Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Weh perhatian banget sist sampe mikirin kenyamanan pembaca.
Kalo menurut saya sih tulis aja cerita sesuai kemauan penulis, soalnya kalo nurutin kemauan pembaca ntar malah jadi kemana-mana. Boleh ambil masukan dari pembaca, tapi jangan semua dituruti wkwkw

Okay sist, gapapa, gak harus update tiap minggu, seadanya waktu luang aja, yang penting kalo mau libur setidaknya ngasih kabar wkw
Semoga urusannya diperlancar, biar Dea bisa lanjutin petualangannya 💦

Ameen. Thank you, ya.
 
Hello Sist, i hope you're in a good condition both physically and mentally.

Thank you for saying you will update the story 3 times in a week, that is such a wonderful thing to read. If you already prepared the draft, then it's good, but if you haven't please don't force yourself to update 3 times in a week. I as a reader don't want to burden you.

Keep safe and stay healthy sist, i'm waiting for the update. Success to you
 
Chapter 8 — Unexpected New Friend





Aku telat, aku telat, aku telaaaaat! Gara-gara kemarin aku capek banget, jadinya tidurnya bablas sampai pagi. Padahal, biasanya aku sudah bangun dari sebelum Subuh, loh. Tapi kali ini aku justru baru bangun hampir jam 7! Itu pun karena...

"Rasain, kamu tuh. Makanya kalo tidur jangan sampe bablas gitu. Udah ga subuhan, dibangunin juga susah. Kalo Umi ga ngeguyur kamu, ga bakal kamu inget sekolah."

Umi masih terus ngomelin aku dengan konten yang berulang dari sejak belum berangkat. Meski lagi nyetir, tapi Umi punya konsentrasi luar biasa untuk ngomel sambil ngebut di jalan tol Desari. Tapi tipikal ibu-ibu, konten omelannya selalu sama dan berulang. Persis kayak orang kena dementia.

Aku ga jawab omelan Umi. Pertama, karena aku tahu aku salah, jadi alih-alih daripada membela diri dan malah berujung nambahin masalah, mending diem aja. Kedua, karena mulutku lagi ngunyah sarapan yang baru sempat aku makan di mobil. Umi akan marah banget kalau aku ngomong sambil makan. Kata Umi, itu kebiasaan setan, dan muslimah yang baik ga mengikuti kebiasaan setan.

Setelah keluar dari pintu tol Andara, Umi masih ngebut meski tahu kalau pintu gerbang sekolahku sudah ditutup pada saat ini. Tapi karena di perempatan DDN macet panjang, akhirnya aku minta diturinin di pinggir jalan. Dari sini, deket kok jalan ke sekolahku.

"Dea, salim dulu! Bisa-bisanya kamu lupa salim!"

Tuh... Umi ngomel lagi karena aku buru-buru turun dari mobil tanpa salim. Karena dilihatin banyak orang, akhirnya aku malu-malu samperin mobil Umi, yang masih kejebak macet. Setelah salim dan ucap salam, aku balik lagi, jalan cepat-cepat menuju sekolah.

Pas lagi jalan, ponselku yang berada di saku, berdering. Karena aku aktifin fitur getar kalau ada panggilan masuk, jadi getarnya bikin tetek kiriku geli. Enak juga rasanya. HEH, INI BUKAN WAKTUNYA NIKMATIN BEGINIAN, DASAR MESUM!

"Assalamu—"

"Sayang, kamu dimana? Kok Ibu ga ngeliat kamu sih dari tadi?"

"Nnggg... Bu Siska?"

Suara di seberang telepon berhenti sejenak. "Emang siapa lagi yang panggil kamu 'sayang', sampe harus nanya dulu gitu?"

Wah, suaranya jadi jutek. "Ga gitu, Bu. Tadi aku ga liat siapa yang nelpon. Ini aku di...."

Belum selesai aku nerusin kalimatku, aku sudah sampai di gerbang sekolah, dan Bu Siska ada di baliknya. Dia berdiri sambil memasukkan tangan kiri di kantong seragam, dan tangan kanan mengenggam ponsel yang dia gunain untuk telepon aku. Situasi kami persis seperti sepasang kekasih yang ga bisa bersama karena dibatasi gerbang pemisah, dan cuma bisa tatap-tatapan ke satu sama lain.

Bu Siska langsung tutup telepon, lalu dia ke pos satpam. Beberapa detik kemudian, dia keluar bersama salah seorang satpam yang langsung bukain gerbang kecil. Lalu, Bu Siska menghampiriku. "Masuk dulu, ayo kamu udah telat banget, Dea," katanya, sambil menarik tanganku.

"Eh, ga apa-apa, nih, Bu?"

"Harusnya ga boleh. Tapi Ibu kasih kamu kompensasi, untuk kali ini aja. Kalo kamu telat lagi, Ibu ga bisa nolongin kamu lain kali."

Bu Siska terus ngegandeng aku dari gerbang sekolah hingga ke koridor yang ada meja piketnya. Aku mau ngomong sesuatu, tapi kayaknya Bu Siska lagi buru-buru, jadi aku tunggu aja. Pas sudah sampai meja piket, Bu Siska baru berhenti jalan.

"Makasih banyak, ya, Bu, tapi... nggg...," aku menarik seragam Bu Siska, lalu menunjuk tangan kami yang sedang bergandengan, "...maksud aku, ga apa-apa kita pegangan tangan gini di area sekolah?"

Bu Siska spontan lepasin genggaman tangannya. Mukanya langsung merah banget kayak tomat. Dia pun lihat kiri-kanan, kayaknya berharap ga ada yang merhatiin sikap kami berdua tadi. Terus, dia natap aku, dan bilang, "kamu kenapa ga ngingetin Ibu dari tadi, sih?"

"Ibu kayaknya lagi buru-buru, soalnya. Jadi aku biarin aja."

"Ya iya lah buru-buru! Ini udah masuk jam pelajaran kedua. Dari jam pelajaran pertama, kamu ga ada. Ibu sampe harus alesan ke kamar mandi supaya bisa nungguin kamu di gerbang, biar tetep bisa ikut pelajaran Ibu. Kalo ga Ibu tungguin, kamu baru dibolehin masuk di bel jam pelajaran ketiga nanti, tau."

Oh... iya... jadwal hari ini kan pelajaran Biologi di jam pertama dan kedua. Pantes Bu Siska ngomel, karena kalau aku telat, aku ga akan bisa ikut pelajaran dia. Karena aturan di sekolahku ini, kalau siswanya telat, maka harus tunggu di gerbang sekolah selama jam pelajaran pertama dan kedua. Sanksinya juga akumulatif. Kalau telatnya sampai tiga kali, berturut-turut atau pun engga, siswa yang telat disuruh pulang dan besoknya diminta menghadap wali kelas bersama dengan wali muridnya. Itu kenapa Bu Siska minta ke satpam untuk izinin aku masuk, karena kalau tanpa bantuan Bu Siska, aku harus nunggu lama.

"Dea, kamu masuk kelas duluan, nanti selang berapa menit, gantian Ibu yang masuk. Masih ada waktu setengah jam buat kamu kerjain ulangan yang Ibu kasih. Soalnya udah ada di meja kamu, ya," tambah Bu Siska, sambil dorong punggung aku supaya jalan lebih dulu ke kelas.

"Kok ulangan sih, Bu?!" balasku, panik.

Aku berusaha keras mengingat apa Bu Siska sebelumnya pernah menyebut akan ada ulangan hari ini, tapi hasilnya nihil. Duh, mana belum belajar juga.

"Ulangan dadakan. Makanya, jangan telat biar bisa ikut ulangan." Tepat sebelum aku naik tangga, Bu Siska menarik lenganku. "Atau kamu... Ibu kasih kunci jawabannya aja, ya? Gimana?"

Aku pun tatap Bu Siska, lama. Mataku berbinar-binar bahagia karena terharu dengan kebaikan Bu Siska. Lalu, aku tersenyum kecil. Kugelengkan kepala, pelan, beberapa kali. "Ga perlu, Bu. Consider it done, aja," kataku, penuh percaya diri.

Pasti sekarang aku lagi keliatan keren banget di mata Bu Siska.

"Dih. Sombong banget ini anak." Bu Siska mencibirku sambil bertolak pinggang. Tetek besarnya jadi lebih membusung sekarang.

"I love you too, Bu."

Aku pun menaiki anak tangga, menuju kelasku di lantai dua. Sekilas, ku lirik Bu Siska, yang mukanya kembali merah merona. Mungkin akibat ucapanku barusan.


———


Setelah jam pelajaran Biologi habis dan semua murid diminta kumpulin lembar ulangan, aku langsung merutuki diri sendiri. Gila, soalnya banyak yang aku lupa! Dari dua puluh soal essay, aku cuma sanggup jawab setengahnya. Sisanya aku pasrahin ke Bu Siska aja, mau kasih aku nilai berapa.

"Dea, tadi bisa jawab berapa soal?" tanya Freddy yang tiba-tiba samperin aku yang lagi stress sendiri. Ini anak tumben banget sok akrab ke aku. Biasanya anteng aja duduk diem di mejanya.

"Ih, Dea mah jangan ditanya. Semua dia jawab," kata teman sebangku di sebelahku, lalu dia pun nyenggol lenganku, "Ya kan, De?"

Aku cuma bisa tersenyum getir untuk ngebales pertanyaan tadi. Sementara ketika aku melirik Bu Siska yang sedang menata lembar ulangan siswa, Bu Siska pun melirikku. Pandangan kami bertemu, dan Bu Siska langsung ngelihatin aku dengan pandangan mengejek. Kelihatan jelas banget di sorot matanya.

Mampus. Remidial ini, sih. Duh, rekor tanpa remidialku bakal pecah. Bukan mau sombong... ga, deh, emang mau sombong, aku tuh selama ini belum pernah remidial. Freddy, si nomer dua aja, yang kata orang-orang pinter banget itu, pernah remidial walau cuma sekali. Kalau nanti aku remidial, levelku jadi turun dan setara dengan si nomer dua itu.

Duh, akhirnya ngerasain yang dirasain kaum medioker, deh.

Karena suntuk, akhirnya aku mutusin untuk ke toilet. Kebetulan guru di jam pelajaran selanjutnya lagi pemberkasan, jadi para murid cuma disuruh ngerjain soal-soal di buku Lembar Kerja Siswa. Kesempatan ini aku pakai buat ke toilet. Kebelet banget, soalnya. Kebelet pengen masturbasi, buat redain stress!

Oh iya, sebenarnya, sejak semalam yang akunya ngentot dengan Pak Jumadi itu, bikin rasa hornyku jadi turun drastis, dan tetap stagnan sampai sekarang. Maksudnya, urgensi untuk bermasturbasi jadi jauh berkurang, dan badanku ga sesensitif kemarin-kemarin. Sensasi panas di badanku yang bikin aku horny setiap waktu itu juga sudah hampir reda.

Seharusnya kesempatan ini aku pakai untuk menjalani hidup dengan normal, kayak sebelum-sebelumnya. Tapi karena aku stress akibat ga mampu selesein semua soal ulangan Biologi dengan baik, aku butuh pelampiasan supaya merasa lebih baik. Aku butuh dorongan dopamin supaya stressku berkurang, dan salah satu cara paling gampang untuk dapat dopamin, ya dengan masturbasi.

Langkah kaki membawa aku ke toilet paling sepi di lantai dua. Letaknya ada di ujung selasar, sebelahan dengan lab komputer. Di lantai dua, sebenarnya ada dua toilet; di samping tangga dekat kelasku, dan di sebelah lab komputer. Toilet ini ga pernah dikunjungi murid-murid. Di keadaan paling darurat pun, mereka lebih milih ke toilet di lantai lain—kalau yang di lantai dua penuh. Alasannya, karena toilet ini dikenal angker, jadi ga ada yang berani ke sini.

Entah sudah berapa rumor yang beredar seputar toilet ini. Ada yang bilang, kalau dulu sekitar tahun 2000-an, pernah ada siswa yang gantung diri di toilet ini karena diselingkuhi pacarnya yang juga siswi di sekolah ini. Ada juga yang gosipin, kalau sebelum rumor gantung diri itu, ada siswi yang gugurin kandungannya dan tewas karena pendarahan di salah satu bilik toilet. Lalu, ada cerita soal penjaga sekolah yang mati dicekik arwah penasaran penunggu toilet.

Rumor-rumor itu tumbuh subur karena dilestarikan secara turun temurun dari satu angkatan ke angkatan setelahnya. Imbasnya, toilet ini jadi sepi, padahal sering dibersihin sama penjaga sekolah. Bukannya aku ga percaya setan, hantu dan sejenisnya, tapi dilogikaku, kalau penjaga sekolah aja ga ada masalah saat bersihin toilet ini, berarti toiletnya ga seangker itu, kan?

Ku masuki area toilet yang memang ga berpintu ini. Ini juga pertama kalinya aku masuk ke sini. Bukan karena takut, lebih ke... efisiensi. Kelasku kan dekat dengan toilet yang non angker, masa harus jauh-jauh ke toilet yang sepi dan suasananya suram gini, sih?

"Eehhh..."

Baru dua langkah aku jejakin di sini, aku sudah mendengar ada suara-suara ganjil. Seperti... suara gesekan benda yang digesek dengan cepat. Lalu... ada suara rintihan lirih yang bisa sayup-sayup kudengar. Bulu-bulu di tengkukku langsung meremang. Makin aku berjalan mendekati bilik-bilik toilet, makin jelas pula suara rintihannya. Seperti rintihan pilu dan kesakitan.

Pikiranku langsung merangkai skenario yang ga aku inginkan. Di otakku, aku ngebayangin ada hantu perempuan yang lagi merintih kesakitan. Jangan-jangan... itu suara rintihan dari hantu siswi yang katanya tewas akibat pendarahan?!

Aku ingin buru-buru kabur, tapi tetap sebelum badanku berbalik, pintu bilik yang letaknya paling ujung, sedikit membuka. Mungkin... karena angin. Iya, kan, angin, kan? Pasti angin yang mendorong pintu bilik itu jadi agak membuka. Tapi anehnya, pintu bilik lain tertutup rapat.

Kini, aku ngerti banget kenapa di film-film horror, para tokohnya justru malah ngedeketin sumber keganjilan yang berpotensi munculin hantu. Bukan karena mereka sok berani, tapi justru karena penasaran. Rasa penasaran yang ngedorong kakiku untuk melangkah, deketin bilik itu. Aku cuma mau ngecek ada apa di dalam sana. Karena... suara rintihan yang aku dengar, terasa makin jelas saat aku mendekat ke bilik itu.

Pelan-pelan, ku dorong pintu bilik. Sejenak, tanganku ragu untuk mendorong lebih jauh. Sumpah, tanganku keringetan. Aku ga siap kalau ternyata di balik pintu ini, justru aku nemuin hantu berdarah-darah yang akan langsung nyergap aku. Ku tarik lagi tanganku, urung mau buka pintu. Tapi...

Ah, bodo amat, deh!

Ku dorong dengan keras pintu bilik. Begitu membuka sepenuhnya, aku langsung menahan nafas, karena...

"Aaaahhh, aaahhh, nnggghhhhhh... ooooohhhhh!"

Di depanku, aku menemukan seorang perempuan sedang duduk di toilet sambil mengangkang. Sebelah tangannya menggenggam erat sebilah batang yang berada tepat di selangkangan. Perempuan itu langsung mengejan sambil mengarahkan batangnya, tepat ke arahku. Sedetik kemudian...

"Oohh, shit, shit! So-sorry, aaahhh... shhhiiitt!"

Batang yang digenggam perempuan itu ngeluarin cairan putih kental yang menyembur heboh ke arahku. Semburannya terlempar jauh, hingga mengenai seragam, pipi dan kacamata yang kupakai. Bahkan ada juga yang mengenai sisi bibirku yang membuka.

Karena menemukan kejadian yang diluar ekspektasi, aku jadi bengong. Refleks, lidahku menjulur, menjilati cairan kental yang menempel di sisi bibirku. Hmmm... rasanya asin dan getir, tapi ada rasa gurih juga. Aku pernah mencicipi yang kayak gini. Pejunya Pak Jumadi, rasanya mirip dengan yang sedang kucicipi ini. Tapi yang ini lebih enak, beneran. Ga ada rasa pahit kayak pejunya Pak Jumadi.

Oke, ini ternyata peju.

"Eh-aduh, maaf, maaf! Aduh, gimana nih?!"

Si perempuan panik. Dia buru-buru bangun, lalu pakai bagian seragamnya yang sudah dilepas kancingnya untuk mengelap peju yang berlumuran di seragamku. Terus dia tambah panik, ketika batang yang masih menggantung di selangkangannya itu malah mengenai rok panjangku. Ujung batangnya masih terdapat sedikit cairan, dan sekarang menempel di rokku.

"Yah, eh... aduh... mampus gue, mampus, mampus, mampus! To-tolong banget, jangan bilang siapa-siapa, plis, ya? Ya?" pintanya, sambil terus berusaha bersihin cairan peju dari seragamku.

Butuh sekian detik berikutnya untukku supaya bisa menguasai diri sepenuhnya. Setelah berhasil, aku pergi ke wastafel. Kupercik air ke beberapa bagian seragamku yang ternodai peju. Yap, ga begitu bersih, tapi yaudah lah. Lalu, aku deketin si perempuan yang kini lagi beresin seragamnya sendiri dengan kondisi panik.

"Nggg... hei," aku menggenggam erat kedua bahunya, "tenang dulu. Tarik nafas panjang. Bawa santai. Oke?"

Dia pun mengangguk, lalu tarik nafas panjang, dan dihembuskan pelan. Aku suruh dia untuk ulangi beberapa kali.

"Udah lebih tenang?"

Dia kembali mengangguk. "Ma-makasih, ya."

"Jadi, gini," aku berdehem kecil, "ini bukan pertama kalinya aku disemprot peju, jadi aku ga begitu kaget. Tapi—"

"—apa itu peju?" tanya si perempuan, memotong.

"That sticky, white thing of yours. Sperma, bahasa bakunya."

Si perempuan mengangguk-angguk, mengerti.

"Pertama, aku syok karena aku baru pertama kali ngeliat ada perempuan yang punya kontol. Maksud aku... kamu perempuan, kan? Kamu keliatan banget kayak—"

"—apa itu kontol?" tanyanya lagi, tentu setelah memotong omonganku.

"Penis. Kalo penis tau, kan?" Dia pun mengangguk, sekali. "Potong omonganku sekali lagi, dan aku akan teriak terus bilang kalo kamu tuh perempuan berpenis. Jadi, kalo kamu mau aku ga bilang siapa-siapa, kita ngomong secara bergantian. Aku tanya, kamu jawab. Oke?"

Dia mengangguk lagi. Ada ketakutan di sorot matanya saat menatapku.

"Oke, kita ulangi, ya. Pertama, kamu ini perempuan atau laki-laki? Kalau laki-laki, kenapa masuk ke toilet perempuan? Kalau perempuan, kenapa punya 'itu'?" tanyaku, sambil menunjuk ke arah selangkangannya yang sekarang sudah tertutup rok. Lalu, aku pun ngelanjutin, "Kedua, kamu murid baru, ya? Aku ga pernah liat kamu sebelumnya. Kalau iya, kamu ada di kelas mana? Kalau bukan, kenapa masuk ke sekolah ini?"

"Nggg... aku boleh ga jawab?"

"Jawab atau aku teriak."

"Baiklah, baiklah." Dia celingukan ke sekitar, lalu menarik lenganku untuk masuk bareng ke bilik yang tadi. "Kita ngobrol di sini aja, ya. Aku janji ga akan macem-macem, tapi kamu juga janji ga akan teriak."

"Aku bisa teriak dari tadi kalau aku mau, tapi kan nyatanya engga aku lakuin. Kecuali, kalo kamu ga mau jawab pertanyaan aku."

Si perempuan pun duduk di toilet. Dia menarik nafas panjang, lalu menatapku, dalam. Setelah tarikan nafas panjang yang kedua, dia pun mulai bercerita.


———


Oke. Jadi cewek tadi tuh namanya Fah. Aku lupa nama lengkapnya, ingetnya cuma nama panggilan dia aja. Fah bilang, kalau dia adalah murid pindahan dari luar negeri, dan baru resmi masuk kelas hari ini. Umurnya delapan belas, setahun diatasku. Fah ini punya wajah yang imut dan bentuk badan yang mungil, tentu dilengkapi kulit mulus dan putihnya.

Fah ngaku ke aku, bahwa dia sebenarnya terlahir sebagai laki-laki. Tapi sejak kecil, dia punya kecenderungan untuk merasa kalau dirinya lebih cocok jadi perempuan. Karena orangtuanya adalah tipe yang liberalis, jadi mereka ga ambil pusing saat Fah mutusin untuk lebih banyak pakai baju-baju perempuan daripada yang sesuai gendernya. Mereka juga merasa, kalau muka Fah terlalu cantik sebagai cowok, dan cocok-cocok aja dengan baju cewek.

Waktu Fah sudah lebih dewasa, Fah mutusin mau rubah gender jadi cewek tulen. Karena di negara tempat Fah tinggal sana gonta-ganti gender adalah hal lumrah (iya, bahkan mereka punya delapan belas klasifikasi gender), dan orangtuanya pun ga ada masalah dengan itu, Fah mulai prosesnya untuk jadi cewek tulen. Dari umur dua belas, Fah rajin konsumsi obat hormon—yang bikin teteknya tumbuh jadi mirip kayak cewek pada umumnya. Suara Fah juga lebih mirip suara cewek daripada suara cowok. Suaranya feminim banget, bikin aku merasa kalau aja aku ga ngelihat kontolnya tadi, aku yakin banget kalau Fah adalah cewek tulen.

Semakin dewasa, Fah juga sadar bahwa administrasi data dirinya itu penting. Fah pun mulai urus administrasi untuk melegalkan kalau dia cewek, tapi terbentur di urusan kelamin, karena kelaminnya masih cowok. Untuk bisa diakui secara legal kalau Fah adalah seorang transgender, maka Fah harus operasi untuk merekonstruksi kelaminnya.

"Harusnya aku operasi kelamin tahun ini di Bangkok," katanya, sambil menghela nafas, "tapi karena Papa ada proyek baru di Jakarta, jadi kami sekeluarga terpaksa pindah. Tapi mungkin itu bantuan semesta, supaya aku ga operasi kelamin. Karena sejujurnya... aku masih takut."

"Aku yang cewek aja ga kebayang kalo kontol dipotong itu gimana." Ngebayanginnya aja, bikin aku bergidik ngeri.

"Iya. Aku takut kalo operasinya gagal. Ga siap, entah, deh."

"Terus, pas daftar ke sekolah ini, kepala sekolah dan guru-guru tau kamu tuh cowok?"

Fah menggeleng. "Papaku palsuin dokumen identitasku, jadi di dokumenku, aku itu gendernya cewek," katanya, sambil meletin lidah. "Untung banget ga ada double check di sini."

"Iya. Administrasi negara ini emang agak kacau soal pengecekannya."

"Jadiiii... aku mohon banget sama kamu, Andrea—"

"—panggil Dea aja."

"Iya, Dea, aku mohon banget, banget, banget ke kamu, jangan kasih tau siapa-siapa soal ini, ya? Kalo ini sampe kesebar, reputasi Papaku juga terancam."

Aku spontan langsung menoyor keningnya. Meski baru kenal, tapi sikapnya yang suka serba asal ini gampang bikin aku kesal. Bodo amat deh kalau dia pikir aku kurang ajar, padahal baru kenal. Dia juga kurang ajar kok. Belum kenal malah pejuin mukaku. Ya... meskipun ga sengaja, sih.

"Heh! Kalo ga mau ketauan, ya hati-hati! Ngapain masturbasi di kamar mandi? Kamu tuh harusnya bersyukur, karena ketauannya sama aku. Coba kalo sama orang lain, udah selesai nasib kamu sekarang."

Untuk sejenak, aku mikirin lagi kata-kataku barusan. Bukannya aku juga niat mau masturbasi di kamar mandi, tadi? Kadang, aku memang butuh cermin supaya malu sama diri sendiri yang suka berstandar ganda.

"Iya, iyaaaaa!" Fah menggenggam kedua lenganku, lalu tersenyum lebar. Ini anak, manis banget kalau lagi senyum.

"Lagian kenapa masturbasi? Ga ketahan?" tanyaku. Sebenarnya, ini pertanyaan yang paling bikin aku penasaran. Tapi baru dapat kesempatan nanya sekarang.

"Pernah ga, sih, kamu ngerasa... badan kamu panas, tapi bukan panas demam. Lebih ke... apa, ya... panas yang jadi bikin kamu terangsang. Dan kalo lagi begitu, kamu ga bisa apa-apa sebelum redain rasa terangsangnya. Kamu ga bisa berpikir jernih, kamu ngerasa pusing dan sakit kepala, otak kamu isinya pikiran-pikiran porno terus... ya pokoknya gitu, deh. Itu yang aku rasain selama ini, makanya aku nekat masturbasi di sini."

Oh. Itu sih yang aku rasain banget. Tenang, Fah, i feel you.

"Kayaknya kita bisa jadi temen deket, deh," kataku, sambil tersenyum lebar. Aku pun menjabat tangan Fah, yang baru aku sadari kalau tangan itu sebelumnya dia pakai untuk bermasturbasi. Ew.

"Kamu... masih mau temenan sama aku, bahkan setelah tau kalo aku kayak gini?"

"No prob. You're human being, after all. Tapi aku masih belum maafin kamu soal cairan lengket itu, loh." Lalu, aku pun tarik tangan Fah, keluar dari toilet. "Kita kayaknya udah kelamaan di sini. Takut nanti dicariin. Balik ke kelas masing-masing?"

Fah mengangguk, pelan. Dia lalu tatap mataku, dalam. Habis itu, dia tersenyum. Senyum paling manis yang pernah kulihat. Ga deh, senyum manis Fah ada di peringkat kedua. Peringkat pertama tetap senyumnya Bu Siska.

"Rạb khwām s̄eī̀yng h̄rụ̄x s̄ūỵ s̄eīy xokās̄," kata Fah, dalam bahasa yang aku ga ngerti. Sambil keluar dari toilet, dia ngomong lagi, "Take risk, or lose chance. Thai poverb, one of my fav. I took my risk to masturbate on toilet room, therefore, i met you. My first cloooose friend in here, the most beautiful one that I ever know. Isn't fate awesome, Dea?"

Duh, ga tau kenapa mukaku langsung terasa panas. Apa aku tersipu karena ucapannya, ya? "Just shut up, you're being cringe," kataku, sambil memalingkan muka.

Fah menyenggol pelan lenganku, lalu sambil mengedipkan sebelah mata, dia berkata, "aw, Dea! Akuin aja, kamu tersipu, kan?"

Aku rasa, mukaku merah banget sekarang, dan Fah kelihatannya bahagia melihatku yang sedang tersipu. Cewek(?) ini tuh bisa banget godainnya.





Nympherotica
 
Terakhir diubah:
yahshhhhhh finallly

taroh gelas kopi dulu :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd