Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Part 2



“....Hah...?”

Aku yang tadinya sudah siap mengambil sesendok nasi dan potongan telur itu lantas meletakkan alat makanku.

“Pak... buk... enggak usah canda-canda gini deh, hehe...” Aku terkekeh, masih berusaha untuk tetap tenang, dan berharap yang kudengar tadi salah.

“Eh, beneran ini. Namanya Brian. Ya... umurnya enggak jauh-jauh kok. Dia wirausaha. Sukses lho. Enggak cu-“

“Enggak. Aku enggak mau dijodohin kayak kak Ve.” Potongku.

Ya, kak Veranda, kakak kandungku itu dijodohkan oleh kedua orangtuaku. Sekarang dia sedang berada di Jepang untuk mengerjakan suatu project bersama teman-temannya.

“Loh? Kenapa emang?” tanya ibuku, yang akhirnya bersuara.

“Mbakmu itu malah seneng kan. Dapet orang sukses juga.” Timpal ayah. Memang benar, kak Ve berhasil sampai pada pernikahannya dan bertahan hingga sekarang. Mungkin karena ini, mereka mengira perjodohan seperti itu akan berhasil untukku juga. Tapi apakah ini tidak terlalu berlebihan dan cepat untukku...

“Tapi, aku udah punya pacar.”

“Emang dia bisa ngejamin masa depan kamu? Ini lho, udah ada yang pasti-“

“Pasti apanya?” Potongku cepat sebelum ayah menyelesaikan ucapannya.

“Ya, dia ini punya restoran, usaha biro juga. Ini juga mau buka cabang kedai kopi. Jelas to?”

Ah, baiklah. Aku paham maksud ayah dan kemana arahnya.

“Ya terus kenapa? Aku enggak butuh yang kayak gitu pak, buk. Lagian, aku masih mau kuliah, cari kerja, pengalaman, baru nik-”

“Lah iya... tapi, gini lho, dek. Kamu mau hidup gimana besok kalau calon suamimu enggak terjamin? Udah mikir kesitu?” Kini giliran ibuku yang memotong.

“Bapak ibuk tau apa soal kak Dimas?!” Entah mengapa emosiku mendadak naik. Aku berdiri dan menatap serius ke mata orang tuaku ini.

“Dia mau jadi apa emang? Musisi? Kerjaan masa depan enggak jelas gitu. Udah, udah. Pokoknya, dua keluarga ini udah sepakat-“

“Sepakat apanya?! Kenapa sih bapak ibuk suka ngatur-ngatur hidup anaknya?!” Nadaku mulai meninggi.

“Lho, orang tua punya kewajiban nuntun hidup anaknya biar masa depannya juga baik.”

“Dan aku juga punya hak buat nolak itu! Aku enggak mau ya, punya orang tua yang sok ngatur hid-”

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kiriku setelah ayah berdiri.

“Kamu itu kalau ngomong sama orang tua itu hati-hati!” bentak ayah. “Kamu pikir siapa yang udah ngurus kamu sampai gede gini?! Hah?!” bentaknya semakin keras.

Aku merunduk, sambil tangan kiriku memegangi bekas tamparan dari ayah. Tidak berani memandang wajah mereka.

“Pak! Enggak gin-“

“Kalian enggak ngerti! Hiks...”

Aku langsung meninggalkan ruang makan, melangkah cepat kearah kamarku. Aku takut situasi akan semakin kacau nantinya.

Brak!

Pintu ini spontan aku banting lalu aku kunci, dan air mataku pun tumpah di bantal yang aku gunakan untuk menenggelamkan wajahku. Aku dekap erat-erat bantal itu diatas kasur, tempat meluapkan emosiku saat ini. Baru saja aku tiba di rumah, dan aku langsung dihadapkan dengan situasi yang seperti ini. Aku tidak pernah menduga sesuatu yang menurutku sangat tidak adil ini akan menimpaku.

Tok Tok Tok

“Dek Cindy...”

Suara lembut itu, tidak salah lagi, ibuku sedang berdiri diluar sana. Terdengar beberapa kali gagang pintuku dicoba dibuka.

“Dek...” Panggilnya sekali lagi, sambil terus mengetuk pintu.

Aku tidak menjawab, masih terisak didekapan bantal.

“Dek... bapak enggak maksu-“

“Udah buk! Aku mau sendiri dulu!” Tanpa mau mendengar ucapan itu, aku memotong dengan suara yang serak. Dan setelahnya, tak ada lagi suara dari balik pintu itu. Kini isak tangisku yang hanya bisa kudengar. Masih saja terngiang perkataan-perkataan orang tuaku tadi soal perjodohan itu.

Bukankah mereka memberi sinyal agar aku meninggalkan kak Dimas...?

***​

Tiga hari berlalu, dan aku masih belum siap untuk berbicara lagi dengan kedua orang tuaku mengenai masalah perjodohan itu. Walau aku sempat merasa baikan setelah menghubungi dan bercerita mengenai persoalan ini pada Aya dua hari yang lalu, namun sekarang, menurutku keadaan jadi lebih buruk. Aku merasa semakin disudutkan. Kak Ve menghubungiku kemarin, dan dari percakapan itu, secara tidak langsung dia mendukung perjodohanku. Aku yakin kedua orang tuaku menyuruhnya menghubungiku agar aku bisa menuruti kemauan mereka. Tentu saja aku juga sempat berdebat dengan kakak, namun tetap saja, aku tidak bisa memenangkan diriku. Aku jadi sedikit membenci mereka sekarang.

“Dek, udah siap belum?” Terdengar suara ibuku dari luar pintu, dilanjutkan dengan ketukan disana.

Aku menghelakan nafas. Perlahan aku memposisikan diri duduk di pinggir kasur ini. Sebenarnya aku benar-benar tidak mau beranjak dari sini sekarang.

“Dek? Udah ditunggu bapak di mobil.” Ketukan itu terdengar lagi.

“Iya buk, baru make lipstik.” Jawabku berbohong.

“Ya udah, langsung ke mobil aja ya kalau udah.”

“Iya...”

Hari ini, aku akan dipertemukan dengan anak teman ayahku itu...

***​

Setelah perjalanan yang ‘sunyi’ kami lalui, kini kami telah sampai di sebuah restoran seafood yang terbilang ramai. Padahal tempat ini terletak agak jauh dari pusat kota Purwokerto.

“Dah yuk turun. Udah ditungguin.” Ayahku mengawali turun dari mobil. Aku dan ibu menyusul dan mengekori ayah yang lebih cepat langkahnya dari kami. Begitu sampai di dekat pintu masuk restoran berdinding kaca itu, seorang pria yang terlihat seumuran dengan ayah keluar dan langsung berjabat tangan dengannya. Ekspresi ceria benar-benar terpancar dari kedua wajah itu. Aku yakin, dialah teman ayah. Katanya mereka adalah rekan bisnis dulu

“Wah,wah. Ini ya Cindy Hapsari? Cantik.” Pria berkumis tebal itu tersenyum sambil mengulurkan tangan, yang aku sambut dengan senyuman sebisaku dan membalas jabat tangan itu.

“I-ya... makasih, om. Ehehe...”

“Yaudah yuk, masuk. Kita ke ruang tengah.” Ajak teman ayah itu. Lalu kami pun mengikutinya sampai di sebuah ruangan ber-AC. Di tengahnya telah tersedia hidangan 6 piring beserta gelas minuman diatas meja panjang. Seorang ibu dan pemuda yang juga berdandan rapi berdiri. Tadinya mereka sedang duduk di kursi.

Entah mengapa, semakin mendekat, semakin mataku memperhatikan pemuda itu. Hingga akhirnya, tatap kami benar-benar saling bertemu saat aku berjabat tangan dengannya setelah bersalaman dengan Ibunya.

“Brian.” Katanya tegas dengan suaranya yang agak dalam. Dia mengenakan baju batik dan celana jeans yang rapi.

“Cindy.”

Laki-laki berdagu kotak dengan rambut model kantoran dan kumis tipis ini tersenyum lebar padaku. Aku membalasnya dengan senyum singkat di sisi kananku. Sesaat setelah jabat tangan itu berakhir, teman ayahku itu mempersilahkan kami duduk. Lalu, kami menikmati hidangan seafood sembari berbincang-bincang...

***​

“Eh tapi, masak sih, Cindy cantik-cantik gini belum punya pacar?”

“Ehehe... enggak kok om. Aku udah putus kok sama pacar aku.” Ucapku datar sambil melahap sesendok nasi dan potongan cumi-cumi itu. Hal yang sebenarnya aku harap tidak disinggung disini.

“Ooh iya? Kenapa?”

“Emm... ya gitu om. Udah enggak cocok aja, hehe.”

“Enggak karena in-“

“Enggak om, enggak. Hehe.”

Aku melanjutkan santapku tanpa menoleh kearah ayah ataupun ibu yang duduk disampingku. Pasti mereka sedang tersenyum lega sekarang.

“Oohh, yaudah. Dihabisin dulu, dek. Ini kita tinggal dulu ya.” Tiba-tiba saja, mereka yang sudah selesai makan itu berdiri dan berjalan menuju ruang sebelah.

“Kemana?” tanyaku cepat pada ibu yang baru saja berdiri.

“Udah, kamu ngobrol dulu sama Brian. Urusan orang tua.” Jawab ibu yang menyusul mereka. Meninggalkanku bersama laki-laki yang lebih tua 3 tahun dariku itu disini.

Hening. Cukup lama kami hanya duduk di tempat masing-masing tanpa berucap satu katapun. Mas Brian, setidaknya begitu aku memanggilnya, terlihat memainkan gawainya selagi aku menghabiskan makananku.

Aku yang baru saja selesai dengan makananku itu lantas menyandarkan punggung ke kursi, membuka smartphone, memainkan layarnya dengan maksud membuang waktu. Aku tidak tahu harus apa sekarang.

“Cindy,”

Aku menghentikan jari-jariku, kemudian melirik kearah mas Brian. Dia yang duduk diseberangku itu meletakkan kedua lengannya di meja, dan kedua tangannya melipat jadi satu.

“Kenapa?” Jawabku sambil meletakkan gawaiku di meja.

“Ehm... Kamu, cantik.”

“Err... Iya, makasih, ehe...”

Aku menyisir rambutku pelan dengan jari kananku, mataku fokus menatap gawai. Mulai tidak betah dengan situasi ini.

“Gimana kuliah di Sastra Inggris? Kamu ambil peminatan apa?”

Aku menghela nafas singkat.

“Hhh... ya, gimana ya... asik sih belajar bahasa Inggris lebih dalem. Aku ambil linguistik, mas.”

“Oh bukan sastra ya? itu gimana linguistik? Belajarnya berarti...”

“Ya... lebih fokus ke bah-“

Drrtt...

Drrtt...


Tiba-tiba saja ada panggilan masuk.

“Kak Dimas...?”

“Siapa, Cin?”

“Oh, bentar ya, mas. Ini kating aku, hehe,” aku meraih cepat gawai itu lalu melangkah agak jauh untuk menerima panggilan itu.

“Halo, kak Dim-”

“HALO GEMBUL SAYANG!!!”

Aku yang terkejut dengan suara kerasnya yang tiba-tiba itu langsung menjauhkan smartphone dari telinga.

“Duh duh! apaan sih kak, kaget!”

“Ehehe, maaf. Aku kangen...”

“I-iya, aku juga... tapi ak-“ Sesekali aku memperhatikan kearah mas Brian. Dia sedang sibuk dengan gawainya. Aku harap dia tidak sedang menguping.

Video call yuk, mumpung aku ada sinyal nih disini, hehe.”

“Eh. Emm... maaf kak. Ini aku masih ada acara keluarga... aku hubungi lagi nanti ya?”

“Ooh. Yaahh... dimana tuh?”

“Di... di tempat makan gitu. Kumpul keluarga besar. Ehe. Ini aku habis dari kamar mandi mau kesana lagi. Tadi udah dicariin, hehe.” kataku berbohong agak pelan.

“Ooh, yaudah deh... Hehe. maaf ya ganggu...”

“Iya, enggak apa-apa.”

Enjoy your family time.”

“Ehe... makasih, kak.”

“Yaudah, dahh.”

“Dahh, nanti aku telpon lagi, ya.”

“Ehe... sayang gembul.”

Aku tersenyum getir.

“Hhh... iya, kak.” Dan panggilan itu langsung aku akhiri.

Sampai sekarang pun, kak Dimas masih belum mengetahui soal perjodohan ini. Aku berharap akan terus begini sampai aku bisa menyelesaikannya.

Tapi... sampai kapan...

Jujur aku tidak tahu lagi harus bagaimana...

Hhh... aku sudah banyak berbohong hari ini.

“Kenapa, Cin?”

“Ah, enggak apa-apa kok. Tanya soal nilai matakuliah yang bareng sama aku. Dia ngulang beberapa. Katanya nilainya ada yang belum keluar gitu,” aku kembali duduk.

“Lah, kok bisa?”

“Hhh... enggak tau tuh, mas. Tapi emang orangnya agak gak bener sih, hehe.”

“Ooohh.”

Obrolan berlanjut seputar kuliahku. Mas Brian juga bercerita sedikit mengenai pengalaman kuliahnya. Aku yang sebenarnya tidak tertarik hanya berusaha mendengarkan sekadarnya dan mengangguk-angguk.

Tak lama, kedua orang tua kami kembali. Dari raut muka mereka aku merasa ada sebuah kesepakatan barusan. Aku berharap itu bukan tanggal pernikahan...

Obrolan berlanjut lagi dengan kedua orang tua kami. Ternyata hanya obrolan-obrolan ringan sampai akhirnya mulai serius. Mereka mulai menanyakan soal komitmen. Aku hanya diam dan tidak bisa menjawabnya, apalagi dengan adanya sebuah cincin tunangan yang diletakkan dihadapanku, membuatku semakin bisu.

Ini semua terlalu cepat...

“Emm... gini aja deh. Kita kayaknya butuh waktu. Cindy kayaknya masih ragu deh. Ehehe.” Ucap mas Brian, memecah keheningan.

“Ah, iya sih. Bener bener. Ini kan Cindy masih libur kuliahnya... Bisa lah kalian jalan-jalan gitu. Itung-itung ‘kenalan’. Ya kan?” Ucap tante Imel.

“Ah... I-iya, tante, om... gitu aja. Hehe. Maaf ya...”

Ibu hanya tersenyum sambil mengusap-usap pucuk kepalaku.

***​

“Heh, udah belum Dim? Ayo balik ke posko.” Ajak Jinan, yang tiba-tiba saja menepuk bahuku dari belakang.

“Hhh... Cindy lagi acara keluarga. Udah dapet tanda tangannya?”

“Udah,” jawab Anindhita, si sekretaris tim ini. Dia adalah mahasiswi Administrasi Bisnis.

Kami sedang berada di balai desa. Sebenarnya hanya Jinan dan Anin yang bekeperluan untuk meminta tanda tangan bapak kades untuk kebutuhan laporan universitas. Kebetulan rumahnya tak jauh dari balai desa ini. Aku ikut karena ingin mencari sinyal disini. Sayang sekali si gembul sedang sibuk. Padahal ingin sekali aku ngobrol dengannya...

“Yah, udah sampe sini juga lu. Ahaha!” Ledek Jinan.

“Bodo ah. Yang penting udah denger suaranya. Yaudah lah, ayo balik. Laper gue. Jadi masak kan?”

“Jadi kok. Ini Tio, Okta, Vanka sama Iwan udah belanja katanya.” Ucap Anin, yang sedang mengetik di gawainya. Ada stopmap plastik yang dijepit di ketiak kanannya.

“Yaudah, kuy!!”

Dan kami bertiga pun kembali ke posko KKN kami dengan menggunakan dua sepeda motor pinjaman dari warga. Karena susahnya medan untuk mengirim motor-motor kami dari Jakarta, terpaksa kami harus mencari pinjaman untuk kami gunakan. Beruntung bapak kepala desa telah menghubungi warga-warganya sejak awal dan kami pun dapat pinjaman 5 motor. Oh iya, sebagai gambaran. Lokasi KKN kami jauh dari pusat kota di Jawa Barat dan terletak di kaki perbukitan, jadi memang sinyal lumayan susah.

Sesampainya kami di posko, Tercium bau sedap dari dapur, ternyata mereka sudah mulai memasak. Okta, mahasiswi Ilmu Komunikasi itu sedang menggoreng telur. Vanka, mahasiswi Manajemen berparas bule itu sedang memotong-motong sayuran. Desy, mahasiswi Ilmu Hukum yang berasal dari Cilacap itu sibuk dengan ulekan sambalnya. Oh ya, FYI saja, Okta dan Desy adalah dua orang paling tinggi disini. Dan satu orang perempuan lagi, Lisa, mahasiswi Ilmu Gizi itu terlihat sedang bersiap menanak nasi. Jinan dan Anin yang barusan sampai langsung bergabung dengan mereka.

Kami para lelaki? Sepertinya akan menunggu di kamar sampai semua hidangan itu selesai. Hehe.

Disini terdapat tiga kamar, para perempuan menempati dua kamar sedangkan kami laki-laki sekamar berempat.

Aku merebahkan diri di kasur, lalu mengecek smartphone. Aku buka folder bernamakan ‘gembul sayang’. Tertampil banyak foto setelah jariku menekan ikon itu.

Sialan.

Aku langsung senyum-senyum sendiri melihat foto Cindy dengan rambut barunya. Ah, padahal baru beberapa hari, sudah rindu saja dengan sosoknya yang menggemaskan itu.

Semoga KKN ini terasa cepat...





To be Continued...
 
Terakhir diubah:
Wahh sudah update, cindy nya jangan dibikin menderita mulu dong hu :(


alias blm gas lagi nih ya si dimas hihi
 
Hai...

Maaf ya belum ada part haha hehenya.

Semoga terhibur dengan update ini ^^

Santuy suhu, biarin ngalir aja dulu plotnya. Kalo yg dadakan ga terlalubenak juga.
Tapi gua kasian sama mbul di part ini,sedih banget dipaksa sama ortunya buat gitu 😭😭😭
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd