Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Hanyut 3.2

"Bu Norma mau minum?"

Bu Norma bungkam.

"Tuh," kata Tokek, menunjuk air sungai, "minum. Gratis."

Saat baik Bu Norma maupun Kancil bergeming, Tokek terkekeh sendiri. Seolah dia komedian paling lucu di dunia ini. Senapan yang dia panggul kini dia arahkan moncongnya ke dada si wanita berjilbab. Yang telanjang. Yang terekspos. Yang mengkilap oleh keringat. Yang akan sangat disayangkan kalau dia lubangi.

Kalau empunya dada dia bikin tamat, kira-kira Kopral akan semarah apa, ya?

"Minum!" bentak Tokek.

Alih-alih patuh, Bu Norma malah mundur. Tokek pukul satu sisi kepala wanita itu dengan botol minum berbentuk termos mini itu. Sambil mengaduh, yang dipukul pun terjatuh.

Tanpa ada kasihan, Tokek lalu menjejak bokong berbalut rok Bu Norma. Seperti binatang, mantan guru sejarah itu pun merangkak. Ke bibir sungai. Di permukaan air yang bergerak, dia temukan seorang wanita berjilbab dengan dada yang telanjang memandangnya balik. Mata wanita itu berkaca-kaca.

"Cepetan minum," ancam Tokek yang menyingkap rok Bu Norma memakai ujung senapannya, "atau aku obok-obok ini memek pakai bedil."

Ketakutan, Bu Norma pun menyingsingkan lengan kemeja batiknya. Tangan-tangan berjari lentiknya kemudian dia celupkan ke air. Dingin. Segar. Tampak jernih. Taoi siapa yang tahu berapa miliar mikroba berenang di di dalamnya. Tak terlihat. Tak dianggap.

Mungkin, Bu Norma berpikiran, ini aman aku minum. Tentu saja, kalau sampai Dokter Abi tahu, dia akan mencak-mencak.

Pernah sekali mereka mampir di sebuah kedai makan pasca suatu kunjungan. Belum lama mereka bersantap, sang dokter berderap ke meja kasir dan nyerocos panjang lebar. Pasalnya, ada satu helai rambut keriting yang sekilas nampak seperti jembut di kuah sayur Bu Norma.

Dilema, Bu Norma sekarang menimbang-nimbang. Pada siapa dia lebih takut. Suaminya atau Tokek. Tentu saja, Dokter Abi tidak sedang bersamanya. Kalau dia tidak cerita, lelaki itu tidak akan tahu. Sebagaimana zina yang sudah menimpanya.

Di sisi yang lain, Tokek memang senang mengancam. Dan agaknya, dia senang pula menjadikan gertak sambal itu nyata pedasnya. Terbukti, kini moncong senapan yang dingin sedang menempel pada dubur Bu Norma. Celana dalam berenda si wanita tentu tak akan mampu melindungi lubang pembuangan itu andai besi berbentuk pipa itu meludahkan peluru. Jangan kok ditembak, disogok saja pasti sakitnya minta ampun.

Bu Norma pun akhirnya meyakinkan diri. Bahwa pojok negeri ini belum tercemari polusi. Bahwa dia tidak akan mati hanya karrna minum air sungai yang belum disaring apalagi dimasak.

Di saat yang sama, Bu Norma paham betul risikonya. Diare adalah konsekuensi yang paling sering muncul pada mereka yang sembarang minum air di alam liar. Belum juga mulas akibat digarap Kopral mereda, bisa saja dia akan menambah siksa di perutnya.

Wanita paruh baya itu baru akan menyeruput air yang dia tangkup di atas kedua telapak tangan saat ujung beku senapan serbu menggesek bibir kemaluannya dari balik celana dalam. Bu Norma pun membeku. Bertanya-tanya; apa salahku sekarang?

"Jangan pakai tangan." Suara Tokek terdengar dingin. Setiap kata yang dia ucap lebih serius dari kata sebelumnya. "Langsung pakai mulut, Bu. Ayo. Kayak anjing gitu, loh."

"T-tapi—"

Tokek menghentikan protes Bu Norma dengan menekan pucuk senpi ke dalam vaginanya. Lalu, seakan semua pihsk sepakat memainkan game yang sama, dia memutar-mutar bedil laras panjang itu. Katanya kemudian, "Bu Norma pasti pernah main pakai terong. Ya, kan? Ngaku...."

Mata Bu Norma terpejam. Sialan! Biadab! Jahanam! Kenapa vaginanya malah basah di saat-saat seperti ini?!?!?!

"Kalau pipa besi gimana? Belum, kan?"

Darah Bu Norma mendidih. Tanpa senjata api di tangannya, dia tebak Tokek tidak akan searogan ini. Badannya memang penuh tato. Penisnya juga mengerikan. Tapi secara keseluruhan, pemuda itu fakir wibawa. Lemah aura. Tidak punya kharisma. Dia memerintah dengan ketakutan. Itu senjata dia sebenarnya. Ilusi bahwa dia berkuasa.

"Hm? Bu Norma pengen coba?"

Sampai dia rebut senjata itu, Bu Norma tahu harus bagaimana. Air yang sudah di tangan dia pulangkan ke rumah mereka. Bagai seekor mamalia berkaki empat, dia pun turunkan kepala. Wajah dia dekatkan dengan permukaan air hingga dapat dia hitung jumlah kerikil di dasar sungai. Pantat yang tadi sudah menungging, kini kian memamerkan pesona mereka.

Lalu, Bu Norma julurkan lidahnya. Sekali. Dua kali. Dan seterusnya. Kedua tangannya memegangi tepian batu kali yang dia injaki. Buah dadanya menggantung dan sedikit bergoyang ke depan dan belakang.

Di belakang Bu Norma, Tokek bertukar pandang dengan Kancil. Senapannya sudah dia pensiunkan dari mengerjai korban mereka. Pemuda yang lebih tua itu tersenyum penuh makna pada juniornya. Walau bisa, tidak ada satu pun dari mereka yang menjamah pantat semok di depan mata. Mereka mencukupkan diri dengan cuma melecehkan wanita itu dengan kata-kata serta pandangan mereka—untuk sekarang.​

Dosakah... aku? Men—
202dba49955152e575cc266872371d0d60281ba6-high.webp

Selesai Bu Norma melepas dahaga, Tokek pun kembali memimpin rombongan mengejar tujuan mereka. Dibiarkannya Kancil menjaga tawanan mereka. Botol minum yang kosong dia lempar dengan asal ke belakang.

"M-maf, Bu, buat yang tadi itu," bisik Kancil usai dia masukkan kembali botol air ke dalam ransel kemah yang turut dia bawa. Ya, pemuda itu menggendong dua tas sekaligus. Satu miliknya. Satu punya Bu Norma. Apes memang jadi pupuk bawang. Di mana-mana sama. Jadi pecundang saja kerjaannya.

"Nggak apa-apa," jawab Bu Norma, mencoba terdengar tegar. Padahal, hatinya menjeritkan tangis. Tadi saja saat minum, air mata berlelehan di kedua pipinya. Air mata itu valid. Duka di dadanya valid. Hanya saja, mereka tak banyak berguna. Cuma kian membebani saja. "Mas seneng, kan, tadi lihat bumper saya?"

Salah tingkah, Kancil memilih tidak mengatakan apa-apa. Ada barangkali lima belas menitan, dia tersedak tuduhan Bu Norma yang menohok itu. Meski kasihan, dia tak kuasa membendung nafsunya sendiri. Menyaksikan si wanita berhijab dihinakan, dia rasakan sebentuk kenikmatan. Bu Norma yang tanpa mencoba saja sudah menggoda, begitu dipermainkan, jadi semakin menggairahkan.

Kancil berandai-andai, gaya apa nanti yang akan dia pakai saat bercinta dengan Bu Norma. Baiknya dia cumbu Bu Norma dulu atau langsung tancap gas saja?

Lebih cepat dari yang Kancil ingat, tiba-tiba belokan sungai yang dia kenali muncul di balik belukar yang barusan mereka lewati. Sudah dekat. Kali ini mereka benar-benar sudah dekat. Di balik kelokan itu, tujuan mereka menunggu. Dapat dia dengar debur samar air yang lebih keras dari sebelumnya. Pertanda bahwa ada—

"Bu Norma suka air terjun?" tanya Kancil, berharap dia bisa sedikit menghibur hati wanita yang pantas jadi ibunya itu. Kalau Bu Norma adalah ibunya, mungkin dulu dia tidak akan kabur dari rumah. Tidak akan gabung anak-anak punk. Tidak akan terlunta-lunta begitu perang tiba.

"Biasa aja," jawab Bu Norma ketika dia berpegangan pada lengan Kancil agar tidak terpeleset sewaktu lagi-lagi (sudah lima kali) sungai mereka seberangi. "Saya sukanya pantai."

"Pantai, ya?"

"Iya. Hutan begini, bikin saya takut."

"Takut hewan buas?"

"Itu. Sama demit."

Mendengar jawaban yang tidak dia harapkan, bahu-bahu Kancil pun melorot. Dia juga takut hantu. Tetapi bukan itu maksud dia tadi bertanya. Dia cuma ingin Bu Norma lebih rileks saja. Agaknya, dia perlu berguru. Entah pada siapa tapi. Yang jelas, dia ingin bisa asik mengobrol dengan wanita.

Kelokan di depan tidak Kancil buru-buru hampiri. Dia justru berhenti. Bu Norma pun memilih menanti. Wanita berkacamata itu pandangi si pemuda yang sedang menurunkan carrier bekas sebuah kesatuan tentara yang dia bawa ke bantaran kali. Sementara, tasnya Bu Norma tetap dia gendong.

Di dalam tas tahan air yang kini teronggok di dekat kaki itu, terdapat peralatan masak dan makan sederhana serta empat liter arak rumahan yang Tokek minta dia bawa. Ya, empat liter. Kata Tokek saat dia bertanya minuman sebanyak itu buat apa: "Hepi-hepi sama Bu Norma, lah! Apa lagi?"

Kancil kurang yakin Bu Norma akan banyak membantu mereka menandaskan semua arak yang terbawa. Lagipula, bukannya haram, ya, muslimah minum minuman beralkohol? Sepengetahuannya, belum ada wanita baik-baik yang mabuk-mabukan.

Bu Norma mungkin akan jadi yang perdana.

Kancil alihkan pikirannya dari Tokek dan rencana bodohnya dengan memunggungi sungai. Dia kebelet pipis, ternyata.

"Mas?" kata Bu Norma yang tetiba memeluk Kancil. Isak tangis mengguncang bahu wanita itu. "Tolong saya, Mas."

"T-tolong apa, Bu?" tanya Kancil, kaget tiba-tiba dapat durian runtuh. Buah dada Bu Norma kini bukan cuma bisa dipandangnya. Bahkan detak jantung wanita berkacamata itu bisa dirasakannya. Dan seperti degup jantungnya sendiri, Bu Norma tampaknya nervous—meski mungkin alasan mereka tidak bisa lebih beda lagi.

"Saya takuttt."

Canggung Kancil mengelus kepala berjilbab Bu Norma yang kini di pundaknya. Napas wanita itu dekat sekali dengan napasnya sendiri. Di dalam celana, dia tahu penisnya sedang menegang. Mengeras.

Ingin Kancil meloloskan kaus singletnya. Supaya lebih banyak kulitnya yang bersentuhan dengan kulit putih Bu Norma.

"Takut?" tanya Kancil, menunda hajat kecilnya.

"Sama itu. Si Tokek."

"Oh. Haha. Nggak papa, Bu. Emang gitu dia orange.Sinting-sinting gimana gitu."

"Mas," kata Bu Norma, kepala mendongak seakan siap mengecup Kancil yang hanya sedikit lebih tinggi darinya, "tadi Mas janji, kan? Nggak akan kasar?"

Kancil menelan ludah. Napas Bu Norma menyapu dia punya wajah. Pelan, dia mengangguk kaku.

"Janji satu lagi, Mas."

"Eh?"

"Jaga saya dari Tokek!"

"Maksudnya?"

Bu Norma kian berani memintal benang-benang muslihatnya. Seperti dugaannya, Kancil teramat hijau. Masih gampang dibodohi. Masih belum sadar kalau dia sedang diadu domba. Mengambil kesempatannya, Bu Norma remas selakangan Kancil, berjinjit, dan membisiki si pemuda kata-kata berikut: "Kalau Mas berani habisi Tokek, saya bersedia, Mas."

"Bersedia... apa, Bu?" tanya Kancil yang sudah diambang memuncratkan air seninya ke mana-mana. Membasahi celana. Mengotori Bu Norma.

"Jadi bininya Mas. Setiap hari melayani Mas. Jadi propertinya Mas."

"B-Bu Norma," kata Kancil sembari dia usap dan elusi punggung si wanita berkerudung sebelum lalu turun ke bongkahan pantat bulat yang sejak tadi dia damba, "serius?"

"Demi Tuhan, Mas."

"T-tapi kenapa?"

Kancil tiba-tiba menjauhkan badan mereka. Menjauhkan buah dada hangat Bu Norma dari dada kerempengnya. Mondar-mandir dia agar tidak ngompol di depan wanita yang bukan cuma binal, tapi gila juga.

"Apa spesialnya saya? Bu Norma—"

Bu Norma hentikan Kancil sebelum pemuda itu meletus karena anxious. Dia pagut bibirnya. Dia satukan tubuh bagian atas mereka. Lidah bocah kemarin sore itu dia kulum-kulum.

Sebagai yang lebih tua, Bu Norma pandu jejaka itu agar membalas french kiss-nya. Dan seperti anak emas, Kancil cepat menyerap pelajaran dari gurunya. Sebentar saja, lidah mereka sudah saling membelit. Mengait.

Setetes air mata turun ke pipi kiri Bu Norma. Kancil mengabaikannya. Bukan dia yang salah. Bukan dia yang memulai. Wanita itu yang menawarkan diri. Yang mau dia peristri.

Cukup lama Bu Norma biarkan Kancil bermimpi. Hingga akhirnya dia rasa cukup, dia pun menghentikan pertukaran ludah mereka. Dia jauhkan bibirnya. Seutas ludah menghubungkan wajah mereka—yang lalu dia isap seperti sedang makan mi.

Kata Bu Norma, "Karena Mas Kancil ganteng. Baik juga."

###​
Bulan madu denganmu.
db789aaa6bee963ee9706abb0a50960004c6a139-high.webp

Kamar hotel yang tepat menghadap laut itu gelap. Debur ombak datang dan pergi di telinga mereka. Di bawah selimut, Bu Norma memeluk suaminya. Mereka sama-sama telanjang bulat. Sama-sama berkeringat. Sementara, ktor-aktor yang mereka tonton di layar laptop menggeliat-geliat.

"Nah," kata Dokter Abi, menekan tombol pause saat si aktris berambut pirang merangkak ke atas selakangan seorang aktor berkulit gelap yang berbaring telentang, "dia mau apa kira-kira, Dik?"

"Mmmhhh... duduk?"

"Hehem. Duduk, dan...?"

Bu Norma menjawab dengan menduselkan kepalanya ke ketiak laki-laki yang belum lama itu menjadi suaminya. Gara-gara dia punya istri bungkam, Dokter Abi pun kembali menekan tombol play. Membiarkan aktris tadi melanjutkan pekerjaannya.

Bukan cuma diduduki, aktor berkulit gelap itu tepatnya sedang akan dilayani. Penisnya yang tegak dipegang dan dimasukkan ke dalam vagina lawan mainnya. Setelah beberapa kali mencoba, amblas juga setengah kemaluan si pria ke dalam kelamin si wanita. Aktris itu lalu mulai memompa. Naik-turun-naik-turun-naik-turun.

"Ini namanya woman on top, Dik."

"Hmmm."

"Pengen nyoba nggak?"

"Hmmm."

Bu Norma elusi paha sang suami. Tangan jahilnya lalu merambat. Kantung telur Dokter Abi dia gelitiki. Penis yang tidur itu dia coba bangunkan. Sabar, Bu Norma mengingatkan diri sendiri. Terlepas dari viagra yang sudah lelakinya minum tadi, kemaluan di tangannya memang butuh perhatian lebih.

"Tuh, Dik."

Mata Dokter Abi lekat memerhatikan gawai. Abai pada apa yang istrinya sebetulnya maui. Daripada menonton, Bu Norma lebih suka langsung eksekusi. Tapi, ya, bisa dimaklumi. Namanya baru jadi suami-istri. Masih belum benar-benar sefrekuensi.

"Seksi, kan?"

Selagi video masih berputar, Bu Norma kendarai Dokter Abi. Gerak buah dadanya menghipnotis si lelaki. Sebentar saja mereka bersenggama dalam posisi itu, sayangnya.

"Kamu seksi banget, Dik," ujar sang suami membela diri. "Nggak kuat aku tadi. Sori."

Entah mengapa, ingatan tentang malam itu yang kini menghantui benak Bu Norma kala dia jongkok di depan Kancil yang resleting celananya lantas dia buka. Wanita bersuami itu meneguk ludahnya. Betapa hina. Mencari-cari kemaluan laki-laki lain seolah dia sudah lama menjanda. Kiayi Samsuri pasti akan mengutuknya ke kerak neraka kalau sampai tahu.

Atau... mungkin tidak.

Lagipula, adalah mertuanya juga yang menasihati untuk percaya dan berusaha. Hasil akhir bukan urusannya. Bu Norma percaya Dokter Abi tengah membutuhkannya. Dia kini sedang berusaha kembali pada suaminya. Neraka atau surga, bukan dia yang menetukan, to?

"B-Bu Norma?"

Kancil tak mampu bergerak. Tanpa dia minta, Bu Norma sudah membuka celana taktisnya dan hendak memelorotkan celana dalamnya. Dia tahu, cepat atau lambat, akan dia rasakan juga kehangatan tubuh wanita berjilbab itu. Tetapi, tidak secepat ini! Berdebar-debar jantung bocah itu menanti apa yang akan terjadi.

Dulu sekali Kancil pernah memaksa pacarnya mengulum kemaluannya. Cuma sekali. Dia kapok. Bukannya diemut, kontolnya justru lecet kena gigi teman paduan suaranya itu.

Dan yang paling menjengkelkan, si pacar bersikeras, ngotot, bahwa tidak ada yang keliru dengan servisnya. Bahwa blow job itu ya begitu. Kalau nggak mau kena gigi, ya, cari pacar yang ompong sana! Demi naga penjaga tujuh samudera, padahal mereka sudah sering nonton bokep bersama.

"Boleh dibuka, Mas, ini-nya?" tanya Bu Norma dengan telunjuk menelusup ke celah celana dalam Kancil dari atas. Ujung jarinya meraba rambut-rambut kemaluan si pemuda. Wanita itu mendongak. Wajahnya merona. Cucuran peluh menyalakan kecantikannya.

Cepat-cepat Kancil mengangguk. Mana tahan dia digoda Bu Norma.

Bu Norma menghela napas. Tipu muslihatnya berhasil. Sudah dia tanamkan bibit-bibit adu domba pada diri Kancil. Itu investasi jangka panjangnya. Pada saatnya, dia akan punya pembela. Tokek tidak akan lagi semena-mena.

Sementara, untuk sekarang, Bu Norma memikirkan sebuah rencana lain. Yang lebih mendesak. Yang jika gagal, nasibnya bisa-bisa kian blangsak. Tetapi, kalau sukses; Bu Norma tidak harus melayani siapa-siapa lagi. Dia bisa merdeka kembali.

Bu Norma putuskan, akhirnya. Dia akan ambil risiko itu. Celana dalam Kancil pun dia tarik ke bawah.

Sreeet!

Di antara kedua paha si pemuda, dia jumpai sebatang kemaluan yang sudah setengah tegang. Mata beralis lentik wanita itu tak berkedip menatapnya. Rahang bawah Bu Norma hampir copot dari engselnya.

Kontol si Kancil bukan yang paling besar yang pernah Bu Norma lihat. Kira-kira sama dengan yang Dokter Abi punya. Lebih panjang mungkin. Sama cokelatnya. Tetapi, bukan itu yang paling menarik perhatiannya. Bukan itu yang membegal napasnya.

"Bu Norma?" tanya Kancil yang khawatir Bu Norma kena sambet atau apa. Diamnya wanita berkerudung itu membuatnya gusar. Seakan-akan cuma dia di dunia yang penisnya berkulup. Yang tidak pernah sunat.

"Hmmm.... Mas ng—"

"Nggak sunat," kata Kancil menyelamatkan Bu Norma dari keharusan mengucapkan kata-kata yang sangat-sangat asing pastinya bagi lidah wanita berjilbab mana saja. "Iya, Bu. Kenapa?"

Bu Norma menggeleng. Dulu di madrasah dia diajari bahwa khitan adalah sunahnya para nabi. Praktiknya dimulai dari Ibrahim sebelum turun temurun hingga ke masa kini. Sebagaimana banyak perintah tuhan, di balik perintah memotong kulit kelamin, ada alasan. Konon, agar kesehatan organ vital terjaga. Juga, agar tambah nikmat saat jimak.

Selama ini, kebenaran itu mutlak dalam dunia Bu Norma. Pasalnya, baru kali ini dia temui penis pria dewasa yang masih utuh. Perlahan dia jamah kontol berjembut lebat itu. Dari pangkalnya. Naik ke batangnya. Terasa pas di tangannya.

Aaaargh, tanggung! pikir Bu Norma. Penis yang tampak lebih panjang berkat kulup yang menyembunyikan kepala jamur itu menyita perhatiannya. Digelayuti resah, dia pun mulai mengelus. Mengurut. Berkilauan cincin kawin yang melingkari jari manisnya.

Berlama-lama Bu Norma sengaja tak segera memasukkan kepala kontol yang mengintip malu-malu itu ke mulutnya. Ragu dia pada pucuk berpenampilan tak biasa itu. Bentuknya, entah mengapa, tampak menggelikan. Menggemaskan. Mirip sosis digulung telur dadar.

"Jangan takut, Bu." Kancil usap-usapi pipi Bu Norma. Halus. Kencang. Panas. "Saya emang nggak sunat. Tapi saya nggak bakal khianat. Janji saya bisa Bu Norma pegang, kok."

Wajah Bu Norma kembali tengadah. Mata beralis lentiknya berkedip cepat. Tampak tangis dan tawa wanita berjilbab itu mau pecah di saat yang sama.

"Bener, Mas?"

Kancil mengangguk.

"Mas bakal bela saya kalau Tokek—"

Kancil mengangguk lagi. Mantap.

HAAAAAAP!

Tanpa menunggu konfirmasi lagi, Bu Norma buka mulutnya lebar-lebar. Penis tak bersunat Kancil dia kulum dengan sigap. Dia isap-isap. Lidahnya bekerja keras. Dia telusuri tiap jengkal kontol aneh itu. Dia susuri tiap uratnya. Pipinya mengempot. Menyedot-nyedot.

Sembari mentap Kancil, Bu Norma rasakan kontol di dalam mulutnya membesar dan membesar.

Jemari Bu Norma tak tinggal diam. Mereka dia kerahkan ke titik-titik sensitif si pria. Kantung skrotum Kancil dia belai dan remas. Pantat si pemuda dia usap dan raba. Anusnya dia elus-elus.

"Aaakhhhh, yahhh," erang Kancil. Refleks, dia raih payudara Bu Norma yang terhidang baginya. Terbayang di benak pemuda itu bilamana sang mantan guru mewujudkan ucapannya. Untuk menjadi istrinya. Properti-nya.

Baru mulutnya saja seenak ini. Bagaimana dengan sisanya?

Tak sampai satu menit disepong, Kancil mengejan. Mendesis-desis dia seperti akan BAB. Kepala Bu Norma serta merta dia tahan. Kain jilbab wanita itu dia cengkeram. Pinggul dia maju-mundurkan terburu-buru. Dia setubuhi mulut Bu Norma seakan hidupnya bergantung pada seberapa kuat dan cepat dia melakukannya.

Glok-glokh-gloukhhgh!

Bu Norma gelagapan. Kehabisan napas. Mual meroket dari dasar perutnya. Tangan-tangannya coba menahan. Coba membuat si lelaki mengerti. Agar lebih hati-hati. Ludah berhamburan dari sela bibir yang dikangkangi.

Sial.

Sia-sia saja upaya putus asa-nya. Kancil terlampau bernafsu menyodok-nyodok pita suara Bu Norma. Kalau pun sampai putus dia punya kepala, sodokan itu agaknya masih belum akan disela. Belum akan mereda.

"Aaaarghhh!" Kancil menjerit. Kaki-kakinya berjinjit. Bu Norma yang tadinya berjongkok kini rebah dia kangkangi. Berjuta-juta benih dia lesakkan ke dalam pencernaan si perempuan yang belum lama dikenalnya. "Bu Normaaaa!"

Bu Norma tak membeda-bedakan. Dari usia maupun ukuran. Tiga kontol sudah dia kuras. Tak setetes pun dari tiga-tiganya yang dia mubazirkan. Bahkan sesudah Kancil melemas, dia naik turunkan kepalanya. Dia bersihkan penis yang sekarang menyumpal mulutnya dari atas itu. Dia baru berhenti saat yang punya menghendaki.

"Makasih, Bu," ujar Kancil. Kening Bu Norma dia kecup sekali. Badan berisi sang bidadari dia bantu berdiri. Masih belum sepenuhnya memercayai apa yang barusan dia alami, pemuda itu menoleh ke kiri. Galah-galah sinar matahari yang menembus kanopi hutan dia amati. Luar biasa servis yang dia terima. Sampai-sampai dia lupa buang air kecil.

"Tadi itu—"

Pengungkapan ekspresi puas Kancil terhenti. Dia pegangi tempurung belakang kepala yang baru saja Bu Norma pukul dengan sebongkah batu sungai. Matanya berkedip beberapa kali. Mereka tampak bingung. Tak mengerti.

Bu Norma enggan menunggu. Sebelum Kancil mengejarnya, terhuyung, dan roboh saat mencoba; dia sudah berlari. Ke arah rumpun-rumpun bambu yang melambai. Menjauh dari tepi sungai. Moga-moga Tokek belum menyadari—

"Stooop!" raung Tokek, berderap sambil geragapan membetulkan cara dia memegangi senapan api. Dia sempat menyaksikan saat-saat terakhir sebelum Kancil mencabut kontolnya dari mulut tawanan mereka. Diam-diam, dia mengamati. Sambil mengelusi dia punya barang dari balik celana jeans yang belum pernah dia cuci bahkan hanya barang sekali.

Lha, kok, tahu-tahu saja Bu Norma sudah pegang batu. Lalu kabur saja begitu.

"Berhenti!"

Adrenalin membajiri nadi Tokek. Bisa gawat kalau sampai Bu Norma betulan lepas darinya. Bisa disate Kopral dia akhirnya.

"Lonteee!"

Tokek akhirnya melepas tembakan. Dor-dor-dor! Mulanya ke udara. Saat Bu Norma tidak berhenti dan justu menghilang ditelan bayang-bayang rimba, dia mulai membidik. Asal. Acak. Pelatuk dia tahan dengan jari. Amunisi menghujani buruan yang berlari.

Sayang beribu sayang, tidak ada satu peluru pun yang kena. Sasaran meninggalkan dia yang terheran-heran. Hanya batu dan kayu yang sukses Tokek lobangi.​

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd