Part II: Invitation
Aku terbangun membuka kedua mataku. Ah, sudah pagi. Aku bangkit dari posisi tidurku dan mengambil posisi duduk. Kulihat jam, menunjukkan jam 6 pagi. Hari ini hari Jumat dan tidak ada jadwal kuliah. Ah, tapi kan ada tugas yang harus dikumpul. Aku segera memeriksa smartphone mililikku apakah ada kabar Jason tentang tugas kuliah kami. Mungkin dia juga ingin mengumpulkan tugasnya sendiri jadi aku tidak usah keluar rumah hari ini.
Benar saja, ada pesan masuk dari Jason. Kulihat dia mengirim pesan itu pukul 2 pagi. Sepertinya dia begadang untuk menyelesaikan tugasnya.
“Woi
Udah beres nih
Ini lu yg ngumpulin sendiri yah
Gw kirim ke email lu ntar lu print
Jangan lupa batesnya sampe jam 12
Gw mau istirahat dan nanti ada urusan”
Begitulah isi chat darinya. Ternyata aku tinggal bertugas untuk mengumpulkan. Yasudahlah, lagipula masih banyak waktu untuk bersiap-siap. Aku pun hanya mengiyakan perintah Jason.
Aku beranjak keluar dari kamarku untuk mencari segelas susu di dapur. Kuambil sekarton susu dari kulkas lalu menuangkannya ke secangkir gelas. Kulihat di ruang tamu ada pembantu rumah tanggaku, sedang menyapu. Seperti yang pernah aku bilang, aku tinggal sendiri, namun ada pembantu yang setiap pagi datang untuk bersih-bersih rumah lalu pulang lagi saat kerjaannya sudah beres. Hari Sabtu dan Minggu pun ia libur.
Setelah kuhabiskan gelasku, akupun mandi, dan mencetak tugasku. Kemudian aku bersantai sebentar di halaman belakang rumah, tepatnya di dekat kolam ikan koi milik ayahku. Entah sejak kapan aku mulai sering ke berdiam disini. Awalnya aku hanya kesini sekedar memberi makan ikan namun semakin lama aku semakin sering kesini untuk menghabiskan waktu sambil memperhatikan ikan-ikan yang berenang dan mendengarkan gemercik air mancur yang menenangkan. Seolah membuatku melupakan tentang kesendirian yang belakangan ini aku rasakan.
Tanpa sadar sekarang sudah hampir pukul 10, pembantuku pamit untuk pulang karena kerjaannya telah selesai. Mengingat deadline tugas sampai jam 12, aku bergegas ke garasi dan menyalakan mobilku untuk berangkat ke kampus.
…
Done.
Tugas sudah kukumpulkan dan sekarang aku berpikir apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tentu saja aku bingung apa yang harus kulakukan selain pulang dan menghabiskan sisa akhir pekan ini sendirian di rumah. Aku bisa saja jalan-jalan kemanapun tapi kalau sendiri buat apa. Mengajak Jason pun percuma karena dia pasti sudah ada rencana sendiri dengan pacarnya.
Seketika aku ingat dengan Shania, sejak kemarin malam hingga sekarang dia belum menghubungiku. Ditengah lamunanku dalam perjalanan menuju parkiran, aku melihat sesosok perempuan yang sepertinya tidak asing bagiku. Aku coba mendekat kemudian berdiri di sebelahnya. Ternyata benar, ini kan Gracia. Sedang apa dia kesini lagi? Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku karena dia sedang sibuk dengan layar handphone-nya.
“Um, hei! Gracia kan?”
Gracia menolehkan kepalanya dan bereaksi agak terkejut saat melihatku. “Loh, Kak Yuda? Kakak ngapain disini?”
“Uhhh... kan ini kampus gua wajar dong kalo gua disini. Harusnya tuh gua yang nanya lu ngapain kesini lagi?”
“Eh, iya yah. Ini kak, aku kesini ngambil nih berkas-berkas soal seminar kemaren. Harus ada yang diurusin lagi” ucapnya sambil menunjukkan tumpukan kertas yang ia gendong ditangan kirinya.
“Oh, I see. Lu sendirian?”
“Hu’um. Sendiri aja nih. Kenapa kak? Nyari Kak Shania yah?” tanyanya seperti mengejekku.
“Hah? Kok jadi Shania sih? Ga kok. Sekarang lu mau kemana emang?”
“Hahahaha. Ini aku mau ke rumah Kak Shania”
“Ada yang nganterin?”
Gracia hanya menggelengkan kepala.
“Gua anterin aja gimana?”
Gracia mengangguk sambil tersenyum kemudian ia mengecek handphone-nya dan sepertinya membatalkan pesanan taksi online yang dia dapat.
“Yaudah, yuk. Mobil gua ke arah sini,” kataku sambil mengajaknya
“Ah oke, kak”
“Itu sini biar gua aja yang bawain,” tawarku padanya untuk membawakan berkas-berkas yang ia bawa. Dari kemarin ribet juga ngeliat dia selalu bawa barang banyak.
“Nih, kak. Makasih yah”
...
Sesampainya di mobilku, aku menaruh barang-barang Gracia di kursi belakang sementara Gracia masuk dan duduk di depan.
“Ke rumah Shania?” tanyaku sembari duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil.
“Iya. Eh bentar, aku belom nanya. Kakak emang gaada kegiatan lain? Aku ngerepotin ga sih ini?”
“Actually, I’ve got nothing else to do. So, tenang aja. Lagian udah duduk di mobil gini masa baru nanya kaya gitu sih.”
“Hehehe. Maaf kak, aku lupa kita baru kenal. Abis berasa udah kenal lama aja gitu jadi aku mah iya-iya aja,” katanya sambil tersenyum.
“Lah gapapa kok. Gua malahan seneng jadi ada temen buat pulang,” kataku yang dibalas Gracia dengan anggukan.
Akupun mengendarai mobilku keluar kampus. Ah, shit. Baru inget ini jam istirahat makan siang jadi jalanan macet tak terelakkan. Yaudahlah, setidaknya, aku jadi punya waktu lebih buat ngobrol sama Gracia.
“Macet, kak,” ucap Gracia sambil melihat kondisi jalan di depan.
“Uh-huh. Umm, Gracia,” kataku sambil menoleh ke arahnya.
“Ya, kak?” balas Gracia sambil membalas tatapanku.
Aku hanya terdiam dan malah memperhatikan dirinya. Rambut panjang, kulit putih, dan senyuman manis dengan bibir yang, hmm…
“Lu cantik juga yah,” ucapku dalam hati.
“Kakak ganteng juga yah,” ucap Gracia dengan sangat jelas.
“Hah? Eh?” aku agak terkejut dengan pernyataannya barusan, apalagi dengan nada bicaranya yang begitu polos. Aku tersenyum dan tertawa sedikit, “hahaha… bisa aja kalo ngomong.”
“Kok malah ketawa sih? Beneran kok, kakak kalo aku perhatiin ini ganteng tau. Ganteng aja deh, ga ganteng banget. Biar ga kegeeran.”
“Iya deh iya. Makasih yah. Lu juga cantik kok,” kataku membalas pujiannya.
“Cantik aja apa cantik banget?”
“Cantik banget deh,” balasku.
“Cantikan mana sama kak Shania?” tanya Gracia sambil menyipit-nyipitkan matanya seolah meminta jawaban jujur dariku.
“Woah, that’s a difficult one. Kalian berdua sama-sama cantik, tapi kebetulan lu yang lagi disini jadi lu yang lebih cantik.”
“Hm… nyari aman gitu sih jawabnya,” balas Gracia dengan memasang muka yang pura-pura kecewa.
“Hahaha… ya abisnya, lu daritadi bawa-bawa Shania mulu. Kenapasih emangnya?”
“Ya gimana yah? Kakak jomblo kan?” entah Gracia dapat kesimpulan darimana kalau aku tidak punya pacar.
“Yes, I’m single. Why?”
“Nah. Kak Shania juga lagi gapunya pacar tuh. Mau ga aku jodohin? Jarang-jarang abisnya ada cowok yang tahan sama marah-marahnya dia kaya kakak kemarin.”
“Hm?” lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan apa yang dikatakan perempuan ini. Tapi untuk masalah jodoh-jodohin aku ga tertarik. Jadi aku tidak akan menjawab penawaran Gracia dan hanya akan balik menggodanya, “tergantung sih itu. Lu sendiri punya pacar ga?”
“Hm?” Gracia sedikit memiringkan kepalanya kebingungan namun kemudian tersenyum, “tergantung sih itu.”
“Tergantung gimana?”
“Tergantung kalau kakak mau sama aku, aku jadinya gapunya pacar aja deh,” ucap Gracia sambil nyengir dan menaik-naikkan alis kanannya. Ekspresi mukanya sangat lucu.
“Hah? Apaan sih?” kataku yang bingung.
“Apaan sih?” Gracia hanya mengulang perkataanku seolah-olah mengejek.
Kamipun akhirnya tertawa terheran-heran dengan percakapan yang daritadi kami lakukan. Ditengah asiknya tertawa, Gracia tiba-tiba terdiam.
“Tapi, aku emang lagi gapunya orang yang aku sayang kok,” ucap Gracia secara pelan namun terdengar jelas di telingaku. Dia menundukkan kepalanya sebentar lalu menolehkannya ke jendela di sebelah kirinya.
Belum sempat aku bertanya ada apa dengan dirinya, terdengar suara nada dering ponsel yang nyaring. Itu dari handphone Gracia. Ada yang menelepon. Dia pun mengangkatnya dan aku hanya kembali fokus menyetir di jalanan yang masih cukup macet ini.
“Halo, kak Nju… Iya, lagi di jalan nih… Hah? Serius? Yaaahhh… Terus gimana dong? Oh… Yaudah deh… Iya, gapapa… dadah.”
Gracia mematikan teleponnya dan menilai dari ekspresi mukanya, dia baru saja mendengar kabar yang tidak menyenangkan.
“Siapa?” tanyaku.
“Kak Shania,” jawabnya sambil memasang muka cemberut.
“Oh, lu tadi manggil dia apa? Nju?” tanyaku lagi.
“Iya, kan dia juga kadang dipanggilnya Shanju, kadang dipendekin lagi jadi Nju. Aku juga biasanya juga dipanggil Gre sih, kak,” jelasnya.
“Oh gitu. Terus kenapa Shania nelpon lu?”
“Heuh… jadi katanya dia mau pergi ada urusan jadinya aku gausah dateng ke rumahnya, gitu.”
“Oh, yaudah kalo gitu lu gua anter pulang aja yah?”
“Eh, jangan. Aku males kalau harus ngurusin berkas-berkasnya di rumah. Bawaannya suntuk nanti.”
“Umm… jadinya kamu mau kemana?” tanyaku.
“Di rumah kakak ada siapa aja?” Gracia balik bertanya.
“Oh, gua di rumah sendiri sih. Orang tua lagi ga disini. Kenapa emang?”
“Nah, yaudah. Kita ke rumah kakak aja yah.”
“Hah? Ngapain?”
“Please, ayolah kak. Aku ga ngerepotin kok. Cuman numpang beresin itu bentar aja,” ucapnya memohon sambil menunjuk barang-barangnya yang ada di jok belakang.
Aku menengok ke arahnya, Gracia memasang ekspresi muka memelas penuh harap untuk aku menerima permintaannya. Yah, kalo udah begini aku mana tega untuk menolak. Aku menarik nafas panjang.
“Yaudah, ok. Let’s go,” kataku mengiyakan permintaannya.
“Yeyyy… Makasih, kak!” balas Gracia bahagia sambil menepuk-nepuk kecil tangannya. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman.
…
Akhirnya kamipun sampai di rumahku. Aku memakirkan mobilku di garasi luar lalu kami turun dari mobil. Aku mengambil kunci rumah dari saku celanaku lalu membukakan pintu.
“Welcome, to my little house. This way, please,” aku mempersilahkan Gracia untuk masuk.
Dia masuk sambil melihat kanan kiri seperti menyusuri setiap sudut rumahku, kemudian dia berbalik badan kepadaku dan berkata, “little? Kak, this place is huge!”
Aku hanya tertawa kecil dan menyuruhnya untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
“Ok. Lu tunggu disini dulu yah, Gre. Gua mau masukin mobil ke garasi dalem terus sekalian barang-barang lu gue turunin. Jangan kemana-mana.”
Akupun meninggalkan Gracia sendirian. Lalu, setelah selesai memasukan mobil aku membawa tas dan berkas milik Gracia kedalam. Namun saat aku kembali ke ruang tamu,
“Gracia, ini gua taro sini yah. Loh? Gre? Kemana lagi dia, dibilang disuruh tunggu juga.”
Aku mencarinya ke kamar mandi, ruang tengah, dapur sampai ke halaman belakang namun tidak ada juga. Aku panggil namanya juga dia tidak menjawab. Ah iya, ruang baca. Aku langsung pergi ke ruang tengah dan menuju pintu yang berada di dekat tangga ke lantai dua yang ternyata sudah terbuka sedikit. Aku masuk dan ternyata benar Gracia ada di dalam.
“Halo, kak. Hehe,” sambutnya sambil dadah ke arahku.
“Lu tuh yah, dibilangin suruh tunggu juga malah pergi. Dipanggilin diem aja lagi. Kalo mau main petak umpet bilang-bilang.”
“Yeee… diisengin dikit aja juga. Eh ini foto keluarga kakak yah?” Gracia menunjuk ke arah dinding yang terhiasi dengan beberapa foto-foto anggota keluargaku.
Ruangan dimana kami berada sekarang adalah ruangan membaca yang biasanya dipakai oleh mamaku. Aku jarang masuk kesini karena mamaku menyuruh ruangan ini harus selalu bersih. Disini terdapat banyak koleksi buku-bukunya. Selain buku juga terdapat sebuah meja yang dikelilingi kursi, sebuah sofa untuk satu orang yang biasa mamaku pakai sebagai tempat duduk untuk membaca, lemari tempat menyimpan berbagai pernak-pernik dan oleh-oleh dari berbagai macam tempat yang pernah keluarga kami kunjungi dan juga yang pasti terdapat foto-foto keluarga kami.
“Ah iya. Ini… haha… itu papa sama mama gua. Itu kakak gua, Daniel, yang lagi kuliah di Australia. And the one over there is me, Yuda,” jelasku kepada Gracia mengenai foto keluarga yang diambil sekitar 2 tahun yang lalu. Sesaat sebelum papa harus sibuk dengan urusan bisnis di luar pulau dan mama dengan setia menemani papa pergi.
Ah, I miss you Mom. I miss you Dad. And I guess, I miss you too Brother.
“Oh, kak Yuda punya kakak toh. Mirip yah mukanya. Disini dia foto sama siapa?” tunjuk Gracia ke foto kakakku yang lain bersama seorang wanita.
“Itu foto dia sama tunangannya. Nikahnya nunggu lulus kuliah di Australia katanya sih,” jawabku.
“Hmmm… kalo yang ini siapa?” Gracia menunjuk foto seorang anak kecil yang berada di pantai hanya mengenakan celana pendek.
“Errr… itu gua dulu waktu lagi liburan di Bali.”
“Astaga hahaha kakak dulu item banget yaampun, kok sekarang bisa berubah banget sih” wajah Gracia senang sekali saat mengejekku. Ga sopan banget nih orang ngetawain tuan rumah. Untung cakep.
“Udah-udah, keluar, yuk. Lu jadi ga tuh ngerjain kerjaan lu. Apa mau kerjain di ruangan ini aja?”
“Wah ide bagus. Aku kerjain disini aja yah.”
“Yaudah, eh, tapi lu udah makan belum?”
“Udah sih tadi sebelum ketemu kakak.”
“Oh kalo gitu gua buatin minum aja yah.”
“Ok.”
…
Aku membawakan segelas jus apel dan menaruhnya di meja tempat Gracia duduk. Dia sudah mulai sibuk dengan kerjaannya.
“Ini, Gre. Jangan sampe tumpah yah.”
“Wah, makasih kak. Iya gabakalan tumpah kok emang aku anak kecil apa?”
“Ngingetin aja. Oh iya gua mau makan, tapi disini kan gaboleh makan sama mama gua jadi kalo ada apa-apa gua makan di ruang tengah yah sambil nonton TV.”
“Yah, kak. Disini aja kenapa temenin aku. Lagian mama kakak kan lagi gaada.”
“Mau dia ada atau gaada yah. Dia bakalan tau kalo gua makan disini. Insting dia kuat. Udah ah gausah manja. Lagian kalo gua nemenin lu yang ada gangguin doang.”
“Yaudah deh, dadah kakak,” ucap Gracia sambil cemberut sedih tapi malah membuatnya terlihat lucu.
“Kaya mau kemana aja deh pake dadah segala. Yaudah, semangat ngerjainnya,” kataku sambil pergi ke luar ruangan.
…
Selesai memasak nasi goreng ayam untuk diriku sendiri, aku pergi ke ruang tengah untuk menyantapnya sambil duduk di sofa dan menonton TV. Baru mau menyendok makananku tiba-tiba Gracia keluar dari ruang baca sambil membawa jus apel yang sekarang tinggal setengah gelas. Dia menghampiriku lalu duduk di sebelah kiriku.
“Kenapa? Lu udah beres? Cepet amat,” tanyaku heran.
“Engga, belum. Cuman aku tiba-tiba laper.”
“Loh tadi katanya udah makan.”
“Ya, gatau tapi pas nyium aroma makanan aku jadi laper.”
“Hadeh. Yaudah bentar,” kataku sambil ingin berdiri
“Ih mau kemana?” tanya Gracia sambil menahanku berdiri.
“Mau ngambil sendok lagi lah. Bagi dua aja. Gua males masak lagi.”
“Gausah ambil sendok. Suapin aku aja. Aaakkk…” ucap Gracia sambil membuka mulutnya.
“Really?”
“Ihhh… suapin aja kenapasih,” Gracia mengambil tangan kananku yang memegang sendok lalu mengarahkannya untuk menyendok sesuap nasi kemudian dia secara paksa menuntun tanganku untuk menyuapinya.
“Hah… hah… fanas… kak…” dia mengipas-ngipas mulutnya dengan tangannya sendiri. Ya iyalah panas orang baru masak. Salah sendiri.
“Eh… nih-nih minum jusnya,” akupun mengambil jus apelnya lalu membantunya untuk minum agar dia tidak kepanasan.
“Aduh… makasih, kak.”
“Lu tuh yah. Makanya jangan aneh-aneh. Hahaha,” akupun hanya tertawa dengan kelakuan Gracia. Gracia seperti ingin berkata sesuatu namun tidak jadi dan malah ikut tertawa bersamaku.
Setelah kami berdua puas tertawa, ruangan menjadi hening. Saat aku ingin mengambil kembali piringku dari meja, Gracia mulai berbicara,
“Kak, aku mau tanya deh,” ucapnya dengan wajah yang serius.
“Apa?”
“Kita cuman berdua aja kan disini?”
“Yeah,” balasku sambil mengangguk sekali.
“Kalo gitu…”
Gracia tersenyum dan tidak menyelesaikan kalimatnya dan dia malah mendekatkan dirinya kearahku.
“Gracia, lu ngapain? Gre… mmmhhh…”
To be continued…