Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Chapter 5 — Extended Fun part 1





Bu Siska 'baik' banget, ya. Sampai rela luangin waktunya untuk anterin aku pulang. Tas ranselku juga diambilin di kelas, jadi aku tinggal tunggu di meja piket aja. Pas lagi nunggu, aku sempat ditanya-tanya guru piket yang sedang jaga. Pertanyaan prosedural, seperti sakit apa, gejalanya apa, dari kapan.

"Emang repot ya, kalo orang tua dua-duanya sering kerja di luar kota. Jadi ga bisa jemput anak pas lagi sakit. Untung banget Bu Siska mau anterin kamu pulang, De," komentar pak guru piket padaku.

Aku spontan heran, tapi otak taktisku langsung paham. Bu Siska pakai alasan orang tuaku yang sedang kerja untuk nganterin aku pulang. Memang bohong aja dianya. Orang tua aku lagi di rumah kok dua-duanya.

"Iya, Pak. Tadi juga selama saya istirahat di UKS, Bu Siska ngerawat saya dengan baik."

"Nah, itu orangnya udah dateng," kata pak guru piket.

Aku pun menengok ke arah yang si bapak lihat. Bu Siska sedang berjalan ke sini sambil menggendong tas ranselku dan menjinjing tas kulitnya. Memperhatikan caranya berjalan yang anggun tapi seksi itu bikin pipiku memerah dan jantungku berdebar kencang. Wajahnya yang dibalut jilbab putih kelihatan cantik banget di mataku, dan aku ga sanggup menatap wajahnya lama-lama, karena semakin kutatap, semakin kencang debar jantungku.

"Dea, bisa bawa sendiri tasnya?" tanya Bu Siska. Aku mengangguk, lalu Bu Siska menyerahkan tasku.

"Pak, saya pulang dulu, ya."

"Mari, Pak." Bu Siska mengalungkan tangannya di pundak kiriku, lalu menuntunku berjalan menjauh.

Kami lalu menuju parkiran sekolah yang tepat berada di belakang gedung utama. Bu Siska mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, lalu memencet kunci jarak jauh. Aku menyusul Bu Siska yang masuk mobil lebih dulu. Karena cuma berdua, jadinya aku duduk di jok depan. Saat sudah berada di dalam mobil, aku baru sadar kalau kaca film Bu Siska ini gelap banget. Kayaknya sekitar 80-90%. Pantes aja, tadi saat aku lihat kaca depan mobilnya dari luar, ga kelihatan apa-apa di dalamnya.

"Bu," aku menoleh ke kanan, ke arahnya, "ini ga apa-apa aku dianter sampe—"

Ternyata wajah Bu Siska sudah deket banget dari wajahku, dan kedua tangannya langsung memegangi pipiku. Bibirnya yang lembut pun mendarat di bibirku, dan Bu Siska langsung melumatnya dengan ganas. Awalnya aku kaget dengan ciuman tiba-tibanya, tapi... persetan lah, aku juga mau bibir Bu Siska!

Bibir kami pun saling berpagutan. Lidah saling membelit, dan saling bertukar liur yang kami sedot dan telan dengan senang hati. Bu Siska juga suka banget menyedot lidahku, dan aku ikuti juga perlakuannya. Karena ciumannya makin ganas, mulut, pipi dan dagu kami sampai basah oleh liur.

Aku baru sekali berciuman di seumur hidupku, dan ciuman pertamaku itu dengan Pak Jumadi. Sementara ciuman keduaku ternyata dengan seorang perempuan, yang bahkan adalah guruku sendiri. Tapi Bu Siska berhasil memberi kesan bahwa ciuman itu menyenangkan, dan aku ketagihan.

"Dea, kamu keberatan ga kalau kita ga jadi ngerjain tugasnya di rumah Ibu? Kayaknya di rumah lagi rame. Ada mertua Ibu lagi nginep. Ga apa-apa?" tanya Bu Siska, setelah menarik bibirnya dariku.

"Ga apa-apa, kok, Bu." Tentu saja, aku ga bisa menyembunyikan kekecewaan di nada suaraku. Aku pikir, aku bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Bu Siska.

"Makanya, kita ke tempat lain aja," sambung Bu Siska, "hotel, misalnya. Jadi bisa lebih fokus kerjain tugasnya, kan?"

Aku hampir-hampir kena serangan jantung saat Bu Siska menyebut kata "hotel". Aku pun menunduk malu, tapi ga bisa kusembunyikan senyum lebar yang menghiasi pipiku. "Aku ikut Ibu aja," jawabku, tersipu.

"Oke, kita ke Amaris aja, ya." Bu Siska menyalakan mesin mobil, lalu kembali menoleh padaku. "Setuju, kan?"

Duh, senyumku jadi makin lebar, kan.


———


Bu Siska adalah guru Biologi di sekolahku, yang merangkap jadi guru piket UKS. Beliau jadi salah satu guru favorit murid-murid, karena cara mengajarnya yang asik dan informatif. Selain itu, Bu Siska juga modis dan menarik secara fisik, jadi punya nilai lebih di mata cowok-cowok di sekolahku.

Nama panjangnya adalah Fransiska Nathalie. Bu Siska itu mualaf, ikut ke agama suaminya saat menikah, makanya ada tambahan nama baru di depan nama aslinya, Siti Amina. Sebelum pindah agama, Bu Siska ternyata seorang penganut katolik yang taat. Bahkan beliau resmi tergabung di paduan suara gerejanya. Tentu saja, dengan latar belakang se-relijius itu, keputusan Bu Siska pindah agama ditentang keras oleh keluarganya sendiri. Tapi Bu Siska ini tipe pribadi yang keras; kalau sudah maunya, ya maunya.

Aku jadi ngebayangin, sehebat apa prospek suaminya sampai sekelas Bu Siska rela pindah agama. Zakir Naik pasti approve kalau suaminya Bu Siska daftar jadi muridnya.

"Ibu nikah tahun 2018. Waktu itu, umur Ibu masih dua puluh empat. Baru dua tahunan, lah, jadi guru honorer setelah lulus dari kampus," katanya, sambil pandangannya terus fokus menyetir.

"Berarti sekarang Ibu masih dua puluh delapan? Masih muda banget, Bu." Aku menatap Bu Siska, lama. Seakan terhipnotis oleh kecantikannya. "Cantik banget, lagi."

"Gombal banget!" Bu Siska tertawa ringan, lalu tangan kirinya perlahan mengelus bibirku. "Tapi... Ibu jadi seneng dipuji kamu."

Aku ngebiarin ibu jari Bu Siska bermain di bibirku. Meski Bu Siska kini mulai masukin jarinya ke dalam mulutku, aku masih diam. Sejujurnya, aku suka diginiin. Bu Siska lama masukin ibu jarinya di mulutku, dan meski ga saling bicara, tapi aku seperti tahu banget maunya Bu Siska apa.

Kuhisap saja jarinya, lembut dan penuh perasaan. Ga lupa kubasahi pakai lidah, lalu kuemut-emut. Bu Siska perlahan menarik ibu jarinya, dan kini gantian masukin telunjuknya ke mulutku. Aku ulangi perlakuanku pada ibu jarinya tadi, ke telunjuknya. Sambil menjilati dan mengemut telunjuk Bu Siska, aku diam-diam melirik guruku ini. Bu Siska sekarang tampak sedang menggigit bibirnya sendiri sambil menyetir.

Ga kerasa, perjalan kami pun berakhir. Mobil sudah masuk ke area hotel, dan Bu Siska langsung menuju ke parkiran yang ada di basemen. Setelah memarkir mobilnya, Bu Siska menatapku, lama. "Kalau kamu berubah pikiran, kita bisa pergi aja dari sini," katanya.

Sepertinya yang ragu bukan aku, tapi Bu Siska. Dia tenggelam di permainannya sendiri, terus sekarang kalut untuk memilih antara melanjutkan, atau berhenti. Mungkin dia terbawa suasana saat menciumku di UKS itu, lalu merasa sudah kepalang basah jadi dilanjut saja. Tapi sekarang, entah karena alasan apa, Bu Siska ragu.

Jadi, mari aku usir rasa ragunya, demi kebaikan kami berdua.

Aku pun meraih tangan kirinya, lalu kuarahin ke tetekku yang masih terbungkus seragam dan hoodie, tanpa bra, jadi Bu Siska bisa ngerasain tetekku yang empuk. Lalu, kutatap dirinya, dengan pandangan paling menggoda yang aku bisa. "Bu, aku ga sabar untuk dijamah sama Ibu. Aku bisa jadi... boneka seks personal buat Ibu. Bu Siska bisa ngelakuin apa pun yang Ibu mau... ke badan aku," godaku, menatapnya sambil menggigit bibirku.

Bu Siska langsung merinding sehabis denger godaanku. Pipinya memerah, dadanya turun naik. "Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu, Dea?!" tanyanya, agak histeris.

"Improvisasi?" balasku, sambil mengangkat bahu.


———


Meski baru kali ini ke hotel, tapi aku bisa tahu kalau hotel bintang tiga keatas punya privilege yang menyenangkan. Resepsionisnya ga repot untuk kepo ke seorang guru dan muridnya, yang sama-sama berhijab dan masih memakai seragam dinas guru dan siswa, yang menyewa sebuah kamar hotel di siang bolong, hanya berdua saja, dan meminta ranjang yang single dengan ukuran queen size. Aku ga punya kuasa untuk mengatur apa yang si resepsionis pikirin, tapi aku menghargai etikanya yang melayani kami dengan baik. Tanpa tatapan curiga, tanpa ekspresi bertanya-tanya.

Kamar kami ada di lantai 5, di nomor 512. Letaknya ada di paling ujung setelah keluar lift lalu belok kanan. Karena berada di ujung, maka ketika buka pintu kamar, aku langsung melihat jendela yang mengarah ke jalan raya. Aku langsung terkesima saat masuk ke kamar. Maksudku, kamarnya biasa saja. Iya, ada kasur, ada meja kayu kecil yang dipasang pakai bracket di dinding, lemari kecil untuk pakaian, satu kursi, dua rak kecil di tiap sisi kasur, dan TV di dinding. Bukan interiornya yang bikin aku takjub, tapi fakta bahwa aku akhirnya ngerasain juga masuk ke kamar hotel.

Gila... ga pernah kepikiran buatku, untuk bisa ngehotel gini.

"Kamu kayaknya ga pernah ke hotel, ya, Dea?" tanya Bu Siska. Lalu dia taruh tas jinjingnya di atas meja.

Aku menggeleng. "Kepikiran aja engga, Bu."

"Berarti ini momen pertama kamu, dong?"

"Iya, sama guru sendiri, lagi. Jadi ada rasa seneng yang gimanaaa, gitu, Bu."

Bu Siska langsung senyum-senyum sendiri. Lalu, dia ke kamar mandi untuk pipis, dan mempersilahkan aku untuk duduk atau tiduran kalau capek. Aku iyain aja. Tapi pas Bu Siska sudah masuk kamar mandi, aku lebih memilih untuk nungguin dia di depan pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca itu.

Kulepas hoodieku, kulempar ke pojokan lantai. Lalu, kulucuti juga rok panjangku, dan memekku pun terekspos bebas. Tapi karena seragam lengan panjangku cukup panjang sampai pangkal paha, memekku jadi ga terlalu kelihatan, kecuali kalau tanganku mengangkat. Sengaja ga kulepas jilbab yang kupakai. Ga tau kenapa, tetap pakai jilbab di kondisi memekku terbebas gini justru buat aku merasa horny.

"Dea, kok kamu malah berdiri di..."

Kalimat Bu Siska terhenti, pas ngelihat aku sudah setengah telanjang. Aku sengaja ga ngomong apa pun. Kusingkap saja seragamku, bikin memekku kelihatan jelas di mata Bu Siska. Aku tatap matanya, menunggu dia bereaksi. Dalam beberapa detik diamnya kami, aku seperti bisa dengerin suara detak jantungku sendiri saking tegangnya suasana di sekeliling kami.

"Deaaaa, gemesin banget sih, kamu!"

Bu Siska langsung menyambar bibirku. Aku balas ciumannya. Bibir kami saling melumat lagi. Ga ada puasnya emang kalau ciuman sama Bu Siska. Aku pun dipojokin ke dinding, badanku dikunci sama badannya, bikin aku susah gerak. Bu Siska makin liar ciumin aku, dan makin lama, aku makin kesusahan untuk imbangin ciumannya. Tapi aku pasrah aja. Kan aku mau Bu Siska ngelakuin apa pun yang dia mau ke aku.

Sambil diciumin secara sporadis, tangan Bu Siska juga aktif buka kancing-kancing seragamku. Dipretelin satu-satu, sampai membuka. Telapak tangannya langsung mendarat ke pinggangku. Aku spontan merasa seperti kesetrum waktu kulit pinggangku bersentuhan dengan kulit tangan Bu Siska. Gila... kayaknya memekku sudah basah lagi, deh.

Perlahan, tangannya kayak merambat naik. Aku tahu tangannya mau kemana, tapi kubiarin aja. Aku justru nunggu telapak tangan halusnya sampai ke tetekku. Tapi tangan Bu Siska berhenti di perut atasku, seakan ragu untuk naik lebih jauh lagi.

"Nggg... Dea... ga apa-apa Ibu pegang?" tanyanya, masih malu-malu.

"Terserah Ibu. Bu Siska bisa lakuin apa pun ke aku."

Terus... Bu Siska langsung lepas kontrol, dong. Kedua tangannya ga ragu lagi mendarat di sepasang tetekku yang sudah mengencang dari tadi. Diremas-remas tetekku, sambil aku diciumin dan dan diajak bertukar liur. Aku pun menggelinjang keenakan, tapi ga bisa berbuat banyak selain membalas ciuman Bu Siska.

Lalu, Bu Siska menarik diri, tiba-tiba. Aku yang sempat keheranan, langsung mengerti maksud dia, karena Bu Siska buru-buru ngelucutin rok seragamnya, hingga nyisain celana dalam putih yang tutupi memeknya. Bu Siska langsung menyasar bibirku lagi. Kali ini, dia coba nyelipin sebelah pahanya di antara pahaku. Ooohhh... pahanya langsung nyentuh memekku. Sentuhan paha lembutnya kerasa enak banget.

"Mmmpphhh... Buuu... pahanya nakal, bikin geli...," desahku, sebelum kucium lagi bibir sensualnya.

Bu Siska malah makin sengaja gerakin pahanya. Memekku digesek-gesek, pelan. Aku merasa memekku jadi makin basah, dan lendirnya mungkin basahin paha Bu Siska. Lalu, aku juga coba ngelakuin hal yang sama. Aku selipin paha kananku ke selangkangan Bu Siska.

"Bu, boleh, gaaa?"

Bu Siska justru membuka kedua kakinya supaya pahaku bisa masuk di antaranya. Lalu, Bu Siska langsung menjepit pahaku, kenceng banget. "Boleh, Sayang. Boleh banget! Uuuhh... Dea gemesin banget di mata ibu."

Jadilah paha kami saling menjepit, dan saling menggesek memek satu sama lain. Kami juga masih terus berpagutan, dan tangan Bu Siska masih aktif remesin tetekku.

"Dea... kayaknya... sshhh... udah basah... ooohhh... banget, ya?" tanya Bu Siska, disela kegiatan gesekin memekku pakai pahanya.

"Apanya... ooohhh... Bu?"

"Nngg... itu... ahhh... vaginanya..."

Aku spontan tersenyum nakal. Kudeketin mulutku ke kuping Bu Siska, lalu berbisik, "itu namanya memek, Bu."

"Ih, vulgar... banget... nngghhh, kamu!" responnya, tersipu malu. Berbanding terbalik dengan pahanya yang makin berani dan agresif gesekin memekku.

"Iya, ga nyangka ya, Bu... kalau mulut siswi alim kayak aku... oohh, oohhh... tuh kotor, nngghh... banget? Padahal... aahh, ahhh... kalau di sekolah... aku tuh... ngghh... santun banget... mmpphh..."

"Iya... Ibu aja... ahhh, ahhh... kaget... kamu bisa... aahhh... seliar ini..."

Bu Siska tiba-tiba narik badan aku ke samping, bersamaan dengan badannya yang juga bergeser. Lalu aku diputar, jadi sekarang ngebelakangin dia. Di depanku sekarang ada cermin panjang, yang terpasang di tembok. Wah... kami berdua kelihatan jelas di cerminnya.

Bu Siska kemudian bersandar di tembok, lalu tarik badan aku supaya bersandar ke badannya. Kaki kanannya lalu merentang dari belakangku, lewat di antara kedua pahaku. Kakinya merentang sampai meraih cermin, lalu dipertahankan posisi kakinya, jadi kedua pahaku sekarang menjepit kakinya.

Aku langsung turunin badanku, sampai memekku kesentuh kulit pahanya lagi. Aku pun spontan menggelinjang geli. Tanpa nunggu aba-aba, kugesekin memekku di pahanya yang mulus. Maju dan mundur, sambil kedua tanganku merentang ke belakang, mencengkeram seragam Bu Siska. Tangan Bu Siska sendiri sekarang remesin tetekku, sambil sesekali dipilin dan dicubit putingnya. Karena tetek dan memekku dirangsang bersamaan, bikin aku makin menggelinjang keenakan.

"Bu... ahhh, ahhh... liat deh, di cermin. Kita berdua... aahhh, aahh, oohhh... sshh... liar banget, ya? Masih pake jilbab... masih pake seragam... tapi senakal ini. Aku lagi, ooohhh, uuuuhhh... lagi gesekin memek ke paha guruku sendiri... aahhh, uuhhh... Bu Siska... aku... nggghhh... paha Ibu enak bangeeettt!"

Gesekan di memekku jadi makin cepat dan makin ga karuan. Aku bahkan bisa dengerin bunyi becek tiap kali memekku bergesekan dengan paha Bu Siska. Tapi rasa enak di memekku ini berbanding terbalik dengan rasa lemas dan gemetar pada kedua lututku. Memekku makin nagih rasa geli dan enaknya saat bergesekan dengan paha Bu Siska, dan makin kugerakin pinggulku, makin capek kakiku harus menopang berat badanku.

"Bu... ahhh... ahhh... ahhh, aku... ahh...."

Akhirnya, lututku ga kuat lagi. Aku jatuh terduduk di lantai, dengan kedua kaki gemetar. Bu Siska yang sigap, langsung bantu aku berdiri, lalu aku dipapah ke ranjang. Duh, jalannya susah banget dengan lutut lemas gini. Setelah tiba di pinggir ranjang, aku pun direbahin pelan-pelan sama Bu Siska.

"Bu... aku lemes banget," kataku, lirih.

Bu Siska pun duduk di pinggir ranjang, di sampingku. Dia merespon dengan mengelus-elus pipiku, sambil tersenyum dan berkata, "iyalah lemes, kamu seharian horny gitu. Ibu kalau jadi kamu udah pingsan, kali."

"Tapi memek aku masih gatel, Bu. Ngghhh... rasanya gatel banget, nagih terus minta dipuasin," balesku, sambil mengangkang lebar, kemudian meraba memekku yang sudah becek banget ini.

"Dea, stop dulu. Jangan berlebihan..."

Aku tahu Bu Siska ga serius dengan perkataannya. Karena ekspresi mukanya justru kelihatan nikmatin banget pemandangan aku yang lagi gesek-gesekin klitoris dan bibir memekku sendiri. Bu Siska bahkan sampai gigit bibirnya, dan pandangannya ga lepas dari bagian bawah badanku.

"Ahhh... aku cuma lagi gesek-gesek aja, kok, Bu. Tuh," aku nunjukin jari telunjuk dan tengahku yang berselimut lendir ke Bu Siska, "ini ga berlebihan, kan?"

Lalu aku pandangi kedua jariku ini. Basah banget, dengan lendir yang memenuhi seluruh bagiannya. Entah pikiran apa yang muncul di kepalaku, tapi aku spontan mengemut kedua jariku ini, dan menghisap habis lendirnya. Setelah kering, aku pun mengulangi lagi menggesek-gesek memekku, dan kembali kuemut lagi jari-jariku. Rasa lendirku sendiri cenderung agak asin, tapi ga tahu kenapa aku justru ketagihan sama rasanya. Jadi kulakuin lagi beberapa kali, sampai...

"Dea, stop!"

Bu Siska tiba-tiba menggenggam tanganku. Lalu, dia mandangin aku, lama. Aku bisa ngelihat napasnya memburu cepat, dan ada sedikit liur yang menetes dari sela bibirnya yang membuka.

"Janji, ya, kamu ga akan pingsan?" tanyanya, dan belum sempat kujawab, Bu Siska sudah menyasar bibirku untuk dia kulum dengan buasnya.

Ciuman Bu Siska jadi makin liar dari sebelum-sebelumnya. Dia memagut, mengulum serta menghisap bibir atas dan bawahku dengan tempo yang cepat dan ganas. Lidahku juga ga luput darinya. Lidahku dihisap kuat-kuat, dan kadang lidahnya juga ikut mengajak lidahku untuk saling membelit. Kami juga beberapa kali bertukar liur, dan Bu Siska menelan liurku tanpa rasa ragu.

Setelah ciuman liar dan panas yang berlangsung selama beberapa menit itu, Bu Siska perlahan menarik diri dariku. Dia berdiri di pinggir ranjang. Kedua tangannya pun melucuti celana dalamnya, dan membuangnya asal ke lantai.

Aku yang baru pertama kali melihat memek lain selain punyaku, terkesima saat melihat memek Bu Siska. Memeknya berwarna krem pucat, dengan bibir memek yang sudah bergelambir. Tapi Bu Siska merawat memeknya dengan mencukur habis bulu pubisnya, hingga memek Bu Siska kelihatan mulus banget di mataku.

"Maaf, ya, emmm... itu... memek... Ibu... ga sebagus punya kamu," katanya, malu-malu.

Ga bagus apanya, Bu Siska tuh merendah untuk meninggi! Karena saking terkesimanya, aku sampai ngiler saat pandangin memek dia.

"Dea, kata kamu... Ibu boleh ngelakuin apa pun ke kamu, kan?" tanyanya, sambil naik ke ranjang. Bu Siska lalu berdiri sambil mengangkang, tepat di atas mukaku. Diturunin lah pinggulnya hingga kedua kakinya melipat dan lututnya jadi tumpuan badannya, sehingga memeknya yang sudah basah banget itu turun makin dekat ke mukaku. "Jadi, Ibu mau kamu... makan... memek Ibu, ya? Ini tugas tambahan yang Ibu kasih buat kamu."

Habislah sudah, memek Bu Siska membekap mulut dan mukaku. Maka, tanpa ragu, kujilati dan kuemut saja memeknya, yang ternyata, rasanya enak banget ini. Mmmhh... jilatanku kumulai dari ujung bawah memeknya, yang kujilati dengan intens sampai masuk ke lubang memeknya, lalu lanjut lagi lebih ke atas... jilat terus... sampai ke... klitorisnya, yang sengaja kupakai bagian tengah lidahku yang menggesek klitoris Bu Siska sampai ke ujung lidahku.

"Dea... Dea... Ibu—Ibu... ooooOOOOOHHHHHH!!!"

Di sapuan pertama lidahku, justru membuat Bu Siska bergetar hebat. Kayaknya Bu Siska dapet orgasme pertamanya, deh. Orgasme pertama yang dicapai lewat serangkaian sesi foreplay yang intens dan lama.

Badan Bu Siska bergetar heboh, sambil pinggulnya menggoyang ke depan dan belakang, bikin memeknya menggesek mulut dan mukaku dengan cepat. Yasudah, sekalian aja aku jilatin lebih liar lagi. Apalagi saat Bu Siska mau mengangkat pinggulnya, refleks aku tahan dengan kedua tangan, bikin Bu Siska kesusahan menghindar dari jilatanku di memeknya yang lagi super sensitif karena baru orgasme.

Ga lama, datanglah orgasme kedua. Kali ini lebih heboh dari yang pertama. Lalu orgasme selanjutnya, lalu selanjutnya, dan selanjutnya...

Aku ga pernah bisa puas dengan rasa memek seenak ini. Mmmhhh...






Nympherotica♡
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd