Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Chapter 20 — Shit Happen, They Say






"Abi sama Umi kapan pulangnya, sih? Sebentar lagi ambil raport, tau. Dea ga mau ambil raportnya sendirian."

Senyum tercetak jelas di wajah Abi, pada proyeksi tampilan beliau di layar HP-ku. Tampak Abi mengganti tampilan kamera depannya dengan kamera belakang, memperlihatkan pondasi bangunan yang jauh dari kata selesai. Dari tangkapan kamera belakang pula, aku ngeliat Umi sedang berjalan sambil ngeliatin lokasi proyek. Aku senyum-senyum sendiri saat ngeliat Umi, karena helm proyek yang dia pakai ga cocok banget sama gamisnya.

"Ihhh, Umi nyebelin banget. Kalo ada waktu, kenapa ga pulang aja? Malah nyamperin Abi dulu," protesku lagi, dan Abi kembali senyum padaku.

"Tau, tuh. Ga bilang-bilang mau dateng. Udah nongol aja barusan. Katanya sengaja, biar kalo Abi selingkuh langsung disaksiin di depan mata," kata Abi, sambil terus menyorot Umi yang baru sadar lagi direkam panggilan video.

Abi dan Umi memang sering banget ninggalin aku untuk urusan kerja. Durasinya bisa berhari-hari, berminggu-minggu, atau sebulan penuh. Eh, Abi doang deh yang bisa sampai sebulan gitu. Kalau Umi paling lama ninggalin aku cuma dua minggu.

Pekerjaan Abi itu kontraktor, sedangkan Umi kerja sebagai desainer baju muslim. Yang paling sering keluar kota sudah pasti Abi, karena rata-rata proyeknya ada di luar Jabodetabek semua. Beliau harus tinggal sekian waktu untuk mengawasi jalannya proyek, jadi ga bisa sedikit-sedikit pulang ke rumah. Sementara Umi, meski jarang dinas, tapi sekalinya ada pameran busana bisa nginep lama. Kalau cuma sekitaran Jakarta, Umi bisa pulang-pergi. Tapi kalau pamerannya ada di luar kota, ya nginep lama di hotel.

Nah, beberapa kali dalam setahun jadwal kerja di luar kota mereka bisa berbarengan. Kalau sudah begitu, aku pasrah saat ditinggal mereka berdua. Padahal biasanya kalau Abi berangkat, Umi yang di rumah, dan sebaliknya.

"Itu Dea, Bi? Dea, kan?" Terdengar suara Umi, yang langsung buru-buru mendekat ke kamera. Lalu tampilan video Abi seketika berguncang, dan sedetik kemudian tampilan layar Abi sudah pindah ke kamera depan lagi. Kali ini, wajah Umi yang tampil. Rupanya HP Abi direbut paksa. "Ihhhh, anak Umi makin cantik aja mentang-mentang ditinggal terus. Gimana ujiannya? Lancar?"

"Alhamdulillah, lancar dong Umi," balasku, sambil senyum-senyum sendiri karena dibilang cantik. Eh, harusnya aku lagi bete sama Umi! Buru-buru kutekuk lagi mukaku. "Umi pulang, doooong! Kan dari Semarang bisa langsung ke rumah, ini mah kenapa harus mampir ke Bandung dulu, sih?"

"Umi pegel kalo nyetir dari Semarang sampe Jakarta. Kan lumayan kalo Abi yang nyetir dari Bandung, sekalian ajakin Abi pulang. Kalo ga disamperin, nanti lupa pulang orangnya, terus takutnya kepincut cewek sini," ucap Umi.

Meski aku ga ngeliat Abi di layar, tapi aku bisa dengar jelas perkataan lantangnya ke Umi. "Masha Allah, Umi, kan Abi cintanya sama Umi ajaaa!"

"Meski tau kalo sebenernya punya kuota sampe empat?" tanya Umi sambil nengok ke samping.

"Kuota Abi satu doang, from dunya until jannah," balas Abi, yang langsung disoraki sama para pekerja lain yang ikut dengar. Aku takut kalau suara sorakannya kedengeran ke seantero kantin.

Abi memang tipe suami yang ga malu untuk mengekspresikan rasa cintanya ke istri, bahkan di depan umum sekalipun. Meski seringkali, aku yang anaknya suka muak saat liat tingkah cringe Abi ke Umi. Mungkin niatnya mau romantis, tapi yang liat malah jadi pengen nabok saking keselnya.

"Besok Abi sama Umi pulang, kok. Kamu ambil raportnya kapan?" tanya Abi, yang lagi nempelin pipinya ke pipi Umi tapi terhalang helm proyek masing-masing.

"Belum dikasih tau. Tapi kayaknya Jum'at minggu depan, soalnya hari ini kan hari terakhir ujian semester. Biasanya ambil raport seminggu setelah semesteran," Aku meneguk segelas es susu coklat sebelum melanjutkan, "Kenapa besok pulangnya? Hari ini ajaaaaa! Kan Bandung deket. Bisa, kan?"

"Bisa, sih," jawab Abi, tapi dari nadanya terkesan ragu. "Abi lapor ke atasan dulu, ya. Kalo semuanya bisa remote buat hari ini, nanti tinggal bikin to-do list ke mandor. Nanti Abi kabarin kalo bisa pulang hari ini."

"Bener?"

"Beneeeer, Dea. Demi cinta Abi ke Umi kamu, Abi pulang secepatnya begitu dapet izin."

"Iiiiihhh, Abi cringeeeee! Dasar bapak-bapak bucin!" Aku spontan bergidik geli. Level kenorakan Abi sudah ga bisa kutolerir lagi. "Udah, ya. Dea mau siap-siap buat ujian terakhir. Do'ain semoga lancar, ya. Wassalamu'alaikum, Abi, Umi!"

"Wa'alaikumsalam, Sayang," ucap mereka, berbarengan.

Panggilan video pun berakhir. Aku menarik napas panjang, karena entah kenapa jadi punya beban berat di hati gara-gara sudah menyajikan adegan noraknya Abi ke Fah. Kutengok dia, yang lagi makan mie rebus. Aku pun meringis saat ngeliat mukanya.

"Sorry for the scene, ya," ucapku.

Diluar dugaan, Fah justru ketawa lebar. "Itu lucu tau. That level of romance is amazingly fantastic."

"Ga, itu norak." Aku menggerutu.

Fah mengusap pelan bahuku. "Cheerish while it last, Dea. Some people take it for granted, and regret it later. Menurut aku, orangtua kamu tuh lucu banget, dan aku yakin, deep down... kamu juga terhibur dengan kelakuan mereka, kan?"

Aku jadi senyum lagi setelah dihibur Fah. Ini bikin aku mikir. Buatku, Fah adalah pribadi yang baik. Baiiiiik banget. Meski fakta bahwa Fah bertanggung jawab atas tewasnya lima orang yang menggilir Laras masih berputar di benakku. Lagipula, orangnya sudah konfirmasi sendiri, meski ga secara tersurat. Jadi aku sudah dapat gambaran lebih luas tentang orang kayak apa Fah ini, dan penilaianku tetap sama: Fah itu baik. Tapi soal kasus itu... dia masih belum mau cerita detil bahkan setelah lima hari berlalu. Saat aku desak, dia cuma bilang, "belum saatnya".

"Jadi, kapan kamu mau cerita?" tanyaku.

"Soal?"

"Yang tewasnya lima orang di berita Senin kemarin itu."

"Hmmm," Fah tampak mikir, "Sepulang sekolah, gimana? Kemarin aku bilang mau ceritanya setelah selesai ujian, kan?"

"Mau sekalian ngemall, ga, pulangnya? Aku sekalian mau ke supermarket. Mau beli bahan masakan buat masak-masak nyambut Abi dan Umi."

"Kalo pulang barengnya bisa," Fah tampak berpikir sebentar, lalu senyum ke aku, "Tapi untuk sekarang ini, aku ga bisa bebas keluar, Dea. I'll just drop you, then."

"Got it. Nanti aku ajak Laras, siapa tau mau ikut."

"Ga perlu, Dea."

Jawaban singkat darinya bikin aku heran. "Kenapa? Kalian berantem?"

Fah menggeleng, pelan. "Laras menghindar dari aku akhir-akhir ini. Tiap aku ajak ngobrol, dia selalu pamit karena mau kerjain sesuatu, tapi aku tau, dia cuma mau menghindar dari aku aja. Dia... 'tau', ya?"

"Engga, sih, baru sampe ditahap curiga. Dia bahkan ga bisa jelasin dasar kecurigaannya apa." Aku meneguk habis sisa susu coklat di gelas, lalu ngelanjutin, "Mau kamu kasih tau aja? Biar dia tau kejelasannya."

Fah langsung menggeleng sebagai respon atas pertanyaanku. "Cuma kamu yang aku percaya," katanya.

"Tapi kenapa cuma aku?"

"Isn't it obvious?" Fah menatapku, dalam. Dia bicara dengan suara pelan, tapi cukup jelas untuk aku dengar. "I'm in love with you, Dea."

Aku ga bisa berkata-kata saat denger ucapannya. Lidahku kelu, lebih-lebih saat melihat rona merah di pipinya saat wajahnya menghadapku. Kami saling memandang, lama. Tanpa gerak dan suara.

Sungguh, momen ini menyiksaku. INI APAAN SIH KOK ADEGANNYA KAYAK DI SERIAL DRAKOR, WOOOY!

Tiba-tiba, Fah berdiri sambil memalingkan muka. Sekilas, aku ngeliat rona merah di pipinya makin cerah. Ih, dia malu, ya? Orang sehiperaktif dia bisa merasa malu? Fah pun pergi ke salah satu kios kantin, membayar untuk pesanannya dan pesananku juga, lalu main pergi saja tanpa menghampiriku lagi.

"Ketemu lagi pas pulang sekolah, yaaa!" seruku padanya. Aku pastiin suaraku cukup keras untuk dia dengar.

Fah spontan berhenti, lalu sambil memunggungiku, dia mengacungkan jempol kirinya. Habis itu, dia lanjut jalan lagi. Cepat juga jalannya, kayak orang lagi salting. Dia ninggalin aku sendirian di kantin yang mulai ramai oleh murid-murid yang baru keluar dari kelas.

Baiklah, sekarang saatnya merutuk pada nasib. Dalam momen merutukku, aku mempertanyakan kepada dunia, kenapa ga pernah ada orang normal yang suka aku. Pertama, guru perempuanku sendiri, dan sekarang...

Aaaaargh, kenapa kehidupan percintaanku gini amat, sih? LAGIAN, KOK DIA BISA SUKA SAMA CEWEK? Bukannya dia sukanya sesama batang kontol, ya? Apa jangan-jangan dia sebenernya biseks? Terus kalo gitu, berarti usahanya jadi cewek tulen selama ini sia-sia, dong?! Kalau ujung-ujungnya suka cewek, mah, ngapain numbuhin tetek sih Fah?!

Hufff... aku jadi emosi sendiri. Kalem, kalem... coba istighfar dulu. Coba ingat-ingat, Dea, apa yang bikin dia suka sama kamu. Fuck, suka apanya! Jelas-jelas dia bilangnya "in love with you", berarti kan... perasaannya... sedalem itu, kan?

Seingatku, Fah seringkali bilang kalau aku tuh pengecualian, kalau aku itu spesial di matanya. Aku pikir itu cuma bentuk upaya dia untuk lebih dekat denganku aja. Eh, ternyata beneran punya rasa. Apa ini karena aku yang ambil perjakanya, ya?

Tenang, Dea. Mari lihat sisi positifnya. Dia kaya raya, bisa mode hybrid tergantung kebutuhan, (terduga) mafia, dan... well, at the very least... kontolnya gede. That one aspect alone is enough for me, though. Sisanya cuma bonus.

Tapi bonusnya kebanyakan, pffft.


———


Agaknya, aku paham kenapa mapel Agama dijadwalin sebagai penutup ujian semester kali ini. Mungkin biar setelah kerjain ujian, murid-murid cowok jadi tercerahkan untuk sholat Jum'at, dan yang ceweknya jadi inget untuk jalanin sholat Dzuhur. Strategis juga yang bikin jadwal, nih.

Seperti biasa, aku ngumpulin lembar ujianku lebih cepat dari yang lain. Tapi ada yang lebih cepat dari aku, tau. Freddy sudah kumpulin lembar ujiannya lebih dulu. Aku sih santai aja, karena memang soal ujianku dengan dia beda. Mapelku Agama Islam, sementara dia Katolik. Jadi, aku berpikir dia memang bisa menjawab soal-soal itu dengan gampang sesuai dengan bidangnya.

Pas keluar kelas, aku ga liat Freddy sama sekali. Kemana tuh orang? Cepat juga ngilangnya. Tapi syukurlah kalau dia ga ada di sekitar. Sejujurnya, sejak kejadian di belakang sekolah itu, aku jadi jaga jarak sejauh-jauhnya dari dia. Sebaliknya, Freddy jadi gencar deketin aku lewat berbagai cara. Mulai dari ajakin aku ke rumahnya untuk belajar bareng, ngechat aku terus-terusan, bahkan ikutin aku kemana-mana selama di sekolah. Seriously, he's a freak! Semua tindakan agresifnya itu dia lakuin cuma biar dia dapet badanku aja.

Makan tuh sikap sok-sokan nolak pas aku tawarin badanku waktu itu. Sekarang, setelah kena pengaruh obat perangsang, jadi kelabakan sendiri, kan? Jadi ga fokus belajar, cemas terus, sering sakit kepala; aku juga gitu kok waktu pertama kalinya kena obat itu. Tapi yaudah, biar dia urus masalahnya sendiri. I'm so done with him.

Seperti biasa (lagi), aku langsung menuju toilet lantai dua untuk pipis. Begitu masuk toilet, aku langsung menuju bilik terdekat, angkat rok, turunin celana dalam, lalu duduk di kloset sambil tersenyum lega saat pipisku mengucur. Lega...

Oke, sekarang saatnya nungguin Fah. Jadi, kubuka pintu bilik, dan...

"Fred?" Aku seketika mengambil langkah mundur saat mendapati Freddy ada di depan bilik yang kumasuki. "Ngapain kamu di toilet cewek?!"

Aku perhatiin kondisi dia ga normal banget. Napasnya memburu kencang, sorot matanya tajam, dan dia keringetan terus sampai keliatan lepek. Bahkan ada urat yang menonjol di pelipisnya, indikasi bahwa dia sedang dalam kondisi tegang.

Lagian, kok dia bisa tau kalo aku ada di toilet ini? Bahkan sampai nunggu di depan bilik yang aku masuki. Dia ngikutin aku tanpa aku sadar, gitu?

"Dea, please, k-kasih aku seks... kali ini, aja. A-aku beneran ga tahan..."

"Engga mau, Freddy. Yang di belakang sekolah itu pertama dan terakhir." Aku pun ngumpulin keberanian untuk menerobos blokadenya. "Minggir. Aku mau pulang."

"Ga boleh, Dea. Kamu ga boleh pulang." Pelan-pelan, dia mendekatiku. Sumpah, dia nyeremin banget! Sekarang dia bahkan sudah masuk ke bilik. "Kalo kamu pulang, nanti aku gimana? Aku udah ga mempan kalo cuma masturbasi. Please, Dea. Kita kan udah ngelakuin ini sekali. Ga ada bedanya kan kalo ngelakuin lagi?"

"Fred, jangan gila, deh. Jangan maksa aku, dan jangan bebanin masalah kamu ke aku. Sekarang minggir, aku mau pulang, beneran!"

"Ga bisa! Kamu ga boleh pulang!"

Gawat, gawat, gawat! Freddy makin ngedorong aku jauh dari pintu bilik. Dia bahkan langsung tutup dan kunci pintu. Terus... dia buka celananya, dan langsung keluarin kontolnya. Tegang banget, udah keras gitu. Tapi dia mau ngapain? Kenapa dia nyodorin kontolnya ke aku? Kan aku ga mau. Kok dia maksa? Aku mau diapain sama dia? Eh, eh... apa aku mau diperkosa?

Rasa ngeri yang menjalar cepat ke seluruh tubuh, bikin aku refleks membuka mulut. "TOL—"

"Ssshhh... jangan berisik, Dea. Ini cuma sebentar, kok," potong Freddy, sambil membekap mulutku tepat sebelum aku sempat teriak.

Tentu saja aku meronta. Aku melawan sekuatnya. Tapi sebuah tinju telak menghantam perutku. Aku langsung duduk di kloset dan melipat badan sebagai reaksi spontan agar mengurangi rasa sakit yang kurasa. Aku bahkan ga bisa bersuara saking ga bisa mengatasi rasa sakit di perut ini. Di sisi lain, Freddy makin mendekat. Dia bahkan ga peduli denganku yang lagi merintih kesakitan.

Maka, dengan lengan lemahku, aku berupaya mendorong dia untuk ga makin dekat. Tapi sia-sia. Tanganku gampang dia singkirin begitu aja. Saat berhasil gapai aku, dia malah maksa aku berdiri. Lalu badanku diputar dan sekarang membelakanginya. Sambil angkat rokku dan turunin celana dalamku, dia bilang, "Kalo kamu nurut, aku ga akan mukul kamu lagi. Diem aja, ya?"

Aku mengangguk cepat. Aku ga mau dipukul lagi. Rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Aku ga mau ada rasa sakit tambahan. Jadi... dengan seluruh badan gemetar menahan takut, kulebarkan paha. Aku pun berusaha menungging, dan kedua tangan bertumpu di dinding bilik. Tapi badanku ga mau menurut. Poseku kaku. Punggungku ga semeliuk saat aku sukarela minta dientot cowok-cowok yang selama ini nikmatin badanku.

"Ma-mana sih lubangnya? Ah, ini dia. D-Dea... aku masukin, ya..."

"Fred, nanti dulu, nanti dulu, aku belum basah! Nanti malah sakit di akunya kalau dipaksa—nggghhhhh... sakit, sakit, udah, jangan tambah dimasukin... sakit, Fredd... sakit, beneran—"

Satu tinju lagi menghantam punggungku. Rasanya dadaku langsung sesak, dan seketika suaraku tertahan.

"Diem, Dea. Diem. Mau dipukul lagi?"

Aku spontan menggeleng cepat. Iya, iya, aku nurut. Aku ga mau dipukul lagi. Sakit banget. Aku kapok. Makanya, aku gigit bibirku sendiri sebagai upaya terakhirku untuk menahan sakit dan perih di memekku saat kontol Freddy masuk makin dalam. Ketika kontolnya sudah masuk semua, air mataku tiba-tiba mengalir. Aku menangis... tapi untuk apa? Hal apa yang aku tangisi? Kenapa sekarang hatiku merasa sedih dan sakit yang teramat sangat?

Untuk beberapa kali sodokan, aku harus menahan perih yang luar biasa karena memekku masih ga keluarin cairan pelumas. Kontol Freddy jadi seret banget, dan rangsangan yang diterima saraf pada dinding memekku bukan rasa nikmat, tapi sakit perih. Lalu pada sodokan yang entah keberapa kali, rasa perihku mulai reda. Memekku mulai keluarin pelumas, dan rasa enak sedikit demi sedikit bisa kuterima.

Tapi aku ga mau ini! Kenapa sih badanku kayak berkhianat? Aku ga mau ngentot, aku ga mau badanku kotor saat harus menyambut Abi dan Umi nanti! Aku ga mau nikmatin kontol Freddy, tapi kenapa memekku justru malah kirim sinyal rangsangan ke otakku? Aku ga mau, beneran. Aku mau udahan. Aku mau pulang...

"Enak, ya? Enak, kan? Ngeseks sama aku enak, kan? Hhh... hhh... Dea, bilang enak, gitu."

Iya, sodokannya memang enak, tapi aku menolak untuk mengakui. Aku ga mau ini. Mau seenak apapun dia mentokin kontolnya di memekku, hatiku ga bisa dipaksa. Kelaminku bisa menikmati, tapi hatiku sakit. Aku mau ini berakhir secepatnya.

"Dea, bilang enak, hhh... hhh... dong! Mau aku pukul lagi? Ga kapok?"

Engga, aku ga mau dipukul. Aku takut. Iya, aku nurut. "Iyahhh... enak... sodokan kamu enak... ahhh, ahhh..."

Tiba-tiba, HP-ku yang ada di saku seragam bergetar. Kayaknya ada telepon masuk. Buru-buru kurogoh saku, dan ngeliat ke layar HP. Jantungku rasanya seperti dipukul godam saat ngeliat nama kontak yang tertera di layar. Abi. Aku langsung panik. Tanganku pun menggapai-gapai Freddy, berusaha bikin dia berhenti. Tapi usahaku percuma. Dia kayak orang lagi kalap.

"Fred, ayahku nelpon! Tunggu sebentar... ahhh, aahh... aku serius... berhenti dulu—mmmpph—"

"Persetan sama ayah kamu. Kalo berani, angkat aja telponnya, hhh... nanti biar ayah kamu tau... kalo kamu lagi jadi budak seks aku!"

Mulutku langsung dia sumpal dengan tangannya. Bahkan lubang hidungku juga dia tutup, bikin aku kesulitan bernapas. Disaat yang sama, sodokannya jadi makin ga beraturan. Temponya dipercepat, dan tiap sodokannya terasa keras dan mentok sampai ke ujung memekku.

"Keluar, nih... ahh, ahh, Dea, aku keluar, aku... nngghhhh!"

Freddy menyodokkan kontolnya dalam-dalam saat dia ejakulasi. Pejunya jadi bermuncratan ga karuan di dalam memekku. Setelah sodokan kuatnya, kontol dia masih berdenyut beberapa kali, sebelum akhirnya dia cabut dengan kasar. Lalu, aku didorong hingga jatuh duduk di samping kloset. Aku ga tau apa lagi yang terjadi, karena saat aku membuka mata, Freddy lagi membuka pintu bilik lalu pergi ninggalin aku begitu aja.

Untuk beberapa detik, aku cuma bengong memandangi ruang toilet yang kosong. Getar HP nyadarin aku dari kondisi bengongku. Pelan-pelan, aku bangkit lalu kututup dan kukunci pintu bilik. Aku pun duduk di kloset, tanpa merapikan seragam bawahku yang masih acak-acakan.

Aku liat layar HP. Abi telpon aku untuk yang kesekian kali. Kutarik napas dalam-dalam, coba tenangin diri. Lalu aku mencoba senyum, kemudian mencoba-coba intonasi suara yang riang. Setelah yakin, aku mengangkat telpon.

"Assalamu'alaikum, Anaknya Abi dan Umi." Terdengar suara Abi dan Umi dari seberang telepon.

"Abi, maaf. Dea ga bisa ucapin salam, lagi di toilet." Aku menelan ludah untuk meredam getar pada suaraku. Harus dibuat ceria, Dea!

"Oh, apa Abi telepon nanti aja?"

"Ga, ga apa-apa. Dea masih lama juga kayaknya. Takut ada yang penting."

"Oke, deh. Bismillah," sekilas, ada jeda di kalimatnya, "Anaknya Abi, ada kabar baik, nih! Abi sama Umi bisa pulang sekarang. Abi udah dapet izin. Ini lagi siap-siap loading barang ke bagasi mobil."

Suara Abi yang berat terdengar riang saat nelpon aku. Kayaknya Abi lagi seneng banget. "Syukurlah, Abi. Nanti Dea masak, deh. Abi sama Umi mau dimasakin apa?"

"Ga usah repot-repot, Sayang," kali ini suara Umi yang terdengar, "Kamu masak buat makan siang kamu aja. Kami paling sampenya abis Maghrib. Nanti setelah drop barang, kita makan di luar, ya?"

"Waaah... beneran? Yaudah, Dea tunggu, ya. Oh iya, pulangnya hati-hati di jalannya. Bilangin Abi ga usah ngebut."

"Yaaah... padahal Abi mau pecahin rekor Abi yang kemarin, tuh," giliran Abi yang bersuara.

"Abi nurut kek sama anak sekali-sekali," balasku.

"Iya, iya. Abi cuma bercanda." Lalu, kudengar suara mereka bicara berbarengan, "Yaudah, tungguin kami, ya. Wassalamu'alaikum, Sayang."

"Iya, Abi, Umi. Dea tutup, ya."

Saat aku sudah mastiin kalau telponnya beneran berakhir, aku langsung menunduk. Seketika, tangisku pecah. Aku ga tau kenapa bisa sesedih ini, tapi aku merasa kalau aku benar-benar bikin mereka kecewa. Aku tau mereka ga tau kalau aku habis diperkosa. Tapi aku beneran kecewa sama diri sendiri. Aku merasa kotor. Aku ga bisa menyambut kedua orangtuaku dengan kondisi sekotor ini.

Tangisku jadi makin deras. Aku bahkan sudah ga tau aku menangis untuk apa. Tapi hatiku jadi makin terasa sakit. Sakit banget. Menjalar hingga ke tiap sudut badan. Di tiap rasa sakitnya, muncul juga rasa hina dan rendah diri. Bahkan aku bisa-bisanya nyalahin diri sendiri atas perkosaan yang menimpaku. Rentetan kejadian ini terjadi karena aku nurutin egoku. Kalau saja aku ga macam-macam dengan Freddy dari awal, aku ga akan merasa serendah ini sekarang.

Bukan. Harusnya lebih kutarik lagi kebelakang. Ke akar masalahnya. Kalau saja aku ga dicekoki obat dan diperkosa Pak Jumadi, aku ga akan jadi perempuan murahan sakit jiwa begini. Hidupku sekarang berantakan, mentalku hancur, sifatku jadi banyak berubah. Diatas semua itu, aku jadi cewek hiperseks yang narsis, egois, dan self oriented. Aku ga bisa balik ke versiku yang dulu. Ga akan bisa. Sekarang aku merasa kayak barang bekas yang ga bisa didaur ulang.

Rusak. Cacat. Kotor. Hina. Menjijikan.


———


"Dea, kamu beneran ga apa-apa?"

Ekspresi khawatir tercetak jelas di wajah Fah. Pandangannya ga lepas dariku. Meski berkali-kali aku bilang bahwa aku baik-baik saja, tapi Fah tetap ga percaya. Saking khawatirnya, dia bahkan ga mau beranjak masuk mobil meski aku bilang ga jadi ikut pulang sama dia.

"Aku beneran ga apa-apa. Cuma agak ga mood aja. Aku kayak lagi pengen sendiri dulu," buru-buru kutatap dia, sambil memaksakan senyum, "Eh, ini ga ada hubungannya sama kamu, loh."

"Aku ngerti. Yang aku ga ngerti, kenapa kamu tiba-tiba jadi murung gini? Ada yang jahatin kamu, ya?"

Pertanyaan terakhirnya tepat banget. Iya, memang ada yang jahatin aku. Tapi aku ga mau cerita. Aku capek. Aku mau nanggung semuanya sendiri aja. Ga mau libatin orang lain lagi. Jadi, kujawab pertanyaan Fah dengan gelengan kepala. "Aku cuma sedih, orangtuaku ga jadi pulang hari ini," kataku, lirih. Duh, aku bohong lagi.

"Yakin cuma itu?"

"Beneran." Kuacungkan dua jari, membentuk huruf V. "Jadi, aku mau sendiri dulu, ya. Nanti kalo aku udah enakan hatinya, aku mau denger cerita kamu."

"Oh, soal itu... aku kasih teasernya, deh." Fah pun deketin mulutnya ke samping kepalaku. Sambil berbisik, dia bilang, "Bukan aku pembunuhnya, Dea. Aku ga punya kemampuan dan mental sehebat itu, aku cuma anak SMA biasa, kayak kamu. Tapi... aku emang serahin 'pekerjaan'nya ke profesional. Ada tim pengamanan privat milik keluargaku, yang kadang bisa dialihfungsi sebagai... eksekutor."

"That's... a relief." Kuelus pipinya, lalu memberi senyum manis padanya. "Makasih banyak, ya."

"Kamu lega karena bukan aku yang ngelakuin?"

"Bukan, kok."

"Terus, lega kenapa?"

"Karena udah tau fakta sebenarnya. Fakta bahwa orang-orang itu mendapatkan kematian yang ga mudah, dan kamu memfasilitasi dendam aku dan Laras dengan sangat baik. Itu melegakan, tau."

"Tapi... aku pelaku pembunuhan berencana, loh. Kamu ga apa-apa masih temenan sama aku?"

"Don't fucking care. We'll both go to hell, anyway. So why bother?"

"Indeed. Why bother?"

Kami pun tertawa lepas. Untuk sekejap, aku melupakan fakta bahwa aku baru saja jadi korban perkosaan, dan malah menikmati momen dengan Fah. Karena di detik setelahnya, otakku yang rese ini kembali membawa ingatan kejadian di toilet tadi. Tawaku pun perlahan memudar.

"Nona Fah." Seorang pria berbadan tegap dan berbaju safari hitam, muncul dari balik pintu kemudi mobil Fah. "Tuan Besar baru saja telepon, pesannya minta Nona supaya cepat pulang."

"Oh, oke. Nyalain mesinnya dulu aja, Gio. Nanti aku masuk," balas Fah kepada pria itu. Lalu, Fah beralih kepadaku. Matanya memandang jauh ke dalam mataku. Lekat dan teduh. "Baik-baik, ya," katanya, lembut.

"Iya, kamu juga."

Setelah memberi pelukan hangat, Fah masuk ke dalam mobil lewat pintu belakang. Sembari mobilnya melaju, dia buka kaca dan berkali-kali melambaikan tangannya sampai mobilnya lewati gerbang dan hilang dari pandanganku.

Sepeninggal Fah, aku mutusin untuk pulang. Saat melewati gerbang sekolah, aku ngeliat sosok yang aku kenal banget. Freddy. Dia lagi jalan bareng dua orang dewasa, keluar dari warung mie ayam yang berada di samping SMP yang menempel dengan sekolahku. Mereka bertiga menuju mobil sedan yang terparkir di pinggir jalan. Si pria dewasa langsung menuju pintu kemudi, sedangkan yang wanitanya sedang membukakan pintu buat Freddy.

Aku tebak, mereka adalah kedua orangtuanya. Astaga, dia... bisa-bisanya makan mie ayam bareng keluarga, sehabis merkosa dan mukulin perempuan? Aku ga bisa berkata-kata. Beneran. Saking syoknya, badanku sampai menegang dan kaku.

Menyadari kehadiranku yang lagi mengamatinya, Freddy pun nengok ke aku. Ga sampai sedetik, dia langsung memalingkan muka. Aku masih belum berkedip saat ngeliat dia masuk ke mobil, bahkan setelah mobilnya melaju pergi. Pandanganku masih lurus, memandang kosong pada jalanan yang sedang dilalui kendaraan.

Tanganku pun mengepal. Gigi bergemelutuk menahan geram. Sorot mataku menusuk tajam. Kuingat-ingat lagi sorot matanya saat nengok ke aku, tadi. Pun dengan ekspresi mukanya. Tatapan jijik dan ekspresi merendahkan darinya itu ga akan hilang dari ingatanku. Dia baru berhasil perkosa aku sekali, lalu jadi merasa menang, gitu? Gila, darahku ga pernah semendidih ini.

Aku berjanji, setelah kuhabiskan momen dengan Abi dan Umi, akan kubalas dia, dan kubuat menderita sampai dia merasa saking putus asanya, dia ga akan sanggup hidup di dunia ini lagi. Kutarik lagi kata-kataku tentang hidup damai karena melepaskan amarah dan dendam. Engga, ternyata dendam itu harus tetap ada. Sebagai bensin untuk amarah, agar nyala apinya tetap berkobar dan membakar.

Just you wait. Eye for an eye, bangsat.






Nympherotica♡
 
Terakhir diubah:
Whoa....
Freddy.....
What have you done....?
 
Play stupid game. Win stupid prize.

Kalo Dea ga ngasih obat ke minuman Fredy, Fredy bakal ttp jadi bocah culun.

🙃😶
 
Freedy, wait the hell come to you. Salah udah perlakuin demon kayak gt
 
Bimabet
Freddy kutu kupfredd harus dibalas.... Harus merasakan juga dia "diperkosa" Sampe jatuh mental dan berubah orientasi wkwkwk....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd