Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
so far, ini salahsatu cerita terbaik yang pernah aku baca di semprot. seksi, menggairahkan, tapi juga agak humanis dan inklusif. ditunggu kelanjutannya!
 
Chapter 10 — Wild Night part 2





Setelah lebih dari satu jam perjalanan, akhirnya mobil yang kami tumpangi sampai juga di depan rumahku. Aku segera buka gembok pagar, lalu dorong pagarnya sehingga mobil Bu Siska bisa masuk ke pelataran rumah. Begitu sudah parkir, kumpulan cewek-cewek berhijab ini segera mengekor di belakangku untuk masuk ke dalam.

Iya, yang ceweknya memang berhijab. Cuma satu orang yang ga berhijab, dan itu pun dipertanyakan gendernya.

Berada di komplek perumahan di daerah Mampang, Depok, rumahku terletak di paling ujung pada blok K. Rumahku sendiri terkesan terisolir, karena di samping kiri dan seberang rumah tuh masih berupa kavling tanah kosong yang ditumbuhi rerumputan tinggi. Sementara rumah-rumah tetangga berada di sebelah kavling kosong tersebut. Abi yang waktu itu lagi kaya-kayanya (dan dibantu sama mertua), membeli dua kavling di perumahan ini, lalu dibangun jadi satu rumah yang cukup besar.

"Gede juga rumahnya Dea, ya," begitu komentar Fah yang melongo saat melihat bangunan rumahku.

"Emang kamu tinggal dimana selama di Jakarta, Fah?" tanyaku, penasaran. Aku ingin mastiin soal dugaanku tentang cewek(?) ini.

"Apa, tuh, apartemen gitu, deh. Papaku cari rumah yang bisa disewa selama di Jakarta, tapi ga ada yang cocok. Akhirnya ketemu di daerah Xeno... apa sih itu, Xenopethy?"

Aku merengut saat mendengar kata ganjil itu. "Itu di daerah mana?"

"Jakarta Selatan, kayaknya."

"Mungkin itu daerah Senopati, ya?" Sekarang, giliran Bu Siska yang nanya.

"Nah, iya itu! Senopati! Aku tinggal di Senopati Suite. Kalo kata Mama, itu apartemen griya tawang, gitu."

Aku dan Laras masih kebingungan dengan istilah 'griya tawang', sementara Bu Siska tampak menarik nafas dalam-dalam. Aku pikir Bu Siska tau istilah itu, jadi aku tanya ke dia apa itu griya tawang.

"Kita...," Bu Siska menatapku dengan tatapan mengiba, "...lebih akrab dengan istilah asingnya daripada saduran ke Bahasa Indonesia. Griya tawang itu kalo orang luar biasa nyebutnya... penthouse."

Oh. Sekarang aku tau arti dari tatapan iba Bu Siska. Dia meratapi nasib kami bertiga; aku, Laras, dan dirinya sendiri, yang levelnya jauh berada di bawah Fah. Karena sering nonton drama korea, aku cukup sering liat penthouse yang dipakai sebagai latar tempat tokoh utama yang kaya raya. Jenis apartemen yang cuma bisa aku liat di drakor itu, kini ditinggali oleh salah satu teman baruku, yang bahkan gendernya aja bikin bingung.

Fah yang terlalu polos untuk ngerti seberapa mahalnya harga penthouse, cuma menatap kami bertiga dengan pandangan kebingungan. Dugaanku ternyata benar. Fah ini super duper kaya raya. Dia bahkan pakai tas ransel dari brand eksklusif buat bawa buku pelajaran! Aku pikir tadinya itu barang KW, tapi setelah tau kalau Fah tinggal di penthouse, aku jadi yakin tas ransel seharga puluhan juta yang sedang dia gendong ini adalah barang asli.

"De, udah yuk meratapi nasibnya. Gua seret, nih. Butuh minum. Kira-kira berapa lama lagi kita dapet minum, De?" seloroh Laras, memecah keheningan.

Karena disindir Laras, aku baru ngeh kalau belum sajiin minum ke tamu-tamuku. Loh, bahkan kami aja belum masuk ke dalam rumah. Segera aku copot sepatu, lalu ngacir duluan ke dapur. Ku bikinin sirup sisa lebaran untuk empat gelas. Ga lupa kubus-kubus es batu ku tumpahkan ke satu wadah besar, biar mereka bisa ambil sendiri seberapa banyak untuk gelasnya.

Saat kembali ke ruang tamu, aku ngeliat ekspresi terkejut Fah. Dia bengong saat Bu Siska dan Laras sudah lepas jilbab. Rambut lepek Bu Siska langsung tergerai lemas, sementara kondisi rambut Laras masih lebih segar karena dia pakai jilbabnya asal-asalan, jadi lebih berkesempatan dapat udara yang masuk lewat sela-sela jilbabnya yang ga rapat. Laras punya rambut panjang sepunggung yang agak ikal di bagian bawahnya, sementara Bu Siska kayaknya potong rambut jadi sebahu. Duh, jadi keliatan lebih seger, ga, sih?

"Loh, Bu Siska sama Laras kenapa lepas jilbab?" tanyaku, heran.

"Ya kan ga ada cowok di sini. Masa di depan sesama cewek, masih harus dipake jilbabnya?" balas Laras.

Aku cuma bisa tersenyum kecut. Andai aja mereka tau kalau Fah ini cowok...

...yang sedang dalam tahap jadi cewek seutuhnya.

Setelah melepas dahaga, aku bilang ke mereka kalau mau goreng kroket beku dulu buat cemilan. Aku baru ingat kalau punya banyak cemilan beku di kulkas. Mending inisiatif, daripada nanti disindir Laras lagi.

Dapurku letaknya ada di belakang, melewati ruang tengah, ruang makan, dan lorong yang terdapat kamar-kamar di sisi kiri dan kanannya. Jadi ga akan kelihatan dari ruang tamu. Ternyata saat aku menuju dapur, ternyata Bu Siska mengekor di belakang. Aku baru sadar, karena begitu nengok ke belakang, Bu Siska langsung pojokin aku ke pintu kulkas. Belum sempat aku bereaksi, Bu Siska langsung melumat bibirku dengan ganas. Agresif banget ini guru. Tak patut, tak patut...

"Mmhhhh... Ibu kangen banget sama kamu, Dea." Bu Siska sejenak menarik bibirnya dari bibirku, lalu pandangi aku dengan tatapan mesra. "Sekarang Ibu punya banyak waktu sama kamu. Ibu ga sabar mau lepas kangen!"

Bu Siska ga menunggu respon dariku. Dia kembali melumat bibirku, kali ini lebih ganas dari yang sebelumnya. Aku sampai kewalahan mengimbangi lumatan bibirnya, yang bergerak lihai pada bibirku yang licin. Mungkin karena ga dalam kondisi yang terlalu terangsang, aku jadi bersikap lebih pasif dalam merespon ciuman Bu Siska. Pagutan bibirnya ku balas seadanya, dan hanya merespon singkat saat lidahnya mengajak lidahku menari.

Tapi ciuman liar Bu Siska justru mulai bangkitin lagi gairahku. Perlahan namun pasti, sensasi panas di badanku kembali muncul. Rasa panasnya bikin aku terangsang. Ketika bibirku terus dilumat Bu Siska, otakku mulai bayangin hal-hal mesum yang mau aku lakuin dengannya. Nafasku jadi memburu. Dadaku turun-naik dalam tempo yang cepat. Sementara tanganku mulai menggerayangi pinggangnya.

Begitu aku sudah lebih hanyut dalam permainannya, Bu Siska justru lepasin diri dariku. Dia mundur tiba-tiba, lalu bersandar di pinggir meja keramik. Aku yang merasa kehilangan, cuma bisa kebingungan sambil ngeliatin Bu Siska. Bibirku masih membuka, berusaha memancing Bu Siska untuk melumatnya lagi.

Tapi Bu Siska tetap berdiri di tempatnya. Dia malah mengusap bibirnya yang basah karena berlumuran liur. Lipstick merah merona yang dia pakai juga memudar karena berciuman denganku.

"Bu... eh, kok... udahan?" tanyaku, kebingungan. Aku refleks mendekati Bu Siska. Tanganku berusaha menggapai badannya, supaya ketika aku sudah bisa meraih dia, aku bisa ngelanjutin lagi sesi ciuman liar tadi. "Akunya ngerasa kentang, nih, Buuuu! Masa tiba-tiba udahan, sih?"

"Mulai 'panas' lagi, ya, badannya? Rasa panasnya muncul setelah kita ciuman tadi, ya?" tanya balik Bu Siska. Nada bicaranya kedengeran banget seperti ilmuwan yang sedang mengobservasi kelinci percobaannya. "Asumsi Ibu makin mengarah ke positif, Dea. Sejujurnya, selain memang beneran kangen, Ibu juga mengobservasi sikap kamu yang jadi lebih pasif dari pagi ini. Menurut Ibu, perbedaan drastis dari kamu yang agresif secara seksual kemarin, dengan hari ini yang... lebih pasif, kemungkinan besar berhubungan dengan gairah kamu yang menurun. Mungkin efek obatnya mereda, entah. Tapi kalau sesuai dengan teori Ibu, obat itu sudah bercampur dengan darah—bahkan mungkin sudah di level sel. Cuma butuh stimulus untuk bikin efek obatnya aktif lagi. Makanya, mungkin, sekarang kamu sedang merasa badannya 'panas', kayak kemarin-kemarin, karena kandungan kimia dalam obat perangsangnya bereaksi lagi."

"Nggg... maaf, tapi aku ga follow penjelasan Ibu. Kepalaku pusing banget. Sekarang juga badanku makin panas, nih. Akunya horny banget!" Aku pun berhasil meraih bajunya. "Plis, lanjutin, ya, Bu? Yaaaa?"

Tapi... Bu Siska justru menepis tanganku. Dia mundur ke arah lorong, sambil berkata, "nanti, ada waktunya. Sekarang segitu dulu, ya, Dea sayang. Lebih dari ini, dan kita akan ketahuan, soalnya Ibu alesan mau ke toilet, tadi. Tapi Ibu bisa ulur waktu supaya kamu bisa lepasin tensi seksual kamu. Ibu akan ajak Laras dan Fah ngobrol, sementara kamu bisa..."

"Iya, iya, i know. Aku ga mungkin ga masturbasi, Bu. Memekku udah berdenyut-denyut dan ngerasa basah banget sekarang."

"Si vulgar, emang." Bu Siska menghampiriku lagi. Dengan cepat, dia mengecup keningku. "Maaf, ya, kalau kesannya kamu jadi bahan observasi Ibu. At some point, I can't resist your charm, Dea. Kamu terlalu menggairahkan untuk ga dicium."

Udah, deh. Dia pun pergi ke ruang tamu. Ninggalin aku yang kebingungan, sendirian. Seiring rasa panas yang semakin menjalar ke seluruh badanku, rasa hornyku pun melonjak naik secara mendadak, hingga dibatas yang ga tertahankan. Kepalaku makin sakit. Rasanya kayak mau pecah. Aku bisa ngerasain urat-urat di pelipisku menegang.

Aku... harus cari pelampiasan. Aku harus pakai sisa akal sehatku untuk menguasai keadaan, sebelum aku benar-benar lepas kendali. Ku buka kulkas, dan mencari-cari apapun yang bisa aku pakai untuk bermasturbasi. Plastik demi plastik ku keluarkan. Didorong rasa panik, horny dan sakit kepala yang makin parah, aku makin ga karuan saat mencari isi kulkas.

"Timun? Oh, iya, masih ada timun!" Aku tersenyum lebar saat nemuin sebatang timun segar yang tersimpan di salah satu plastik kresek pada boks sayur. Ini bisa banget aku pake!

Tanpa ragu, aku ambil timun itu, lalu pergi ke kamar mandi terdekat dari dapur setelah beresin asal isi kulkas yang aku acak-acak. Aku tutup pintu kamar mandi, lalu duduk bersandar pada dinding keramik. Aku ga peduli rok abu-abuku basah oleh lantai. Aku pun tarik ke samping pada bagian celana dalamku yang tutupi selangkangan, lalu mengangkang selebar mungkin.

"Ahhh, iyaaahhh... ini dia, satu... dua... ti—"

Buru-buru ku tutup mulutku saat ku masukin ujung timun ke memekku yang sudah basah kuyup dan berdenyut-denyut. Rasanya agak sakit pas baru masukin. Tapi aku ga peduli. Terus ku paksa masuk timunnya sampai seperempat batangnya sudah berada di dalam memekku. Lalu aku tarik lagi, dan masukin lagi sedikit lebih jauh hingga batang timunnya sudah licin.

Anehnya, aku tersenyum bahagia ketika batang timun itu sesak memenuhi memekku. Cuma butuh sedikit adaptasi selama beberapa saat, dan kini aku sudah lancar menyodok memekku pakai timun.

Aku gunain tangan kanan untuk berusaha menutup mulut rapat-rapat agar ga ada satu pun desahan yang bisa keluar. Sementara tangan kiriku bergerak cepat, maju-mundur menyodok memekku dengan timun. Rasanya ga seenak kontol Pak Jumadi, tapi ini lebih baik daripada pakai jari. Karena sekarang, seluruh bagian liang memekku seperti meronta-ronta ingin dipuasin.

Karena timunnya aku kendaliin pakai tangan sendiri, aku jadi lebih bebas arahin timunnya ke bagian-bagian di liang memekku. Ku arahin ujung timun menggesek dinding atas memek, dimana ketika bagian itu disentuh, rasanya paling enak dan bikin aku menggelinjang. Aku pun melotot saat memandangi tanganku gerakin timun keluar-masuk begitu lancar, malah sampai kedengaran bunyi becek yang nyaring.

Padahal baru sebentar aku sodok-sodok memekku pakai timun, tapi sensasi orgasme itu sudah mulai bisa aku rasain. Rasa geli dan enak yang bergulung-gulung bikin aku makin cepat sodok memekku. Kakiku sampai menegang, dan pinggulku mengangkat sementara punggungku merosot ke lantai kamar mandi yang basah. Aku ga peduli seragamku sekarang mulai basah, toh nanti ganti baju juga. Fokusku sekarang cuma gimana caranya aku bisa orgasme.

Dan rasa enak yang mengumpul itu makin menjadi-jadi. Aku yang makin dekat dengan orgasme, langsung cabut timun dengan kasar, dan cairan pipisku pun menyembur deras. Pinggulku bergetar heboh saat orgasmeku datang. Getarannya senada dengan pipisku yang menyembur amat deras, bagai air yang jebol setelah sekian lama tertampung di bendungan.

Setelah badai orgasme mereda, pinggulku langsung ambruk ke lantai. Badanku tergolek lemas, dengan kedua paha yang mengangkang lebar. Untuk beberapa saat, pemandanganku hanya berupa plafon putih kamar mandi, sampai akhirnya dengan sisa tenaga aku pun bangun.

Saat berdiri, aku spontan sadarin sesuatu. Sakit kepalaku hilang, dan kepalaku sekarang rasanya enteng banget. Badanku juga jadi jauh lebih rileks dari biasanya. Pasti efek orgasme, nih. Ajaib, ya. Kalau saja aku tahu dari dulu bahwa masturbasi bisa bikin rileks, niscaya aku dengan senang hati bermasturbasi tiap sebelum ujian sekolah.

"Yaaahhh, becek banget, nih." Aku menghela nafas saat mencopot celana dalamku, dan ngeliat benda itu sudah basah kuyup. "Pisahin dulu, susah nyucinya."

Ku gantung celana dalamku di gantungan yang terpasang pada dinding, lalu bersiap keluar kamar mandi untuk ganti baju. Seragamku basah oleh air di lantai kamar mandi, soalnya. Lalu setelah aku bangun, aku menyadari masalah baru. Timun yang tergeletak di lantai ini harus ku apain?

Kalau aku keluar sambil genggam timun, nanti jadi pertanyaan kalau ada yang liat. Diumpetin pun aku ga ada kantong. Lalu, muncul ide cemerlang yang agak bobrok di kepalaku.

Sambil berdiri, aku buka lebar kedua pahaku. Lalu, pelan-pelan aku masukin lagi timun itu ke memekku. Ahhh... rasanya enak, dimasukin lagi. Aku masukin lebih jauh, sampai timunnya terbenam di dalam memek. Lalu, aku menjepit paha supaya si timun ga turun dan keluar. Setelah urusan timun beres, aku pun menuju ke pintu.

Tepat saat aku buka pintu, ada Fah yang sedang berdiri di depanku. Sambil meringis dan memegangi selangkangan, dia berkata, "aku pinjem kamar mandinya, ya? Aku mau... pipis...."

"Eh-oh, iyaudah," aku gelagapan karena kaget mendapati Fah berada di depanku, "silahkan, Fah."

Sumpah, aku kaget saat tahu ada Fah. Tiba-tiba aja dia muncul dari balik pintu. Kayaknya kekagetanku juga berasal dari faktor bahwa aku percaya kalau Bu Siska bisa ulur waktu supaya ga ada yang ke arah dapur dan kamar mandi. Ulur waktu my ass...

Awalnya, aku berusaha santai saat aku minggir supaya Fah bisa masuk ke kamar mandi. Tapi ketika mataku melirik cepat ke bagian selangkangan Fah yang dia pegangin terus itu, aku pun bengong seketika saat ngeliat tonjolan besar pada roknya. Maksudku, itu menonjol banget sampai keliatan jelas. Pantes dia tutupin terus pakai tangan.

Aku pun iseng ngelirik ke belakang saat Fah sudah di dalam. Dia sekarang sedang menyingkap roknya, dan keluarin kontolnya yang... astaga... gede banget! Kontolnya berwarna putih kemerahan, dengan urat-urat yang menegang di sepanjang batangnya. Mungkin karena aku ga begitu jelas ngeliat kontol dia saat di toilet sekolah, aku jadi kaget saat ngeliat kontolnya sekarang. Kontol yang pertama kali ku lihat itu punya Pak Jumadi, dan bahkan punya Fah jauh lebih baik dari punya si bapak itu.

Maksudku... panjangnya, diameternya... gila, udah panjang, gede lagi! Aku jadi ngiler dan cuma bisa bengong sambil ngeliatin terus ke arah kontol Fah yang sedang keluarin air kencing ke lubang toilet. Gimana bisa dia nyembunyiin kontol segede itu di balik rok panjang?

"Ih, malu ah diliatin gitu!"

Fah buru-buru tutup pintu kamar mandi, dan aku langsung kecewa karena kehilangan tontonan. Merasa kecewa, aku pun berlalu ke kamarku untuk ganti baju. Sepanjang jalan di lorong, aku terbayang-bayang kontol Fah yang gede itu, dan malah bikin memekku berdenyut-denyut lagi. Apalagi karena sedang ada timun di memekku, denyutannya jadi lebih berasa.

Haduh... gara-gara kontol Fah, sih. Rasanya pengen banget masukin kontol itu ke memekku. Pasti bisa sampai mentok banget.

Lalu aku berandai-andai, apakah Fah bisa terangsang kalau sama cewek? Tapi masa iya dia bisa terangsang, dia saja pengen jadi cewek, kok. Tapi begitu aku mendengar suara Bu Siska yang sedang ngobrol dengan Laras, aku jadi kepikiran sesuatu. Bu Siska yang ngaku kalau orientasinya normal saja bisa terangsang sama aku, berarti bisa berlaku juga buat Fah, kan?

"Timun tadi sih ga ada apa-apanya sama punya Fah," gumamku sambil manyun-manyun.

"De, ngapain di dapur, lama amat?" tanya Laras begitu melihatku keluar dari lorong.

"Goreng kroket, lah," jawabku, sinis. Laras nanyanya ga enak banget nadanya.

"Terus, kroketnya mana?" tanya dia lagi. Kali ini, matanya sambil menelusuri sekitarku.

"Eh... itu... ehehe, sebentar, ya. Kroketnya masih... nggg... masih beku, ini lagi dicairin. Tunggu, yaaaa."

Segera aku balik ke dapur, padahal tadinya sudah sampai di depan kamar. Biarin deh masih basah-basahan gini, yang penting gorenf kroket dulu. Biar ga bawel lagi tuh anak.

Tapi begitu aku sampai dapur, Fah baru aja keluar dari kamar mandi. Mukanya keliatan capek, tapi juga keliatan segar. Pas ngeliat aku, Fah langsung senyum lebar. Ih, manis banget senyumnya.

"Makasih, ya, kamar mandinya," katanya. Fah lalu buru-buru pergi ke depan.

Saat Fah sudah pergi, aku langsung masuk ke kamar mandi. Aku lupa beresin celana dalamku tadi. Pasti Fah ngeliat deh pas pakai kamar mandinya. Tapi begitu aku ngeliat celana dalamku, aku langsung sadar kalau letaknya sudah berbeda dari saat aku tinggalin tadi.

Di gantungan, ada lima pengait, dan aku hafal tadi tuh aku gantung celana dalamku di pengait kedua dari kiri. Nah, sekarang ada di tengah. Berarti ada yang pindahin, kan? Sementara yang ke kamar mandi setelah aku cuma Fah, berarti dia yang pindahin letak celana dalamku.

Tapi buat apa dia pindahin? Oh, apa celana dalamku sempat jatuh tadi, ya?

Aku pun ambil celana dalamku, untuk kumasukin ke plastik sebelum aku taruh di keranjang kotor. Tapi begitu aku genggam, aku merasa ada hal ganjil yang aku rasain di telapak tanganku. Rasanya telapak tanganku jadi lengket. Begitu aku cek, ternyata di bagian selangkangan pada celana dalamku terdapat banyak cairan putih kental. Cairannya sendiri saking banyaknya sampai melumuri seluruh bagian itu.

Aku colek telapak tanganku yang terpapar cairan itu, lalu aku emut telunjukku. Eemmm... ini peju. Tapi kalau peju...

"Masa iya, sih, dia pake celana dalamku buat masturbasi?" Aku pun berpikir keras, "tapi kalau begitu, berarti dia terangsang sama aku, gitu? Jadi ini bikin dia ga normal, dong? Eh, atau malah jadi normal, karena dia suka sama cewek? Eh, gimana, sih? Ga tau, deh!"

Proses berpikir kerasku justru malah bikin aku pusing sendiri.

Terlepas dari orientasi Fah yang sudah lempeng atau temporer aja, aku jadi senyum-senyum sendiri saat tahu celana dalamku dia pakai buat masturbasi dan tumpahin pejunya ke celana dalamku. Ih, harusnya mah marah, bego! Tapi ya gimana... pikiranku kotor, sih.

Tanpa pikir panjang, aku pakai lagi celana dalamku. Saat bagian yang terdapat peju itu bersentuhan dengan bibir memekku, aku pun senyum-senyum sambil merinding geli. Ngebayangin ada peju orang lain di celana dalam yang aku pakai justru malah bikin aku horny lagi.

Aku pun mutusin untuk pakai celana dalam ini seharian. Biarin, ga akan aku lepas bahkan setelah ganti baju. Lalu, setelah selesai urusan di kamar mandi, aku pun ke dapur untuk lanjutin urusan goreng kroket yang tadi sempat tertunda lama. Pokoknya, kalau kroketnya lama jadinya, salahin Bu Siska aja.

Sekilas, sebuah ide gila melintas di otak mesumku, tepat saat aku sedang menggoreng kroket. Semalam, saat aku dibonceng Pak Jumadi, aku ga sengaja nemuin botol kecil di kantung jaketnya. Aku duga, itu obat perangsang yang sama yang dipakai Pak Jumadi untuk cekokin aku, soalnya botolnya mirip. Jadinya, aku ambil diem-diem deh dari kantongnya. Nah, gini idenya:

Gimana kalau obatnya aku campurin saja ke minuman yang mau aku sajiin ke tamu-tamuku? Kan, lebih banyak orang yang kayak aku, lebih baik. Aku jadi merasa ga sendirian lagi menghadapi siksaan libido ini.

Ga apa-apa. Mereka pasti akan ngerti. Ya, kan?





Nympherotica♡
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd