Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[B.O.T.S] Three Sisters (istriku dan ipar-iparku)

perverts

Suka Semprot
Daftar
12 Sep 2011
Post
21
Like diterima
324
Bimabet
Halo para suhu semua, kali ini sedikit cerita tentang Risa, nubie akan cerita kejadian beberapa bulan yang lalu. Mungkin akan antiklimaks. Biar suhu-suhu semua yang menilainya. Supaya nyambung, buat para suhu yang belum baca cerita nubie sebelumnya di [B.O.T.S] series.


———————————

“Besok jadinya berangkat jam berapa?”, tanya Risa kepadaku yang sedang melepas pakaian kerjaku di kamar kami. “Yaa biasa, jam enam-an”, jawabku. “Bukan, berangkat ke pantainya”, sahut Risa lagi. “Pantai??”, tanyaku disambut dengan lemparan bantal ke arah kepalaku. “Blugh”, bantal itu sukses mendarat di wajahku.

“Tuh kaan kamu lupa lagi. Itu acara ultahnya dede. Kamu tuh ya, acara ulang tahun anaknya sendiri kok bisa lupa?! Padahal aku udah pesen itu resort dari lima bulan yang lalu. Heeehhh”, cerocos Risa.

“Oo itu, aku inget kok, cuma belum konek aja tadi hehehe”, sahutku berkilah. “Aku nyusul aja nanti. Ngga dapet cuti. Ada rapat yang ngga bisa aku tinggal. Kamu mau nunggu aku atau bawa mobil sendiri?”, sahutku.

“Emang selesainya jam berapa?”, tanya Risa. “Agak malem sih”, jawabku. “Yaah jangan malem-malem dong”, sahut Risa lagi.

“Kalo mau, kamu bareng papa mama kamu aja. Nanti barang-barang aku yang bawa”, saranku.

“Ngga bisa, penuh. Mbak Dita bareng papa. Soalnya Hari ngga bisa ikut, pulang ke Sumatera jenguk bapaknya masuk rumah sakit”, jawab Risa.

“Kalo sama papa mama aku aja gimana? Biar nanti aku yang telepon”, sahutku lagi. “Yaudah, tapi kamu besok jangan sampe malem banget ya” ucap Risa.

“Iya iya”, sahutku. “Trus nasib pipi gimana ini?”, tanyaku sambil menggoyang-goyangkan badan ku sehingga penisku yang masih layu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“Nasib buruk. Mimi masih dapet”, sahutnya acuh tak acuh sambil berkutat dengan ponselnya.

“Apes dah. Sabar ya nak”, sahutku sambil mengelus-elus kepala penisku diringi lirikan Risa yang cekikikan.

Pipi dan mimi adalah nama panggilan kami kepada alat kelamin kami masing-masing. Kami menamainya saat masa pacaran dulu, terinspirasi dari panggilan sayang pasangan selebritis tanah air yang saat ini sudah bercerai.

Mungkin para suhu akan bertanya, mengapa tidak dilanjut dengan oral seks saja? Tapi inilah kami, kehidupan seks kami seperti itu. Untuk urusan seks, Risa sangatlah konvensional. Dalam kehidupan seks kami yang sudah lebih dari dua belas tahun, bisa dihitung dengan jari tangan kami melakukan oral seks. Dia merasa risih kalau aku memberikan oral seks di vaginanya. Sedangkan Risa berhenti mengoral penisku sejak aku tak bisa menahan ejakulasiku di dalam mulutnya tanpa memberitahunya terlebih dahulu, sehingga membuat dia tersedak sampai mengeluarkan air mata. Sejak saat itu, dia tetap menolak mengoral penisku walaupun aku rayu dengan cara apapun.

Keesokan harinya, aku baru bisa sampai di rumahku sekitar jam dua belas malam. Maklum, keadaan lalu lintas saat Jumat malam memang sungguh ajaib. Kemacetan dimana-mana, bahkan sampai hampir tengah malam sekalipun.

Aku segera ke kamar mandi untuk bersih-bersih tubuhku. Selesai mandi, kumasukkan tas-tas dan barang lainnya yang sudah disiapkan Risa untuk aku bawa.

Sekitar jam tiga dini hari aku sampai di resort tujuanku. Lokasinya di salah satu pantai wilayah Jawa bagian Barat.

Resort ini milik perusahaan tempat istriku bekerja. Para karyawannya dapat meminjam resort tanpa dikenakan biaya, kecuali untuk makanan yang disiapkan oleh pengelola resort ini. Ada sekitar 8 vila yang cukup besar di sini. Bagiku sangat lengkap fasilitasnya. Ada kolam renang, lapangan tenis, dan arena bermain anak-anak, yang semuanya berada di dekat pantai tidak jauh dari resort tempat kami menginap. Kulihat seluruh resort sepertinya penuh terisi, karena sudah banyak mobil yang terparkir di depan resort-resort itu.

Masing-masing bangunan resort terdiri dari dua tingkat. Empat bangunan saling berjajar dan empat bangunan lainnya berdiri berhadapan tepat di seberangnya dipisahkan dengan jalan selebar delapan meter. Jarak antar resort yang berdampingan agak jauh, sekitar dua puluh meter. Sedangkan untuk bangunan pengelola resort ini yang juga dipakai sebagai tempat memasak makanan yang pengunjung pesan berada di dekat pintu masuk komplek resort ini. Ini kali kedua istriku meminjam resort di tempat ini.

Kami mendapatkan resort yang letaknya paling dekat dengan pantai. Bangunan dengan luas sekitar dua ratus meter persegi ini terdiri dari empat kamar. Dua kamar di atas, dan dua kamar di bawah yang tiap-tiap kamar terdapat kamar mandi di dalamnya. Ruang keluarga di bawah cukup luas, sekitar tiga puluh enam meter persegi. Terdapat sofa besar yang dapat dimuati delapan orang dengan televisi di depannya. Di sampingnya merupakan ruang makan menyatu dengan dapur yang terdapat meja makan dengan kursi sebanyak delapan juga. Antara ruang keluarga dan ruang makan tanpa sekat, pemisahnya hanya undakan kecil setinggi lima belas sentimeter. Sedangkan posisi dua kamar tidur saling berhadapan, masing-masing sebesar tiga kali empat meter, berada sedikit di belakang bangunan resort. Diantara kedua kamar itu, terdapat tangga yang cukup lebar sekitar satu setengah meter yang menuju lantai atas.

Aku masuk resort yang tidak dikunci, karena resort ini memang keamanannya terjamin. Kulihat dua orang asisten rumah tanggaku dan seorang asisten rumah tangga Mbak Dita tidur di ruangan keluarga. Salah satu asisten rumah tanggaku terjaga begitu aku masuk ke dalam resort. Dia ikut membantuku menurunkan barang-barang dari mobilku. Kemudian dia memberitahuku kalau kamar tempat istri dan anak-anakku tidur ada di kamar utama yang ada di lantai atas.

Sesampainya di atas, kubuka pintu kamar dan terlihat istri dan anak-anakku sedang tertidur di atas salah satu tempat tidur.

Kamar ini cukup luas sekitar empat kali tujuh meter. Terdapat dua tempat tidur ukuran ‘queen size’ yang dihimpitkan satu sama lain. Di atas tempat tidur itu terdapat dua pasang jendela yang menghadap langsung ke tempat bermain anak dan arah pantai. Sedangkan kamar mandinya berhadapan dengan pintu kamar agak ke kanan sedikit sejajar dengan posisi tempat tidur, dan dari pintu kamar ke kanan terdapat lorong yang menuju balkon kamar yang berada bagian depan resort.

Risa terbangun karena aktivitasku yang meletakkan barang-barang di lantai kamar.

“Kok malem amat Yang?”, tanya Risa. “Iya, tadi macet banget mau ke rumahnya”, jawabku.

“Kok dapetnya di kamer ini?”, tanyaku. “Kita sekamer sama Rani. Soalnya masih pada punya bayi. Anak-anaknya Mbak Dita kan udah pada gedean, kalo campur sama bayi malah repot nantinya. Jadinya Mbak Dita di kamar seberang. Papa mama semuanya di kamar bawah”, jawab Risa.

“Trus Rani sekeluarga kapan datengnya?”, tanyaku lagi. “Rani besok subuh baru berangkat dari rumahnya”, jawab Risa lagi. “Udah sana kamu bersih-bersih dulu trus bobo”. Lantas aku ke kamar mandi dan mengganti pakaian untuk tidur. Lalu aku mengambil posisi tidur di samping Risa, dan tidur sambil memeluk dirinya.

Pagi harinya sekitar pukul tujuh, aku terbangun oleh suara tangisan bayi. Kubuka mataku dan kulihat Rani yang saat ini memutuskan untuk berhijab, sedang menimang-nimang Ari, anaknya, berusaha untuk meredakan tangis Ari.

“Hai Mas”, sapa Rani. “Tuh ada Pakde Rio, Ari salim. Gimana salimnya?”, lanjut Rani kepada anaknya tetap mencoba menenangkannya.

“Eh elo Ran. Sini Ari, sini salim sama pakde”, sahutku sambil bangkit dari tidurku. Tapi Ari tetap menangis digendongan ibunya. “Ari kenapa, Ran?”, tanyaku. “Kayanya haus Mas, mau nenen”, jawab Rani.

“Assalamualaikum”, terdengar suara dari arah pintu kamar. “Wa’alaikumsalam”, jawabku dan Rani berbarengan. Rupanya Doni, suami Rani, masuk ke kamar sambil membawa beberapa tas, diikuti di belakangnya ada asisten rumah tangga Rani dengan membawa beberapa tentengan juga.

“Sehat, Don?”, tanyaku basa-basi disertai uluran tangan untuk berjabat tangan.

“Alhamdulillah sehat Mas”, sahut Doni sambil menyambut jabat tanganku. “Yowis gue turun dulu. Itu si Ari haus mau nenen”, sahutku. “Ok Mas”, sahut Doni. “Maaf Mas, jadi gangguin tidurnya”, tambah Rani. “Gapapa kok”, jawabku.

Aku bergegas keluar kamar dan menuju ruang makan di lantai bawah. Kulihat di ruang makan dan ruang keluarga sudah ramai dengan aktifitas keluargaku. Kulihat Risa sedang sarapan di meja makan bersama ibuku, ibu mertuaku, dan Mbak Dita. Sedangkan ayahku dan ayah mertuaku sedang ngobrol di ruang keluarga. Sementara anak-anakku bermain dengan anak-anak Mbak Dita.

Risa menyuruhku untuk ikut gabung dengannya. Lalu dia pun mengambilkan makanan untuk sarapanku.

Pagi ini kami habiskan waktu dengan bermain bersama di tepi pantai. Menikmati deburan ombak dan pemandangan gunung anak krakatau. Kemudian dilanjutkan dengan berenang di kolam renang yang tidak jauh dari pantai.

Kami selesai berenang sekitar pukul sepuluh pagi. Sesampainya di resort, Risa dan kedua asisten rumah tanggaku memandikan kedua anakku. Aku menunggu antrian mandi di ruang televisi samping kamar yang ditempati Mbak Dita, seberang kamar yang aku tempati. Di sini terdapat sofa yang bisa diduduki oleh tiga orang dan dua kasur tambahan ukuran nomor empat untuk tempat tidur aku dan Doni saat malam tiba, karena tidak memungkinkan untuk kami berdua tidur bersama istri dan anak-anak kami.

Luas lantai di lantai atas ini tidak penuh sampai luas seluruh bangunan, karena tidak sampai menutupi ruang keluarga di bawah. Sebagai pembatas, terdapat pagar pengaman dari besi setinggi satu meter. Sehingga dari lantai atas ini bisa melihat langsung ke ruang keluarga di bawah dengan bebasnya.

Kumainkan remote televisi mencari tayangan tivi kabel yang menarik. Saat asik menikmati tayangan televisi, kedua anakku lari berhamburan dari arah kamar yang mereka tempati menuju ke arahku. “Ayah ayah ayah”, sahut mereka berdua. Kusambut mereka dengan pelukan dan kuciumi kepala mereka. “Udah jangan lama-lama meluknya, ayah masih bau belum mandi”, terdengar suara Risa dari arah pintu kamar. “Kamu mandi gih Yang. Ini udah kosong”, sahut Risa lagi. “Ayah mandi dulu ya”, ucapku kepada kedua anakku disertai kecupan di kepala mereka. Lalu aku menyerahkan kedua anakku ke asisten rumah tanggaku dan langsung menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar itu.

Kubuka pintu kamar mandi dan kulihat sudah ada istriku yang melepas pakaian dalamnya yang basah setelah berenang tadi. Risa sedikit terkejut saat aku masuk. “Kaget, kirain siapa”, sahutnya.

Terlihat tubuh putih sedikit berbulu halus milik Risa. Ada sedikit selulit di bagian luar kedua pahanya dan di bagian bawah bongkahan pantatnya yang montok. Tinggi badannya sekitar seratus lima puluh tujuh sentimeter, dengan berat sekitar lima puluh dua kilogram. Tidak seramping dahulu saat menikah yang sekitar empat puluh satu kilogram. Maklum, badannya sudah pernah dua kali berisi anak-anakku. Rambutnya lurus sedikit bergelombang dan berwarna hitam kemerahan. Seperti yang pernah disebutkan pada cerita sebelumnya, Risa ini yang paling cantik dari saudari-saudarinya. Semasa kuliah, entah ini suatu pujian atau ejekkan, Risa sempat dipanggil Miyabi oleh teman-temannya. Tapi panggilan ini terhenti karena aku yang langsung menyatakan keberatan ke teman-teman Risa. Yang ada dipikiranku saat itu, ini berarti Risa dijadikan objek fantasi seksual oleh teman-temannya, dan aku belum rela seperti itu.

Kamar mandinya cukup besar dengan ukuran dua meter kali dua setengah meter. Ada bathtube dengan shower di bagian atas salah satu ujung panjang bathtube, dan closet berjarak setengah meter di dekatnya.

Aku pun membuka seluruh pakaianku dan menggantungkan di gantungan pakaian di balik pintu. Risa menuju bathtube terlebih dahulu. Dia pun menggeser keran air ke atas dan shower mengeluarkan air yang langsung membasahi tubuhnya. Risa mengambil sikat gigi dan pasta gigi dari tas perlengkapan mandi yang digantungkan disamping pipa shower. Lalu mulai menggosok giginya menghadap ke dinding dimana shower berada sambil menikmati siraman air dari shower. Ritual mandi istriku ini memang selalu menggosok giginya terlebih dahulu.

Aku menyusulnya menuju bathtube dan mengambil posisi di belakang tubuhnya. Siraman air dari shower turut membasahi tubuhku. Langsung kupeluk tubuh Risa dari belakang. Sengaja kutempelkan batang penisku yang mulai mengeras ke belahan pantat Risa. “Mau mimii”, sahutku merajuk.

“Di sini?”, tanya Risa. “Yaiyalah, masa di taman”, jawabku asal. “Hehehe bentar sikat gigi dulu”, sahut Risa lagi.

Sambil menunggu Risa menggosok giginya, jari tangan kananku ikut menggosok belahan vagina Risa, sementara tangan kiriku meremas-remas kedua payudara Risa dan memilin putingnya.

Hembusan nafas Risa menjadi semakin berat. Vaginanya terasa basah okeh lendir kenikmatannya. Kusandarkan tubuh Risa ke dinding, lalu kuciumi lehernya sebelah kiri, terus turun ke bawah ke arah payudaranya yang berukuran tiga puluh empat b. Putingnya yang sebesar ujung kelingkingku dan berwarna cokelat tua, sudah mengeras. Aku pun langsung menjilati dan mengulum puting kanannya sementara tangan kananku memilin puting kirinya.

Setelah puas bermain dengan putingnya, kulanjutkan kecupanku ke bagian bawah payudara Risa. Kukecup perlahan-lahan perutnya yang sedikit membuncit, terus ke bawah ke pusarnya, kemudian ke arah bekas jahitan sisa melahirkan kedua anakku, dan sampai lah aku pada rambut-rambut halus di atas vaginanya. Tidak ada penolakkan dari Risa sampai saat ini.

Terlihat vagina Risa yang ditumbuhi rambut-rambut yang tercukur rapih. Bibir vaginanya sudah sedikit terbuka bekas permainan jari tanganku tadi. Langsung lidahku menyeruak labia minora vaginanya dan menyapu klitorisnya. Dilanjutkan dengan hisapan mulutku terhadap klitoris Risa yang sudah mengeras. “Klotak”, bunyi benturan pinggiran bathtube dengan sikat gigi yang tadi Risa pakai. Rupanya Risa menjatuhkan sikat giginya. Tangan kanan Risa pun langsung menjambak rambutku dan menekan kepalaku semakin terbenam dalam vaginanya. Sementara tangan kirinya berpegangan pada dinding tempat shower berada.

Melihat Risa yang semakin terangsang, kaki kirinya kunaikkan ke pinggir bathtube yang menempel pada dinding, sehingga aku semakin leluasa untuk menikmati vagina Risa yang sudah lama tidak aku lakukan. Disertai guyuran air dari shower, lidahku semakin liar bermain di mulut vagina Risa. Ujung lidahku mengacak-acak bagian dalam vaginanya diselingi dengan hisapan-hisapan kuat di klitorisnya.

Rintihan Risa semakin lama semakin keras, dan tak lama kemudian badannya mulai mengejang-ngejang disertai semburan cairan hangat dari dalam vaginanya. Tidak banyak memang, tapi cukup membuat lidahku merasakan rasanya yang gurih. Ini yang aku lupakan, ternyata Risa seorang squirter juga, sama seperti dua saudarinya. Selama ini hanya penisku yang merasakan vagina Risa semakin basah pada saat dia mengalami orgasme.

“Kamu apain mimi Yang? Enak banget”, sahut Risa. “Enak kan? Kamu sih ngga mau mimi aku jilatin”, jawabku sambil bangkit untuk mencium bibirnya.

Kami pun berciuman dibawah siraman air dari shower. Tangan kanan Risa memainkan batang penisku yang sudah sangat siap untuk melaksanakan tugasnya. “Mimi mau pipi”, pinta Risa.

Lalu kupinta Risa untuk menghadap dinding tempat shower berada dan kusuruh dia menunduk sementara tangan kanannya berpegangan pada dinding shower, dan tangan kananku sedikit menekan punggungnya agar menekuk ke bawah, sehingga pantatnya yang montok semakin menungging dan posisi lubang kenikmatannya semakin jelas kulihat.

Kunaikkan kaki kananku ke pinggiran bathtube di samping kaki kanan Risa. Lalu kuposisikan batang penisku ke bibir lubang kenikmatannya yang sudah penuh lendir. Kumainkan sebentar kepala penisku ke bibir vaginanya. Kemudian perlahan-lahan kumasukkan kepala penisku ke lubang vagina Risa. Mili demi mili kunikmati masuknya batang penisku ke dalam lubang kenikmatan yang hangat ini. “Ooch”, jerit Risa saat kepala penisku mencium mulut rahimnya. Kudiamkan sebentar posisi ini, menikmati pijatan dari dinding vagianya yang berdenyut-denyut.

Posisi kedua tanganku memgang pinggul kanan dan kiri Risa, lalu kugerakkan pinggulku sehingga membuat batang penisku beranjak keluar dari vagina Risa, disertai menyeruaknya bibir vagina Risa yang sempat melesak ke dalam akibat hujaman penisku. Tidak sampai setengah batang penisku keluar, kuhujamkan kembali batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Risa. “Ooch”, kembali terdengar erangan Risa. Kuulangi goyangan pinggulku itu dengan tempo lambat. Sedikit demi sedikit kupercepat goyangan pinggulku. “Ach ach ach”, mulut Risa mengeluarkan desahan yang menambah gairah bercintaku.

Risa memang sedikit berisik kala bercinta, apalagi menjelang dia mendapatkan orgasme. Kadang kala jika kami bercinta di rumahku dan sedang ada keluarga yang menginap, aku pun kewalahan membekap mulutnya dengan bibirku atau dengan tanganku agar suaranya tidak mengganggu mereka.

“Plak plak plak”, bunyi pangkal pahaku beradu dengan pantatnya dipadu dengan siraman air dari shower menambah erotisme dalam bercinta. Tangan kananku tidak tinggal diam, sambil tetap menggoyangkan pinggulku, kusap-usap kulit punggung Risa yang ditumbuhi sedikit bulu, lalu menjalar ke arah payudara kanan Risa yang ikut bergoyang seirama dengan hujaman-hujaman penisku ke dalam vaginanya. Kuremas-remas payudara kanannya, kupilin-pilin putingnya yang sudah mengeras, dilanjutkan renasan kembali di payudaranya. Puas bermain di payudaranya, kembali tanganku mengusap punggungnya kemudian beralih ke arah pantat kanannya dan kuremas pantatnya yang montok, lalu “plak” kuberikan tamparan di pantat kanan Risa.

Tidak sampai disitu, kuusap-usap pantat kanannya, kutempatkan ibu jari kananku di permukaan anus Risa. Kumainkan ibu jari kananku dengan mengusap berputar di permukaan anusnya, sementara tangan kiriku masih setia berada di pinggul kiri Risa, ikut membantu hujaman-hujaman batang penisku ke dalam lubang kenikmatan Risa.

Batang penisku terus mengaduk-aduk lubang vaginanya. “Oooch oooch oooch”, desahan Risa semakin kencang dan panjang, dia mendekati titik klimaks kenikamatan dunia.

Tiba-tiba, tok tok tok “Mba masih lama ngga?”, terdengar suara Rani dari balik pintu luar kamar mandi. “Mba.. Mba.. masih lama ngga?”, Rani kembali memanggil istriku.

“Be..bentar la..gi Raan”, teriak Risa sedikit terbata-bata dilanjut dengan tubuhnya yang mengejang-ngejang. “i got it, i got it”, racau Risa yang menjadi semakin menunduk karena lemas.

Terasa vaginanya semakin licin oleh cairan yang keluar dari lubang vaginanya. Aku mempercepat ayunan pinggulku, karena terasa aku pun akan mencapai klimaks. Penisku berkedut-kedut dan terasa semakin gatal di kepala penis dan batang penisku. Dengan satu tusukan yang dalam, kusemprotkan spermaku ke dalam lubang kenikmatan Risa. Cukup banyak spermaku yang keluar. Sedikit menunduk, kupeluk tubuhnya dari belakang, kuciumi punggungnya yang berbulu halus itu. Risa pun membalas dengan menggenggam tangku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih berada di dinding untuk menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

“Banyak amat Yang?”, sahutnya. “Menurut lo?!”, jawabku asal. “Hehehhe”, Risa terkekeh.

“Kamu teriak kenceng amat. Kedengeran Rani ngga ya?”, ucapku. “Kalo kedengeran juga gapapa. Dia udah punya laki juga hehehe”, jawab Risa.

Perlahan kucabut penisku dari dalam vaginanya. “Aach”, desahnya saat seluruh batang penisku keluar dari mulut vaginanya.

“Yuk ah mandi. Udah ada yang ngantri”, sahutku. Risa pun membalikkan badannya menghadap ke arahku. Kemudian dipeluknya tubuhku masih di bawah guyuran air dari shower. Disandarkan kepalanya di dadaku sambil mengucap “aku sayang kamu”. “Aku juga”, jawabku sambil mengusap-usap punggungnya.

Lalu kami pun mengambil wudhu untuk mandi besar.

Setelah mandi dan berpakaian lengkap, kami pun keluar kamar mandi. Terlihat Rani dan Doni sedang duduk di tepi tempat tidur sambil menonton telivisi yang ada di kamar. Rani pun langsung bangkit dari duduknya saat melihat aku dan Risa keluar kamar mandi. Terlihat wajahnya yang sedikit kesal, mungkin sudah terlalu lama mereka menunggu. “Yuk Yang”, sahut Rani ke Doni.

“Ayo gantian gantian”, sahutku sambil cengengesan. “Macam love hotel aja hahaha”, celetuk Doni. Mereka berdua pun masuk ke dalam kamar mandi.
**

to be continued...

Update di page 1, 2, 3, dan 4 (tamat)
 
Terakhir diubah:
Aku terjaga dari tidurku. Sayup-sayup kudengar keramaian di luar sana. Suara-suara keceriaan dari anak-anak kecil. Tampaknya para penghuni resort yang lain sedang berada di luar. Kulihat jam yang menempel di tangan kiriku, waktu menunjukan hampir jam empat sore. Pantas saja, gumamku.

Aku masih terbaring di tempat tidur tambahan di ruang keluarga lantai atas. Televisi di ruang ini masih dalam keadaan menyala. Kuambil kembali ponselku untuk sekedar mengecek surel dan membalas beberapa pesan yang ditujukan kepadaku.

Setelah selesai membalas beberapa pesan, aku bangkit dari tempat tidurku menuju kamar mandi yang ada di kamar tempat istri dan anak-anakku tidur, untuk mencuci muka dan bermaksud turun ke bawah setelahnya.

Kulihat pintu kamar itu dalam keadaan setengah terbuka. Kuraih pegangan pintu untuk mendorong agar pintu terbuka lebih lebar, saat itu kumelihat sesosok tubuh mengenakan baju gamis warna abu-abu muda sedang menunduk. Dengan posisi menunduk seperti itu, terlihat jelas pantatnya yang menonjol dan bentuk celana dalam yang dipakai dengan model mini.

“Hei, lagi ngapain?”, sapaku. Sosok tubuh itu membalikkan badannya, dan ketika mengetahui yang menyapa dirinya itu aku, saat itu juga dengan setengah berlari tubuh itu menuju diriku dan langsung memelukku erat. Disandarkan kepalanya yang sedang tidak memakai jilbab itu di bahu kiriku dan mengucap, “aku kangen Mas”.

Kubalas pelukannya dengan pelukan erat pula. Kubelai kepalanya penuh kasih dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memeluk erat dipinggangnya. Kemudian kuraih dagunya lalu kukecup bibirnya mesra, dan dia pun membalas kecupanku dengan mesra pula. “Aku juga”, balasku.

Cukup lama kami saling diam dalam posisi berpelukan. Hingga dia pun berkata, “aku cemburu Mas”. “Cemburu sama siapa?”, tanyaku. “Mba Risa”, jawabnya. Aku pun terdiam. “Tadi kayanya mesra banget waktu di kamar mandi. Aku iri. Pengen kaya gitu”, sahutnya lagi.

“Lah emang kedengeran ya?”, sahutku. “Gimana ngga kedengeran?! kenceng gitu suaranya”, sahutnya ketus.

“Trus sekarang pengen aja atau pengen banget?”, godaku. “Iih tuh kan jahat”, sahutnya sambil tangan kirinya mencubit pinggang kananku.

“Aduuhh.. Kan baru minggu lalu kita begitu”, sahutku mengaduh. “Mas Rio sih cari gara-gara, em el sama Mba Risa deket-deket aku. Sengaja ya bikin aku cemburu?”, sahut Rani merajuk.

“Ngga minta sama Doni?”, tanyaku lagi. “Udah, tapi tau sendiri Doni kaya gimana. Orangnya maunya serba bersih. Ngga mau begitu di kamar mandi. Aku ajak di kasur ini aja, dia juga ngga mau. Malu banyak orang katanya”, cerita Rani tetap tidak melepaskan pelukannya kepadaku.

“Lagian, aku kan sebenernya maunya sama Mas Rio. Kok nanyanya gitu sih?! Udah ngga mau ya sama aku?! Udah ngga sayang aku ya?!”, cerocos Rani lagi.

“Ngga gitu Rani sayang”, jawabku disertai kecupanku dikeningnya. “Yaudah trus maunya gimana?”, lanjutku.

“Aku mau gituu”, sahutnya manja sambil menatap kedua mataku dengan kedua tangannya melingkar di leherku. “Iya sayang, aku juga mau kok”, sahutku.

“Sebentar aku cek dulu masih ada orang ngga di sini”, sahutku lagi disertai melepaskan pelukan Rani lalu menuju keluar kamar.

Yang pertama kali aku lihat adalah ruang keluarga bawah di bagian depan. Kujulurkan kepalaku ke bawah melalui dipinggir pagar pembatas lantai atas. Kosong. Lalu aku menuju tangga dan mengintip melalui railling tangga ke arah dapur. Kosong juga. Kemudian aku menuju ke kamar yang ditempati Mba Dita. Sesampainya di depan pintu kamar, kuketuk perlahan-lahan. Tidak ada jawaban. Sekadar memastikan, kubuka pintu kamar itu, dan ternyata kosong. Setelah kembali menutup pintu, aku berdiri diam. Mendengarkan suara di sekeliling. Yang terdengar hanya suara-suara yang berasal dari luar bangunan ini. Ya, rupanya saat ini situasi mendukung kami untuk melakukan pergumulan terlarang ini.

Aku menuju kamar tempat Rani berada, kemudian mengunci pintu kamar dari dalam. “Sepi”, sahutku ke Rani. Tampak Rani sedang menatap ke luar jendela dari atas tempat tidur dengan bertumpu pada kedua lututnya. “Iya, pada di taman semua”, ucapnya sambil senyumnya mengembang.

Tak menunggu lama, posisiku sekarang berada hadapan Rani dengan jarak tidak sampai dua puluh sentimeter, sama-sama di atas kasur dan bertumpu pada kedua lutut. Kutatap wajahnya dan senyum kepadanya. Dia pun membalas dengan senyuman juga. Kuusap pipi kirinya dengan telunjuk kananku. Kusisipkan rambutnya yang sedikit menutupi pipi kirinya ke atas telinga kirinya, lalu tangan kananku memegang tengkuknya dan kudekatkan wajahku ke wajahnya, kurasakan nafas Rani yang sudah memberat saat sebelum bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya dan dia membalas kecupanku. Kecupan-kecupan itu beralih menjadi ciuman, dan ciuman pun menjadi ganas dan liar saat dua insan melepaskan hasratnya satu sama lain.

Kami berdua sadar, waktu kami tidak banyak. Satu sama lain mulai mengeksplorasi tubuh lawan jenisnya untuk menstimulasi titik rangsangan pada tubuh lawan jenisnya masing-masing. Aku mulai dengan tangan kananku meremas bongkahan pantat Rani, sementara tangan kiriku tetap berada di punggung Rani dan mengusap-usapnya. Kemudian tangan kananku mencoba menaikan baju gamis yang dikenakan Rani, akan tetapi bagian bawahnya terjepit kedua lututnya dan kasur. Rani pun sedikit mengangkat lututnya bergantian, dan kondisi ini aku manfaatkan untuk menarik bagian bawah baju gamisnya agar terbebas dari jepitan kedua lututnya.

Sedangkan Rani memulai dengan mengusap-usap penisku dari luar celana pendek yang aku pakai. Usapan-usapan itu bercampur dengan remasan saat tangan kanannya berada di buah zakarku. Batang penisku yang sudah mengeras pun tak luput dari remasan dan usapan. Remasan dan usapan itu terus dilakukan dari pangkal sampai kepala penisku, bolak balik.

Aku melanjutkan dengan menarik bagian bawah baju gamisnya sampai sebatas pinggangnya sambil tangan kananku mengusap-usap paha kanan bagian dalamnya sampai dengan pangkal pahanya. Lalu kuremas pantat kirinya yang masih tertutup celana dalamnya dan kuselipkan tangan kananku dibalik celana dalamnya melalui lubang celana dalam untuk bagian kaki kirinya. Jari tengah tangan kananku pun kuarahkan ke belahan kedua pantatnya, menyelusup diantara bongkahan pantatnya dan melewati lubang anusnya untuk mencari lubang kenikmatan yang diinginkan oleh hampir seluruh pria di dunia ini. Kumainkan sejenak ujung jariku di perineum Rani. Membuat dirinya sedikit blingsatan. Ujung jari tengahku merasakan adanya cairan pada saat menyentuh bibir vagina Rani. Ciuman Rani semakin liar saat ujung jari tengahku mulai mengusap-usap permukaan lubang vaginanya dari arah belakang. Bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya pun ikut dibasahi oleh cairan kenikmatan Rani. Perlahan mulai kutusukan ujung jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yang basah. Kumainkan dengan tusukan-tusukan kecil lalu membuat sedikit gerakan berputar di permukan lubang vaginannya. Kemudian kugeser ujung jari tengahku untuk mencari klitorisnya dan dilanjutkan dengan mengusap-usap dan memutar klitoris Rani yang sudah mengeras dengan jari tengahku.

Mengimbangi aktifitasku, tangan kanan Rani sudah berada di balik celana dalamku. Memainkan tangannya terhadap batang penisku dan buah zakarku. Dikocoknya batang penisku pelan-pelan. Diusap-usapnya kepala penisku dengan ibu jari kanannya. Sementara itu bibir kami masih tetap beradu. Lidah kami saling berebut untuk bermain di dalam rongga mulut lawannya. Tangan kirinya berada di tengkukku, sedikit menekan seolah-olah tidak membiarkan aku melepaskan ciumanku dari bibirnya.

Jari tengah tangan kananku masih sibuk bermain dengan vagina Rani. Kali ini jariku sudah masuk semakin dalam ke lubang vaginanya. Dengan tinggi Rani yang hampir sama denganku, membuat tanganku leluasa memainkan vaginanya. Kumasukkan jari tengah tangan kananku sampai ke seluruhnya terbenam dalam lubang kenikmatan Rani. Kuputar-putar jariku yang terasa hangat saat berada di dalamnya. Menyentuh dinding dalam vaginanya yang bergerenjal, dan berusaha mencari titik yang paling sensitif dari seorang wanita.

Seiring permainan jariku di dalam vaginanya, Rani pun tak kuasa melanjutkan ciumannya. Bibirnya hanya bisa menganga sambil berdesah merasakan nikmat lubang vaginanya diaduk-aduk oleh jari tengah tangan kananku. Pinggulnya turut bergerak menyesuaikan gerakan jariku yang terus berputar di dalam lubang kenikmatannya.

Sisa waktu kami tak banyak, aku sudahi permainan jariku di dalam vaginanya, dengan satu hentakan mencabut jariku dari jepitan daging hangat dambaan lelaki normal, tubuh Rani pun sontak terkaget. Lalu aku mencium bibirnya kembali sambil merebahkan tubuh Rani ke belakangnya. Membaringkan tubuhnya di atas kasur pegas yang kami pijak sejak tadi.

Aku membuka celana pendek dan celana dalam yang sejak tadi masih aku pakai. Kulihat di celana dalamku menempel cairan bening dan sedikit lengket yang berasal dari penisku. Begitu juga Rani, melepaskan celana dalam mininya berwarna biru muda dengan garis putih pada jahitan pinggirnya, yang masih tersangkut di kedua lututnya.

Rani berbaring telentang. Menatapku dengan wajah sayu, seperti memohon padaku untuk membantunya melepaskan seluruh gejolak seksual yang saat ini melanda dirinya. Kulihat daerah pangkal pahanya tertutup baju gamis yang masih melekat pada tubuhnya.

Kudekatkan tubuhku ke arahnya. Lalu kuraih kedua kakinya dengan masing-masing tanganku. Kemudian kutekuk kedua ke atas dengan telapak kakinya masih menempel pada kasur membentuk huruf M, membuat ujung bawah baju gamisnya melorot ke atas perutnya. Sekarang terpampang jelas di mataku bentuk vagina Rani yang ditumbuhi bulu-bulu yang tercukur rapih di labia mayoranya. Sedangkan labia minoranya yang menonjol keluar tampak basah oleh cairan vaginanya. Lubang vaginnya sedikit terbuka akibat ulah jari tanganku. Bekas jaitan paska melahirkan masih dapat kulihat di beberapa tempat di labia mayoranya.

Kudekatkan penisku yang telah keras sempurna ke arah vaginanya. Kuluangkan sejenak waktuku untuk melihat keluar melalui jendela yang ada disamping kiriku, meyakinkan diriku bahwa persetubuhan ini dapat dan harus dilanjutkan. Yakin jika seluruh penghuni bangunan ini, kecuali kami berdua, masih berada di taman, maka dengan bantuan tangan kananku, aku tempelkan kepala penisku ke mulut vagina Rani.

Pinggul Rani ikut bergerak saat kumainkan kepala penisku di vaginanya dari bawah ke atas beberapa kali, mencoba membuka mulut vaginanya lebih lebar lagi untuk memudahkan kepala penisku masuk ke dalamnya. Kulihat Rani menggigit ujung kanan bibir bawahnya saat kepala penisku mulai merangsek masuk ke dalam lubang kenikmatannya.

Setelah seluruh kepala penisku ditelan vaginanya, kucondongkan tubuhku ke arah tubuh Rani. Lalu kulumat bibirnya sambil menggerakkan pinggulku maju mundur hingga penisku sedikit demi sedikit masuk lebih dalam di lubang kenikmatannya. Dengan satu gerakan panjang, kumasukkan seluruh batang penisku ke dalam vaginanya. “Aacch”, desah Rani entah karena kepala penisku menyentuh ujung terdalam vaginanya atau karena klitorisnya tertubruk bagian atas pangkal penisku atau malah keduanya. Hanya Rani yang bisa merasakan sensasi kenikmatan itu. Kudiamkan beberapa detik seluruh penisku di dalam vaginanya, merasakan kehangatan yang diberikan oleh dinding vaginanya.

Lalu kumulai menggoyangkan pinggulku agar batang penisku dapat bergerak keluar masuk vagina Rani. Gerakan itu terus kulakukan dengan kecepatan sedang. Sementara bibirku masih mencium bibirnya yang menganga terlena atas kenikmatan yang diberikan batang penisku. Terdengar desahan-desahan keluar dari mulut Rani. Tangan kananku ikut meremas-remas payudara kirinya yang masih terbungkus baju gamis dan bra-nya. Tangan kanan Rani berada di belakang kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku saat penisku masuk terlalu dalam di lubang vaginanya. Sedangkan tangan kirinya kulihat mencengkeram seprei di sisi kiri tubuhnya.

Penisku terasa berkedut-kedut. Jika kudiamkan kondisi ini, maka aku akan orgasme terlebih dahulu tanpa bisa memuaskan Rani. Aku harus mengubah posisi bercinta agar Rani bisa merasakan puncak kenikmatannya terlebih dahulu.

Kuhentikan gerakanku. Lalu ketegakan tubuhku dengan penisku masih terbenam sepenuhnya dalam vagina Rani. Kulihat Rani terkulai lemas memejamkan kedua matanya dengan memalingkan wajahnya ke arah kirinya. Kemudian kuraih kedua kakinya dengan kedua tanganku. Kuluruskan kaki Rani ke atas. Kuletakan kedua kakinya di kanan dan kiri bahuku. Kutempelkan kedua pahanya dengan badanku dan kurapatkan kedua lututnya dengan kedua tanganku. Kuayunkan kakinya ke atas dan ke bawah sambil terus kutekan batang penisku dalam-dalam di lubang vaginanya. Dengan bantuan pegas kasur yang kualitasnya sudah tidak bagus, sekali aku ayunkan ke bawah maka efek baliknya adalah tubuh Rani akan berayun tiga sampai empat kali ayunan tanpa perlu tenaga tambahan dariku.

Hasilnya adalah kepala penisku menggaruk-garuk ke atas dan ke bawah di dalam lubang vaginanya, membuat Rani semakin menggelinjang dan meracau semakin tidak jelas. Kedua tangannya mencengkeram seprei di kanan dan kiri tubuhnya. Posisi ini juga ternyata membuat ejakulasiku tidak tertahankan lagi. Batang penisku berkedut semakin cepat. Kurasakan juga dinding vagina Rani berkedut-kedut. Dan crot crot crot penisku menyemprotkan air mani yang sejak tadi berusaha aku tahan. Segera kupercepat mengayunkan kaki Rani dan kubenamkan penisku dalam-dalam di vaginanya agar dirinya juga mencapai klimaksnya. Tubuh Rani mengejang dan “aaacchh” terdengar teriakan panjang dari mulutnya disertai tubuhnya yang melenting ke atas, membuatnya menekuk tulang punggungnya hingga tidak menyentuh kasur di bawahnya. Terasa juga di penisku adanya dorongan air hangat yang mendesak keluar dari lubang vaginanya.

Terus kuayunkan kedua kakinya hingga tulang punggungnya menyentuh kasur kembali dan Rani pun tergeletak lemas. Kutahan posisi ini beberapa saat sampai penisku sedikit melemas, lalu kutarik keluar penisku dari lubang vaginanya. Cairan spermaku bercampur cairan vagina Rani ikut keluar saat penisku terlepas dari lubang kenikmatannya.

Kembali kuletakan kedua kaki Rani di kasur di samping kanan dan kiriku. Kulihat Rani masih terpejam menikmati sisa-sisa orgasme yang tadi dia rasakan. Kemudian kudekatkan tubuhku ke atas tubuhnya dan kucium bibirnya dengan penuh rasa sayang. Dibalasnya ciumanku dengan rasa sayang yang terasa dari bibirnya sambil kedua tangannya memelukku erat. Kuhentikan ciuman dan sedikit kuangkat wajahku dari wajahnya. Lalu kupandangi wajahnya dan dia pun tersenyum puas terpancar dari wajahnya. Kubelai wajahnya dengan tangan kananku.

“Aku sayang Mas Rio”, terucap dari bibirnya sambil kembali memberikanku pelukan yang erat. “Aku juga”, bisikku di telinga kirinya.

“Udah yuk. Nanti keburu digerebek satpol PP. Hehehe”, candaku. “iihh amit-amit”, sahutnya.

Aku pun bangkit dari atas tubuhnya. Kemudian meraih celana dalam dan celana pendekku yang selanjutnya segera aku pakai. Sedangkan Rani mengambil celana dalam biru mudanya, lalu dielapnya cairan yang menempel di vaginanya dengan celana dalamnya, tidak lupa dia pun turut mengelap cairan dari penisku dan vaginanya yang menetes di kasur. Kemudian diambilnya parfum dari tasnya, lalu disemprotkannya ke kasur di lokasi menetesnya cairan yang keluar dari alat kelamin kami berdua.

Setelah itu, Rani menuju kamar mandi dan aku keluar kamar dengan tujuan bergabung dengan keceriaan keluargaku lainnya yang masih berada di taman.

Yang membuatku terkejut adalah, sesaat aku sampai di taman dan bergabung dengan keluargaku yang lain, kulihat seseorang keluar dari bangunan resort yang kami tempati. Dan itu bukanlah Rani...

***
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
masih keren aja cerbung ini

ijin nitip kondom ya bro
lanjutlah
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd