Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 539 70,7%

  • Total voters
    762

BAGIAN 14
AMARAH DAN CINTA



“Bi, triplek sama kayu disebelah itu dipakai ngga.?” Tanyaku kepada Bi Ati yang pagi ini datang kekosanku.

“Buat apa mas.?” Tanya Bi Ati kepadaku.

“Iyo, gawe opo cok.?” (Iya, buat apa cok.?.) Tanya Joko juga, yang sedang mencuci piring.

“Buat meja gambarnya Raden Mas Riko Joyohadikusumo.” Jawabku sambil melirik kearah Joko.

“Loh, emang bisa buat meja gambar sendiri.?” Tanya Bi Ati lagi.

“Serius koen cok.?” (Serius kamu cok.?) Tanya Joko dengan wajah yang terlihat senang sekali.

“Ini yang mana dulu kujawab.?” Tanyaku kepada mereka berdua.

“Bibi lah, kan sampeyan tanyanya sama Bibi duluan.” Ucap Bi Ati dan Joko masih terlihat senang sekali.

“Ya bisa aja kalau buat meja gambar Bi. Apasih yang gak bisa kami buat itu.?” Ucapku ke Bi Ati lalu menoleh kearah Joko.

“Eeee, e, e, e. Sendiko dawuh kangmas.” (Eeee, e, e, e. Patuh pada perkataan kakak.) Ucap Joko sambil berdiri dengan kedua kakinya agak tertekuk, tangan kanannya agak miring kekanan dan mengarah kebawah, dengan menggenggam sendok yang masih ada sabunnya, sedangkan tangan kirinya berkacak pinggang.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

Aku memukulkan sendok diatas meja.

“Awakmu lan aku kedah damel saenggalipun, amargi pertempuran ageng enggal badhe dipunwiwiti dimas.” (kita harus buat secepatnya, karena pertempuran besar segera akan dimulai dek.) Ucapku dengan tangan kananku menunjuk kearah Joko dan tangan kiri berkacak pinggang. Akupun mengucapkannya dengan suara yang sangat berwibawa sekali.

“Nggih kangmas, nanging saderengipun kulo njalok pangapuro kangmas.” (Iya kakak, tapi sebelumnya saya mohon maaf kakak) Ucap Joko kepadaku sambil menunjuk dirinya sendiri menggunakan jempol kanannya, dengan kepala yang menunduk.

“Wonten punopo gerangan dimas.?” (ada apa gerangan adek.?) Tanyaku.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

Aku memukulkan sendok diatas meja lagi.

“Nembe kulo nyupena bab punopo - punopo ingkang kulo mboten sumerep kangmas.” (Barusan saya bermimpi tentang sesuatu yang saya tidak mengerti kakak) Jawab Joko sambil menundukkan kepalanya lagi, lalu menggerakan tangan kanannya yang memegang sendok, keatas dan kebawah.

“Babagan nopo to iku Dimas.?” (tentang apa kah itu dek.?) Tanyaku.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Kulo lan panjenengan ajeng dipunajengaken ing setunggaling masalah ingkang ageng sanget lan kedah enggal dipunrampungaken kangmas.” (kita akan dihadapkan pada suatu permasalahan yang sangat besar dan harus segera diselesaikan kakak.) Jawab Joko.

“Puniku sampun lumrah dimas, dados punopo ingkang ndamel awakmu bingung.?” (Itu sudah biasa dek, jadi apa yang membuatmu bingung.?) Tanyaku lagi.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

Pukulan sendokkupun semakin keras terdengar.

“Meniko kinten kinten masalah punopo kangmas.?” (Itu kira - kira masalah apa kakak.?) Joko bertanya balik.

“Awakmu ingkang nyupena, kenging punopo taken dhateng aku. ? ta sepak wajahipun enggal ngertos awakmu. (kamu yang bermimpi, kenapa tanya sama aku.? ku tendang mukamu baru tau kamu.) Jawabku sambil emmundurkan sedikit wajahku.

“Omonganipun panjenengan menjancokkan sanget kangmas.” (omonganmu kok menjancokkan sekali kakak.) Ucap Joko sambil menegakkan tubuhnya dan menatapku

“Trutuk, tuk, tuk, tuk, tuk. Dang, dang, dang, dang. Neng, nong, neng, gong. Neng, nong, neng, gong. Eeeeeeee, e, e, e, e.” Kali ini aku menyahutnya dengan suara yang keluar dari mulutku.

“Mboten betah sanget - sanget dipunpikiraken dimas. Sapuniko wekdalipun aku lan awakmu siram, amargi aku lan awakmu ajeng enggal tumuju medan pertempuran” (Tidak usah terlalu dipikirkan dek. Sekarang waktunya kita mandi, karena kita akan segera menuju medan pertempuran ) Ucapku lagi.

“Siram wonten pundi kangmas.?” (Mandi dimana kakak.?) tanya Joko.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Eeeeeeee, e, e, e, e.” ucapku sambil memukulkan sendok diatas meja lagi.

“Aku lan awakmu tindak dhateng kawah chandradimuka, aku lan awakmu siram wonten ngriko dimas.” (kita pergi ke kawah chandradimuka, kita mandi disana dek.) Jawabku.

“Njalok pangapuro kangmas, kulo dereng gadhah elmi kebal kados kangmas.” (mohon ampun kakak, saya belum punya ilmu kebal seperti kakak.) Ucap Joko dengan kedua telapak tangannya menyatu dan memohon kepadaku.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Puniku gampil dimas, awakmu cekap unjuk toya turas lembu. Elmi kebalipun mesthi badhe kewujud kaliyan piyambakipun.” (Itu gampang dek, kamu cukup minum air kencing sapi. Ilmu kebalmu pasti akan terbentuk dengan sendirinya.) Jawabku sambil menepuk pundaknya pelan.

“namung puniku kangmas.?” (hanya itu kakak.?) tanya Joko dan aku hanya menganggukan kepalaku.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Kotoranipun lembu mboten sami kangmas.?” (kotorannya sapi gak sekalian kakak.?) Tanya Joko dan aku langsung tersenyum mendengarnya.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Sanes elmi kebal ingkang kulo keparingan, nanging gujeng lembu ingkang moyoki ingkang kulo tampi kangmas.” (bukan ilmu kebal yang aku dapatkan, tapi senyum sapi yang mengejek yang aku terima kakak.) Ucap Joko lalu dia melanjutkan mencucinya.

Tretek. Tek. Tek. Tek. Tek.

“Jiancookk.” Makiku.

“Hahahahaha.” Lalu kami berdua tertawa bersama, mengakhiri perbincangan yang ngelantur ini

“Dasar gila kalian itu.” Sahut Bi Ati sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Kalau gak gila, kami berdua gak disini Bi. Hahaha.” Ucap Joko lalu tertawa, sambil melihat kearahku.

“Jadi maksudnya disini penampungan orang gila gitu.?” Tanya Bi Ati sambil melihat kami berdua bergantian

“Bukan penampungan Bi. Lebih tepatnya itu tempat tinggalnya orang gila.” Sahutku.

“Berarti Bibi salah masuk kandang dong.” Ucap Bi Ati sambil melihat kami berdua bergantian lagi.

“Ya salah Bi, bukan Bibi yang harusnya masukin, tapi aku yang.” Ucap Joko terpotong sambil memainkan kedua alisnya.

“Berani.?” Tanya Bi Ati sambil mengambil pisau, lalu diasahkan diatas cobek yang sudah dicuci.

Srek, srek, srek, srek.

“Ampun Bi, Ampun.” Ucap Joko dan langsung berlari kearah kamarnya.

“Sunat aja Bi, sunat punya Joko itu. hahahaha.” Ucapku lalu aku tertawa dengan senangnya.

“Kirek.” (Anjing.) maki Joko dari arah dalam kamarnya.

“Hehehe.” Akupun masih tertawa sambil melihat kearah Bi Ati.

“Dasar anak – anak yang aneh.” Ucap Bi Ati sambil menggelengkan kepalanya pelan. Kami berdua lalu diam beberapa saat.

Bi Ati mengambil sapu lalu mulai menyapu ruang tengah, sedangkan aku membersihkan meja makan.

“Kalian berdua itu gak bosan ya makan tahu tempe.?” Tanya Bi Ati mengalihkan pembicaraan. Bi Ati tadi sempat melihat kami sarapan dengan menggunakan lauk tahu dan tempe penyet.

“Gak apa – apa Bi makan tahu tempe, yang penting kami bisa dapat ST.” Sahut Joko yang keluar dari kamarnya, sambil mengancingkan kemejanya.

“Wihh. Keren – keren. Bibi suka dengan semangat kalian.” Ucap Bi Ati dan aku hanya tersenyum saja.

“Aku og.” (Aku kok.) Ucap Joko dengan sombongnya, sambil menepuk dada bagian kirinya.

“Eleh, baru bicara benar sekali aja, sombongnya sudah diduluin.” Sahut Bi Ati.

“Sombong itu perlu Bi, biar orang seperti kami ini ada juga yang dibanggain selain kemiskinan. Hahaha.” Jawab Joko lalu tertawa dan Bi Ati hanya menggelengkan kepalanya.

“Saya ganti baju dulu Bi, mau kuliah hari pertama ini.” Ucapku dan Bi Ati langsung menganggukan kepalanya.

Aku pun masuk kedalam kamarku dan melewati Joko yang sedang merapikan kemejanya didepan kaca ruang tengah.

Dan ketika sudah didalam kamar, aku langsung menutup pintu kamarku. Aku lalu melepas pakaian dan memakai kemeja yang dibelikan Ibuku waktu itu.

“Cieee, yang mau kuliah dihari pertama.” Ucap Intan sambil memasukkan kedua tangannya diantara ketiakku dari arah belakang, lalu memeluk perutku.

Uhhh. Wanita ini kenapa sih.? Kadang cemberut, kadang manja, kadang cuek dan kadang penuh kasih sayang. Emang seperti ini ya mahluk berbeda alam itu.?

“Apasih. Biasa aja kali.” Jawabku sambil mengancingkan kemejaku bagian atas.

“Hihihi. Sudah gak sabar mau ketemu sama cintanya ya.?” Tanya Intan sambil melepaskan pelukannya, dan aku langsung membalikkan tubuhku lalu melihat kearahnya.

“Siapa cintaku.?” Tanyaku sambil mengerutkan kedua alisku.

“Siapa lagi kalau bukan yang kamu gendong waktu hujan – hujan kemarin malam. Hihihi.” Jawab intan dan aku kembali mengerutkan kedua alisku.

Maksudnya Intan ini Gendhis kah.? Kenapa dia bisa menyimpulkan seperti ini ya.? Sok tau banget sih tentang perasaan orang.?

Dan satu yang jadi pertanyaanku sampai detik ini. Kenapa waktu dia tau aku menggendong Gendhis, dia gak marah.? Ini berbeda sekali ketika aku datang dari rumah Bu Har. Intan sangat marah sampai tidak menegurku beberapa hari. Ada apa ini.? Kok bisa seperti itu sikapnya kepadaku.?

Mungkin sekarang saatnya aku bertanya sedikit demi sedikit, tentang hubungan Intan dan Gendhis.

Kata Sarah waktu itu, Intan Dan Gendhis bersahabat. Tapi kenapa wajah, tatapan dan sikap mereka berdua itu, sangat persis sekali. Mereka berdua seperti kembar siam loh. Tapi kenapa malah gak ada hubungan darah sama sekali, kan aneh banget kalau begitu. Masa cuman bersahabat bisa mirip banget seperti itu.?

“Sebenarnya kamu dan Gendhis itu ada hubungan darah gak sih.?” Tanyaku untuk memastikannya sendiri kepada Intan.

Intan hanya tersenyum, lalu telapak tangan kanannya yang dingin itu, mengelus pipi kiriku dengan sangat lembut.

“Aku butuh jawaban, bukan senyuman.” Ucapku sambil menatap matanya dengan tatapan yang sangat datar.

“Nanti kamu pasti tau sendiri.” Jawabnya dan langsung membuat gatal kepalaku yang mulai ditumbuhi sedikit rambut.

“Sudahlah, gak usah terlalu dipikirin. Sekarang itu yang perlu dipikirkan, hari pertama kuliah yang pasti akan sangat berat sekali buatmu.” Ucap Intan dan dengan nada yang sangat serius sekali.

“Berat bagaimana.? Tinggal masuk kuliah aja kok berat. Emangnya sama seperti ospek kemarin.?” Tanyaku yang terpancing dengan ucapan Intan barusan.

“Enggak, itu gak seberapa.” Ucap Intan sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Ha.? Itu gak seberapa.? Gila. Kami dipukul, diinjak, dan ditendang sampai tergeletak dijalan, itu dibilang gak seberapa.? Terus apa maksudnya hari ini lebih berat.? Apa kami akan dihajar lagi oleh panitia kemanan.? Emang jabatan panitia keamanan itu sampai selamanya dan bukan hanya pada saat ospek aja.? Gila banget dong.

“Kampus teknik kita ini punya tradisi yang sangat keras sekali, ketika hari pertama kuliah bagi para mahasiswa baru.” Ucap Intan mulai bercerita dan aku hanya menyimak tanpa memotong pembicaraannya.

“Semua mahasiswa baru akan dikumpulkan oleh para seniornya di masing – masing jurusan. Setelah itu mereka semua akan diadu dan dicari siapa yang paling kuat, diantara satu angkatan para mahasiswa baru itu. Setelah mendapatkan satu yang paling kuat, dia akan berhadapan dengan jagoan – jagoan setiap angkatan dari para seniornya.” Ucap Intan yang langsung membuatku terkejut.

Bajingan. Tradisi macam apa ini.? Kenapa ada tradisi gila macam ini.? Aku kira setelah ospek, sudah tidak ada lagi kekerasan yang akan kami dapatkan. Tapi kenapa justru makin gila seperti ini.?

“Untuk apa ada tradisi ini dilakukan.?” Tanyaku dan kubuat sesantai mungkin.

“Kamu ini gimana sih.? kamu gak ingat kalau kuliah dikampus teknik.?” Intan bertanya balik.

“Aku tau kalau masalah itu. Cuman yang aku tanyakan, apa tujuan tradisi gila itu.?” Tanyaku lagi.

“Gak tau. Tapi kalau menurutku, untuk mengetahui siapa yang paling terkuat disatu jurusan tersebut.” Jawab Intan dengan entengnya.

“Kalau hanya itu tujuannya, untuk apa juga tradisi itu dilakukan.? Toh sudah ada pondok merah yang berisi para bajingan kampus teknik kita. Lagian katanya disana sudah berisi orang – orang terkuat dari setiap jurusan kok.? Dan katanya lagi, mereka yang mengendalikan semua bajingan – bajingan yang ada dikampus teknik kita.” Ucapku dengan sedikit herannya..

“Pondok merah tidak akan terlibat masalah ini.” Ucap Intan.

“Pondok merah hanya akan turun kalau ada gesekan antar jurusan dikampus teknik kita. Sedangkan untuk tradisi ini, mereka akan kembali kejurusan masing – masing, sebagai senior dijurusannya.” Ucap Intan lagi.

“Berarti Mas Pandu juga akan terlibat disini.?” Tanyaku.

“Iya, karena diapun pernah berada diposisimu. dan orang yang terkuat dijurusan teknik sipil itu adalah Pandu. Sudah bertahun – tahun sejak kedatangannya, tidak ada satupun yang mampu mengalahkannya ditradisi awal masuk kuliah ini.” Ucap Intan dan aku hanya menggelengkan kepalaku

“Bukannya kamu bilang waktu itu, Bang Daud pernah menumbangkan Mas Pandu.?” Tanyaku.

“Itu beda cerita. Kejadian itu pada saat ospek dan maba tidak ada yang boleh melawan kepada panitia atau seniornya. Kalau tradisi awal masuk kuliah ini, maba harus melawan dan itu menjadi pembuktian bagi seorang Pandu sang singa kampus teknik kita. Orang terkuat diteknik sipil pada saat masuk dikampus teknik kita, sampai detik ini.” Jawab Intan.

“Apa tidak ada duel lagi, antara Mas Pandu dan Bang Daud setelah ospek.?” Tanyaku.

“Kan sudah kubilang, ini untuk masing – masing jurusan dan mereka berdua beda jurusan. Pandu teknik sipil dan Bang Daud teknik mesin. Lagian setelah ospek, Pandu langsung masuk pondok merah. Jadi mereka berdua tidak mungkin akan berduel.” Jawab Intan.

“Apa ada kemungkinan aku akan berduel dengan Mas Pandu.?” Tanyaku dan Intan langsung menggelengkan kepalannya pelan.

“Kenapa.? Katanya Mas Pandu tidak terkalahkan.?” Tanyaku.

“Dia tidak mungkin akan berduel denganmu atau mahasiswa baru lainnya. Dua tahun terakhir ini, dia sudah tidak pernah turun di tradisi itu.” Jawab Intan dan kembali aku mengerutkan kedua alisku.

“Katanya Mas Pandu terlibat dalam tradisi itu.?” Tanyaku.

“Pandu hanya mengawasi tradisi itu, supaya para senior tidak terlalu kelewatan menghadapi para juniornya. Begitu juga para penghuni pondok merah lainnya. Mereka tidak akan terlibat duel dan mereka hanya menjaga agar duel itu tidak kebablasan. ” Jawab Intan.

“kenapa gak sekalian dihentikan aja sih sama Mas Pandu.?” Tanyaku lagi.

“Sebenarnya Pandu ingin menghentikan tradisi itu, beberapa tahun yang lalu. Tapi entah kenapa tradisi itu selalu saja terulang. Tradisi itu terus berjalan tanpa ada satupun yang bisa menghentikannya. Tradisi itu seperti suatu ritual yang wajib, bagi seluruh mahasiswa baru.” Ucap Intan lagi.

Hiuufftt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Kalau aku tidak mau mengikuti tradisi gila itu bagaimana.?” Tanyaku.

“Resikonya kamu akan dihajar oleh seluruh senior yang ada diatasmu.” Jawab Intan dengan dinginnya.

“Cuk.” Makiku lalu kami diam beberapa saat.

“Apa masing – masing jurusan melakukan tradisi itu.?” tanyaku sekali lagi dan Intan menganggukan kepalanya.

Jiancok. Kenapa harus ada tradisi seperti itu ya.? Apa karena ini kampus teknik, jadi harus ada tradisi gila macam itu.? Tapi tujuannya untuk apa.? Kalau tujuannya hanya untuk menjadi yang terkuat, gak usah kuliah. Dijalanan sana aja loh. Buktikan siapa yang paling kuat, kalau perlu saling membunuh sekalian. Gila.

“Tujuanku kekota ini, mau kuliah. Bukan mau jadi bajingan.” Ucapku.

“Tapi kamu berada dikampus teknik kita dan kamu pasti akan terlibat didalam tradisi iitu. Suka atau tidak suka, kamu pasti akan melawan mereka.” Ucap Intan.

“Kalau aku tidak melawan.?” Tanyaku.

“Sesabar – sabarnya seseorang, selemah – lemahnya seseorang, atau seseorang yang tidak punya pengalaman berkelahi sekalipun, pasti akan mengeluarkan semua tenaganya ditradisi itu.” Jawab Intan dan aku hanya menarik nafasku dalam – dalam lagi.

“Jalani saja dan aku harap kamu tidak lemah sebagai seorang laki – laki.” Ucap Intan sambil mengelus pipi kananku lagi.

“Kelemahan atau kekuatan seorang laki – laki itu, bukan dibuktikan dari kerasnya pukulan. Ucapan dan tindakan yang akan membuktikan, pantas atau tidaknya dia disebut laki – laki.” Ucapku dengan penekanan nada yang keras.

“Terus kamu mau apa.?” Tanya Intan.

“Aku akan memutus mata rantai tradisi gila itu, walaupun darahku menetes ditanah.” Jawabku.

“Ga usah aneh – aneh. Tidak ada yang bisa menghentikan tradisi yang sudah berlangsung sejak lama itu, sampai hari ini. Bahkan Pandu seorang singa kampus saja, tidak bisa menghentikannya” Ucap Intan dengan sangat seriusnya.

“Tapi hari ini pasti akan bisa dan Gilang Adi Pratama yang akan melakukannya.” Ucapku yang tidak kalah serius.

“Tidak semudah itu Lang. Kamu taukan kalau sudah bicara tentang tradisi.? Tabu kalau kamu melanggar atau malah menghentikannya” Ucap Intan.

“Aku berasal dari desa Sumber Banyu Tan. Desa dimana keluar sumber mata air yang membelah dua desa yang sangat legendaris. Desa Jati Bening dan Desa Jati Luhur. Air dari desaku memberikan kehidupan bagi kedua desa tersebut dan desa - desa lainnya yang dilewati, sampai kehilir sana. Sumber banyu memberikan kehidupan dan kedamaian bagi siapa saja. Tapi jangan sekali – kali mengusik sumber banyu, karena bisa saja itu akan mengundang bencana yang maha dasyat.” Ucapku dengan tatapan yang sangat dalam sekali kearah mata Intan.

Intan langsung terdiam dan tatapan matanya, langsung berubah menjadi sangat sayu sekali. Aku juga diam dan tidak melanjutkan ucapanku. Aku hanya terus menatap kearah mata Intan itu.

Tiba – tiba wajah kami semakin dekat dan dekat lagi, tanpa ada suara yang mengiringi. Dan ketika bibir kami sedikit lagi bersentuhan.

“Bisa gak kalau diakhir pembicaraan itu, tidak ada adegan kecupannya.” Ucap Joko yang berdiri didepan pintu kamarku, sambil melihat kearah Intan lalu melihat kearahku.

Aku dan Intan yang terkejut, langsung memundurkan wajah masing – masing, lalu melihat kearah Joko.

Cok, sejak kapan dia berdiri disitu dan bagaimana dia membuka pintu kamarku, tanpa aku mendengar suaranya.? Bajingan.

“Yang mau kecupan itu siapa.?” Tanyaku sambil kembali merapikan kemejaku.

“Gak kecupan, tapi saling melumat bibir. Podo ae cok. (sama aja cok.)” Omel Joko kepadaku dan terlihat dia sudah berpakaian yang sangat rapi sekali.

“Eleh, iku mek pikiranmu ae seng kotor.” (Eleh, itu cuman pikiranmu aja yang kotor.) Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan merapikan pakaianku lagi.

“Telek.” (Taik) ucap Joko lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamarnya.

“Aku pergi dulu ya.” Pamitku ke Intan sambil mengambil tas punggungku dan memakainya.

“Iya, hati – hati ya.” Ucap Intan sambil mendekatkan tubuhnya kearahku. Dan ketika dia memajukan bibirnya dan akan mengecup pipiku,

“Ehem.” Ucap Joko yang memunculkan wajahnya dipintu kamarku yang terbuka.

Intan pun langsung menghentikan gerakannya dan melirik kearah Joko.

Joko langsung bersiul sambil melihat kearah yang lain. Kurang ajar.

Aku lalu berjalan kearah pintu kamarku, sambil melirik kearah Intan. Intan tersenyum dengan manisnya, melepaskan kepergianku dihari pertama kuliah ini yang katanya sangat berat itu.

“Piye cok.?” (Bagaimana cok.?) Tanya Joko sambil membakar rokoknya.

Kami berdua sekarang sedang dalam perjalanan kearah kampus teknik kita.

“Piye opone.?” (Bagaimana apanya.?) Tanyaku balik lalu aku menghisap rokokku.

“Gathel. seng koen omongi ambe Intan mau iku loh cok.” (Gathel, yang kamu omongin sama Intan tadi itu loh cok.) Ucap Joko dengan penekanan nada yang agak keras.

“Asuu. koen iso ndelok wujud’e Intan, terus iso ngerungokno omongane. Lapo koen mbidek ae ket wingenane cok.?” (Anjing, kamu bisa lihat wujudnya Intan, terus bisa mendengarkan ucapannya. Kenapa kamu diam aja dari kemarin – kemarin cok.?) Omelku kepada Joko.

“Yo, yo, yo gak ngono cok.” (Ya, ya, ya gak gitu cok.) ucap Joko dengan nada yang agak kebingungan.

“Gak ngono, gak ngono, telek a.?” (Gak gitu, gak gitu. Taik kah.?) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Ngono ae nesu cok, cok. Nesu koncone asuu loh.” (Gitu aja marah cok. Marah temannya anjing loh.) sahut Joko.

“Ancene koncoku koyo asuu’og.” (Memang temanku kayak anjing kok.) Jawabku.

“Bajingan’ig. Kok gatheli ngono omonganmu.?” (Bajingan ini. Kok menjengkelkan gitu ucapanmu.?) Tanya Joko sambil melihat kearahku.

“Lapo.? Gak trimo a koen.? Njaluk tak ke’i belungan ta.?” (Kenapa.? Gak terimakah kamu.? Minta kukasih tulangan kah.?) Ucapku dengan santainya.

“Matamu.” Ucap Joko dengan jengkelnya.

Kami pun diam beberapa saat, sambil menikmati rokok masing – masing. Dan ketika sudah sampai dibelakang kampus teknik kita,

“Terus piye cok.?” (Terus bagaimana cok.?) Tanya Joko lagi.

“Piye opone seh.?” (Bagaimana apanya sih.?) Tanyaku balik.

“Cok. Suwi – suwi tak cokot kentolmu loh.” (Cok. Lama – lama kugigit betismu loh.) Ucap Joko dengan gregetannya.

“Nggilani koen cok.” (Menjijikan kamu cok.) Jawabku lalu aku menikmati rokokku lagi.

“Ayolah cok. serius titiklah.” (Ayolah cok, serius sedikitlah.) Ucap Joko agak memelas.

Aku lalu melihat kearah Joko dan Joko langsung melirikku.

“Masalah tradisi hari pertama mlebu kuliah iku loh cok.” (Masalah tradisi hari pertama masuk kuliah itu loh cok.) Ucap Joko mempertegas pertanyaannya.

“Yo dilakoni ae.” (Ya dijalani aja.) Jawabku singkat, karena aku juga bingung harus melakukan apa untuk memutus mata rantai tradisi gila itu.

“Berarti koen engko tarung ambe koncomu sak angkatan.?” (Berarti kamu duel sama teman satu angkatanmu.?) Tanya Joko dan aku langsung menggeleng pelan.

“Terus.?” Tanya Joko lagi.

Hiuufft, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam lalu mengeluarkannya perlahan

“Tradisi iki kudu diilangi cok.” (Tradisi ini harus dihilangi cok.) Ucapku dengan tenangnya.

“Berarti lawanmu seniormu, dudu’ konco angkatanmu.” (Berarti lawanmu seniormu, bukan teman satu angkatanmu.) Sahut Joko.

“Gak perduli.” Jawabku singkat.

“Lek seniormu seng liyane gak opo – opo koen lawan, lek Mas Pandu piye cok.?” (Kalau seniormu yang lain ga apa – apa kamu lawan, kalau Mas Pandu bagaimana cok.?) Tanya Joko dan aku hanya diam saja mendengarkannya.

“Mas Pandu wes gak terlibat masalah iku.” (Mas Pandu sudah gak terlibat masalah itu.) Jawabku.

“Gak terlibat piye.? Jarena Mas Pandu iku seng paling kuat. Lek awakmu kumat gendengmu, aku yakin awakmu iso mbantai senior – seniormu. Lek wes ngono, otomatis Mas Pandu seng dadi lawanmu. Opo koen siap ngadepi Mas Pandu.?” (Gak terlibat bagaimana.? Bilangnya Mas Pandu itu yang paling kuat. Kalau kamu gilamu, aku yakin kamu bisa bantai senor – seniormu. Kalau sudah begitu, otomatis Mas Pandu yang jadi lawanmu. Apa kamu siap menghadapi Mas Pandu.?) Tanya Joko lagi dan aku langsung terdiam.

Benar juga omongan Joko. Walaupun Mas Pandu ingin menghentikan tradisi gila itu, kalau ada mahasiswa baru yang membantai mahasiswa lama, apa di gak turun juga.? Arrgghh.

“Ndelok engko ae.” (Lihat nanti aja.) Ucapku sambil membuang puntung rokokku dan kami berdua sudah sampai didepan kampus teknik kita. kami berdua menghentikan langkah kami dan melihat situasi sekeliling depan kampus teknik kita.

Terlihat suasana didepan kampus teknik kita ini, sangat sepi sekali. Tidak ada mahasiswa satupun yang nongkrong didepan pagar kampus seperti hari biasa. Tapi parkiran sepeda motor tampak memenuhi kanan dan kiri jalan depan kampus teknik kita. Dibagian dalam kampuspun, terlihat beberapa mobil mahasiswa terparkir dengan rapi.

Gila, pada kemana para mahasiswa ini.? Apa mereka ada didalam kampus dan sudah memulai tradisi gila itu.?

Aku dan Joko langsung saling melihat.

“Piye.?” (Bagaimana.?) Tanya Joko.

“Yo mlebu.” (Ya Masuk.) Jawabku singkat sambil berjalan kearah gerbang kampus.

Joko tidak mengikuti langkahku. Dia masih berdiri dibelakangku dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu melihat kearahnya.

“Wedi.?” (Takut.?) Tanyaku.

“Gak blas cok.” (Gak sama sekali cok.) Jawab Joko sambil melangkah kearahku.

“Semongko.” Ucapku, sambil mengepalkan tangan kiriku kearah Joko.

“Semangat nganti bongko” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko sambil meninju pelan kepalan tangan kiriku, menggunakan kepalan tangan kanannya.

Kami berdua lalu berjalan beriringan, memasuki gerbang kampus teknik kita.

Dan ketika kami sampai didalam area kampus teknik kita yang terlihat sepi ini, aura yang begitu menyeramkan, menyambut kedatangan kami berdua. Cuaca hari ini memang sangat cerah sekali. Tapi hawanya, terasa sangat membuat bulu kuduk berdiri. Entah kenapa bisa seperti itu, yang jelas kampus ini terasa diselimuti hawa yang sangat panas dan perlahan membuat emosi naik kekepala.

Gila, hawa dingin kota ini tidak terasa seperti biasanya. Bulu kudukku yang berdiri, perlahan malah membuat seluruh tubuhku memanas. Ada apa ini.? kenapa bisa seperti ini.? Apakah semesta ini merestui adanya kegiatan tradisi gila dikampus ini.? Atau semesta justru murka.?

Kembali aku dan Joko saling melirik sambil terus berjalan kearah gedung kuliah teknik sipil. Dan ketika kami melewati beberapa gedung kuliah jurusan lain, tampak seluruh mahasiswa berdiri didepan ruangan masing – masing dan melihat kearah dalam ruangan mereka.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

Terdengar suara baku hantam dari dalam ruangan yang dilihat oleh para mahasiswa itu, dan mereka semua hanya diam sambil terus melihat kearah dalam ruangan.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

“AARRGGHHH.” Terdengar teriakan kesakitan bersahut - sahutan.

Gila, tradisi itu benar – benar ada dan sekarang sedang berlangsung. Bukan hanya satu jurusan, tapi setiap jurusan yang kami lewati melakukan tradisi gila itu. Ada yang melakukan didalam ruangan, ditaman, dijalan depan gedung kuliah, sampai dilapangan terdekat.

Aku dan Joko terus melangkah kearah gedung kuliah teknik sipil. Dan ketika sampai dipersimpangan jalan, aku dan Joko memisahkan diri untuk kejurusan masing – masing. Joko kearah gedung arsitek yang ada disebelah gedung teknik sipil dan aku ke gedung sipilnya.

“Aku gak gelem mbopong awakmu muleh.” (Aku gak mau gendong kamu pulang.) Ucap Joko yang sudah berjalan beberapa langkah, sambil menoleh kearahku.

“Sakarebmu, aku turu nde jalan iki ae.” (Terserah kamu, aku tidur dijalan ini aja.) Ucapku sambil terus melangkah.

“Jiancokk.” Maki Joko sambil berjalan kearah gedung kuliahnya.

Belakang gedung kuliah teknik sipilpun mulai terlihat. Gedung yang menghadap kearah lapangan itu, terlihat sunyi dari arahku berjalan.

“Lang.” Tiba – tiba seseorang memanggilku dan aku langsung melihat kearah orang itu.

“Mas Pandu.” Ucapku yang terkejut, melihat Mas pandu berdiri dipojokan belakang gedung teknik sipil.

Akupun mendekat kearah Mas pandu.

“Ya Mas.” Ucapku dengan sangat sopannya, ketika aku sudah berdiri dihadapan Mas Pandu.

“Kamu mau kuliah.?” Tanya Mas Pandu.

Maksud pertanyaan Mas Pandu ini apa ya.? Menjebak atau memang benar – benar bertanya.? Emang dijurusan teknik sipil sudah dihapus tradisi gila macam itu, mulai angkatanku.? Bagus dong.

Tapi kalau tradisi itu sudah dihapus,kok aku gak melihat satupun teman – teman angkatanku disekitar sini.? Masa, mereka janjian gak masuk sih.?

“Iyalah, masa aku ngamen mas.” Jawabku bercanda lalu aku tersenyum.

“Aku lagi gak mau bercanda.” Ucap Mas Pandu dengan wajah yang sangat serius sekali.

“Maaf Mas.” Ucapku pelan.

Mas Pandu pun mengeluarkan dua botol minuman dari kantong belakangnya dan menyerahkan sebotol kepadaku.

Waw,minuman gepeng yang mahal nih. Aku jarang sekali minum minuman gepeng seperti ini. Biasanya botol besar yang biasa dibuat orang jual bensin eceran itu. Kalau botol gepeng seperti ini, istimewa banget bagiku.

“Ambil.” Ucap Mas Pandu sambil menyodorkan minuman itu kepadaku.

“Terimakasih Mas,” Ucapku sambil mengambil botol itu dari tangan Mas Pandu.

Kami berdua membuka botol masing – masing lalu meminumnya bersamaan.

“Kamu sudah siap.?” Tanya Mas Pandu lalu menyalakan rokoknya dan menghisapnya.

“Ketika aku keluar rumah, aku sudah siap dengan segala resiko yang ada didepanku Mas.” Ucapku sambil mengantongi botol minuman gepeng itu, lalu mengambil rokok kretekku dan membakarnya.

“Emang kamu siap buat apa.? Aku loh belum bertanya siap tentang apa.” Ucap Mas Pandu lalu meminum minumannya lagi.

“Apa aja aku pasti siap Mas. Orang yang biasa dijalanan seperti aku ini, sudah gak kaget dengan hal – hal yang baru didaerah yang pertama kita datangi.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Berarti kamu sudah tau tentang tradisi, hari pertama masuk bagi mahasiswa baru dikampus ini.?” Tanya Mas Pandu.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

Terdengar suara baku hantam dari arah lapangan depan gedung kuliah jurusan teknik sipil.

“ARRGHHHH.” Jerit kesakitanpun, menyusul kemudian.

“Sedikit Mas.” Jawabku, lalu aku mengambil minuman dikantong belakangku dan meminumnya lagi.

“Tradisi ini hanya untuk mengetes mental mahasiswa baru, sebagai mahasiswa kampus teknik kita.” Ucap Mas Pandu menjelaskan, tanpa aku memintanya.

“Kalau hanya mengetes mental, kenapa Mas berniat menghentikan tradisi ini.?” Tanyaku.

“Tau dari mana kalau aku mau menghentikan tradisi ini.?” Tanya Mas Pandu.

“Bisikan ghaib Mas. hehehe.” Ucapku bercanda.

“Memang anak – anak desa Banyu Bening ini senangnya sama yang ghaib – ghaib.” Ucap Mas Pandu lalu tersenyum dengan sinisnya.

“Biasa aja Mas.” Ucapku singkat.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH, BAAGGHH, BUUGGHH.

Suara baku hantam, makin ramai terdengar dan suara jerit kesakitan, makin terdengar dengan jelasnya.

“Tradisi ini bagiku hanya untuk gaya – gayaan saja. makanya aku sudah tidak mengikutinya beberapa tahun ini.” Ucap Mas Pandu lalu meminum minumannya lagi.

“Iya kenapa sampean gak menghentikannya.” Tanyaku sekali lagi.

“Itu tugasmu.” Ucap Mas Pandu dengan santainya, lalu pergi meninggalkan aku begitu saja.

Ha.? Apa maksud Mas Pandu ini.? Kenapa harus aku yang disuruh menghentikan tradisi ini.? Bukannya Mas Pandu yang lebih memiliki kekuatan untuk menghentikannya.? Atau anggotanya dari pondok merah gitu.? Kenapa harus aku.? memang sih aku berniat untuk menghentikan tradisi gila ini. Tapi aku gak nyangka aja, kalau Mas Pandu juga menyuruhku untuk mengentikannya. Gila.

Akupun langsung menghabiskan minuman gepeng pemberian Mas Pandu, setelah itu aku menghisap rokokku dalam – dalam. Setelah menangkan sejenak pikiranku yang mulai agak pusing karena pengaruh minuman ini, akupun berjalan kearah depan gedung teknik sipil.

Dan ketika aku sampai disebelah gedung teknik sipil, terlihat pemandangan yang mengerikan dilapangan depan gedung kuliahku. Seluruh teman – teman angkatanku tergeletak dilapangan, dengan bersimbah darah. Sementara beberapa senior berdiri diantara teman – temanku yang bergelimpangan itu. Para senior itu berdiri dengan wajah berdarah – darah dan kepalan tangan mereka juga dipenuhi percikan darah. Tampak senior – senior yang tidak terlibat perkelahian, berdiri dipinggir lapangan menikmati pemandangan yang sangat membangsatkan itu.

Teman – teman angkatanku yang perempuan, terlihat berdiri didepan perpustakaan dan dikelilingi oleh senior – senior yang perempuan. Wajah teman – temanku itu tampak ketakutan dan ada yang menangis. Terlihat Ratna ada dibarisan itu dan dia melirikku dengan wajah yang sangat ketakutan sekali.

Aku lalu melihat kearah lapangan lagi dan melihat teman – temanku yang tergeletak bersimbah darah itu. Mereka semua melihatku dengan tatapan yang sangat menyedihkan.

Kurang ajar. Semua teman – temanku dibantai dan tidak ada satupun yang berdiri. Emosikupun perlahan mulai naik kekepala dan kedua tanganku langsung terkepal. Ini tidak bisa dibiarkan dan ini harus dihentikan. Tradisi yang gila ini tidak pantas untuk terus dilakukan dikampus ini. Memang bener kampus ini kampus teknik, tapi bukan seperti ini juga cara menunjukan jiwa keteknikan seseorang. Silahkan pakai kekerasan kalau itu untuk mendidik, tapi kalau sudah seperti ini, bukan mendidik namanya.

Aku menghisap rokokku dalam - dalam, setelah itu aku melangkah kearah lapangan lagi. Seluruh senior yang melihat kedatanganku, langsung menatapku dengan tajam.

Aku menghentikan langkahku tepat dipinggir lapangan. Dan dari tempatku berdiri ini, aku bisa melihat kearah semua seniorku. Ada yang berada ditengah lapangan, dipinggir lapangan, didepan gedung lantai satu dan diteras gedung lantai dua. Sementara diteras lantai tiga, hanya dua orang saja yang berdiri disana. Mereka adalah Mas Pandu dan Bang Ramos. Mereka berdua melihatku sambil menghisap rokoknya masing - masing.

Kenapa Mas Pandu gak turun dan ikut membantai teman – temanku juga.? Apa Mas Pandu sadar kalau teman – temanku ini bukan lawannya.? Terus harus menunggu siapa Mas Pandu turun dari lantai tiga.? Dan kenapa juga Bang Ramos tidak ikut turun.? Ada apa sih dengan mereka berdua.? Apa benar Mas Pandu muak dengan semua ini dan menyuruhku untuk menghentikan semuanya.?

“He pengemis. Ngapain kamu berdiri disitu.?” Ucap salah satu senior yang berada ditengah lapangan.

Aku langsung melihat kearahnya, sambil menghisap rokokku lagi.

Didalam lapangan itu, sekitar belasan senior yang berdiri dan mereka semua yang menghabisi teman – temanku. Mungkin mereka ini orang – orang terkuat dari angkatan – angkatan diatasku.

“Bajingan ini memang pengemis yang masuk dikampus teknik kita.” Sahut senior yang lain.

“Pengemis yang membawa gitar. Hahaha.” Sahut yang lain lagi, lalu dia tertawa dengan wajah yang sangat mengejek sekali.

“Pasti pihak rektorat hanya kasihan melihat dia, jadi dia diterima dikampus teknik kita ini.” Ejek senior yang lain lagi.

“Berarti gak pantes dong dia ada disini.?”

“Iya, gak pantes banget.”

“Kita bantai aja dia, biar dia pergi dari kampus kita hari ini juga.”

Ejekan dan hinaan para senior itu, terus bersahut – sahutan dan diarahkan kepadaku. Emosiku yang perlahan naik sedari tadi, tetap aku tahan dan aku berusaha menguasai diriku. Hinaan – hinaan seperti ini sudah biasa aku dapatkan dan aku terima selama ini. Perkataan mereka tidak sedikitpun yang masuk kedalam hatiku. Aku hanya tetap santai melihat mereka satu persatu dan justru mereka yang semakin terlihat emosi, melihat sikap santaiku ini.

Dan tiba – tiba.

BUHGGG.

Seseorang dari arah belakang menginjak punggungku, tepat dibagian tas yang kugendong dengan kuat. Aku sampai terdorong dan rokokku terlempar entah kemana.

“ARRGGHHH.” Teriakku yang terkejut dan kesakitan.

Aku yang terdorong kedepan, langsung membalikkan tubuhku dan melihat kearah orang yang ada dibelakangku.

BUHGGG.

Orang itu langsung meloncat dan mengarahkan kepalan tangannya, kearah jidatku dan tepat diantara kedua alisku dengan kuatnya.

Kepalaku terdanga dan tubuhku limbung kebelakang. Lalu,

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Orang itu menghajarku dengan membabi buta. Seluruh wajah, dada dan perutku, menjadi sasaran kedua kepalan tangannya bergantian.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Dia terus menghajarku sampai darah memenuhi seluruh wajahku dan ada yang keluar dari mulutku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Pukulannya semakin kuat dan cepat, lalu.

BUHHGG, JEDUK, BUMMMM.

Dia menendang wajah sampingku dengan punggung kaki kanannya, dan aku langsung limbung kearah kanan, lalu roboh dengan kepala bagian kiriku terhantam kerasnya lantai semen lapangan.

Aku roboh dengan darah yang terus mengalir dari seluruh wajahku.

Gila. Siapa dia.? Kenapa dia langsung menghajarku.? Aku tidak pernah mempunyai masalah dengannya dan aku tidak pernah melihatnya, mulai aku daftar kuliah sampai selesai ospek. Apa dia ini salah satu orang yang disegani dijurusan teknik sipil.?

Aku membersihkan darah yang mulai menutupi kedua mataku dan orang itu langsung mendekati aku. Ditariknya kerah bajuku sampai aku terduduk, lalu.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Dia menghajar seluruh wajahku sambil memegangi kepala belakangku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Lalu.

BUHGGG, JEDUK, BUUMMM.

Dia membantingku kepalaku kedepan dan jidatku membentur lantai lapangan dengan kerasnya.

“AARGGHHH.” Aku kesakitan sambil tertelungkup dilapangan ini.

Gila, ini gila banget. Ini sudah diluar kewajaran. Kalau ospek aku dibantai seperti ini, aku tidak merasa sakit hati sama sekali. Tapi kenapa sekarang aku sakit hati ya.? Apa karena dia memukulku dengan amarah dan kebencian.? Bajingaann.

Aku merasa darahku menggenang dihadapanku yang tertelungkup ini. kepalaku berkunang – kunang dan sekuruh tubuhku terasa remuk redam. Kalau aku diam seperti ini terus, aku pasti akan mati konyol.

Kemeja baru yang aku pakai ini pun, terasa basah oleh keringat bercampur darah. Dan aku merasa, kemejaku ini sobek dibeberapa bagian.

Kurang ajar, ini kemeja pemberian Ibuku dan aku baru memakainya sekali. Aku sangat menyukai kemeja ini dan aku harus menunggu hari pertama kuliah untuk mengenakannya. Tapi binatang satu ini sudah merusak segalanya. Selain kemejaku yang robek, harapan tentang indahnya hari pertama kuliahku, dikacaukan olehnya. Jiancok.

BUHGGG.

Kepala belakangku diinjak dengan telapak sepatunya, sehingga keningku yang terluka semakin menggesek disemen lapangan ini.

“Orang miskin seperti kamu itu gak pantas kuliah disini. Lebih baik kamu pulang kedesamu, terus bantu kedua orang tuamu kesawah.” Ucapnya sambil menguatkan injakannya dikepalaku.

Kret, kret, kret, kret.

Bunyi jidatku yang tergesek dilapangan.

“Orang tuamu tidak pernah mengajari kamu, untuk berkaca ya.? Atau orang tuamu tidak tau diri dan memang mengajarkan kamu berlagak mampu, sampai berani mendaftar disini.?” Ucap orang itu dan.

DUAARRRR.

Terdengar petir menggelegar dengan kerasnya.

Ucapan orang itupun, langsung membakar seluruh tubuhku dan emosiku langsung menguasai seluruh tubuhku.

Bajingan orang ini. Boleh dia menghinaku dengan segala ucapannya, tapi jangan sekali – kali membawa kedua orang tuaku. Aku tidak terima itu dan aku bisa melakukan apapun, untuk membela kehormatan keluargaku.

Aku memang orang miskin, tapi bukan berarti aku tidak punya harga diri. Bagiku harta itu tidak ada apa – apanya, dibandingkan dengan harga diri yang terinjak – injak. Harga diri adalah segala – galanya bagiku. Dan ketika ada yang berani mengusiknya, nyawapun pasti akan kupertaruhkan.

DUAARRRR, DUAARRRR, DUAARRRR.

Bunyi petir bersahut – sahutan, menggelegar diatas kepalaku dan menggema didalam ruang kepalaku. Bunyi petir itu pun serasa membangkitkan sisi lain, seorang pemuda yang berasal dari desa Banyu Bening ini. Bunyi petir itu juga terasa seperti amarah para leluhurku kepadaku, karena aku diam dan tidak cepat bangkit dari keadaan ini. Keadaan yang sangat menginjak injak harga diri seorang yang bernama Gilang Adi Pratama.

Tik, tik, tik, tik, tik.

Perlahan gerimis mulai turun dengan cepatnya, lalu disusul hujan yang turun dengan derasnya. Semesta terasa bersedih dan menangis melihatku tertelungkup bersimbah darah seperti ini.

Aku mengangkat wajahku sedikit dengan kuatnya, lalu aku menarik nafasku dalam – dalam. Injkan kaki orang itu menahan agar kepalaku tidak terangkat lagi.

Aku lalu mengepalkan kedua tanganku, diatas semen lapangan. Lalu perlahan dengan bertumpu pada kedua kepalan tanganku ini, aku mendorong tubuhku keatas. Kaki dari orang itu masih tetap berada dikepala belakangku dan mencoba menahan supaya aku tetap tertelungkup.

Aku terus mendorong tubuhku, sampai posisiku membungkuk dengan bertumpu pada kedua lututku dan kedua kepalan tanganku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Orang itu menginjak punggungku berkali – kali, agar aku tertelungkup lagi.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Posisiku terlalu kokoh untuk digoyangkan oleh injakannya itu, karena emosi yang sudah menguasai seluruh tubuhku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Giliran dari arah bawah dia menendang perutku bertubi – tubi, tapi aku tetap dengan posisi merangkak seperti ini.

Tik, tik, tik, tik, tik.

Hujan yang begitu derasnya, membuat darahku menetes dan bercampur air dilapangan ini. Aku bisa melihat jelas darahku mengalir kemana – mana dan menggenang dilapangan ini.

Cukup sudah darahku ini mengalir, dan sekarang aku akan membuat darahnya yang mengalir. Aku akan membantainya saat ini juga. Saat ini juga.

Aku lalu mengangkat wajahku dan terlihat Pak Tomo, Mas Pandu dan Bang Ramos, berdiri dilantai tiga bangunan sambil melihat kearahku.

Perlahan aku menegakkan tubuhku, sampai aku berdiri dihadapan orang yang membantaiku tadi. Aku menatapnya dengan tajam dan dia terlihat sedikit ketakutan, melihat raut wajahku yang seperti ini.

Aku lalu melepaskan tas punggungku yang aku pakai dari tadi, sambil terus menatapnya.

BUHGGG.

Dia maju dengan ketakutannya dan memukul wajahku, tapi aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Tubuhkupun tidak bergeser sedikitpun, akibat efek pukulannya.

BUHGGG.

Dia memukulku lagi,

BUHGGG.

Lagi.

BUHGGG.

Dan lagi.

Tik, tik, tik, tik, tik.

Hujan semakin deras dan itu tidak mampu mendinginkan sedikitpun, emosi yang memanas dikepalaku. Hujan ini justru membuat seluruh tubuhku semakin memanas dan emosiku semakin menggila.

Aku memejamkan kedua mataku perlahan, lalu membukanya. Dan ketika dia akan menghantam wajahku lagi.

BUHGGG, KRAKKK.

Aku menghantam tulang lunak hidungnya dengan keras, sampai dia terdanga dan darahnya menyembur bersama derasnya hujan yang turun.

Dia yang oleng kebelakang, langsung aku sambut dengan kepalan tangan kanan dan kiriku didada serta perut secara beruntun.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

“HUEEKKK..” Pukulanku yang sangat keras ini, membuat darah menyembur dari mulutnya dan dia termundur tanpa bisa membalas seranganku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Sekarang giliran wajahnya yang aku hantam dengan brutalnya.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku menggila diderasnya hujan ini dan aku tidak perduli dengan apapun yang ada disekitarku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku terus menghajarnya, sampai tubuhnya melayang dan mau roboh kebelakang. Tapi sebelum roboh,

BUHGGG.

Aku menginjak dadanya dengan keras, sampai dia terlempar kebelakang dan terguling – guling dilapangan.

“AARGGHHHH.” Dia kesakitan sambil mengguling – gulingkan tubuhnya kekanan dan kekiri.

“BANGSATT.” Teriak belasan senior yang membantai teman – teman seangkatanku, lalu mereka berlari kearahku bersama – sama.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku menyambut satu persatu mereka dengan kepalan tanganku dan juga dengan tandanganku.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Satu persatu mereka roboh dan tidak sedikit juga pukulan mereka yang masuk diwajah, dada dan perutku. Tapi aku tetap berdiri sambil membantai mereka satu persatu.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku menggila segila – gilanya dan aku menghajar mereka tanpa ampun. Aku sudah tidak perduli dengan statusku yang mahasiswa baru. Yang ada dipikiranku sekarang, aku harus membuat mereka semua terkapar dan darah mereka tertumpah dilapangan ini. Mungkin dengan cara seperti ini, tradisi gila macam ini tidak akan terulang lagi ditahun – tahun berikutnya.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku terus menghajar mereka, sampai yang berdiri ditengah lapangan tadi tidak tersisa. Semua senior yang ada dipinggir lapanganpun, tidak ada yang berani masuk ditengah lapangan dan ikut campur dengan pertarungan ini.

Setelah aku menghajar semua senior yang menyerangku bersama – sama tadi, aku berjalan kearah senior yang membantaiku pertama kali tadi.

Dia tertidur tertelungkup dengan posisi kepala yang menyamping, dan darah yang menggenang disekitarnya bercampur air hujan.

Aku membalikan tubuhnya sampai dia terlentang, lalu aku mengangkat kerah bajunya sampai dia berdiri dengan tubuh yang sempoyongan.

“Kamu mau jadi jagoan.?” Tanyaku dan dia melihatku dengan kedua kelopak matanya yang mulai membengkak.

“Arrgghhh.” Dia tidak menjawabku dan mulutnya hanya meracau.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan kananku, sambil memegang kerah bajunya dengan tangan kiriku.

Darah kembali mengalir dari wajahnya, tapi aku tidak menghentikan seranganku. Aku justru semakin gila menghajarnya.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Lalu aku lepas peganganku dikerah bajunya, dan.

BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH.

Aku memukul dengan cepat dan keras, seluruh tubuhnya yang sempoyangan itu.

BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH, BUGH.

Aku terus menghajarnya, sampai dia mau roboh lagi, dan.

BUHGGG, JEDUK, BUUMMM.



“ARRGGHHHH.” Teriaknya dengan kesakitan dan mulut yang mengeluarkan banyak darah segar.

Aku baru saja menutup seranganku, dengan menghantam mulutnya yang telah menghina kedua orang tuaku tadi, dengan sekuat tenagaku. Orang itu langsung roboh dan terlentang dengan nafas yang sangat berat sekali.

“SIAPA YANG MAU MENERUSKAN TRADISI INI LAGI.? MAJU DIHADAPANKU SEKARANG.!!!” Teriakku sambil melihat kearah sekelilingku.

Tidak ada satupun yang menyahut teriakanku dan semua orang terdiam.

“PERSETAN DENGAN KALIAN SEMUA.”

“KALAU SAMPAI TRADISI INI BERLANJUT TAHUN DEPAN ATAU TAHUN DEPANNYA LAGI, BUKAN MAHASISWA BARU YANG AKU BANTAI. TAPI ORANG YANG BEDIRI DILAPANGAN INI DAN ORANG YANG INGIN TRADISI INI BERLANJUT, YANG AKAN AKU HABISI. TIDAK PERDULI SIAPAPUN ITU ORANGNYA.” Teriakku dengan emosinya.

DUAARRRR, DUAARRRR, DUAARRRR.

Suara petir pun menyambut ucapanku, dengan hujan badai yang semakin kencangnya.

Karena tidak ada satupun yang menjawab, aku langsung membungkukan tubuhku dan meraih kaki orang yang baru aku bantai ini. Aku lalu menyeretnya dengan posisi yang terlentang. Aku berjalan kearah sebelah gedung tempat kuliahku, dimana sahabatku Joko Purnomo pasti sedang bertarung.

Tidak ada satupun yang menghentikan aksiku ini dan aku terus berjalan kearah gedung kuliah Joko, sambil tetap menyerat orang yang membantaiku tadi. Dan ketika aku sampai disana, pemandangan yang sama seperti dijurusanku, membuat emosiku kembali terbakar. Aku melihat Joko berdiri dan berhadapan dengan lima orang seniornya. Wajah Joko dipenuhi darah dan dia juga terlihat sangat emosi sekali. Joko seperti ingin menerkam satu persatu para seniornya itu.

“KALAU TRADISI INI TERUS BERLANJUT, TIDAK USAH PERJURUSAN. KITA ADAKAN SATU KAMPUS BERSAMA – SAMA AJA.” Teriakku dan semua orang yang ada disitu, langsung terkejut dan melihat kearahku.

“COOKKK.” Maki Joko yang terkejut, ketika melihatku berdiri tidak jauh darinya.

“SAYA TUNGGU DIDEPAN GEDUNG REKTORAT, BAGI SIAPA SAJA YANG MAU MENERUSKAN TRADISI INI. DAN SAYA HARAP, SIAPAPUN YANG DATANG SUDAH SIAP UNTUK KEHILANGAN NYAWANYA. KITA BERTARUNG SAMPAI SISA SATU ORANG SAJA YANG BERNYAWA, BARU PERTARUNGAN BERAKHIR.” Teriakku lagi, sambil memandang mereka semua satu persatu.

Mereka semua terdiam, apa lagi aku masih memegang kaki seniorku ditanganku. Lalu setelah itu aku berjalan lagi kearah jurusan lain, dan aku berkata seperti dijurusan Joko kepada mereka semua.

Disetiap jurusan yang datangi, tampak sahabat – sahabatku sedang bertarung dengan senior – seniornya. Rendi, Bung Toni, Wawan dan Bendu. Mereka semua terkejut dengan kedatanganku dan tidak melanjutkan pertempurannya.

Lalu setelah semua jurusan aku datangi, aku berjalan kearah depan gedung rektorat sambil terus menyeret kaki seniorku itu. Dan setelah sampai didepan gedung rektorat, aku meletakkan kaki seniorku diaspal dan aku berdiri disampingnya yang terlentang.

Joko, Rendi, Bung Toni, Wawan dan Bendu, menyusulku dan mereka semua langsung menggelengkan kepala pelan. Mereka tidak ada yang mendekat dan mereka hanya melihatku dari jarak yang agak lumayan jauh.

Aku menunggu senior – senior yang masih berkeras dengan tradisi ini. Aku ingin memutus mata rantai tradisi gila itu hari ini juga, apapun resikonya.

Cukup lama aku berdiri didepan gedung rektorat dan tidak ada satupun senior yang mendatangi aku. Luka disekitar wajahku akibat perkelahian tadi, mulai terasa agak perih. Apalagi luka ini terus dibasuh derasnya hujan ini. aku sempat menyeka air yang bercampur darah diseluruh wajahku beberapa kali. Aku melakukannya perlahan, agar tidak mengenai lukaku.

Lalu tiba – tiba datang seorang wanita dari arah samping gedung rektorat. Wanita itu berjalan kearahku, dengan tubuh yang basah kuyub akibat derasnya hujan yang masih turun ini.

Dan ketika dia sudah berdiri disampingku, wanita itu menarikku sampai aku menghadap kearahnya. Dia menatapku dengan tatapan sayunya.

“Cukup sudah pertaruanganmu hari ini dan aku harap ini yang terakhir.” Ucapnya dengan suara yang bergetar.

Aku diam dan tidak menjawab ucapannya. Aku hanya menatapnya dan tiba – tiba kedua tangannya masuk diantara kedua ketiakku, lalu dia langsung memelukku dengan sangat eratnya. Wajah sampingnya disandarkan didadaku, lalu kedua tangannya mengelus punggungku yang basah.

Pelukannya yang hangat serta belaiannya yang sangat lembut dipunggungku, perlahan meredakan emosiku yang memuncak ini. Kepala atasnya yang berada tepat dibawah daguku ini, membuat aroma rambutnya yang harum dan basah ini, tercium di hidungku.

Pelukannya yang sangat erat ini, membuat getaran didadanya sangat terasa didadaku. Emosi yang perlahan mulai meredapun, mulai digantikan dengan kedamaian dan kehangatan dari pelukan wanita ini.

Hiuuffttt, huuu.

Aku mencintai wanita ini dan aku sangat menyayanginya.

Semudah inikah kemarahan dihancurkan oleh cinta.? Kalau semudah ini, pasti tidak ada pertumpahan darah disemesta ini. Semua mahluk akan hidup berdampingan dengan sayang dan cinta. Tidak ada bunyi senjata, tidak terdengar suara pukulan, tidak terdengar bunyi rintihan tangis kesedihan, tidak ada orang yang merasa kehilangan, dan tidak ada orang yang merasa terjajah atau dijajah.

Tapi kenapa masih ada saja pertumpahan darah.? Apa karena mereka atau aku sendiri, malu untuk mengungkapkan dan mengakui kehadiran cinta.? Atau cinta itu memang ada tapi tertutup dengan keangkuhan yang sudah merajai didalam tubuh.? Entahlah. Tapi yang jelas, semesta ini pasti meneteskan air matanya, ketika ada sesama mahluk ciptaanNya yang saling menumpahkan darah.

Hiuufffttt, huuuu.

Dan wanita yang ada dipelukanku ini, dia mengajarkan arti cinta dengan pelukannya, belaiannya dan tatapannya. Dan aku, aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Apa diriku ini masih dipenuhi amarah.? Amarah untuk apa.? Atau hatiku ditutupi oleh kebencian dimasa lalu.? Apa hatiku masih menyimpan dendam karena pernah disakiti, tapi aku tidak mengakuinya.? Entahlah. Aku tidak bisa mengucapkan apapun saat ini, karena wanita yang memelukku ini, sanggup membungkam mulutku dengan cintanya yang tak terucap.

Perlahan kedua tanganku membalas pelukannya dan aku mendekapnya dengan erat. Wanita ini pun menggoyangkan kepalanya pelan, untuk menyamankan sandaran wajahnya didadaku.

Kami berpelukan cukup lama, ditemani rintik hujan seperti kemarin malam.



Gendhis

Gendhis, wanita yang sanggup meluluh lantakkan semua amarahku dalam waktu sekejap. Wanita yang mampu menenangkan gejolak emosiku yang menggila, hanya dengan pelukannya. Gendhis, dia adalah Gendhisku.

“Kita obati lukamu dulu.” Ucapnya pelan sambil tetap memelukku dan wajah sampingnya yang tersandar didadaku.

“Enggak usah.” Jawabku dan sekarang aku membelai rambutnya.

“Kamu jangan keras kepala ya Lang.” Ucap Gendhis sambil mengangkat wajahnya dari dadaku dan melihat kearah kedua mataku.

“Oke. Aku akan menuruti kemauanmu, asalkan kamu menjawab pertanyaanku.” Ucapku dan kami berdua tetap saling berpelukan, tapi kali ini saling memandang.

“Apa.?” Tanyanya pelan.

“Kenapa kamu sangat perhatian sama aku.? Jawab dengan jujur, kalau enggak aku tidak akan mengikuti semua kemauanmu.” Tanyaku dengan tatapan yang begitu dalam, kearah bola matanya yang indah itu.

“Kamu mau balas dendam dengan ucapanku kemarin malam ya.?” Tanyanya sambil memiringkan sedikit kepalanya.

“Bukan itu yang aku harapkan keluar dari mulutmu. Aku mau tau alasannya, kenapa kamu mau melakukan ini kepadaku.?” Tanyaku.

“Gak tau.” Jawabnya singkat.

“Alasannya.?” Tanyaku lagi.

“Kamu beneran mau balas aku ya.?” Ucap Gendhis sambil melepaskan pelukannya dan mundur perlahan.

“Alasannya.?” Tanyaku lagi dan aku juga melepaskan pelukanku ditubuhnya.

“Kamu ini kenapasih Lang.? Sudahlah, ayo kita obati luka diwajahmu.” Ucap Gendhis sambil memegang pergelangan tangan kiriku dan menariknya. Dia memalingkan wajahnya dan bersiap untuk melangkah.

“A L A S A N N Y A.?” Tanyaku pelan dan aku menahan tarikan tangan Gendhis.

Gendhis menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku tidak akan memaafkan diriku, kalau sampai terjadi apa – apa sama kamu.” Ucap Gendhis tanpa melihat kearahku dan aku langsung terdiam mendengar ucapannya.

Gila, dia membalikkan kata – kataku kemarin malam kepadaku lagi, dengan sangat telaknya. Dan aku, aku tetap membisu dengan keadaan ini.

Gendhis langsung menarik tanganku lagi dan akupun langsung mengikutinya berjalan.

“JIANCOK, NGEHE, BAJINGAN, GATHEL, CUKIMAI.” Terdengar makian dari arah kejauhan dan itu suara dari Joko, Wawan, Rendi, Bendu dan Bung Toni.

Aku tidak menghiraukan makin sayang sahabatku itu dan aku hanya mengikuti tarikan tangan Gendhis, yang sekarang pegangan tangannya sudah pindah ketelapak tanganku.

Telapak tangan kami saling menggengam dengan erat dan seakan terkunci oleh cinta yang tak terucap.







#Cuukkk. Ternyata Amarah dan Cinta itu, berjarak sangat dekat sekali. Sedekat hatiku yang sekarang mulai memaksa untuk merapat kehati Gendhis. Gila.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd