Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[B.O.T.S] Three Sisters (istriku dan ipar-iparku)

Gruk gruk gruk. Bunyi dari perutku mengganggu keheningan kamar ini. “Perut siapa tuh?”, Mba Dita bersuara.

Rani pun mengangkat kepalanya dan menatapku. “Mas laper? Sammaaa”, sahut Rani manja.

“Ya gimana ngga laper, energi gue abis disedot elo berdua hehehe”, jawabku.

“Yaelah, daritadi elo cuma pasrah ngga ngapa-ngapain juga”, sahut Mba Dita menimpali.

“Lah emang kontol gue ngga cape apa daritadi bediri mulu. Sampe muntah-muntah pula”, sahutku asal.

Sontak Mba Dita dan Rani tertawa mendengar ucapanku. Bahkan Rani sampai mencubit perutku hingga aku mengaduh.

“Gue mau ambil buku menu dulu”, sahutku ke Rani. Rani pun berguling ke kiri beranjak dari tubuhku. Aku lalu bangun dari tempat tidur dan melangkah menuju meja di bawah televisi. Mengambil buku menu yang ada di sana dan membawanya ke tempat tidur di mana terdapat dua wanita kakak beradik tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Sang kakak masih terbaring tapi sibuk bermain dengan ponselnya, sedangkan sang adik masih bermalas-malas manja di tempat tidur.

“Elo pada mau pesen apa?”, tanyaku ke mereka berdua sambil menyerahkan buku menu ke sang kakak.

“Elo emang mau pesen apa?”, Mba Dita balik bertanya.

“Gue paling steak tenderloin. Ada ngga?”, sahutku ke Mba Dita.

Mba Dita membuka-buka buku menu. “Ada nih”, sahutnya lagi.

“Aku mau nasi goreng seafood. Sama minumnya jus semangka”, sahut Rani tanpa ditanya.

“Elo jadinya mesen apa Mba?”, tanyaku ke Mba Dita.

“Gue ini aja deh, steak salmon sama milkshake strawberry ya”, jawab Mba Dita sambil menutup buku menu dan menyerahkannya kepadaku lagi.

Kuambil buku menu dari Mba Dita, lalu menyimpannya di dekat telepon yang ada di meja kecil samping kanan tempat tidur. Kuangkat gagang telepon dan kupencet nomor ekstensi sesuai tertera dalam buku menu.

Selesai memesan makanan, kuambil ponselku dan menyandarkan tubuhku di sofa untuk satu orang dengan tambahan sandaran kaki, yang ada dekat kaca yang menghadap jalan Dago. Kubuka ponselku dan mulai membaca pesan-pesan yang masuk untukku, dan aku balas beberapa diantaranya.

Ting tong. Sekitar lima belas menit sejak ak memesan makanan, makanan pun tiba. Mba Dita dan Rani yang masih dalam keadaan telanjang bulat, sedikit panik. Mba Dita bergeser ke arah kepala kasur dan merebahkan tubuhnya, sambil menarik selimut yang sejak tadi sebagai alas kami bercinta. Ditutupi tubuhnya sampai sebatas leher, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Rani pun demikian, berbagi selimut dengan Mba Dita, Rani memasukkan tubuhnya dibalik selimut sampai sebatas leher pula, lalu ikut memainkan ponselnya juga.

Aku mencari celana pendek dan kaos oblong yg tadi aku pakai. Tidak ketemu. Aku melangkah ke kamar mandi dan mengambil handuk, lalu melilitkannya ke tubuhku sebatas pusar ke bawah. Ternyata pakaianku semuanya ada di lantai, bercampur dengan pakaian Rani. Aku bereskan pakaian kami bertiga yang masih berserakan, kutaruh semuanya di kursi tempat Mba Dita tadi melakukan masturbasi.

Kubuka pintu kamar dan kupersilahkan room boy meletakan di meja bawah televisi. Kemudian Room boy pun keluar kamar setelah menerima pembayaran dariku ditambah lebihan buat dirinya.

“Mau makan di mana?”, tanyaku ke Mba Dita dan Rani.

“Aku nanti makan di kasur aja lah Mas”, jawab Rani sambil senyum kepadaku.

“Sama”, sahu Mba Dita masih tak lepas pandangannya dari ponselnya.

Kuambil kedua piring yang berisi pesanan Mba Dita dan Rani. Kubawa ke tempat tidur dan kuletakkan kedua piring di antara tubuh Mba Dita dan Rani.

“Eh Rio, ngga usah, engga usah repot-repot”, sahut Mba Dita sambil menegakkan badannya sehingga dalam posisi duduk di tempat tidur dan menerima piring berisi makanan pesanannya dari tanganku.

“iiihh Mas Rio baik banget deh bawain ke sini. Makasih yaa”, sahut Rani merajuk, tetap dalam posisi tiduran dan memberikan senyum cantiknya padaku.

Kami bertiga pun makan bersama. Aku memilih untuk makan di meja bawah televisi dengan menggunakan kursi yang diduduki Mba Dita untuk masturbasi tadi, dengan terlebih dahulu memindahkan pakaian kami semua ke atas tas koper milik Mba Dita. Sedangkan Rani dan Mba Dita menyantap makanannya di atas tempat tidur, masih keduanya dalam keadaan telanjang bulat, hanya menutupi bagian selangkangannya dengan selimut, sementara dua pasang payudara mereka dibiarkan menggantung bebas.

Mereka makan sambil bergossip ria mengenai orang-orang yang ada di kantor mereka, karena mereka memang bekerja pada perusahaan yang sama. Sesekali mereka berdua tertawa terbahak-bahak membicarakan tingkah laku teman-teman kantornya. Aku yang tidak mengerti obrolan mereka berdua, hanya bisa menikmati makanan sambil bermain game online.

Selesai makan, aku membakar rokokku dan berpindah duduk ke sofa dekat jendela. Sebelum duduk, kubuka lilitan handuk yang menutupi selangkanganku. Kemudian aku duduk di sofa, lalu kujadikan handuk sebagai selimut untuk menutupi selangkanganku. Kuletakkan asbak di meja kecil samping kanan sofa, lalu kembali berkutat pada ponselku.

Kutelepon Risa, istriku. Menanyakan kabar anak-anak di rumah. Terdengar celotehan kedua anakku di seberang sana. Tak lupa kuberitahukan padanya kalau aku sedang bersama kedua saudari kandungnya. Risa tidak menaruh curiga sedikit pun. Selain karena saudari kandung, juga karena kedua saudari kandungnya saat ini bersamaku, mungkin lain cerita kalau hanya salah satu dari mereka yang bersamaku.

Mba Dita dan Rani tetap mengobrol sambil membereskan piring kotor bekas mereka makan. “Duh perut gue kok mules ya”, sahut Mba Dita diujung obrolan. “Aku dulu. Aku mau pipis”, sahut Rani ke Mba Dita. Rani pun berjalan ke arah kamar mandi.

“Elo liat rokok gue ngga?”, tanya Mba Dita padaku. “Kaga. Pake ini aja nih”, sahutku sambil menyodorkan rokokku beserta koreknya.

“Yaudah gue bagi ya. Udah kebelet gue”, sahut Mba Dita menerima sebungkus rokok dan koreknya. Diambilnya rokok sebatang dan dinyalakannya diselipan kedua bibirnya.

“Thanks”, sahut Mba Dita diiringi hembusan asap rokok ke udara dari mulutnya dan mengembalikan rokokku beserta koreknya. Lalu Mba Dita berjalan ke arah kamar mandi sambil berteriak, “Rani buruaan, gue kebelet”.

“Iyaa, ini udah kok”, balas Rani dari dalam kamar mandi.

Mba Dita langsung masuk ke dalam kamar mandi. Terdengar ada percakapan di antara mereka di kamar mandi, yang tidak jelas aku dengarkan. Tak lama kemudian Rani keluar kamar mandi sambil mengelap daerah vagina dan pantatnya dengan handuk yang dibawanya dari kamar mandi.

“Ran, minta tolong remote tivi dong?”, sahutku sambil menunjuk ke arah remote televisi berada yang tak jauh darinya.

Rani menggantungkan handuk ke sandaran kursi, lalu mengambil remote televisi dan berjalan menghampiriku. Tetapi bukannya memberikan remote kepadaku, Rani malah menarik handuk yang sejak tadi menutupi selangkanganku. Kemudian Rani mengambil posisi untuk duduk di pangkuanku dan sukses mendaratkan belahan pantatnya di atas penisku. Disandarkan punggungnya pada tubuhku. Diambilnya tangan kiriku dengan tangan kirinya dan diletakkan di perutnya sambil digenggamnya tanganku.

“Mau nonton apa Mas?”, tanya Rani sambil mengarahkan remote dengan tangan kanannya ke arah televisi.

“Coba liat hbo atau fox. Siapa tau ada film bagus”, jawabku. Rani pun memencet tombol untuk mencari channel yang aku maksud.

“Ini Mas?”, tanya Rani.

Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke layar televisi. “Yaudah ini aja”, jawabku.

Rani lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Lalu dicium-ciumnya pipi kiriku beberapa kali.

“Pacaran mulu”, sahut Mba Dita tiba-tiba. Kulihat dia sudah keluar kamar mandi sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk. “Gue serius loh ya nyuruh kalian stop”, sahut Mba Dita lagi.

“Ah bilang aja takut aku rebut Mas Rio”, Rani menanggapi.

“Yee gue kan cuma eMeL doang, ngga pake pacaran segala”, jawab Mba Dita sambil menghisap rokoknya yang baru saja dibakar.

“Ya sama aja”, sahut Rani tidak mau kalah.

“Ya bedalah”, sahut Mba Dita dengan nada agak tinggi.

“Udah ah jangan pada ribut. Mending main lagi nyok. Gue udah konak lagi nih hehehe”, sahutku memotong perdebatan kedua kakak adik ini.

Langsung keremas payudara kanan Rani dengan tangan kiriku, kumainkan putingnya dengan memilin-milinnya ke kiri dan ke kanan. Kusimpan ponselku ke tempat tidur dengan tangan kananku. Lalu tangan kananku menjalar dari perut Rani ke arah selangkangannya.

Sesampainya di bawah perut Rani, jari tengah tangan kananku mulai kumainkan di vagina Rani. Pertama kali aku sentuh adalah klitorisnya. Kumainkan klitorisnya dengan ujung jari tengahku. Kutekan-tekan dan kugerakkan ujung jariku dengan cara berputar. Rani pun bereaksi atas gerakan jariku. Rani menarik kepalaku dengan tangan kirinya, lalu diciumnya bibirku penuh hawa nafsu, kubalas ciuman Rani dengan nafsu pula.

Batang penisku sudah dalam keadaan keras sempurna bertengger pada belahan kedua pantat Rani, ditambah lagi dengan gerakan pantat Rani seiring permainan jari tengahku di vaginanya, membuat gesekan antara batang penisku dengan belahan pantatnya.

Setelah cukup puas bermain dengan klitoris Rani, jari tengahku mulai merangsek ke dalam lubang kenikmatannya. Kumasukkan tiga perempat jari tengahku ke dalam lubang vagina Rani, kurasakan di jariku lubang vagina Rani yang sudah basah oleh cairan hangat. Kukocok lubang vagina Rani perlahan-lahan. Kuberikan sedikit gerakan berputar jariku dalam lubang kenikmatannya. Sementara tangan kiriku meremas-remas kedua payudara Rani bergantian. “Ach ach ach”, desah Rani. Dia tidak sanggup menciumku. Mulutnya terbuka sambil mengeluarkan desahan di dekat bibirku. Aku kulum bibir bawahnya.

“Mas, masukin”, pinta Rani padaku.

Kulepaskan kocokan jari tengahku dari vagina Rani. Begitu banyak cairan vagina Rani yang menempel pada jari tengahku, hingga cairan itu menetes dari jari tengahku begitu aku keluarkan jariku dari lubang vagina Rani.

“Angkat pantat kamu sedikit ya”, sahutku ke Rani.

Kemudian Rani pun mengangkat kedua bongkahan pantatnya dari atas selangkanganku. Kutegakkan batang penisku dengan tangan kananku, lalu kuarahkan kepala penisku ke permukaan lubang vagina Rani, Rani membantu dengan menggerakkan tubuhnya agar kepala penisku tepat berada di lubang kenikmatannya.

Setelah dirasakan pas, Rani pelan-pelan menurunkan kedua pantatnya membuat kepala penisku merangsek ke dalam lubang vaginanya yang sudah becek oleh cairan kenikmatannya. Hampir seluruh batang penisku ditelan vagina Rani. Terasa hangat penisku di dalam sana. Rani tidak langsung menggoyangkan pinggulnya. Dia kembali menciumku dengan penuh nafsu.

Kuarahkan kembali tangan kananku ke vagina Rani. Lalu kumainkan klitoris Rani, sehingga tubuh Rani bergoyang mengikuti irama sentuhan ujung jari tengahku di klitorisnya.

Aku menekuk kedua lututku sedikit ke atas. Kedua telapak kakiku berada di atas sofa. Sementara kedua kaki Rani berada di kanan dan kiri kedua kakiku. Kemudian kugoyangkan pinggulku untuk mengocok vagina Rani dengan penisku. “Ach ach ach”, Rani pun kembali mendesah akibat vaginanya dikocok oleh penisku.

Kulihat Mba Dita memperhatikan persetubuhan antara aku dan Rani. Aku berikan senyum kepada Mba Dita. Lalu aku anggukan kepalaku mengajak Mba Dita untuk bergabung denganku dan Rani. Mba Dita pun beranjak dari atas tempat tidur dan duduk di tepi tempat tidur.

Mba Dita memperhatikan apa yang aku dan Rani lakukan dengan jarak kurang lebih satu meter. Kulihat tangan kanannya diselipkan di pangkal pahanya, lalu Mba Dita menggerak-gerakkan jari tangan kanannya di vaginanya. Kemudian ditarik kembali tangan kanannya dari pangkal pahanya, dan disodorkannya kepadaku dengan ujung ibu jari dan telunjuk kanannya bersentuhan seperti capit kepiting, lalu digerakan seperti kepiting yg akan menyapit dan kulihat ada cairan kental diujung ibu jari dan telunjuk kanan Mba Dita.

“Udah becek”, sahut Mba Dita dan kembali menyelipkan tangan kanannya di pangkal pahanya.

Hasratku kembali meluap untuk segera menikmati vagina Mba Dita lagi. Kupercepat kocokan batang penisku di vagina Rani, membuat tubuh Rani terlonjak-lonjak di atas badanku. Dengan sedikit hentakan-hentakan dari otot pinggulku, kubenamkan batang penisku semakin dalam di liang kenikmatan Rani.

“Ouch mash..mash..mash..mash..mash..pelan-pelan mash..”, racau Rani. Aku tidak mempedulikannya, tetap kukocok vagina Rani dengan cepat.

“Mash..mash..mash..ooch..mash..mash..udah mash..udah maaasshhh...”, racauan panjang Rani disertai pantatnya terangkat dari tubuhku sementara badannya melenting ke belakang dengan tumpuan kedua tangannya pada kedua lengan sofa, menandakan Rani telah mencapai orgasmenya, selain itu juga batang penisku merasakan sesuatu cairan hangat keluar dari lubang vagina Rani yang membuat lubang kenikmatannya menjadi semakin licin.

Aku turunkan kecepatan kocokan batang penisku di lubang vagina Rani perlahan-lahan hingga berhenti. Lalu aku peluk tubuh Rani dengan kedua tanganku sambil kedua tanganku meremas-remas kedua payudaranya dan memilin-milin kedua putingnya. Kemudian Rani menyandarkan punggungnya ke atas tubuhku, sedikit ke kiri. Dia memalingkan wajahnya ke kanan ke arah wajahku, lalu bibirnya langsung menyambar bibirku dengan penuh nafsu.

Sambil tetap berciuman, perlahan kugeser tubuhku ke kanan sambil bangkit dari sandaranku di sofa, sehingga tubuh Rani yang sekarang bersandar di atas sofa. Kaki kiriku sudah menginjak lantai, kusudahi ciumanku di bibir Rani. Aku berpaling ke arah Mba Dita di belakangku yang masih duduk di pinggir tempat tidur, kuhampiri tubuhnya, lalu kuambil posisi tepat di hadapan Mba Dita dengan kedua kakiku sedikit mengangkangi kedua kaki Mba Dita. Kudekatkan kepalaku ke kepala Mba Dita untuk menciumnya, Mba Dita membalas nafsu ciumanku. Tangan kananku mendorong pelan di dadanya sehingga tubuh Mba Dita terbaring di atas tempat tidur diikuti condongnya tubuhku karena bibir kami masih saling berpagutan. Tubuhku tidak menyentuh tubuh Mba Dita, aku bertumpu pada kedua tanganku yang berada di samping kanan dan kiri tubuh Mba Dita.

Ciumanku beralih dari bibir Mba Dita ke arah lehernya sebelah kiri, dan terus turun menuju dadanya. Menciumi payudaranya sebelah kiri, lalu mengulum puting kirinya yang mulai mengeras. Kemudian beranjak ke payudara kanan Mba Dita dan kuciumi serta kukulum putingnya disertai gigitan-gigitan kecil. Hembusan nafas Mba Dita semakin berat.

Setelah puas mencium payudaranya, ciumanku turun ke bawah ke arah perutnya. Kucium lembut yang membuat Mba Dita menggelinjang geli. Terus turun ke arah pangkal paha Mba Dita, menuju gundukan vaginanya yang tembem. Vagina Mba Dita yang gundul, dengan posisi kedua kakinya yang masih rapat dan menjuntai ke lantai, sehingga yang kulihat berupa ujung badan wanita yang terdapat garis tebal vertikal labia minora yang sedikit menyembul keluar.

Kubuka kedua kaki Mba Dita, kudorong sedikit tubuh Mba Dita ke atas tempat tidur, kutekuk kedua kakinya ke atas sehingga kedua lututnya tertekuk menghadap ke atas. Kurendahkan tubuhku dengan berdiri bertumpu pada kedua lututku di lantai. Kugeser tubuhku agar lebih dekat dengan selangkangan Mba Dita yang sudah terbuka lebar.

Aku bisa melihat dengan jelas vagina Mba Dita yang tanpa bulu sehelaipun. Kuletakkan kedua telapak tanganku di bagian bawah kedua paha Mba Dita dan kudekatkan kepalaku ke arah vaginanya, hingga aku bisa mencium aroma selangkangan Mba Dita yang berbau khas sabun khusus kewanitaan.

Kuarahkan lidahku ke bagian atas vagina Mba Dita. Ujung lidahku aku mainkan di sana. Mba Dita bergerak-gerak geli. Lalu kulakukan gerakan sapuan dengan lidahku dari bagian bawah vagina Mba Dita. Ujung lidahku menelusuk masuk ke liang vagina Mba Dita saat melakukan sapuan. “Aacchh”, desah Mba Dita.

Kuulangi gerakan sapuan tadi tapi sedikit berlama-lama saat ujung lidahku berada di dalam lubang kenikmatan Mba Dita, kumainkan ujung lidahku di dalam lubang vaginanya. Tubuh Mba Dita terus menggelinjang kenikmatan. Kuulangi sekitar lima kali.

Selanjutnya kubenamkan mulutku ke vagina Mba Dita. Kucium dan kuhisap labia minoranya. Kumasukkan lidahku dalam lubang kenikmatan Mba Dita, kumainkan ujung lidahku di dalam sana. Kugerak-gerakkan lidahku di liang vagina Mba Dita, diselingi dengan hisapan-hisapan kuat di klitoris Mba Dita. Mba Dita mulai meracau tidak jelas, tubuhnya bergerak-gerak tidak beraturan seirama dengan hisapan mulutku dan gerakan lidahku di vaginanya. Beberapa kali lubang vagina Mba Dita mengeluarkan cairan pelicinnya. Cairan hangat dan rasa gurih itu juga tertelan olehku, terhisap saat aku dengan nafsunya menghisap bibir vagina Mba Dita.

“Sshhh haahh sshhh haahhh”, desah Mba Dita semakin kencang. Tubuh Mba Dita mulai terhentak-hentak. Mba Dita hampir mencapai klimaksnya. Aku terus menghisap dan menjilat-jilat bagian dalam vaginanya dengan lidahku. Kuperkuat daya hisapku hingga membuat tubuh Mba Dita melenting ke atas beberapa kali. “Aaaaccchhh”, satu erangan panjang dari mulut Mba Dita dengan posisi tubuhnya mengejang dan melenting ke atas, sementara kedua pahanya menjepit kepalaku tetapi tangan kirinya berusaha menjauhkan kepalaku dari vaginanya, dan dari lubang vaginanya menyemprotkan cairan beberapak dengan cukup deras hingga mau tak mau cairan ini tertelan olehku, rasanya lebih asin dari cairan pelicin vaginanya.

Menurutku baik Mba Dita, Rani, maupun Risa, istriku, merupakan wanita yang beruntung. Mereka bisa dengan mudah mencapai seksual orgasme. Sementara itu di seluruh dunia ini tidak sampai tiga puluh persen wanita yang dapat merasakan nikmatnya orgasme dari hubungan seks.

Kepalaku masih berada di selangkangan Mba Dita. Bibirku masih mengulum klitoris dan mencium bibir vagina Mba Dita, tapi kali ini kulakukan dengan lembut. Perlahan-lahan otot-otot Mba Dita mengendur. Jepitan pahanya di kepalaku mulai melunak. Tubuhnya sudah berada di atas kasur lagi. Sementara itu nafas Mba Dita masih tersenggal.

Kusudahi permainan lidahku di vagina Mba Dita. Saatnya bagiku untuk merenggut kenikmatan dari vagina Mba Dita. Aku bangkit dan berdiri dengan kedua kakiku. Kulihat Mba Dita masih terbaring lemas. Dengan wajah sayu dipandanginya diriku.

Kuraih kedua paha Mba Dita yang masih mengarah ke atas. Kutarik tubuhnya agar lebih dekat ke arahku. Kudekatkan batang penisku menuju lubang kenikmatan Mba Dita. Semangat batang penisku tidak mengendur paska bertugas menggempur vagina Rani sebelumnya. Masih tegak berdiri menunggu untuk bertugas di pertempuran berikutnya.

Vagina Mba Dita terlihat berkilau karena basah oleh cairan vaginanya dan air liurku. Dengan bantuan tangan kananku, kuarahkan kepala penisku ke mulut vagina Mba Dita sampai kepala penisku melesak ke dalam lubang kenikmatannya. Kubenamkan hampir seluruh batang penisku ke dalam liang vagina Mba Dita. “Uugh”, terdengar erangan pelan Mba Dita saat batang penisku menyentuh bagian terdalam lubang vaginanya.

Kucondongkan tubuhku ke arah tubuh Mba Dita. Kukaitkan kedua kaki Mba Dita pada bagian bawah lututnya di kedua lenganku. Kudekatkan kepalaku ke arah kepalanya dan kucium bibir Mba Dita penuh nafsu. Badan Mba Dita sedikit tertekuk, kedua pahanya hampir menyentuh kedua payudaranya, dan kedua kakinya menjulang ke arah langit-langit kamar. Posisi ini membuat penetrasi penisku semakin dalam di vagina Mba Dita.

Kucium Mba Dita sambil kukocok vagina Mba Dita dengan tempo sedang. Vaginanya masih dapat menjepit penisku erat hingga membuatku merasa nikmat. Tubuh Mba Dita ikut berguncang-guncang kala vaginanya menerima kocokan dari batang penisku.

Mulut Mba Dita sudah tidak kuasa untuk menciumku, hanya bisa menganga akibat rasa nikmat yang ditimbulkan kocokan penisku di vaginanya. Aku pun beralih menciumi lehernya sebelah kanan. Sementara tangan kananku bergerilya meremas-meremas payudara kiri dan memilin puting kiri Mba Dita.

Bosan posisi seperti itu, aku tegakkan kembali tubuhku. Kedua lengan tetap dijadikan sandaran bagi kedua kaki Mba Dita. Vagina Mba Dita terus menerima kocokan batang penisku dengan kecepatan sedang akibat goyangan maju mundur oleh otot pinggangku.

Aku lihat dari ujung mataku kalau Rani bangkit dari sofa di belakangku. Rani bergerak ke arah belakangku. Kemudian dipeluknya tubuhku dari belakang. Kedua tangannya dilingkarkan di pinggangku. Diciumnya pipi kananku. Aku pun menengok ke kanan untuk membalas mencium bibirnya. Mulutku dan mulut Rani kembali bertemu, lidah kami kembali bergulat satu sama lain. Selesai mencium bibirku, Rani menyandarkan dagunya di kananku.

“Mau lagi?”, tanyaku ke Rani.

“Kalo Mas mau, aku juga mau kok”, jawab Rani.

“Mau coba pake dildo ngga?”, tanyaku lagi sambil tidak mengendurkan kocokan penisku di vagina Mba Dita.

“Mmm..”, Rani hanya menggumam.

“Ngga mau?”, tanyaku.

“Ngg.. Belum pernah”, jawab Rani.

“Ya makanya ini dicoba hehehe”, sahutku.

“Tapi akunya tetep mau titit Mas Rio”, sahut Rani.

“Iya, aku juga mau ngerasain meki kamu lagi kok. Pake dildo dulu. Buat foreplay. Sambil nunggu Mba Dita orgasme lagi”, sahutku meyakinkan Rani.

“Ada dimana?”, tanya Rani.

“Mba, dildonya ditaro di mana?”, tanyaku langsung ke Mba Dita.

“Adha dhi kopher gue. Dhi kantong kechilnyah”, jawab Mba Dita sambil mendesah.

“Yaudah aku ambil dulu”, sahut Rani lagi.

Rani pun melepaskan pelukannya dan melangkah menuju ke arah tas koper Mba Dita.

“Cuchi du lu Ran. Ugh ugh. Bekassh gue”, sahut Mba Dita masih diiringi desahannya.

“Yaelah pake dicuci segala. Dari tadi kontol gue elo berdua pake gantian, ngga pake dicuci dulu”, sahutku menyelak. Kulihat Mba Dita meringis, entah karena ucapanku atau karena hujaman batang penisku di vaginanya.

Tak lama Rani pun menemukan dildo milik Mba Dita dan membawanya ke arahku. “Ini Mas”, sahut Rani sambil memberikan dildo padaku.

“Pegang dulu bentar”, sahutku.

“Trus aku gimana?”, tanya Rani padaku.

“Kamu di sini aja”, sahutku dengan menunjuk tempat tidur di samping kiri tubuh Mba Dita, sebelah kanan depanku. Rani menuruti perintahku dengan naik ke tempat tidur di samping Mba Dita.

“Coba kamu nungging”, perintahku lagi ke Rani. Rani pun mengambil posisi nungging membelakangiku, bertumpu pada kedua kakinya di lututnya, serta pada kedua tangannya. Tubuhnya menekuk ke bawah hingga pantatnya menungging sempurna. Vaginanya yang masih terlihat basah sisa persetubuhan sebelumnya dengan kondisi lubangnya sedikit menganga, terlihat jelas menghadapku.

Aku memindahkan kedua kaki Mba Dita yang semula berada di kedua lenganku ke kedua bahuku, hingga kedua kakinya menjadi menghadap ke atas. Kupeluk kedua kakinya dengan tangan kiriku. Aku lanjutkan kocokan batang penisku di vagina Mba Dita.

Aku ludahi telunjuk dan jari tengah tangan kananku, lalu aku lumuri vagina Rani dengan ludahku. Aku mainkan labia minora dan klitoris Rani dengan jari tengah kananku. Jari tengahku berputar-putar dari area mulut vagina Rani. Sedikit demi sedikit ujung jari tengahku masuk ke dalam lubang kenikmatannya.

“Egh”, Rani mengerang ringan saat seluruh jari tanganku menelusuk masuk ke dalam vaginanya. Bagian dalam vagina Rani terasa hangat dan sedikit licin oleh cairan kenikmatannya. Ujung jari tengahku merasakan permukaan dinding liang vaginanya dengan tekstur seperti kulit jeruk tapi terasa sangat lembut seperti mainan slime. Aku mainkan jari tengahku di dalam lubang vagina Rani dengan gerakan memutar. Tubuh Rani terhentak-hentak setiap kali ujung jariku menyentuh mulut rahimnya.

Kucoba memasukkan juga telunjuk kananku ke dalam vagina Rani. Awalnya terasa sempit, tapi lama kelamaan terasa mudah karena cairan vagina Rani telah keluar membasahi dinding vaginanya. Dengan jurus dua jari, aku mengocok vagina Rani dengan cepat. Rani menikmati kocokan jariku ini, dia menggerakkan tubuhnya maju mundur. Suara desahannya kembali terdengar.

Vagina sudah becek oleh cairan kenikmatannya yang hangat. Aku sudahi kocokan dua jariku. Kuambil dildo berwarna hitam milik Mba Dita yang diletakkan Rani di atas tempat tidur tidak jauh dariku. Dildo berbetuk seperti pipa hitam sepanjang dua puluh centimeter terbuat dari karet dengan ujung meruncing seperti peluru kendali.

Kuarahkan ujungnya ke arah lubang vagina Rani. Kumasukkan pelan-pelan. Labia minora vagina Rani terlihat ikut masuk ke dalam lubang vaginanya. Rani memalingkan wajahnya ke kiri belakang. Matanya yang sudah sayu, menatapku. Rani sedikit meringis. Baru seperempat dildo yang masuk. Kucoba tarik keluar dildo itu. Labia minoranya kembali ikut tertarik keluar dari dalam vagina Rani. Kumasukkan lagi. Kukeluarkan lagi. Terus kelakukan hingga vagina Rani terbiasa dan akhirnya proses keluar masuk dildo dari dan ke vagina Rani menjadi lancar. Rani tidak lagi sanggup bertumpu pada kedua tangannya, melainkan menjadi bertumpu pada kedua lengannya.

Setelah vagina Rani sudah bisa menikmati kocokan dildo dariku, aku kembali fokus untuk mengocok vagina Mba Dita dengan batang penisku. Tentu saja goyangan otot pinggangku tidak sesempurna sebelumnya. Dengan dua gerakan yang aku lakukan, di satu sisi mengocok vagina Mba Dita dengan penisku menggunakan otot pinggang, sedangkan di sisi lainnya aku mengocok vagina Rani dengan dildo menggunakan otot tangan kananku, membuat goyangan dari otot pinggangku tidak beraturan.

Untuk mempermudah itu semua, aku mengubah gaya kocokan penisku. Yang semula maju mundur, menjadi ke samping kiri dan kanan. Hasilnya tak terduga, justru membuat Mba Dita menggelinjang tak karuan. Aku juga merasakan sensasi yang berbeda. Kepala penisku seperti menampar berkali-kali kanan dan kiri mulut rahim Mba Dita. Ini yang membuat Mba Dita menggelinjang.

“Rioo..ach..eghlo aphainh mekhi ghue”, racau Mba Dita.

“Sakit ngga Mba?”, tanyaku cuma memastikan apa yang aku lakukan tidak menyakitinya. Karena aku merasa ngilu setiap kali kepala penisku menampar mulut rahimnya.

“Ach nggha. Ghila enagh bhanget. Ghue baruh khaya ghinih”, jawab Mba Dita sambil tubuhnya menggelinjang ke kiri dan ke kanan, kedua tangannya berada di kedua payudaranya. Meremas-remas payudaranya disertai pilinan di kedua putingnya.

Batang penisku merasakan jepitan vagina Mba Dita semakin kencang, sehingga bisa kurasakan dinding vagina Mba Dita berkedut. Menyadari Mba Dita sesaat lagi mencapai klimaksnya, aku hentikan kocokan dildo oleh tangan kananku di vagina Rani. Kucabut dildo dari liang vagina Rani, meninggalkan lubang yang menganga di vaginanya. Kuletakan dildo hitam yang basah oleh cairan vagina Rani di atas tempat tidur tak jauh dariku.

“Sebentar Ran”, sahutku ke Rani. Rani membaringkan tubuhnya ke arah kanan, menghadap ke arah Mba Dita.

Kualihkan tangan kananku ke paha Mba Dita sebelah kiri. Sementara tangan kananku yang semula memeluk kedua kaki Mba Dita, kutempatkan di paha Mba Dita sebelah kanan. Kutahan agar kedua paha Mba Dita tetap saling merapat. Aku pun menambah kecepatan goyangan ke kiri dan ke kanan. Batang penisku mengaduk-ngaduk liang senggama Mba Dita dengan cepat, seperti halnya koki handal mengaduk adonan kue. Akan tetapi apa yang aku aduk ini akan jadi sesuatu di sembilan bulan yang akan datang hehehe.

“Ach ach Rhioo..stop..stop..Rio..stoopp”, Mba Dita meminta aku berhenti namun tidak kupedulikan. Aku terus saja bergoyang ke kiri dan ke kanan. Kepala penisku terus menggaruk-garuk dinding bagian dalam vagina Mba Dita dan menampar-nampar mulut rahim Mba Dita.

“Rio..ampun..ampun..ampun..ampun..Rio..enak banget Rio..brengsek lo Rio..tai...trus ewe gue Rio”, aku tidak menghiraukan sumpah serapah yang keluar dari mulut Mba Dita.

“Rio..Rio..Rio..Rio..Rio..” racau Mba Dita semakin cepat dan pendek-pendek. Aku terus mengaduk vagina Mba Dita. Makin kurapatkan tubuhku dengan kaki Mba Dita, kubenamkan penisku semakin dalam.

“Rio..ampun..brengsek..aaanjiiiiiiiinnggg..” satu teriakan panjang dan kencang dari Mba Dita disertai badannya yang mengejang-ngejang hebat dengan bentuk badannya melenting ke atas, membuat busur dari tulang belakangnya, mengiringi Mba Dita mencapai orgasmenya yang hebat di malam ini. Vagina Mba Dita semakin menjepit batang penisku, disertai kedutan beberapa kali. Batang penisku merasakan ada desakan cairan hangat dari dalam liang vagina Mba Dita. Aku tetap terus mengocok vagina Mba Dita ke samping kiri dan kanan. Cairan hangat merembes keluar dari sela-sela bibir vagina Mba Dita dan batang penisku akibat goyangan yang kubuat.

Punggung Mba Dita sudah kembali mendarat di atas tempat tidur. Badannya pun lemas kembali. Nafasnya tersenggal. Jepitan vaginanya juga mulai mengendur, walaupun aku masih tetap menjepit erat batang penisku. Aku terus mengocok vagina Mba Dita dengan goyangan ke kiri dan ke kanan.

“Rio udah Rio..gue udah lemes..enak banget..”, sahut Mba Dita sambil meremas-remas kedua payudaranya dengan sesekali memilin kedua putingnya. Bukannya berhenti, aku malah menambah kecepatan kocokan batang penisku pada vagina Mba Dita.

“Rio please Rio..stop Rio..please..gue ngga kuat..enak banget..udah Rio udah..duh enak banget..gue ngga kuat..Rio..Rio..Rio..RIIOOOO..”, jerit Mba Dita kencang, dengan sebelumnya tubuh Mba Dita bergetar hebat. Tidak sampai dua menit setelah orgasmenya, Mba Dita meraih orgasme lagi. Tubuhnya lagi-lagi melenting ke atas, mengejang-ngejang beberapa kali.

Kali ini aku cabut batang penisku dari liang vagina Mba Dita. Cairan vaginanya menyemprot keluar, membasahi area bawah perutku. Batang penisku yang masih tegang sempurna, kusentuh-sentuhkan kepalanya ke mulut vagina Mba Dita. Tak lama kemudian tubuh Mba Dita lemas kembali. Kupindahkan kedua kaki Mba Dita dari bahuku ke kiri tubuhku ke atas tempat tidur, badan Mba Dita pun ikut bergerak miring ke arah jatuhnya kedua kakinya.

“Enak Mba?”, tanyaku sambil terkekeh.

“Sialan lo Rio, rese!”, celoteh Mba Dita. “Memek gue sampe ngilu begini!”, lanjut Mba Dita sambil memegang selangkangannya dengan tangan kanannya.

“Tapi enak kaaann? Hehehe”, balasku.

“Rese lo!”, sahut Mba Dita.

Aku beralih ke Rani. Rani dalam posisi tengkurap dengan kepala menghadap ke kiri, ke arah Mba Dita. Kudekatkan tubuhku ke arah Rani. Aku naik ke atas tempat tidur, berdiri bertumpu pada kedua lututku mengangkangi Rani. Kedua lututku di samping kanan dan kiri pinggul Rani.

Kucondongkan tubuhku, dan kudekatkan kepalaku ke kepalanya. Kukecup pipinya, kucumbu kepalanya bagian kiri. Rani merespon dengan usapan tangan kirinya di kepalaku. “Kamu masih mau sayang?”, sahutku ke Rani.

“Masih kok. Lagian kan Mas Rio masih belum keluar”, jawab Rani.

“Ngga capek?”, tanyaku lagi.

“Nanti aku yang dibawah aja ya?!”, balas Rani.

“Yaudah kalo gitu aku masukin ya sayang”, sahutku sambil membelai kepalanya dengan tangan kananku.

“Iyah”, jawab Rani singkat.

Kemudian aku mundur sampai kedua lututku berada di samping kanan dan kiri kedua paha Rani. Lalu kumiringkan badan Rani menghadap kiri. Kutekuk kaki kiri Rani ke arah perutnya, sehingga paha kirinya hampir menyentuh perutnya. Vaginanya yang berbulu halus terlihat olehku. Bibir vaginanya yang terbuka terlihat basah akibat sebelumnya kurojok dengan dildo milik Mba Dita.

Kudekatkan kepala penisku ke mulut vagina Rani. Kumasukkan setengah batang penisku ke dalam liang kenikmatan Rani. Kuangkat paha kiri Rani kumajukan tubuhku hingga paha kiri Rani berada di atas paha kiriku, lalu kudorong batang penisku sampai ditelan seluruhnya oleh vaginanya. “Egh”, erang Rani pelan. Kududuki paha kanan Rani bagian dalam dan mulai kukocok vagina Rani maju mudur.

Tangan kiriku memegang paha kiri Rani, membantu menarik tubuh Rani supaya tubuh Rani juga bergoyang mengikuti irama kocokan batang penisku ke vagina Rani. Jepitan vagina Rani memang tidak serapat vagina Mba Dita, tapi tetap saja vagina Rani merupakan salah satu vagina yang aku inginkan di dunia ini untuk aku masuki batang penisku. Tangan kananku mulai menjamah payudar kiri Rani. Kuremas-remas payudara kirinya dan kupilin puting kiri Rani.

Tusukan maju mundur dari batang penisku membuat Rani mendesah. Kucondongkan tubuhku ke arah Rani dan kulumat bibir Rani. Bibir kami berpagutan. Lidah kami saling bermain satu sama lain. Penisku terus mengocok vagina Rani. Sementara tangan kananku tetap menggerayangi tubuh mulus Rani.

Kutegakkan tubuhku lagi, berkonsentrasi pada kocokan penisku di vaginanya. Vagina Rani semakin becek. Bunyi tulang selangkaku beradu dengan pantat Rani menjadi suara latar persetubuhan kami. Kubenamkan penisku dalam-dalam di liang senggamanya. Semakin lama rintihan Rani semakin kencang. Aku pun mempercepat kocokanku.

“Ouch ouch ouch”, Rani merintih nikmat. Tubuhnya mulai bergetar hebat. “Aacchh maaashh”, Rani menjerit panjang diiringi tubuhnya yang mengejang, tangan kirinya meremas tangan kiriku yang berada di paha kirinya. Cairan orgasmenya mendesak keluar bersamaan dengan kocokan batang penisku. Cairan kenikmatan Rani kembali membasahi selangkanganku dan seprei tempat tidur.

Kuhentikan goyanganku dan kembali mencondongkan badan untuk menciumnya. Rani membalas ciumanku dengan ciuman lembut. Tangan kirinya menggenggam hangat tangan kiriku.

“Masih belum keluar juga Mas?”, tanya Rani.

“Bentar lagi kayanya”, jawabku. “Kamu capek?”, tanyaku balik.

“Sedikit. Mas mau aku apain biar cepet keluar?”, tanya Rani.

“Kaya gini aja bisa keluar kok”, jawabku. “Tahan ya. Aku lajutin sedikit lagi”, sahutku lagi.

“Iyah Mas”, balas Rani.

Kutegakkan tubuhku. Kukeluarkan batang penisku dari lubang senggamanya. Kuluruskan kembali kaki kiri Rani hingga sejajar denga kaki kanannya. Tubuh Rani pun kembali tengkurap. Kuambil bantal yang ada di samping kananku.

“Angkat badan kamu sedikit”, pintaku ke Rani. Rani mengikuti peemintaanku, diangkat badanya sedikit, lalu kuletakkan bantal di bawah perutnya yang membuat posisi pantatnya sedikit menungging hingga lubang kenikmatannya terlihat jelas.

Kumasukkan kembali batang penisku ke dalam liang vagina Rani yang masing menganga. Aku masukkan sampai seluruh batang penisku ditelan vaginanya. Aku mengambil posisi duduk di pangkal paha bawah pantatnya dan mulai mengocok vagina Rani dengan batang penisku. Kujepit kedua paha Rani dengan kedua pahaku. Membuat daya jepit vagina Rani meningkat akibat bongkahan pantatnya turut menjepit batang penisku. Ini posisi favoritku.

Rani tengkurap dengan kepala menghadap ke kiri. Rani menggigit bibir bawahnya dan matanya pun terpejam, dari raut wajahnya terpancar seperti menahan sakit. Memang batang penisku bisa merasakan dinding vagina Rani lebih kesat dari sebelumnya, cairan vaginanya hanya sedikit yang keluar untuk melumasi dinding vaginanya.

Pelan-pelan kutarik keluar batang penisku dari vagina Rani. Lalu kulumuri kepala dan batang penisku dengan ludahku menggunakan tangan kananku, kemudian kuolesi mulut vagina Rani dengan ludahku juga. Setelah dirasa cukup, kumasukkan kembali batang penisku ke dalam liang senggama Rani. Dinding vagina Rani pun menjadi licin kembali.

Kupacu kembali lubang vagina Rani langsung dengan kecepatan sedang. Kuremas-remas kedua bongkahan pantat Rani dan kurapatkan satu sama lain. Gesekan batang penisku dengan dinding vagina Rani dan gesekan pangkal pahaku bagian dalam dengan pangkal pantat Rani, membuat gairah nafsuku tak tertahankan. Orgasmeku akan segera datang. Kupercepat tusukan batang penisku pada lubang kenikmatan Rani. Tak lama kemudian tubuhku mengejang seperti melayang-layang. Orgasmeku datang juga. Kubenamkan dalam-dalam batang penisku ke vagina Rani. Kusemprotkan air maniku beberapa kali di dalam liang senggamanya.

Kurebahkan tubuhku di atas punggung Rani. Kuciumi berkali-kali leher belakangnya. Kuciumi pundak kirinya dan pipi kirinya. Rani bereaksi dengan mengambil tangan kiriku, lalu menggenggamnya erat dan matanya kembali terpejam.

Kulihat Mba Dita sudah tertidur dengan posisi sedikit meringkuk menghadap ke kanannya, ke arah televisi. Aku cabut batang penisku yang sudah melemas dari dalam lubang vagina Rani. Lalu kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur di antara Rani dan Mba Dita. Rani pun mengubah posisinya dengan memelukku dan menjadikan bahu kiriku sebagai sandaran kepalanya. Kaki kirinya ditekuk dan diletakkan di atas kedua pahaku. Sementara tangan kirinya diletakkan di dadaku. Hanya dalam hitungan detik, kami semua sudah terlelap dengan rasa puas terpancar dari wajah masing-masing.
**

Sekitar pukul lima pagi, aku terjaga. Tubuhku seperti memiliki alarm sendiri, setiap hari selalu terbangun sekitar pukul lima pagi, walaupun dengan kondisi tubuh selelah apapun.

Rani masih berada di sisi kiriku. Kepalanya sudah tidak lagi berada di bahuku, melaikan berada di atas kasur di bawah ketiakku. Tangan kirinya sekarang berada di perutku, sedangkan kaki kirinya masih melintang di atas kedua kakiku.

Di samping kananku terbaring Mba Dita. Masih dalam posisi menghadap ke kanan dan keadaan meringkuk. Mungkin karena kedinginan. Semalaman kami semua tidur tanpa ditutupi kain sehelaipun. Selimut yang seharusnya menyelimuti kami malah menjadi alas kami tidur.

Penyakit pria saat bangun tidur di pagi hari adalah penisnya hampir selalu dalam keadaan terbangun. Begitu pula aku. Batang penisku sudah mengeras. Walaupun kerasnya belum sempurna. Beberapa saat kemudian, semakin lama batang penisku bertambah keras. Ini akibat aku terlalu lama memperhatikan bokong Mba Dita.

Dari posisi tidurku saat ini, aku bisa dengan jelas melihat sepasang bongkahan pantat Mba Dita yang montok. Ditambah lagi samar-samar bisa kulihat bibir vagina Mba Dita yang gundul mengintip dari sela-sela bongkahan pantatnya.

Hasrat seksualku menjadi menggebu. Ingin rasanya batang penisku dijepit vaginanya lagi. Posisiku masih terjepit oleh Rani. Lalu kupindahkan kaki kiri Rani dari atas kakiku ke tempat tidur. Kemudian aku bangkit dari tidur dan duduk di samping pantat Mba Dita dengan menekuk kedua kakiku ke belakang dan menjadikan kedua tumitku menjadi alasku duduk.

Tangan kiriku aku letakkan di atas pantat kiri Mba Dita. Kemudian kusingkap pantat Mba Dita ke atas untuk melihat lebih jelas mulut vagina Mba Dita. Lalu telunjuk kananku kuarahkan ke mulut vagina Mba Dita. Kusentuh mulut vaginanya denga ujung telujuk kananku. Terasa kering di sana. Selanjutnya aku buka bibir vaginanya hingga bagian dalam mulut vagina Mba Dita yang berwarna merah muda sedikit terlihat. Bagian dalam vaginanya juga masih terlihat kering.

Aku basahi ujung telunjuk kananku dengan ludahku. Lalu kuarahkan lagi ke vagina Mba Dita dan kumasukkan telunjukku ke dalam sana. Belum ada reaksi dari Mba Dita. Pelan-pelan telunjuk kananku bergerak keluar masuk lubang Mba Dita. Semakin lama kurasakan vagina Mba Dita mulai memproduksi cairan pelumasnya.

Tubuh Mba Dita mulai bergerak-gerak. Aku tak lagi bisa menahan hawa nafsuku. Segera kepala dan batang penisku aku basahi dengan air liurku. Begitu juga mulut vagina Mba Dita, segera aku olesi dengan air ludahku. Setelah dirasa cukup, aku masukkan batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Mba Dita.

Tubuh Mba Dita tiba-tiba terhentak saat kepala penisku mulai menelusuk lubang senggamanya. Dia terbangun mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang, ke arahku. Gerakan Mba Dita ini membuat kepala penisku keluar kembali.

“Ah sialan lo Rio. Bikin kaget aja”, sahut Mba Dita. Dia pun kembali merebahkan kepalanya ke posisi semula. “Lain kali ketok pintu dulu kek. Maen selonong masuk rumah orang aja”, sahut Mba Dita kemudian.

“Ngapain pake ketok segala? Kan gue punya kuncinya hehehe”, jawabku sambil meringis.

“Rese lo”, balas Mba Dita.

“Udah cepetan, ga pake lama, gue masih ngantuk, basahin dulu memek gue pake ludah lo, memek gue masih ngilu gara-gara elo semalem”, cerocos Mba Dita.

“Iya, udah kok”, balasku.

Aku kembali mendekatkan penisku ke mulut vagina Mba Dita. Aku ubah posisi tubuh mba Dita. Kudorong kedua pahanya untuk semakin mendekati badan Mba Dita. Kuletakkan tangan kiriku di atas paha kiri Mba Dita. Kupegang batang penisku dengan tangan kananku. Lalu kumasukkan batang penisku ke dalam vagina Mba Dita yang sudah basah oleh air liurku.

Mba Dita mendesis saat seluruh batang penisku ditelan vaginanya. Liang vaginanya masih terasa kesat. Kukocok vagina Mba Dita pelan-pelan. Seiring intensitas kocokanku, cairan pelumas vagina Mba Dita pun mulai keluar membasahi dinding liang senggamanya. Vagina Mba Dita pun menjadi licin, tapi tidak mengurangi daya jepitnya terhadap batang penisku.

Mengabulkan permintaan Mba Dita, kukocok liang senggama Mba Dita dengan cepat. Tubuh Mba Dita turut bergoyang seirama dengan goyanganku. Selanjutnya tangan kananku kuletakkan di bagian belakang kedua lutut Mba Dita. Kudorong ke depan hingga posisi Mba Dita seperti orang jongkok, tetapi dalam posisi tiduran miring ke samping. Kutahan kedua kakinya dengan tangan kiriku supaya posisinya tidak berubah. Sementara tangan kananki kuletakan di pinggang kiri Mba Dita.

Kupacu terus lubang kenikmatan Mba Dita dengan batang penisku. Kulihat Mba Dita menikmati persetubuhan ini dengan sesekali matanya terpejam. Aku merasakan desakan air maniku sudah mencapai pangkal penisku. Batang penisku sudah mengeras sampai batas maksimalnya. Hal ini membuat Mba Dita yang semula diam menjadi ikut mendesah. Karena urat-urat pada batang penisku semakin menonjol keluar, membuat dinding vagina Mba Dita seperti digaruk-garuk oleh batang penisku.

Semakin cepat dan cepat kugoyangkan pinggangku dan akhirnya penisku pun menyemprotkan air maniku. Kubenamkan dalam-dalam penisku di liang senggamanya. Sempat kurasakan kepala penisku mencium mulut rahim Mba Dita saat semprotan pertama spermaku keluar. Sekitar lima kali penisku menyemprotkan air maniku.

“Banyak amat sperma lo”, celoteh Mba Dita.

“Ya kali aja dapet keponakan baru”, jawabku asal.

Plaakk.. Tangan kiri Mba Dita menepak tangan kiriku keras. “Brengsek lo!”, protes Mba Dita. “Udah gih sana copot kontol lo, gue mau tidur”, lanjut Mba Dita.

Kulepaskan batang penisku dari dalam vagina Mba Dita. Lalu kurebahkan badanku di tempat semula aku bangun. Kemudian melanjutkan tidur nyenyakku.
**

Kami bertiga sudah bangun seluruhnya sekitar pukul tujuh pagi. Setelah bermalas-malasan sebentar di tempat tidur, kami pergi mandi bersama-sama.

Aku mendapat protes dari Mba Dita dan Rani, karena vagina mereka berdua masih terasa ngilu. Setelah kuperiksa, kondisi bibir vagina mereka berdua agak sedikit bengkak alias dower. Aku sempat terbahak-bahak melihatnya. Pukulan dan cubitan pun bertubi-tubi mendarat di tubuhku oleh mereka berdua.

Saat mandi bersama, batang penisku kembali tegang. Awalnya mereka berdua tidak ada yang mau menjadi sarana pelampiasan hasrat seksualku, karena keadaan vagina mereka. Setelah kurayu-rayu, akhirnya Rani mengalah dan merelakan lubang anusnya aku ambil keperawanannya.
**

Peristiwa di Kota Kembang itulah terakhir kalinya aku bercinta dengan mereka berdua. Kami memutuskan untuk menghentikan ini semua untuk menjaga kandungan Mba Dita yang saat ini telah menginjak bulan ke lima. Sedangkan umur kandungan Rani sudah mencapai bulan ke enam, sama dengan istriku.
***
 
Terakhir diubah:
Semakin menarik. Semoga Ada kelanjutannya
 
seneng banget nih sama cerita yang gini. terutama sama karakter Dita.

Kaya menganggap seks itu bukan hal besar haha andai semua cewe kaya Dita
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd