Act 3: Charger
“Yaudah Kak, kita duluan ya”
“Yoo, jangan lupa bilang Frieska”
Lala dan Brielle tertawa kecil ke arahku. Meskipun awalnya bilang takut, Lala terlihat menikmati rencanaku untuk mengerjai Frieska. Kedua matanya yang besar kali ini menjadi dua buah garis yang seperti terlihat tersenyum juga ke arahku. Di sebelahnya, tawa Brielle hanya bertahan sesaat sebelum raut wajahnya kembali menunjukkan ketakutan. Seru juga mengerjai anak kecil.
Mereka pun berlalu. Sementara aku masih bingung akan bagaimana sebaiknya menghabiskan waktu menunggu Frieska. Rencana awalku untuk makan telah buyar karena sekotak
popcorn yang kuhabiskan sendiri tadi. FX Sudirman memang tempat yang membosankan bagiku. Karena diluar bioskop dan restoran, tidak ada lagi hiburan yang cocok untuk kulakukan disini.
Drrrdt…drrrrdt.
Kantong kanan celanaku bergetar. Ketika kuraih HP-ku, kulihat nama Frieska sedang menelponku.
“Udah selesai dong plis, aing males nunggu lagi nih”
“Iyaah, beruntung maneh. Gue dah selesai nih. Lu langsung jemput kita di lobi aja ya”
“Siap Ibu, pake baju apa?”
“Alpenliebe item putih. Buruan ya. Kita udah mau turun nih”
Aku sudah tidak ingin berkomentar lagi meskipun aku merasa seperti supirnya. Kurasa ini lebih baik daripada harus menunggu satu hingga dua jam lagi. Aku pun bergegas menuju ke parkiran untuk menjemput bosku malam ini.
Sesampainya di lobi, kulihat Frieska sedang berdiri sambil tersenyum ke arah kerumunan pria. Kurasa aku akan sangat capek bila menjalani profesinya. Kemanapun ia pergi di FX Sudirman mayoritas pengunjung mengenalnya dan mungkin melempar senyum ke arahnya. Tuntutan profesi memang. Sama seperti profesiku yang mengharuskanku keluar kota atau bahkan lintas negara.
Frieska yang sudah mengenali mobilku langsung berjalan untuk masuk ke dalam mobil. Terlihat ia berjalan sembari menarik tangan seorang gadis yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Frieska terlebih dahulu membuka pintu belakang lalu masuk sembari mengajak gadis itu masuk.
“Yuk, Pak. Kita redigo”
“Iya Bu, ayo kita lesgo”
“Bareng ya kak” Kali ini giliran gadis yang bersama Frieska untuk menyapaku.
“Oiya, silakan Bu. Ibu temennya Nyonyah yah? Maaf kalau mobil saya bau, soalnya Nyonyah suka lempar deodoran sembarangan abis dipake di mobil”
Terdengar tawanya mendengar leluconku. Frieska hanya marah seperti biasanya saat kugoda. Sempat kucuri pandang teman Frieska saat mereka masuk ke dalam mobil. Sejujurnya ia terlihat tidak secantik foto yang Frieska tunjukkan padaku minggu lalu. Sepertinya ia sudah sedikit membersihkan
make-up-nya.
“Jadi ini yang namanya Gaby. Masih jomblo, nyarinya yang udah mapan”
“Iiih, Kak Frieska apaan sih”
“Nih Gab, diliat langsung ganteng kan? Dulu banyak yang ngincer dia, tapi orangnya pemilih jadi jarang pacaran”
“Kalian tentuin dulu lah kita mau kemana nih.” cetusku karena takut kami hanya berputar-putar menghabiskan bensinku.
“Oiya, ke Senc* aja. Deket”
“Gapapa tuh? Di tempat rame”
“Selow. Lesgo”
Dalam 10 menit kami pun sampai di mall pilihan Frieska tersebut. Frieska mengajak kami makan di salah satu restoran Jepang di lantai dasar. Lebih dekat dengan parkiran katanya, karena kami juga tidak berencana untuk jalan-jalan lebih jauh. Setelah berada dalam posisi nyaman di restoran, barulah aku berusaha memula percakapan.
“Kamu kuliah Gab?”
“Iya Kak, sekarang lagi skripsi”
“Ooh udah terakhir-terakhir dong. Jurusan apa?”
“Psikologi, Kak”
“Psikologi? Salah satu kerjaan aku sekarang terkait ini nih, makanya aku lagi belajar otodidak dikit-dikit tentang psikologi”
“Nah, lu tanya ke Gaby aja, dia pinter nih. Calon lulusan Cum Laude, IPK 3.7an,” celetuk Frieska dalam pembicaraan kami.
Topik ini menjadi titik temu pembicaraan aku dengan Gaby. Dari cara bicaranya, dapat kulihat bahwa ia perempuan yang cerdas. Ia terlihat sangat lihai dengan bidang keilmuannya. Diluar itu, ada keunikan tersendiri dari kecerobohannya, yang sepertinya berusaha ia tutupi namun Frieska selalu membawa hal itu dalam pembicaraan kami.
Tanpa sadar, kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Saking banyaknya topik pembicaraan kami, aku sampai tidak sadar waktu berlalu dengan cepat. Sesaat, Gaby pun meraih HPnya saat kulihatnya berdering.
“Kak, aku udah dijemput Papa Mamaku. Aku pulang duluan ya. Ini kalian masih pada mau disini?”
“Yaudah sekalian bubar aja kita. Udah malem juga”
“Ok, aku panggil mas-nya buat minta
bill ya”
“Gapapa, kita tunggu diluar aja. Biar dia yg urus soalnya dia abis dapet proyek gede jadi janji mau traktir aku, sekalian lu juga Gab” Celetuk Frieska sembari menarik lengan Gaby untuk berjalan keluar.
“Yah kak, jangan. Kan janjinya sama Kak Frieska aja”
“Gapapa, di mah boss. Lesgo atuh”
Aku sadar sepertinya Frieska ingin memberikanku panggung, aku pun ikut mengiyakan saja pancingannya.
“Iya, kalian tunggu luar aja”
Gaby sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun Frieska sudah menariknya keluar.
Selesai urusan pembayaran, aku pun menyusul mereka keluar.
“Ni Gaby mau minta kontak lu soalnya dia kekeh mau bayar. Dikasih ga nie?”
Wow, entah memang benar Gaby ingin meminta kontakku atau ini hanya akal-akalan Frieska. Namun, karena aku merasa cocok dengan Gaby, kupikir tak masalah jika aku membagikan kontakku kepadanya.
“Ok Kak, nanti di mobil aku transfer ke rekening Kakak terus aku kirim buktinya ya”
“Iya, Gab. Bebas.
Thanks ya udah mau ketemu hari ini”
“Hehe. Aku yang makasih Kak, udah ditebengin ke sini”
Kali ini aku melihat senyumnya yg lebih lebar dari sebelumnya kami berbincang. Mungkin dia benar-benar senang dengan aktivitasnya bersama kami hari ini.
“Aku ke Mama Papaku ya kalo gitu Kak.
Bye Kak Mpries”
“Da Gab, dihubungin ya nomornya. Jangan dijual ke abang-abang pulsa” pungkas Frieska sambil melambaikan tangannya.
Gaby hanya tersenyum sambil membalas lambaian tangan Frieska. Sebelum membalikkan badannya ke depan, ia menatapku dan melempar senyum sembari sedikit menunduk kepadaku. Aku pikir ia memang gadis yang baik dan sopan.
“Gimana? Mantep kan?” tanya Frieska sambil sedikit tersenyum.
“Anaknya asik. Baik juga kayaknya”
“Nah, yaudah lu lanjutin dah dari
chat transferan nanti yak. Sekarang temenin gue dulu dijemput Mba Im…. Eh.. Itu kayak gue kenal mukanya…”
“LA, LALA”
Aku kaget mendengar perubahan suara Frieska dari berbicara biasa hingga berteriak memanggil nama yang kukenal. Aku pun seketika melihat ke arah yang ia lihat. Dan memang benar, yang dipanggilnya dan saat ini sedang menuju ke arah kami adalah gadis berambut sebahu yang tadi duduk di sampingku. Kali ini ia sudah berganti pakaian menjadi lebih
casual dari sebelumnya.
“Kamu ngapain atuh? Sendirian aja?” tanya Frieska.
“Abis makan Kak Fries tadi sama Brielle. Tapi dia udah pulang duluan. Aku tadi nunggu betulin sepatu dulu makanya ga bareng dia. Kak Fries sendi… Loh sama Kakak toh”
“Kalian.. kok dah kenal?” Frieska terlihat kaget mendengar respon Lala.
“Iya, tadi aku sama Brielle abis ditraktir
popcorn Kak pas nonton bioskop. Terus disuruh minta gantinya ke Kak Fries” lagi-lagi mata Lala hilang membentuk dua buah garis.
Akhirnya kami pun mengobrol sebentar menceritakan bagaimana pertemuanku dengan Lala. Lala pun bercerita kalau ia sedang menunggu taksi
online, namun kesulitan mendapatkan yang mau mengambil pesanannya karena diluar sedang hujan.
“Yaudah La, kost kamu pulang ke arah G***** kan. Bareng dia aja soalnya searah dia pulang juga”
“Lu anterin Lala pulang ya, langsung aja biar ga makin malem. Ini Mba Imel juga dah sampe sini”
Aku yang sudah disuruh di depan orang yang diminta untuk kuantarkan tidak bisa menolak karena tidak enak. Memang kasihan juga membiarkan anak perempuan pulang sendirian.
“Ayok La, sebelum kamu nolak dan kita jadi disini makin lama sembari aku dimarahin Frieska. Mending kita langsung jalan aja biar kita bisa langsung sampe rumah masing-masing”
“Iii..yaa, Kak” Lala hanya mengiyakan karena sepertinya ia juga tidak mau berdebat.
“Titip ya, jangan maneh apa-apa2in anak gadis orang”
“Iyaaa, mao diapain juga aing gamao dipukulin orang sekampung. Yuk, La”
Kami pun berjalan menuju mobilku dan langsung menuju arah kost Lala terlebih dahulu.
“Kak, aku pinjem
charger ya. Soalnya HPku baterenya mau abis”
“Sok atuh La, colok aja ke HP kamu”
“Makasih, Kak”
“Kamu kok nge-kost La, emang rumah kamu aslinya dimana?”
“Aku dari Lampung Kak. Sebelumnya udah sempet ke Jakarta buat kuliah, tapi sekarang jadinya mau fokus Jekeiti dulu. Kakak sendiri, nanti mau pulang ke rumah apa ke kost juga?”
“Aku ke rumah. Jadi, setelah lulus kuliah dan Ayahku pensiun, keluarga kami pindah ke Jakarta karena Ayah sedang membangun bisnis di Jakarta. Dulunya mah kita dari Bandung. Makanya aku kenal Frieska”
“Kakak sama Kak Fries..pacaran?”
“Engga, kita sohib aja”
“Oh gitu, kirain iya. Soalnya kalo ada cowok deket sama member Jekeiti biasanya pacar ato orang yang lagi PDKT, diluar sodara ya hehe. Kakak punya pacar?”
“Engga, masih disuruh nyari sama Mamah haha”
Aku seperti melihat senyuman kecil tersunggin di bibirnya. Ia seakan ingin menutupinya dengan mengalihkan wajahnya ke arah jendela. Namun, aku masih dapat melihat pantulan ekspresinya dari kaca. Melihat ini, aku mengurungkan niatku untuk bicara tentang pertemuanku dengan Gaby.
“Kasian emang kalian dilarang punya pacar sih, jadinya butuh hiburan buat main diam-diam ya.
“Hee engga gitu tau”
“Kamu sendiri punya pacar?”
“Saat ini ngga Kak, soalnya masih member baru di Jekeiti jadi belum berani. Paling ya temenan sama banyak cowok aja biar ga kesepian”
Lagi-lagi senyuman tersembunyi tersungging di bibirnya seakan membuatku ingin menerka-nerka apa yang ia sembunyikan.
Kami pun bicara banyak hal selama perjalanan. Lala sepertinya sudah lebih nyaman untuk mengobrol denganku dibanding saat kami mengobrol di bioskop, mungkin pertemuan dengan Frieska membuatnya lebih merasa aman.
Kurang lebih 45 menit kami habiskan di perjalan menuju kost Lala. Kostnya terlihat cukup mewah bila sudah berada di depannya. Aku pun membuka kunci mobil untuk membiarkan Lala keluar.
“Kakak, mau mampir dulu buat istirahat di kost aku? Mungkin Kakak capek abis nyetir sebelum pulang ke rumah. Nanti aku buatin minum”
Gleg.
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Lala. Pertanyaan ini mengundang pikiran buruk di kepalaku. Aku pun menarik napas sembari berusaha menyembunyikan kepanikanku.
“Engga La, makasih. Aku langsung pulang aja. Ga enak malem-malem mampir ke rumah anak gadis.”
“Ok kak, kalo gitu. Gapapa juga sih Kak, orang kost aku cuek semua dan mereka juga bebas masukin pacar ato yang lain-lain ke kamar masing-masing. Aku pulang duluan ya. Makasih banyak udah nganterin aku. Hati-hati di jalan kak”
“Dah, La”
Aku pun segera memutarbalikkan mobilku karena takut berubah pikiran. Entah apa yang ada di pikiran Lala mengajakku mampir ke kost-nya di malam seperti ini. Aku berusaha menjaga pikiranku karena tidak ingin melabelinya sebagai gadis yang tidak baik. Kuinjak gas lebih dalam supaya tidak ada penyesalan di hatiku meninggalkan kost Lala.
Sesampainya di lampu merah pertama, aku mengecek HPku dan ternyata baterainya sudah di
bar terakhir. Aku pun mencari
charger HP yang tergantung karena bos atau kolega kantorku suka memberikan instruksi tiba-tiba di malam Senin untuk pekerjaan yang ingin diprioritaskan di Senin pagi. Hal ini menyebabkanku harus selalu siaga dengan HP di malam Senin.
Namun, aku tidak menemukan
charger itu tergantung di tempat seharusnya. Sesaat aku mengingat dimana aku mungkin meletakkannya…
BANGSA#, TADI KAN DIPAKE LALA!