Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Hanyut 3.1
759b1822f94be9b67fa7b469ec6ca608a22b76c2-high.webp

Pada awal-awal kehidupan rumah tangga mereka, Dokter Abi sebetulnya masih... normal. Penisnya belum loyo. Nafsu menggelora Bu Norma—yang pada masa itu adalah muslimah yang hampir kepala tiga—masih bisa dia imbangi. (Terima kasih viagra!) Setiap istrinya datang bulan, dia akan kecewa. Tapi masih optimis juga.

Kalau nggak bulan ini ya bulan depan berarti, batin Dokter Abi menghibur diri.

Sampai saat kakak sulung Dokter Abi yang mendirikan dan mengepalai sebuah rumah sakit swasta besar di ibukota negara (IKN) memutuskan pensiun. Dia, adik bungsu dari istri kedua ayah mereka, ditunjuk jadi pengganti. Penuh dedikasi sang dokter pun mengabdikan diri. Yang jadi korban utama kemudian adalah aktivitas ranjangnya. Bu Norma mulai jarang disentuhnya.

Beban pekerjaan yang menumpuk membuat Dokter Abi selalu mengantuk begitu sampai rumah. Belum lagi, pria berjenggot tipis itu kurang percaya diri. Dia memang yang paling dimanja di dalam keluarga. Melayani orang lain adalah panggilan hatinya. Namun, diam-diam, dia menderita imposter syndrome. Tiap kali Bu Norma dipandangi lelaki lain, Dokter Abi cemburu. Berkebalikan dengan penyuka cuckold, burungnya justru berangsur layu.

Psikolog kondang sampai kolega sendiri sudah Dokter Abi kunjungi. Sex therapist ternama pun dia sambangi. Tetapi, dia masih belum memenangkan perang batinnya. Cuma dia seorang yang tahu apa yang dia simpan rapat di dalam hati: bahwa dia merasa tidak pantas. Unworthy.

Karenanya, kalau sampai nyamuk dengar dia mengeluhkan sedikit saja dari apa yang dia punyai, Dokter Abi takut dianggap kurang bersyukur. Berapa banyak orang yang bukan hanya sudi namun rela berkorban segalanya demi ada di posisinya. Mengemban jabatan, ekonomi mapan, dan punya istri idaman.

"Sabar," nasihat ayah mertua Bu Norma yang juga seorang kiayi. Lelaki itu sudah renta. Sudah jarang dia membuka kelopak mata. Hanya saat bicara dengan orang penting saja. Seperti pada malam itu, ketika si bungsu bertamu dengan masih tanpa membawakannya cucu. "Gusti akan beri jalan. Tugas kita manusia cuma dua. Percaya dan usaha. Serahkan sisanya pada Pencipta."

Dokter Abi dan Bu Norma percaya. Mereka juga terus berikhtiar. Tetapi, ketiadaan buah hati dalam hidup mereka terlalu besar untuk terus menerus diabaikan. Dokter Abi, terutama, frustasi sekali. Sebagai laki-laki, dia merasa bagai dikebiri. Adalah tugasnya membuahi sang istri. Oleh karena itu, pada tahun keempat perkwainan, dia lalu mengusulkan: agar mereka mengadopsi.

Kenapa adopsi dan tidak IVF? Karena baik Dokter Abi maupun Bu Norma sama-sama percaya pada fatwa yang menyebut bahwa terciptanya cikal bakal janin melalui hubungan resmi antara suami dan istri merupakan sesuatu yang suci. Sesuatu yang manusia haram mencampuri. Enggan menantang kuasa tuhan, mereka pun sepakat memancing berkah Sang Penguasa Alam saja. Caranya, dengan menghidupi anak-anak dari panti. Siapa tahu, dengan begitu, akhirnya masalah ereksi Dokter Abi hanya akan tinggal memori yang baiknya tak usah dikenang-kenang lagi.

Tak tanggung-tanggung pasangan suami-istri itu waktu akhirnya mengadopsi. Tiga kakak beradik mereka entaskan dari panti asuhan. Bulan-bulan ketika rumah mereka ramai diisi ribut para berandalan itu merupakan bulan-bulan yang paling indah bagi Dokter Abi dan Bu Norma. Rumah tangga yang sempurna bukan lagi mimpi tetapi telah (hampir, sedikit lagi) menjadi kenyataan yang mereka cecap juga manisnya.

Lalu, perang tiba.

Farhan, Kasim, dan Nadim diambil dari mereka. Kepergian mereka meninggalkan luka menganga. Sakitnya abadi. Selamanya. Oleh karena itu, meski perang melahirkan anak-anak yatim-piatu baru, Pak Dokter serta Bu Guru kita ini memilih menunda. Takut sekali mereka jika harus mengalami kehilangan yang sama.

Jika Farhan, Kasim, dan Nadim belum tuhan ambil, Bu Norma kalkulasi, mereka sudah akan jadi pemuda-pemuda yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Lain sekali dari Tokek dan Kancil yang kini memapahnya menuju sungai. Kedua cecunguk itu membuatnya risih. Terutama Tokek, yang sedari tadi melarangnya mengancingkan kembali kemejanya.

Baru kali ini Bu Norma bertelanjang dada di ruang terbuka. Sejuk udara sedikit mengangkat gerah yang melanda selama dia disekap di dalam pondok. Meski begitu, wanita dengan hijab tersampir itu tidak betah. Daripada wanita baik-baik yang sedang disandera, dia kini lebih menyerupai lonte murahan yang kena gusur dari lokalisasi. Bu Norma pun kemudian meminta agar dia dibiarkan berjalan sendiri setibanya mereka di bantaran kali.

"Bu Norma yakin?" tanya Tokek. Senapan laras panjang tersampir di bahunya Kopral dan Gagah sedang pergi. Ke pasar. Mereka berangkat buru-buru sekali. Oleh sebab itu, keamanan pondok sekarang mau tak mau ada di pundak Tokek. Dia harus selalu siap kalau ada apa-apa. "Masih jauh lho."

Sewaktu membangunkan Bu Norma, Tokek sudah umumkan rencana mereka. Untuk mandi. Di sungai. Yang agak dalam. Letaknya di hilir. Untuk ke sana, mereka harus hiking sebentar. Sejam setengah paling lama.

Sejam setengah yang akan terasa bagai neraka bagi Bu Norma.

Sengaja perempuan berkacamata itu hindari tatapan Tokek sebelum kemudian mengangguk. Dia coba berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Selakangannya masih ngilu. Masih nyeri. Sperma Kopral melelehi kedua paha. Walau demikian, Bu Norma enggan mengakui. Hal terakhir yang dia butuhkan kini adalah mengasihani diri.

Di meja makan tadi memang sudah dia yakinkan Pak Pur bahwa dia tidak akan lari. Bahwa gubuk di tengah hutan itu adalah rumah barunya. Namun begitu, di lubuk hatinya, Bu Norma tahu. Itu semata dusta. Dia hanya harus kelabui kedua bawahan yang mengawalnya pagi ini.

Lalu lari.

Percaya dan usaha. Kata-kata Kiayi Samsuri terngiang dalam benak Bu Norma saat dia bersiap melintasi sungai dengan masih mengenakan sepatunya. Jaga-jaga saja. Kalau-kalau ada lintah bajingan yang juga kepingin mencicipi tubuh moleknya.

"Pegangan, Bu," ujar Tokek, mengulurkan tangan. Pemuda itu memimpin rombongan. Keselamatan mereka yang mengekornya adalah prioritasnya. Bu Norma yang ragu-ragu menginjakkan kaki pada permukaan licin bebatuan kali, terutama. Pagi itu arus sungai cukup deras berkat semalaman daerah hulu diguyur hujan.

Bu Norma menggigit bibir bawahnya dan menggeleng.

"Jijik sama tanganmu dia, Kek," kelakar Kancil.

Mendelik, Tokek beri kode pada Kancil di belakang. Kalau sampai Bu Norma kenapa-napa, dia yang akan kena getahnya. Usai semua sepakat, mereka mulai perjalanan.

Sembari menunggi giliran, Kancil benahi letak ransel yang dia gendong di bahu kanan. Tas itu bukan miliknya. Bukan pula jarahan perang. Dia tadi mengambilnya dari Bu Norma. Melawan kehendak yang punya.

Sekeluarnya mereka dari pondok, Bu Norma langsung terhuyung-huyung minta diantar ke mobilnya. Wanita berjilbab itu setengah berharap: Dokter Abi ada di balik kemudi. Menanti. Tentu saja, di sana tidak ada siapa-siapa. Bu Norma yang kecewa tak dibiarkan berlama-lama mengenang masa-masa yang dia habiskan bersama sang suami berkeliling negeri di dalam kendaraan tersebut.

Usai gagal menemukan radio yang biasa suaminya pakai komunikasi ketika sedang berkendara, buru-buru Bu Norma sambar ranselnya. Di dalamnya, saat tadi Kancil periksa, ada beberapa lembar busana muslimah serta mukena. Bu Norma tampaknya ingin berganti pakaian. Sembahyang, bahkan. Sebelum Tokek menyela, pemuda itu berkata, "Biar saya bawa. Bu Norma jalan aja."

Kancil harus akui, meski tak lagi muda, Bu Norma masih menggairahkannya. Penilaian dini-nya atas diri wanita itu pada malam mereka pertama bertemu sangat kurang bisa dipercaya. Di bawah sinar mentari, Kancil kini mengagumi sosok Bu Norma. Dia terutama kagum pada bongkahan pantat di depan matanya. Seakan dia belum pernah melihat mereka telanjang saja.

Entah mengapa, bagi Kancil, kain rok yang sekarang menyembunyikan bokong Bu Norma justru menjadi bumbu. Makin sedap saja mereka dia pandang. Dia pun penasaran. Seperti apa rasanya bokong Bu Norma di tangannya? Juga, selain suami dan Kopral, siapa saja yang pernah menikmati bokong itu?

Kancil begitu fokus mengamati gerak naik turun pantat Bu Norma hingga dia telat bereaksi. Belum lama sesudah mereka menyeberang dan berjalan ke arah selatan, si wanita betulan kepeleset. Bukan cuma terpeleset, Bu Norma juga terjengkang ke belakang. Tak ayal, tubuh wanita berhijab itu ambruk pada pria di belakangnya.

Tahu-tahu saja Kancil sudah mendekap buah dada Bu Norma. Bagaimana bisa benda sekenyal dan sehalus itu ada.

"Wahahahaaha!"

Tokek melepas tawa. Tampak Bu Norma kikuk dan tak tahu harus apa. Tanpa lelaki di belakangnya, pasti tadi dia celaka. Namun, begitu tiba saat untuk melepaskannya, pahlawan itu justru membeku. Mematung. Linglung.

Bu Norma rasakan buah dadanya sedikit diremas si anak muda.

"Enak nggak, Cil? Kenceng, kan, susunya Bu Norma? Emak-emak super ini. Punya mbak-mbak aja belum kenthu, eh, tentu, lebih enak!"

Tokek sendiri sudah merasakan. Oh, ya. Pertama saat dia lepas kancing kemeja Bu Norma kala Kopral menggenjotnya di meja makan. Yang kedua saat dia bantu Bu Norma bangun dari lantai. Dia remasi gunung kembar itu sebelum yang punya marah dan menukas tangannya. Katanya waktu itu, "Haiyah. Masih jual mahal, Bu? Ck, ck, padahal sama Kopral diobral, lho."

"Jaga mulut kamu," hardik Bu Norma. Tangan-tangan wanita itu menyilang di depan dada. Wajahnya masih belepotan sperma.

Tokek menyeringai. Secepat kilat tangannya mematuk. Leher Bu Norma tiba-tiba sudah dalam cengkeramannya. Kalau tidak dihentikan Kancil, bisa-bisa dia hilangkan nyawa tawanan mereka. Selepas membebaskan Bu Norma, Tokek mewanti-wanti.

"Denger, ya, pecun. Aku bukan Kopral. Dia mungkin bisa pura-pura kasar. Sama dia kau bisa main-main. Sama aku? Jangan coba-coba." Tokek ludahi wajah Bu Norma yang merengut takut. Ludah itu mengenai salah satu pipi wanita yang tak berdaya itu. "Kalau mau selamat: tutup mulut dan nurut! Oh, ya. Jangan ditutupi itu susu, Bu. Susu bagus kok dibungkus terus."

Sebagaimana saat dia pasrah dan berjalan ke luar pondok dengan jilbab yang tersampir dan dada yang terbuka, Bu Norma kini dikuasai malu luar biasa. Jengah dia karena Kancil tak juga melepaskannya. Apalagi, dia rasakan kemaluan si pemuda sudah keras saja di belakang punggungnya. Menggesek belahan pantatnya.

Agaknya Kopral tidak berdusta. Soal ada empat kontol di sini yang bisa memuaskannya. Bu Norma sedikiiit penasaran. Seperti apa bentuk kemaluan Kancil. Bagaimana rasanya.

Punya Kopral dan Tokek, kurang lebih dia sudah tahu. Sedangkan yang satunya lagi, wanita itu tidak tahu harus menebak mulai dari inchi keberapa? Secara, Gagah tampak bukan manusia di matanya. Lelaki gondrong itu mengingatkan Bu Norma pada tokoh Samson dalam hikayat bangsa Israil.

"E-ehm, maaf, Bu," ucap Kancil, berlagak membersihkan tenggorokan. Salah tingkah pemuda itu merelakan buah dada Bu Norma berpisah dari jemarinya. Bisa dia rasakan Tokek memandang geli ke arahnya di sepanjang sisa perjalanan mereka.

"Santai, Cil," kata Tokek saat mereka sedang istirahat. Lokasi mereka akan mandi tinggal setengah jalan lagi. Aliran kali kian deras di sini. Bebatuannya juga bukan cuma kerikil. Bongkahan-bongkahan hitam kelabu nan berlumut sebesar kerbau berserakan di sana-sini. Di antara batu-batu itu terdapat ceruk-ceruk yang cukup dalam untuk berendam.

"Nanti kowe bisa sentuh-sentuh Bu Norma lagi. Tunggu bekasku tapi."

Bu Norma mendelik. Tokek berbicara seakan-akan dia tak ada di sana. Kancil pun sama bersalahnya karena diam saja. Mereka merokok tanpa peduli dia sesak dada.

Saat dibawa Kopral ke meja makan, Bu Norma tahu persis: pria-pria asing yang memandanginya bukan sebatas pemirsa. Tidak. Mereka juga pasti ingin melecehkannya. Menodainya. Menyantapnya. Merasakan hangat liang kawinnya.

Bu Norma mengembuskan napas panjang. Laki-laki di mana-mana sama. Cuma satu di otak mereka. Dan bagai kucing diberi umpan ikan, kedua pemuda itu sudah pasti tak sabar ingin menerkamnya. Melahapnya.

Yang agak anu, bagi Bu Norma, adalah: kenapa Tokek repot-repot menahan diri? Kalau Kancil, Bu Norma mengerti. Anak muda itu masih ingusan. Belum berpengalaman. Dia mungkin belum yakin nafsunya yang menggebu harus diapakan.

Tetapi, Tokek berbeda. Pemuda itu tampak terbiasa memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas dua. Sebagai objek pemuas nafsu belaka. Bukan sesuatu yang mengherankan jika tadi saat mencekiknya, Tokek sebenarnya ingin langsung mengeksekusi Bu Norma. Dengan kontol berbenjol-benjolnya.

Uuughhh. Ngilu Bu Norma membayangkannya. Dia sudah pernah dengar. Dari salah satu rekan guru. Suami temannya itu dituntut ke pengadilan. Gara-garanya, pria itu memasang biji tasbih dan gotri pada kemaluannya. Bukannya klepek-klepek, si istri justru menggungatnya. Sesakit itu, ya?

Apapun itu, Bu Norma ingatkan dirinya untuk tetap waspada. Jika beruntung, mungkin dia bisa kabur sebelum Tokek mengoyak memeknya.

Astaghfirullah, Bu Norma membatin. Kenapa dia ikut-ikutan menyebut organ vitalnya sendiri dengan kata-kata jorok itu? Sejak kapan dia ... sebinal ini? Jangan-jangan... dia kepengen lagi?

Bu Norma gebah pertanyan-pertanyaan ini. Dia masih punya harga diri.

Gelisah Bu Norma dibaca oleh Kancil. Saat mereka kembali berjalan, dia bisiki wanita yang lebih tua itu supaya Tokek tidak mendengar.

"Bu Norma," kata Kancil yang hampir menyejajari si perempuan paruh baya, berdua menyelinap di antara batu-batu kali yang kadang harus mereka naiki, turuni, atau lompati karena mustahil untuk mereka kitari, "saya... janji. Saya nggak akan kasar ke Bu Norma nanti."

Entah disebabkan oleh angin atau kata-kata Kancil, tiba-tiba bulu kuduk Bu Norma berdiri. Dia berhenti melangkah. Pendengaran dia tajamkan. Tokek hilang di depan. Dendang sengau pemuda bertato itu semakin samar di kupingnya. Sebentar lagi ditelan gemericik air dan gemerisik rumpun-rumpun bambu di sepanjang sungai.

Yang artinya, Bu Norma menyimpulkan: mereka cuma berdua. Kancil dan dirinya. Tentunya, dia bisa—

"Bu," kata Kancil, tangan menepuk bahu Bu Norma dari belakang, "ada apa? Kok ngelamun?"

Bu Norma menggeleng, lalu berjalan kembali. Di depan batu besar yang menghadang, dia biarkan Kancil mengangkat pinggulnya ke udara agar tangan-tangannya bisa berpegangan. Lalu, saat turun dari sisi sebaliknya, dia biarkan pula dia ditangkap setengah digendong olehnya. Tangan-tangannya dia kalungkan pada leher si pemuda.

Baru sebentar mereka bersama, tetapi Bu Norma merasa dia telah cukup mengenal Kancil. Padahal mereka tak banyak bicara. Lewat sentuhan-sentuhan di antara mereka, Bu Norma jadi bisa menebak pribadi Kancil seperti apa aslinya.

Anak ini anak baik-baik, pikir Bu Norma. Agaknya Kancil cuma salah pergaulan saja. Dekat-dekat penjual minyak kesturi, kau ikut wangi. Nongkrong bareng burung pemakan bangkai, ikut bacin juga kau akhirnya. Dengan bimbingan yang tepat, Bu Norma yakin, Kancil bisa jadi manusia berguna.

Yang jadi soal sekarang adalah, Bu Norma memeras otak, bagaimana caranya membuat Kancil ada di pihaknya?

Bagaimana agar Kancil berguna untuknya?

Selagi Bu Norma mencari-cari solusi bagi kebuntuannya, waktu tanpa terasa berlalu. Sejam lebih mereka sudah mengikuti sungai. Mendung dan lembapnya udara membuat seolah-olah durasi hiking itu jauh lebih lama dari yang sebenarnya.

"Kok nggak sampe-sampe, to, Mas?" tanya Bu Norma. Wanita itu tumpukan beban badan pada kedua lutut yang agak dia tekuk. Kepalanya menunduk. Payudara menggantung di bawah jilbabnya. Peluh menetes-netes dari hidung dan puting susu.

Tes-tes-tes-tesss.

"Tinggal dikit, kok, Bu," jawab Kancil yang buru-buru membuang muka saat Bu Norma kembali tegak punggungnya. Mata di balik kacamata itu dia tahu indah. Namun mereka juga bisa setajam belati.

"Serius?" tanya Bu Norma, punggung tangan mengusap dahi. Dada wanita itu kini membusung. "Nggak lagi becanda?"

Jika ada yang mengerjainya saat itu dengan memelorotkan celana taktisnya, Kancil akan sangat malu. Bukannya apa... Bu Norma bahkan belum dia cium dan celana dalamnya sudah kopoh-kopoh. Sudah lengket dengan lendir precum. Coba mengasihani yang nanti mencuci sempak itu, Kancil bertanya, "Bu Norma haus?"

Bu Norma menoleh. Ya. Dia haus. Kalau bukan karena tidak percaya pada jernihnya air kali yang bisa saja menyembunyikan bakteri dan kuman, sudah dia minum habis sungai yang sedari tadi mereka ikuti. Tanpa perlu ditawari lagi, wanita berkacamata itu pun mengiyakan.

Sebelum Kancil memindahkan botol minum dari tangannya—yang dia ambil dari ransel di bahu kiri—ke tangan Bu Norma, sayangnya, tiba-tiba datang Tokek yang menyela. Serakah pemuda itu sambar botol air minum yang lalu dengan rakus dia teguk hingga sisa setengahnya. Sadar dirinya diamati, Tokek lalu pandangi Bu Norma dan Kancil bergantian. Mata julingnya menyipit.

"Apa, Cil?"

"N-nggak apa-apa."

Tokek tersenyum meremehkan.

"Bu Norma mau?" Tokek menunjuk botol di tangannya. "Minum? Hmm?"

Bu Norma bungkam seribu bahasa.

"Tuh," kata Tokek, menuding air sungai, "minum. Gratis."

~bersambung​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd