Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 539 70,7%

  • Total voters
    762

BAGIAN 17
TRESNO (CINTA)





Ratna Silvi Juwita

“Kalau menggambar itu, diperhatikan tebal dan tipisnya garis Rat. Gak bisa disamakan seperti ini.” Ucapku kepada Ratna.

Ratna langsung melihat kearahku dan memperhatikan setiap ucapanku. Sementara diatas meja dihadapan kami, selembar kertas ukuran A3 terbentang dan sudah digambar denah rumah oleh Ratna. Gambar ini adalah tugas dari Pak Dulah minggu kemarin.

Oh iya, kami berdua sekarang berada dilantai dua perpustakan. Ratna memintaku untuk mengoreksi tugas yang sudah sebagian dikerjakannya ini.

“Bukannya kalau menggambar itu, yang penting terlihat garisnya dan orang paham dengan apa yang kita gambar.” Ucap Ratna dan aku hanya menggeleng pelan.

“Ya gak begitu Rat. Jadi gini – gini. Boleh aku tanya sama kamu.? kenapa wanita itu kalau dandan lama.? Padahalkan tinggal gores – gores alis, tempel bedak diwajah, gesek – gesek lipstik dibibir, selesai deh dandannya.” Ucapku dan Ratna langsung mengerutkan kedua alisnya.

“Gak bisa begitu dong Lang, semua ada caranya dan aturan pakainya. Kenapa seperti itu,? Tujuan berdandan itu supaya wanita terlihat makin cantik. Gak sembarangan loh. Memoles wajah itu gak boleh terlalu tebal atau terlalu tipis, supaya gak terlihat pucat atau terlihat norak. Gimana sih.? kok disamakan sama menggambar.” Ucap Ratna dengan nada yang sedikit ketus.

“Tuhkan, berdandan aja ada aturannya. Apalagi gambar teknis seperti ini.” Ucapku dan Ratna langsung tersenyum malu. Ratna sepertinya paham yang aku maksud, tanpa perlu aku jelaskan secara detail.

Beberapa saat kemudian, aku mengeluarkan sepasang penggaris segitiga. Penggaris segitiga pertama, mempunyai sudut kemiringan 30 derajat, 60 derajat dan 90 derajat. Sedangkan pengggaris segitiga yang kedua, berbentuk segitiga sama kaki dengan kemiringan sudut 45 derajat, 45 derajat dan 90 derajat.

“Itu untuk apa.?” Tanya Ratna.

“Ini.?” Tanyaku sambil mengangkat kedua penggaris segitiga ini dan Ratna langsung menganggukan kepalanya.

“Ya untuk menggambarlah.” Jawabku sambil meletakkan kedua penggaris segitiga itu diatas meja.

“Bukannya pakai penggaris yang ini ya.?” Ucap Ratna sambil mengeluarkan penggaris lurus dan panjangnya 30 Cm, dari dalam tasnya.

“Bisa juga pakai penggaris itu. tapi lebih mudah dan cepat memakai sepasang penggaris segitiga ini.” Ucapku.

“Kok bisa.?” Tanya Ratna.

“Gini deh aku ajarin. Tapi aku boleh hapus gambarmu ini dulu.?” Tanyaku ke Ratna dan dia langsung menganggukan kepalanya.

Aku lalu mengambil penghapus dan mulai menghapus garis – garis gambar yang digores menggunakan pensil ini. Setelah itu aku membersihkan kertasnya, dari sisa - sisa kotoran yang aku hapus tadi.

“Aku buatkan gambar denah rumahnya ya. Entar kamu yang lanjutin gambar tampak bangunan, potongan bangunan, detail dan lain – lainnya.” Ucapku dan Ratna kembali menganggukan kepalanya.

“Tapi sebelum menggambar denah dan lainnya, kita buat dulu kop gambar.”

“Kop gambar ini berfungsi sebagai keterangan gambar kerja kita. Isi dari kop gambar ini adalah, Judul gambar, lokasi kegiatan, skala gambar, nama yang menggambar, pemberi pekerjaan, keterangan yang ada didalam gambar, serta kolom tanda tangan.” Ucapku menjelaskan.

Aku lalu meletakkan kedua penggaris segitigaku keatas kertas gambar. Salah satu penggaris aku tekan dengan posisi tegak lurus, sementara penggaris satunya aku rapatkan dipenggaris satunya, lalu aku gerakan naik dan turun sesuai dengan ukuran kop gambar, setelah itu dilanjut denah rumah.

Aku menggoreskan pensilku keatas gambar dan Ratna memperhatikan dengan sangat serius.

“Oh, itu toh fungsinya dua penggaris segitiga ini.? Salah satu penggaris disusun sebagai tumpuan ukuran, dan yang satu tinggal naik dan turun sesuai ukurannya. Kalau pakai yang lurus ini kan, kita harus angkat dan pindah kesana kemari.” Ucap Ratna dan aku hanya mengangguk sambil terus menggores.

“Kalau menggambar denah seperti ini, selain ukuran ruangnya, perhatikan juga ukuran dari pasangan bata dan plesteran. Gak boleh semau kita sendiri menentukan lebar dan tebalnya.” Ucapku sambil melihat kearah Ratna, lalu melanjutkan menggambar lagi.

“Ukuran lebar pintu ruang tamu, ruang kamar tidur, dan kamar mandi, berbeda serta ada aturannya, gak bisa disama ratakan. Untuk gambar lantai teras dan kamar mandi, itu diarsir karena letaknya lebih rendah dari ruangan – ruangan lainnya.” Ucapku menjelaskan lagi.

“Terus ketebalan garisnya gimana.?” Tanya Ratna.

“Untuk garis tepi kop ini, ada dua dan jaraknya jangan terlalu jauh. Satu tebal dan satu tipis. Untuk membuat kolom – kolom keterangannya pun, jangan memakai garis yang tebal. Dan tulisan keterangannya, nanti kita buat memakai mal huruf dan angka. Ini pun ada ukuran tebal dan tingginya.” Jawabku, lalu aku menjelaskan ketebalan garis – garis gambar lainnya, untuk membuat sebuah bangunan rumah.

“Cepet banget sih kamu gambar denahnya. Aku aja semalaman loh gambar denah ini.” Ucap Ratna, ketika aku selesai menggambarkan denah rumahnya dan aku hanya tersenyum saja.

“Gambarmu mana.?” Tanya Ratna kepadaku.

Aku lalu mengeluarkan hasil gambarku semalam dan menujukan kepada Ratna.

“Loh kok kamu sudah selesai.?” Tanya Ratna terkejut.

“Ini baru denah, tampak dan potongan Rat. Belum gambar detail kuda – kuda, atap, dan pondasi.” Jawabku.

“Gitu ya.?” Ucap Ratna sambil menganggukan kepalanya.

“Kita konsultasi ke Pak Dulah dulu yuk.” Ajakku ke Ratna.

“Tapi aku kan baru gambar denah aja Lang, itupun kamu yang gambar.” Ucap Ratna.

“Gak apa – apa, seadanya aja. kan masih lama juga ngumpul tugasnya.” Jawabku sambil merapikan gambarku dan peralatan gambarku kedalam tas.

“Sekarang itu, yang penting asistensi dulu. Siapa tau nanti banyak koreksi dari Pak Dulah.” Ucapku lagi dan Ratna langsung menganggukan kepalanya, lalu merapikan peralatannya juga.

Setelah semua masuk kedalam tas, aku dan Ratna langsung menuju keruangan Pak Dulah untuk asistensi gambar kami.

Tidak ada antrian terlihat didepan ruangan Pak Dulah. Mungkin teman – temanku yang lain, besok atau lusa asistensinya.

TOK, TOK, TOK.

Aku mengetuk pintu ruangan Pak Dulah yang terbuka. Dan didalam ruangan sana, Pak Dulah sedang mengerjakan sesuatu dimeja kerjanya.

“Masuk.” Ucap Pak Dulah sambil melirikku, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Aku langsung melirik kearah Ratna dan mengkodenya untuk masuk terlebih dahulu. Awalnya Ratna menolak, tapi aku tetap menyuruhnya masuk terlebih dahulu.

“Permisi Pak.” Ucap Ratna yang akhirnya mau masuk duluan keruangan Pak Dulah, sedangkan aku masih berdiri didekat pintu ruangan.

“Kamu juga masuk.” Ucap Pak Dulah tanpa melihat kearahku.

“Saya Pak.?” Tanyaku dan Pak Dulah hanya melirikku.

Aku lalu masuk kedalam ruangan dan berdiri bersama Ratna yang belum duduk.

“Mohon maaf Pak, kami mau asistensi tugas gambar.” Ucapku dengan sangat sopannya.

“Duduklah.” Ucap Pak Dulah.

Aku dan Ratna lalu duduk dihadapan Pak Dulah, setelah itu kami mengeluarkan tugas gambar dari tas masing – masing. Aku dan Ratna menghamparkan lembaran kertas kami dihadapan beliau. Pak Dulah melihat gambar kami bergantian, lalu mengambil spidol berwarna hitam. Dan tiba – tiba.

Sret, sret.

Beliau memberi tanda silang yang begitu besarnya dikertas gambarku, dari ujung bawah keujung atas lembar kertasku.

Aku yang terkejut hanya diam sambil menatap kearah beliau yang tidak melihat kearahku.

Ratna yang duduk disebelah kiriku, langsung ketakutan sambil membalikan kertas gambarnya.

“Buka lagi gambarmu.” Perintah Pak Dulah kepada Ratna, tanpa melihat kearahku dan menjelaskan tentang kesalahan gambarku, yang baru beliau coret.

Ratna melirikku dengan ketakutan, lalu perlahan membalik kertas gambarnya lagi dengan tangan yang bergetar.

Pak Dulah melihat gambar Ratna sebentar, lalu melirik kearahku setelah itu melihat kearah Ratna lagi.

“Kamu ajari dia cara menggambar yang baik, seperti gambarmu ini. Tapi ingat, kasih tau caranya saja dan jangan pernah kamu gambarkan dia.” Ucap Pak Dulah kepada Ratna dan aku langsung tertunduk mendengarnya.

Gila. Apa maksud Pak Dulah ini.? Apa perbedaan gambar Ratna dengan gambarku.? Kenapa Beliau hanya mencoret gambarku, tanpa menjelaskan kesalahanku.? Apa Beliau menyindirku karena aku yang menggambarkan tugas Ratna.? Tapi bagaimana Beliau tau kalau itu aku yang menggambar.? Atau Beliau memang tidak tau dan aku memang disuruh belajar ke Ratna.?

Hiufftt, huuu.

“Tapi Pak.” Ucap Ratna terpotong.

“Sekarang kalian keluar.” Ucap Pak Dulah lalu menunduk dan melanjutkan pekerjaannya.

“Pak.” Ucap Ratna tapi dia langsung terdiam karena Pak Dulah meliriknya dengan tajam.

“Maaf Pak.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar.

“Saya undur diri Pak.” Ucapku sambil mengambil kertas gambarku yang dicoret Pak Dulah barusan.

Pak Dulah tidak menjawabnya dan beliau hanya terus menulis dimeja kerjanya.

Aku dan Ratna langsung saling melihat. Wajah Ratna terlihat bersedih dan terlihat juga dia sangat bersalah kepadaku. Aku tersenyum kepadanya sambil mengangguk, lalu aku berdiri.

“Saya pamit Pak.” Ucapku kepada Pak Dulah dan Ratna langsung berdiri.

“Hem.” Jawab Pak Dulah.

Kami berdua pun langsung keluar dari ruang Pak Dulah.

“Lang. hiks, hiks, hiks.” Ratna langsung menangis ketika kami sudah keluar dan sekarang berada disebelah gedung ruangan dosen.

“Eh, kenapa Rat.?” Tanyaku yang terkejut dan aku langsung menghentikan langkahku.

Aku menghadap kearah Ratna yang tertunduk dan dia langsung menangis sesenggukan.

“Hiks, hiks, hiks.”

“Rat, Rat.” Ucapku yang mencoba menenangkannya.

Ratna yang menunduk langsung memelukku dengan sangat erat sekali.

“Hiks, hiks, hik,” Tangisnya makin kencang didadaku.

Aku pun dengan refleks membalas pelukannya dan membelai rambut belakangnya. Karena tangisnya yang semakin menjadi, aku membiarkan dirinya untuk meluapkan semua yang mengganjal dihatinya.

“Ma, ma, maaf. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna lalu dia menangis lagi.

“Maaf untuk apa.?” Tanyaku sambil mengelus rambutnya pelan.

“Maaf karena gambarmu dicoret. Harusnya kan punyaku yang dicoret, bukannya gambarmu. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna dan dia masih melanjutkan tangisnya.

“Sudah, sudah. Gak usah terlalu dipikir. Aku memang harus banyak belajar.” Ucapku dengan sangat lembut sekali.

“Gak gitu Lang. Benar kata Pak Dulah tadi. Harusnya kamu ajari aku cara menggambarnya, bukan menggambarkannya.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearahku, tapi tetap memelukku.

“Bukannya kata Pak Dulah kamu yang harus ajari aku.?” Ucapku menggodanya, supaya dia tidak bersedih lagi.

“Iiiiihhhh. Kamu nyindir aku ya.?” Ucap Ratna dengan manjanya, dan tangisnya sekarang sudah berhenti.

“Sudah gak usah dibahas. Kita keruangan yuk, sebentar lagi ada jadwal kuliah loh.” Ucapku dan kami berdua langsung melepaskan pelukan kami ini.

“Tapi Lang.” Ucap Ratna terpotong karena aku mengkodenya untuk diam.

Aku lalu membalikan tubuhku dan ketika aku melangkah, Ratna masih berdiri dengan wajah yang terlihat jengkel kepadaku.

“Ayolah.” Ucapku sambil menoleh kearahnya, lalu aku menarik tangannya pelan.

“Jahat.” Gerutu Ratna dan dia mengikuti tarikan tanganku ini.

Dan ketika aku menarik tangan Ratna, aku melihat seorang wanita berdiri didepan laboratorium teknik sipil yang melihat kearah kami. Aku sempat melihat kearah wanita itu, tapi aku langsung membuang muka dan berjalan dengan santainya.

Tatapan wanita itu terlihat datar. Tidak terlihat kemarahan, kecemburuan atau bahkan tatapan cinta seperti biasanya. Wanita itu melihatku, seolah aku ini orang yang baru dikenalnya dan tidak memiliki hubungan khusus dengannya. Wanita itu adalah Gendhis.



Gendhis

Gila. Kenapa dia menatapku dengan tatapan datar dan biasa aja ya.? Bukannya aku mau mengharap lebih atau ingin mengorek luka hatiku lagi, bukan seperti itu. Tapi menurutku aneh saja. Walaupun kami berdua belum sempat berpacaran, tapi sikap Ghendis berubah sangat dratis sekali kepadaku, semenjak aku melihatnya berpegangan tangan dengan Dani dihari itu.

Tidak ada tatapan cinta, senyum manis atau raut wajah bahagia diwajahnya ketika melihatku beberapa hari ini. Aku jadi curiga kalau selama kami dekat kemarin, bukan dia yang bersikap penuh kasih sayang dan cinta kepadaku. Memang raganya yang dekat denganku, tapi mungkin jiwa Intan yang merasukinya.

Tapi apa bisa seperti itu ya.? Sudahlah, aku gak mau terlalu memikirkannya. Aku mau merawat luka hatiku yang masih kecewa karenanya. Nanti setelah sembuh, baru aku akan mendekatinya lagi. Bukan untuk mengemis cintanya, tapi aku ingin mengungkap tabir kematian Intan yang berhubungan dengan kekasihnya, Dani.

Entah Dani yang membunuhnya atau dia yang tau jalan ceritanya. Tapi kata Mas Pandu, Dani yang akan membukakan jalanku untuk semua misteri ini. Gak tau bagaimana caranya, karena aku masih belum bisa berpikir untuk melangkah kearah sana.

Hiuffttt. Huuu.

Dan sekarang aku sudah berada didepan gedung kuliah teknik sipil. Aku berdiri bersama Ratna dan aku sudah tidak memegang tangannya.

“Lang.” Panggil Gandi yang berjalan kearahku bersama Naryo.

“Oi, kemana yang lain.? Kok sepi.?” Tanyaku sambil melihat kekanan dan kekiri. Tidak terlihat teman – temanku sekelasku atau teman seangkatanku didepan gedung kuliah ini.

“Teman – teman lagi dibelakang gedung ini.” Jawab Naryo.

“Ada acara apa.?” Tanyaku.

“Kita lagi persiapan untuk liga sepak bola teknik sipil minggu depan.” Jawab Gandi.

“Terus.?” Tanyaku sambil mengeluarkan rokok kretekku, lalu mengambilnya sebatang. Aku lalu menawarkan bungkusan rokokku kepada Gandi dan Naryo, tapi mereka menolaknya sambil mengeluarkan rokok masing – masing. Akupun memasukkan bungkusan rokokku dikantong lagi, lalu membakar rokokku.

“Rencana semua teman – teman mau latihan sore ini, jadi gak ada yang kuliah.” Jawab Gandi.

“Kenapa gak kuliah.? Sekarang masih jam satu kurang, kuliah jam satu dan selesai kuliah nanti sekitar jam tiga. Kan masih sempat kalau kuliah, kenapa harus bolos.?.” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku.

“Masih ada yang perlu diomongin dan kita butuh persiapan untuk latihan nanti sore.” Jawab Naryo.

“Oh, ya sudah.” Jawabku singkat.

“Kamu kuliah Lang.?” Tanya Ratna kepadaku.

“Iyalah, tujuanku kesini kan mau kuliah, bukan mau menjadi pemain bola.” Jawabku dengan santainya.

“Gak setia kawan kamu Lang.” Ucap Gandi kepadaku.

“Terserah kamu mau ngomong apa, walaupun sendirian, aku tetap masuk kuliah.” Jawabku.

“Cuman sekali aja loh Lang. masa kamu gak mau bolos bareng kami sih.?” Tanya Naryo kepadaku.

“Yo’, ini bukan masalah setia kawan atau tidak. Ini masalah tujuanku kekota ini yang ingin berkuliah. Mungkin bagi kalian tidak masuk sekali gak apa – apa. Tapi bagi aku yang miskin ilmu ini, sekali pertemuan itu sangat berharga sekali.” Jawabku.

“Tapi kalau kita tidak masuk bersama – sama, minggu depan bisa kita dapatkan ganti ilmu hari ini. Lagian dosen kita juga pernah gak masuk kok.” Ucap Gandi dengan nada yang sangat sinis sekali.

“Terserah bagaimana pendapatmu Gan. Tapi aku tetap akan masuk hari ini.” Ucapku lalu kembali aku menghisap rokokku.

“Lang, Lang. begitu amat cara belajarmu. Lagian kalau kita gak masuk sekali juga apa – apa kok. Paling banter dosennya ngambek, terus gak diluluskan semester ini. Tahun depan kita bisa ngulang bareng.” Ucap Naryo dengan nada yang jutek.

“Terus kamu mau nanggung dosa semua teman – teman angkatan kita kepada kedua orang tuanya.?” Tanyaku sambil menatap mereka berdua bergantian dan mereka langsung terdiam.

“Mungkin bagi kalian, gagal satu mata kuliah dan mengulang tahun depan itu biasa. Tapi bagaimana dengan teman – teman yang lain.? Mengulang satu mata kuliah, berarti tidak bisa mengambil mata kuliah yang lain. Itu berarti kuliahnya bisa mundur setahun. Kebiasaan – kebiasaan seperti itu, akhirnya bisa berpengaruh bagi mata kuliah yang lain. Dan akhirnya, lulusnya pasti bisa molor.” Ucapku dan mereka berdua hanya terdiam sambil menghisap rokoknya.

“Bagi kalian mungkin biasa, karena orang tua kalian mampu membiayai kuliah sampai bertahun – tahun diluar target delapan semester. Tapi bagaimana teman – teman yang kondisinya pas – pasan atau orang tuanya malah berhutang demi anaknya supaya bisa berkuliah.? Belum lagi setelah lulus, sebagian teman kita itu termasuk aku, tidak ada kelanjutan untuk dinasti pekerjaan yang diwariskan kepada kami. Jangan hanya demi sebuah kalimat ‘setia kawan’ kita memaksakan kehendak kita.” Ucapku dan wajah mereka terlihat bingung mendengar ucapanku ini.

“Bukan aku sok bijak menasehati kalian, bukan seperti itu. Aku sudah melaksanakan kewajibanku sebagai mahasiswa dikampus ini, dan sekarang aku hanya ingin mendapatkan hakku sebagai mahasiswa. Silahkan kalian bersenang – senang dan menikmati masa kuliah ini, tapi biarkan aku juga menikmati masa kuliah ini dengan caraku sendiri.” Ucapku dan mereka berdua langsung menunduk.

“Sudahlah, aku mau kuliah dulu.” Ucapku lalu berjalan sambil menghisap rokokku.

“Lang, aku ikut.” Ucap Ratna dari arah belakangku.

“Hem.” Jawabku dan Ratna langsung berjalan cepat kearah sampingku.

“Oh iya. kalian boleh bolos pada saat kuliah seperti ini. Tapi aku harap pada saat sidang skripsi kelak, kebiasaan bolos seperti ini tidak kalian lakukan.” Ucapku sambil menghentikan langkahku dan menoleh kearah Gandi serta Naryo.

“Asuuu.” Maki mereka berdua dan aku langsung berjalan lagi kearah lantai dua gedung kuliah.

Kami berdua melangkah naik katas tangga dan meninggalkan Naryo serta Gandi yang masih didepan gedung kuliah.

“Beneran kita kuliah berdua aja.?” Tanya Ratna ketika kami sudah berada dibeberapa anak tangga.

“Enggak.” Jawabku singkat.

“Terus.?” Tanya Ratna yang kebingungan.

“Nanti aku mau minta ijin kedosennya, supaya hari ini gak ada perkuliahan.” Jawabku.

“Kalau gitu kenapa gak bolos sekalian aja.?” Tanya Ratna kepadaku.

“Ini masalah adab Rat. Gak baik membuat dosen kecewa karena kita bolos bareng. Bukannya aku mau cari muka sama dosen, tapi aku hanya mau meminta ijin apapun yang akan terjadi nanti.” Jawabku.

“Emang kamu bisa meyakinkan dosen kita, dengan ketidak hadiran teman – teman.?” Tanya Ratna.

“Gak tau, yang penting niat kita baik. Niat baik itu, hasilnya pasti baik.” Jawabku dan kami sekarang sudah berdiri didepan ruangan yang masih sepi. Dosen pun belum terlihat hadir.

“Eleh. Gak semua niat baik, hasilnya pasti baik. Buktinya tadi, kamu sama aku diruangan Pak Dulah bagaimana.?” Tanya Ratna lagi.

“Hasilnya kamu mau belajar menggambar dengan baik, ya kan.?” Tanyaku balik.

“Tapi gambarmu dicoret.” Ucap Ratna dengan ketusnya.

“Masih bisa diperbaiki dan kemungkinan untuk lulus mata kuliah menggambar, masih terbuka lebar semester ini. Berbeda kalau kita mengecewakan dosen dengan ketidak hadiran kita semua, bisa dapat nilai E satu angkatan kita nanti.” Ucapku dan Ratna langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Satu lagi pertanyaanku. Kenapa kamu ngomong sama teman – teman kalau kamu kuliah, bukannya jujur kalau meminta izin untuk menunda kuliah hari ini.?” Tanya Ratna lagi.

“Supaya kebiasaan seperti ini, tidak diulangi oleh mereka.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

Dan bersamaan dengan itu, dosen yang kami tunggu berjalan kearah kami. Tampak dibelakang dosen yang kami tunggu itu, semua teman – temanku berjalan dan terlihat ingin mengikuti mata kuliah siang ini.

Mereka semua tampak tersenyum kearahku dan Ratna yang melihat hal itu, langsung menggelengkan kepalanya sambil melihat kearahku.

Dosen masuk kedalam ruangan dan Gandi langsung berjalan kearahku, sambil mengepalkan tangan kanannya kearahku.

“Semongko.” Ucap Gandi pelan.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawabku pelan dan diikuti semua teman – temanku. Aku mengatakan itu sambil meninju kepalan tangan Gandi pelan.

Aku lalu merangkul pundak Gandi dan masuk kedalam ruangan untuk berkuliah bareng. Kami semua mengikuti mata kuliah ini sampai selesai, lalu setelah itu, kami melanjutkan dengan latihan untuk persiapan liga teknik sipil yang akan diadakan minggu depan.



Saat matahari akan terbenam dan aku baru tiba dikosanku.

“Bau.” Ucap Intan ketika aku baru masuk kedalam kamarku.



Intan

Kemeja yang aku kenakan waktu kuliah tadi siang, memang basah oleh keringatku. Aku tidak sempat balik kekosan untuk mengganti pakaian, ketika bergabung dengan teman – temanku waktu bermain bola tadi. Aku juga sempat mengikuti seleksi untuk menjadi pemain inti di liga sipil nanti. Walaupun akhirnya aku hanya bisa lulus sebagai pemain cadangan, paling tidak aku sudah mengeluarkan semua kemampuanku.

“Biar bau kamu juga suka sama aku kok.” Ucapku dengan entengnya, lalu aku membuka satu persatu kancing kemejaku.

“Ihhhhh. Siapa juga yang suka sama kamu.?” Ucap Intan sambil mencubit pundakku pelan.

“Duh, duh, duh. Kenapa sih pakai acara cubit – cubit segala.” Ucapku sambil menggeser tubuhku sedikit, sehingga cubitan mesra Intan terlepas.

“Kamunya juga begitu. Yang suka kamu kan Gendhis, bukan aku.” Ucap Intan dengan sedikit meraju. Aku lalu menggeser tubuhku dan menghadap kearah Intan.

“Beneran Gendhis yang suka sama aku.? Bukannya kamu.?” Tanyaku dan Intan langsung terkejut dengan mata yang melotot kearahku.

“Kalau dia yang suka sama aku, kenapa harus kamu yang terus membayangi aku dengan segala wujud dan tingkah lakunya.? Apa Gendhis tidak mampu melakukannya sendiri.? Atau ini hanya caramu untuk menjodohkan aku dengan Gendhis.?” Tanyaku dan mata Intan langsung berkaca – kaca.

“Tan, kamu telah memulai segalanya. Kamu telah membuat hatiku yang selama ini terkubur dan sakit karena cinta, sekarang mulai pulih dan sanggup untuk menumbuhkan bunga cinta dihatiku lagi.” Ucapku dan Intan langsung menunduk mendengar ucapanku.

“Walaupun selama ini kamu melakukannya dengan wujud orang lain, tapi cinta tak pernah berbohong dan cinta tak pernah salah untuk datang menghampiri. Cinta tak pernah salah alamat, walaupun kamu memakai wujud siapapun.”

“Kamu tau alasannya.? Bagiku cinta itu tentang rasa, bukan tentang raga. Cinta itu dari hati, bukan dari ambisi. Dan sekarang kamu telah menumbuhkan cintaku yang abadi, seperti ruh yang tak pernah mati.” Ucapku dan Intan langsung mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tajam.

“Jangan berbicara cintamu kepadaku lagi.” Ucapnya sambil menunjuk kearah wajahku.

“Kenapa.? Bukannya kamu yang memulai.? Kenapa sekarang kamu yang marah.? Sudahlah Intan. Aku sudah bilang, cinta itu dari hati. Jadi jangan samakan aku seperti Hendra Sanjaya.” Ucapku dengan tenangnya.

“GILANG.” Teriak Intan dengan emosinya.

“Asuu, assuu. Lapo maneh sek awakmu wong loro iku.? Rame ae ben dino. Njaluk dirabi’no ta.?” (Kenapa lagi sih kalian berdua itu.? ribut aja tiap hari. Minta dikawinkan kah.?). Ucap Joko dari luar kamarku.

“DIAM.” Ucapku dan Intan dengan kompaknya, sambil melihat kearah pintu kamar yang tertutup.

“Jiancok. Kudune awakmu wong loro iku seng meneng. Lek kate gak tak riwu’i, ngomonge nang kuburan kono loh.” (Jiancok. Harusnya kamu berdua itu yang diam. Kalau gak mau aku ikut campur, ngomongnya dikuburan sana loh.) Ucap Joko yang tak kalah emosi.

“Ben wayah surub ngene, rame ae terus. Kate ngetokno setan nde atimu iku ta.? Bajingan. ” (Setiap waktu matahari mau tenggelam, ribut aja terus. Mau mengeluarkan setan yang ada dihatimu itukah.? Bajingan) Ucap Joko yang terus mengomel dan itu membuat kami berdua langsung terdiam.

Mendengar kami tidak bersuara, terdengar langkah Joko kearah kamarnya, lalu dia menutup pintu kamarnya.

“Kenapa kamu bawa – bawa Hendra dalam masalah kita ini.?” Tanya Intan dengan suara yang pelan tapi tegas.

“Kenapa.? Emang salah kalau aku bawa – bawa Hendra.?” Tanyaku dengan suara yang agak keras.

“Gak iso meneng ta awakmu iku.? Njaluk tak idek cengelmu ta.?” (Gak bisa diam kah kamu itu.? Minta diinjak kepala belakangmu kah.?) Ucap Joko dari arah kamarnya.

“Asuuu.” Gumamku pelan, sambil menunduk lalu melihat kearah Intan lagi.

“Jangan samakan aku dengan Hendra ya. Gendhis suka Hendra, Hendra suka sama kamu, tapi kamu gak suka dengan Hendra. Sedangkan aku.? Aku dan Gendhis sama – sama tidak memiliki rasa. Jadi kenapa kamu paksakan aku untuk bersama dia.? Emang aku ini laki – laki apakah.?” Tanyaku dengan suara yang pelan.

“Laki – laki apa’an.” Ucap Intan yang mengoreksi ucapan terakhirku tadi.

“Iya itulah maksudku.” Ucapku dengan jengkelnya.

“Aku suka sama kamu dan kamu suka sama aku, selesaikan.?” Ucapku lagi.

“Gak usah ge er, siapa yang suka sama kamu itu.?” Jawab Intan sambil melihat kearah yang lain. Intan seperti menghindar dari tatapanku dan dia mencoba menutupi perasaannya kepadaku.

“Beneran kamu gak suka sama aku.? Beneran kamu gak cinta sama aku.? Beneran kamu gak sayang sama aku.?” Tanyaku.

“Enggak.” Jawab Intan dan dia tetap tidak melihat kearahku.

“Kalau ngomong sambil lihat aku, jangan lihat kearah yang lain.” Ucapku dan Intan langsung melihat kearahku.

“Apasih maumu itu.?” Tanya Intan kepadaku dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Aku mau cintamu untukku.” Ucapku sambil menatapnya dengan dalam.

“Enggak.” Jawab Intan sambil membalas tatapanku.

“Kenapa.? Kenapa kamu gak mau jujur tentang perasaanmu.? Apa yang salah dengan semua ini.?” Tanyaku lagi dan Intan hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Salah, karena kita berbeda alam dan kamu lebih pantas untuk bersanding dengan Gendhis. Kamu lebih pantas bersamanya, untuk meraih impianmu. Impian yang menjadi tujuan utamamu datang kekota ini.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar.

“Oke , aku gak akan memaksakan kamu untuk menerima cintaku. Tapi satu hal yang perlu aku garis bawahi. Bukan kamu yang berhak untuk bilang pantas atau tidak pantas tentang semua ini, kamu juga gak berhak mengatur kehidupan cintaku.” Ucapku dan Intan langsung terdiam mendengarnya.

Akupun langsung berjalan kearah pintu kamarku, untuk kekamar mandi. Intan terus terdiam dan sempat terlihat matanya berkaca – kaca.

Dan ketika aku keluar kamar, terlihat Joko berada didapur dan sedang memasak.

Hiuuffttt, huuu.

Aku jadi gak enak dengan sahabatku satu ini. Aku dan Intan selalu menyuguhi keributan kepadanya, ketika akan menjelang malam seperti ini.

“Masak ta awakmu cok.?” (Masak kah kamu cok.?) Tanyaku sambil mendekat kearah Joko, untuk mencairkan suasana yang agak gak enak tadi.

“Iyo cok, pangananku sego, dudu tresno.” (Iya cok, makananku nasi, bukan cinta.) Jawab Joko sambil memindahkan nasi ke dandang yang ada diatas kompor.

“Masak gak nggawe tresno, gak penak cok.” (Masak gak pakai cinta, gak enak cok.) Ucapku yang sudah berdiri didekatnya.

“Tresno utowo katresnan iku, gak perlu koen omongi cok. Awakmu dewe loh seng ngomong.” (Cinta itu gak perlu kamu ucapkan cok. kamu sendiri loh yang bilang) Ucap Joko sambil melihat kearahku dan aku hanya menatapnya.

“Katresnan iku babagane roso. Dadi opo sing koen demok naliko nggunakake katresnan, bakal nyelehake ing ati.” (Cinta itu tentang rasa. Jadi apa yang kamu sentuh kalau menggunakan cinta, pasti meresap kedalam hatimu.) Ucap Joko dan aku hanya tersenyum saja.

“Berarti awakmu tresno nang aku.?” (Berarti kamu cinta sama aku.?) Tanyaku bercanda.

“Ya, mesthi wae. Uripku iki kebak katresnan lan aku diubengi dening tiyang ingkang nresnani aku” (Ya iyalah. Hidupku ini penuh dengan cinta dan aku dikelilingi oleh orang yang mencintai aku) Jawab Joko sambil memainkan kedua alis matanya.

“Assuu.” makiku lalu aku melangkah kearah meja dan mengambil sayur bayam yang dibeli Joko..

“Ra usah meti’i jangane cok. koen durung ados iku loh.” (Gak usah metik sayurannya cok. kamu belum mandi itu loh.) Omel Joko ketika aku akan memetik ujung sayur bayam.

“Vitamin suu.” Jawabku.

“Vitamin dengkulmu iku. Ndang aduso kono, aku ae seng masak.” (Vitamin lututmu itu. cepat mandi sana, aku aja yang masak.) Omel Joko lagi

“Iyo cok, iyo.” Ucapku dan aku langsung meletakkan tangkai sayur bayam ini, lalu melangkah kearah kamar mandi.

Hiuufftt, huuu.

Itu lah Joko. Walaupun dia marah atau jengkel kepadaku, itu hanya diucapannya saja. tapi hatinya sangat baik sekali. Dan satu lagi, setiap apa yang diucapkannya ketika aku melakukan kesalahan, pasti tersirat pesan yang amat dalam. Walaupun dalam pengucapannya, selalu membuat gatal telingaku.

Joko itu bukan hanya seperti sahabat atau temanku selama ini, tapi dia itu saudara yang selalu mengingatkanku ketika kaki ini salah melangkah. Dan sudah berkali – kali dia menarik tanganku, ketika aku akan tersesat.

Hiuufftt, huuu.

Oh iya, bagaimana cintaku dengan Intan ya.? Kalau boleh jujur, apa yang aku ucapkan kepadanya itu tidak main – main. Aku memang benar – benar mencintainya dari dalam hati dan cintaku ini benar – benar nyata. Walaupun Intan sendiri bukan mahluk yang nyata dan sekarang sudah tidak beraga. Tapi apa arti sebuah raga, ketika cinta sudah melanda.

Aku sangat – sangat menyintainya, karena bagiku mencintai Intan itu seperti mengejar Impianku yang mungkin bagi orang dianggap gila. Aku yang kurang mampu ini, mempunyai impian setinggi langit. Setinggi cintaku kepada Intan. Kalian tau langit.? Langit itu tak berujung dan kalian tidak akan bisa menyentuhnya menggunakan ilmu apapun. Itulah cintaku dan impianku sekarang.

Sudahlah, lebih baik aku sekarang mandi dan membasahi kepalaku. Kepalaku ini sudah panas dan butuh didingankan. Sebenarnya kepalaku bisa dingin, seandainya Intan membelainya dengan lembut. Bukan hanya dingin, pasti aku akan mendapatkan kedamaian dan ketenangan dari sentuhan orang yang saat ini kucintai itu.

Arrgghhh. Kenapa bisa seperti ini ya.? Tujuanku kekota ini kan untuk memujudkan Impianku, kenapa sekarang justru terkurung dalam cinta yang gila ini.? Tapi gak apa – apa, aku akan meraih impianku bersama cinta yang selalu ada disisiku, Intan. Intan yang sangat kucintai.

Hiuufftt, huuu.

Dan setelah mandi, aku lalu makan bersama Joko. Nasi panas, sayur bening, ikan asin, sambel dan tidak lupa tempe goreng. Makanan yang sangat nikmat, sehat dan membuat tubuh semakin kuat.

Setelah selesai makan dan beristirahat sejenak, kamipun bersiap untuk berangkat mengamen. Aku masuk kedalam kamarku dan Joko juga masuk kedalam kamarnya. Pada saat aku masuk kedalam kamarku, terlihat Intan duduk dikursiku dan dia melihat kearah jendela kamarku.

“Aku pamit, aku mau ngamen.” Ucapku sambil berjalan kearah kotak biolaku. Aku mengucapkannyapun, tidak melihat kearah Intan.

“Jangan pernah mengharap cintamu terbalas oleh cintaku. Kubur dalam – dalam dan lupakan semuanya.” Ucap Intan dan aku langsung melihat kearahnya.

“Kalau kamu tidak bisa melakukannya, aku yang akan melakukannya, walapun aku harus meninggalkanmu saat ini juga.” Ucap Intan sambil menoleh kearahku.

“Aku tidak akan bisa melupakanmu, apa lagi berhenti mencintaimu. Walapun ragaku harus terkubur, ruhku akan terus mencintaimu.” Ucapku pelan tapi sangat tegas sekali.

“Gak usah gila kamu Lang. Kita berbeda alam dan cinta kita gak mungkin akan bersatu.” Ucap Intan sambil berdiri dengan diiringi tatapan tajamnya.

“Cintaku memang gila dan kamu yang membuat cinta ini makin menggila.” Ucapku dan wajah Intan langsung berubah menjadi sedih, serta tatapan mata yang berubah menjadi sayu.

“Silahkan kamu pergi meninggalkan aku, silahkan. Aku tidak akan menghalangimu dan aku tidak akan mengikutimu. Tapi asal tau, ketika kamu pergi dari sisiku, api cinta abadi didadaku akan padam saat itu juga. Dan tidak akan ada satupun orang yang bisa menyalakannya lagi.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan Intan langsung terkejut mendengarnya.

“Aku mohon Lang, aku mohon.” Ucap Intan dan sekarang matanya berkaca – kaca.

“Aku sudah cukup tersiksa karena aku masih terus berada disini. Aku belum bisa kembali kealamku Lang, belum bisa. Hikss. Hikss.” Ucap Intan lalu diakhiri dengan tangisan dan kata – kata Intan itu langsung membuatku terdiam.

“Apa kamu mau aku tetap ada disini selamanya, karena cintamu.? Baiklah, baik. Aku akan tetap disini selamanya, walaupun aku tersiksa. Hiks, hiks, hiks,” Ucap Intan dan kata – kata itu seperti menampar wajahku dengan sangat kerasnya.

Bajingan. Kenapa aku seperti ini sih.? Kenapa aku jadi pemaksa seperti ini.? Ada apa denganku.? Apa aku benar – benar telah dibutakan cinta kepada Intan, sampai harus memaksanya seperti ini.?

Aku memang mencintainya, tapi kenapa aku harus memaksakannya.? Dia berbeda alam denganku dan pasti akan tersiksa bila berlama – lama di alam yang bukan dunianya ini. Harusnya aku membantu menyelesaikan masalahnya, bukannya menambah permasalahan dengan cinta butaku ini. Bodoh banget sih aku.

Apa ada orang bodoh yang memaksakan cintanya, sampai orang yang dicintainya tersiksa.? Aku, iya aku. aku orang bodoh pertama yang melakukan hal itu. Bagaimana aku bisa bahagia kalau melihat orang yang kucintai tersiksa.? Gak mungkin, itu pasti gak mungkin. Bodoh, bodoh, bodoh.

“Ma, ma, maaf Tan.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan aku langsung mendekat kearahnya, yang sedang menangis bersedih itu.

“Maafkan atas kebodohanku ini dan maafkan atas sikap lancangku ini.” Ucapku lagi, sambil membelai rambutnya dengan lembut.

“Jangan, jangan kamu ucapkan kata itu Lang. Aku yang memulai semua ini dan aku yang bersalah kepadamu. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan dan tangisnya mulai pecah.

Aku langsung mendekap tubuh Intan yang dingin ini dengan sangat erat. Wajah sampingnyapun, langsung tersandar didadaku.

“Cukup Tan, cukup. Jangan ada lagi air mata yang keluar dari kelopak matamu ini, itu bisa membunuhku Tan. Itu bisa membunuhku.” Ucapku sambil mengeratkan pelukanku.

“Air mata ini akan terus mengalir, ketika cintamu terus kau berikan kepadaku Lang. Hiks, hiks, hiks.” Jawab Intan dan dia tidak membalas pelukanku.

“Baiklah. Aku tidak akan memintamu untuk membalas cintaku. Tapi aku mohon biarkan cintaku ini yang akan membantumu dan menuntunmu kembali ke alammu. Jangan pergi dari hidupku, sebelum waktunya itu benar – benar tiba. Jangan lari dariku dan biarkan aku yang menggandengmu, berjalan kearah cahaya keabadianmu.” Ucapku dan Intan langsung membalas pelukanku dengan erat juga.

“Aku akan bisa pergi kalau kamu telah menemukan jalan cintamu Lang. Kalau kamu seperti ini terus, aku tidak akan mungkin meninggalkanmu.” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dari dadaku dan menatap wajahku.

“Oke, oke. Tapi aku tidak mau kalau kamu yang memaksaku menuju jalan cintaku. Biarkan aku sendiri yang menemukan jalan itu, tanpa campur tanganmu. Sekali saja kamu ikut campur, jalan itu akan kembali kepadamu dan aku pasti akan mengejar cintaku kepadamu, apapun resikonya.” Ucapku sambil menatap kearah matanya dan kamu masih tetap berpelukan.

“Ta, tapi.” Ucap Intan terbata.

“Tidak ada kata tapi, ketika cintaku kepadamu sudah kembali. Aku orang gila Tan, dan tidak ada yang bisa menghentikan kegilaanku ini, walau semesta tak merestui.” Ucapku dengan tegasnya.

“Terus koen kate tuku mangan nggawe tresno ta.? Tuku peralatan kuliahmu nggawe tresno.? Mbayar kuliahmu nggawe tresno.? Terus gelarmu ST. Sarjana Tresno, dudu’ Sarjana Teknik. Ngono ta karebmu iku.? Untalen iku tresno. Assuu.” (Terus kamu mau beli makan pakai cinta kah.? Beli peralatan kuliahmu pakai cinta.? Bayar kuliah pakai cinta.? Terus gelarmu ST. Sarjana Tresno (cinta), bukan Sarjana Teknik. Gitukah maumu.? Makan itu cinta.) Ucap Joko yang tiba – tiba membuka pintu kamarku.

“Cokk.” Makiku dan aku langsung melihat kearah pintu, begitu juga Intan. Kami berdua melihat kearah Joko, dengan tetap saling memeluk.

“Trisno ae kuliah mbayar’og, awakmu kate kuliah mbayar nggawe tresno. Matamu. Ayo ndang ngamen, gendaan ae terus. Assuu.” (Trisno aja kuliah bayar, kamu mau kuliah bayarnya pakai cinta. Matamu. Ayo cepat ngamen, pacaran aja terus.) Omel Joko dan Intan langsung melepaskan pelukannya. (Trisno = teman kami = anaknya Bu Tejo. Tresno = cinta)

“Iyo cok, iyo. Gak usah mbleyer.” (Iya cok, iya. Gak usah bentak.) Ucapku sambil berjalan kearah kotak biolaku.

“Asuuu.” Maki Joko lalu menutup pintu kamarku lagi.

Aku pun membuka kotak biolaku, lalu mengambil biolanya dan menetengnya.

“Aku ngamen ya.” Pamitku sambil membalikkan tubuhku dan melihat kearah Intan.

Intan mengangguk dan tatapan matanya masih terlihat sayu. Kesedihan yang teramat dalam, masih terlihat diwajahnya.

“Sudahlah, lebih baik aku dikosan aja.” Ucapku sambil membalikkan tubuhku lagi dan meletakkan biolaku dikotaknya lagi.

“Lang.” Ucap Intan sambil berjalan mendekat kearahku.

“Aku gak akan meninggalkan kamu, kalau kondisimu seperti ini.” Ucapku sambil melihat kearahnya.

“Iya, iya. Maaf.” Ucapnya dan ketika tangannya akan menyentuh wajahku, Intan menghentikannya. Dia seperti menahan untuk tidak menyentuhku dan aku hanya menatapnya saja.

“Pergilah Lang.” Ucap Intan lalu tersenyum kepadaku.

Matanya yang agak sayupun, mengundangku untuk membelai pipinya. Tapi aku menahannya, supaya aku juga tidak menyentuh kulitnya yang lembut dan dingin itu.

“Lang.” Panggil Intan lagi.

“Kalau kamu gak keluar, kamu buat aku makin sedih loh.” Ucap Intan dan akupun memejamkan mataku perlahan, lalu melihat kearahnya lagi.

“Iya iya. Tapi jangan sedih lagi ya.” Ucapku sambil menenteng biolaku.

“Kesuwen arek iki.” (Kelamaan anak ini.) Teriak Joko dari luar kamarku.

“Iyo cok, iyo.” Ucapku.

“Pergilah.” Ucap Intan dan kali ini tatapannya sudah tidak sesayu tadi.

Aku mengangguk dan senyum nya yang manis, mengantarkan kepergianku untuk mengamen malam ini.

“Ngamen nangdi iki.?” (Ngamen kemana ini.) Tanya Joko ketika kami sudah berjalan kearah depan kampus teknik kita.

“Daerah Alun – alun ae yo. Ndek kono rame lek bengi ngene.” (Daerah alun – alun aja yo. Disana rame kalau malam begini.) Jawabku lalu aku menghisap rokok kretekku.

“Oke.” Jawab Joko.

Dan ketika sampai diperempatan jalan besar, kami naik angkot menuju kearah alun – alun. Sebenarnya kami ingin berjalan kaki, tapi karena sudah agak malam seperti ini, gak mungkin kami berjalan kaki. Mungkin nanti pulangnya aja kami jalan kaki kekosan.

“Kiri pak.” Ucapku kepada pak sopir angkot, ketika angkot yang kami tumpangi ini melewati stadion dan dekat dialun – alun. (kiri = stop. Istilah menghentikan angkot dikota ini.)

“Kok leren nde kene.? Jek lumayan adoh mlakune nang alun – alun cok.” (Kok berhenti disini.? Masih lumayan jauh jalannya ke alun – alun cok.) Gerutu Joko yang mengkuti aku turun dari angkot.

Aku tidak menjawab ucapan Joko, karena aku membayar angkot yang baru kami tumpangi ini.

“Mbidek ae dijak ngomong.” (Diam aja diajak ngomong.) Omel Joko.

“Sabar cok, aku mau jek mbayar angkot iku loh. asuuu.” (Sabar cok, aku tadi masih bayar angkot itu loh.) Omelku ketika angkot sudah pergi meninggalkan kami.

“Gak usah mbleyer cok, kari njawab ngono ae ngamuk.” (Gak usah bentak cok, tinggal jawab gitu aja marah.) Jawab Joko sambil menenteng gitar diperutnya.

“Asuu.” Ucapku sambil berjalan dan Joko mengikuti berjalan disampingku.

Kami pun berjalan dan akan melewati sebuah café serta kawasan pertokoan didepan sana.

“Delok’en, ramene koyok ngono kok kate dilewati.” (Lihat, ramenya seperti itu kok mau dilewati.) Ucapku sambil menunjuk kearah depan.

“Iyo cok, iyo.” Jawab Joko yang melihat keramaian didepan kami.

“GILANG.” Panggil seseorang, ketika kami melewati sebuah café.

Aku dan Joko langsung melihat kearah suara yang memanggil kami. Dan ternyata, yang memanggil kami adalah Mas Jeki. Mas Jeki ini pemilik Café didaerah kota sebelah sana. Dan rupanya, Mas Jeki masih mengingatku.

“Oi Mas. Kok sampean nongkrong disini.?” Tanyaku sambil berjalan kearahnya, yang duduk bersama seorang pemuda yang usianya hampir sama seperti Mas Jeki. Mereka berdua duduk diteras café yang tempatnya agak terpisah dari meja lain.

“Emang pemilik café, gak boleh nongkrong dicafe lain.?” Tanya Mas Jeki dan dia langsung berdiri ketika aku sudah didepannya.

“Kirain sampean nongkrongnya dicafe sendiri. Hehehe.” Ucapku lalu aku menjulurkan tanganku kearahnya.

“Bosenlah kalau nongkrong dicafe sendiri. Gimana kabarmu.?” Tanya Mas Jeki lalu menjabat tanganku, dan dilanjut menjabat tangan Joko.

“Baik Mas.” Jawabku.

“Kamu itu kutunggu dicafeku kok gak datang – datang.” Ucap Mas Jeki dan aku hanya tersenyum saja, sambil menenteng biolaku.

“Ditempat sampean kan sudah ada pemain biolanya Mas, masa kami harus merebut lahannya orang.” Ucap Joko yang menyahut dan aku langsung menoleh kearahnya.

“Cok, jujurmen koen cok.” (Cok, jujur betul kamu cok.) Gerutuku.

“Siapa maksudmu.?” Tanya Mas Jeki dengan herannya.

“Anu Mas.” Ucapku yang merasa tidak enak dengan Mas Jeki, sambil melihat kearahnya

“Yang cewe itu loh Mas. Mba Gendhis.” Jawab Joko lagi dan kembali aku melihat kearahnya.

Astaga, kok jujur banget sih Joko ini. Bisa disaring sedikit gak omongannya.? Jadi gak enak sama Mas Jeki aku.

“Cok. Gendhis itu gak setiap malam dicafeku. Sebulan sekali aja belum tentu kok.” Ucap Mas Jeki dan kembali aku melihat kearahnya.

“Sudahlah, nanti aja dibahasnya lagi. Oh iya, kenalin ini temanku.” Ucap Mas Jeki sambil melihat kearah temannya yang masih duduk. Temannya itupun langsung berdiri dan mengulurkan tangannya kearahku.

“Kelvin Mas, saya yang punya café ini.” Ucap Orang itu memperkenalkan dirinya dan aku langsung menjabat tangannya.

“Gilang Mas” Ucapku dan Mas Kelvin melanjutkan berkenalan dengan Joko.

“Joko Mas.” Ucap Joko.

“Kelvin. Duduk, duduk.” Ucapnya dan kami berempat langsung duduk bersama. Aku memangku biolaku, sedangkan Joko meletakkan gitarnya disampingnya.

“Minum apa.?” Tanya Mas Kelvin kepadaku dan Joko.

“Kopi Mas.” Jawab Joko dengan semangatnya.

“Masa dicafe saya minumnya kopi.? Sampean gak mau minuman special café ini.?” Tanya Mas Kelvin ke Joko.

“Wokey.” Jawab Joko dan Mas Kelvin langsung tersenyum, lalu menoleh kearahku.

“Kalau kamu Lang.? disamakan aja ya.?” Ucap Mas Kelvin kepadaku.

“Sebagai tamu, saya manut (nurut) yang punya rumah aja.” Jawabku.

“Gitu dong. Mas, tolong minuman special dua ya.” Ucap Mas Kelvin kepadaku, lalu berbicara kepada pelayan yang berdiri tidak jauh dari kami.

“Siap bos,” Jawab pelayan itu, lalu masuk kedalam café.

“Gimana.? Gimana Jek.? Mereka ini kah yang kamu bilang pengamen bersuara serak – serak becek.?” Tanya Mas Kelvin ke Mas Jeki, sambil melirik kearahku dan Joko.

“Cok. gak becek Mas, cuman nyemek – nyemek (tidak basah dan tidak terlalu kering).” Sahut Joko.

“Nyemek – nyemek.? Dikira bakmi kuah.? Hahahaha.” Ucap Mas Jeki lalu disambut tawa Mas Kelvin.

Dan gak berapa lama, pelayan tadi datang sambil membawa dua gelas minuman berwarna biru muda dan ada es batunya.

“Monggo Mas.” (Silahkan mas.) Ucap pelayan itu kepadaku dan kepada Joko.

“Oh iya, minum dulu.” Ucap Mas Kelvin kepada kami berdua.

Aku dan Joko langsung mengambil minuman itu dan memegangnya.

“Cok, kelihatannya minuman mahal ini. Warna biru muda, terus ada es batunya.” Ucap Joko sambil memperhatikan minuman ditangannya dengan seksama.

“Sok tau kamu Jok.” Ucap Mas Jeki.

“Beneran mahal ini mas. sampean tau apa yang buat mahal.?” Tanya Joko.

“Apa.?” Tanya Mas Jeki dengan herannya.

“Sedotannya ini loh mas.” Ucap Joko dengan entengnya.

“Assuu kamu Jok. Hahahaha.” Maki Mas Kelvin lalu tertawa terbahak – bahak bersama Mas Jeki.

“Makanya Mas Jeki, kalau minuman dicafe sampean mau mahal, kasih sedotan.” Ucap Joko lagi.

“Ditempatku itu, yang jadi andalan kopi hitam. Masa kopi hitam dikasih sedotan.?” Ucap Mas Jeki.

“Ya keren dong Mas. Sampean itu harus punya terobosan yang baru. Minuman – minuman tradisonal itu, dimasa yang akan datang akan mempunyai kelas tersendiri. Penyajiannya pun, gak akan cuman digelas kaca atau seng. Mungkin juga pakai gelas plastic yang anti panas, terus bertutup dan memakai sedotan. Tapi sedotannya bukan pakai sedotan yang di es plastikan itu. harus memakai bahan yang bagus.” Ucap Joko dengan bijaknya.

“Iya Jek, kamu harus coba itu. diluar negeri sana sudah banyak yang pakai seperti itu.” Ucap Mas Kelvin.

“Cok, brilian idemu cok. kelihatannya aku harus coba itu. Ini ide yang luar biasa.” Ucap Mas Jeki dengan wajah yang sangat senang sekali.

“Aku og.” (Aku kok.) Ucap Joko dengan angkuhnya.

“Sudah, gak usah sombong. Minum dulu itu.” Ucap Mas Kelvin ke Joko.

“Santai Mas, kalau minuman seperti ini, sekali teguk juga habis.” Ucap Joko.

“Oke. Kamu habiskan itu, tapi pakai sedotan. Entar kalau habis, saya tambah lagi. Gratis.” Ucap Mas Kelvin.

“Setuju.” Ucap Joko dan langsung menyedot minuman digleas yang lumayan besar itu.

Aku juga mulai menyedot minuman ini perlahan. Minuman yang dingin dan terasa manis ini, seperti minuman beralkohol, tapi rasanya gak terlalu menyengat. Akupun menyedot lagi pelan – pelan, dengan diiringi tatapan dari Mas Kelvin dan Mas Jeki.

Nyuttt.

Kepalaku tiba – tiba terasa tegang dan mataku langsung melotot. Gila, kok keras banget naiknya minuman ini. Benar masuknya halus, tapi efeknya langsung menghantam seluruh kepalaku.

“Cok.” Ucap Joko sambil meletakkan minumannya dimeja.

“Kenapa Jok.? Mau nambah.?” Tanya Mas Kelvin lalu tersenyum.

“Mau nambah.? Baru dua kali sedotan aja, kepalaku terasa diinjak mas. Ini masih banyak loh isinya, bisa ndelosor (terjelungkup) disini aku.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“Hahaha.” Mas Kelvin pun langsung tertawa.

“Sudah, sudah kita lanjut lagi pembicaraan tadi.” Ucap Mas Jeki dan aku langsung meletakan gelas ini kemeja.

“Oh iya Jek. Maksudmu Gendhis yang kamu sebut tadi itu, Gendhis temannya Mas Pandu ya.?” Tanya Mas Kelvin dan Mas Jeki langsung mengangguk.

“Sampean kenal Mas Pandu.?” Tanya Joko sambil menggelengkan kepalanya lagi, mungkin karena pusing seperti yang aku rasakan saat ini.

“Siapa yang gak kenal sama Mas Pandu itu.? Panglima pondok merah yang terkenal seantero kota pendidikan.” Jawab Mas Kelvin.

“Tapi ngomong – ngomong, kok kalian kenal sama Gendhis dan Mas Pandu.?” Tanya Mas Jeki.

“Jangankan sama Mas Pandu dan Mba Gendhis, sama Intan aja kami kenal.” Ucap Joko lalu mengeluarkan bungkusan rokoknya dan mengambilnya sebatang.

“Cok.” Ucap Mas Kelvin dan Mas Jeki barengan, dengan terkejutnya.

“Bajingan.” Ucapku pelan sambil melirik kearah Joko.

“Kamu jangan main – main Jok, Intan itu sudah gak ada dan hantunya katanya sudah menjadi penghuni kos – kosan angker dibelakang kampus teknik kita.” Ucap Mas Jeki dengan sangat seriusnya.

“Siapa yang main – main Mas. Kami berdua ini kos dirumah itu.” Ucap Joko yang semakin ngelantur aja.

“Cok.” Maki mereka berdua lagi dan sekarang makin terkejut saja.

“Santai Mas.” Ucap Joko lalu dia mengambil minuman berwarna biru itu, lalu menyedotnya lagi.

“Gila kamu Jok. Baru minum beberapa sedotan aja, kamu sudah mabuk dan ngelantur.” Ucap Mas Kelvin.

“Ahhhh.” Ucap Joko sambil meletakkan gelasnya lagi, lalu membersihkan mulutnya dengan telapak tangan kirinya.

“Siapa yang mabuk dan ngelantur Mas.? Coba tanya Gilang ini kalau gak percaya.” Ucap Joko sambil melirik kearahku.

“Beneran Lang.?” Tanya Mas Jeki kepadaku.

“Iya Mas, saya memang kos ditempat itu.” Ucapku lalu aku mengambil bungkusan rokok Joko dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya dengan santai.

“Bajingan, jadi kalian beneran kos disana.? Kalian ini mahasiswa ya.?” Tanya Mas Jeki kepadaku.

“Iya Mas, kami ini mahasiswa kampus teknik kita. Aku jurusan teknik sipil dan Joko jurusan teknik arsitektur.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Berarti kalian ini adek tingkatnya Mas Pandu.?” Tanya Mas Kelvin kepadaku.

“Iya, tapi saya kenal Mas Pandu sebelum dikampus teknik kita. Kami ini tetangga desa.” Jawabku.

“Cok, kalian pasti gila juga seperti Mas Pandu.” Ucap Mas Jeki sambil menggelengkan kepalanya.

“Enggak Mas, kami ini anak baik – baik kok.” Ucap Joko lalu menyedot minumannya lagi.

“Anak baik – baik tapi suka minum ya.?” Tanya Mas Kelvin.

“Ga ngombe, ngelak Mas. Ngawur ae sampean iki.” (Gak minum, haus mas. Ngawur aja anda ini.) Celetuk Joko dengan cueknya.

“Kurang ajar. Ada aja jawabnya.” Ucap Mas Jeki sambil menggelengkan kepalanya lagi.

“Oh iya Mas, kok sampean bisa kenal Mas Pandu sih.?” Tanyaku sekali lagi ke Mas Kelvin.

“Mas Pandu dan anak – anak pondok merah itu sering nongkrong disini. Tapi sebelumnya, dulu itu Mas Pandu kesini bareng sama Gendhis, Intan dan Hendra Sanjaya.” Ucap Mas Kelvin dan ucapannya makin lama makin pelan. Joko pun langsung melirikku dan aku juga melirik kearahnya.

Ha.? Beneran ini.? Berarti sedikit banyak, Mas Kelvin pasti tau atau mendengar tentang masalah Intan dan Mas Hendra. Kenapa bisa aku berkesimpulan seperti itu.? karena dari ucapan dan ekspresi wajahnya ketika bercerita tadi, Mas Kelvin sepertinya mengenal dekat empat orang itu.

Kelihatannya aku harus sering main kecafe ini, untuk mencari informasi tentang masalah ini.

“Iya Vin, sebelum kejadian yang menggemparkan kota ini terjadi, mereka berempat itu sahabat yang luar biasa.” Ucap Mas Jeki.

“Iya. tapi kita gak usah bahas masalah itu Jek.” Ucap Mas Kelvin ke Mas Jeki, lalu menoleh kearahku.

“Ngomong – ngomong, kalian bisa main dicafe ini gak.?” Tanya Mas Kelvin kepadaku.

“Main apa Mas.?” Tanya Joko.

“Main music lah. Dicafenye Jeki kan sudah ada Gendhis, jadi kalian main aja disini.” Ucap Mas Kelvin.

“Kurang ajar kamu Vin. Kamu nelikung aku itu namanya.” Gerutu Mas Jeki dan Mas Kelvin hanya tersenyum saja.

“Gimana Lang.?” Tanya Joko kepadaku dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan. Joko sepertinya paham maksudku, dan dia juga agak berat untuk nyanyi dicafe ini.

“Kenapa.?” Tanya Mas Kelvin.

“Masalah waktu Mas. Saya takut ngecewain sampean pas waktu banyak tugas.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Gitu ya.? Tapi kalau aku memberikan pekerjaan sama kamu, kamu mau gak.?” Tanya Mas Kelvin lagi.

“Kerjaan apa Mas.?” Tanya Joko.

“Aku punya teman konsultan yang lumayan besar dikota ini. Dia lagi cari pengawas proyek dan tukang gambar. Sesuai dengan jurusan kalian kan.?” Tanya Mas Kelvin.

“Menyanyi dicafe ini aja kami gak sempat Mas, apa lagi kerja diproyek. Pasti membutuhkan waktu yang lebih banyak.” Jawab Joko.

“Kamu jangan pesisimis seperti itu Jok. Banyak loh mahasiswa yang nyambi kerja diproyek dan mereka juga bisa menyelesaikan kuliahnya. Lagian kerjaannya gak berat kok. kalian berdua datangnya hanya sekali waktu aja keproyeknya.” Ucap Mas Kelvin menjelaskan.

“Maksudnya.?” Tanya Joko.

“Sebenarnya itu pengawas lapangan sudah ada yang menangani. Kalian hanya perlu membantunya untuk membuat laporan mingguan dan laporan bulanan, sekalian buat gambar laporan teknisnya.” Ucap Mas Kelvin.

“Ooo.” Jawab Joko sambil melirikku.

“Kenapa sampean mau membantu kami Mas.?” Tanyaku.

“Dua orang mahasiswa setiap hari menyempatkan diri berkeliling untuk mengamen, pasti bukan untuk mengisi kekosongan waktu. Kalian pasti membiayai kuliah dengan uang sendiri.” Ucap Mas Kelvin sambil melihat kearahku lalu kearah Joko.

“Dan aku hanya ingin membantu kalian dengan mengenalkan kepada temanku. Pekerjaan itu, bisa kalian kerjakan dirumah.” Ucap Mas Kelvin lagi.

Aku tidak menjawab tawaran ini dan aku langsung meraih minumanku, lalu menyedotnya beberapa kali. Minuman ini ternyata sangat luar biasa. Selain cepat mengangkat dikepala, efeknya juga bertahan cukup lama dan dia seperti menimang – nimang pikiranku untuk terus melayang.

“Kamu pasti gak akan menyesal menerima tawaranku ini Lang.” Ucap Mas Kelvin dan aku langsung melihat kearahnya.

“Entah ini hanya perasanku atau bagaimana. Tapi aku yakin kamu pasti mencari sesuatu tentang misteri yang terpendam. Entah apa itu.? Apa itu berkaitan dengan kematian Intan atau ada hal yang lain, aku juga masih meraba dari ekspresi wajahmu dari tadi. Dan entah kenapa, aku yakin pekerjaan yang aku tawarkan ini, pasti akan menuntunmu menuju kearah sana.” Ucap Mas Kelvin dan langsung membuat kedua alisku berkerut.

“Sebelum Hendra ditemukan meninggal, dia bekerja dikontraktor yang pekerjaannya diawasi oleh konsultan temanku ini. Dan sekarang, kantor temanku ini kembali mengawasi pekerjaan kontraktor itu.” Ucap Mas Kelvin dan Joko langsung melihat kearahku.

“Kamu mau menjerumuskan Gilang kepusaran yang sama Vin.?” Tanya Mas Jeki dengan tegasnya.

“Enggak, justru aku merasa Gilang sendiri yang mencari jalan menuju kepusaran itu, walapun tanpa aku tawarkan pekerjaan ini.” Jawab Mas Kelvin.

“Aku setuju Mas. Kapan aku bisa ketemu sama teman sampean itu.” Ucapku dengan tegasnya.

“Cok, beneran.?” Tanya Joko kepadaku dan aku menganggukkan kepalaku.

“Assuu.” Ucap Joko sambil menunduk.

“Kenapa.? Takut.?” Tanyaku ke Joko.

“Cok, gak sama sekali. Justru aku senang kalau masalah ini cepat terselesaikan. biar kita bisa tenang kuliahnya.” Jawab Joko.

“Masalah apa.?” Tanya Mas Jeki dengan herannya.

“Bajingan. Kamu gak nyadar Jek.?” Tanya Mas Kelvin dengan wajah yang terlihat senang, tapi juga gusar.

“Apasih.?” Tanya Mas Jeki.

“Aku sudah curiga sama dua mahluk ini, semenjak dia ngomong masalah Intan dan kos ditempat angker itu. Gak mungkin mereka berdua menyebut nama Intan, kalau mereka tidak penasaran dengan kematiannya. Mana ada mahasiswa baru yang tau tentang Intan secara detail, apalagi mau menyelesaikan masalahnya. Gila gak.? Dari tadi aku mancing, akhirnya mereka berdua membicarakan masalah Intan dihadapan kita.” Ucap Mas Kelvin ke Mas Jeki, ketika aku selesai berbicara dengan Joko barusan.

“Cok, jadi sampean mancing aja ini.?” Tanya Joko.

“Mancing masalah Intan, iya. Tapi kalau pekerjaan itu enggak. Aku serius.” Jawab Mas Kelvin.

“Sudahlah Mas, gak usah diperpanjang lagi pembahasannya. Kita tau sama tau aja. Dan masalah Intan serta Mas Hendra, sekarang jadi urusan kami. Sekarang yang terpenting, saya minta tolong sampean untuk dihubungkan dengan teman sampean yang kosultan itu.” Ucapku lalu aku menyedot minuman itu lagi.

“Kalian itu memang gila dan lebih gila dari Mas Pandu.” Ucap Mas Jeki menyahut dan aku hanya tersenyum, sambil mematikan rokokku.

“Besok malam kalian kesini dan akan aku kenalkan pada temanku itu.” Ucap Mas Kelvin. Aku dan Joko langsung mengangguk, lalu saling melihat.

“Okelah Mas, kalau begitu saya mau balik. Sudah malam.” Ucapku berpamitan kepada mereka berdua.

“Kalian sudah datang jauh – jauh kemari, pasti tujuannya mau mengamen. Dan sekarang kalian mau pulang, tapi gak bawa hasil.” Ucap Mas Kelvin.

“Gak apa – apa Mas. Obrolan kita ini lebih berharga dari apapun.” Jawabku.

“Gak bisa, kalian harus mengisi dulu dicafeku malam ini. Kebetulan bandnya gak hadir dan kalian harus menggantikannya. Kalian gak lihat pengunjungnya ramai.?” Ucap Mas Kelvin dan aku lansung melihat kearah dalam Café. Dan memang pengunjung lagi ramai – ramainya didalam sana.

“Nih. Terserah kalian mau membawakan berapa lagu, yang penting pengunjung didalam harus terhibur.” Ucap Mas Kelvin sambil mengeluarkan uang berwarna biru tua dua lembar dan diletakkan diatas meja

“Cok. seratus ribu. Ini saweran terbanyak kita.” Ucap Joko lalu mengambil uang itu dan memasukannya kedalam kantong.

“Ayo.” Ucap Joko lalu berdiri dengan semangatnya, lalu meraih gitar yang ada disampingnya.

“Gak kebanyakan itu Mas.?” Tanyaku ke Mas Kelvin.

“Enggak.” Jawab Joko dengan cueknya, lalu berjalan kearah dalam café dengan santainya.

“Kamu yang punya uang kah Jok.? Gilang tanya ke Kelvin, kok kamu yang jawab.” Ucap Mas Jeki.

“Kalau sudah dikantongku, ya uangku.” Ucap Joko sambil melihat kearah Mas Jeki, sambil memainkan kedua alis matanya.

“Asuuu.” Ucapku dan Mas Jeki barengan, sementara Mas Kelvin hanya tersenyum saja.

“Dah main sana.” Ucap Mas Kelvin kepadaku.

Akupun langsung berdiri sambil menenteng biolaku dan berjalan kearah Joko, yang berdiri didepan pintu café.

Kepalaku terasa berat akibat minuman tadi, tapi efeknya masih kalah besar dibandingkan dengan hasil pembicaraanku dengan Mas Kelvin barusan. Kalau minuman ini rasanya hanya menghantam kepalaku, tapi hasil pembicaraan tadi justru lebih gila dan terasa menginjak – injak isi didalam tempurung kepalaku ini. arrgghh.

“Piye cok.?” (Gimana cok.) Tanya Joko kepadaku dan kami berdua berdiri didepan pintu café.

“Yo dimarekno.” (Ya diselesaikan.) Jawabku singkat.

“Kalau masalah Intan itu, pasti diselesaikan cok. Maksudku itu, coba lihat didalam ruangan ini. Sebagian ada yang berpasangan dan sebagian lagi cuman jadi penonton.” Ucap Joko.

“Ya diselesaikan tugas kita, terus pulang. Gimana sih.?” Ucapku sambil melangkah masuk kedalam café.

“Pinter ngelesmu cok.” Gerutu Joko yang berjalan dibelakangku.

“Hehe.” Dan aku hanya tertawa.

Kami berduapun langsung naik keatas panggung lalu bersiap untuk menampilkan pertunjukan kami.

Dan ketika aku akan menyapa penonton.

“Selamat malam.” Joko berbicara terlebih dahulu dan aku langsung mundur selangkah. Aku membiarkan Joko untuk membuka pertunjukan kami malam ini.

“Malam ini sangat indah sekali, bagi mereka yang memadu kasih.” Ucap Joko sambil melihat kearah meja yang di isi beberapa pasangan.

“Tapi bagi mereka yang belum ada pasangan dan masih mencari cintanya, mohon bersabar. Ini adalah ujian. Mari kita saling berpegangan tangan dan saling menguatkan, karena hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini.” Ucap Joko dan sekarang melihat orang – orang yang berkumpul tanpa ada pasangan.

“Asuuu. Hahahaha” Terdengar makian dari arah pengunjung yang tidak memiliki pasangan, lalu mereka semua tertawa dengan kerasnya.

Joko lalu melihat kearahku sambil tersenyum yang sangat menggathelkan sekali.

Akupun langsung maju lagi kearah mik dan terlihat bayangan Intan berdiri diantara para pengunjung dihadapanku saat ini. Aku memejamkan mataku sesaat, lalu membukanya lagi.

Bayangan Intan masih ada dihadapanku, dan dia melihatku dengan tatapan yang sangat sayu sekali.

“Tidak ada cinta seperti cintamu, dan tidak ada orang lain yang bisa memberi lebih banyak cinta sepertimu. Tidak ada ada tempat, tanpa adanya dirimu. Setiap saat dan setiap langkah.”

“Aku akan melakukan segalanya untukmu, karena kamu cintaku.” Ucapku lalu aku memanggul Biolaku dan aku langsung memainkan lagu everything i do, i do it for you milik Bryan Adams.









#Cuukkk. Cinta ini menuntun perjalanan hidupku kepadamu, dan aku sangat menikmatinya. Entah seperti apa nantinya, yang jelas ‘tresnoku ora bakal mati kanggo kowe’ ‘cintaku tidak akan mati untukmu’.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Selamat pagi menjelang siang Om dan Tante.
Updet tipis - tipis ya.

Semoga masih bisa dinikmati dan semoga masih berkenan.
Jangan lupa jaga kesehatan, dimasa pandemi yang semakin gila ini.

#DiRumahAja
#UntukKebaikanBersama
#JagaJarak
#JanganLupaCuciTangan
#PakaiMasker
#TetapSemangat
#BencanaPastiBerlalu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd