Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KEMBANG KOMPLEKS (collab with @killertomato)

Sorry Suhu Fathimah & Om Tomato Baru Bisa MeReviuw Chapter IV Open House.



Konflik Panas Empat R

Pasangan Keluarga Raka & Rizka Akhirnya Akan Memulai Petualangan Liar Mereka. Rizka Yang Akan Terjun ke Dunia Youtuber Dengan Berpatner Dengan Rhoma, Dan Perkenalan nya Dengan Revan di Open House Juga Menarik Untuk di Bahas Kedepannya. Sementara Raka Yang Memiliki Sisi Liar Dalam Dirinya Nampaknya Akan Mencoba Peruntungannya Dengan Ayu Sang Dara Perawan. huehuehue



Dari Geng Cilukba

Jelas Sudah Bahwa Lita & Jae-Boom Memiliki Hubungan Spesial Sebagai Partner In Crime.

Rima Mulai Mendapatkan Pasangan Duetnya Setelah Adanya Pak Rebo Kini Giliran Nama Jay Masuk Jajaran. Gina vs Rima. hehe. Ideal. Sulit Menentukan Mana Yang Tercantik. Gina Sendiri Masih Akan Meriset Para Pemulung - Pemulung Kedepannya, Akankah Ada Beastnya di Tengah Kumuh nya Ibu Kota ?? Layak di Nantikan. Belum Lagi Munculnya Gandi Dengan Dendamnya Terhadap Jay di Masa Lalu. Duo G Nampaknya Akan Menjadi Satu. huehuehue

Tuti. Saya Masih Optimis Bahwa Janda Gatel Itu Memiliki Hubungan Dengan Arga Sang Gigolo Universitas Jaya Abadi.



Shani Cari Masalah Dengan Mas Joko. Bahaya nii. Bisa Menjadi Mangsa Selanjutnya Buat Mas Joko. huehuehue



Semoga Ada Menu Buka Puasa ya Suhu. huehuehue

Salam Semprot
 
gw janji ngga akan coli sblm rizka dan rima di eksekusi.. sbar menunggu.
smoga ini cerita tamat sperti kembang kampus 🤘🏻 tetaap semangat
 
PART 5: DILEMA HATI

Ketika hari telah beranjak malam, Rima baru merasakan tubuhnya yang sedikit pegal di sana-sini. Menghadiri acara open house tetangga barunya yang berlangsung hari ini ternyata cukup menguras tenaga. Perempuan berparas cantik itu memang hanya mengisi waktu dengan mengobrol dengan para tamu sepanjang acara, tetapi ada beban cukup berat yang harus terus menerus ia gendong. Belum lagi ditambah ia harus beberapa kali menyendiri di toilet untuk memberikan ASI kepada Radja.

MEIF4GV_t.png


Saat ini, Rima tengah berbaring di ranjang yang biasa ia tempati bersama sang suami. Ia hanya mengenakan daster panjang dan sepasang dalaman di baliknya. Sang bayi yang baru berusia sekitar sembilan bulan sudah tertidur pulas, setelah menetek pada puting payudara ibunya barusan. Sesekali Rima memijat buah dadanya.

Pikiran perempuan tersebut kembali ke saat dia pulang dari rumah pasangan Jay dan Gina sore tadi. Berbeda dengan waktu berangkat, ia justru kembali bersama suami istri yang merupakan tetangganya, yaitu Rizka dan Raka. Keduanya tampak masih begitu mesra dan bahagia, meski belum mempunyai buah hati seperti dirinya. Rima pun tidak bisa menutupi rasa iri yang muncul di dalam hatinya.

Rima pun melirik jam yang tergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saat melihat ke arah ponsel, tidak ada satu pun panggilan atau pesan yang masuk. Tidak biasanya memang sang suami mengabaikannya seperti itu, tetapi Rima berusaha untuk tetap berprasangka baik bahwa tambatan hatinya tersebut mungkin sedang sibuk bekerja. Ia pun berinisiatif untuk menelepon lebih dulu.

Krriiinng... Krriiinng...

Di panggilan pertama, telepon tersebut tidak juga diangkat. Namun Rima tidak menyerah, dan berusaha menelepon lagi. “Apa jangan-jangan Mas Ryan sudah tidur?” Gumamnya.

Krriiinng... Krriiinng...

Tak lama kemudian, akhirnya telepon itu tersambung. Sebuah senyum pun tersungging di bibir manis Rima.

“Halo...”

“Halo, Mas...”

“Ada apa Ma, kok telepon malam-malam?”

“Lagi kangen aja, hehehe. Aku nggak ganggu kan? Lagi nggak sibuk?”

“Nggak kok, Sayang.”

Dalam hati, Rima sebenarnya merutuki sikap suaminya tersebut. Kalau memang sedang tidak sibuk, mengapa ia tidak menelepon Rima lebih dahulu. Namun sebagai istri yang setia dan pengertian, ia tidak mau menampakkan kekesalannya tersebut, khawatir sang suami malah berbalik marah.

“Radja mana? Sudah tidur?”

“Sudah dong, kan sudah jam segini. Tapi paling nanti kalau haus juga bangun lagi, minta nenen sama mamanya.”

“Kamu kenapa belum tidur juga, Ma?”

“Belum ngantuk. Cuma pegel aja habis datang acara open house di rumah Pak Jay dan Bu Gina, penghuni baru di rumah nomor 6 itu, Mas.”

“Oh, yang katanya pasangan desainer grafis dan dosen itu ya?”

“Betul.”

“Ramai acaranya?”

“Ya lumayan lah. Isinya cuma penghuni kompleks sama teman-teman pemilik rumah saja. Mas Ryan kapan pulang?”

“Nah, aku sebenarnya mau bicara soal itu.”

“Ada apa memangnya, Mas?”

“Ternyata masalah yang terjadi di pabrik ini lebih pelik dari yang aku bayangkan. Aku bahkan ditunjuk untuk menggantikan posisi pimpinan yang sebelumnya untuk sementara. Kacau banget deh pokoknya. Banyak yang harus diselesaikan jadi kepalaku lumayan pusing.”

“Loh, kok bisa begitu? Sepertinya Mas nggak ngomong apa-apa sebelum berangkat.”

“Makanya ini aku ngomong, Ma. Lagipula aku juga tidak tahu kalau masalahnya akan serumit ini. Sewaktu berangkat, atasan Mas cuma bilang kalau di sini ada masalah. Aku sama sekali nggak nyangka masalahnya ternyata cukup gede.”

Rima tidak bisa berbohong bahwa ia merasa sangat kesal. Hal itu pun tercermin dari kata-katanya di telepon yang lebih tinggi dari biasanya. Namun ia berusaha untuk tetap menahan diri, demi menjaga hubungan baiknya dengan sang suami.

“Jadi, kira-kira kapan Mas pulang?”

“Belum tahu, Ma.”

“Atau lebih baik kalau aku susul saja Mas ke sana?”

“Lha? Ngapain? Jauh lho. Tidak usah, Ma. Kasihan kamu dan Radja kalau harus capek-capek menyusul Mas. Lagipula paling lama hanya sebulan Mas di sini.”

“Sebulan itu lama lho, Mas. Siapa yang urus Mas nanti di sana?”

“Kamu nggak usah khawatir, di sini sudah ada Resty kok.”

Degg... Hati Rima seperti berhenti mendengar kata-kata suaminya tersebut. Mengapa tiba-tiba dia menyebut nama perempuan lain? Semua informasi yang tiba-tiba meluncur dari bibir suaminya tersebut seperti memberikan tekanan tersendiri pada kepala Rima. Perempuan tersebut pun merasa sedikit pusing.

“Resty? Resty siapa, Mas?” nada suara Rima berubah.

“Oh... Itu lho, Ma... Aduh bagaimana ya bilangnya. Dia itu orang pabrik, yang memang ditugaskan divisi administrasi untuk mengurus akomodasi selama aku tinggal di sini. Orangnya cekatan, jadi Mama tidak perlu khawatir.”

Rima pun mendengus kesal. Apabila perempuan tersebut terlalu cekatan seperti kata-kata suaminya, bukankah ia justru seharusnya merasa khawatir. Namun bila Rima menuruti emosinya, ia khawatir rasa pusing di kepalanya justru akan bertambah. Ia pun memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.

“Ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, Mas iseng banget sih.”

“Iseng bagaimana maksudnya Ma?”

“Ya, iseng. Pakai acara kirim-kirim permainan segala untuk Mama, hehehe. Lucu tahu.”

“Permainan? Permainan apaan? Jangan ngaco ah. Mama ngomong apa sih? Mas nggak pernah kirim macam-macam kok ke Mama.”

“Hihii... Mas nggak usah pura-pura. Aku tahu kok semuanya. Kamu kan dari dulu memang suka konyol seperti itu. Demen banget nge-prank.”

“Yaelah malah prank segala dibawa-bawa. Hmm, Mas nggak ngerti Mama lagi ngomong soal apa. Tapi beneran, Mas tidak pernah…” tiba-tiba Ryan seperti terdistraksi oleh sesuatu, “Eh, sebentar ya Ma, bos tiba-tiba telpon nih. Nanti aku telpon lagi.”

“Oke, deh...”

Perempuan tersebut sebenarnya ingin memperbaiki mood-nya dengan menelepon sang suami. Tapi apa daya, obrolan dengan Ryan justru membuat pikirannya jadi berantakan. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepala Rima, tentang mengapa suaminya tidak juga kunjung pulang ke rumah, apakah ia jujur tentang alasan mengapa ia tetap berada di sana, lalu siapa itu Resty?

Namun, pertanyaan utama yang paling ingin diketahui jawabannya oleh Rima, adalah kebenaran terkait kotak permainan yang berkali-kali muncul di teras rumahnya, tanpa ia ketahui siapa pengirimnya. Selama beberapa hari terakhir kotak tersebut selalu datang, dan hanya berisi secarik kertas yang berisi hasil dari level sebelumnya, di mana Rima selalu sukses melewatinya dengan baik. Selain itu, kotak tersebut pun berisi perintah untuk maju ke permainan level berikutnya. Dan semakin lama, perintah yang muncul dari permainan tersebut terasa semakin menantang.

“Apabila bukan Mas Ryan yang mengirimkannya, lalu siapa? Malam ini kotak tersebut pun kembali muncul dengan perintah baru yang cukup unik, apakah aku harus melaksanakannya juga?” Pikir Rima dalam hati.

Namun begitu keraguan tersebut muncul, kepala Rima tiba-tiba didera rasa sakit yang begitu hebat. Rasa perih ini memang sempat datang ketika perempuan tersebut menerima kotak permainan rahasia untuk pertama kalinya, dan merasa bahwa perintah di dalamnya adalah sesuatu yang harus ia abaikan. Namun ketika Rima akhirnya coba memenuhi perintah tersebut, rasa sakit di kepalanya pun hilang.

“Rasa sakitnya, seperti ketika aku mengingat momen kepergian Rama…”

Karena itu, Rima pun memutuskan untuk melaksanakan perintah yang baru saja ia terima. Dan betul saja. Begitu keyakinan itu datang, meski baru sebatas niat, rasa sakit yang semula menerpa pun hilang. Namun tantangan kali ini bisa dibilang cukup berat, bagaimana Rima akan menyelesaikannya?


***​


Pagi-pagi sekali, Rima telah bangun dari tidurnya, yang sebenarnya seperti putus nyambung karena bayinya yang sering tiba-tiba terbangun. Namun hal itu tidak menghalangi perempuan cantik itu untuk memulai hari dengan bersemangat.

Seperti hari ini, di mana ia telah tampak sibuk di dapur dan memasak dengan sangat serius.

Ia memperhatikan buku resep, memperhatikan tutorial di Youtube, memperhatikan petunjuk di internet. Semua ia lakukan agar hasilnya sempurna. Dia tidak mau masakan pagi ini jadi masakan yang mengecewakan. Seumur hidup, baru sekarang dia merasa bersemangat seperti ini, seolah-olah makanan yang sedang ia masak nantinya akan dinilai oleh juri Masterchef.

Selain untuk menjaga kualitas hidangan yang sedang ia buat, Rima pun berusaha lebih serius demi menghilangkan rasa kecewa yang ia pendam sejak semalam. Sang suami yang katanya akan menelepon balik, tidak juga menghubungi dirinya. Hingga perempuan tersebut akhirnya terlelap dan masuk ke alam mimpi.

Kenapa sih Mas Ryan tidak menghubunginya lagi semalam? Sedang apa dia? WhatsApp-nya hanya centang satu, sepertinya ia sama sekali tidak membuka WA. Ditelpon pun tidak diangkat. Ke mana suaminya? Ke mana sang suami di saat ia benar-benar membutuhkan perhatian darinya? Ada apa dengan Ryan? Apakah dia begitu sibuknya sampai-sampai sama sekali tidak ada waktu untuk membuka handphone?

Dasar ih.

Masa tidak ada prioritas? Apakah dia tidak ingat pada anak istri di rumah? Apakah dia lupa? Apakah dia tidak ingat...

Rima melirik sebentar ke arah ruang keluarga, yang berada tidak jauh dari dapur tempatnya meracik masakan. Radja tampak sudah bangun dari tidurnya, dan bangkit ke posisi duduk. Sang Ibu tidak terlalu khawatir karena bayi yang sudah beranjak besar tersebut berada di kasur empuk yang cukup lebar, sehingga tidak akan terguling begitu saja ke lantai.

“Eh, anak pinternya Mama udah bangun. Tunggu sebentar ya, Nak. Mama sedang masak dulu,” ujarnya dari arah dapur.

Radja tidak menoleh. Pandangannya justru tertuju ke layar televisi yang sedang memutar serial animasi anak-anak Rupin dan Ripin. Konsentrasinya segera terpusat pada Tuk Dalang yang sedang mengejar-ngejar si Rambo sang ayam jago. Tak jelas memang apakah bayi sekecil itu sudah mengerti tentang cerita yang ia tonton tersebut atau belum.

Melihat anaknya sudah tenang di posisi yang nyaman, Rima pun melanjutkan aktivitas memasaknya. Sampai di mana tadi? Ah ya... masukkan telur... telurnya berapa banyak? Buru-buru Rima memeriksa resepnya kembali. Mana tadi resepnya? Duh halamannya kok kebalik? Aduh, panasnya harus seberapa ini apinya? Mana tadi resepnya? Mana... mana... aduh... duh...

Rima? Kok kamu jadi panik? Ayo tenangkan dirimu.

Huff.

Rima memejamkan mata, menarik napas panjang, dan tersenyum sendiri. Kenapa sih Rima? Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa jadi tidak percaya diri? Kenapa jantungmu berdegup lebih cepat dari seharusnya? Ayo fokus. Kamu pasti bisa kok. Kamu kan pernah melakukan ini. Rima menarik napas panjang dan menghelanya pelan-pelan.

Ya udah, sekarang fokus dan konsentrasi pada masakan. Yuk.

Yuk...

Yuk…


***​


“Ini Pak, maaf ya seadanya. Maklum sebenarnya saya tidak bisa masak. Hanya pura-puranya saja bisa masak. Hihihi. Mudah-mudahan bisa dinikmati.”

“Wah, ini dari baunya yang harum sudah ketahuan kalau enak sekali. Terima kasih banyak, Bu...”

“Panggil Rima saja, Pak. Memangnya usia saya sudah seperti ibu-ibu?”

“Maaf, Bu... ehm... maksud saya... Rima.” Pak Rebo nampak kikuk saat wanita jelita di hadapannya menatapnya sambil tersenyum luar biasa manis. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang bisa mengatasi pesona semacam ini?

MEIF4GV_t.png


Pagi ini, saat ia sedang membereskan bagian dalam rumah seperti biasa, Pak Rebo memang mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Hal itu jelas merupakan sesuatu yang aneh, karena selama ini tidak ada tamu yang pernah berkunjung ke rumah nomor 13 tersebut. Anak perempuannya memang sering datang saat mempunyai waktu luang dari pekerjaan kantornya, tetapi dia juga pasti akan langsung masuk tanpa repot-repot mengetuk pintu. Begitu keluar, tiba-tiba saja Pak Rebo bertemu dengan Rima, sang bidadari yang datang membawa rantang berisi roti dan lauk makan.

Mata laki-laki tua itu menatap keindahan di depan matanya tanpa berkedip, penuh rasa kata-kata pujian yang sebaiknya ia simpan untuk diri sendiri saja. Mana mungkin ia ungkapkan rasa kagumnya secara langsung di depan si cantik itu? Apalagi perempuan itu setahu dia sudah mempunyai seorang suami.

Namun Pak Rebo jelas tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya bertemu dengan Rima. Ia tidak paham lagi, bagaimana mungkin ada makhluk yang seindah ini di dunia? Senyum Rima benar-benar membius dan penuh pesona. Ia pasti tidak akan heran kalau suatu saat nanti ada orang yang mempunyai niat jahat dan mencoba melecehkannya, karena ingin menikmati keindahan yang ditawarkan oleh sang ibu muda jelita itu.

“...Pak Rebo...?”

Pak Rebo masih bengong.

“Pak Rebo...?”

“Eh! I-iya... maaf... maaf...” Barulah pria tua itu tersadar dari lamunannya. “Maafkan saya. Jadi ngelamun malah barusan. Jujur saya merasa agak canggung memanggil nama secara langsung, seperti tidak sopan. Oh iya, sekali lagi terima kasih makanannya. Sebenarnya tidak perlu repot-repot.”

“Saya tidak merasa keberatan dan kerepotan, Pak. Justru sebaliknya. Kita kan sudah menjadi tetangga yang rumahnya berhadap-hadapan, masa iya tidak pernah mongobrol. Bagi saya, rasanya aneh sekali. Seharusnya kita bisa lebih akrab bukan? Pak Rebo tidak perlu sungkan-sungkan kalau butuh bantuan dari saya atau suami. Kami berdua pasti akan membantu Pak Rebo kapan pun diperlukan.”

“Begitu ya.”

Rima mengangguk dan tersenyum. “Baiklah kalau begitu, selamat menikmati. Mudah-mudahan enak. Saya pamit dulu ya, Pak.”

“Baiklah. Terima kasih, Bu... eh, maksud saya... Rima.”

Rima tertawa dan meninggalkan Pak Rebo.

“Ehm, Rima...”

Rima agak terkejut ketika Pak Rebo tiba-tiba saja memanggilnya. Wanita berkerudung yang cantik itu menengok ke belakang dan menatap Pak Rebo. “Iya, Pak?”

“Kamu serius saat tadi bilang kalau saya boleh minta bantuan apa pun?”

“Serius, Pak. Memangnya mau minta tolong apa?” Tanya Rima sambil menimang-nimang Radja yang masih berada di gendongannya.

Ia tidak sadar bahwa keberadaan sang bayi, meski di posisinya yang biasa, telah membuat payudaranya seperti tertekan dan maju ke depan. Pemandangan itu jelas membuat Pak Rebo sampai harus berkali-kali menahan air liurnya agar tidak keluar.

“Minggu ini saya harus menghadiri satu acara yang saya tidak begitu percaya diri untuk menghadirinya, apalagi saya tidak punya teman atau kerabat yang bisa menemani. Apakah kira-kira Rima berkenan menghadiri acara tersebut bersama sa...” Pak Rebo terdiam dan menggelengkan kepala, “Ah, rasanya tidak sopan meminta tolong untuk hal seperti ini. Maaf, lupakan saja.”

Rima menghela napas dan tersenyum, “Apa sih, Pak? Kok belum-belum sudah merasa bersalah seperti itu? Saya mau kok. Asalkan tujuannya jelas dan tidak membuat orang berpikiran aneh-aneh. Memangnya Pak Rebo mau mengajak saya ke mana?”

“Mantan adik ipar saya anaknya menikah hari ini.”

“Eh?”

Sebentar-sebentar... Pak Rebo ngajakin Rima datang ke kondangan?

“Jujur saya sebenarnya tidak pengen datang. Tapi saya tidak ingin membuang kesempatan untuk menawarkan kue bolu saya ke saudara lama juga, meski itu hanya dengan menyebarkan kartu nama. Ah, memang tidak sopan saya ini. Lupakan saja permintaan saya yang barusan. Saya akan datang sendiri saja, ini kan kebutuhan saya, tidak perlu melibatkan Rima. Maaf tadi saya keceplosan.”

Rima berdehem, seolah ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya. Serat-serat saraf yang berada di otaknya tiba-tiba bekerja sangat keras. Dalam kondisi normal, ia pasti sudah menolak ajakan tersebut, karena mana ada seorang istri yang menemani pria asing untuk datang ke resepsi pernikahan.

Namun ini adalah kesempatan emas untuk melaksanakan sebuah misi rahasia yang bila tidak dipenuhi, seringkali membuat kepalanya sakit tidak kepalang. Rima tahu, bahwa ia harus mengambil keputusan yang tepat, dalam waktu singkat.

“Saya bersedia, Pak. Asal saya boleh membawa Radja ikut serta ke acara tersebut.”

“Ha?” Pak Rebo melotot.

“Jadi... kapan kita berangkat?”

Sekarang giliran Pak Rebo yang terkejut.


***​


“Kamu berangkat kerja jam berapa?” tanya Raka sembari memakai sepatu kerjanya.

Sementara sang istri masih sibuk mempersiapkan bekal untuk sang suami tercinta. “Mungkin sekitar tengah siang, aku juga belum tahu jadwal hari per hari dari Mbak Ratih, Kang. Cuma untuk hari ini diminta bersiap agak siangan. Tidak apa-apa kan? Paling cuma sebentar saja.”

“Hmmmhh... kalau sebentar boleh, kalau lama sebaiknya tidak. Tapi ya hati-hati saja ya. Mudah-mudahan semua lancar. Kalau ada apa-apa yang aneh, berbahaya, atau di luar batas wajar, hubungi saja aku. Aku pasti akan datang menjemputmu. Setelah aku baca-baca kontrak kerjamu ternyata memang agak-agak gimana gitu.”

Rizka tersenyum, dia bahagia sang suami masih peduli, jelas lah dia harus peduli sama istri sendiri. Awas aja kalo nggak. “Iya, Kang. Kan Akang sendiri yang kemarin mengiyakan. Katanya boleh.”

Raka mendengus dan mengangguk. Dia menyesal kemarin tidak benar-benar mendengarkan apa yang diucapkan sang istri. Kalau saja dia sadar apa yang istrinya bicarakan, pasti dia tidak akan memperbolehkan. Aneh saja rasanya membiarkan istri sendiri main pacar-pacaran dengan jamet kuproy yang kewarasannya kurang sesendok. Raka diam-diam menonton vlog-vlog milik Rhoma Wedhus dan sepertinya bukan vlog yang mendidik.

Membiarkan Rizka tenggelam ke dunia itu bukan hal yang disarankan, tapi sayang kontrak sudah ditandatangani. Mereka akan terkena penalti yang cukup lumayan seandainya putus di tengah jalan.

MEIF4GZ_t.png


“Boleh sih boleh, tapi tetap waspada ya. Aku kurang percaya sama si Wedhus itu. Mukanya ketahuan kalau orangnya ga banget. Mungkin sering ngobat juga, aku kurang suka sama dia. Tapi siapa tahu sebenarnya dia tidak seperti penampilannya dan ini semua hanya dugaanku saja.”

Rizka tersenyum, dia senang sekali kalau Raka memperhatikannya seperti ini, seperti saat mereka pacaran dulu, kangen banget diperhatikan seperti ini oleh sang suami. “Tenang saja, Kang. Aku tahu kok batas-batasnya.”

Raka mengangguk, dia percaya Rizka tahu apa yang terbaik. Raka pun mengangkat gelas kopi-nya dan menyeruput setarikan. Ah, memang ga ada yang ngalahin kopi di pagi hari seperti ini, berjuta banget rasanya.

“Eh, ehm... aku berangkat dulu ya.” Raka mengambil bekal yang sejak tadi disiapkan oleh Rizka. Namun, ia lupa membawa tumbler minuman yang sedang diisi oleh sang istri.

“Eh? Kang? Minumannya, Kang?”

“Oh, iya. Akang sampai lupa. Terima kasih ya sayang, sudah diingatkan,” jawab Raka sambil mengecup kening sang istri.

Setelah itu, Raka langsung menggeber motor, dan meninggalkan rumah. Dari teras rumah, ia melihat kepergian sang suami tercinta sampai sosoknya hilang dari pandangan.

Rizka kemudian melanjutkan aktivitasnya untuk membenahi menyapu, dan merapikan rumah. Dia sendiri juga harus bersiap – mandi yang bersih, siapkan baju terbaik, pakai minyak wangi, dan berdandan yang cantik. Karena tidak lama lagi Rhoma dan rombongan Mbak Ratih pasti akan datang menjemput. Dia bohong pada Raka akan berangkat agak siang karena tak mau suaminya terlalu khawatir kalau Rizka harus bekerja dari pagi sampai sore nanti.

Benar saja, tak lama setelah Rizka selesai berdandan terdengar bunyi klakson mobil di depan rumahnya. Klakson mobil yang cukup mengganggu.

Rizka buru-buru keluar, mengunci pintu rumah dan berlari ke mobil yang sudah menunggunya. Hanya ada satu mobil saja yang datang. Ia masuk ke kursi penumpang di mobil yang parkir tepat di depan rumahnya.

Rhoma tersenyum menyambut Rizka, “Halo, selamat pagi Mbak Rizka. Widih, cuaaantik banget. Bisa munduran dikit ga, Mbak? Cantiknya kelewatan. Hahahahaha. Sudah siap?”

Tumben sopan nih kang cilok, batin Rizka dalam hati. Tampilan Rhoma semakin membuat istri Raka itu jengah. Rambut dipotong ala-ala punk dengan warna campuran pink dan hijau, kaus hitam band metal yang entah asalnya dari mana, pakai maskara hitam entah supaya apa, mungkin maunya serem, tapi malah bikin geli.

“Siap, Mas. Mohon bantuannya, ya. Mulai hari ini saya jadi partnernya.”

“Siap. Dibikin santai saja, Mbak. Kita jalan ya.”

Rizka mengangguk sembari memasang sabuk pengamannya. Dia melirik ke dashboard mobil yang sudah tersemat beberapa kamera untuk mengambil adegan akting mereka berdua. Ada kamera yang di tengah, kanan dan kiri. Rizka melirik ke belakang.

“Mbak Ratih mana, Mas?”

“Mbak Ratih tidak bisa ikut sore ini, Mbak. Jadi hanya kita berdua saja. Tidak apa-apa, ya. Supaya Mbak-nya bisa santai, kita take untuk satu atau dua episode saja hari ini. Di hari-hari berikut mungkin bisa untuk tiga episode atau lebih, tolong besok-besok bawa baju dan kerudung ganti supaya bisa ganti penampilan dan pakaian jadi tidak terlihat kita melakukan take dalam sehari, Mbak.”

“Oh gitu, baik, Mas.”

“Oke, untuk script hari ini sudah dikirim sama Mbak Ratih, kan? Bisa dicek di WA ya, Mbak.”

“Oh, sudah semalam, Mas. Sudah saya baca juga.”

“Oke berarti kita ready ya. Ingat ya Mbak, ini cuma akting, jadi santai aja.”

“Siap.”

Mobil Rhoma berhenti di sebuah kafe tak jauh dari sebuah mal besar. Tempat ini cukup terang, pencahayaan juga tidak perlu banyak repot karena suasana mendukung. Lokasi cukup lengang dan sepi, cocok untuk pengambilan gambar. Rhoma sudah beberapa kali mengambil gambar di sini dan pemiliknya pun sudah konco dewe.

Setelah turun dan memesan makanan, Rhoma dan Rizka ke posisinya masing-masing. Rhoma masuk ke mobil untuk memulai intro, Rizka duduk di kursi yang ada di kafe. Semua kamera sudah disiapkan oleh Rhoma. Satu dia bawa, satu lagi ada di depan meja Rizka.

“Halo semuanya! Apa kabar gengs?! Ketemu lagi dengan saya Rhoma Wedhus Kapurbarus, yang punya wajah heavy metal tapi hati karet sendal. Hahahah. Sembari diiringi lagu Tempat Biasa-nya Anak Kompleks, kita mau masuk ke kafe ini nih. Kafe opo ya iki? Kafe Ahmad namanya. Hahaha. Oke lah kalo begitu. Nah Rhoma mau ngapain ke kafe ini? Jadi begini gengs, selama ini Rhoma ga pernah bilang-bilang ke gengs sekalian kalo Rhoma itu benere sedang deketin gebetan nih. Orangnya kek apa? Yang jelas orangnya cantik, alim, semampai, dan pokoke tipe-nya Rhoma banget wes to. Setelah sekian lama, akhirnya Rhoma hari ini beranikan diri untuk nembak nih, gengs. Kira-kira jawabannya apa ya? Jawabannya apa gengs? Yuk ikuti gengs.”

Rhoma pun turun dari mobil sembari membawa bunga seikat. “Duh tegang nih gengs. Kira-kira jawabannya apa ya? Diterima atau ditolak gengs? Silakan tulis jawabannya di kolom komentar ya. Bagi yang bener, nanti Rhoma pilih buat bagi-bagi giveaway. Gimana? Joss to? Wes tah, joss pokoke kalau jadi sebskreber-e Rhoma Wedhus Kapurbarus. Jadi jangan lupa sebskreb, like, komen, dan nyalakan lonceng notifikasinya.”

Rhoma menyembunyikan buket bunganya di meja kasir. “Mbak, hari ini saya mau nembak cewek saya. Nitip bunganya dulu ya. Nanti kalo saya kodein, bisa minta tolong anterin?”

Sang kasir awalnya bingung, tapi lantas sadar ketika Rhoma menunjuk ke arah kameranya.

“Oh, baik Mas. Buat konten ya?”

“Hehehe, iya. Tolong ya, Mbak. Sama minta Teh Bolot-nya satu.”

“Baik, Mas.”

Dalam hati, kasir itu pun penasaran dengan hasil akhir perjuangan si Rhoma. Emang mau tuh cewek se-ekslusif Rizka ditembak sama sapu lidi selokan kayak Rhoma begini? Dilihat dari sisi manapun tidak akan bikin garis keturunan membaik, malah anjlog.

“Hai, halo.” Rhoma sok akting mencari-cari Rizka sebelum akhirnya menemukan juga si cantik itu sedang duduk di luar kafe, menatap indahnya pemandangan gunung menjulang. Rhoma pun duduk di samping Rizka dan meletakkan sebotol teh kemasan di atas meja. Di depan Rizka sendiri sudah ada cemilan pisang goreng lumur coklat keju dan french fries. “Kamu di sini toh.”

“Iya. Emang kenapa?”

“Aku nyariin kamu lho sedari tadi.”

“Oh ya?”

“Iya... nih buktinya minumnya tinggal separuh. Aku nungguin di meja yang di belakang, kirain kamu kesana, eh ternyata di sini. Hahahahhaha. Kamu nggak ngabarin sih dari tadi.”

“He’em. Tapi kan barusan udah ngabarin, Mas?”

“Iya. Barusan. Lama ngabarinnya, sampai minumnya udah ampir habis. Tapi gapapa, nanti pesan lagi. Kafe ini emang asyik banget, menunya juga lengkap. Mulai dari kopi susu sampai es kelapa muda semua ada, semua enak, semua murah. Eh, Memangnya tadi kamu di sini sama temen? Aku ga ganggu kan?”

“Hah, nggak kok. Dari tadi sendirian.” Duh kaku ga sih ini ngobrolnya? Berasa awkward banget. Rizka mencoba memperbaiki duduknya, dia masih segan menatap langsung ke arah Rhoma. Malu-malu tapi emang ga mau. “Emang kenapa nyariin?”

“Ga papa juga sih, kan emang kita janjian di sini. Eh, ini aku rekam ga apa-apa ya?”

“Ga apa-apa, Mas.”

“Oke makasih ya. Gengs. Jadi ini temen aku, namanya Rizka. Dia anak kuliahan.”

Lho gimana sih? Ga baca skrip ya? Duh, kurang kompak nih. Buru-buru Rizka protes. “Aku kerja, Mas.”

“Kan belum selesai tadi... kuliah sambil bekerja. Hehehe.” Bisa aja ngelesnya kang cilok. “Jadi kita saat ini ada di sebuah Kafe. Tempatnya bagus banget. Namanya Kafe... namanya kafe apa sih ini, Ka?” tanya Rhoma sambil menunjuk logo sponsor.

“Ini namanya Kafe Ahmad, Mas.”

“Nah iya, Kafe Ahmad. Sebenere namane panjang ya, Kafe Ahmad dan Nasigila Slavina. Hehehe, ga tau dapet ide kasih nama seperti itu dari mana ya. Hahahahaha.”

“Iya, Mas. Dari mana ya?” Rizka mengangguk sambil mengetuk-ngetuk keningnya dengan manis. Uedan manisnya, Rhoma sampai bengong melihat Rizka. Wes jan koyo widodari, cewek ini bener-bener selayaknya bidadari turun ke bumi, ga pakai pantura atau jalur utara, tapi langsung pakai tol. Manisnya maut.

Rhoma buru-buru mengalihkan perhatian, gawat kalau terpesona, bisa-bisa garing nanti kontennya. Perbincangan mengenai kafe memakan waktu sekitar sepuluh menit lebih. Setelah itu barulah Rhoma melancarkan aksinya. Ia memandang tak berkedip ke arah Rizka. Hal yang lama-lama membuat istri Raka itu merasa risih.

“Apaan sih? Kok dari tadi ngeliatin terus? Ada yang aneh ya, Mas?”

“Nggak sih, aku cuma mengagumi keindahanmu.”

“Weits, apaan sih. Aku malu tahu.” Jantung Rizka berdentum dan berdebar. Ini nih, mulai nih si sambel kacang. Eh, tapi kalau ditembak itu meski boongan, ternyata tetep bikin degdegan juga ya. Seakan-akan seluruh dunia menatap tanpa kedip ke arah mereka.

“Kenapa harus malu? Kamu cantik, menarik, seksi, semua kotak checklist sudah dicentang. Rizka nan jelita, kamu sempurna.”

“Mana ada yang sempurna. Bisa-bisanya ah, Mas.”

“Ada yang sempurna meski tidak mungkin sempurna seratus persen, tapi setidaknya aku yakin ini lebih dari sembilan puluh sembilan persen.”

“Apa tuh?”

“Perasaanku padamu.”

“Eh?”

“Rizka, kita kan kenal udah lama ya. Jadi berdua temenan ya. Kamu sering bantu aku, aku pun selalu ikhlas bantuin kamu. Kamu selalu ada di saat aku membutuhkan dan aku pun berharap aku bisa ada saat kamu membutuhkan...”

“Okeee... ” Meski sudah membaca skrip, tapi Rizka tetap geli. Ia mencoba berakting senatural mungkin menghindari jijik. Ga tau kenapa, tapi rasanya deg-degan juga ditembak si kang cilok satu ini. “Terus?”

Rhoma mengangguk ke kasir dan mbak-mbak yang sejak tadi mengamati buru-buru berlari sembari membawakan buket bunganya. Rhoma menerima bunga itu, lalu turun sembari menekuk satu kaki. Beberapa orang yang melihat kejadian itu langsung berdecak kagum, sembari ngomongin – ada putri kayangan sedang ditembak ampas ketan!

“Mas? Kamu mau apa, Mas? Orang-orang ngeliatin kita semua ini, Mas.” wajah Rizka memerah, tak urung ia merasa malu jadi pusat perhatian. Tapi the show must go on. Rizka mencoba menatap mata Rhoma saat menerima bunga yang dihunjukkan kepadanya. Entah kenapa, seperti ada kesungguhan di kedua mata Rhoma, ada sesuatu... yang sangat-sangat dalam.

“Aku hanya berharap kalau apa yang aku lakukan ini bukanlah hal yang mengejutkan dan terlalu cepat aku sampaikan. Tapi aku saat ini ingin mengungkapkan perasaan dari hatiku yang paling dalam. Setelah lama kita berkenalan, setelah sekian lama main bareng, rasa-rasanya aku ingin menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar teman. Aku tahu kamu masih sendiri seperti aku juga masih sendiri. Saat mataku menatap indah raut wajahmu, aku seakan-akan tak akan sanggup hidup tanpa bilang... aku cinta kamu.”

“HAAAAAHHH!?” ekspresi Rizka tidak dibuat-buat, dia memang benar-benar kaget meski adegan itu ada dalam skrip. Kapan sih cewek ga deg-degan pas ditembak sama cowok? Eh, ini cowok kan ya? Bukan sapu ijuk? “Se-serius, Mas?”

“Serius, Ka. Tidak ada orang yang lebih aku cintai selain kamu. Dulu, sekarang, ataupun masa yang akan datang, perasaaanku tidak akan berubah. Aku tergila-gila padamu, kamu menjadi candu yang tak bisa kusembuhkan. Memang, aku hanyalah laki-laki biasa yang punya banyak kekurangan dan mungkin tak pantas mengharapkan cintamu, tapi jika kamu bersedia menerima cintaku, aku berjanji untuk melakukan apapun yang terbaik untukmu.”

“Mas... pelan-pelan, Mas... aku bingung...”

“Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku langsung membayangkan betapa indahnya jika suatu saat nanti kita dapat membina rumah tangga dan hidup bersama sampai akhir hayat. Tapi impian itu hanya akan jadi impian jika saat ini kita masih berada di jalan yang berbeda... jadi... Rizka... maukah kamu jadi pacarku?”

Rizka tahu ini cuma bohongan, tapi hatinya benar-benar seperti disambar geledek mendengar pernyataan dari Rhoma. Wajah serius pemuda itu... kok rasa-rasanya itu bukan wajah main-main ya?! Wajahnya berbeda dengan yang sejak tadi ia saksikan, atau saat dia sedang ngobrol sendiri dengan penontonnya, ini wajah yang berbeda. Seakan-akan ia sungguh-sungguh sedang menembak Rizka untuk menjadi kekasihnya. Tatapan mata tajam Rhoma menatap Rizka dengan pandangan serius. Di saat-saat seperti ini konon seorang wanita bisa merasakan aura ketulusan seseorang dan Rizka bisa merasakan itu keluar dari Rhoma.

Jangan-jangan si kang cilok ini beneran naksir dia?

“Kok diem aja?” tanya Rhoma.

“Berikan aku waktu untuk berpikir.”

“Berpikir pun kamu cantik.”

“Ish. Gombal.” Rizka memejamkan mata, mencoba menghilangkan semua perasaan yang muncul dan mengembalikan jiwa profesionalnya. Ini cuma akting. Ini akting. Ingat kalau ini akting. “Aku... sebenarnya aku ini orangnya simpel, aku butuh seorang kekasih yang setia, jujur, tanggung jawab, dan perhatian. Kamu sanggup tidak menjadi orang itu untuk aku?”

“Sanggup.”

Dasar cowok.

Sekarang pasti bilang sanggup, besok belum tentu. Ah sudahlah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Ini pekerjaan, harus dilakukan secara profesional. Saatnya Rizka mengeluarkan jurus akting Ikatan Cinta Bawang Putih yang Tersanjung oleh Panji Manusia Millenium Yang Tertukar.

“Aku... sebenarnya juga nyaman jalan bareng sama kamu, main bareng sama kamu. Bisa dibilang kalau dari kebersamaan kita, aku juga jadi care banget sama kamu. Ada hari-hari di mana aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu.” Rizka menunduk malu. Ketahuan ga ya aktingnya? Berasa busuk banget kalimat-kalimatnya.

“Ja-jadi... kamu mau?”

Rizka tersenyum manis, semanis toblerone tanpa kacang. Ia mengangguk.

Rhoma langsung melonjak-lonjak dan meninju udara di atasnya, seakan-akan dia baru saja memenangkan hadiah ratusan juta rupiah hasil undian yang diumumkan lewat SMS hoax. Beberapa orang yang mengamati kejadian itu langsung bertepuk tangan. Mbak kasir geleng-geleng, dia sedang mempertanyakan kenormalan kedua mata Rizka yang mungkin agak ngeblur sewaktu melihat penampilan Rhoma.

Sumpah, Rizka jadi malu sendiri jadi pusat perhatian. Sesaat kemudian Rhoma terdiam, lalu mendekati Rizka dan menatapnya dengan pandangan serius. “Eh, kamu beneran kan? Mau menerima aku jadi pacarmu kan?”

“Iya beneran.”

“Ja-jadi ini berarti kita resmi...”

“Iya, kita jadian.”

“Oh wow! Gilaaaak!! Yes! Yeeeesss!! Yessss!! Gengs! Aku diterima, Gengs! Aku diterimaaaa!” Dia melonjak-lonjak lagi. Tapi sesaat kemudian terhenti karena kakinya kesandung kabel. “Eh... eh... eh... kalau sudah jadian... aku mau ngasih sesuatu buat kamu dong.”

Dengan berani Rhoma memegang jemari lentik dan halus milik Rizka. Mau tidak mau Rizka menerimanya, namanya juga akting. Dia berharap sekali mudah-mudahan Raka dan teman-temannya tidak pernah menonton vlog si Kapurbarus ini. “Mau ngasih apa, Mas?”

“Tatap mataku dalam-dalam.”

Rizka menatap Rhoma. Berasa nggilani sih. “Terus?”

“Kamu lihat kesungguhan di kedua bola mataku?”

“Li-lihat...”

Eh tapi bener lho, kok Rhoma liatnya gitu amat ya? Jangan-jangan bocah ini beneran serius nembaknya? Rizka jadi ragu-ragu dengan aktingnya sendiri. Ini aslinya Rhoma yang jago akting, atau dia beneran nembak Rizka? Rizka meneguk ludah. Ia bertatapan dengan Rhoma tanpa mengetahui perasaan sebenarnya si Youtuber somplak itu.

“Kamu sayang sama aku?” tanya Rhoma.

“Iya. Aku sayang sama kamu...” deg-degan Rizka saat mengucapkannya untuk laki-laki lain, karena kalimat itu sesungguhnya hanya pernah ia ucapkan untuk Raka sang suami. Ugh, begini amat cari duit ya. Dia harus menahan muntah.

“Diam dan jangan bergerak,” ucap Rhoma lembut. Tangannya masih terus menggenggam jemari lentik istri Raka itu.

“Kamu mau ap...”

Rhoma berdiri dan mengecup kening Rizka.

Tiba-tiba terdengar musik mengalun dari kafe. Lagu Beautiful in White.

Istri Raka itu pun langsung bergetar, antara merasa risih, jengah, tapi juga terkejut. Surprise sekali! Dia sama sekali tidak menyangka Rhoma akan melakukan hal itu. Dulu Raka menembak dengan cara yang biasa-biasa saja, hanya bilang – jadian yuk, udah. Beda sekali dengan perlakuan Rhoma yang tidak disangka ternyata cukup romantis juga.

Lumayan lah.

Rizka tersenyum dengan wajah memerah.

Jadi... dia sekarang pacaran sama Rhoma nih? Tapi apa selanjutnya adegan settingan ini juga akan melibatkan kegiatan cium-cium kening seperti tadi? Atau justru lebih jauh dari itu? Lagipula, mengapa rasanya justru berbeda ya dengan kecupan suaminya pagi tadi?

(Bersambung)
 
kalau cerita bagus memang gini niih, update 5k tapi gak berasa panjang. Ngalir aja bacanya tau tau udah bersambung, hahaha. Ditunggu vlog selanjutnya suhu @fathimah
 
Terima kasih suhu fatimah...ceritanya ringan, menarik dan membuat penasaran...semangat selalu untuk updatenya..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd