Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Chapter 3 — I Mark This Place as My Territory, With My Pee!





Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi lewat sepuluh. Harusnya jam segini aku sudah di jalan ke sekolah. Tapi karena dari kemarin Abi dan Umi sudah pulang, aku bisa agak santai. Kalau Abi dan Umi lagi ada di rumah, mereka punya kebiasaan untuk nganterin aku ke sekolah. Skemanya selang-seling; hari ini Abi nganterin pakai motor, besok Umi nganterin pake mobil.

Aku lebih suka kalau dianter sama Abi. Karena pakai motor, jadinya bisa sat set sat set. Berangkat agak mepet ke jam masuk sekolah pun ga masalah. Meski Abi adalah tipe bapak-bapak yang kalem, tapi kalau sudah naik motor, kemampuannya setara joki balap liar.

Katanya, dulu sebelum Abi hijrah dan nikahin Umi, Abi tuh termasuk salah satu pentolan geng motor jalanan. Masa mudanya dihabisin dengan balap liar dan taruhan setiap malam. Pertemuannya dengan Umi yang bikin Abi mendadak ninggalin kehidupan liarnya dan ngejar Umi sampai halal. Romantis, ya?

Sementara sekarang, anak satu-satunya terancam jadi maniak seks. Haduh.

Aku ga bercanda saat bilang aku terancam jadi maniak seks. Setelah minum obat perangsang racikan yang melebihi dosis pakai itu, aku merasa ada perubahan besar padaku. Dari mulai perubahan fisik, seperti tetek dan putingku yang kencang terus setiap saat, badanku yang sensitif banget terhadap sentuhan, hingga perubahan psikis macam isi otakku yang selalu mikirin hal mesum 24/7, dan aku jadi mudah terangsang tanpa kenal kondisi dan waktu. Aku jadi susah fokus ke hal-hal lain, termasuk pelajaran.

Parahnya lagi, kalau aku tahan birahiku, aku justru makin ga fokus. Di tingkatan yang lebih ekstrem, kepalaku bisa pusing dan sakit. Aku jadi gampang stress kalau nafsuku ga tersalurkan. Sebaliknya, kalau aku sudah puasin nafsuku, rasa lega itu datang, jadi aku bisa rileks. Tapi itu juga ga lama, karena hanya dalam hitungan menit, aku terangsang lagi.

Dua hari kemarin saat absen sakit, aku gunain waktuku di rumah untuk eksplor kondisi baruku. Tiap selesai bermasturbasi, aku bisa merasa rileks sampai kira-kira lima belas menit hingga setengah jam. Ya, kalau aku mau lanjut, aku bisa banget terangsang dan masturbasi lagi habis orgasme. Tapi karena aku ingin tahu dibatas mana sampai mana aku bisa menahan nafsuku, jadi aku mencoba ga masturbasi lagi. Yang kuingat, aku bisa bertahan sampai kira-kira maksimal tiga jam. Lebih dari itu, aku akan sulit fokus, gampang marah, berkeringat dingin, badan demam dan muka memerah, juga sering gemetar.

Persis seperti orang yang lagi sakau.

"Dea, udah siap semua?" tanya Abi, sambil memakai jaket jeans lusuh kesayangannya.

Aku mengangguk, lalu salim ke Umi yang sudah menunggu di ruang tamu, setelah itu aku menyusul Abi yang kini sedang menghidupkan mesin motornya. Kulihat punggung Abi yang lebar. Punggung seorang bapak. Aku berandai-andai, sebagai pemimpin keluarga, pasti banyak beban yang dia pikul di pundaknya.

Tanpa sadar, aku tertawa getir. Menertawakan diri sendiri.

"Umi, Dea berangkat dulu, ya," kataku pada Umi, "Assalamu'alaikum."

Umi melambaikan tangan dengan ringan, padaku dan Abi. "Wa'alaikumsalam. Baca do'a di jalannya, ya, sayang."

Aku naik ke jok belakang motor, lalu memegang jaket Abi erat-erat. Habis keluar pagar, aku tahu aku akan kembali ngerasain gimana tegangnya balap liar sama Abi.

Kulirik jam tangan sekilas. Aku punya waktu kira-kira dua jam lebih untuk menahan hasrat seksualku yang menggebu-gebu, terhitung sejak terakhir kali bermasturbasi di kamar mandi setengah jam lalu. Kalau aku bertahan sampai batas waktunya, maka aku akan ngerasain efek psikologis ini di waktu jam pelajaran kedua. Pikiran taktisku berputar cepat. Aku harus sudah bisa masturbasi di akhir jam pelajaran pertama, supaya bisa lebih tenang belajar di sekolahnya. Lalu tinggal ngelakuin lagi di interval selanjutnya, dan aku bisa melewati hari ini tanpa ada masalah.

"Sip! Ayo, jalan, Bi! Dea udah siap!"

Abi menggeber motornya, lalu mengganti gigi. "Semangat banget kamu. Ini baru anak Abi!"


———


Sekolahku sebenarnya termasuk sekolah negeri favorit di daerahku. Karena sekolah favorit, golongan muridnya gampang ketebak: si pintar dan berprestasi, si anak orang kaya, dan si paling keterima di sekolah lewat jalur anak guru atau pejabat penting.

Karena ada golongan macam begini di sekolahku, makanya kelakuan murid-muridnya juga bisa ditebak. Murid yang pintar dan ga macem-macem itu seragamnya biasa aja. Tahulah, yang gombrong, kerahnya kaku dan ga suka dikecilin itu. Murid yang kaya, seragamnya juga bagus-bagus, cewek-ceweknya suka pakai seragam yang dikecilin sampai ketat dan kelihatan lekuk tubuhnya, ditambah ada aja aksesoris branded yang dipakai tiap hari. Lalu, ada golongan murid pintar dan ga kaya, tapi juga mau gaul. Jadinya mereka dijadikan kunci jawaban sama kelompok murid-murid yang kaya. Yang terakhir, ini yang nyebelin. Si anak guru dan pejabat. Tengil, gayanya urakan, seragamnya sengaja dibikin kayak gaya preman, dan sikapnya otoriter. Kalau bermasalah dengan mereka, nanti akan diaduin ke orang tuanya, yang tentu saja, menjabat jadi guru di sekolahku. Gurunya juga sama bobroknya, ga bisa bersikap objektif. Kalau anaknya berantem sama murid lain, si murid lainnya itu yang nilainya dibikin jelek.

"Hai, Dea. Dua hari ini kenapa ga masuk? Kata Mami, kamu sakit, ya?"

Aku melirik malas ke asal suara. Cowok yang nyapa aku ini namanya Rian. Badannya kurus, jerawatan, rambutnya sering lepek. Ga enak diliat, pokoknya. Tapi kelakuannya tengil banget, mentang-mentang ibunya jadi guru di sekolah ini. Sialnya, ibunya itu wali kelas aku.

"Kepo banget kamu, Tono. Kalo udah tau aku sakit, kenapa masih nanya?"

"Ih, pagi-pagi udah jutek aja. Untung akunya sayang sama kamu, jadi gapapa kalo kamu manggil aku Tono. Itung-itung, panggilan sayang." Ih... dia ketawa-tawa lagi.

Namanya Adriantono. Aku ga hafal nama panjang, ga penting juga. Dia selalu maunya dipanggil Rian, karena menurut dia Tono itu nama yang kampungan. Sok kota banget emang manusia modelan begini.

Oh iya, aku pakai 'aku-kamu' ke Rian, Tono, apalah itu, bukan berarti karena kita deket, ya. Aku terbiasa pakai 'aku-kamu' ke orang yang aku kenal, mau sebenci apapun aku ke orang itu. Untuk ke orang yang lebih tua, aku menyebut diri sendiri dengan 'saya', dan menyebut mereka dengan menggunakan awalan 'Pak, Bu, Mba, Mas' lalu disertai nama mereka. Kalau ke orang tua sendiri, sih, pakainya nama sendiri.

Udah ga aku gubris si Tono yang masih sibuk ngegombal. Tujuanku cuma ke kelasku aja. Kalau sesuai rencana, aku akan taruh tas ranselku di kursi, lalu pergi ke toilet siswa. Tahu sendiri lah mau ngapain.

"Deaaaaa! Kemana ajaaaaaa?" tanya beberapa teman sekelasku yang cewek, begitu aku masuk ke kelas.

"Aku sakit. Ini juga masih ga enak badan, tapi dipaksain masuk," balasku, tentu aja bohong. Mana ada orang sakit tapi masih ngentot dan masturbasi seharian penuh.

"Ih, udah ga usah dipaksain. Kamu mah, takut banget disusul nilainya sama Freddy."

Aku spontan menengok ke arah orang yang habis disebut namanya. Yap, di sanalah dia, duduk di bangku paling depan di baris kedua. Cowok kuper yang masuk ke golongan murid pintar tapi ga gaul. Aku nyebut dia si nomor dua.

Siapa si nomor satu? TENTU SAJA AKU, HAHAHAHAHAHAHA.

Ehem.

Saat Freddy tahu kalau aku nengok ke arah dia, cowok itu langsung betulin letak kacamatanya pakai jari tengah. Anjir... gaya wibu. Malesin.

"He can take the first podium or whatever, I think I don't care anymore," gumamku, lalu jalan menuju kursiku sendiri. Kutaruh tasku, lalu lanjut lagi keluar kelas.

Baru saja kaki kananku menginjak ubin keramik pertama setelah melewati pintu kelas, bel tanda masuk sekolah berbunyi. Aku pun spontan mengepalkan tangan. Mampus. Mana memekku udah mulai kerasa berdenyut-denyut minta disentuh, lagi.

Akhirnya, demi menjaga citra siswa teladan, aku pun urung ke kamar mandi dan balik badan. Kembali ke mejaku.


———


KOK TIBA-TIBA ADA ULANGAN FISIKA DADAKAN, SIH?! Mampus banget, udah ga belajar akunya, harus nahan horny juga, terus ga boleh ke kamar mandi lagi. Guru Fisikaku memang terkenal disiplin kalau sedang ulangan. Siswa ga diperbolehkan ke kamar mandi sebelum ulangan selesai. Jadinya, aku cuma bisa merapatkan paha buat nahan rasa geli dan gatal di memekku, yang sudah basah banget dan ga sabar minta diapa-apain ini.

Lagian juga, kalau aku ke kamar mandi untuk masturbasi, aku yakin pasti akan lama. Masalahnya, aku belum selesai ngerjain soal-soalnya. Kalau aku tinggal, terus aku lupa waktu, nanti yang ada malah kena remidial akunya. Satu-satunya cara, ya selesain soalku dan tunggu durasi ulangannya kelar.

"Dea, Ibu diemin dari tadi, tapi kok kamu ga ada kesadaran untuk lepas jaket kamu, ya?" tanya si guru fisika, saat aku lagi berusaha fokus ngerjain soal terakhir.

Aku melongo dulu, sebentar. "Eh... anu, Bu. Itu... saya—"

"—Saya apa?" potong si ibu guru.

"Saya lagi sakit, Bu. Lagi demam. Kalo lepas jaket, saya kedinginan."

Si ibu guru langsung mendekat ke mejaku. "Iya, nih. Kamu keringet dingin," katanya, sambil perhatiin keningku, yang memang aku rasain lagi berkeringat. Sikapnya pun langsung melunak. Kombinasi citra siswi teladan, lagi dalam kondisi sakit, dan muka memelasku sukses bikin bu guru ga galak lagi. "Kamu ada batuk, ga?"

Aku menggeleng.

"Demam diatas 36,5 derajat?"

Aku menggeleng lagi.

"Pilek? Hilang penciuman? Pengecap?"

"Bu, saya cuma demam biasa. Ga covid, kok."

"Ibu cuma menjalankan SOP. Tindakan preventif." Bu guru kayaknya ngelirik ke lembar ujianku, lalu berkata, "coba diselesaikan dulu soal terakhirnya, Dea. Nanti Ibu ijinkan kamu ke UKS. Nanti Ibu bilang ke guru lainnya setelah jam pelajaran ini."

Aku. pun. tersenyum. lebar. Ga dapet kamar mandi, langsung dapet UKS. Bigger space, better place.

Ga sampai lima menit setelah itu, aku langsung nyerahin lembar ujianku ke si bu guru. Saat aku nyerahin, aku denger suara bisik-bisik di belakangku.

"Gila si Dea, udah selesai aja."

"Otaknya laen emang."

"Dia mah hobi bikin ngiri orang lain."

Aku tersenyum bangga mendengarnya. Komentar-komentar sirik itu lebih seperti pujian bagi kupingku.

"Aku duluan, ya, kawan-kawan mediokerku!" ucapku, sambil melambaikan tangan ke teman-teman kelasku yang menyedihkan.


———


Tahu, ga, alasan kenapa aku pakai hoodie ke sekolah hari ini? Tentu saja aku pakai seragam juga di baliknya. Kerah seragamku menyembul dari lubang leher hoodieku, kok. Masalahnya adalah, aku ga pakai kaos dalam dan bra di balik seragamku! Kalau hoodienya aku buka, ya kelihatan jelas dong kalau aku ga pakai bra.

Jadi, ketika sampai di dalam UKS, langsung saja kubuka hoodieku. Ah... aku merasa lebih bebas. Untung saja lagi ga ada yang menjaga UKS, jadi aku bisa bebas buka hoodie dan membiarkan putingku mencuat hingga timbul di seragam. Untuk jaga-jaga, kukunci pintu UKS dari dalam, jadi aku akan tahu kalau ada orang yang mau masuk, dan memberi cukup waktu untuk beberes.

Kupreteli kancing seragamku, hingga lepas semua. Sekarang, belahan tetekku makin bebas terekspos lewat celah seragam yang membuka. Nah, ini bagian pentingnya. Selain ga pakai bra, aku ke sekolah juga ga pakai celana dalam. Jadi, di balik rok lebar dan panjang sebetis yang kupakai, ga ada apa-apa lagi selain kulitku.

Sumpah, rasanya deg-degan banget ke sekolah ga pakai daleman. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga ada sensasi excited gitu. Gimana, ya... rasanya tuh, kayak, aku harus bersikap biasa aja, tapi aku tahu kalau aku ketahuan, maka tamat reputasiku. Ini memberi sensasi berlebih yang bikin aku makin horny.

Aku pun mencopot dasiku, lalu mengikatkannya ke kepala belakang, membekap mulut. Aku ingin memastikan kalau suaraku ga keluar dari ruangan ini. Untuk proteksi ganda, kupakai kembali maskerku.

Setelahnya, aku duduk di atas ranjang UKS. Kebetulan, ranjang tempat aku duduk berseberangan dengan lemari peralatan kesehatan yang mepet ke tembok di belakangnya, dan berhadapan persis denganku. Di salah satu pintu lemari itu ada cermin yang cukup panjang, sehingga aku bisa melihat pantulan diriku sendiri yang sedang mengangkang lebar sambil mengelus-elus memekku yang sudah banjir.

"Uuuhhh... udah ga sabar minta disentuh, ya?" Aku mulai membelai bibir memekku, dan seketika rasa merinding itu hadir. "Nngghhh... ga pernah ga enak emang ngelus memek sendiri..."

Karena sudah horny berat, aku ga sanggup untuk mengatur tempo masturbasiku. Kugesek memekku dengan cepat, dan beberapa kali aku menggelinjang heboh saat ada bagian tertentu di memekku yang tersentuh. Aku yang penasaran, langsung memelankan tempo gesekanku, lalu meraba pelan. Mencari-cari bagian yang enak itu.

"Ini... apa, kayak kacang gini bentuknya? Lucu banget, kacang pink."

Aku terheran saat menunduk, melihat ada bagian daging kecil yang mencuat, berada di pertemuan bibir memek bagian dalamku, tepat beberapa senti di atas lubang kencing. Saat belajar bagian reproduksi wanita, aku menghafal nama-nama berikut letak bagian organ wanita di buku pelajaran, tapi selama ini ga pernah berani untuk melongok ke milikku sendiri. Saat masturbasi kemarin pun, aku cuma fokus bermain di lubang memekku saja. Jadi aku bingung, daging kecil mirip kacang polong ini tuh apa.

Lalu aku ingat, bahwa ada bagian kecil bernama klitoris yang terletak pada bagian anterior vulva. Bagian ini begitu kecil, hingga seringkali tersembunyi saat labia minora menutup. Aku pun meraba bibir memek bagian luar, lalu berasumsi kalau bagian itu adalah labia majora. Saat aku membuka labia majora, ada lapisan lainnya yang lebih kecil, yang aku asumsikan adalah labia minora. Kalau aku ikuti jalurnya ke atas, maka aku akan menemukan klitoris di pertemuan labia minora. Tapi... klitorisku kok kayak beda, ya? Bentuknya kayaknya lebih besar dari yang ada di buku? Kayak bengkak dan memerah gitu.

"Mmmppphhhhh..."

Saat kusentuh bagian itu, meski pelan, aku langsung seperti merasa tersetrum! Aku melenguh panjang. Klitorisku enak banget pas disentuh! Gila, rasanya kayak langsung melayang. Geli, enak, tapi bikin nagih. Akhirnya kusentuh lagi. Lalu aku melenguh lagi. Kuulangi lagi. Lagi...

"Hhmmmpp... nngghhh... uuuhhh... uuuhhh... aaahhh... mmmmhhh..."

Bekapan dasi pada mulutku sukses membuat desahanku tertahan. Karena yakin ga akan terdengar ke luar ruangan, aku meneruskan menyentuh klitorisku. Kali ini, aku berimprovisasi. Kuputar-putar kacang kecil itu, habis itu kugesek ringan, dan saat nafsuku sudah memuncak, aku menggeseknya dengan cepat. Desahanku makin menjadi-jadi, dan badanku menegang. Aku terus memainkan klitorisku sampai tiba rasa enak bergulung-gulung yang mengumpul di memekku.

"HHHNNGGGG... NNGGGHHHHHHHHHHHH... HMMMPPPPPPPPP... OOOOOOHHMMPPHHH..."

Aku pipis, deras banget ke lantai! Pipis beningku muncrat beberapa kali, membasahi beberapa petak ubin di depanku. Badanku bergetar heboh menyambut orgasme keduaku hari ini. Mataku melotot, melihat pipisku yang masih terus muncrat ga karuan ke lantai. Sementara kedua tanganku mencengkram kencang sprei ranjang UKS.

Setelah badai orgasme mereda, dan pipisku berhenti, aku langsung merebah ke ranjang. Kedua kakiku masih mengangkang, masih dalam kondisi melipat. Aku berusaha mengatur nafas, tapi rasa bersemangat karena menemukan stimulasi baru membuatku ga sabar dan langsung memulai sesi masturbasi berikutnya.

Lalu, aku pipis lagi. Berkali-kali. Kueksploitasi habis-habisan klitorisku, dan tiap orgasme yang datang karenanya membuatku pipis yang heboh dan berantakan. Aku sudah lupa hitungan berapa kali aku orgasme. Yang jelas, saat aku merasa sudah cukup puas dan bangun dari posisi rebahan, aku langsung bingung saat melihat air bening yang menggenang di lantai samping ranjangku.

"UKS ini punya alat pel, ga, ya?"





Nympherotica♡
 
Terakhir diubah:
Mantap suhu, boleh tau nama asli nyaatau ig nya bu siska suhu ? Lumayan buat bacol XD
 
Bisa tanya hu nama obat perangsang nya apa ya, siapa tahu bisa beli di alam nyata....hahaha
 
asik nih lanjut lagi ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd