Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Part 5



“Heh! Jangan deket-deket napa sih?! Geli nafas lo,” aku cepat menarik badanku menjauh darinya. Posisinya yang tiba-tiba nyaris menempel denganku agak membuatku khawatir tadi.

“Eh, eh, sori, Dim.”

“Udah deh mending kita keluar sumpah,” aku lantas berdiri membawa laptop Vanka itu dan berjalan cepat menuju pintu tanpa menoleh sedikitpun kearah Iwan dan Anin. Vanka pun mengekoriku.

“Gila emang, mereka engga tau situasi tempat bangsat,” keluhku sesaat setelah duduk di kursi ruang tamu dan meletakkan laptop ini di meja. “Mereka emang sering gitu?” sambungku bertanya.

“Eng... enggak sih, emang Iwan sering ke kamar kita, kan... cuma baru tadi mereka ciuman,” jelasnya yang kini duduk disebelahku.

“Oh...” Aku melanjutkan pekerjaanku setelah membuka kembali laptop itu.

Beberapa menit berlalu, dan Vanka hanya diam memperhatikan layar.

“Eh, Dim,”

“Kenapa?”

“Masih lama?”

“Enggak kok ini bentar lagi nih, 3 halaman.”

“Ohh... Gue ambil selimut bentar ya, kedinginan...”

“Oh, ya.”

Lalu gadis berparas bule itu beranjak dari tempatnya, sementara aku melanjutkan pekerjaanku. Berselang setengah halaman, Vanka datang dengan selimut yang membungkus badannya lalu duduk kembali di tempatnya, aku sempat memperhatikannya mengangkat lalu melipat kedua kaki keatas kursi panjang ini, lalu membungkusnya juga dengan selimut itu.

“Buset, dingin banget apa?” tanyaku tanpa menoleh kearahnya.

“Lu enggak kedinginan emang?”

Aku membalasnya dengan gelengan kepala. Memang malam ini terasa dingin karena angin yang sepertinya sedang gelisah, tapi memang hari ini tidak sedingin hari-hari sebelumnya. Walau begitu, sepertinya aku akan merindukan suasana tempat ini. Ketimbang udara panas di Jakarta dan Semarang, kesesejukan dan hawa dingin desa ini lebih membuatku nyaman. Bikin rumah disini aja kali ya? Hehe.

Aku melanjutkan penerjemahan ini hingga lembar terakhir. Akhirnya aku bisa istirahat karena sekarang mataku sudah benar-benar redup. Ingin segera aku terlelap dan berkemas-kemas esok hari. Sepertinya aku akan tiduran saja besok setelah berpamitan dengan warga-warga desa pagi harinya. Jinan juga bilang kalau besok adalah hari bebas.

“Ka, udah nih.”

“Eh, serius? Waahh, tengkyu Dim.”

Vanka menerima laptop yang kuserahkan, dia tampak berseri.

“Udah ya? gue tidur duluan,” aku bangkit berdiri.

“Eh eh, Dim.” Tiba-tiba saja, lengan kiriku ditahan oleh tangan Vanka sesaat setelah aku berdiri.

“Kenapa?” Tanyaku heran. Apa kerjaanku masih ada yang terlewatkan?

“Emm... a...anterin gue pipis dulu dong...”

Dia mengangkat bibir bawahnya, sambil memasang wajah memohon.

“Yaelahh, lu udah gede kek gini masih takut ke kamar mandi?”

“Iishh... Dimm...” Sekarang dia menarik-narik lenganku.

“Hadehh iya iya. Ayo buru.”

Dia lantas meletakkan laptopnya di meja, lalu bangkit berdiri. Dia mengekoriku yang lebih dulu berjalan.

Ceklek

Aku menyalakan lampu kamar mandi.

“Dah sana buru.”

Namun setelah aku berbalik, Vanka memberikan tatapan yang berbeda. Gadis itu tampak gelisah, bibirnya tidak bisa tenang, begitupun dengan pandangannya yang berpindah-pindah titik.

“Ka?”

Namun dia tidak menjawabnya.

Aku jadi gelisah sekarang, jangan-jangan dia kesurupan penunggu disini. Pasti sosok itu terganggu dengan tingkah Iwan dan Anin yang kurang ajar tadi. Brengsek emang.

Enggak.

Tenang.

Jangan teriak.

“Dim... g-gue... mau kontol.”

Anjing...

“Heh. Lo kenapa?”

“T-tadi waktu gue ambil selimut... Anin lagi asyik ngemut kontolnya si Iwan... G-gue jadi... pengen juga...”

Sempet sempetnya anjing mereka berdua!

“Ya lo minta ke Iwan lah. Kenapa ke gu-“

Vanka yang mendekatiku itu tiba-tiba membuka selimut yang membungkus tubuhnya sejak tadi. Aku dibuatnya menelan ludah ketika melihat dua buah dada besarnya itu mengintip diantara bra dan juga kaosnya yang terangkat sampai tepat diatas dua bongkahan itu. Sepertinya sejak tadi dia sengaja mengangkat kaos itu.

“Hadiah, soalnya lu udah bantuin tugas gue...”

Gadis itu lantas melepas kaos yang dikenakannya. Hingga terlihat semakin jelas pemandangan indah yang memang pernah aku bayangkan saat pertama kali bertemu dengan Vanka. Asetnya itu memang terlihat sangat menggoda karena kadang tercetak bulat padat walau masih tertutup pakaian.

Aku masih terpaku, hingga gadis itu sampai tepat didepanku. Dua gunung itu benar-benar membuatku tidak bisa beranjak dari sini, mataku serasa terhipnotis. Bahkan mulutku terasa kelu, berucap sedikitpun tidak bisa.

Sialan!

Penisku terasa semakin tegang dibawah sana. Apalagi sekarang buah dada itu menempel diatas perutku. Ditambah tatapan sayu yang diberikan Vanka, sukses membuat batang kemaluanku itu semakin keras.

“Nih... lu udah keras, hihihi.” Dia tampak antusias saat tangannya meraba dan menemukan tonjolan itu dari luar celana pendekku. Vanka tersenyum nakal, merasa menang dan mendapatkan lampu hijau dariku. Dia menarik tubuhnya kebelakang, kemudian dengan tangan kanannya, ia menuntunku masuk ke kamar mandi itu.

Cepat dia menurunkan semua celanaku, alhasil penis itu langsung mengacung tegang begitu keluar dari sarangnya. Kemudian dengan kedua tangannya, dia menekan pelan bahuku, menuntunku agar memposisikan diri duduk di lantai dan membuka lebar selangkanganku. Mataku tak henti-hentinya menatap payudara Vanka yang sekarang terlihat menggantung saat Vanka merendahkan badannya lalu memposisikan diri menungging. Belahan yang terlihat itu benar-benar menggoda diantara dua bukitnya yang nyaris beradu.

“Gilak, gede juga ya punya lu,” katanya yang sekarang terlihat berbinar saat memperhatikan penisku yang benar-benar sudah keras itu. Aliran darah dalam tubuhku terasa berdesir saat kulit halus tangannya itu menggenggam pelan batang kemaluanku, kemudian perlahan turun, menyingkirkan dan menahan rambut-rambut halusku yang tidak terlalu rimbun itu.

Jantungku semakin berdegub kencang ketika Vanka mulai membuka mulutnya. Rasa hangat itu semakin terasa, dan kenikmatannya memuncak ketika bercampur rasa basah dari air liur Vanka setelah mulutnya ia katupkan. Aku sontak mendongak, aku tahan sekuat tenaga desahan nikmatku saat Vanka mulai mengulum penisku itu. Aku tidak mau seorang pun terganggu dan menyadari keberadaanku bersamanya disini.

Slrrpp

Pcak pcak


Gadis itu terlihat sangat menikmati penisku. Seusai melumuri seluruh batangnya dengan air liur, dia kocok pelan dengan lembut tangannya. Jujur, Vanka cukup lihai dengan semua ini.

“Gimana? Enak kan?” Tanyanya dengan memasang tatapan menggoda. Dia merapikan rambutnya lalu menyelipkan beberapa yang terurai ke telinganya. Aku hanya membalas dengan anggukan pelan, lalu senyum lebar melengkung di wajah kebule-bulean itu.

Vanka melanjutkannya dengan lidahnya yang menari di kepala penisku, sementara tangan kanannya terus mengocok pelan batangnya, lalu tangan kirinya mengusap dan meremas-remas pelan testisku. Kedua kakiku bergerak-gerak karena semua kenikmatan yang diberikan Vanka, begitu pula badanku yang mulai tidak bisa diam.

Gadis itu kembali melahap semua batang penisku, dan kali ini dia menggerakkan kepalanya naik turun pelan. Itu cukup memberiku waktu untuk melegakan nafas. Sesekali ia berhenti dan memberi penisku sensasi pijatan dengan mulutnya itu, kemudian melanjutkan gerakan naik turun itu. Air liur Vanka benar-benar sudah melumuri seluruh penisku, bahkan terasa sampai di testis juga. Melepaskan mulutnya dari penisku, sekarang ia gunakan tangannya lagi untuk memberiku handjob yang lebih intens. Tidak kusangka dia bisa seliar ini. Bahkan sekarang udara dingin ini seperti tidak terasa lagi.

“Anjing, capek mulut gue. Kok lama sih keluarnya Dim,” tanyanya sambil masih mengocok namun lebih lambat dan mengusap air liur yang bercecer di sekitar mulutnya. “Enak kan tapi?” lanjutnya .

“Emm...”

“Hhh... habis ini, gue jamin lo bakal lebih keenakan lagi.”

Vanka menarik tangannya dari penisku yang masih mengacung tegang. Kemudian kedua tangannya itu bergerak kearah punggung, dan akhirnya, klik!

Aduh.......


Vanka melepaskan bra warna hitamnya itu lalu melemparnya asal ke samping kanannya. Membuat dua gunung yang sejak tadi hanya mengintip kini terekspos dengan bebasnya. Payudara besar yang sekilas terlihat agak kendor itu begitu menantang dan indah dengan puting kecoklatannya yang terlihat sudah menggeras. Kembali aku menelan ludah dan tak henti-hentinya terpesona hingga aku pusatkan pandanganku ke dua gundukan itu.

“Hehe... gimana? Gede?”

“I-iya...” Lagi dan lagi, aku menelan ludah.

“Siap-siap,”

Aku menahan nafas, tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

“Hngh...”

Vanka menekan kedua buah dadanya dan menjepit kuat-kuat batang penisku dengan mereka. Lembut dan halusnya kulit payudaranya itu memanjakan penisku dengan sensasi pijatan karena Vanka sedikit menggesek-gesekkan dua bukit putih nan indah itu. Sesekali ia berhenti, lalu mengulum kepala penisku lalu menggesek-gesekkan lagi dua payudara itu. Kenikmatan yang lebih dari yang aku terima tadi ini sukses membuatku mendongak dan merem melek. Kedua tanganku yang menopang tubuhku sedikit aku tekuk, badanku kembali menggeliat. Sensasi kenikmatan ini langsung menjalar keseluruh tubuhku gara-gara payudara besar itu.

Beberapa saat kemudian, aku akhirnya menyerah. Aliran spermaku tidak bisa lagi aku tahan karena kenikmatan ini.

“K-ka, g-gue keluarr...”

Crot

Crot

Crot


Semburan sperma itu sempat mengenai wajahnya sebelum Vanka cepat melahap penisku dan menampung sisa sperma itu dimulutnya. Tubuhku yang semula tegang berangsur rileks setelah semburan terakhir keluar. Vanka mengangkat kepalanya, merapikan rambutnya yang berantakan sembari menelan semua sperma yang ada di mulutnya. Sadar masih ada yang melekat, dia mengusap sperma yang sempat mengenai dahinya lalu ikut menelannya juga. Kemudian, dia mengulum penisku lagi, membersihkan sisa-sisa yang mungkin masih tertinggal seakan tidak mau melewatkan sedikitpun air maniku itu. Terakhir, dia mengecup kepala penisku lalu memberikan satu lagi senyuman lebar penuh kepuasan padaku. Wajahnya yang basah dengan keringat itu tampak berseri, sepeti aku telah memberinya sesuatu yang sangat ia inginkan.

“Enak, kan?”

“Hhh...” Aku hanya memberinya anggukan. Degub jantungku masih belum kembali normal. Perlahan, ketegangan penisku mulai mereda. Akhirnya dia bisa istirahat setelah sejak tadi dimainkan oleh Vanka. “Bayaran” yang tidak biasa untuk tugas penerjemahan yang biasa aku lakukan.

“Hehehe... makasih ya, Dim. Kontol lu juga enak, hehe...”

Ucapnya sambil bangkit berdiri lalu memungut bra dan juga kaosnya. Sementara aku masih berada di posisi terduduk sambil memandangi tubuhnya yang ternyata lumayan juga. Pantatnya yang agak menonjol terlihat menggoda dibalik celana pendeknya. Juga punggung mulus dengan warna kulit putihnya itu perlahan membuat nafsuku kembali naik.

“Kak, jangan nakal ya pas KKN.”

Aku serasa ditampar.

Tiba-tiba teringat kata-kata darinya itu.

Aku menggeleng cepat, membiarkan Vanka mengenakan lagi bra dan juga kaosnya.

“Kenapa lu?” Tanyanya heran sambil memandangku.

“Oh, enggak. Jadi tambah ngantuk aja habis gituan tadi.”

“Oohh, ehehe... yaudah, tidur nyenyak ya, Dim.”

Dia mendahuluiku keluar kamar mandi. Tak lama setelahnya aku juga bangkit berdiri, mengenakan lagi semua celanaku dan berjalan keluar.

“E-eh?”

“Dimas?”

“M-mau pipis, Nan?”

Aku terkejut dengan sosok Jinan yang berpapasan denganku tepat didepan pintu kamar mandi ini. Sialan. Tidak terbayang jika tadi aku meneruskan untuk memuaskan hawa nafsuku pada Vanka.

“Bentar... tadi Vanka barusan gue papasan habis dari sini...” Jinan memasang mata curiga padaku.

“Iya tadi dia minta gue anterin dia pipis. Tadi gue habis bantuin dia ngerjain tugas kuliahnya. Terus ya dia mau pipis tapi takut,” jelasku dengan nada tenang.

“Ooohh,” dia manggut-manggut sambil memberiku senyum miring kesebelah kanan wajahnya. Seperti masih belum percaya dengan penjelasanku. “Terus kenapa lu ada didalem kamar mandi? Lu pasti habis macem-macem sama Vanka kan?” Jinan mendorong badanku hingga menempel ke dinding lalu menahannya dengan lengan kanannya. Sekarang tatapan tajam itu ia berikan lagi padaku.

“Kan gantian gue yang pipis Naann.... Ayolah, gue ngantuk mau tidur...” Mohonku dengan masih menahan rasa panikku. “Gue enggak macem-macem.” Aku memberinya tanda dua jari membentuk huruf ‘V’.

“Hhh... yaudah. Kirain,” Gadis berkacamata ini melepaskan tangannya.

“Dih. Lagian napa sih lo pikiran negatif mulu sama gue?”

“Iye maaf. Amanat Cindy juga nih,” Jinan berlalu masuk lalu menutup pintu kamar mandi itu.

Aku menelan ludah.

***​

Hari penarikan mahasiswa KKN.



“Udah semua?” Tanyaku sekali lagi memastikan pada semua teman-temanku yang sudah ada didalam minibus yang sudah disiapkan universitas untuk penjemputan.

“Udah udah,” ucap Iwan yang duduk di paling belakang bersama Tio dan Bayu, dan itu disusul acungan jempol oleh Okta dan Desy yang ada didepannya. Yah, semuanya sudah terbungkus rapi. Printer, alat tidur, perlengkapan pribadi. Motor pun sudah kami kembalikan ke warga kemarin.

“Sip,” balasku yang kemudian menghampiri Jinan yang berdiri tidak jauh dariku, dia sedang berbincang dengan bapak kepala desa. Kemudian setelah aku menyampaikan kalau semua sudah siap, sekali lagi kami berpamitan dengan beliau lalu masuk kedalam minibus itu. Karena semua kursi penumpang sudah terisi penuh, aku dan Jinan duduk di kursi depan sebelah supir. Setelah semua dirasa siap, akhirnya kami berangkat menuju Jakarta, pulang.

Mbul bilang akan ada urusan sebentar setelah kelas pagi. Dia memintaku untuk menghubunginya saat aku sampai di kontrakan. Tentu saja itu bukan masalah. Ah, akhirnya aku bisa bertemu dengannya lagi. Entah bagaimana dia nanti setelah sekitar 40 hari ini aku tinggal. Sepertinya aku akan langsung memeluknya erat-erat setelah bertemu. Hehe.

“Dim.”

“Hmm?”

“Udah ngabarin Cindy belum lu?”

“Hahaha, udah dong. Dia nyuruh gue ngabarin pas gue sampe di kontrakan.”

“Ooohh,” Jinan manggut-manggut.

Kemudian tidak lama, dia melipat tangannya diatas perutnya, kemudian bersandar ke kursi sambil menghela nafas.

“Kenapa? Capek lo?”

“Hhh... iya. Tapi untung sih ini selesai,” Jinan lalu menoleh kearahku, dan terlihatlah wajahnya yang memang terlihat lelah itu. “Makasih ya udah bantu-bantuin gue juga selama KKN ini,” sebuah senyuman kecil ia berikan padaku.

“Santuyy.”

Aku membuka sedikit jendela disampingku, lalu membuang pandang kearah pemandangan desa ini. Aku nikmati sejuk dan segarnya angin yang berhembus ini sebelum kembali bertemu dengan udara di Jakarta. Tidak kusangka akhirnya kegiatan ini akhirnya selesai. Memang setelah diajalani, semua terasa cepat.

“Hm?”

Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang berat bertemu dengan pundak kananku. Aku menoleh pelan, dan ternyata itu adalah kepala Jinan, dia terlelap. Yaampun, padahal baru saja kita berangkat dan dia sudah tumbang. Tapi juga aku tidak mendengar suara berisik dari teman-temanku dibelakang sana seperti saat pertama kali kami berangkat kesini. Aku rasa memang semuanya merasa lelah saat ini.

Aku tersenyum kecil, membiarkan Jinan menyandarkan kepalanya itu disana. Setelah itu, aku berusaha tidak membuat gerakan yang bisa membuatnya terganggu. Teringat kembali bagaimana gadis ini selama kami ada disini. Aku kagum dengan jiwa kepemimpinan juga ketegasannya itu. Tidak akan heran jika setelah ini atau suatu hari nanti aku mendengarnya memimpin sebuah tim atau semacamnya.

Yah... Perjalanan masih sangat panjang, tapi sepertinya aku akan tetap terjaga menemani pak supir. Setidaknya sampai setengah perjalanan. Walau sebenarnya aku ingin sekali tidur selama perjalanan ini dan langsung terbangun di Jakarta.

***​

Aku terbangun ketika merasakan kendaraan ini berhenti, dan ternyata kami sudah sampai di lapangan universitas, titik penurunan kami hari ini. Aku lihat Jinan sudah bangun juga. Sepertinya dia lebih dulu membuka mata daripada aku. Karena aku lihat, dia sudah terlihat segar. Segera aku membuka pintu sambl masih mengucek mata. Terlihat juga beberapa minibus peserta KKN lainnya yang juga sampai disini.

Satu per satu barang-barang kami mulai kami turunkan, tak ada satupun yang kami lewatkan sampai akhirnya pak supir berpamitan dan kami mengumpulkan barang kami masing-masing. Okta, Vanka dan Anin mendahului pulang dengan mobil online yang mereka pesan, Tio dan Bayu pulang bersama teman satu kos mereka, begitu pula dengan Iwan. Sementara Lisa dan Desy menyusul dengan mobil jemputan mereka masing-masing. Hingga tersisa aku dan Jinan, memang dia sengaja ingin pulang paling akhir setelah semuanya pergi dari sini, dan aku putuskan untuk menemaninya juga tadi. Kami duduk di sebuah kursi panjang.

“Dah, kan? Balik ya.”

“Yaudah lu pesen aja dulu.”

“Udeh.”

“Oh yaudah. Gue juga udah pesen kok.”

Sembari menunggu, kembali aku buka gawaiku dan mengirim pesan singkat pada Cindy, memberitahu kalau sebentar lagi aku akan berangkat menuju kontrakan. Dia membalas dengan emoji berkedip. Aku tersenyum lagi, tidak sabar bertemu pipi gembul itu.

“Dim.”

“Apa?”

Aku menunggu ucapan selanjutnya darinya. Tapi tidak ada kelanjutan sampai-sampai aku menoleh kearahnya.

“Emm... enggak, enggak jadi, ehehe.” Dia tersenyum lebar lalu kembali sibuk dengan gawainya.

“Apasih, Nan.”

Tak lama, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan diseberang kami. Jinan yang menyadari itu mobil online yang ia pesan langsung berpamitan denganku, aku membantunya membawa satu tasnya.

“Gue duluan, ya.”

“Oke, ati-ati.”

“Salam buat Cindy,” dan lagi, dia tersenyum.

Aku mengangguk padanya yang kini sudah masuk kedalam mobil.

Tak lama setelah mobil itu pergi, akhirnya mobil online pesananku tiba.

***​

Akhirnya aku sampai di kontrakan. Semua barang-barangku sudah aku turunkan dan mobil online itu sudah pergi menjauh. Sepi, sepertinya memang Cindy belum sampai disini. Aku membuka kunci gerbang lalu masuk kedalam.Tas-tas bawaanku ini aku letakkan sejenak lalu aku mencari kunci kontrakan yang aku simpan disalah satu saku tas itu.

Perhatianku tiba-tiba tercuri oleh suara mobil yang berhenti didepan kontrakan. Aku menoleh kesana, dan terlihat Cindy yang keluar dari kursi belakang. Aku yang ingin segera melampiaskan rasa rinduku ini langsung bergegas menghampirinya.

“Gembul!!” aku merentangkan tanganku bersiap memeluknya erat-erat.

“Kak Dim-“ belum selesai ia berucap, aku sudah memeluk erat dia yang mengenakan hoodie warna biru tua dan juga celana jeans ini. Harum tubuhnya yang aku rindukan ini langsung aku hirup. Kerinduanku yang sudah aku tahan akhirnya bisa terlepas.

“Kak, bentar, aku mau ngomong.”

Perlahan, aku melepaskan pelukanku, lalu menatap matanya yang ternyata sudah serius. Tidak seperti biasanya dia begini. Entah kenapa aku punya firasat buruk.

“Kenapa?”

Dia terlihat gusar, seperti sedang merangkai kata yang akan ia ucapkan. Aku turut menunggu dengan rasa cemas. Dia menggigit bibir bawahnya, kemudian setelah itu, dia menghela nafas, lalu mengucapkan sesuatu yang benar-benar membuatku terkejut, juga, heran.

“Hhh... kita udahan, ya.”

“Hah? Kenapa? Hei, jangan gini dong, aku enggak suka.” Aku menggengam erat kedua bahunya dan menatap matanya dengan serius. Namun itu tidak lama karena Cindy mengalihkan pandangannya. “Mbul, jawab.” Aku mulai merasa ini akan menjadi serius.

“Karena aku tunangan.”

Aku melepaskan genggamanku, mengalihkan pandanganku lalu menggaruk-garuk ujung kepala. Jujur, itu lebih membuatku terkejut daripada ucapan pertamanya tadi. Tapi tetap aku mencoba berpikir ini semua hanya kejutan dan tipu-tipu darinya setelah aku pulang.

“Hahaha... Kamu bercanda kan?”

Dia kembali menggulung bibir, lalu perlahan, dia keluarkan tangan kirinya dari saku jaket itu. Lalu dia mengangkatnya...

“Kak... aku... m-makasih ya, buat semuanya.”

Lututku semakin lemas, aku tidak bisa berucap apa-apa saat ini. Dia tersenyum kecil. Senyuman itu, yang biasa membuatku ceria, kini berubah sebaliknya. Sesak, sulit untuk bernafas. Dadaku panas sekali saat ini. Jari manisnya itu, tertaut sebuah cincin pertunangan. Dia tidak mengada-ada.

“Hhh... udah ya kak. Aku, pamit.”

“Heh!”

Aku mencengkram erat tangan kirinya sesaat setelah dia berbalik.

“Aw, kak! sakiiitt!” Rintihnya saat aku menarik kuat-kuat tangannya hingga Cindy tidak bisa beranjak dari tempatnya berdiri sekarang.

“Segampang ini kamu ninggalin aku?! Ini enggak lucu tau gak?!”

“Heh! Heh! Udah lepasin Cindy!”

Seketika aku menoleh kearah sumber suara, dia adalah seorang perempuan yang keluar dari kursi pengemudi mobil itu yang sekarang berjalan cepat menghampiriku. Wajahnya terlihat familiar karena Cindy pernah menunjukkan fotonya bersamanya. Perempuan itu... kakaknya Cindy? Dia... Veranda?

“Jelasin dulu! Ini pasti kamu dipaksa kan?!” Aku tidak memperdulikan perempuan itu, lalu agak membentak Cindy yang sekarang menyembunyikan wajahnya di lengannya. “Cindy, jawab!”

“Kak Dimas!”

PLAK!

Dengan tangan kanannya, Cindy menampar keras pipiku. Dan itu cukup membuatku lengah sehingga dia bisa meloloskan diri. Aku sempat mendengarnya terisak sebelum berlari masuk kedalam mobil. Aku terdiam sambil memegangi pipi bekas tamparan Cindy, sedangkan kakak Cindy itu, yang tadi juga sempat terdiam, kini berjalan masuk kedalam mobil itu.

Aku terasa sudah tidak memiliki tenaga lagi. Hanya bisa menatap mobil yang perlahan menghilang di kejauhan itu. Seperti sosok Cindy yang perlahan pergi menjauh. Meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan yang sangat ingin aku ketahui jawabannya.

“Hhh...”

Aku menghelakan nafas kasar. Perlahan aku terduduk, dan tanpa sadar, air mata mengalir membasahi pipiku. Aku masih tidak percaya dengan kejadian ini. Berharap semua ini hanya mimpi.

Apakah sekarang... langit malam ini hanyalah tempat yang gelap tanpa cahaya...?





To be Continued...
 
Apakah sekarang... langit malam ini hanyalah tempat yang gelap tanpa cahaya...?
Ga dong,...
Kan ada..
54800606-2194259277504069-898495465671449105-n.jpg


cahaya bulan, hehe

Alias

Dimsum setelah ditinggal mbul be like:
"Tau gitu, pas kkn gue sikat aja ya si Vanka"
 
Terakhir diubah:
Update sih...tp hati sya ikut sakit bayangin ditampar cinhap pas baru pulang dan kangen2nya...sabar dim:((
 
Masih ada harapan Dim, selama masih ada "To Be Continued" di pojok kiri bawah.
 
Ga dong,...
Kan ada..
54800606-2194259277504069-898495465671449105-n.jpg


cahaya bulan, hehe

Alias

Dimsum setelah ditinggal mbul be like:
"Tau gitu, pas kkn gue sikat aja ya si Vanka"
Oh iya. HEHEHE kenalin dong sama si bulan~
.
.
.
Ah iya ya wkkwkw

Weey siapa yang motong bawang disini :sakit: :sakit:
kasian dimas
wow sakit nya disini
Update sih...tp hati sya ikut sakit bayangin ditampar cinhap pas baru pulang dan kangen2nya...sabar dim:((
:((((

Waduh romanya sedih amat ini pada komen nya.. Kaya ada yang nabok gitu.. Fix ah w bacanya up selanjutnya aja :hore:
Bdw, makasih om tees
Ada ena2nya kok hehe *nanggung dikit juga sih sebenernya wkkwkw*

Akhirnya yg dinanti sekian lama muncul juga...terima kasih suhu..🙏🙏
Sama-sama~

Apaan nih :(

Kan Cindy kepaksa ya
Heuheu bisa disimpulkan dari part2 sebelumnya

Masih ada harapan Dim, selama masih ada "To Be Continued" di pojok kiri bawah.
Oh iya bener juga 🤔🤔🤔 tapi kalau kelanjutannya sama saja? :(
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd