Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,5%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 539 70,7%

  • Total voters
    762

BAGIAN 12
BONGKO (MAMPUS)


Hari ini adalah hari kelima pelaksanaan ospek dikampus teknik kita, dan wajahku yang ganteng ini sudah gak berbentuk lagi. Pelipis kanan dan kiriku sobek, jidatku benjol, kelopak mataku biru, pipi kananku dan bibir bagian atasku bengkak. Betisku keras banget, pahaku rasanya ngilu, terus seluruh tubuhku rasanya remuk redam.

Hiuufftt, huuu.

Apa ini.? kok bisa seperti ini ya.? bongko sebongko – bongkonya aku.

Tiga hari pertama kami terus dihajar oleh panitia keamanan, hari keempat dikurangi kekerasannya, dan pagi tadi digenjot lagi. Gila.

Selama lima hari inipun, otak kami serasa dicuci dan kami cuman mendengarkan apa kata panitia. Tidak ada yang kami pikirkan selain ospek, ospek, dan ospek, walaupun ada sih sedikit pikiranku tentang wanita – wanita yang berada dilingkaranku. Gak lama gila aku ini.

“Cukimai.” Gerutu Bung Toni disebelahku, sambil memegang pipinya yang bengkak.

“Anjing.” Wawan juga menggerutu sambil menutupi wajahnya yang lebih bonyok dari pada wajahku.

Mereka berdua ini tadi pagi dihajar sampai tertidur dijalanan. Bung Toni dihajar Bang Ramos dan Wawan dihabisi Bli Oka. Aku tidak tau kenapa mereka itu diberlakukan lebih special daripada seluruh peserta ospek, termasuk aku. Bung Toni, Wawan, terus ditambah Rendi dan Bendu, dihajar lebih gila dari pada kami semua.

Kenapa bisa begitu ya.? aku yang dihajar seperti ini aja, sakitnya luar biasa. Apalagi mereka berempat.? Apa gak lebih menyakitkan.? Tapi walaupun mereka berempat dihajar bertubi – tubi, mereka tetap lebih kuat dari pada kami semua. Fisik mereka seperti tidak ada lelahnya, menerima hantaman demi hantaman dari para panitia keamanan. Terutama Rendi si bule. Fisiknya sangat gila bule satu itu. Setiap pagi selalu dapat sarapan kepalan tangan dari Mas Pandu, makan siang dengan tendangan kaki Mas Pandu, dan diakhiri makanan penutup sore hari, dengan pukulan dan injakan dari Mas Pandu. Huuu.

Sekali lagi pertanyaanku, kenapa mereka berempat diberlakukan special seperti itu.? apa mereka ingin dijadikan keluarga besar pondok merah, seperti ucapan Intan waktu itu.? harusnya kalau mau dijadikan keluarga besar, mereka dirangkul dan disayang. Bukannya dihadiahi dengan kepalan tangan terus menerus. Untungnya aku menolak ditawari kos dipondok merah. Kalau aku menerimanya, mungkin nasibku sama seperti mereka berempat, atau malah lebih menyedihkan lagi.

“Kenapa kita dihajar terus ya Bung.?” Tanya Wawan yang ikut – ikutan aku memanggil Toni dengan sebutan Bung Toni.

Bung Toni hanya menggeleng pelan sambil menatap lurus kedepan.

“ngehe.” Maki Wawan.

Oh ya, kami bertiga sekarang beristirahat sejenak setelah makan siang. Kami bertiga beristirahat dibelakang aula utama, bersama puluhan maba lain yang duduknya agak jauh dari kami.

“Sudahlah, dinikmatin aja.” Ucapku menenangkan mereka berdua.

“Anjing. Dari kemarin loe bilang dinikmatin aja, apanya yang dinikmatin.? Ngewe tu dinikmatin, dihajar kok dinikmatin.” Ucap Wawan dengan kesalnya.

Kurang ajar jawabnya Wawan ini, dia belum tau rasanya habis enak – enak terus dihantam sama panitia keamanan. Hehe.

“Eh Lang, loe udah mandi belum.?” Tiba – tiba Wawan bertanya kepadaku, sambil melihat kearahku.

“Kenapa.? Kok kamu perhatian sama aku sih.? Kamu suka sama aku ya.?” tanyaku dengan cueknya.

“Cuih. Najis.” Ucap Wawan sambil meludah dan memalingkan wajahnya, melihat kearah yang lain.

“Ko sudah gilakah Lang.?” Tanya Bung Toni yang mendengar pertanyaanku ke Wawan barusan.

“kamu cemburu Bung.?” Tanyaku ke Bung Toni.

“Gosi.” Ucap Bung Toni sambil melotot.

“Apa itu gosi Bung.?” Tanyaku dengan herannya.

“Permen.” Jawab Bung Toni singkat sambil melihat kearah yang lain.

“Permen.? Serius.?” Tanyaku.

“Ahh. Diam sudah.” Ucap Bung Toni dan aku hanya menggelengkan kepalaku.

“Otaknya sudah rusak dia ini Bung, kebanyakan tidur diaspal.” Sahut Wawan ke Bung Toni sambil melirikku.

“Hehe.” Dan aku hanya tertawa dengan sinisnya.

Beberapa saat kemudian, dari arah samping aula utama, segerombol teman – teman mahasiswa baru berjalan kearahku. Tampak Guntur dan Trisno berjalan memimpin gerombolan itu. Mereka yang berjumlah belasan ini, langsung berhenti didepanku yang sedang duduk santai. Wajah – wajah mereka terlihat sangat emosi dan kesal sekali.

Ada apa mereka ini.? Apa mereka masih marah kepadaku, akibat ucapan semongkoku dipersiapan ospek waktu itu.? Kan masalah itu sudah kami selesaikan dihari pertama, kenapa masih mau dibahas lagi.? Ah, mungkin ada masalah yang lain lagi. Tapi masalah apa ya.?

Akupun hanya mengangguk sambil tersenyum, menyambut kedatangan mereka yang tidak bersahabat ini.

“Koen iku gak usah kakean cangkem loh Lang. Omonganmu iku nggarai awak dewe kabeh iki diantemi karo panitia keamanan.” (Kamu itu gak usah banyak bicara loh Lang. Ucapanmu itu membuat kita semua ini dihajar sama panitia keamanan.) Ucap Guntur yang langsung meluapkan amarahnya kepadaku.

Tuh kan, bahas masalah itu lagi. Ckckckckc.

“Loe mau apa.? Anjing ini.” ucap Wawan yang langsung berdiri dihadapan Guntur.

“Eh anak ibukota, kamu cari masalah disini.?” Ucap seseorang yang ada dibelakang Guntur, dan langsung maju kearah Wawan. Dipapan nama orang itu tertulis namanya Panjul.

Duh, kok jadi begini ya masalahnya.? Wah bisa mengundang mara bahaya kalau sampai terjadi gesekan disini. Bisa – bisa kami semua diseret sama panitia keamanan.

“Sabar – sabar.” Ucapku yang langsung berdiri, untuk mendinginkan suasana.

“Bangsat.” Ucap seseorang lagi, lalu maju kehadapanku dan dipapan namanya tertulis namanya Alex. Alex ini terlihat seperti orang dari daerah timur.

“Berani ko bergerak sedikit saja. Saya hantam ko.” Ucap Bung Toni sambil berdiri dan menunjuk kearah wajah Alex.

Wah. Tambah runyam ini kalau sampai Bung Toni ikut bersuara. Situasinya sekarang benar – benar memanas.

“Sudah – sudah.” Ucapku menenangkan Bung Toni dan Wawan, lalu melihat kearah Guntur dan teman – temannya itu.

“Mohon maaf ya kalau ucapanku membuat kita semua terkena hukuman dari panitia keamanan.” Ucapku kepada mereka, dengan nada yang merendah.

Aku selalu mengucapkan kata – kata ini, ketika ada teman – temanku yang datang kepadaku dan tidak terima dengan ucapanku, karena terkena hukuman dari panitia keamanan.

“Kalau.? Bukan kalau cok, omonganmu memang beneran buat kita – kita ini dihajar sampai mampus.” Sahut Trisno yang ikut berbicara dengan emosinya.

Belasan orang itupun langsung mendekat kearah kami bertiga, dengan wajah yang semakin terlihat emosi sekali.

“terus koen kate lapo.?” (terus kamu mau apa.?) Ucap Joko yang tiba – tiba datang bersama Rendi dan Bendu.

Trisno, Guntur dan teman – temannya ini, langsung menghentikan langkahnya dan melihat kearah ketiga temanku yang baru datang itu.

Joko, Bendu dan Rendi langsung berdiri berjejer disampingku. Sekarang kami berenam, berdiri dan menatap kearah belasan orang yang ada dihadapan kami ini.

Lalu dari arah pintu belakang aula, tiba – tiba Pak Tomo muncul sambil menghisap rokoknya. Beliau tidak bersuara. Beliau hanya menyandarkan bahunya dipintu, sambil melihat kearah kami dengan tatapan dinginnya.

Belasan orang yang ada dihadapan kami ini pun terkejut melihat kehadiran Pak Tomo. Mereka semua langsung melihat kearah Pak Tomo lalu melihat kearahku.

“Urusan kita belum selesai.” Ucap Guntur lalu membalikkan tubuhnya dan diikuti seluruh teman – temannya, lalu melangkah pergi.

“Combe.” Panggil Joko ke Guntur.(Combe = orang yang suka membicarakan orang lain.)

Combe ini julukan Guntur didesa kami. Tapi gak ada yang berani memanggil langsung ke Guntur, seperti yang Joko lakukan sekarang ini. Guntur itu selain salah satu orang terkaya didesaku, banyak preman didesaku yang jadi anak buahnya. Jadi gak ada yang berani membully dia seenaknya. Tapi kalau dengan Joko, gak ada urusan. Biarpun didesa kami, Joko cuek saja memanggil Guntur dengan panggilan combe itu.

Dan sekarang, Guntur yang dipanggil dengan panggilan yang dibencinya itu, langsung menoleh kearah Joko dengan emosinya.

Joko dengan santainya mengepalkan tangan kanannya, dan diusapkan kemulutnya.

“Asuu.” (Anjing.) Maki Guntur, tapi dia tidak berani mendekati kami karena masih ada Pak Tomo berdiri didepan pintu belakang aula.

“Assyuu.” (Anjing) Joko memaki balik, dengan nada bicara seperti perempuan dan kedua bibirnya dimajukan. Joko mengucapkan kata itu, sambil menggoyangkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Guntur pun langsung meninggalkan kami dengan emosi yang belum disalurkan kepadaku, dan sekarang ditambah dengan emosinya kepada Joko.

Aku lalu melihat kearah Pak Tomo yang juga langsung membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam aula lagi.

Dan sekarang tinggal kami berenam yang masih berdiri sambil saling melihat satu sama lain. Bung Toni menatap tajam kearah Rendi, dan Rendi membalasnya dengan tatapan tajam juga. Begitu juga Wawan dan Bendu, yang saling melihat dengan emosi yang terpancar dari mata mereka masing – masing.

Duh. Mereka berempat ini kan masih menyimpan dendam satu sama yang lain. Dan sekarang mereka malah bertemu disuasana yang tidak tepat seperti saat ini.

Suasana langsung tegang dan panas, tinggal menunggu siapa yang menyulut apinya duluan, supaya semakin membara. Aku dan Joko saling melirik dan saling memberi kode.

“Kalian berempat ini saling jatuh cinta kah.? Kok tatapannya seperti menyimpan kerinduan yang teramat sangat.” Ucapku yang mencoba mencairkan suasana yang tegang ini.

“Anjing.” Maki mereka berempat sambil melihat kearahku.

“Sudahlah, muka kalian itu sudah jelek. Jadi gak usah dijelek – jelekkin lagi seperti itu.” ucapku dengan tenangnya.

“Cok, njaluk disamblek ta awakmu.?” (Cok, minta dihajarkah kamu.?) Ucap Bendu kepadaku.

“Hehehe. Aku dan Joko ini nasibnya kurang lebih aja. Tapi beda dengan kalian berempat. Kalian berempat itu nasibnya ‘lebih beruntung’ dari kami berdua.” Ucapku yang menyindir karena mereka lebih sakit dihajar oleh panitia keamanan.

“Aku dan Joko aja bisa senasib dan sepanggungan, masa kalian berempat tidak bisa sih.? Apa perlu kutambahin hukuman dari panitia keamanan.? Jadi sekalian hancur muka kalian itu.?” Ucapku sambil melihat mereka berempat satu – persatu.

“Jadi kamu nantang kami berempat.?” Tanya Rendi kepadaku, dengan dinginnya.

“Berempat.? Cieeee. Jadi kalian sudah mengikrarkan kebersamaan nih.?” Tanyaku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Cok. Nggatheli arek iki.” (Cok. Menjengkelkan sekali anak ini.) Ucap Bendu kepadaku.

Oh iya, kepala Rendi ini sudah gundul plontos tepat dihari ketiga ospek. Iya hari ketiga. Hari pertama dia datang ke ospek dengan kondisi rambut petal dan ditambah petal oleh Mas Pandu. Hari kedua datang dan rambutnya masih juga belum digundul. Hari kedua itu juga, dia benar – benar dibantai oleh Mas Pandu. Dan sore harinya, rambutnya langsung di gundul plontos oleh bina dampingnya yang sangat cantik. Mungkin bina dampingnya itu kasihan melihat Rendi dibantai oleh Mas Pandu.

“Percuma kalau kalian berempat ini menghadapi aku sendirian. Gak akan mampu.” Ucapku dengan sombongnya.

Sebenarnya kalaupun duel dengan salah satu dari mereka berempat, mungkin aku akan kalah. Apalagi langsung menghadapi empat orang yang fisiknya luar biasa ini, mungkin aku bisa langsung masuk ke UGD.

Tapi dari ilmu yang aku dapatkan dijalanan, bukan kekuatan fisik yang didahulukan ketika berhadapan dengan siapapun. Tapi mental yang harus berdiri paling depan. Kalah atau menang itu urusan belakang, yang penting berani dulu. Syukur – syukur kalau musuh kalah gertak. Kalau musuh ngelawan, mau gak mau melawan. Begitulah ilmu yang kudapatkan.

Joko pun tersenyum dengan sinis mendengar ucapanku, yang mungkin saja bisa langsung disambar salah satu dari mereka berempat, atau malah mungkin mereka berempat yang langsung maju menyerangku. Dan aku yakin, Joko Purnomo itu pasti langsung akan berdiri disampingku, siapapun lawan yang ada dihadapanku.

“Selagi masih ada semangat didadaku, aku gak akan mundur dengan siapapun yang berdiri didepanku, walaupun sejengkal. Siapapun orangnya.” Ucapku dengan tegasnya.

Rendi, Bung Toni, Wawan, Bendu dan Joko, terkejut mendengar ucapanku ini. Wajah mereka langsung berubah dan tidak semarah tadi lagi. Sekarang wajah mereka mengisyaratkan agar aku menghentikan ucapanku dan tidak bersuara lagi.

“Persetan dengan kalian semua. Darahku sudah mendidih karena semangatku telah berkobar. SEMONG,” ucapku terpotong, karena Joko langsung membekap mulutku.

“STOP.” Ucap Rendi, Bendu, Wawan dan Bung Toni, dengan telapak tangan kanan yang terbuka dan diarahkan kepadaku.

Mereka semua menahanku supaya aku tidak mengucapkan kata semongko, apalagi berteriak dengan semangatnya. Mereka semua tau akibatnya kalau aku mengucapkan kata itu, karena kata itu adalah undangan VIP bagi para panitia keamanan yang bengis – bengis itu untuk datang kemari secepatnya. Dan konsekuensi dari kedatangan para panitia keamanan, kami semua pasti akan hancur lebur sampai sebongko – bongkonya.

Hahaha. Takut juga mereka. Gilang kok mau dilawan.

“Gosi ini. Ko mau buat kita hancur kah.?” Tanya Bung Toni lalu mengeratkan giginya.

“Iyo. Njancok’i arek iki.” (Iya. Menjancokan anak ini.) Ucap Bendu yang kembali emosi.

“Ngehe.” Maki Wawan dan Rendi hanya menggelengkan kepalanya.

“Cangkeme loh, cangkeme. Gak iso njogo arek iki. Assuu.” (Mulutnya loh, mulutnya. Gak bisa jaga anak ini. Anjing.) Maki Joko sambil tetap membekap mulutku.

“Aargghh.” Ucapku sambil melepaskan bekapan tangan Joko, karena bibirku sangat sakit sekali. Joko membekapku tepat dibibirku yang bengkak.

“Tanganmu mambu bathang cok. Juih.” (tanganmu bau bangkai cok. Juih) Ucapku berbohong, lalu aku meludah.

“Gak po – po tanganku mambu bathang, timbangane awak dewe seng dadi bathang. Jiancok.” (Gak apa – apa tanganku bau bangkai, daripada kita yang jadi bangkai. Jiancok.) Omel Joko kepadaku.

Aku tidak menghiraukan ucapan Joko. Aku hanya membersihan sisa ludah yang ada ditepi bibirku, karena aku tidak bisa meludah dengan sempurna.

“Terus bagaimana.? Kalian masih saling dendam, terus lanjut berduel gitu.?” Tanyaku dan kali ini aku berbicara sangat serius, dengan tatapan tajam kearah mereka berempat bergantian.

“Kalian tau kan, aku itu paling malas ribut atau berkelahi. Tapi kalau ada temanku apalagi sudah kuanggap sebagai saudaraku saling baku hantam, aku gak ada urusan. Lebih baik sama aku aja berkelahinya.” Ucapku dengan penekanan kata yang sangat tegas.

Mereka berempat langsung terdiam, sambil melihat kearah yang lain. Sedangkan Joko menunduk, tidak berani menatapku.

“Selesaikan masalah kalian disini dan harus selesai sekarang juga. Kalau gak selesai, jangan pernah kenal aku lagi.” Ucapku, lalu aku membalikkan tubuhku dan pergi meninggalkan mereka semua.

Sengaja aku meninggalkan mereka, karena aku tau mereka tidak mungkin akan berkelahi dalam situasi ospek seperti ini. Dan kalau mereka masih menganggapku sebagai teman, pasti mereka akan menyelesaikan masalah mereka dengan kepala dingin. Aku tau kok, mereka berempat itu sebenarnya orang baik dan gesekan waktu itu hanya salah paham aja. Mereka pasti menyadari hal itu.

Aku lalu berjalan kearah belakang gedung kuliah, karena waktu istirahat kami masih agak panjang. Semua teman – temanku masih diberi tugas untuk mencari tanda tangan ke seluruh panitia, disela waktu istirahat ini. Aku sudah mencicil meminta tanda tangan dan hanya tinggal sedikit saja panitia yang belum aku datangi. Mungkin dalam dua hari kedepan, tanda tangan ini akan bisa selesai semua.

Sekarang aku mau menenangkan pikiranku sejenak, karena aku masih memikirkan sikap dua orang wanita yang aku kenal dikota ini, yang bertingkah aneh setelah aku bertemu dengan Bu Har waktu sebelum berangkat ospek dihari pertama kemarin. Wanita itu adalah Gendhis dan Intan.

Ada apa dengan kedua wanita yang bukan saudara kembar, tapi memiliki wajah dan tingkah yang sama itu, kepadaku.? Kenapa mereka marah.? Apa salahku.? kok sikap mereka bisa sedrastis itu kepadaku.? Padahal mereka berdua itu tidak memiliki hubungan apapun denganku.

Intan, dia kan pernah bilang sendiri kalau kami tidak memiliki ikatan dan aku bebas melakukan apapun, asal diluar kosan. Terus kenapa dia marah ketika aku bertemu dengan Bu Har.? Duh, aku baru tau kalau ada mahluk berbeda alam yang bisa ngambek seperti itu.

Gendhis, ini yang lebih aneh. Gak ada angin dan gak ada hujan, dia marah sekali sama aku. Itu terlihat setiap aku bertemu dengannya, di acara ospek ini. Dia terlihat jengkel dan tatapannya sangat tajam sekali. Padahal waktu terakhir kami bertemu di tempat Bu Har, dia sudah mulai sedikit bersahabat denganku. Tapi kenapa sekarang bisa marah lagi.? Apa yang aku perbuat dengannya.? Aneh banget.

Dan kalau sudah seperti ini, aku hanya perlu menenangkan sejenak pikiranku. Aku butuh tempat yang sepi dan beristirahat sebentar saja. Lebih enak lagi kalau bisa rokokkan dan menikmati secangkir kopi panas. Tapi kelihatannya gak mungkin deh kalau ngopi dan rokokkan dalam situasi yang seperti ini. Itu malah bisa menambah daftar panjang permasalahan yang ada dikepalaku saja.

Oke. Sekarang aku sudah berada dibelakang gedung yang sangat sepi dan tidak ada seorangpun disini. Tinggal mencari tempat lesehan untuk duduk dan menyandarkan punggungku saja.

Aku lalu duduk disebelah lemari tempat penyimpanan buku yang telah usang dan tidak terlihat dari arah samping gedung, dan ujung bagian sana ada dinding pagar kampus.

Aku lalu menyandarkan punggungku didinding, meletakkan sikut kananku diatas lutut kanan yang tertekuk, dan kaki kiri lurus kedepan. Telapak tangan kananku pun mengelus kepalaku yang pelontos ini perlahan.

Hiufffttt. Huuuu.

Baru beberapa minggu dikota ini saja, sudah banyak permasalahan yang aku hadapi. Bagaimana kabar hari – hariku selama beberapa tahun kedepan ya.?

Arrgghhh. Kok aku jadi seperti ini ya.? buat apa aku terlalu memikirkan beberapa tahun kedepan.? Harusnya yang ada dihadapanku saja yang perlu aku pikirkan dan gak perlu melebar kemana – mana. Karena memikirkan semuanya itu, hanya akan membuat hidupku makin sulit dan akan menyakiti diriku sendiri.

Nikmati kehidupan ini dan selesaikan satu persatu permasalahan yang ada. Volume otakku kecil, walaupun bisa memikirkan banyak hal. Tapi bukan berarti harus serakah dengan memikirkan semuanya. Bisa meluber juga otakku ini, dan hasilnya bisa masuk kerumah sakit jiwa dipinggiran kota sana. Jadi gak lucu dong kalau akhirnya aku masuk kesana.? Yang lucu itu, kalau hasil akhirnya aku bisa memakai toga, lalu bekerja, membahagiakan orang tua dan hidup bersama wanita yang kucinta. Asyik. Hehehe.

“Datang – datang cemberut, sekarang malah senyum – senyum sendiri. Sudah gila ya kamu itu.?” Ucap seorang wanita yang mengejutkanku.

Aku lalu melihat kearahnya sambil tetap mengelus kepalaku yang plontos.


Sarah
Dan disudut sana, Yunda Sarah duduk dengan santainya. Terlihat sebatang rokok yang yang menyala ada ditangan kirinya dan tangan kanannya menyelipkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya, ketelinga bagian kanan.

Cok, sejak kapan Yunda Sarah ada disitu.? Arrghh. Kok aneh ya pertanyaanku. Jelasnya pasti lebih dulu dari aku, kalau dia belakangan datangnya pasti melewati aku. gimana sih.? tapi kok aku gak lihat Yunda Sarah, waktu aku datang tadi.? Apa jangan – jangan Yunda Sarah ini sejenis mahluk seperti Intan.? Iiiiii.

“Iya, aku memang gila. Kalau aku gak gila, gak mungkin aku diam saja dihajar seperti ini setiap hari.” Ucapku sambil melihat kearah depan lagi.

“Hehe. Orang aneh.” Ucap Yunda Sarah dengan sinisnya, lalu terlihat dari ekor mataku, dia menghisap dalam – dalam rokoknya.

Gila. Wanita secantik itu, ternyata perokok berat. Aku sih gak terlalu kaget, karena banyak wanita didesaku yang merokok. Tapi biasanya yang sudah setengah baya dan nenek – nenek aja yang merokok, itupun rokoknya rokok kretek. Jadi sekarang hanya sedikit aja kagetnya, melihat wanita kota yang masih muda merokok.

“Sama – sama aneh gak usah saling komentar.” Ucapku dengan cueknya.

Aku bisa berbicara secuek ini, karena disini jauh dari lapangan dan tidak ada panitia keamanan. Selain itu, aku yakin umurku kurang lebih aja dengan Yunda Sarah ini. Tapi walaupun secuek – cueknya aku, aku tetap menjaga batasan antara senior dan yunior.

“Berani bicara secuek itu, pasti hanya disini. Coba kalau dilapangan sana, pasti seperti anak culun yang baru kencing dicelana.” Ejek Yunda Sarah dengan santainya.

Hehe. Kurang ajar juga Yunda Sarah ini. bisa juga dia bercanda seperti itu.? Aku kira dia seorang wanita yang dingin dan sangat cuek sekali.

“Gak usah merusak kebahagiaan orang lain. Karena tingkatan kebahagiaan setiap orang itu pasti berbeda. Aku yang hanya bisa berbicara secuek ini disini kepadamu, itu sudah cukup membuatku bahagia banget.” Ucapku yang sudah mulai berbicara aku dan kamu, tapi masih dengan nada yang sopan. Kami berbicara pun tidak saling berpandangan.

“Gak usah sok- sok’an jadi pujangga, kepalamu itu gundul.” Jawab Yunda Sarah yang langsung membuat gendang telingaku mendengung.

“Apa hubungan kata – kataku dengan kepalaku yang gundul.?” Ucapku dan sekarang aku menyelonjorkan kedua kakiku, lalu melihat kearahnya dengan kepalaku yang ikut tersandar didinding.

“hukum orang yang kepala gundul dikampus ini, diam dan gak boleh banyak bicara. Atau sangsinya kepalamu itu digesekkan diaspal, mulai dari perempatan kampus sampai depan pagar kampus teknik kita.” Jawab Yunda Sarah yang sekarang ucapannya malah membuat gendang telingaku sakit .

“Ini penghinaan bagi orang yang gak mempunyai rambut.” Ucapku dengan ketusnya, sambil melihat kearah depan lagi.

“Pintar bermain kata – kata. Giliran dibalikkin malah melimpahkan kepermasalahan yang lain.” Ucap Yunda Sarah sambil mematikan rokoknya, lalu berdiri.

“Maksudnya.?” Tanyaku sambil melihat kearahnya.

Yunda berjalan kearahku lalu berhenti tepat didepanku, dan aku masih duduk selonjoran.

“kamu bisa bedakan orang yang sengaja menggundul rambutnya terus menerus, sama orang yang dipaksa gundul karena ospek ini kan.? atau jangan – jangan kamu gak bisa membedakannya, karena kamu terlalu sering dihajar sama panitia keamanan dan otakmu sudah berceceran entah kemana.” Ucap Yunda Sarah dengan sadisnya, lalu pergi meninggalkan aku dengan cueknya.

Hahaha. Gila, asyik juga wanita satu ini. Walapun kata – katanya itu membuat gendang telinga sakit, tapi dengan melihat wajahnya yang cantik itu, cukup mengurangi kejengkelan karena ucapannya.

Aku lalu menegakkan tubuhku dan perlahan berdiri. Cukup sudah istirahatku kali ini. Apa aku sudah tenang.? Gak sama sekali. Justru kepalaku yang gundul ini, makin terasa panas dan mau meledak saja. Bajingan.

Dari pada meledak disini dan gak ada yang melihat, lebih baik aku segera kelapangan saja. Kalau disana kan enak, ada panitia kesehatan yang berjaga. Jadi kalau sudah mencapai ambang batas kekuatan bertahannya tempurung kepalaku. Aku akan melambaikan tanganku, supaya segera dibawa kerumah sakit jiwa yang ada dipinggiran kota sana.

Dan biasanya, tanda - tanda kepalaku akan meledak, dimulai dengan suhu tubuhku yang tiba - tiba naik, air mataku mengering, sering terdengar gemuruh dari gendang telinga, terkadang disertai guncangan dikepala, rambut – rambut diseluruh tubuhku tertidur layu, kuman – kuman ditubuhku mulai gelisah dan berlarian menjauh, lalu terjadi erupsi – erupsi kecil yang keluar dari lubang mata, lubang telinga, lubang hidung, lubang mulut, lubang pusar, lubang dubur dan lubang kemaluan.

Setelah itu, BOMMM.

Ledakan yang sangat hebat, langsung mengguncang dan mengakibatkan gelombang tsunami yang maha dasyat diseluruh tubuhku. Efek ledakan itu akan membuat seluruh tubuhku menjadi terbelah – belah menjadi beberapa benua. Benua kepala, benua badan, benua tangan, benua paha dan benua kaki.

Gimana.? sudah gila gak aku.? Ya sudah, jangan terlalu serius bacanya. Entar ikutan gila seperti aku.

Dan aku sekarang berjalan kearah lapangan, sambil menggosok kepalaku agar dingin kembali. Aku tidak mau terlalu serius dengan semua permasalahan yang ada, dari pada meledak beneran. Dan.

Buhhggg.

Aku menabrak seseorang, ketika aku membelokkan langkahku diujung sebuah gedung. Aku yang menunduk sambil menggosok kepalaku, tidak melihat orang yang berjalan kearahku.

“Iiihhhh.” Ucap seorang wanita dengan jengkelnya.

Aku yang menunduk ini, hanya melihat sepatunya yang berwarna hitam, serta celana panjang yang lebar dibagian bawah. Aku lalu mengangkat wajahku dan menatap orang itu.



Gendhis

Astaga. Kenapa aku harus bertemu dia lagi disaat seperti ini sih.? Terus kenapa aku sering sekali menabrak tubuhnya.? Coba yang bertabrakan itu bibir kami, bukan tubuh kami. Mungkin itu lebih enak dan bisa mengurangi ketegangan demi ketegangan setiap kami bertemu.

Hiuffttt. Huuuu.

Dan sekarang, Gendhis berdiri sambil berkacak pinggang dan melotot kearahku. Wajahnya terlihat emosi dan bibir seksinya itu, tertekuk dan rasanya pengen langsung aku lumat saja.

“Apa lihat – lihat.?” Ucapnya dengan geregetan.

Ini kalau aku langsung menarik kepala belakangnya, terus aku lumat bibirnya yang tertekuk itu, sambil memeluknya dengan erat, kira – kira bagaimana.? Boleh gak.? Terus setelah itu bagaimana.? Langsung dieksekusi oleh panitia keamanan, atau aku disiksa pelan – pelan.? Misalnya diikat dipohon sana, terus ditelanjangi, terus dikerumunin semut merah, terus ditonton ribuan mahasiswa baru peserta ospek, sambil mereka tertawa terbahak - bahak.

Arrgghhh. Ternyata efek pukulan panitia keamanan dikepalaku selama lima hari ini, membuat imajinasiku semakin liar dan gila saja.

Dan saat ini aku hanya ingin mengucapkan satu kata saja. JIANCOK.!!!

“Kenapa diam.? Dasar lubang.” Ucapnya dengan sangat ketus sekali.

Lubang.? Lubang apa.? Kok dia manggil aku lubang sih.? emang kepalaku ini ada lubang yang menganga, akibat benturan diaspal.? Kok aku gak merasa sama sekali ya.?

Aku yang terkejut mendengar ucapan Gendhis ini, hanya diam dan langsung meraba seluruh bagian kepalaku yang gundul sampai seluruh wajahku.

Aku tidak menemukan lubang besar yang dimaksud Gendhis, kecuali lubang mata, lubang telinga, lubang hidung dan lubang mulut. Terus lubang apa yang dimaksudnya ya.?

“Lugu – lugu bangsat.” Ucap Gendhis dengan tegas dan sangat fasih sekali.

Cok, tega sekali Gendhis mengucapkan kata – kata itu kepadaku.? Apa salahku kepadanya.? Tega banget sih Gendhis ini.

“Kenapa Ndhis.?” Tiba – tiba terdengar suara seseorang dari arah belakangku, yang sangat aku takuti selama ospek ini berlangsung. Siapa lagi kalau bukan Mas Pandu.

Hiuuffttt. Huuuu.

Aku hanya menarik nafasku dalam – dalam, sambil menurunkan kedua tanganku dari kepala dan wajahku, lalu aku menunduk.

“Sigundul ini buat masalah.?” tanya Mas Pandu lagi, sambil berjalan mendekat kearahku.

Aku pun diam saja dan tidak berani menoleh kearah belakangku, sementara dari pandanganku yang menunduk ini, kedua tangan Gendhis terturun dari pinggangnya.

“Gak ada apa – apa Ndu.” Jawab Gendhis dan terdengar dia mencoba menutupi sesuatu dari Mas Pandu.

Dan sekarang Mas Pandu sudah berdiri disebelahku kananku dan membuat lubang bokong berkedut karena ketakutan.

Tapi entar dulu, Ndu.? Ndhis.? Kok mereka berdua memanggil nama dengan sangat akrab begini sih.? apa mereka ini satu angkatan dan satu jurusan.? Apa mereka ini berteman ya.? Gendhis, Intan dan Mas Pandu. Arghhh. Kok bisa kebetulan seperti ini ya.?

“Kalau gak ada apa – apa, boleh aku bawa sigundul ini kelapangankan.?” Tanya Mas Pandu sambil merangkul pundakku dengan tangan kirinya yang kekar itu, dan menarik tubuhku mendekat kearah tubuhnya dengan kasar.

Cok. ini yang disebut keluar lubang buaya, masuk kekandang macan. Terhindar dari lanjutan amukan Gendhis, tapi langsung dilahap sama Mas Pandu. Gila.

Seluruh tubuhku sampai bergetar dibuatnya, karena Mas Pandu makin mengencangkan rangkulannya.

“I, i, iya Ndu.” Ucap Gendhis yang terdengar sedih dan seperti merasa bersalah sekali.

“Oke, aku kelapangan dulu ya Ndhis.” Ucap Mas Pandu dengan sangat lembutnya, lalu memeteng leherku dan aku sempat melihat kearah wajah Gendhis.

Gendhis pun terdiam dan tidak menjawab ucapan Mas Pandu. Wajahnya yang tadi terlihat emosi, sekarang terlihat sangat sayu dan sedih melihatku dipeteng lalu diseret Mas Pandu kearah lapangan.

Aku yang diseret dan dipeteng ini, hanya bisa membungkuk dengan pasrahnya. Dan.

BUHHGGG.

Kepalan tangan Mas Pandu langsung mendarat dijidatku dengan kerasnya.

“aarrggg.” Ucapku yang kesakitan dan kedua mataku langsung berkaca – kaca, karena Mas pandu menghantam benjolan yang belum mengempes dijidatku.

“Itu karena kamu mau membuat keributan sama Guntur dan Trisno tadi.” Ucap Mas Pandu setelah menghantam jidatku. Kepalakupun langsung berkunang – kunang, dengan diiringi tetesan air mata yang mulai mengalir. Sebenarnya sih aku gak akan meneteskan air mata, kalau jidatku gak benjol seperti ini.

BUHHGGG.

Giliran pelipisku yang darahnya sudah mengering, dihantam Mas Pandu.

“Arrrgghh.” Ucapku merintih kesakitan, sambil terus berjalan mengikuti petengan Mas Pandu.

“Itu karena kamu mau berkelahi sama empat sekawan yang baru terbentuk itu.” Ucap Mas Pandu. Lalu,

BUHHGGG.

Pukulan ketiga mendarat di bagian atas pipiku dengan telaknya.

“Arrrgghh.” Rintihku yang kesakitan.

“Itu karena kamu lari dari kelompokmu dan ngomong yang tidak sopan dengan bina dampingmu.” Ucap Mas Pandu, lalu.

BUHHGGG.

“Uuhhhh.” Jeritku lagi, ketika pukulan keempat masuk di pipiku.

“Itu karena kamu buat masalah dengan teman satu angkatanku, Gendhis.” Ucap Mas Pandu dan kami sudah sampai dilapangan.

Mas Pandu lalu melepaskan petengannya dan aku langsung limbung dengan kepala yang pusing dan berbayang. Dan dipandanganku yang berbayang ini, terlihat seluruh peserta ospek sudah berbaris ditengah lapangan. Dan aku juga melihat, ada lima orang terkapar ditengah lapangan. Lalu.

“Dan ini karena kamu sudah membuat malu aku.” ucap Mas Pandu lalu.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Mas Pandu menghajarku bertubi – tubi dengan ganasnya. Kepalan tangan kanan dan tangan kirinya, bergantian masuk diseluruh wajahku. Jidat, mulut, hidung, pipi, pelipis dan rahangku, tidak luput dari hantamannya yang sangat cepat dan kuat itu.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Pukulannya semakin menggila dan aku sudah tidak merasakan kesakitan lagi. Hanya tetesan darah yang aku rasakan, yang mulai menutupi kedua kelopak mataku yang bengkak ini.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Mas Pandu terus menghajarku, sampai aku termundur kebelakang. Dan.

BUHHGGG.

Mas Pandu mengakhiri serangannya dengan injakan didadaku, memakai kaki kanannya dengan kuatnya.

BUMMMMM.

Akupun langsung roboh kebelakang, dengan darah yang menyembur dari mulutku, dan aku langsung terlentang dilapangan. Kepala belakangku pun terhantam kerasnya lantai semen lapangan ini, sampai kedua mataku kabur sekali, lalu.

Gelap.

Hiuuffttt. Huuuu.

Beberapa saat kemudian, aku mencium aroma minyak kayu putih dikedua lubang hidungku.

Seluruh tubuhku terasa sangat sakit dan remuk sekali. Tapi kepala belakangku terasa nyaman dan bersandar pada sesuatu yang empuk.

Uuhh. Gila. Karena seringnya aku terkapar dijalan dan dilapangan, kerasnya semen lapangan inipun, sudah terasa seperti bantal saja. Padatnya semen dilapangan inipun, terasa sangat empuk sekali seperti aku tertidur diatas kasur kamarku.

“Lang, Gilang.” Sayup – sayup terdengar merdu suara seorang wanita yang memangggilku.

Akupun mencoba membuka kedua mataku yang terpejam ini. Tapi ketika aku mencoba membukanya, kelopak mataku sangat sulit sekali terbuka. Akupun memaksa membukanya lagi dan akhirnya sedikit terbuka. Bayang – bayang cahaya mulai terlihat dipandanganku yang kabur ini. Aku mencoba membuka kelopak mataku lebih lebar lagi, tapi sudah tidak bisa.

Aku lalu meraba kedua mataku dan ternyata, kedua kelopak mataku sangat bengkak bengkak dan bengkak sekali.

Gila. Ini nih baru namanya bongo sebongko – bongkonya. Bajingan.

Akhirnya aku hanya bisa memaki dan memaki saja, dengan keadaan yang aku alami sekarang ini. Memang aku menikmati segala perjalanan hidupku yang cukup keras ini, tapi bolehkan sambil menikmati aku memaki. Bukannya mengeluh, tapi inilah kodratku sebagai manusia ciptaanNya. Hati ikhlas menerima, tapi mulut ingin memaki.

Dan sekarang aku mencoba mencari wanita yang memanggilku tadi. Aku menolehkan kepala dan leherku yang sakit ini perlahan, kekanan dan kekiri. Tapi karena pandanganku kabur sekali, aku tidak menemukan wujud wanita yang memanggilku.

“Semua keluar dari ruangan ini.” Terdengar suara seseorang dengan tegasnya dan suara itu suara Mas Pandu.

Ha.? Aku didalam ruangan.? Ruangan apa.? Bukannya aku tadi ada dilapangan ya.? Siapa yang angkat aku kesini.? Kok aku gak terasa sama sekali.? Berarti tadi aku pingsan dong. Gila

Aku lalu mengangkat tangan kananku dengan bersusah payah, kearah sebelah kepalaku. Empuk. Cok, ini bantal beneran. Aku lalu menurunkan tanganku lagi dan meraba disebelahku. Empuk juga. Ini juga kasur beneran. Rupanya aku memang tertidur diatas bantal dan kasur.

Perlahan suara langkah beberapa orang meninggalkan ruangan ini.

Beberapa saat kemudian, aku merasa seseorang mendekat kearahku dan dia langsung membasuh wajahku.

Hem. Aroma cairan ini sepertinya tidak asing lagi. Ini ramuan dari Desa Jati Luhur dan orang ini pasti ada darah Jati Luhurnya juga. Mas Pandu. Ini pasti Mas Pandu. Walaupun dia habis membantai aku, rupanya dia juga memiliki perhatian kepadaku. Perhatiannya kepadaku, memang lain dari pada yang lain. Sayang nya pun, beda dari pada sayangnya orang pada umumnya.

Dan satu yang yang jadi pertanyaanku, entah kenapa setiap aku dibantai Mas Pandu serta anggota kos pondok merah lainnya, aku tidak merasakan kebencian di setiap pukulannya. Mereka memukul dan membantai kami bukan memakai emosi, walaupun bibir mereka memaki.

Efek pukulannya tetap sakit, tapi sakit itu hanya difisik dan tidak masuk kedalam hati. Kenapa bisa seperti itu ya.? emang ada gitu pukulan sayang.? Apa ada yang namanya tendangan cinta.? Atau injakan perhatian.? Ah, aneh – neh aja.

Dan sekarang, setelah seluruh wajahku, kepalaku, dadaku dan perutku diolesi ramuan dari Desa Jati Luhur, aku didudukan lalu aku dibimbing untuk meminum ramuan yang juga berasal dari Desa Jati Luhur. Dengan bibir yang bengkak, orang yang menutunku minum ini sangat berhati – hati. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena pandanganku masih kabur dan tertutup kelopak mata yang bengkak. Tapi sekali lagi aku merasa, ini rangkulan seperti yang tadi aku rasakan. Ini rangkulan Mas Pandu. Kalau tadi sebelum dibantai rangkulannya agak kasar, sekarang terasa sedikit lembut.

“Terimakasih Mas.” Ucapku pelan dan aku tidak memakai panggilan ospek, yaitu Kanda.

“Hem.” Jawab Mas Pandu singkat, sambil meletakkan kepalaku lagi diatas bantal.

Ramuan yang aku minum ini langsung membuatku mengantuk dan perlahan aku memejamkan mataku sepenuhnya, lalu tertidur.

Dan beberapa saat kemudian.

Hawa dingin terasa seperti membelai wajahku, tapi seluruh tubuhku justru terasa hangat. Aku lalu membuka kedua mataku perlahan dan pandanganku kembali kabur, tapi aku bisa membuka agak lebar kelopak mataku, tidak seperti tadi.

Aku lalu memejamkan kedua mataku lagi dengan agak kuat, lalu kembali membukanya.

Cahaya lampu diruangan ini perlahan mulai terlihat, dan pandanganku perlahan mulai menerang.

Uhh. Kelihatannya aku sekarang berada diruangan kesehatan. Aku yang mengenakan selimut ini, lalu melihat kasur disebelah kiriku. Terlihat Joko, Bung Toni, Wawan, Rendi dan Bendu, tertidur nyenyak diranjang mereka masing – masing.

Gila. Rupanya mereka berlima juga dibantai sama seperti aku, dan kelihatannya mereka juga tidak sadarkan diri seperti aku juga.

“Kan sudah kubilang tadi, kamu itu gundul dan gak usah banyak tingkah.” Ucap seorang wanita disebelah kananku.

Aku lalu melihat kearah suara itu dan wanita itu adalah Yunda Sarah. Dia berdiri sambil melipatkan kedua tangannya dan melihat kearahku dengan tatapan dinginnya.

“Jam berapa ini Yunda.?” Tanyaku dan aku tidak menghiraukan ucapanya barusan.

“jam Sembilan malam.” Jawabnya singkat.

“Loh, lama juga aku pingsannya.?” Ucapku sambil mengangkat tubuhku dan seluruh tubuhku tidak terlalu kaku atau sesakit tadi.

Aku lalu duduk dan bersandar didinding, sambil memegang wajahku yang babak belur. Selimut yang aku kenakan inipun terturun sampai dipinggangku.

Gila, kok bengkaknya gak terlalu besar.? Kelopak matakupun dapat aku buka lebar, walaupun masih ada sedikit bengkaknya. Tapi setidaknya gak terlalu parah seperti tadi ketika aku terbangun, waktu diobati Mas Pandu. Tadi pandanganku berbayang dan kelopak mataku hanya bisa sedikit saja terbukanya. Memang luar biasa sekali efek ramuan dari Desa Jati Luhur itu. Kalau lukaku tidak diolesi dan aku tidak meminum ramuannya, mungkin aku masih tertidur dan kondisiku parah banget.

“Ya iyalah, untungnya kamu diobati Mas Pandu tadi sore. Kalau enggak, kami pasti membawa kalian semua ke UGD.” Jawab Yunda Sarah.

“Oo.” Ucapku sambil menggerakkan kepalaku kekanan dan kekiri.

Kaku dan sedikit agak sakit, tapi gak separah tadi sih.

“Terimakasih Yunda mau mendampingi aku, sampai malam seperti ini.” ucapku sambil melihat kearah wajahnya.

“Aku melakukannya, karena aku bina dampingmu. Kalau aku bukan bina dampingmu, sudah pulang aku dari sore tadi.” Jawab Yunda Sarah, sambil melirikku lalu memasukan kedua tangannya kedalam jaket yang digunakannya.

“Iya, aku minta maaf.” Ucapku sambil terus menatap kearah wajahnya.

Cantik dan dingin sekali wajah Yunda Sarah ini.

“Hem.” Jawabnya tanpa melihat kearahku.

“Yunda gak pulang.?” Tanyaku.

“Kalau aku pulang, siapa yang menjaga kamu disini.?” Tanya Yunda Sarah yang kembali hanya melirikku sebentar.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri Yunda. Pulanglah dan beristirahatlah. Yunda pasti capek.” Ucapku dengan suara yang lembut sekali.

“Percuma, kosanku juga sudah tutup malam – malam begini.” Jawabnya.

“Ya sudah, Yunda istirahat dikasur ini aja. Biar aku yang balik kekosan.” Ucapku sambil menurunkan kedua kakiku dari atas ranjang.

“Kalau kamu turun dari kasur itu, aku bisa menghajarmu sampai tertidur lagi.” Ucap Yunda Sarah dengan tegasnya.

Huuu. Garang juga mahasiswi teknik ini. Bisa ya seperti itu.?

“Ya hajar aja aku, sepuasmu. Nanti aku tidur dilantai itu, dan kamu tidur diatas ranjang ini.” Ucapku sambil menegakkan tubuhku dan seluruh sendi – sendi tubuhku terasa agak kaku.

“huuu.” Ucapku mengeluarkan nafas perlahan.

“Kamu kira aku main – main.?” Ucap Yunda Sarah sambil mendekat kearahku dengan tatapan tajamnya.

Dan ketika sudah berdsiri dihadapanku.

WUUUTTT.

Kepalan tangan kanan Yunda Sarah melayang kearah wajahku dan berhenti tepat diujung hidungku. Aku tidak menghindar atau memejamkan kedua mataku, ketika Yunda Sarah mengarahkan pukulannya itu. Aku hanya menatapnya dan tidak bergeser sedikutpun.

“Aku juga tidak main – main dengan ucapanku.” Ucapku dan perlahan kepalan tangannya terturun dan dia masih menatap kearah wajahku.

“Istirahatlah dan sekarang biarkan aku yang jaga kamu disini.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya.

“Aku gak sakit, jadi buat apa aku beristirahat.” Jawabnya.

“Yang bilang kamu sakit siapa.? Aku hanya menyuruhmu beristirahat, karena kamu pasti kelelahan dengan kegiatan seharian ini.” Ucapku dengan santainya.

“Sudahlah, aku bisa beristirahat ditempat lain.” Ucapnya lalu membalikkan tubuhnya dan aku langsung memegang tangan kirinya dengan tangan kananku, lalu menariknya sampai dia membalikan tubuhnya menghadap kearahku.

“Terus kalau kamu beristirahat diruangan lain, siapa yang jaga kamu.? Bukannya aku mau membalas budi karena kamu menjagaku selama pingsan tadi. Tapi kalaupun berada disuasana yang berbeda seperti ospek sekarang ini, aku pasti akan menjagamu ketika kamu tidur diarea kampus ini.” Ucapku sambil tetap memegang pergelangan tangan kirinya itu.

“Gak usah sok perhatian.” Ucapnya tanpa melepaskan pegangan tanganku ini.

“Aku memang laki – laki yang sok perhatian, sama seperti kamu. Wanita yang sok perhatian sama aku yang pingsan tadi.” Ucapku dan Yunda Sarah langsung melotot kearahku.

“Asuu, cek sempete koen gandengan karo arek wedok cok.” (Anjing. Kok sempatnya kamu gandengan sama anak perempuan cok.) ucap Joko yang sudah sadarkan diri dan aku berdiri memunggunginya.

Aku lalu menoleh kearahnya dan terlihat Rendi, Bung Toni, Wawan, dan Bendu sudah tersadar dan menatap kearahku bersama – sama.

Mereka berlima menatapku sambil menggelengkan kepala dan senyum yang tertahan, dengan wajah yang masih terluihat bonyok.

“Cok, lapo seh awakmu tangi kabeh.? Bathango maneh kono loh. Assuu.” (Cok, kenapasih kamu bangun semua.? Tidur lagi sana loh. Anjing.) Ucapku.

“MATAMU.” Ucap mereka berlima dengan kompaknya. Akupun langsung membalikkan tubuhku dan melihat kearah wajah Yunda Sarah yang masih terdiam, dengan pergelangan tangan kirinya masih aku pegang.

“Kita keluar yuk.” Ucapku dan dengan kurang ajarnya, aku menggandeng tangan Yunda Sarah keluar dari ruangan ini. Yunda Sarah hanya melongo melihat sikap cuek ku ini dan dia mengikuti tarikan tanganku yang pelan ini.

“JANCOOKKK.” Maki kelima orang temanku yang ada didalam ruangan sana.



#Cuukkk. Kok nekat ya aku melakukan ini.? Siapa yang menuntunku melakukan semua ini.? dan perasaan apa yang mulai menggetarkan hatiku, karena perlahan Yunda Sarah melepaskan pegangan tanganku dipergelangan tangannya, lalu dia meraih telapak tanganku dan menggenggamnya. Gila cok. gak lama hatiku ini pasti akan bongko juga. Hiufftt. Huuu.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd