Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 539 70,7%

  • Total voters
    762

BAGIAN 18
KEBERUNTUNGAN ATAU KESIALAN.?



PT. Bangun Kukuh Bersama. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konsultan pengawas dan perencanaan bangunan gedung, jalan, bendungan serta jembatan. Perusahaan ini dipimpin oleh Pak Danang, teman dari Mas Kelvin.

Setelah seminggu yang lalu kami bertemu dicafe Mas Kelvin, hari ini aku dan Joko berangkat kekantor Pak Danang untuk membicarakan tentang hak dan kewajiban kami dikantor tersebut.

Kenapa aku bilang hak dan kewajiban.? Aku dan Joko sudah diterima dikantor tersebut, dan sekarang tinggal membicarakan apa saja tugas kami, serta apa yang akan kami terima selama bekerja dikantor Pak Danang.

Jujur ini pengalaman pertama kali aku bekerja dikantor yang resmi seperti ini. Aku yang biasa mengamen, kesawah, mencari rumput, sampai bekerja bangunan, hari ini bingung harus bicara bagaimana, apalagi kalau ditanya masalah gaji.

Hehe, gaji. Luar biasa banget ya. Kami yang biasanya dibayar dengan keikhlasan dan gak tentu dalam satu bulannya, sekarang akan menerima gaji bulanan dan nilainya pasti akan sama setiap bulannya. Tapi kira – kira aku minta berapa ya.?

Waktu dicafe Mas Kelvin hari itu, Pak Danang sudah bertanya tentang masalah gaji, tapi aku dan Joko tidak bisa menjawab dan meminta waktu sampai hari ini.

Gila ya.? Belum punya pengalaman, tapi sudah memikirkan masalah gaji. Harusnya aku tidak usah terlalu berpikiran sejauh itu. Selain karena ingin memecahkan mistery tentang kematian Intan, yang mungkin berhubungan dengan Mas Hendra Wijaya dan kantor ini, aku hanya perlu bekerja dan mencari pengalaman. Gunanya untuk apa.? Agar setelah lulus kuliah nanti, aku benar – benar siap untuk terjun didunia kerja. Atau kalau perlu, aku belajar mendirikan perusahaan sendiri setelah lulus nanti.

Mendirikan perusahaan.? Waw. Kelihatannya oke juga tuh. Tidak usah mencari kerja, tapi bisa menciptakan lapangan kerja. Masa lulusan kampus teknik kita yang tersohor, tidak bisa memujudkan itu sih.? Gak apa – apa orang bilang ini mimpi yang super gila. Orang gila seperti aku ini kan berjalannya dimulai dari mimpi, jadi sekalian aja mimpi setinggi – tinginya. Lagian mimpi itu gak bayar kok.

Mimpi itu sebuah anugrah dari Sang Pencipta. Dan kalau kita bisa mewujudkan mimpi kita tersebut, anugrahnya semakin luar biasa banget rasanya.

Hiuffttt, huuuu.

“Dadi piye cok.?” (Jadi gimana cok.?) Tanya Joko ketika kami sudah berdiri didepan kantor Pak Danang.

“Piye opone.?” (Gimana apanya.?) Tanyaku balik.

“Awak dewe iki njaluk gaji piro cok.” (Kita ini minta gaji berapa cok.?) Tanya Joko sambil melotot.

“Gak usah mecicil ngono mripatmu cok. santai ae.” (Gak usah melotot begitu matamu cok, santai aja.) Ucapku yang juga melotot.

“Santai dengkulmu iku. Ket mambengi aku takon gak koen reken cok. Bajingan.” (Santai lututmu itu. dari tadi malam aku tanya gak kamu hiraukan cok. Bajingan.) Gerutu Joko sambil memajukan bibirnya.

“Gak ngono cok. awak dewe iki jek pertama kali nyambut gawe ndek kantoran. Sungkan ngomongi gaji iku. Saiki iku seng penting nggolek pengalaman disek ae.” (Gak gitu cok. Kita ini baru pertama kali bekerja dikantoran. Malu kalau bicara masalah gaji itu. sekarang itu yang penting cari pengalaman dulu aja.) Ucapku.

“Pengalaman matamu iku. Opo pengalaman iso digawe mbayar kuliah.? Kerjo yo kerjo cok. awak dewe gak dulinan ndek kene. Kantor iki pastine wes entok duwet tekan proyek seng digarap. Ndek kono iku yo ono jatae awak dewe. Lapo nggawe sungkan barang.? Opo sungkan iso digawe mbayar beras.? Opo sungkan iso di ijolno kertas kalkir.? Opo sungkan iso ditukono rokok kretek.? Assuu.” (Pengalaman matamu itu. Apa pengalaman bisa dibuat bayar kuliah.? Kerja ya kerja cok. Kita gak mainan disini. Kantor ini pastinya sudah dapat uang dari proyek yang dikerjakan. Disitu itu ya ada jatah kita. Kenapa pakai malu segala.? Apa malu bisa dibuat bayar beras.? Apa malu bisa ditukarkan kertas kalkir.? Apa malu bisa dibelikan rokok kretek.? Anjingg.) Omel Joko

“Lek ngono caramu, awak dewe ora usah nyambut gawe ndek kene cok. Ngamen ae. Ora kerjo ora patheken. Jiancok” (Kalau begitu caramu, kita gak usah kerja disini cok. Ngamen aja. Ga kerja gak masalah.) Ucap Joko yang terus mengomel dan aku langsung membekap mulutnya.

“Assuu, cangkemmu lek ngomong iku loh.” (Anjing, mulutmu kalau ngomong itu loh.) Ucapku sambil membekap mulut.

“Argggghhh.” Ucap Joko sambil menepis tanganku.

“Awakmu lek sampe sungkan ngomongi gaji, aku dewe seng ngomong.” (Kamu kalau sampai malu bicara masalah gaji, aku sendiri yang ngomong.) Ucap Joko yang melanjutkan mengomelnya.

“Iyo cok, iyo. Gak usah kakean cangkem.” (Iya cok, iya. gak usah banyak mulut.) Ucapku dan Joko hanya menggelengkan kepalanya.

“Maaf Mas, kok sampean berdua ribut disini.? Ada masalah apa.?” Tanya seseorang yang berwajah garang, berkumis tebal dan berpakaian lumayan rapi.

“Maaf pak, maaf kalau kami buat keributan disini. Saya kesini mau bertemu dengan Pak Danang.” Ucapku dengan sopannya.

“Ada perlu apa.? Sudah ada janji.?” Tanya orang itu.

“Sudah.” Jawabku singkat.

“Siapa nama kalian.?” Tanya orang itu lagi.

“Saya Gilang dan ini teman saya, Joko Pak.” Jawabku.

“Oooo. Kalian sudah ditunggu Pak Danang dari tadi Mas.” Ucap Orang itu dan dia langsung tersenyum kepada kami berdua.

“Ayo masuk – masuk.” Ucap Orang itu mempersilahkan kami masuk dan dia berjalan duluan.

“Siap Pak.” Ucapku dan ketika aku akan melangkah, Joko langsung menarik tangan kananku.

“Gaji cok, ojo lali yo.” (Gaji cok, jangan lupa ya.) Bisik Joko.

“Iyo cok, iyo.” Ucapku geretan dan Joko langsung tersenyum. Kami berduapun masuk kedalam kantor Pak Danang itu.

Kantor Pak danang ini lumayan besar dan didalam kantor ini, terdiri dari beberapa ruang. Ruang tunggu atau ruang tamu yang kami lewati saat ini. Ruang perencanaan, ruang pengawasan dan ruang adminstrasi yang ada disebelah kanan serta kiri kami, lalu ruang direktur diujung ruangan sana. Bagaimana aku tau.? Soalnya ada tulisannya didekat pintu cok. hehehe.

Beberapa saat kemudian, orang yang kami ikuti inipun, langsung berhenti didepan ruangan direktur.

TOK, TOK, TOK.

Orang itu mengetuk pintu ruangan direktur.

“Masuk.” Terdengar suara yang sangat merdu, dari seorang wanita yang ada didalam ruangan sana.

Orang itu lalu membuka pintu ruangan direktur, tapi tidak masuk kedalam.

“Pagi Mba Denok, Mas Gilang dan Mas Joko sudah datang.” Ucap Orang itu, kepada seseorang yang belum aku lihat wajahnya didalam sana.

“Oh iya Pak, tolong disuruh masuk aja.” Ucap Wanita yang ada didalam ruangan itu dan orang yang mengantar kami, langsung melihat kearah kami.

“Masuk Mas.” Ucap orang itu kepadaku dan Joko.

“Terimakasih Pak.” Jawabku dan orang itu langsung pamit kepadaku dan kepada wanita yang ada didalam ruangan.

Aku dan Joko langsung melangkah kearah pintu, lalu melihat kearah dalam ruangan. Didalam ruangan sana, seorang wanita cantik berkaca mata, menyambut kami dengan senyum manisnya.

“Cok, manis cok.” Gumam Joko kepadaku dan aku hanya meliriknya, lalu mengkodenya untuk diam.

“Pagi Mba.” Sapaku.

“Pagi Mas. Masuk.” Jawab Wanita itu sambil membenarkan kacamatanya.

Selain berwajah cantik, wanita itu mempunyai suara yang sangat merdu sekali.

“Terimakasih Mba.” Ucapku sambil melangkah masuk dan berjalan kearahnya.

Wanita itu langsung berdiri dan aku menjulurkan tangan kananku, ketika sudah sampai dihadapannya.

“Gilang Mba.” Ucapku dan aku menjabat tangannya yang halus, putih dan lembut itu.

“Denok mas.” Ucap wanita itu, lalu kami sama – sama melepaskan jawaban tangan kami.

“Joko Mba.” Ucap Joko yang langsung memperkenalkan diri, sambil menjulurkan tangannya.

“Denok Mas.” Jawab Wanita itu dan dia menjabat tangan Joko.


Denok

Mereka berduapun tidak langsung melepaskan jabatan tangan masing - masing. Mereka saling memandang, dengan tangan kanan terus saling menggenggam.

Cara memandang mereka, berbeda dengan cara orang yang memandang seperti biasa. Cara memandangnya itu, seperti ada getaran – getaran yang gak bisa diucapkan dengan kata – kata.

Dan tiba – tiba, terdengar irama music yang mendayu – dayu dari kolong langit, lalu menggema diruangan ini.


Cok, ada apa ini.? Apa ada benih - benih cinta yang tumbuh didalam ruangan ini.? Kurang ajar. Apa ini yang namanya cinta pandangan pertama.? Gila.

Joko terlihat sangat mengagumi Mba Denok yang cantik ini dan mata Joko berbinar seperti mengeluarkan cahaya cinta dari dalam hatinya. Dari tatapan matanya, Joko seperti seorang arjuna yang sedang memegang busur dan mengarahkan mata panah cinta ke dada Mba Denok. Jiancok.

Mba Denok sih memang terlihat sangat cantik dan manis, tapi Joko.? Ya agak lumayan ganteng, kurang lebih aja sama aku. Tapi ya begitulah. Bagaimana sih tampang orang – orang seperti kami, yang biasa terkena sengatan matahari ketika mengamen dan kesawah ini.? Pasti kumel dan tidak seperti orang yang sudah lama bekerja dan terlihat mapan. Sedangkan Mba Denok.? Mba Denok terlihat bersih, rapi dan pastinya gak bau sengatan matahari. Hehehe.

“Ehem.” Ucapku yang mengejutkan mereka berdua, lalu mereka sama – sama melepaskan jabatan tangan mereka.

Mba Denok terlihat malu lalu menunduk sebentar, sementara Joko langsung melihat kearahku dengan jengkelnya.

“Cok. Gak iso ndelok wong seneng. Asuu.” (Cok. Gak bisa lihat orang senang. Anjing.) Gerutu Joko.

“Kerjo cok kerjo. Awak dewe nde kene kerjo, ora dulinan.” (Kerja cok kerja. Kita disini kerja, bukan mainan.) Ucapku pelan, dan membalikkan kata – kata Joko tadi.

“Asuu.” Gerutu Joko lagi lalu melihat kearah Mba Denok, yang sudah mengangkat wajahnya dan melihat kearah kami berdua bergantian.

Aku lalu memalingkan wajahku dari Joko ke Mba Denok dengan cueknya.

“Pak Danang ada Mba.?” Tanyaku.

“Ada Mas, sampean berdua sudah ditunggu dari tadi.” Jawab Mba Denok lalu melangkah kearah ruangan Pak Danang yang tertutup.

“Sebentar ya Mas.” Ucap Mba Denok sambil melihat kearahku lalu melihat kearah Joko.

“Iya Mba.” Jawabku dan Joko barengan.

“Eh iya, duduk aja dulu.” Ucap Mba Denok lagi.

“Iya Mba.” Jawab kami lagi, lalu kami berdua duduk dikursi yang ada didepan meja Mba Denok.

TOK, TOK, TOK.

Mba Denok mengetuk ruangan Pak Danang.

“Ya Nok.” Sahut Pak Danang dan Mba Denok membuka pintu ruangan Pak Danang.

“Ada Mas Gilang sama Mas Joko Pak.” Ucap Mba Denok.

“Oh iya, suruh masuk aja.” Ucap Pak Danang dan Mba Denok langsung melihat kearah kami berdua.

“Masuk Mas.” Ucap Mba Denok.

Aku dan Joko langsung berdiri dan melangkah kearah Mba Denok.

“Permisi Mba.” Ucapku ketika melewati Mba Denok, dan dia membalasnya dengan senyum manisnya.

“Gilang.” Ucap Pak Danang, ketika beliau melihat aku masuk kedalam ruangannya dan beliau langsung berdiri dan berjalan kearahku.

“Pagi pak.” Ucapku sambil menjabat tangan beliau.

“Pagi, pagi. Silahkan duduk,” Ucap Pak Danang lalu bergantian menyalami Joko.

Beliau lalu duduk di kursi tamu yang ada diruangannya dan kami juga duduk dihadapan beliau.

“Jadi bagaimana.? Sudah siap bekerja dikantor saya.?” Tanya Pak Danang sambil menyandarkan punggungnya dikursi sofa yang empuk.

“Siap Pak.” Jawabku dan Pak Danang langsung mengeluarkan rokok kreteknya, tapi rokoknya lebih mahal dari rokok kami berdua. Rokok Pak Danang itu yang ada angka 432 nya, sedangkan rokok kretek kami berwarna merah dan ada gambar gudangnya.

Pak Danang membakar rokok beliau, lalu menghisapnya dan melihat kearah kami lagi.

“Terus kalian minta gaji berapa.? Sudah dipikirkan.?” Tanya Pak Danang dengan tenangnya.

“Anu Pak.” Ucapku yang langsung grogi dengan pertanyaan Pak Danang ini.

Aku sih maunya terserah Pak Danang, yang penting sesuai dengan standar kantor ini. Apalagi status kami masih sebagai mahasiswa, gak mungkin mau minta yang muluk – muluk. Tapi kalau aku ucapkan seperti itu, bisa menggila Joko yang ada disebelahku ini. Mulutnya itukan gak bisa dikontrol.

Hiuuuffttt, huuu..

“Kalau masalah gaji, kami gak mau terlalu memikirkan Pak. Kami ini kan masih mahasiswa. Kalau boleh jujur, kami ingin mencari pengalaman Pak. Jadi setelah lulus nanti, kami sudah benar – benar siap untuk bekerja.” Ucap Joko yang langsung bersuara dan aku langsung melihatnya dengan wajah yang terkejut.

Loh, kemasukan jin apa Joko ini.? Kok dia ngomong seperti ini.? Bukannya dia niat kerja disini, bukan untuk mencari pengalaman.? Kok jadi seperti ini ucapannya.? Apa karena habis bertemu dengan Mba Denok, jadi pikirannya berubah seketika.? Kurang ajar.

“Bergabung dengan kantor Bapak ini aja, sudah sangat luar biasa bagi kami Pak. Pasti kami akan mendapatkan banyak pengalaman disini. Jadi urusan gaji, kami serahkan ke Bapak aja. Bapak yang lebih berhak menentukannya.” Ucap Joko sambil melihat kearah Pak Danang, lalu melihat kearahku sambil memainkan kedua alisnya. Cok. menggathelkan banget kata – katanya.

“Baiklah kalau begitu. Silahkan kalian memulai saja bekerja disini hari ini, nanti saya akan lihat bagaimana kerja kalian berdua. Saya akan pikirkan bagaimana besaran gaji kalian nantinya. Yang penting kita sama – sama tidak merasa dirugikan. Kalau kerja kalian bagus, pasti gajinya juga bagus. Dan sesuai kesepakatan waktu dicafe Kelvin, kalian bekerjanya menyesuaikan jadwal kuliah kalian aja.” Ucap Pak Danang.

“Siap Pak, terimakasih atas kepercayaan Bapak kepada kami dan kami akan menjaga kepercayaan Bapak ini sebaik mungkin.” Ucapku dan Pak Danang menganggukan kepalanya pelan.

“Terus kami harus mulai dari mana Pak.?” Tanya Joko.

“Kelihatannya, kalian langsung keproyek aja. Jadi kalian berdua bisa mempunyai bayangan tentang apa yang akan kalian kerjakan nantinya. Gilang bisa langsung membuat laporan harian, terus nanti laporan mingguan dan dilanjut laporan bulanan. Sedangkan Joko bisa langsung mencicil gambar untuk laporan akhirnya nanti.” Ucap Pak Danang, lalu beliau menghisap rokoknya.

“Siap pak.” .Sahut kami berdua.

“Oh iya, nanti kalian bawa tustel (kamera) ya. Dokumentasikan setiap pekerjaan untuk dilampirkan pada laporan kalian. Tustel nya minta sama Pak Jarot, sekalian minta antar kelokasi pekerjaan sama dia.” Perintah Pak Danang.

“Mohon maaf Pak. Pak Jarot itu yang mana ya Pak.?” Tanyaku.

“Dia ada didepan. Orangnya kumisan tebal, terus wajahnya sangar.” Jawab Pak Danang.

“Siap Pak.” Ucapku.

“Terus semua pekerjaan kalian nantinya, konsultasikan dengan Pak Jarot ya.” Ucap Pak Danang lagi.

“Siap Pak.” Jawabku dan Joko barengan.

Dan setelah Pak Danang selesai menyampaikan beberapa wejangan lagi, akhirnya aku dan Joko pamit untuk kelokasi Proyek. Pada saat kami keluar ruangan Pak Danang tadi, Mba Denok tidak terlihat duduk dikursinya. Entah kemana dia, yang jelas wajah Joko sempat terlihat kecewa dan dia mencoba menutupi dari aku.

Gila, beneran Joko suka Mba Denok.? Aku belum pernah melihat sahabatku ini menatap seorang wanita, seperti menatap Mba Denok tadi. Tatapan matanya yang menjacokkan itu, benar – benar memancarkan cinta yang terdalam dari hatinya. Joko yang biasa slengean didepan wanita, tadi hanya bisa diam dan seperti mengagumi mahluk yang paling indah didepan matanya itu. Begitu juga Mba Denok. Walaupun aku baru melihatnya sekali, tapi dia juga terlihat seperti mengagumi sahabatku yang gila itu.

Benar kah Mba Denok suka dengan Joko.? Atau itu hanya tatapan tipuannya saja.? Sudahlah, benar atau tidak Mba Denok suka dengan Joko, Joko pasti akan mengejar kalau dia sudah menyukai wanita. Semoga saja apa yang ada dipikiran Joko, dapat diraih dan dimilikinya.

Dan sekarang, aku dan Joko sedang dalam perjalanan keproyek. Kami berdua naik mobil diantar oleh Pak Jarot dan seorang supir. Aku dan Joko duduk dibagian tengah, sedangkan Pak Jarot didepan bersama Pak Sopir.

“Kita keproyek mana ini pak.? Ke proyek bendungan didaerah selatan, atau keproyek jalan diutara.?” Tanya Pak sopir ke Pak Jarot.

“Keutara aja Pak.” Jawab Pak Jarot sambil melirik kearah Pak Sopir, lalu melirik kearahku.

Pak Jarot seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari kami berdua. Joko pun langsung menyenggol kakiku dengan kakinya. Aku mengangguk pelan lalu mengambil rokokku dikantong belakang.

“Boleh rokokkan gak Pak.?” Tanyaku ke Pak jarot.

“Boleh mas, santai aja.” Ucap Pak Jarot, lalu beliau juga mengeluarkan rokoknya.

Aku membakar rokokku lalu menyerahkan bungkusan rokokku kepada Joko.

“Oh iya Mas, ini tustel kantor sampean bawa. Sudah ada isi rol filmnya didalam.” Ucap Pak Jarot kepadaku, sambil menyerahkan sebuah tustel kepadaku.

Waw, Barang mahal nih. Aku harus menggunakannya dengan hati – hati. Kalau sampai rusak, bisa susah ganti’innya aku.

“Iya Pak.” Jawabku sambil mengambil tustel dari tangan Pak Jarot, lalu menaruhnya dipangkuanku.

“Nanti setelah selesai dipakai, jangan dulu dikembalikan kesaya atau kekantor. Bawa aja pulang kekosan kalian. Gunakan sebaik – baiknya sampai akhir proyek, dan dokumentasikan proyek seperlunya. Jangan foto – foto diri kalian sendiri. Boleh foto yang ada wajah kalian, tapi harus dilihatkan pekerjaannya juga. Terus kalau rolnya sudah habis, cepat dicuci dan ganti rol baru. Uangnya minta dikantor.” Ucap Pak Jarot.

“Siap Pak.” Jawabku.

Setelah perjalanan yang cukup lama, Mobil kami masuk disebuah gerbang desa, yang jalannya tidak terlalu lebar dan masih bebatuan. Jalan ini terlihat belum diaspal, dari depan gerbang desa sampai didalam sana. Mobil kamu terus menyusuri jalan ini dan melewati sebuah gudang tua yang sangat besar. Tampak beberapa orang berjaga didepan pintu gudang tua itu dan beberapa orang lainnya, berlalu lalang disekitar gudang tua tersebut. Orang – orang yang ada disitu, terlihat berwajah sangar dan seperti preman – preman didaerah sini.

“Gudang apa ini pak.?” Tanyaku ke Pak Jarot.

“Gudang peninggalan kompeni. Gudang ini dulunya penyimpanan hasil panen masyarakat sekitar. Ada tiga gudang yang seperti ini, didesa utara ini mas.” Ucap Pak Jarot menjelaskan.

“Masih dipakai penyimpanan hasil panen sampai saat ini Pak.?” Tanya Joko.

“Enggak, dan kalian tidak perlu tau gudang itu untuk kegiatan apa sekarang. Kalian juga tidak usah mendekat apalagi berkenalan dengan mereka yang ada digudang itu.” Ucap Pak Jarot dengan sangat seriusnya.

“Tugas kita disini hanya pengaspalan jalan didesa, bukan survey data tentang kegiatan penduduk.” Ucap Pak Jarot lagi.

“Siap Pak.” Jawabku sambil melirik kearah Joko dan dia juga melirik kearahku.

Mobil kami terus berjalan dan melewati gudang kedua, lalu melewati gudang ketiga. Sama seperti digudang pertama, gudang kedua dan ketiga yang kami lewati tadi, dijaga beberapa preman.

Gila, tempat apa ya ketiga gudang itu.? Kenapa juga harus dijaga preman – preman.?

Aku lalu mengalihkan pandanganku kearah depan. Tampak didepan kami sebuah alat penggilas atau biasa disebut vibro roller, meratakan jalan bebatuan ini.

Mobil kami berhenti tidak jauh dari alat itu dan Pak Jarot langsung turun dari mobil. Aku dan Jokopun mengikutinya. Aku lalu membuang puntung rokokku, sedangkan Pak Sopir memarkirkan mobilnya.

Kami bertiga lalu berdiri ditengah jalan dan melihat lokasi disekeliling.

“Ini proyek jalan dimulai dari dalam sana, sampai luar sana.” Ucap Pak Jarot, sambil menunjuk kearah jalan kedalam sana, lalu menunjuk kearah gerbang yang kami lewati tadi.

“Berapa panjang jalannya Pak.?” Tanyaku.

“Sekitar dua kilo Mas.” Jawab Pak Jarot.

“Oooo.” Jawabku sambil mengangguk pelan.

“Oh iya, kalian berdua ini kuliah dimana.?” Tanya Pak Jatrot.

“Kampus teknik kita Pak. Saya jurusan teknik sipil dan teman saya ini jurusan teknik arsitektur.” Jawabku.

“Semester berapa.?” Tanya Pak Jarot lagi.

“Baru semester satu Pak.” Sahut Joko.

“Semester satu.?” Tanya Pak Jarot dengan herannya.

“Iya Pak, emang kenapa.?” Tanyaku.

“Aku kira sudah semester tujuh. Boros juga wajah kalian ini ya.” Ucap Pak Jarot sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya.

“Cok, emang kami setua itu Pak.?” Tanya Joko dengan refleknya dan aku langsung melotot kearah Joko.

“Maaf Pak, maaf saya keceplosan mesonya (Makinya) hehehe.” Ucap Joko lalu dia mengaruk kepalanya.

“Tapi kalian bisa membuat laporan sama menggambar kan.?” Tanya Pak Jarot dan tidak menghiraukan ucapan Joko barusan.

“Bisa sedikit Pak. Karena waktu praktek lapangan STM dulu, kami tugasnya membuat laporan dan menggambar. Mohon bimbingannya ya Pak.” Jawabku dengan sopannya.

“Baguslah. Paling tidak kalian sudah pernah tau dan aku tidak usah mengajarkan mulai dari dasar.” Ucap Pak jarot, lalu beliau menghisap rokoknya.

Beberapa saat kemudian, seseorang berjalan mendekati kami.

“Pagi pak.” Sapa Orang itu kepada Pak jarot.

“Pagi Pak Jaka, gimana.? Aman aja pekerjaan kita.?” Tanya Pak Jarot.

“Aman dan lancar Pak.” Jawab orang yang dipanggil Pak Jaka itu.

“Oh iya Pak Jaka, ini Mas Gilang dan ini Mas Joko. Mereka berdua yang akan membantu Pak Jaka diproyek ini.” Ucap Pak Jarot, sambil melihat kearah kami berdua.

“Oh iya Mas.” Ucap Pak Jaka, lalu berkenalan denganku dan Joko.

“Pak Jaka ini pengawas lapangan proyek jalan ini Mas. Kalian berdua harus koordinasi kepada Pak Jaka, untuk laporan kegiatan dan gambar pelaksanaan pekerjaan.” Ucap Pak Jarot kepadaku dan Joko.

“Siap Pak. Kami berdua akan selalu koordinasi dengan Pak Jaka.” Jawabku.

“Kalau begitu saya tinggal kemobil dulu. Kalian koordinasi, setelah itu kita balik.” Ucap Pak Jarot.

“Loh Mas Joko dan Mas Gilang gak stand by diproyek Pak.?” Tanya Pak Jaka.

“Enggak, mereka berdua ini kuliah Pak. Jadi setiap hari kesini dan berkoordinasi dengan Pak Jaka, terus mengambil dokumentasi, lalu pulang.” Jawab pak Jarot.

“Siap Pak.” Jawab Pak Jaka dengan sopannya.

“Ya sudah, saya tinggal dulu kemobil.” Ucap Pak Jarot, lalu meninggalkan kami berdua.

“Ayo Mas, kita kesana dulu.” Ucap Pak Jaka, sambil menunjuk kearah belakang vibro roller yang sedang maju dan mundur untuk meratakan bebatuan.

Tampak tidak jauh dari gudang tua yang ketiga, sebagian pekerja sedang merebus aspal. Pengaspalan jalan kearah jalan masuk desa utara sana, sudah dimulai sebagian. Sedangkan jalan yang menuju keluar desa sana, masih dalam perataan dan belum diaspal sama sekali.

Akupun mulai memfoto beberapa kegiatan yang sedang berlangsung.

“Saya ada foto waktu pengukuran kemarin mas. Ada juga foto waktu mulai awal – awal pengerjaan pengaspalan.” Ucap Pak Jaka kepadaku.

“Oh iya Pak, nanti bisa saya pinjam ya.?” Ucapku.

“Gak pinjam mas, tapi saya memang harus menyerahkan ke sampean. Tulisan yang saya buat tentang laporan kegiatan proyek selama dua minggu kemarin, juga akan saya serahkan kesampean. Kan nanti sampean yang susun laporan bulanan.” Ucap Pak Jaka.

“Siap Pak. Mohon bimbingannya.” Jawabku.

“Ah, sampean bisa aja. Saya ini cuman pekerja lapangan kok.” Ucap Pak Jaka lalu tersenyum.

“Bapak pekerja lapangan, tapi sudah mengusai pekerjaan ini. Jadi wajar aja saya minta bimbingan Bapak.” Ucapku dan Pak Jaka langsung tersenyum.

“Kalau gambar kerjanya bagaimana Pak.?” Tanya Joko.

“Ada didireksi keet Mas.” Ucapnya sambil menunjuk sebuah bangunan sementara yang berdinding triplek, disebrang jalan sana.

Kami bertiga pun berjalan kearah direksi keet, setelah itu kami berbincang sebentar. Kami membicarakan tentang pembagian tugas selama kegiatan proyek ini berlangsung. Pak Jaka ini orang lapangan dan sebenarnya mengerti tentang laporan dan gambar teknis sebuah proyek. Tapi beliau agak sulit membuat laporan dan tidak bisa menggambar sesuai dengan ketentuannya. Itulah kenapa kami disuruh membantu Pak Jaka diproyek ini.

Dan setelah pembicaraan kami selesai, kami berdua meminta izin dan balik kearah mobil yang terpakir diseberang jalan depan gedung tua yang ketiga.

Tampak digedung tiga ada kegiatan dari beberapa preman yang sangat mencurigakan. Aku dan Joko hanya saling melirik, tapi sambil terus berjalan kearah mobil. Kami tidak ingin membahasnya disini, karena takut Pak Jarot curiga.

“Sudah.?” Tanya Pak Jarot kepada kami, sambil duduk didepan mobil bagian sebelah kiri dan pintunya terbuka.

“Sudah Pak.” Jawabku, lalu aku dan Joko naik kemobil bagian tengah.

Pak Jarot lalu menutup pintu mobilnya dan mobil langsung berjalan pelan, meninggalkan depan gedung tiga ini.

Sampai didepan gudang tua kedua. Tampak digedung tua itu, beberapa orang keluar masuk dan beberapa orang menjaganya dengan ketat. Disamping gudang, terlihat juga beberapa orang sedang berkumpul dan menghisap sebatang rokok yang digilir.

Cok, kelihatannya sarang narkoba ini. kok ngeri sekali ya.?

Mobil terus berjalan dan pada saat melewati gudang pertama, kami melihat seorang pemuda yang seumuran adekku Lintang, masuk kedalam gudang pertama tersebut.

Aku seperti pernah melihat pemuda tersebut, tapi aku lupa dimana.

“Cok, eleng arek iku gak .?” (Cok, ingat sama anak itu gak.?) Bisik Joko yang rupanya melihat anak itu juga.

“Eleng, tapi aku lali ketemu nangdi.” (Ingat, tapi aku lupa ketemu dimana.) Jawabku pelan.

“Satria, anaknya Pak Tomo.” Ucap Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

Joko hanya menggeleng pelan dan mengkodeku untuk diam.

Cok, kenapa Satria ada disitu ya.? Jauh banget tempat mainnya anak itu. Bukannya karena apa, tapi aku yakin gudang pertama itu bukan tempat yang baik, sama seperti gudang kedua yang terlihat seperti sarang narkoba. Makanya aku agak kuatir dengan anak dari orang yang sangat berjasa kepadaku dikota ini.

Gudang satu, dua dan tiga tadi, terlihat seperti tempat berkumpulnya preman. Kalau gudang dua, aku yakin seyakin yakinnya, tempat itu sarangnya bandar narkoba. Kenapa aku bilang seperti itu, karena tadi disebelah gudang tersebut ada yang sedang nyimeng. Beberapa orang didepan gudang pun, terlihat sedang bertransaksi narkoba. Kalau gudang satu dan gudang tiga, aku tidak begitu tau apa kegiatannya didalam. Tapi yang jelas, pasti sarang preman juga.

Jadi untuk apa Satria ada digudang satu.? Apa Pak Tomo tau kalau anaknya main sampai kesini.? Gila.

“Kalian punya kendaraan.?” Tanya Pak Jarot yang mengejutkanku, sambil melihat kearahku.

“Eh, gak ada Pak.” Jawabku yang terkejut.

“Terus bagaimana kalian mau kesini, kalau gak ada kendaraan.?” Tanya Pak Jarot kepada kami.

“Naik angkot aja Pak.” Jawabku.

“Naik angkot itu biayanya lumayan, waktunya juga pasti banyak terbuang. Jarak kampus kalian dengan desa utara ini jauh.” Ucap Pak Jarot.

Aku dan Joko langsung saling melihat, karena tersadar dengan ucapan Pak Jarot. Memang benar apa yang diucapkan beliau barusan. Dengan jadwal kuliah dan kesibukan pekerjaan nantinya, waktu itu pasti sangat berharga sekali. Jarak desa utara dan kampus teknik kita, sangat jauh dan harus berganti dua kali angkot. Pasti biayanya cukup menguras kantong. Bukan hanya itu, angkotpun tidak akan jalan kalau penumpang tidak terisi penuh. Waktu dan biaya, pasti akan sangat banyak terbuang.

“Wajahmu itu sudah jelek, jadi gak usah dijelek – jelekin gitu.” Ucap Pak Jarot dan kami langsung melihat kearah Pak Jarot. Beliaupun langsung melihat kearah depan lagi.

“Kita kerumahku Pak.” Ucap Pak Jarot kepada Pak Sopir.

Aku dan Joko semakin bingung, karena mobil ini mengarah kerumah Pak Jarot. Kenapa harus kesana.? Apa rumah Pak Jarot itu diantara kampus teknik kita dan desa utara.? Terus kenapa emangnya.? Kami disuruh tinggal disana.? Janganlah. Aku gak mau berjauhan dengan Intan. Aku ingin terus bersamanya, sampai waktu benar – benar memisahkan kami selamanya.

Beberapa saat kemudian, kami masuk kedalam perumahan yang ada pinggiran kota pendidikan. Mobil kamipun berhenti dirumah yang sederhana tapi sangat asri sekali.

“Turun dulu.” Ucap Pak Jarot kepada kami berdua, lalu beliau turun lebih dulu.

Aku dan Joko langsung turun, lalu mengikuti Pak Jarot yang masuk kedalam pagar rumahnya. Kami berdua berdiri didepan garasi yang tertutup, sementara Pak jarot masuk kedalam rumahnya.

Aku dan Joko membakar rokok masing – masing, sambil menunggu Pak Jarot keluar rumah.

“Nih.” Ucap Pak Jarot ketika keluar rumah, sambil menyerahkan sebuah dokumen kepada kami berdua.

“Apa ini Pak.?” Tanyaku yang kebingungan sambil membuang puntung rokokku, lalu mengambil dokumen yang diserahkan Pak jarot.

“Itu dokumen kimba. Kendaraanku waktu aku kuliah dulu.” Ucap Pak Jarot dengan santainya. (Kimba = singa putih yang ada difilm kartun The White Lion)

“Kimba.? Bapak naik singa waktu kuliah dulu.?” Tanya Joko yang ikut bingung.

Pak Jarot tidak menjawab, tapi beliau langsung membuka garasi yang tertutup disebelah kami berdiri. Dan ketika pintu garasi terbuka, sebuah mobil sedan tua berwarna putih, terparkir dengan gagahnya.

“Loh, loh, loh. Bapak mau kasih kami mobil.? Gila.” Ucap Joko yang terlihat sangat senang sekali.

“Jangan Pak, jangan. Kami gak bisa menerima pemberian Bapak ini.” Ucapku sambil mengembalikan dokumen ini kepada Pak Jarot.

“Siapa yang mau kasih kalian berdua.? Saya itu suruh kalian beli.” Jawab Pak Jarot dan tidak menerima dokumen itu kembali.

“Kami disuruh beli mobil ini, uang dari mana Pak.? Kami itu membiayai kuliah kami sendiri, makanya kami bekerja. Untuk biaya kuliah aja ngos – ngosan, mau disuruh beli mobil Bapak.” Ucapku dengan nada yang agak sinis.

“Iya, bercanda Bapak ini. Lagian kami juga gak bisa nyetir mobil Pak.” sahut Joko.

“Yang bercanda siapa.? Terus yang suruh kalian beli mobil ini siapa.? Saya itu menawarkan vespa yang ada dibelakang mobil ini.” Ucap Pak Jarot sambil menunjuk sebuah vespa yang terparkir dibelakang mobil.

“Ha.? Vespa.?” Tanya Joko yang kembali kebingungan.

“Biarpun vespa, kami tetap gak punya uang untuk membelinya Pak.” Ucapku.

“Bawalah, kalian kan kerja. Kalian cicil aja perbulan kalau sudah gajian.” Jawab Pak Jarot.

“Jangan Pak. Kami gak mau memaksakan, kalau tidak ada uang.” Tolakku secara halus, walaupun hati ini sebenarnya ingin menerima tawaran Pak Jarot yang sangat mengejutkan ini.

“Terus kalian keteteran ngatur waktu setiap harinya.?” Tanya Pak Jarot.

“Ya itu resiko yang harus kami jalani pak.” Jawabku sambil tetap menyodorkan dokumen ditanganku.

“Kalian boleh berpendapat seperti itu, kalau memang tidak ada jalan. Tapi ini ada jalan lewat aku loh.” Ucap Pak Jarot dan tetap tidak menerima dokumen dari tanganku.

Aku dan Joko lalu saling melihat dan tidak menjawab ucapan Pak Jarot barusan. Terus terang aku bingung dengan kebaikan Pak Jarot ini. Jokopun pasti sepemikiran dengan aku dan pasti bertanya – tanya juga didalam hatinya.

“Kalian pasti bingung, kenapa aku mau menyerahkan kimba kesayanganku kepada kalian berdua kan.?” Tanya Pak Jarot kepada kami berdua.

“Iyalah Pak. Kita ini belum saling mengenal secara dekat, tapi Bapak sudah berbaik hati seperti ini. Ada apa dengan Bapak.? Apa jangan – jangan Bapak ini Om – om pecinta daun muda dan mengincar tubuh kami yang sedang tumbuh kembang seperti ini.?” Ucap Joko dengan pertanyaan yang sangat menggathelkan sekali.

“Cok.” Aku dan Pak Jarot memaki Joko dengan kompaknya.

“Santai, santai.” Ucap Joko sambil memundurkan kakinya selangkah.

“Lambemu Cok.” (Mulutmu Cok) Omelku.

“Minta digilas mulutmu itu.?” Tanya Pak Joko sambil melotot.

“Maaf Pak, maaf. Hehehe.” Ucap Joko lalu tersipu malu.

“Tapi benar sih apa yang ditanyakan Joko ini Pak.” Ucapku sambil melihat kearah Pak Jarot.

“Maksudmu.?” Tanya Pak Jarot dan sekarang aku yang dipelototinya.

“Bukan masalah daun mudanya Pak. Tapi kenapa Bapak berbaik hati kepada kami yang baru Bapak kenal ini. Bapak gak takut kalau kami berhenti bekerja dan membawa lari vespa punya Bapak ini, sebelum kami membayarnya.?” Tanyaku.

Pak Jarot langsung terdiam dan mengambil rokoknya dikantong lalu membakarnya.

“Huuuu.” Pak Jarot mengeluarkan asap rokoknya.

“Biaya pendaftaran kuliah kalian, pasti lebih mahal dari pada harga vespa ini. Jadi gak mungkin kalian akan membawanya lari.” Ucap Pak Joko.

“Iya, tapi kenapa Bapak kok berbaik hati.?” Tanya Joko lagi.

“Walapun omongan kalian itu menggathelkan, aku melihat semangat yang sangat luar biasa dimata kalian. Semangat untuk meraih impian dan perubahan untuk kehidupan kalian sendiri.” Ucap Pak Jarot, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Semangat yang sangat luar biasa dari pemuda macam kalian ini, mengingatkan aku waktu kuliah dulu. Aku juga kuliah dikampus teknik kita dan aku juga membiayai kuliahku sendiri.”

“Dan yang menemani aku mulai awal kuliah sampai sekarang ini, ya kimbaku itu.” Ucap Pak Jarot sambil menunjuk kearah vespa putih yang terlihat sebagian dari arah kami berdiri ini.

“Benda bersejarah dalam kehidupan Bapak seperti itu, pasti sangat mahal dan kami pasti tidak bisa membelinya.” Ucapku.

“Kalau dinilai dari uang, seberapapun besar uang itu tidak berharga dimataku. Tapi demi mengantarkan orang – orang untuk menjemput impiannya, aku rela melepaskannya.” Jawab Pak Jarot.

“Lagian sayang banget kalau kimba ini hanya terparkir digarasi. Anakku dua – duanya perempuan dan gak ada niat untuk memakai kimbaku ini.” Ucap Pak Jarot dengan nada yang sedikit sedih.

“Kimba ini tangguh dan kuat segala medan. Masa cuman hanya diam digarasi.” Ucap Pak Jarot lagi.

“Okelah Pak, saya juga senang dengan vespa Bapak. Berapa yang harus saya bayar.?” Tanya Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

“Satu juta.” Jawab Pak Jarot dan itu langsung membuat aku dan Joko terkejut.

“Ha.?” Ucap kami dengan terkejutnya.

Gila, mahal banget. Ga salah sebut nih Pak Jarot.?

“Itu kalau kalian setengah – setengah dalam merawat kimba. Tapi kalau kalian benar – benar menginginkan dan merawatnya dengan baik, seratus ribu aja aku lepas. Sebenarnya aku mau kasih gratis, tapi itu pasti tidak akan ada sejarahnya buat kalian nanti dan kalian pasti menolaknya.” Ucap Pak Jarot dan kami berdua langsung mengerutkan kedua alis kami.

“Kami gak punya uang sebanyak itu Pak. Seratus ribu bagi kami sangat banyak sekali.” Ucapku.

“Jadi kalian mau gratis.? Ya sudah bawa aja.” Ucap Pak Jarot.

“Setuju Pak.” Jawab Joko dengan semangatnya.

“Assuu.” Makiku sambil melihat kearah Joko, lalu melihat kearah Pak Jarot lagi.

“Jangan Pak, saya setuju harga segitu.” Jawabku dan tiba – tiba aku langsung mengiyakan harga dari Pak jarot.

“Tapi saya mohon maaf, mungkin saya mencicilnya beberapa kali.” Ucapku lagi.

“Oke.” Jawab Pak Jarot singkat.

“Oke maksudnya ini bagaimana Pak.? Jadi kami punya sepeda motor ini.?” Tanya Joko dan Pak Jarot langsung menyerahkan kunci vespa kepadaku.

Aku pun menerima kunci vespa ini dengan perasaan yang agak ragu.

“Beneran Pak.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Iya, bawalah.” Jawab Pak Jarot dengan mantapnya.

“Te, terimakasih Pak.” Ucapku dengan terbata dan Pak Jarot langsung mengangguk pelan.

Gila, mimpi apa aku semalam.? Kok hari ini tiba – tiba punya kendaraan roda dua, tanpa ada rencana sama sekali.? Waw.

“Ya sudah, bawa sekarang kimbaku sebelum aku berubah pikiran.” Ucap Pak Jarot.

“I, i, iya Pak.” Jawabku, lalu aku memasukan dokumen vespa ke dalam tasku, bersama tustel yang aku pegang dari tadi. Setelah itu aku langsung berjalan kearah vespa dibelakang mobil, lalu mengeluarkan vespa ke luar pagar.

Aku menstandarkan vespa dengan dibantu Joko. Lalu setelah itu aku memandangi setiap detail vespa yang berwarna putih ini, dengan mata yang berbinar. Bodi vespa ini mulus dan tidak ada lecetnya sama sekali. Vespa ini terlihat sangat terawat, walaupun jarang digunakan. Vespa ini terlihat benar – benar seksi, seseksi bokong Mba Yu Har dan Mba Tika yang semok itu. Jiancok. Hehehe.

Kretek, kretek, kretek.

Aku mengengkol vespa yang engkolannya terletak dibagian kanan.

Kretek, teng, teng, teng, teng.

Mesin mulai menyala dan aku langsung tersenyum dengan senangnya.

“Dah pulang sana.” Ucap Pak Jarot kepada kami.

“Siap Pak.” Ucapku dengan semangatnya, lalu aku naik keatas vespa dan Joko membantu menurunkan vespa dari standart dua.

Trenteng, teng, teng, teng.

Suara vespa yang terdengar cempreng, justru terdengar sangat merdu sekali ditelingaku.

Joko langsung naik dibelakangku, dan aku menekan kopling lalu memasukkan porseneling keatas.

Kletek.

Trenteng, teng, teng, teng.

“Saya balik Pak. Terimakasih.” Ucapku dan aku langsung berpamitan dengan senangnya.

“Hem.” Ucap Pak Jarot dan matanya terlihat sedikit berkaca – kaca.

“Semongko Pak.” Ucap Joko.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawabku dan Pak Jarot hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Trenteng, teng, teng, teng.

Dan akupun langsung menarik gas vespa, menuju kosanku.

“Jiancok. Mimpi opo awak dewe cok. hahaha.” (Jiancok. Mimpi apa kita cok. hahaha.) Ucap Joko sambil memeluk perutku lalu tertawa senang.

“Ga usah ngerangkul cok. Njijik’i.” (Gak usah meluk cok. menjijikan.) Ucapku sambil menggoyangkan tubuhku sedikit.

“Lapo.? Koen isin di delok’i wong akeh ta.? Ga ngurus cok, seng penting awak dewe nduwe vespa. Hahaha.” (Kenapa.? Kamu malu dilihatin orang banyak.? Ga urus cok, yang penting kita punya vespa. Hahaha.) Ucap Joko sambil mengeratkan pelukannya, lalu menempelkan wajah sampingnya dipunggungku.

“Asuu. hahahahaha.” Ucapku lalu aku tertawa dengan kerasnya.

Entah aku harus senang atau harus bagaimana, karena hari yang begitu luar biasa ini. Hari pertama bekerja, langsung dapat vespa. Walaupun itu kredit, tapi sangat membanggakan sekali bagiku. Dulu waktu STM, aku sering belajar menggunakan vespa teman – temanku dan aku sangat ingin mempunyai kendaraan bersuara merdu ini. Tapi apa daya, hari itu aku hanya bisa bermimpi.

Dan hari ini, hari ini salah satu impianku itu menjadi kenyataan. Aku sangat bangga sekali dan aku seperti menjadi orang yang paling bahagia didunia ini. Seandainya aku bisa berkeliling kota naik vespa bersama Intan, mungkin kebahagianku ini akan semakin lengkap.

Trenteng, teng, teng, teng.

Waw. Suaranya merdu, semerdu gesekan biola yang sering aku mainkan. Gilaa.

Aku dan Joko terus tertawa selama perjalanan sampai didepan kosan. Dan ketika sampai didepan kosan, Joko langsung turun dan masuk kedalam kosan. Joko keluar lagi sambil membawa ember dan perlengkapan mencuci.

“Diumba sek cok.” (Dicuci dulu cok.) Ucap Joko dengan semangatnya.

“Ganti sek klambimu cok.” (Ganti dulu pakaianmu cok.) Ucapku sambil menstandartkan vespa, diteras kosan. Aku ingin segera masuk kedalam kosan dan membagi kebahagianku ini dengan orang yang sangat kucintai. Siapa lagi kalau bukan Intan yang kusayang.

“Gau usah.” Ucap Joko sambil meletakkan tasnya diruang tengah, lalu melepaskan sepatunya.

Setelah itu Joko keluar lagi dan langsung mencuci vespa kami ini. Aku melepaskan sepatuku, lalu meletakkan tas diruang tengah juga. Setelah itu aku berjalan kearah kamarku dan membuka pintunya.

Dan ketika aku membuka kamarku, terlihat Intan sedang duduk dikursi dan melihat kearah jendelaku yang terbuka setengah.


Intan

“Tan, aku punya vespa loh.” Ucapku dengan senangnya dan aku berdiri didepan pintu kamarku.

“Iya, aku sudah lihat dari sini.” Jawab Intan dengan suara datar dan tidak melihat kearahku.

Cok, cuman begitu aja jawabnya.? Padahal aku kepengen membagi kebahagianku dengannya dan melihat senyuman manisnya untukku. Tapi justru ini yang kudapat.

Apa aku kecewa.? Pastilah, karena aku hanya ingin melihat senyumnya.

Terus apa aku marah.? Gila aja. Mana bisa aku marah sama orang yang aku cintai ini.

Hiufftt, huuu.

Akupun langsung membalikkan tubuhku dan berjalan gontai kearah teras kosan. Aku meraih rokokku dikantong belakang, lalu mengambil sebatang dan membakarnya. Dan setelah sampai diteras, terlihat Joko sedang mencuci kimba dengan semangatnya.

“Piye Jok.?” (Gimana Jok.?) Tanyaku lalu aku menghisap rokokku dan jongkok tidak jauh dari Joko.

“Seneng banget cok. Vespa ini salah satu impian kita waktu STM dulu.” Jawab Joko sambil terus mencuci vespa.

“Gak masalah itu cok. Hari pertama kerja maksudku itu.” Ucapku.

Joko pun langsung menghentikan kegiatannya, lalu melihat kearahku.

“Awakmu wes ono petunjuk ta.?” (Kamu sudah ada petunjuk kah.?) Tanya Joko dan arah pembicaraan kami, mengarah kepada Intan dan Mas Hendra Wijaya.

“Enggak, tapi menurutku banyak keanehan hari ini.” Ucapku.

“Dari proyek bendungan yang kelihatan disembunyikan dari kita dan proyek jalan yang ada dididesa utara.” Ucapku lagi lalu aku menghisap rokokku.

“Kalu proyek bendungan, aku gak mau terlalu mikir. Mungkin kantor Pak Danang cuman nge sub aja. Kalau proyek jalan, aku juga lihat ada keanehan.” Ucap Joko lalu melanjutkan mencucinya. (Nge sub disini artinya, mengerjakan proyek sebagai pihak kedua. Sedangkan hasil pekerjaannya, dibagi kepada pihak pertama yang memenangkan tender)

“Iya. bagaimana proyek yang ada didekat sarang preman seperti itu, bisa lancar dan gak ada gangguan sama sekali. Emang Pak Danang berani bayar uang keamanan berapa.? Dan kenapa kita gak boleh mendekat kearea gudang - gudang tua itu.? Belum lagi adanya Satria anak dari Pak Tomo disana.” Ucapku.

“Iya ya, kenapa Satria ada disana.?” Tanya Joko dan aku hanya diam sambil menghisap rokokku.

“Kuharap kamu berhati – hati Lang. Boleh kamu membantu siapapun, tapi ingat tujuan kita kekota ini. Jangan karena ingin memecahkan suatu mistery, kita akan mengubur impian kita dikota ini. Bukan hanya kita yang akan hancur, tapi semua orang – orang yang menyayangi kita didesa.” Ucap Joko mengingatkan aku.

“Hem.” Ucapku sambil menghisap dalam – dalam rokokku. Pikirankupun kembali kepada ke Pak jarot.

Pak Jarot. Kelihatannya beliau orang kepercayaan Pak Danang dan mungkin kunci dari semua mistery ini. Beliau seperti menghindarkan kami dari segala masalah. Mulai dari proyek bendungan sampai kita disuruh menjauhi preman – preman di gedung tua tadi. Beliau juga sampai memberikan kami vespa kesayangannya kepada kami, walaupun kami harus menebusnya.

Ada apa dengan beliau ya.? Orang yang baru pertama kenal, tapi seperti ingin menjaga kami. Masa cuman gara – gara melihat semangat kami, beliau jadi sebaik itu.? Apa mungkin kebaikan Pak Jarot itu, ada kaitannya dengan Mas Hendra Wijaya yang pernah bekerja dikantor Pak Danang.? Tapi apa hubungan kebaikannya kepada kami dengan sosok seorang Mas Hendra.? Terus apa kematian Mas Hendra ada hubungannya dengan pekerjaan yang dikerjakannya, sesuai ucapan Mas Kelvin hari itu.?

Mistery ini seperti benang kusut dan aku harus mengurainya satu persatu.

Hiuffftt, huuu.

“Gimana Mba Denok Jok.?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan, karena aku ingin menenangkan diri sejenak dan nanti saja lagi aku pikirkan mistery gila ini. Dan jujur pikiranku juga agak kacau karena sikap Intan beberapa hari ini.

“Cok. kenapa kamu tanya Mba Denok sama aku.?” Tanya Joko yang terkejut, sambil melihat kearahku.

“Terus aku harus tanya apa.? Trisno sama Guntur yang satu jurusan sama kamu.? Untungnya apa buat kita.?” Tanyaku.

“Ya gak ada untungnya sih bahas anak dua itu, mending kamu tanya Kinanti yang jurusan industry aja.” Ucap Joko lalu melanjutkan mencucinya.

“Asuu.” Makiku dan kami diam beberapa saat.

“Kamu suka sama dia ya.?” Tanyaku.

“Cok, buat apa aku suka sama Kinanti.? Kayak gak ada cewek lain aja, sampai mantanmu harus aku sukai.” Gerutu Joko.

“Assuu. Yang bahas masalah Kinanti siapa.? Yang aku maksud itu, Mba Denok cok.” Ucapku dengan nada yang agak tinggi.

“Eleh, gak usah bahas masalah itu kenapa sih.?” Ucap Joko yang sudah menyelesaikan mencucinya.

“Hehe. Hati – hati sama cewe kota Jok.” Ucapku lalu aku membuang puntung rokokku, setelah itu aku berdiri dengan santainya. Akupun sengaja memancing reaksi Joko, dengan ucapanku barusan.

“Emangnya kenapa.? Jadi cuman kamu aja yang boleh suka sama cewe kota.?” Tanya Joko yang terpancing ucapanku.

“Asu’ig. Rupanya kamu beneran suka sama Mba Denok ya.” Ucapku sambil memainkan kedua alisku.

“Cok.” Maki Joko yang salah tingkah.

“Awakmu iku gak iso nutupi teko aku cok. Awak dewe iki kenale gak setaun rong taun. raimu kate neseng ae aku ngerti, opo maneh raimu pas seneng ambe wedok’an.” (Kamu itu gak bisa nutupi dari aku cok. Kita ini kenalnya gak setahun dua tahun. Wajahmu mau buang air besar aja aku ngerti, apa lagi wajahmu pas senang sama perempuan.) Ucapku sambil melangkah masuk kedalam kosan.

“Matamu.” Ucap Joko dan aku hanya cuek saja, sambil meraih tasku diruang tengah dan melanjutkan langkah kearah kamarku.

Pintu kamarku masih terbuka dan terlihat Intan masih duduk dikursiku, sambil memandang kearah jendela kamarku.

Aku melangkah masuk kedalam kamarku, lalu menutup pintunya pelan. Setelah itu aku berjalan kearah Intan.

“Tan.” Ucapku menyapa Intan dan aku sangat merindukan wanita ini, walaupun sikapnya dingin seperti ini.

Entah kenapa, makin hari aku sangat mencintainya dan aku sangat merindukannya, bila aku berada diluar kosan. Perasaanku tidak menentu bila aku tidak melihat wajah manisnya sebentar saja.

Hiuufftt, huuu.

Dan seperti tadi, ekspresi wajah Intan hanya biasa aja ketika aku menyapanya. Kebiasaan ini dilakukan setelah aku mengungkapkan seluruh perasaanku dihari itu. Intan tidak pernah menunjukan senyum manisnya lagi kepadaku. Intan seperti tidak ingin memberikanku harapan, agar aku memperjuangkan cintaku kepadanya.

“Baru dari proyek ya.?” Tanya Intan sambil melihat kearahku dan tatapannya terlihat datar sekali.

“Iya, sekarang aku mau ngerjakan laporannya.” Ucapku dengan cueknya, lalu aku meletakkan tasku didekat meja dan aku mengganti kemejaku.

“Hem.” Jawab Intan lalu dia melihat kearah jendela lagi.

Setelah mengganti pakaian, aku hanya bisa berdiri didekat meja ini, karena Intan masih duduk dikursiku. Ingin sekali aku membelai rambut indahnya dan ingin sekali aku mendekap tubuhnya sebentar saja. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan, karena aku sudah berjanji tidak akan mengejar cintaku lagi kepadanya.

Berat.? Pastilah. Bagaimana gak berat kalau Intan setiap saat selalu ada didekatku, ketika aku dikamarku.

Apa lebih baik aku keluar dari kosan ini atau dia yang pergi.? Enggak, gak boleh seperti itu. Itu akan lebih menyakiti dan menyiksa diriku.

Jadi.? Biarkanlah ini mengalir seperti aliran sungai didesaku, yang menuju entah kemana. Aku akan menikmati perjalanan ini, walau sesakit apapun.

“Kamu mau kerja ya.?” Tanya Intan sambil menegakkan tubuhnya dan berdiri disebelah kursi.

“Kalau kamu masih mau duduk, duduk aja. Aku bisa kerja diruang tengah.” Ucapku dan Intan Langsung melihat kearahku.

“Enggak, kamu kerja aja disini.” Jawab Intan dengan dinginnya.

“Tapi kamu gak pergikan.?” Tanyaku.

“Emang aku mau pergi kemana.?” Intan bertanya balik, lalu di kami diam beberapa saat.

Suasana canggungpun, perlahan menguasai ruang kamar tidurku ini. Aku benci suasana ini dan aku ingin dia bersikap seperti biasa saja.

“Tan.” Ucapku dengan lembutnya, karena aku sudah mulai jenuh dengan pembicaraan yang canggung ini. Jujur aku merasa obrolan ini seperti orang yang baru pertama bertemu dan sangat membosankan sekali.

“Hem.” Jawabnya dan wajah yang tetap terlihat dingin sekali.

“Ada apa dengan kita.?” Tanyaku.

“Gak ada apa – apa. Lebih baik kamu sekarang kerja aja.” Ucapnya lalu berjalan kearah kasurku.

“Aku gak bisa kerja kalau ada yang mengganjal dipikiranku.” Ucapku yang perlahan larut dengan perasaanku.

“Kenapa lagi sih kamu itu Lang.?” Tanya Intan dengan nada yang sangat sinis sekali.

Hiuufftt, huuu.

Kenapa aku seperti ini sih.? Harusnya aku bisa menahan perasaanku ini dan tidak perlu larut didalamnya. Intan saja bisa menahannya dan bisa bersandiwara dihadapanku, kenapa aku tidak bisa.? Bagaimana kalau sikapku ini malah membuat Intan risih dan pergi dari sini secepatnya.? Apa gak gila aku.?

Memang benar Intan nanti juga pasti akan pergi, ketika semua sudah terungkap. Tapi setidaknya gak terburu – buru, karena sikap konyolku ini. Arrgghh. Bodoh banget sih aku.

“Enggak, enggak ada apa – apa. Maaf kalau aku terbawa suasana.” Ucapku lalu duduk sambil mengambil tasku dan membukanya.

“Lang, kamu gak bosan ya seperti ini terus.? Bisa gak kamu bicaranya ga pakai perasaan.?” Ucap Intan sambil berdiri disampingku dan melihat kearahku.

“Iya maaf.” Ucapku pelan dan aku tidak melihat kearahnya.

Aku mengambil laporan yang diserahkan Pak Jaka tadi kepadaku, lalu menumpuknya diatas meja.

“Maaf, maaf. Tapi selalu aja terulang. Bikin suasana jadi gak enak aja.” Ucap Intan dengan sinisnya.

Akupun langsung meraih rokokku lalu membakarnya. Pandanganku lurus kedepan dan tidak melihat kearah Intan sama sekali.

“Kamu itu kok gak sadar – sadar dengan kondisi kita yang seperti ini sih.? Kamu mau terjerumus lebih dalam, pada cinta yang tidak mungkin bersatu ini.?” Tanya Intan dan aku hanya diam saja.

“Sadar Lang, sadar. Jangan dibutakan perasaanmu itu. Jatuh dalam mengejar cinta itu biasa. Tapi bangkit, berdiri dan melangkah setelah jatuh, itu yang luar biasa.” Ucap Intan yang perlahan membuat gatal telingaku.

Jujur, jiwa kelakian ku langsung bangkit mendengar Intan mengucapkan kata – kata itu. Aku jatuh cinta kepadanya bukan sepenuhnya salahku, tapi juga karena kesalahannya yang lebih dulu menanamkan benih cinta didalam hatiku. Kalau dia tidak memulainya dihari itu, gak mungkin perasaan ini tumbuh dan gak mungkin sedalam ini akarnya tertanam didalam hatiku.

Tapi itu mungkin sebagian aja kesalahan Intan, mungkin sebagian kecil lah. Sebagian besar ya tetap salahku, kenapa aku mau dititipi benih cinta dan bisa tumbuh subur sampai detik ini. Harusnya aku bisa menebang benih yang sudah menjadi pohon ini, sebelum pohonnya benar – benar besar dan tinggi, sebelum akarnya menancap lebih dalam lagi, sebelum kerindangannya meneduhkan hati dan sebelum aku terjerembab dengan cinta yang katanya salah ini.

Tapi entar dulu. Emangnya cinta ini salah ya.? Sejak kapan cinta ini salah.? Cinta itu kan berasal dari hati yang terdalam, lalu digerakkan oleh rasa keseluruh tubuh dan menjajah seluruh isinya.

Aku sangat mencintai Intan dan Intan juga mencintai aku, walaupun dia mencoba menutupinya dengan sikap dinginnya ini.

Terus salahnya dimana.?

Mencintai dan dicintai itu adalah hak. Hak yang memang sudah ada disetiap diri mahluk ciptaanNya, ketika lahir didunia ini. Terus siapa yang mau menyalahkan kalau sudah seperti itu.? Kalau sudah ada yang berani menyalahkan, berarti urusannya kepada Sang Pencipta. Bukan sama mahluk ciptaanNya. Bener gak sih ucapanku ini.?

Mungkin yang salah itu, ketika kita memaksakan cinta ini supaya bersatu, padahal salah satunya tidak menginginkannya. Begitu ya.? (Arrghhh. bingung ya sama tulisanku.? Sama, aku juga bingung.)

“Orang yang kuat itu bukan berarti orang yang tidak pernah jatuh. Tapi orang yang kuat itu adalah mereka – mereka yang segera bangkit ketika jatuh, bukan malah menikmati kesakitannya.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar.

“Bagiku itu, mencintai adalah hal yang biasa. Yang luar biasa itu, ketika kita memperjuangkannya, walaupun tau akhirnya pasti akan terluka.” Ucapku yang terpancing dengan ucapannya barusan dan dia langsung terdiam.

“Aku sudah bersahabat dengan yang namanya luka, karena aku sudah terbiasa hidup dengan yang namanya berusaha.”

“Jangan, jangan ajari aku caranya bangkit ketika jatuh.”

“Kamu bisa menyuruhku melupakanmu dengan beribu pertimbangan, tapi aku akan tetap bertahan dengan satu alasan. Dan itu tidak perlu aku ucapkan.” Ucapku dengan tegasnya dan aku tetap tidak melihat kearah Intan.

“Maaf kalau kata – kataku ini membuatmu tidak nyaman. Dan mohon maaf sekali lagi, biarkan aku menikmati cintaku dengan caraku.” Ucapku menutup ucapanku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam.

“Nikmatilah apa yang bisa kamu nikmati Lang. Tapi ingat, terkadang Sang Pencipta mempertemukan, bukan untuk mempersatukan. Sesuatu yang singgah tidak selalu harus menetap, karena mungkin hanya ditakdirkan sebagai teman bercakap.” Ucap Intan dengan suara yang pelan.

“Kalau cuman mau singgah dan tidak menetap, harusnya tidak usah membawa hati yang ingin didekap.” Ucapku dengan santainya.

“Hiuuttff, huuuu.” Terdengar Intan menarik nafasnya dalam – dalam dan dia tidak bersuara lagi.





#Cuukkk. Kok bisa seperti ini ya.? Cinta yang ditakdirkan dikehidupanku ini membawa keberuntungan atau kesialan bagiku.? Enggak, enggak ada pilihannya seperti itu. Cinta itu indah, tergantung bagaimana kita menikmatinya. Walaupun sakit akhirnya, paling tidak kita pernah merasakan bagaimana indahnya ketika cinta itu bermekaran dihati, dan bagaimana nikmatnya cara berjuang untuk meraihnya. Terus arti kecewa itu apa.? Bajingaann. ‘Tambah mumet iki lek tak terusno ngetik’e, mending tak tinggal ngopi ae lah. Assuuu.’ (Tambah pusing ini kalau aku teruskan ngetiknya. Mending aku tinggal ngopi ajalah. Assuu.)
 
Terakhir diubah:
Selamat Pagi dan Updet di akhir pekan.

Semoga masih bisa dinikmati dan selamat berkumpul dengan keluarga.
Jangan lupa saran serta masukannya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.

:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd