa lama. Wanita berahang keras berhenti menyabet. Ia menjauhi Lusi.
Wanita bergigi tanggal gantian. Ia hadapi Lusi. Wajah Lusi tengah merunduk. Ia teramat kesakitan. Wanita gigi tanggal ambil dagu Lusi lalu diangkatnya terus bilang, “ siapa yang punya tas ungu??”
Lusi menggeleng. Lama ia tak menjawab sebelum akhirnya berkata, “ saya tidak tau.”
Wanita gigi tanggal pegang sabuk di pinggangnya. Di sana terpasang bungkus pisau belati. Ia cabut pisau belati dari bungkusnya. “ Barangkali kau perlu ditelanjang dulu baru kau mau bilang.”
Sengaja sebilah pisau dipamerkan di wajah cantik Lusi. Disentuhkan ke pipinya. Lalu tanpa ampun wanita bergigi tanggal sobek sobek gaun kuning Lusi begitu saja membuatnya jadi telanjang bulat di hadapan mereka.
Lusi berupaya menggapai-gapai tangannya ke atas saat ditelanjangi. Tapi ia tetap tak berdaya. Ikatan di tangannya terlampau kuat. Lusi hanya bisa pejamkan mata.
“ Siapa?” Ada yang bertanya. Lusi merem saja. Ia masih upayakan tahan sakitnya.
“ Keras kepala kau, ya.” ada yang bilang sesuatu kepadanya dengan suara keras. Lusi tak tau siapa karena masih merem matanya. “ Kalau begitu kau yang minta!”
Bersamaan dengan kalimat tadi Lusi disiram air seluruh tubuhnya. Tentu saja Lusi sontak menjerit kesakitan. Luka punggungnya masih segar. Disiram air akan bertambah sakit. Lusi mendelik nyeri.
“ Siapa???”
Tak jawab Lusi. Ia pejamkan lagi mata coba menahan sakit.
“ Heee siapa yang punya tas ungu. Kau lihat wajahku! Buka matamu atau kucongkel nanti matamu!!!”
Lusi takut. Ia buka mata. Rasa dinginnya bilahan pisau menempel di pipinya sudah mengarah ke arah mata. Takut sekali rasanya. Waktu ia buka mata wanita bergigi tanggal yang pegangi pisau mengarah ke matanya. “ Siapa yang punya tas warna ungu??” Tanyanya.
Mendengar Lusi masih keras hati. Wanita rahang keras ambil kabel dari kegelapan. Di belah kabel tadi supaya menjulur keluar lalu ia bilang, “ ini akan buat kau ngaku! Mampus, kau, wanita jalang!”
Sebelumnya Lusi disiram air oleh mereka. Tubuhnya basah. Ditempeli kabel yang menjulur keluar ia kesetrum. Gelombang lisrik menjalar seketika membuatnya tegang. Jantungnya kaget. Lusi mendelik. Ia benar-benar tak menyangka akan merasakan disetrum seperti ini.
Apalagi wanita gigi tanggal melakukannya tidak cukup sekali. berkali-kali ia setrum Lusi. Membuatnya pada akhirnya jatuh pingsan masih dalam kondisi terikat. Tapi pingsangnya Lusi tak membuat mereka berhenti. Lusi disiram lagi wajahnya. Dibangunkan. Disetrum lagi. Terus menerus sambil dipaksa jawab siapa yang punya tas warna ungu. Sama sekali Lusi tak goyah. Walau tubuhnya hancur lebur ia tetap tak mau jawab.
Termasuk ketika ikatan tangannya dilepas. Mereka bawa ember masuk ke kamar. Kepala Lusi direndam ke dalam ember sampai tak bisa nafas. Mereka terus benamkan sampai beberapa waktu baru mereka angkat kepalanya, kemudian mereka tanya, “ siapa yang punya tas ungu??” Lusi tak jawab. Mereka ceburkan lagi kepala Lusi, terus mereka angkat, tanya lagi, benamkan lagi. Begitu terus sampai pada akhirnya suara laki-laki yang berada di dalam kegelapan menghentikan aksi kedua wanita kejam ini, “ cukup! Kita sudah lebih empat jam siksa dia,” kata suara laki-laki tadi. Lusi masih gelagapan karena habis dipaksa kehabisan nafas terus-terusan. “ Sudah hampir subuh sekarang. Ujian sudah selesai.”
Lusi mendengar perkataan laki-laki tadi lalu pingsan. Ia betul-betul kehabisan tenaga setelah disiksa sedemikian berat.
Kamis, 7 Desember 1961
Sebuah Rumah Kosong di Jalan Menteng Djakarta
Jam 07.30
Lusi akhirnya membuka mata. Remuk redam badannya. Ia sadar tengah tidur telanjang bulat dalam posisi tengkurap. sehelai kain jarik menutupi bagian tubuhnya. Kepalanya disangga oleh bantal agar ia nyaman beristirahat. Mengamati kondisi sekeliling Lusi merasa masih berada di kamar semalam. Ia hanya dipindahkan dari yang semula disiksa di tengah ruangan sekarang berada di ranjang.
Tak ada lagi kedua wanita sadis berbaju hijau. Lusi merasa dibiarkan sendirian di kamar yang demikian luas. Namun demikian saat ia berpikir demikian sebuah suara pria terdengar nyaring. “Sudah bangun, kau?” Tanya suara seorang pria.
Lusi berupaya mencari. Diketahuinya suaranya berada di dalam kegelapan. Rupanya ini suara pria yang menyiksanya semalam. Tak lama suara itu melanjutkan, “ selamat, Lusi. Kau lulus. Peringkatmu terbaik. Kaulah yang akan memiliki ijin khusus melakukan aksi psywar atau sabotase dan perang urat saraf diantara teman-teman angkatanmu.”
Lusi tak terlalu senang mendengarnya. Juga ia tak antusias. Kekuatan tubuhnya masih belum kembali. Ia masih lemas. Tapi ia coba memberikan respon. Meski lemah ia bilang, “siapa kau sebenarnya??”
Pria di kegelapan mendengar pertanyaannya. Ia bangkit dari kursinya. Derap langkahnya mendekat. Ia adalah pria jangkung dari bayangannya. Terlihat berotot semakin ia mendekat. Dan ketika secercah cahaya menyapu tubuhnya Lusi tercekat. Ia kaget bukan main. Sambil setengah berteriak ia bilang, “ Mas Pardjo.. Rupanya kaulah yang berada di balik kegelapan itu.”
Perasaan Lusi langsung berubah. Ia melihat Pardjo. Laki-laki yang dicintainya. Tubuhnya yang lemas seperti mendapatkan tenaganya kembali. Coba bangkit ia namun ditahan oleh suara Padjo yang mengatakan, “ tidak usah bangkit dari tidurmu. Kau masih sangat lemah.”
Pardjo lah yang kemudian mendekati Lusi lalu duduk disampingnya di ranjang. Lusi lihat Pardjo tak banyak berubah. Hanya kumis tipis saja sekarang melintang di bawah hidungnya membedakan ia dengan dirinya dua tahun silam.
“ Hebat kau, Lusi. Selamat, ya!” Pardjo mengelus rambut Lusi dengan perasaan sayang. Rambut itu semula dikuncir kuda. Namun setelah Lusi pingsan terakhir, ikatannya sengaja dibuka agar ia bisa tenang beristirahat.
Lusi menikmati benar dielusi Pardjo. Ia rasakan kehangatan tangannya. Ia coba pegang dan rasakan betul guratan kekuatan dan kejantanan yang tersirat disitu. Namun Lusi rasakan sesuatu saat ia sentuh tangan kanan Pardjo. Penasaran betul ia. Lalu dipandangi tangan Pardjo baik-baik kemudian bilang, “ cincin kawin. Kau sudah kawin, Mas??”
Pardjo tak mengelak. Ia hanya anggukkan kepalanya sambil menjawab, “ betul. Dua tahun yang lalu. Tak lama setelah lulus. Kedua orang tuaku yang jodohkan aku.”
Hancur rasanya hati Lusi. Porak poranda jadinya. Dari senang jadi sedih hatinya. Air mata mulai keluar dari matanya tak menyangka kekasih hatinya sudah ada yang punya.
“ Maafkan aku, Lusi, bila aku menghancurkan hatimu,” Pardjo tak coba lepaskan tangan adik kelasnya yang terus memeganginya walau sudah tau Pardjo sudah ada yang punya. “ Maafkan, aku!”
Lusi hanya bisa dekatkan tangan Pardjo pada wajahnya. Lalu ia ciumi tangan Pardjo sambil tumpahkan segala duka lara hatinya. Ia menangis sejadinya di tangan kakak kelasnya. Cukup lama. Sampai akhirnya Pardjo bilang, “ aku sudah siapkan gaun baru yang kuyakin pas di badanmu. Gaunnya nanti kuambilkan. Kau pakai, ya! Setelahnya kau bisa segera jalani hidupmu sebagai mata-mata wanita nomer satu. Dan kau… bisa mulai lupakan segala kenanganmu tentangku.”
Pardjo coba lepaskan tangannya dari jeratan tangan Lusi namun tak dilepas oleh adik kelasnya. Lusi masih genggam erat tangan Pardjo. Ia berkata lirih, “ Mas, aku sedih.”
“Aku mengerti. Dan aku pun tak coba bela diriku. Aku sudah coba katakan padamu waktu itu.”
Lusi makin pererat genggamannya di tangan Pardjo. Ia bilang, “ Bisakah aku mohon satu hal padamu, Mas?”
“ Apa itu??” Walau tangan kanannya digenggam erat, Pardjo gunakan tangan kirinya buat elus rambut adik kelasnya. Bibit rasa cinta dan sayang masih jelas hadir di hati Pardjo.
“ Bolehkah aku mohon kau memberikan kehangatan padaku, Mas. Sekali ini saja.” Lusi menyampaikan permohonannya sambil berlinang air mata.
“ Maksudmu??”
“ Aku ingin kau memberiku kehangatan, Mas. Setelah kau hancur leburkan tubuhku semalam. Persatuanku denganmu akan mengobatinya.”
Pardjo menggelengkan kepalanya. Ia berkata, “ tapi kau tau aku sudah ada yang punya Lusi.”
Gantian Lusi mengangguk. Ia menjawab, “ jujur, aku cemburu dengan istrimu, Mas. Amat cemburu. Tapi aku tak akan coba merebutmu darinya. Aku hanya ingin sekali saja merasakan kehangatan dan kejantanan tubuhmu.”
Pardjo diam. Ia pikirkan baik-baik permohonan adik kelasnya.
“ Anggaplah sebagai hadiah kelulusan darimu buatku, Mas.”
Genggaman tangan mereka makin erat. Pardjo rasakan benar denyut nadi wanita di tangannya menghangat. Pardjo sadar tanda-tanda apa ini. Ia tanya lembut kepada adik kelasnya, “ kau yakin mau lakukan ini??”
Lusi segera jawab, “ Aku bukan hanya yakin. Aku malah mohon kepadamu.”
Pardjo menimbang sesaat. Ia memutuskan, “ baiklah bila demikian adanya. Aku akan coba berikan kehangatan yang kau inginkan.”
Lusi tersenyum.
Ia menangis sejenak karena haru. Genggaman tangannya di tangan kekasihnya dilepas. Memberi waktu Pardjo bangkit melepas baju dan celana yang melekat di bajunya lantas berdiri di samping Lusi layaknya seorang pejantan. Tubuh kakak kelasnya masih sedemikian berotot. Di perutnya terpahat guratan otot demikian kuat.
Pardjo pandangi tubuh Lusi. Tampak molek tubuh adik kelasnya ini. Warna kulitnya putih. Lekuk tubuhnya benar-benar mengundang selera. Gunakan lengan kekarnya Pardjo ambil satu helai jarik yang tutupi tubuh Lusi kemudian ia tarik. Adik kelasnya yang teramat cantik segera saja telanjang bulat dihadapannya.
“ Aku…” Namun demikian Pardjo sejenak ragu. Ia ragu apakah yang ia lakukan sekarang benar atau tidak. Sudah punya istri ia. Bahkan sudah punya anak yang masih bayi. Pantaskah berbuat seperti ini.
“ Janganlah kau ragu, Mas! Aku tak mengharap banyak darimu. Yang aku harap hanya satu kali ini saja kau menghangatkanku dan sudah cukup buatku. Janganlah kau ragu, Mas! Pergaulilah aku! Dan perlakukanlah aku semaumu!”
Perkataan Lusi membuat Pardjo yakin. Ia rebahkan dirinya peluk Lusi dari belakang sambil menindihnya. Sempat Lusi mengernyit nyeri karena dada dan perut Pardjo bersentuhan dengan lukanya di punggung. Namun Pardjo tak pernah berniat menyakitinya. Pardjo hanya berupaya memeluknya erat sebagai bentuk rasa cinta dan sayang.
Rasanya begitu lembut sekali Pardjo memeluknya. Dadanya yang bidang menyentuh punggung Lusi. Lengannya yang kekar mengelusi pinggangnya. Bibir Pardjo yang dihiasi kumis ciumi tengkuknya pelan coba bangkitkan percikan api gairah diantara mereka. Lusi merasakan cinta hadir memeluknya. Jantan sekali. Penuh kekuatan. Penuh pesona. Rasa sakit yang semula hadir tak dirasakannya lagi.
Alih-alih sakit, Lusi malah mulai rasakan nikmat. Ia peluk kedua tangan Pardjo yang hinggap disisi tubuhnya. Ia rasakan dari bagian pantatnya kontol Pardjo yang semula masih kecil ukurannya sekarang bangkit tegak menggesek pantatnya terus. Lusi coba menggesek balik pantat itu membuat Pardjo makin mempererat pelukannya.
Pardjo merasa mulai bergesekan organ intim mereka. Ia coba rubah gerakan. Ia sekarang turun ciumi pundak dan punggung atas Lusi yang tak terlukai semalam. Ia ciumi pundak Lusi. Ia kecup. Ia jilati. Sembari kedua tangannya mengelusi pinggang adik kelasnya yang indah. Pardjo takjub akan betapa indahnya punggung Lusi.
Betul-betul Pardjo nikmati benar menciuminya. Ia lama hisap-hisap pundaknya yang terbuka bebas. Lusi merinding diperlakukan begitu. Kumis Pardjo yang bergesekan makin membuatnya merasakan gelombang nikmat mulai datang perlahan jalari tubuhnya.
Namun begitu Pardjo tak tega melihat luka di punggung Lusi bagian tengah dan bawah yang jadi sasaran sabetan semalam. Terhitung ada lebih dari sembilan luka bekas sabetan masih menganga disana. Pardjo tak tega melihatnya. Ia turun terus. Melihat pantat bulat montok Lusi terhampar, Pardjo teruskan turun. Terus ia lewati betis adik kelasnya lalu berhenti di kakinya. Sampai disana Pardjo tekuk tungkai kaki Lusi lembut biar terangkat kakinya yang sebelah kanan, lalu ia kecup lembut tumit kakinya.
“ Mas apa yang mau kau lakukan dengan kakiku?”
Lusi masih terbaring lemah dalam keadaan tengkurap. Ia bingung rasakan kelakuan Pardjo yang ciumi tumit kakinya lantas beralih ciumi jari kakinya satu per satu. Lusi geli awalnya. Tapi ia kemudian merasakan enak. Tak sangka ia rupanya enak jari jemari kakinya dihisap satu per satu oleh Pardjo.
Di lain pihak Pardjo memang nikmati benar apa yang dilakukannya. Sama sekali tak jijik ia emuti jari jemari kaki Lusi. Alih-alih jijik, ia malah sangat menikmatinya. Jari jari kaki Lusi lentik. Amat nikmat buat dijilat dan dihisapi. Seperti membuat ketagihan. Maka setelah habis jari jemari kaki kanan Lusi dihisap, Pardjo ganti naikkan kaki kiri adik kelasnya lantas ganti menjilati jarinya yang kiri.
Sebagai wanita Lusi merasa amat tersanjung dengan kelakuan Pardjo. Ia bak menjadi tuan putri. Diperlakukan sedemikian istimewa oleh pejantannya. Apalagi waktu Pardjo rebahkan kembali kaki kiri Lusi setelah puas menjilatinya, serangan Pardjo beralih ke betisnya. Pardjo gunakan lidahnya buat jilati betis Lusi. Seketika membuatnya merasakan geli namun nikmat sekaligus. Selagi asyik jilati betis, kedua tangan Pardjo ikut elusi paha Lusi diatasnya. Tentu saja adik kelasnya mulai rasakan nikmat makin menjadi dan mulai mendesah nikmat.
“ Mmmm, Mas,” rintih Lusi. “ Aaaauuu.”
Semua jilatan di betis perlahan dilakukan Pardjo. Ia tak mau buru-buru. Baginya tubuh Lusi demikian indah. Beda sekali dengan istrinya di rumah. Tubuh Lusi demikian istimewa membuat Pardjo betah lama bermain di tubuhnya. Termasuk saat Pardjo telah tiba di belahan paha adik kelasnya ia tak ingin gegabah.
Pertama Pardjo regangkan dulu kedua kaki Lusi agar lebih lebar terbuka. Hal ini dilakukannya supaya paha Lusi sebelah dalam bisa dia jilati sekaligus ia mulai bisa lihat dan hirup aroma khas memek yang selalu membangkitkan kontolnya agar makin tegak. Tanpa sepengetahuan Lusi, Pardjo memang sangat senang cium aroma memek wanita. Juga aroma dari lubang duburnya. Aroma keduanya khas. Hanya dimiliki oleh wanita yang tengah bergairah. Pardjo amat menikmati aromanya dan dengan menciumi aromanya pulalah Pardjo mulai garap paha putih Lusi yang montok. Ia hisapi. Ia jilati.
“ jangan, Mas, geli… ampuunnn,” Lusi sontak meronta. Tak sangka ia akan dirangsang sedemikian hebat. Ia coba meronta. Tapi setiap kali muncul perlawanan dari Lusi, Pardjo padamkan perlawanannya. Ia kunci paha adik kelasnya. Ia pegangi kuat. Terus ia jilati lagi. benar-benar Lusi dibuat gila oleh kelakuan Pardjo. Tak kenal lelah Pardjo jilati Lusi. dan Lusi juga makin kencang desahannya, makin basah memeknya oleh segala kelakuan Pardjo di pahanya.
Semua tingkah polah Lusi ini terus diperhatikan Pardjo. Lusi kini lebih kuat tenaganya. Lebih jelas ekspresinya seperti wanita yang tengah dilanda birahi. Pardjo sambil jilati paha adik kelasnya terus ciumi aroma dari memeknya. Ia perhatikan memek Lusi hadir tanpa jembut. Tampaknya ia pakai obat perontok jembut supaya tak ada rambut disana. Pardjo terpesona betul lihat memek yang tanpa rambut ini. Memek yang bersih bikin aromanya waktu terangsang jadi makin menyengat.
Pardjo suka sekali cium aroma kelamin wanita. Sekarang ia dapat kesempatan emas. Ia hirup baik-baik memek Lusi sambil kedua tangannya regangkan bongkahan pantatnya. Lusi sendiri sama tak tahannya tangannya mencengkram bantal kuat. Ia mulai tak kuasa tahan memeknya semakin membanjir oleh cairan nikmat. Dan waktu Lusi rasakan lidah kakak kelasnya mulai jilati memeknya, ia langsung lupa diri. Lusi mendesah. Ia meraung.
Kedua tangannya keras mencengkram bantal. Lembut sekali lidah Pardjo dirasakannya. Amat memabukkan. Membawa kenikmatan teramat sangat karena menggesek memeknya tepat di bagian yang paling nikmat.
Rasanya mirip sekali dengan keadaannya diestrum semalam. Lusi merasakan tubuhnya bagai disetrum namun secara lembut. Kedua puting susunya yang tergencet oleh ranjang karena posisinya tengkurap ikut bangkit akibat memeknya dijilati. Kedua puting susunya jadi sensitif. Jadi nikmat sekali.
Pardjo sangat menggilai aroma memek dan lubang dubur wanita yang tengah birahi. Ia lama sekali mengolah kedua organ Lusi ini. Sama sekali ia tak jemu. Tak juga jijik. Pardjo terus menjilatinya sampai Lusi menegang. Pantatnya sengaja diangkat. Supaya Pardjo bisa jilati bagian memeknya yang atas. Cengkramannya di bantal makin kuat seperti mencabik-cabik.
Melihat Lusi tegang Pardjo tunggu waktu yang tepat. Ia tau betinanya sudah di ujung kenikmatan. Hanya tinggal tunggu sumbu yang tepat agar dipicu. Dan Pardjo tau dimana sumbunya. Pardjo sudah pengalaman. Ia sudah nikah. Ia tau dimana itil wanita berada. Waktu pantat Lusi terangkat Pardjo tau apa yang harus ia lakukan. Ia cari itil Lusi yang kemerahan. Ia jilati sejenak lalu ia hisap dalam-dalam.
Lusi menggila dibuatnya. Ia meraung. Ia meledak. Ia muncrat dari dalam. “ Ampuuunn, Mas…. Aaaauuuuhhhhh.”
Dijilati terus oleh Pardjo Lusi muncrat. Ia sampai pada titik puncak nikmat. Sampai di kahyangan ia sekarang. Lenyap sesaat kesadarannya. Hanya tubuhnya saja yang terjungkat jungkit naik turun tenggelam dalam rasa nikmat teramat sangat. Setelah semalam merasakan siksaan fisik, kini Lusi giliran rasakan siksaan nikmat yang tak kalah dahsyat.
Tubuhnya berada diambang batas antara sadar dan pingsan. Mata lusi turun naik. Timbul tenggelam. Terombang ambing dalam dua kondisi kesadaran.
Sebuah kondisi ekstase keadaan diri. Keadaan keluar dari dalam kesadaran normal. Membuat ia yang merasakan meninggalkan pikirannya. Terbang jauh entah kemana untuk sesaat. Lupa diri. Lupa segala-gala. Meski hanya sebentar kondisi ekstase sangat memabukkan.
Lusi dibawa ke dalam kadaan ini oleh kakak kelasnya. Pria sejati dia. Pria yang tau apa yang diinginkan wanita. Ia mahir membawa Lusi lama mengalami keadaan puncaknya sebelum akhirnya Lusi tumbang di ranjang dalam keadaan lemas.
Lihat Lusi tumbang, Pardjo masih jilati Lusi sejenak sampai ia akhirnya berhenti. Badai pasti berlalu. Termasuk badai kenikmatan. Pardjo tunggu sebentar sampai badai wanitanya reda, baru kembali Pardjo peluki tubuh Lusi. Ia genggam kedua tangannya. Ia ciumi mesra. Lantas dibisikinya telinga Lusi lembut,“ nikmat??” Tanya Pardjo.
“ Sangat nikmat,” Lusi masih terengah engah. Nafasnya belum kembali. “ Aku tak sangka kenikmatan seperti ini ada.”
Pardjo peluk makin erat adik kelasnya. Saling berbagi kehangatan kembali mereka. Sembari nikmati detik demi detik waktu kehidupan. Tak ingin rasanya ada salah satu diantara mereka yang memisahkan pelukannya. Namun Pardjo sadari sesuatu ia bilang, “ kau masih perawan, Lusi. Sudah cukuplah permainan kita. Aku tak mau jadi pertama yang menyetubuhimu.”
Pardjo coba lepaskan pelukannya. Tapi ketika ia hendak bangkit tangannya ditahan oleh Lusi. Pardjo kembali memeluk wanitanya dan di saat yang sama si cantik bilang, “ tidak. Kau jangan pergi, Mas! Tunaikanlah dahulu tugasmu di tubuhku! Jangan kau cemas pada keperawananku. Kalau ada pejantan di muka bumi ini yang kuijinkan merenggut keperawanaku, Itu adalah dirimu, Mas.”
Pardjo terhenyak. Ia ingat Lusi tak pernah munafik. Ia selalu sampaikan jujur apa yang ia lakukan. Pernyatannya barusan juga benar. Adik kelasnya tak bohong. Pardjo hanya masih mencoba memperingatkannya, “ nanti kau akan kesakitan dibuatnya.”
Mendengarnya, adik kelasnya yang sintal tubuhnya tersenyum. Ia berkata balik, “ kau sudah setrum aku, kau sudah sabeti punggungku. Menurutmu rasa sakit apa lagi yang masih tersisa untukku?”
Pardjo hirup sejenak tengkuk Lusi. Ia reguk aromanya. Kemudian ia berkata, “ baiklah kalau kau memang ingin demikian.”

Prolog
Sekolah Dinas Khusus Mata-Mata Indonesia
5 Juli 1959
Di sebuah tempat di Republik Indonesia
Jam 17.30
Sudah hampir Maghrib. Sekolah Dinas Khusus Mata-Mata sudah sepi sekali. Sekolah mata-mata berdiri tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ini Sekolah yang sangat rahasia. Sengaja didirikan supaya melatih putra/ putri terbaik Bangsa biar belajar seni jadi mata-mata buat bantu jaga keutuhan NKRI.
Pendiri sekolahnya pakar mata-mata tersohor, sudah melanglang buana buat belajar ilmu telik sandi sampai kemana-mana. Awalnya mata-mata yang direkrut hanya dari kalangan tentara. Lama kelamaan dipandang perlu buat rekrut mata-mata sipil supaya mudah melakukan pemantauan ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu siswa/siswinya dilatih benar-benar, terkadang lebih daripada Tentara, mulai dari dikuatkan badannya, sampai dibuat cerdas pikirannya. Mata-mata tak boleh lemah. Tak boleh bodoh. Nanti pasti gagal dalam tugas. Mereka dikuatkan lahir batin dulu baru dikirim sampai ke luar negeri biar dilatih sama mata-mata CIA, mata-mata KGB, supaya tambah mahir.
Hasilnya tak main-main. Mereka benar-benar bantu mata-mata Tentara di ujung depan garis perjuangan. Waktu Belanda serang Indonesia di Agresi Militer satu dan dua, para mata-mata sipil pria dan wanita berjuang tanpa pamrih. Mereka pakai teknik sabotase dan perang urat syaraf. Dipecah belah sama mereka tentara Belanda biar kepayahan hadapi tentara Republik. Demikian pula, waktu pemberontakan di dalam negeri meletus dimana-mana mulai dari DI/TII, PRRI, Permesta, sampai RMS, mereka selalu hadir bantu kepentingan Bangsa dengan diam-diam, tak kasat mata, tapi buat reda pemberontakan separatis tadi dengan cara diplomatik, atau bahkan, bila perlu, cara licik.
Ini sebabnya sekolah mata-mata sipil sangat penting artinya dan lulusannya juga sangat berarti nilainya bagi perjuangan Bangsa. Termasuk di tahun sekarang, tahun 1959. Ada seorang pemuda yang baru lulus sekolah mata-mata bernama Pardjo. Wajahnya ganteng lebih tampan daripada orang pribumi biasa. Kulit tubuhnya cokelat kehitaman. Tubuhnya tinggi, ototnya kekar terlatih karena Pardjo tak lengah terus bina fisik dan mentalnya buat bersiap menjalankan tugas Negara.
Pardjo baru lulus Sekolah Khusus tiga hari lalu. Sebentar lagi Sekolah ini akan ditinggalkannya. Pardjo tak tau akan ditugaskan ke mana namun ia ingin kumpulkan sebanyak mungkin kenangan indah di sekolah ini. Termasuk suasana jelang mentari terbenam yang sangat tenang ketika dinikmati tepat di gerbang sekolahnya.
Bagi Pardjo lihat detik-detik matahari tenggelam membawanya pada saat yang menenangkan. Apalagi kini Pardjo tak menikmatinya seorang diri. Ia tengah berdiri bersama seorang wanita cantik yang merupakan adik kelasnya, sesama calon mata-mata, yang berjarak dua tingkat darinya.
Adik kelasnya bernama Lusi. Seorang siswi yang bisa dibilang paling cantik diantara teman satu angkatannya. Lusi lahir di Garut. Ayahnya dulu bekas pegawai Belanda di Garut yang memilih tak pulang ke Negerinya dan lebih pilih jadi orang Indonesia. Ia masih hidup sampai sekarang dan punya perkebunan disana. Inilah yang buat Lusi tak pernah kekurangan uang selama pendidikannya karena dia berasal dari keluarga berada. Ibunya yang asli Garut juga berasal dari keluarga pamong pradja yang hidup berkecukupan.
Wajah Lusi sangat cantik. Hidungnya mancung. Bibirnya penuh. Ia jadi tambah cantik karena ia campuran Belanda-Garut. Wajah campurannya buat banyak orang bilang ia mirip sama bintang film Marylin Monroe. Tahi lalat di pipi kanannya yang buat ia tambah mirip sama Marylin. Bahkan bukan hanya wajahnya, tubuh Lusi juga sama menarik dengannya.
Tubuh Lusi mewarisi tubuh jangkung ayahnya dengan tulang yang lebar seperti orang luar negeri. Yang menjadi daya tarik lebih, tubuh Lusi tidak kurus. Ia sangat sintal tubuhnya. Di saat pendidikan sebagai mata-mata saja tubuhnya sangat menggoda dan mengundang selera kaum pria karena dia adalah wanita blasteran bertubuh molek.
Sekarang, di kala senja nyaris tenggelam, mereka berdua tengah berdiri bersisian seperti halnya sepasang kekasih. Pardjo dan Lusi, walau hanya dua tahun saling mengenal, mereka telah terbit bibit-bibit cinta yang barangkali disemikan oleh daya tarik fisik mereka yang sama menariknya. Yang satu ganteng, tinggi, berotot. Yang satu cantik, sintal, dan molek.
Akan tetapi di senja ini, tepat pada waktu di Ibu Kota Djakarta terjadi peristiwa Dekrit Presiden dimana Dewan Konstituante baru saja dibubarkan oleh Presiden. Di kala Bangsa Indonesia menyatakan tekad kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, Pardjo ungkapkan kata perpisahannya pada Lusi. Katanya, “ Barangkali waktu perpisahan bagi kita telah tiba, Lusi.”
Lusi tatap Pardjo lekat sebagai sebuah jawaban. Alih-alih mengiyakan ia coba utarakan pada Pardjo pendapatnya, “ kenapa harus kau sampaikan kata perpisahan padaku, Mas? Toh kita masih bisa bertemu lagi dalam berbagai kesempatan?”
Pardjo geleng-geleng kepala, ia jawab, “ Mata-mata tidak bisa dipegang, Lusi. Kau harus siap tugas kemana saja. Harus siap lakukan peran apa saja. Semuanya demi kepentingan Bangsa dan Negara.”
Di tengah mereka suasana sore jadi makin gelap. Cahaya hampir redup sepenuhnya. Maghrib sudah hampir tiba.
“ Sepanjang kita percaya sama cinta kita, apa sebenarnya yang bisa pisahkan kita, Mas?” Lusi tak mau kalah. Ia tak seperti kebanyakan wanita pribumi pada umumnya yang biasa bicara sambil merunduk malu. Lusi dididik oleh ayahnya pendidikan ala Belanda. Ia terbiasa nyatakan pendapatnya. Terbiasa bicara. Biasa tempatkan posisi kaum pria sama dengannya. Bila ia bicara, ia tatap langsung mata orang yang diajak bicara. Bukan merunduk.
Pardjo suka sama Lusi, karena ia sangat bisa terima sifatnya yang blak-blakan dan tatap mata orang yang diajak bicara secara langsung. Pardjo tanggapi dia, “ Maksudmu tak apa walaupun aku nanti tugas di Kalimantan Barat dan kau tugas di Garut? Mana bisa cinta dibangun saling berjauhan seperti itu??”
Lusi cerna baik-baik pendapat Pardjo lalu dia berkata, “ Tak ada yang masalah sebenarnya, Mas. Jarak. Waktu. Tak ada masalah. Selama kita saling percaya. Selama kita saling cinta,” Lusi tempatkan posisi berdirinya agar makin dekat ke Pardjo.
Sang Surya seperti bersepakat tenggelam bersamaan dekatnya letak berdiri mereka. Maghrib sudah hampir berkumandang di tengah warna langit yang semakin redup. Di kala cahaya makin gelap, Lusi coba genggam tangan Pardjo. Pardjo tersenyum merasakan tangannya coba digenggam dan ia genggam balik tangan adik kelasnya.
“ Mas, apakah aku salah, kalau aku mencintaimu?” Lusi bicara terus terang sambil genggam tangan Pardjo. Ini sifat aslinya. Ia sampaikan sama apa yang ada di pikiran dengan apa yang ada di mulut. Ia bukan wanita munafik. Sejak pertama masuk sekolah mata-mata sudah ia tunjukkan sifat aslinya.
Pardjo juga sama tak mau lepaskan genggaman tangannya. Ia coba jawab, “ Mencintai mata-mata bukanlah pilihan, Lusi. Maksudku, kau lihat : di saat kondisi Negera makin kacau. Kau jangan terlalu letakkan kepercayaan cintamu pada seorang pria mata-mata.”
Kali ini Lusi tak jawab Pardjo. Ia hanya pandangi saja wajahnya. Dilihatnya baik-baik Pardjo dan Pardjo juga pandangi dia balik. Mereka saling pandang sambil berpegangan tangan. Bila diibaratkan mereka seperti dua sejoli yang menyambut terbenamnya mentari sembari mencoba saling percaya.
Bab 1
Lusi : Tradisi
Bioskop Metropole, Menteng, Djakarta
Rabu, 6 Desember 1961
Jam 20.00
Waktu bergulir demikian cepat. Mereka yang dulu masih bayi cepat jadi anak-anak. Yang anak-anak jadi remaja. Yang remaja jadi orang dewasa. Yang dewasa tiba-tiba jadi orang tua. Begitulah jalannya daripada roda kehidupan.
Tak terasa sekarang akhir tahun 1961. Situasi politik dalam dan luar negeri banyak berubah. Di luar negeri, Presiden Amerika berganti sejak Januari kemarin. Pahlawan Perang Dunia Dua, Eisenhower, diganti oleh laki-laki muda tampan baru berumur di awal empat puluhan bernama John. F. Kennedy. Kennedy bawa harapan pada blok barat. Ia punya pikiran terbuka. Modern. Demoktaris.
Di blok timur, Nikita Kruschev masih berkuasa. Ia coba teruskan prinsipnya Karl Marx, Lenin, dam Stalin : sosialis komunis. Sovyet kuasai banyak wilayah sejak perang dunia dua selesai. Mereka coba tanam lagi pengaruhnya ke Negara dunia ketiga yang baru merdeka kemarin sore, masih coba cari jati diri, dan coba berdiri tegak di tengah pengaruh blok barat dan timur.
Seharusnya dalam persaingan keras dua blok tadi, posisi Indonesia adalah netral karena negara ini merupakan pemimpin Negara Non Blok yang baru saja dideklarasikan. Hanya saja daya tarik kedua blok tersebut sangatlah besar. Indonesia suka tidak suka mulai dipaksakan condong ke arah salah satu diantara kedua blok tadi.
Lusi, gadis cantik calon mata-mata, hidup di era gonjang ganjing antara blok barat dan blok timur sebagai siswi tahun terakhir di Sekolah Khusus mata-mata. Ia tinggal tunggu waktu dilantik dan ditugaskan ke wilayah manapun yang butuhkan tenaganya. Namun demikian, sebagai siswi tahun terakhir yang dicalonkan menjadi lulusan terbaik diantara teman-temannya, Lusi harus hadapi ujian teramat sulit malam ini.
Kata kebanyakan siswa/siswinya yang sudah lulus : ujian nanti teramat sukar. Tidak pernah diketahui bentuknya. Hanya bisa dilukiskan sebagai “pengalaman paling tak terlupakan dalam hidup.”
Ujian terakhir nanti dijadwal tepat jam 24 nanti malam. Sebuah rumah besar di kawasan Menteng, Djakarta, akan menjadi tempatnya. Lusi tau ujian ini akan tentukan nasibnya. Ia harus sungguh-sungguh menghadapinya, akan tetapi ia tak mau terlampau tegang menjalaninya.
Pendidikan ala Belanda dari ayahnya mengajarkannya agar lebih santai menghadapi situasi. Alih-alih tertekan, Lusi diajarkan agar pandai mengalihkan takanan hidup ke sesuatu yang disukainya dan hal tersebut adalah menonton film bioskop.
Sejak ia masih kecil sang ayah rutin mengajaknya nonton bioskop. Tontonan mereka film-film bisu hitam putih yang menarik. Baru setelah bioskop besar Metropole berdiri di Menteng, Djakarta, tahun 1951, Lusi bisa nikmati film dengan ragam berbeda dan sejak saat itu pula, Lusi tetapkan hati gemari film-film buatan Amerika.
Film-film Amerika yang masuk ke Indonesia, tanpa disadari, telah membentuk corak pikirnya, kepribadiannya, dan membantunya lalui masa-masa sulit dalam hidup. Malam ini sebelum hadapi ujian akhir. Lusi ingin tonton film dahulu. Mumpung waktu baru tunjukkan pukul delapan malam. Lusi ke bioskop Metropole naik becak. Ia lalu turun di depan gedung bioskop sejenak nikmati pemandangan di depan.
Ia nikmati suasana Menteng di malam hari. Satu dua motor Vespa tampak keliaran di jalan. Juga empat sampai lima sepeda ontel ditunggangi bapak dan ibu yang bersemangat. Diantara mereka mobil bermerek Pontiac, Morris, dan Borgward melenggang di jalanan begitu megah menambah kesan bahwa Ibu Kota Negera memang layak berada di Djakarta.
Pada waktu asyik memandang kendaraan di jalanan Menteng, Lusi sadar banyak laki-laki disekitarnya yang memandangnya dengan tatapan takjub. Mereka seperti kaget lihat wanita secantik dia, dan bentuk tubuh sesintal dia hadir di tengah mereka. Malam ini, Lusi sengaja pakai gaun warna kuning terang tanpa lengan dengan balutan pinggang yang membalut pas badannya menambah kesan kesintalan tubuhnya yang jauh di atas kecantikan wanita pribumi pada umumnya. Rambut Lusi yang panjangnya sebahu dan berwarna kecoklatan diikat sederhana ikal kuda sebagaimana wanita-wanita barat.
Lusi dandan demikian cantik malam ini karena ia ingin menonton film bioskop terbaru yang keluar : The Breakfast at Tiffany's, sebuah film yang dibintangi salah seorang bintang film idolanya Audrey Hepburn. Lusi sangat mengidolakan Audrey Hepburn dan juga Marylin Monroe. Ia tak malu meniru gaya keduanya. Mencontoh cara membawa diri mereka. Cara bicaranya sampai hal-hal terkecil yang dilihatnya melalui layar lebar.
Setidaknya melihat Audrey Hepburn akan buat Lusi tenang. Sejenak pasti lupa ia beratnya tugas ujian terakhir. Barangkali nanti cara Audrey Hepburn bawa diri di film barunya akan bantu Lusi jalani kenyataan terburuk yang sebentar lagi harus dilalui demi bisa jadi seorang mata-mata.
Tepat di waktu Lusi sedang pikir lekat apa yang akan dilaluinya, pengeras suara gedung bioskop Metropole berbunyi mengabarkan kepada para penonton agar masuk ke ruang teater utama. Lusi tersentak. Ia maju bersama ratusan orang untuk memadati ruang teater yang biasa menampung sampai lebih dari 1500 orang. Penampilan Gedung Metropole adalah terbaik di Indonesia. Bangunannya merupakan corak arsitek modern yang tengah tenar di Barat dengan bangunan berbentuk kubus. Di dalamnya interiornya juga sama modernya. Para pengunjung akan dimanjakan matanya terlebih dahulu ketika melihat interior Metropole yang memiliki ornament unik, tak biasa dan indah.
Benar-benar memanjakan mata dan seluruh pengunjung akan dibuat takjub olehnya. Mereka tak akan kedipkan mata sampai lampu dipadamkan dan pemutar film tayangkan film di layar lebar. Sebuah film yang bagus. Penampilan Audrey Hepburn di Breakfast at Tiffany’s teramat prima. Lusi dibuat tersenyum bahkan tertawa sepanjang film. Apalagi di tengah film Audrey menyanyikan sendiri sebuah lagu indah berjudul “Moon River” yang membuat Lusi jadi tak kuasa menahan air matanya. Lagu ini sangat menyentuh.
Menggambarkan kemampuan menangkap permasalahan hidup secara romantis : sanggup mencari sisi baik dari kehidupan dan bukan berkeluh kesah karenanya. Lusi berharap bila ia menjadi mata-mata kelak, dan Indonesia terjebak dalam perang dengan negara mana pun, ia akan sanggup menangkap indahnya kehidupan di tengah gemuruh desingan senjata yang menyalak akibat konflik tak berkesudahan. Dan ia selaku wanita sanggup berdiri di atas konflik negerinya dengan tetap cantik tak terpengaruh oleh semuanya sambil menyanyikan lagu “Moon River” begitu merdu sebagaimana halnya bintang film favoritnya.
Rabu, 6 Desember 1961
Sebuah Rumah Kosong di Jalan Menteng Djakarta
Jam 24.00
Ujian terakhir bagi Lusi menjadi mata-mata terbaik akhirnya tiba. Ia harus datang seorang diri ke sebuah rumah di wilayah Menteng Djakarta. Wilayahnya orang-orang berada. Tempat mobil Volkswaggen, Alfa Romeo dan Chrysler biasa melintas. Wilayah yang hanya ditinggali oleh orang-orang dengan strata sosial tertentu. Rumah tujuan Lusi adalah rumah bekas orang Inggris dengan dinding kokoh dan halaman luas.
Kata sebagian siswa / siswi yang lulus pendidikan sebagai mata-mata, di dalam rumah ini tempat dilakukan ujian terakhir bagi siswa/siswi terbaik yang akan jadi mata-mata dengan tugas khusus untuk menyelamatkan kepentingan Negara melalui cara perang urat syaraf, psywar, atau sabotase. Tak semua siswa/ siswi bisa menggunakan cara ini. Hanya mereka yang terpilih saja. Sebab kemampuan orang berbeda-beda. Lusi dipandang sanggup. Ia jadi kandidat kuat yang bisa terapkan cara licik ini nantinya.
Tapi semuanya tergantung pada berhasil atau tidaknya ia lewati ujian di balik pintu ini. Lusi sendiri sangat gugup dibuatnya. Dengan hati berdebar ia ketuk pintunya.
“ Hei, Siapa di luar?” Tanya suara dari balik pintu setelah ketukan diberikan.
“ Saya Marylin Monroe.” Jawab Lusi.
“ Mau apa kesini?” Tanya suara dari balik pintu lagi.
“ Mau beli tas warna ungu.”
“ Kau tidak mencarinya di Bioskop Metropole??”
“ Tas warna ungu hanya ada di rumah ini bukan di bioskop Metropole atau di tempat lain.”

Lusi
Semua percakapan yang dilakukan merupakan simulasi pelajaran yang diterima Lusi selama empat tahun pendidikannya. Tidak satu kata dialog tadi boleh dituliskan. Semua harus disampaikan lisan agar menjaga unsur kerahasiaan.
Diantara pertanyaan dan jawaban satu dan lainnya harus tepat. Tidak boleh salah satu kali pun. Barulah ketika tanya jawab tadi sudah benar semua akan diiringi oleh pintu rumah besar menjadi terbuka dan dibaliknya tampak seorang wanita yang merupakan kakak kelas Lusi sendiri yang lulus dua tahun lalu berdiri disana mengenakan gaun rapih dengan rok selutut berwarna hijau dan rambut disanggul ke atas.
“ Selamat datang, Marylin Monroe,” sapa kakak kelasnya. “ Mau apa kau kesini?”
“ Saya kesini ingin beli tas warna ungu,” Lusi cepat menjawab. Walaupun kenal baik wanita di depannya, Lusi bersikap seolah tak kenal.
“ Tentu. Tas warna ungu hanya ada disini. Kita langsung saja kalau begitu. Ujian malam ini ujian terakhirmu. Ujian ini tak lain buat lihat seberapa cepat pikiranmu dan seberapa baik kau simpan rahasia. Kau sudah siap jalani ujian ini?”
Tak ada lagi jalan berbalik ke belakang. Lusi bulatkan tekadnya lalu jawab, “ saya sudah siap.”
“ Bagus. Semoga kau berhasil. Ujianmu malam ini dimulai dengan kau harus ingat baik-baik pesan ini. Jangan kau kasih tau siapa-siapa : tas warna ungu punyanya wanita bernama Yuk Jum. Kau ingat?”
Lusi cerna dan ingat baik-baik informasi yang didengar. Ia kemudian mengangguk.
Kakak kelasnya melanjutkan, “jaga rahasianya. Ujianmu malam ini ada di balik kamar itu, ayo kuantarkan!”
Mereka berdua berjalan bersisian di rumah bergaya Inggris. Lusi memperhatikan betapa mewah rumah yang tengah dimasukinya. Ruangannya besar. Diantara dinding-dinding terpajang lukisan pemandangan alam asri yang menggambarkan kondisi tanah Pasundan. Ada lukisan petani. Ada lukisan tukang becak. Juga terpajang lukisan pedagang pasar yang tengah berjualan di pasar tradisional.
Selain lukisan, ada juga guci antik, jam besar yang berdentang nyaring di jam-jam tertentu serta berbagai hiasan ukiran dari kayu maupun kristal yang menambah kesan mewah dari rumah ini. Sembari ia berjalan, Lusi ditanya sama kakak kelasnya, “sebagai calon mata-mata wanita, apa yang kau mau lakukan dalam hidup ini?”
Lusi jawab. “ Apa saja yang harus dilakukan.”
“ Baik atau buruk?” Sambung pertanyaan kakak kelasnya.
“ Semuanya harus dilakukan.”
“ Demi apa?”
“ Demi kejayaan Negara ini.”
“ Kalau kau disuruh lakukan sabotase kau mau?”
“ Mau.”
“ Kalau kau disuruh lakukan perang urat syaraf kau mau?”
“ Saya mau,” Lusi tak mau pikir dua kali. Ia jawab cepat semua pertanyaan.
“ Cara apa yang akan kau pilih buat lakukan semua itu?”
“ Apa pun caranya.”
Kakak kelasnya mengangguk dengar jawaban Lusi. Sambil buka pintu ia bilang, “ masuklah! Ujianmu ada di dalam.”
Lusi mengiyakan. Ia masuk kamar. Dalam kamar terdapat satu ruangan besar dengan dua tiang berdiri bersisian dimana satu tiang melintang di atas kepala sebagai penghubungnya. Selain itu terletak satu ranjang dengan seprei biru dan satu kursi goyang yang masih bagus. Di bagian samping kiri kamar yang gelap duduk seorang sosok laki-laki yang tak bisa dilihat wajahnya karena ia duduk di tengah kegelapan beserta dua orang wanita di dekatnya yang berdiri pakai baju warna hijau tentara dan topi hijau.
“ Marlyn Monroe,” laki-laki yang duduk di kegelapan bicara. “ Sekarang ujian akhirmu. Kau sudah siap?”
“ Saya sudah siap.” Lusi tak bisa tahan getaran dari balik suaranya. Ia sedikit gugup melihat angkernya suasana di dalam kamar.
Hening sejenak. Tak ada yang bicara. Kedua wanita merapat ke laki-laki itu. Mereka tampak mendiskusikan sesuatu sejenak sambil berbisik-bisik. Setelah bisik-bisk selesai kedua wanita tadi maju dekati Lusi.
Keduanya pakai sepatu boot Tentara jadi berbunyi sepatunya waktu berjalan. Lusi lihat di pinggang mereka terpasang sabuk tebal di sampingnya ada bungkus pistol dan bungkus pisau belati. Kedua wanita tadi bentuknya mirip. Yang buat beda wanita satunya berahang keras. Satunya lagi giginya tanggal di tengah.
Wanita berahang keras maju lebih dulu, “ Kau Marylin Monroe,” ia langsung bentak saja Lusi tanpa keramahan sama sekali.“ Jalang sekali kau!”
Lusi tak ubah prinsipnya. Nyalinya tak ciut. Ia tetap angkat wajahnya tatap mereka.
“ Pakai baju mewah kayak gini,” wanita berahang keras sentuh gaun kuning Lusi. Ia tarik-tarik seperti Polisi tarik bajunya maling.
“ Kau tau mau apa kau disini?” Wanita bergigi tanggal gantian bertanya. Ditempelkan hidungnya ke hidung Lusi agar dekat sekali bicaranya.
Lusi menggeleng.
“ Kau ditangkap karena kau sembunyikan informasi penting. Sini tangan kau!”
Inilah ujian terakhirnya. Lusi membatin. Sudah dimulai.
Kedua wanita tadi tangkap tangan Lusi. Lalu ikat dengan seutas tali yang sudah dipersiapkan. Tangan Lusi dibawa naik ke atas tiang yang disiapkan di tengah kamar. Lusi lekas menjadi tak berdaya dibuatnya.
Wanita bergigi tanggal menunggu sampai Lusi terikat sempurna lalu dia berkata keras, “ kami dapat informasi kau tau siapa yang punya tas berwarna ungu. Kami tanya kau baik-baik, siapa dia yang punya tas warna ungu??”
Lusi tak menjawab.
Wanita berahang keras berjalan ke dalam kegelapan. Ia Lusi lihat ambil sesuatu. Sebuah kayu panjang. Ia lalu dekati Lusi sambil bilang, “kau mau jawab tidak?”
Lusi pilih menjawabnya, “ saya tidak tau apa yang kalian bicarakan.”
Wanita berahang keras tanpa aba-aba angkat tangannya yang pegang kayu lalu sabet punggung Lusi pakai kayu itu. Lusi memekik keras. Kesakitan ia. Punggungnya seperti terbakar. Wanita berahang keras tak kasian liat Lusi memekik. Ia sabet lagi punggungnya. Lagi dan lagi. Sampai Lusi jerit-jerit keras di dalam ruangan karena kesakitan.
Selang beberapa lama. Wanita berahang keras berhenti menyabet. Ia menjauhi Lusi.
Wanita bergigi tanggal gantian. Ia hadapi Lusi. Wajah Lusi tengah merunduk. Ia teramat kesakitan. Wanita gigi tanggal ambil dagu Lusi lalu diangkatnya terus bilang, “ siapa yang punya tas ungu??”
Lusi menggeleng. Lama ia tak menjawab sebelum akhirnya berkata, “ saya tidak tau.”
Wanita gigi tanggal pegang sabuk di pinggangnya. Di sana terpasang bungkus pisau belati. Ia cabut pisau belati dari bungkusnya. “ Barangkali kau perlu ditelanjang dulu baru kau mau bilang.”
Sengaja sebilah pisau dipamerkan di wajah cantik Lusi. Disentuhkan ke pipinya. Lalu tanpa ampun wanita bergigi tanggal sobek sobek gaun kuning Lusi begitu saja membuatnya jadi telanjang bulat di hadapan mereka.
Lusi berupaya menggapai-gapai tangannya ke atas saat ditelanjangi. Tapi ia tetap tak berdaya. Ikatan di tangannya terlampau kuat. Lusi hanya bisa pejamkan mata.
“ Siapa?” Ada yang bertanya. Lusi merem saja. Ia masih upayakan tahan sakitnya.
“ Keras kepala kau, ya.” ada yang bilang sesuatu kepadanya dengan suara keras. Lusi tak tau siapa karena masih merem matanya. “ Kalau begitu kau yang minta!”
Bersamaan dengan kalimat tadi Lusi disiram air seluruh tubuhnya. Tentu saja Lusi sontak menjerit kesakitan. Luka punggungnya masih segar. Disiram air akan bertambah sakit. Lusi mendelik nyeri.
“ Siapa???”
Tak jawab Lusi. Ia pejamkan lagi mata coba menahan sakit.
“ Heee siapa yang punya tas ungu. Kau lihat wajahku! Buka matamu atau kucongkel nanti matamu!!!”
Lusi takut. Ia buka mata. Rasa dinginnya bilahan pisau menempel di pipinya sudah mengarah ke arah mata. Takut sekali rasanya. Waktu ia buka mata wanita bergigi tanggal yang pegangi pisau mengarah ke matanya. “ Siapa yang punya tas warna ungu??” Tanyanya.
Mendengar Lusi masih keras hati. Wanita rahang keras ambil kabel dari kegelapan. Di belah kabel tadi supaya menjulur keluar lalu ia bilang, “ ini akan buat kau ngaku! Mampus, kau, wanita jalang!”
Sebelumnya Lusi disiram air oleh mereka. Tubuhnya basah. Ditempeli kabel yang menjulur keluar ia kesetrum. Gelombang lisrik menjalar seketika membuatnya tegang. Jantungnya kaget. Lusi mendelik. Ia benar-benar tak menyangka akan merasakan disetrum seperti ini.
Apalagi wanita gigi tanggal melakukannya tidak cukup sekali. berkali-kali ia setrum Lusi. Membuatnya pada akhirnya jatuh pingsan masih dalam kondisi terikat. Tapi pingsangnya Lusi tak membuat mereka berhenti. Lusi disiram lagi wajahnya. Dibangunkan. Disetrum lagi. Terus menerus sambil dipaksa jawab siapa yang punya tas warna ungu. Sama sekali Lusi tak goyah. Walau tubuhnya hancur lebur ia tetap tak mau jawab.
Termasuk ketika ikatan tangannya dilepas. Mereka bawa ember masuk ke kamar. Kepala Lusi direndam ke dalam ember sampai tak bisa nafas. Mereka terus benamkan sampai beberapa waktu baru mereka angkat kepalanya, kemudian mereka tanya, “ siapa yang punya tas ungu??” Lusi tak jawab. Mereka ceburkan lagi kepala Lusi, terus mereka angkat, tanya lagi, benamkan lagi. Begitu terus sampai pada akhirnya suara laki-laki yang berada di dalam kegelapan menghentikan aksi kedua wanita kejam ini, “ cukup! Kita sudah lebih empat jam siksa dia,” kata suara laki-laki tadi. Lusi masih gelagapan karena habis dipaksa kehabisan nafas terus-terusan. “ Sudah hampir subuh sekarang. Ujian sudah selesai.”
Lusi mendengar perkataan laki-laki tadi lalu pingsan. Ia betul-betul kehabisan tenaga setelah disiksa sedemikian berat.
Kamis, 7 Desember 1961
Sebuah Rumah Kosong di Jalan Menteng Djakarta
Jam 07.30
Lusi akhirnya membuka mata. Remuk redam badannya. Ia sadar tengah tidur telanjang bulat dalam posisi tengkurap. sehelai kain jarik menutupi bagian tubuhnya. Kepalanya disangga oleh bantal agar ia nyaman beristirahat. Mengamati kondisi sekeliling Lusi merasa masih berada di kamar semalam. Ia hanya dipindahkan dari yang semula disiksa di tengah ruangan sekarang berada di ranjang.
Tak ada lagi kedua wanita sadis berbaju hijau. Lusi merasa dibiarkan sendirian di kamar yang demikian luas. Namun demikian saat ia berpikir demikian sebuah suara pria terdengar nyaring. “Sudah bangun, kau?” Tanya suara seorang pria.
Lusi berupaya mencari. Diketahuinya suaranya berada di dalam kegelapan. Rupanya ini suara pria yang menyiksanya semalam. Tak lama suara itu melanjutkan, “ selamat, Lusi. Kau lulus. Peringkatmu terbaik. Kaulah yang akan memiliki ijin khusus melakukan aksi psywar atau sabotase dan perang urat saraf diantara teman-teman angkatanmu.”
Lusi tak terlalu senang mendengarnya. Juga ia tak antusias. Kekuatan tubuhnya masih belum kembali. Ia masih lemas. Tapi ia coba memberikan respon. Meski lemah ia bilang, “siapa kau sebenarnya??”
Pria di kegelapan mendengar pertanyaannya. Ia bangkit dari kursinya. Derap langkahnya mendekat. Ia adalah pria jangkung dari bayangannya. Terlihat berotot semakin ia mendekat. Dan ketika secercah cahaya menyapu tubuhnya Lusi tercekat. Ia kaget bukan main. Sambil setengah berteriak ia bilang, “ Mas Pardjo.. Rupanya kaulah yang berada di balik kegelapan itu.”
Perasaan Lusi langsung berubah. Ia melihat Pardjo. Laki-laki yang dicintainya. Tubuhnya yang lemas seperti mendapatkan tenaganya kembali. Coba bangkit ia namun ditahan oleh suara Padjo yang mengatakan, “ tidak usah bangkit dari tidurmu. Kau masih sangat lemah.”
Pardjo lah yang kemudian mendekati Lusi lalu duduk disampingnya di ranjang. Lusi lihat Pardjo tak banyak berubah. Hanya kumis tipis saja sekarang melintang di bawah hidungnya membedakan ia dengan dirinya dua tahun silam.
“ Hebat kau, Lusi. Selamat, ya!” Pardjo mengelus rambut Lusi dengan perasaan sayang. Rambut itu semula dikuncir kuda. Namun setelah Lusi pingsan terakhir, ikatannya sengaja dibuka agar ia bisa tenang beristirahat.
Lusi menikmati benar dielusi Pardjo. Ia rasakan kehangatan tangannya. Ia coba pegang dan rasakan betul guratan kekuatan dan kejantanan yang tersirat disitu. Namun Lusi rasakan sesuatu saat ia sentuh tangan kanan Pardjo. Penasaran betul ia. Lalu dipandangi tangan Pardjo baik-baik kemudian bilang, “ cincin kawin. Kau sudah kawin, Mas??”
Pardjo tak mengelak. Ia hanya anggukkan kepalanya sambil menjawab, “ betul. Dua tahun yang lalu. Tak lama setelah lulus. Kedua orang tuaku yang jodohkan aku.”
Hancur rasanya hati Lusi. Porak poranda jadinya. Dari senang jadi sedih hatinya. Air mata mulai keluar dari matanya tak menyangka kekasih hatinya sudah ada yang punya.
“ Maafkan aku, Lusi, bila aku menghancurkan hatimu,” Pardjo tak coba lepaskan tangan adik kelasnya yang terus memeganginya walau sudah tau Pardjo sudah ada yang punya. “ Maafkan, aku!”
Lusi hanya bisa dekatkan tangan Pardjo pada wajahnya. Lalu ia ciumi tangan Pardjo sambil tumpahkan segala duka lara hatinya. Ia menangis sejadinya di tangan kakak kelasnya. Cukup lama. Sampai akhirnya Pardjo bilang, “ aku sudah siapkan gaun baru yang kuyakin pas di badanmu. Gaunnya nanti kuambilkan. Kau pakai, ya! Setelahnya kau bisa segera jalani hidupmu sebagai mata-mata wanita nomer satu. Dan kau… bisa mulai lupakan segala kenanganmu tentangku.”
Pardjo coba lepaskan tangannya dari jeratan tangan Lusi namun tak dilepas oleh adik kelasnya. Lusi masih genggam erat tangan Pardjo. Ia berkata lirih, “ Mas, aku sedih.”
“Aku mengerti. Dan aku pun tak coba bela diriku. Aku sudah coba katakan padamu waktu itu.”
Lusi makin pererat genggamannya di tangan Pardjo. Ia bilang, “ Bisakah aku mohon satu hal padamu, Mas?”
“ Apa itu??” Walau tangan kanannya digenggam erat, Pardjo gunakan tangan kirinya buat elus rambut adik kelasnya. Bibit rasa cinta dan sayang masih jelas hadir di hati Pardjo.
“ Bolehkah aku mohon kau memberikan kehangatan padaku, Mas. Sekali ini saja.” Lusi menyampaikan permohonannya sambil berlinang air mata.
“ Maksudmu??”
“ Aku ingin kau memberiku kehangatan, Mas. Setelah kau hancur leburkan tubuhku semalam. Persatuanku denganmu akan mengobatinya.”
Pardjo menggelengkan kepalanya. Ia berkata, “ tapi kau tau aku sudah ada yang punya Lusi.”
Gantian Lusi mengangguk. Ia menjawab, “ jujur, aku cemburu dengan istrimu, Mas. Amat cemburu. Tapi aku tak akan coba merebutmu darinya. Aku hanya ingin sekali saja merasakan kehangatan dan kejantanan tubuhmu.”
Pardjo diam. Ia pikirkan baik-baik permohonan adik kelasnya.
“ Anggaplah sebagai hadiah kelulusan darimu buatku, Mas.”
Genggaman tangan mereka makin erat. Pardjo rasakan benar denyut nadi wanita di tangannya menghangat. Pardjo sadar tanda-tanda apa ini. Ia tanya lembut kepada adik kelasnya, “ kau yakin mau lakukan ini??”
Lusi segera jawab, “ Aku bukan hanya yakin. Aku malah mohon kepadamu.”
Pardjo menimbang sesaat. Ia memutuskan, “ baiklah bila demikian adanya. Aku akan coba berikan kehangatan yang kau inginkan.”
Lusi tersenyum.
Ia menangis sejenak karena haru. Genggaman tangannya di tangan kekasihnya dilepas. Memberi waktu Pardjo bangkit melepas baju dan celana yang melekat di bajunya lantas berdiri di samping Lusi layaknya seorang pejantan. Tubuh kakak kelasnya masih sedemikian berotot. Di perutnya terpahat guratan otot demikian kuat.
Pardjo pandangi tubuh Lusi. Tampak molek tubuh adik kelasnya ini. Warna kulitnya putih. Lekuk tubuhnya benar-benar mengundang selera. Gunakan lengan kekarnya Pardjo ambil satu helai jarik yang tutupi tubuh Lusi kemudian ia tarik. Adik kelasnya yang teramat cantik segera saja telanjang bulat dihadapannya.
“ Aku…” Namun demikian Pardjo sejenak ragu. Ia ragu apakah yang ia lakukan sekarang benar atau tidak. Sudah punya istri ia. Bahkan sudah punya anak yang masih bayi. Pantaskah berbuat seperti ini.
“ Janganlah kau ragu, Mas! Aku tak mengharap banyak darimu. Yang aku harap hanya satu kali ini saja kau menghangatkanku dan sudah cukup buatku. Janganlah kau ragu, Mas! Pergaulilah aku! Dan perlakukanlah aku semaumu!”
Perkataan Lusi membuat Pardjo yakin. Ia rebahkan dirinya peluk Lusi dari belakang sambil menindihnya. Sempat Lusi mengernyit nyeri karena dada dan perut Pardjo bersentuhan dengan lukanya di punggung. Namun Pardjo tak pernah berniat menyakitinya. Pardjo hanya berupaya memeluknya erat sebagai bentuk rasa cinta dan sayang.
Rasanya begitu lembut sekali Pardjo memeluknya. Dadanya yang bidang menyentuh punggung Lusi. Lengannya yang kekar mengelusi pinggangnya. Bibir Pardjo yang dihiasi kumis ciumi tengkuknya pelan coba bangkitkan percikan api gairah diantara mereka. Lusi merasakan cinta hadir memeluknya. Jantan sekali. Penuh kekuatan. Penuh pesona. Rasa sakit yang semula hadir tak dirasakannya lagi.
Alih-alih sakit, Lusi malah mulai rasakan nikmat. Ia peluk kedua tangan Pardjo yang hinggap disisi tubuhnya. Ia rasakan dari bagian pantatnya kontol Pardjo yang semula masih kecil ukurannya sekarang bangkit tegak menggesek pantatnya terus. Lusi coba menggesek balik pantat itu membuat Pardjo makin mempererat pelukannya.
Pardjo merasa mulai bergesekan organ intim mereka. Ia coba rubah gerakan. Ia sekarang turun ciumi pundak dan punggung atas Lusi yang tak terlukai semalam. Ia ciumi pundak Lusi. Ia kecup. Ia jilati. Sembari kedua tangannya mengelusi pinggang adik kelasnya yang indah. Pardjo takjub akan betapa indahnya punggung Lusi.
Betul-betul Pardjo nikmati benar menciuminya. Ia lama hisap-hisap pundaknya yang terbuka bebas. Lusi merinding diperlakukan begitu. Kumis Pardjo yang bergesekan makin membuatnya merasakan gelombang nikmat mulai datang perlahan jalari tubuhnya.
Namun begitu Pardjo tak tega melihat luka di punggung Lusi bagian tengah dan bawah yang jadi sasaran sabetan semalam. Terhitung ada lebih dari sembilan luka bekas sabetan masih menganga disana. Pardjo tak tega melihatnya. Ia turun terus. Melihat pantat bulat montok Lusi terhampar, Pardjo teruskan turun. Terus ia lewati betis adik kelasnya lalu berhenti di kakinya. Sampai disana Pardjo tekuk tungkai kaki Lusi lembut biar terangkat kakinya yang sebelah kanan, lalu ia kecup lembut tumit kakinya.
“ Mas apa yang mau kau lakukan dengan kakiku?”
Lusi masih terbaring lemah dalam keadaan tengkurap. Ia bingung rasakan kelakuan Pardjo yang ciumi tumit kakinya lantas beralih ciumi jari kakinya satu per satu. Lusi geli awalnya. Tapi ia kemudian merasakan enak. Tak sangka ia rupanya enak jari jemari kakinya dihisap satu per satu oleh Pardjo.
Di lain pihak Pardjo memang nikmati benar apa yang dilakukannya. Sama sekali tak jijik ia emuti jari jemari kaki Lusi. Alih-alih jijik, ia malah sangat menikmatinya. Jari jari kaki Lusi lentik. Amat nikmat buat dijilat dan dihisapi. Seperti membuat ketagihan. Maka setelah habis jari jemari kaki kanan Lusi dihisap, Pardjo ganti naikkan kaki kiri adik kelasnya lantas ganti menjilati jarinya yang kiri.
Sebagai wanita Lusi merasa amat tersanjung dengan kelakuan Pardjo. Ia bak menjadi tuan putri. Diperlakukan sedemikian istimewa oleh pejantannya. Apalagi waktu Pardjo rebahkan kembali kaki kiri Lusi setelah puas menjilatinya, serangan Pardjo beralih ke betisnya. Pardjo gunakan lidahnya buat jilati betis Lusi. Seketika membuatnya merasakan geli namun nikmat sekaligus. Selagi asyik jilati betis, kedua tangan Pardjo ikut elusi paha Lusi diatasnya. Tentu saja adik kelasnya mulai rasakan nikmat makin menjadi dan mulai mendesah nikmat.
“ Mmmm, Mas,” rintih Lusi. “ Aaaauuu.”
Semua jilatan di betis perlahan dilakukan Pardjo. Ia tak mau buru-buru. Baginya tubuh Lusi demikian indah. Beda sekali dengan istrinya di rumah. Tubuh Lusi demikian istimewa membuat Pardjo betah lama bermain di tubuhnya. Termasuk saat Pardjo telah tiba di belahan paha adik kelasnya ia tak ingin gegabah.
Pertama Pardjo regangkan dulu kedua kaki Lusi agar lebih lebar terbuka. Hal ini dilakukannya supaya paha Lusi sebelah dalam bisa dia jilati sekaligus ia mulai bisa lihat dan hirup aroma khas memek yang selalu membangkitkan kontolnya agar makin tegak. Tanpa sepengetahuan Lusi, Pardjo memang sangat senang cium aroma memek wanita. Juga aroma dari lubang duburnya. Aroma keduanya khas. Hanya dimiliki oleh wanita yang tengah bergairah. Pardjo amat menikmati aromanya dan dengan menciumi aromanya pulalah Pardjo mulai garap paha putih Lusi yang montok. Ia hisapi. Ia jilati.
“ jangan, Mas, geli… ampuunnn,” Lusi sontak meronta. Tak sangka ia akan dirangsang sedemikian hebat. Ia coba meronta. Tapi setiap kali muncul perlawanan dari Lusi, Pardjo padamkan perlawanannya. Ia kunci paha adik kelasnya. Ia pegangi kuat. Terus ia jilati lagi. benar-benar Lusi dibuat gila oleh kelakuan Pardjo. Tak kenal lelah Pardjo jilati Lusi. dan Lusi juga makin kencang desahannya, makin basah memeknya oleh segala kelakuan Pardjo di pahanya.
Semua tingkah polah Lusi ini terus diperhatikan Pardjo. Lusi kini lebih kuat tenaganya. Lebih jelas ekspresinya seperti wanita yang tengah dilanda birahi. Pardjo sambil jilati paha adik kelasnya terus ciumi aroma dari memeknya. Ia perhatikan memek Lusi hadir tanpa jembut. Tampaknya ia pakai obat perontok jembut supaya tak ada rambut disana. Pardjo terpesona betul lihat memek yang tanpa rambut ini. Memek yang bersih bikin aromanya waktu terangsang jadi makin menyengat.
Pardjo suka sekali cium aroma kelamin wanita. Sekarang ia dapat kesempatan emas. Ia hirup baik-baik memek Lusi sambil kedua tangannya regangkan bongkahan pantatnya. Lusi sendiri sama tak tahannya tangannya mencengkram bantal kuat. Ia mulai tak kuasa tahan memeknya semakin membanjir oleh cairan nikmat. Dan waktu Lusi rasakan lidah kakak kelasnya mulai jilati memeknya, ia langsung lupa diri. Lusi mendesah. Ia meraung.
Kedua tangannya keras mencengkram bantal. Lembut sekali lidah Pardjo dirasakannya. Amat memabukkan. Membawa kenikmatan teramat sangat karena menggesek memeknya tepat di bagian yang paling nikmat.
Rasanya mirip sekali dengan keadaannya diestrum semalam. Lusi merasakan tubuhnya bagai disetrum namun secara lembut. Kedua puting susunya yang tergencet oleh ranjang karena posisinya tengkurap ikut bangkit akibat memeknya dijilati. Kedua puting susunya jadi sensitif. Jadi nikmat sekali.
Pardjo sangat menggilai aroma memek dan lubang dubur wanita yang tengah birahi. Ia lama sekali mengolah kedua organ Lusi ini. Sama sekali ia tak jemu. Tak juga jijik. Pardjo terus menjilatinya sampai Lusi menegang. Pantatnya sengaja diangkat. Supaya Pardjo bisa jilati bagian memeknya yang atas. Cengkramannya di bantal makin kuat seperti mencabik-cabik.
Melihat Lusi tegang Pardjo tunggu waktu yang tepat. Ia tau betinanya sudah di ujung kenikmatan. Hanya tinggal tunggu sumbu yang tepat agar dipicu. Dan Pardjo tau dimana sumbunya. Pardjo sudah pengalaman. Ia sudah nikah. Ia tau dimana itil wanita berada. Waktu pantat Lusi terangkat Pardjo tau apa yang harus ia lakukan. Ia cari itil Lusi yang kemerahan. Ia jilati sejenak lalu ia hisap dalam-dalam.
Lusi menggila dibuatnya. Ia meraung. Ia meledak. Ia muncrat dari dalam. “ Ampuuunn, Mas…. Aaaauuuuhhhhh.”
Dijilati terus oleh Pardjo Lusi muncrat. Ia sampai pada titik puncak nikmat. Sampai di kahyangan ia sekarang. Lenyap sesaat kesadarannya. Hanya tubuhnya saja yang terjungkat jungkit naik turun tenggelam dalam rasa nikmat teramat sangat. Setelah semalam merasakan siksaan fisik, kini Lusi giliran rasakan siksaan nikmat yang tak kalah dahsyat.
Tubuhnya berada diambang batas antara sadar dan pingsan. Mata lusi turun naik. Timbul tenggelam. Terombang ambing dalam dua kondisi kesadaran.
Sebuah kondisi ekstase keadaan diri. Keadaan keluar dari dalam kesadaran normal. Membuat ia yang merasakan meninggalkan pikirannya. Terbang jauh entah kemana untuk sesaat. Lupa diri. Lupa segala-gala. Meski hanya sebentar kondisi ekstase sangat memabukkan.
Lusi dibawa ke dalam kadaan ini oleh kakak kelasnya. Pria sejati dia. Pria yang tau apa yang diinginkan wanita. Ia mahir membawa Lusi lama mengalami keadaan puncaknya sebelum akhirnya Lusi tumbang di ranjang dalam keadaan lemas.
Lihat Lusi tumbang, Pardjo masih jilati Lusi sejenak sampai ia akhirnya berhenti. Badai pasti berlalu. Termasuk badai kenikmatan. Pardjo tunggu sebentar sampai badai wanitanya reda, baru kembali Pardjo peluki tubuh Lusi. Ia genggam kedua tangannya. Ia ciumi mesra. Lantas dibisikinya telinga Lusi lembut,“ nikmat??” Tanya Pardjo.
“ Sangat nikmat,” Lusi masih terengah engah. Nafasnya belum kembali. “ Aku tak sangka kenikmatan seperti ini ada.”
Pardjo peluk makin erat adik kelasnya. Saling berbagi kehangatan kembali mereka. Sembari nikmati detik demi detik waktu kehidupan. Tak ingin rasanya ada salah satu diantara mereka yang memisahkan pelukannya. Namun Pardjo sadari sesuatu ia bilang, “ kau masih perawan, Lusi. Sudah cukuplah permainan kita. Aku tak mau jadi pertama yang menyetubuhimu.”
Pardjo coba lepaskan pelukannya. Tapi ketika ia hendak bangkit tangannya ditahan oleh Lusi. Pardjo kembali memeluk wanitanya dan di saat yang sama si cantik bilang, “ tidak. Kau jangan pergi, Mas! Tunaikanlah dahulu tugasmu di tubuhku! Jangan kau cemas pada keperawananku. Kalau ada pejantan di muka bumi ini yang kuijinkan merenggut keperawanaku, Itu adalah dirimu, Mas.”
Pardjo terhenyak. Ia ingat Lusi tak pernah munafik. Ia selalu sampaikan jujur apa yang ia lakukan. Pernyatannya barusan juga benar. Adik kelasnya tak bohong. Pardjo hanya masih mencoba memperingatkannya, “ nanti kau akan kesakitan dibuatnya.”
Mendengarnya, adik kelasnya yang sintal tubuhnya tersenyum. Ia berkata balik, “ kau sudah setrum aku, kau sudah sabeti punggungku. Menurutmu rasa sakit apa lagi yang masih tersisa untukku?”
Pardjo hirup sejenak tengkuk Lusi. Ia reguk aromanya. Kemudian ia berkata, “ baiklah kalau kau memang ingin demikian.”
Terakhir diubah: