Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

A X N - 0 6 [LKTCP 2021]

teot0389

Semprot Kecil
Daftar
5 Aug 2015
Post
53
Like diterima
11.557
Bimabet
P A R T : I

Kata orang, hidup adalah pilihan. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagiku. Sedari kecil hidupku selalu diatur oleh kedua orang tuaku. Kehendak bebas? Apa itu? Yang aku tau, aku boleh melakukan sesuatu, jika orang tuaku menyuruhku melakukannya.

Mulai dari sekolah, jurusan yang aku pilih saat kuliah, bahkan, sampai style potongan rambutku pun ditentukan oleh mereka. Model bob dengan layer oval, sebahu, disertai poni yang tidak pernah melewati kedua alisku. Selalu seperti itu, tidak pernah berubah sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Kata orang hidup adalah pilihan, tapi tidak dengan hidupku. Aku bagaikan pion catur, yang langkahnya sudah diatur dan ditentukan oleh orang yang memainkannya. Termasuk langkahku, saat terlibat dengan sebuah virus mengerikan,

yang bernama; AXN-06.

• • •

Aku lahir dari pasangan suami-istri, yang sudah menikah cukup lama, namun tak kunjung dikaruniai anak. Berbagai cara dicoba orang tuaku saat itu, agar memiliki keturunan. Suntik hormon, minum berbagai suplemen dan vitamin. Bahkan, 3 kali mencoba program bayi tabung di 3 negara yang berbeda pun, tak membuahkan hasil yang memuaskan.

Sampai di usia pernikahan mereka yang ke-20, seolah seperti hadiah dari Yang Mahakuasa, Lily - Ibuku, mengandung aku. Itu sebabnya mereka menamaiku Grace, Grace Angelina Wibisono. Yang artinya; malaikat yang diberi Tuhan lewat kasih karunia-Nya, sedangkan Wibisono berasal dari nama belakang Ayahku.
51d6a87ee598164e3f86fb36c00f87ad.jpg

"Cantik banget namanya, seperti orangnya."

Ujar hampir semua orang, setelah mendengar namaku. Tanpa mereka tau, seberapa besar beban yang aku pikul sebagai anak tunggal, dengan menyandang nama 'Wibisono' di belakang namaku. Sayangnya, aku tidak dapat memilih mau dilahirkan di keluarga yang mana. Seandainya bisa, sudah tentu aku akan menolak untuk terlahir sebagai salah satu anggota keluarga ini.

Ayahku adalah penerus ke-empat sebuah perusahaan farmasi global ternama, yang jaringannya sudah tersebar di seluruh dunia. Setiap butir obat yang kalian telan saat sakit, setiap biji kapsul yang kalian terima dari resep dokter ketika berobat, dan apapun merk multivitamin yang kalian konsumsi setiap harinya untuk daya tahan tubuh, semua diproduksi dari jaringan perusahaan keluargaku.

Kekayaan keluarga kami tidak datang secara tiba-tiba, jauh sebelum aku lahir, kakek dari kakek buyutku, garis pertama dari clan Wibisono, memulainya dari nol. Beliau adalah salah satu, dari 3 orang ilmuwan, yang berhasil menemukan penangkal untuk sebuah virus bernama C-19. Virus yang katanya saat itu menjadi pandemi, karena melanda seluruh penjuru bumi.

Bermula dari penemuan vaksin tersebut, Kakek buyutku yang tadinya adalah seorang kepala divisi Research & Development di sebuah perusahaan farmasi ternama, memutuskan keluar. Kemudian bersama-sama mendirikan perusahaan dengan 2 orang temannya. Mereka mempatenkan dan memproduksi sendiri vaksin hasil temuannya itu, dalam skala besar. Alhasil pundi-pundi uang pun mengucur deras, masuk ke kantong keluarga kami.

Tak hanya itu, mereka juga mengembangkan berbagai macam obat serta multivitamin, yang ternyata, semuanya laku keras di pasaran. Selanjutnya, virus demi virus datang silih berganti. Hampir dalam rentang setiap 30-50 tahun sekali, selalu ada virus baru yang menyebabkan pandemi. Mungkin memang ini cara Bumi menjalankan detoks-nya. Panarion Corp - perusahaan yang saat ini dipegang Ayahku dengan status pemilik tunggal - selalu berupaya menemukan vaksin, untuk mengatasinya.

Melihat keberhasilan tersebut, banyak perusahaan besar di seluruh dunia yang menawarkan kerja sama. Itulah sejarah, bagaimana multi billion dollar company ini bermula. Beberapa kali aku sempat diajak berkunjung oleh Ayahku, mulai dari melihat pabrik tempat produksi, sampai mengunjungi laboratorium, tempat para ilmuwan melakukan riset untuk mengembangkan obat-obatan.

Saat ini, dari 3 founder, hanya tersisa keturunan 'Wibisono' yang masih bertahan. Sebab 1 founder yang lain tidak lagi memiliki penerus di keturunan yang ketiga, sehingga hak-nya berhenti disana. Sedangkan penerus ke-4 dari founder yang satunya, memilih mengundurkan diri beberapa taun silam. Entah apa alasannya, saat itu aku masih terlalu kecil untuk bertanya lebih jauh.

Tak heran kedua orang tuaku begitu kebingungan, ketika sudah menikah puluhan taun, namun tak kunjung memiliki keturunan. Tentu saja tujuan utamanya bukan karena mereka sangat ingin menggendong bayi, juga bukan karena kerinduan mereka, agar pernikahannya terasa lengkap dengan kehadiran sosok buah hati. Sudah jelas, mereka harus punya keturunan, agar bisnis turun temurun yang bernilai triliunan dollar ini, dapat tetap diteruskan oleh garis keturunan Wibisono.

• • •

"Pokoknya kita harus menyiapkan Grace dengan sebaik-baiknya. Usia kita sudah tidak muda, Mah. Waktu kita ngga banyak. Dan harapan kita satu-satunya ada padanya."

Sebuah kalimat yang bukan hanya satu atau dua kali aku curi dengar, dari percakapan Ayah dan Ibuku. Ratusan kali aku mendengarnya. Tapi malam ini ketika aku mendengarnya lagi, aku sudah membulatkan tekad. Aku akan pergi dari rumah ini. Aku muak, aku sudah tidak betah, ini saatnya aku memilih jalan hidupku sendiri.

"Ini hidup Grace, bukan hidup Papa, bukan hidup Mama. Grace berhak memilih mau mengambil fakultas apa, Grace berhak memilih mau berteman dengan siapa, Grace berhak menentukan jalan hidup Grace sendiri. Kenapa semua keputusan dalam hidup Grace harus melalui persetujuan Papa dan Mama? Kenapa? KENAPA?"

"PLAAAKKK!!!"


Selalu berakhir seperti itu, setiap kali aku berusaha menyuarakan isi hatiku kepada mereka. Tangan seorang Ayah yang seharusnya menggandengku dengan penuh kasih, mengusapku dengan kelembutan, membelaiku dengan rasa sayang. Malah menamparku dengan keras hingga meninggalkan bekas kemerahan di pipi, dan rasa sakit yang melekat di hati. Aku sudah lelah menangis, aku bosan terkekang!

Itu sebabnya, kali ini aku sudah mengumpulkan keberanian dan memutuskan untuk pergi. Berbekal beberapa keping koin emas hasilku menabung, uang yang ada di dompet, juga ransel warna hijau army yang berisi sejumlah pakaian, perlahan aku mengendap keluar dari kamarku.

Seperti pencuri, aku berjingkat menuruni tangga setengah lingkaran, menuju ke ruang keluarga di lantai satu. Suasana sudah gelap, nyaris tak ada suara, hanya terdengar suara gemericik, dari filter air sebuah aquarium besar, yang ada di sudut ruangan. Sisanya, keheningan.

Setelah tiba di bawah, dengan setengah berlari aku menuju ke ruang tamu, lalu menempelkan ibu jariku di mesin smart door lock yang ada di pintu.

"biippp.." Suara mesinnya, saat memindai sidik jariku, lalu kunci pintu tersebut pun terbuka.

Aku memutar gagang pintu dengan perlahan. Telapak tanganku berkeringat, nafasku berat, jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Sampai seakan jika disebelahku ada orang, dia dapat mendengarkan detakannya, tanpa perlu menempelkan telinganya di dadaku.

Pintu terbuka dengan sedikit celah, angin malam yang menelisik masuk dari sana, terasa dingin saat menerpa wajahku. Aku menghela nafas dalam-dalam, kemudian membuka pintu lebih lebar, sekedar cukup untuk aku berjalan keluar. Setelah memastikan pintu sudah kembali tertutup rapat, aku melanjutkan berjalan menyusuri taman, menuju ke pagar depan.

"Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan jariku di kaca pos security.

Meskipun di dalam pos gelap, dari luar aku dapat melihat Pak Iman terbangun dengan terkejut dari tidurnya, kemudian keluar membuka pintu pos menemui aku.

"Sekarang Non?" Tanya Pak Iman setengah berbisik, saat melihatku.

Aku mengangguk, lalu dia menekan tombol. Sesaat kemudian, pagar kokoh setinggi 5 meter berwarna hitam di depanku, perlahan bergeser terbuka. Pagar yang sekaligus menjadi pembatas, antara kebebasanku dengan rumah tempatku hidup selama 23 tahun ini. Rumah yang memberikanku fasilitas kekayaan, kemewahan, tapi tidak kudapati kebebasan.

Sekali lagi aku menarik nafas dalam-dalam, "No turning back!" Gumamku dalam hati.

"Terima kasih ya Pak, ini buat Bapak" Ujarku pada Pak Iman, seraya menyerahkan kantong merah berisi 5 keping koin emas sebagai tanda terima kasih, atas kesediaannya membantuku. Lalu aku melangkah keluar, melewati pagar, menjauhi rumah.

"Non..!!" Pak Iman memanggilku setengah berteriak, aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.

"Hati-hati.." Ujarnya lagi, dengan raut wajah yang menunjukkan kecemasan.

Aku tersenyum, mengangguk, kemudian melambaikan tanganku padanya.

Aku sudah merencanakan malam ini dari jauh-jauh hari. Dan pak Iman, adalah satu-satunya orang yang aku beritahu mengenai rencana kepergianku ini. Aku terpaksa memberitahunya, agar dia mau membantuku.

Butuh waktu hampir setengah tahun, untuk-ku berhasil meyakinkannya, bahwa hidupku, dan pekerjaannya, akan tetap baik-baik saja setelah aku pergi. Ya setidaknya, seandainya dia tetap dipecat karena turut membantu kepergianku. Paling tidak, aku sudah memberinya cukup modal untuk membuka usaha kecil-kecilan sendiri.

Tak lupa, aku juga sudah meninggalkan sebuah video singkat di kamarku, video yang berisi alasan, penjelasan, dan pesan mengenai kepergianku ini. Berharap orang tuaku akan memahami alasanku pergi, meskipun kemungkinan akan hal itu sangat kecil sekali.

Setelah berjalan sekitar 500 meter, aku melihat sebuah mobil sedan berwarna grey metallic terparkir dengan mesin menyala. Seorang pria yang sudah menjadi sahabatku semenjak semester awal aku kuliah, menungguku disana, duduk dibalik kursi pengemudi.

"Udah nih, yakin?" Ujarnya, setelah aku masuk kedalam dan menutup pintu mobil.

Aku mengangguk lalu menatapnya, "Iya." Jawabku padanya.

Mobil yang aku tumpangi melaju dengan cepat, menembus gelapnya malam. Ah, akhirnya. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari orang tuaku. Pergi dini hari, dengan seorang pria, kabur dari rumah. Aku membuka kaca jendela, lalu menghirup dalam-dalam angin malam yang sejuk menerpa wajahku. Sebuah perasaan yang amat menyenangkan.

"Makasih ya Jay." Ucapku kemudian, memecah keheningan.

"No worries, Gray. Tapi apa kamu yakin, orang tuamu bisa ngertiin kamu? Dengan pesan yang kamu tinggalkan buat mereka." Ujarnya.

"Nope. Mereka pasti akan tetap berupaya nyari aku, tapi aku cukup yakin, kalau tempat persembunyianku nanti aman." Kataku, menjawab kekhawatirannya.

"Yang penting, sekarang.. Kamu anterin aku dulu, ke alamat yang aku kasih kapan hari ya." Ujarku, dengan tersenyum lebar sambil menatapnya.

"Jangan lebar-lebar kalo senyum, mata uda minimalis jadi tinggal segaris" Ucapnya, dengan kalimat yang sering digunakan untuk mengejekku.

"Sialan!" Kataku kesal.
139003914-338951557148550-1165242596429915264-n.jpg

• • •
Setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, mobil yang dikendarai Jacob berhenti. Aku membuka mata dari tidur sejenak, selama separuh perjalanan tadi. Sebuah rumah dengan desain tua terlihat di depan kami. Warna coklat di pagarnya tampak sudah memudar, catnya sudah mengelupas di beberapa bagian, tergerus usia. Rumah yang sudah lama tidak pernah lagi aku mengunjunginya.

Jacob mematikan mesin mobilnya, "Ini tempatnya?" Katanya, sambil menatap rumah itu.

"Iyap! Betul. Ini rumahnya." Jawabku, "Yuk, turun." Aku melanjutkan.

Sejenak kemudian, kami sudah berada tepat di depan pagar. Tanganku masuk di sela-sela jerujinya, lalu menekan tombol bel yang menempel di dinding sisi dalam pagar. Satu menit menunggu, tidak ada tanda-tanda sang pemilik rumah akan keluar untuk membukakan pagar.

"Kamu yakin, Grey? Ni rumah kok kayak ga ada penghuninya gini." Tanya Jacob kepadaku.

Aku mengangguk dengan mantap, "Bener kok, aku inget betul, ini tempatnya." Ujarku, meyakinkan Jacob, bahwa rumah di depan kami adalah benar lokasi yang aku tuju.

Aku masih berumur 8 tahun saat itu, ketika hari pertamaku memulai les piano bersama Miss Sherly. Aku masih ingat, karena waktu itu aku jengkel. Aku meminta les balet, namun alih-alih mengabulkan permintaanku, orang tuaku malah tiba-tiba membawa Miss Sherly kerumah untuk mengajariku piano.

"Grace, ini Miss Sherly. Dia dua kali dalam seminggu bakal dateng buat ngajarin Grace piano. Belajar yang baik ya." Ujar Ibuku, saat mengenalkannya padaku. Aku cemberut, memasang tampang masam, tidak menjawab kalimat dari Ibuku barusan.

Awalnya aku belajar dengan enggan, karena aku merasa ini bukan hal yang aku suka. Aku tidak berminat untuk bisa bermain piano. Namun siapa sangka, ternyata pada bulan-bulan berikutnya aku malah sangat menunggu kedatangan Miss Sherly. Dia sosok yang menyenangkan, dia juga mau mendengarkanku, hal itu membuatku merasa nyaman. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyukainya.

Kian lama hubunganku dengan Miss Sherly semakin dekat. Aku kerap bercerita banyak hal padanya. Soal teman sekelasku yang iseng menaruh permen karet di tempat duduk-ku, soal pengalamanku saat pertama kali di ajak ke laboratorium tempat kerja ayahku, soal banyak hal, yang tidak pernah aku ceritakan pada orang tuaku.

Beranjak dewasa, kedekatanku dengannya sudah seperti ibu dan anak. Ah bukan, bukan. Usianya masih terlalu muda untuk disebut sebagai ibuku. Lebih tepatnya, dia seperti kakak-ku. Kakak yang memberikan nasihatnya saat pertama kali adiknya mengalami menstruasi, kakak yang menyediakan telinganya untuk mendengar curhatan adiknya, saat pertama kali mengenal cinta. Beberapa kali aku menginap di rumahnya, dengan alasan ke orang tuaku; ikut summer camp dari sekolah.

Miss Sherly selalu jadi tempat pertamaku bercerita, tentang apapun yang terjadi dalam hidupku. Termasuk saat aku merencanakan kepergianku dari rumah. Dia yang banyak memberikanku masukan mengenai apa saja yang harus aku lakukan, dia yang membantuku menulis script di video yang ku tinggalkan untuk orang tuaku, dia juga orang yang berjasa dalam membujuk Pak Iman, meyakinkannya bahwa hidupku akan tetap aman dan baik-baik saja saat sudah keluar dari rumah.

• • •

Aku kembali memasukkan tanganku ke balik jeruji pagar, memencet tombol bel sekali lagi. Kali ini tak butuh waktu lama, terdengar suara kunci pintu rumah itu terbuka, lalu tampak sosok yang sudah aku anggap kakak sendiri itu, keluar dari balik pintu.

"Duh maaf maaf, udah dari tadi ya? Aku ketiduran nih." Ujarnya kepada kami, sambil membuka gembok pagar.

"Engga kok jie, kami yang maaf, subuh-subuh gini dateng." Ujarku. Aku memanggilnya jie-jie, atau banyak orang lebih familiar dengan panggilan cici/cece. Sebutan untuk kakak perempuan bagi warga keturunan Tionghoa.

Miss Sherly membuka pagar, "Udah udah, santai aja, kan aku yang nyuruh kamu kesini begitu berhasil keluar." Sebuah pelukan hangat darinya, menyambutku.

"Ayo, masuk yok!" Katanya kemudian, mempersilahkan kami masuk.

Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, sejak terakhir aku kemari beberapa tahun yang lalu. Hanya tambahan noda bekas rembesan air hujan, di dinding berwarna putih itu, serta sofa warna hitam yang kini kulitnya tampak sedikit mengelupas, di beberapa bagian.

Ah, satu lagi. Sebuah pigora berukuran besar di dinding, yang berisi foto wisuda David, adik Miss Sherly. Pigora tersebut tidak ada, saat aku terakhir kesini. Di dalam foto itu tampak David memakai toga, disebelahnya tampak Miss Sherly yang terlihat cantik dalam balutan kebaya, lalu Ibunya, yang duduk diantara mereka.

Ayahnya sudah meninggal lama, "Sejak aku kecil, Papa sudah ngga ada." Begitu katanya, saat bercerita. Aku pun tidak berani bertanya lebih detail mengenai hal itu. Yang aku tau, Ayahnya adalah mantan dosen salah satu universitas ternama. Itu saja. Sedangkan Ibunya meninggal 3 tahun lalu, karena sakit jantung yang dideritanya.

Jika dibandingkan dengan rumah yang baru saja aku tinggalkan, tentu rumah ini jauh dari kata mewah. Tapi entah kenapa aku menemukan kenyamanan disini, aku menemukan rasa kekeluargaan disini, dan yang terpenting, aku menemukan kebebasan disini. Tiga hal yang sebelumnya tidak aku temukan disana.

"Ayok diminum dulu..
Grace, ini yang namanya Jacob?"
Kalimat dari Miss Sherly membuyarkan lamunanku.

Di hadapanku sudah terhidang dua cangkir berisi teh hangat, dan kue kering yang berjajar di dalam toples mika bening.

"Eh, iya jie, ini Jacob. Jay, ini jie Sherly, yang sering aku ceritain." Ujarku, saling mengenalkan mereka. Ini memang pertama kalinya mereka bertemu, setelah selama ini hanya saling tau dari ceritaku saja.

"Wah beneran ganteng ternyata, kayak yang di ceritain Grace hihi." Celetuk Miss Sherly saat mereka berjabat tangan, sekilas tampak pipi Jacob berubah kemerahan, begitu pun pipiku.

"Ah sial, ngapa part soal ganteng disebut juga sih jieee..! Jadi salting akunya kan..!" Gumamku dalam hati, dengan tatapan terkejut ke Miss Sherly. Dia malah tersenyum jahil, seolah mendengar apa yang barusan aku ucapkan dalam hati.

"Ya udah, habis ini kalian bebersih lalu istirahat dulu ya. Ntar siangan baru kita jalan ke tempat yang udah aku siapkan.

Itu kamar bekasnya Mama uda aku bersihin buat kalian. Aku sediain dua kasur disana. Tapi maaf, yang satu ga ada dipan-nya, hehe.. Jadi cuma di lantai gitu.. Ga apapa yah?."
Ujar Miss Sherly, pada kami.

"Waduh, kak. Aku istirahat di sini aja gapapa kok, di sofa aja. Lagian ga enak juga kalo sekamar sama Grace." Sahut Jacob.

Aku menyela, "Lah, ga enak apa si? Sok jaim ih! Kayak kita baru kenal kemaren aja. Lagian kan kamu ga tidur semaleman, nyetir jauh pula, apa iya aku tega ngebiarin kamu tidur di sofa? Uda lah, it's ok Jay. Rileks, santai." Kataku padanya.

Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, saat aku baru selesai mandi. Jacob sudah tertidur pulas, beberapa kali dengkurannya terdengar di telingaku. Kasihan, pasti dia kecapek-an. Begitu pun denganku, badanku terasa lelah, mataku terasa berat. Aku harus istirahat, agar nanti saat melakukan perjalanan ke lokasi selanjutnya, keadaanku sudah lebih segar.

Rumah ini hanya tempat singgahku sementara. Terlalu riskan untuk-ku menetap disini, sebab Pak Iman juga aku beritahu sebelumnya, tentang lokasi tempat ini. Dia menolak bekerjasama, jika dia tidak tahu, kemana aku akan pergi setelah meninggalkan rumah.

Ah sial, aku malah jadi kepikiran. Apakah saat ini kedua orang tuaku sudah melihat pesanku? Apakah mereka mau mengerti dan memahami tindakanku ini? Apakah mereka mengkhawatirkan aku? Apa mereka merasa kehilanganku?

Aku memandangi layar ponsel yang sengaja aku matikan dari semalam. Ada keinginan untuk menyalakannya, agar aku dapat memberi kabar pada orang tuaku bahwa aku baik-baik saja, agar mereka tidak mengkhawatirkan aku, agar mereka tidak memarahi Pak Iman atas kepergianku.

Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga mereka adalah orang tuaku. Aku menyayangi mereka, sekalipun hidupku terkekang. Aku hanya tidak menyukai bagaimana mereka memperlakukanku seperti robot, yang dapat di setting sesuai keinginan mereka, tanpa pernah memperdulikan apa yang aku mau.

"Ahelah Grace! Sejak kapan sih mereka mengkhawatirkanmu?! Dari dulu yang mereka khawatirkan hanya soal penerus dan pewaris, agar Panarion Corp tetap dilanjutkan oleh keturunan Wibisono." Ujarku, pada diriku sendiri

Akhirnya aku memilih untuk meletakkan ponsel itu, ke meja di sebelah tempat tidur, dalam keadaan tetap mati. Rasa kantuk-ku sudah tak dapat ditahan lagi.

• • •
"Grace..! Grace, bangun! Grace! GRACE!!"

Aku membuka mata perlahan, penglihatanku kabur, mataku berkunang-kunang. Yang kulihat hanya cahaya yang sangat terang, tersorot tepat di depan mataku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, berharap penglihatanku membaik, namun sia-sia.

Suara itu terdengar lagi, "Grace, are you there? Wake up, Grace!"

Aku mengarahkan telinga, ke arah suara itu berasal, "Mama?? Itu suara mama-ku, tidak salah lagi!" Gumamku, dalam hati.

"Ma..arkkhhh! Eeerggghhhh! Rrrgggghhh!" Sial! Tenggorokanku mendadak tercekat, saat hendak membuka suara. Panas, kerongkonganku rasanya seperti terbakar.

"Grace? Thanks God, kamu sudah sadar nak." Ujar sosok, yang saat ini dapat aku lihat siluetnya, berada tepat di depanku.

Mataku belum dapat melihat dengan jelas, namun aku merasakan tangannya menggenggam telapak tanganku, lalu membantuku bangun untuk duduk. Kepalaku terasa sangat berat, bibirku kering, rasa panas di tenggorokanku kini menjalar, turun ke paru-paru.

"Ini, minum ini dulu." Ujar Ibuku, menyodorkan sesuatu ke tanganku, kemudian membantu mengarahkannya ke mulutku.

Aku menenggak habis cairan itu tanpa pikir panjang. Rasanya sedikit asam, pahit. Namun seiring dengan cairan tersebut masuk ke tubuhku, rasa panas di paru-paru dan tenggorokanku berangsur mereda, sakit kepalaku perlahan menghilang, penglihatanku pelan-pelan mulai membaik.

Aku mengarahkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Bukan, ini bukan kamar yang sama, yang terakhir aku ingat sebelum aku memejamkan mata. Ini ruangan yang sangat berbeda. Aku sedang duduk diatas ranjang yang biasa digunakan untuk pasien rumah sakit. Sorot lampu yang tepat berada diatasku, adalah lampu led yang biasa digunakan untuk dokter melakukan tindakan operasi. Pakaian yang aku kenakan juga sudah berganti. Ada banyak kabel menempel di badanku, terhubung ke berbagai alat kedokteran, di sisi kiri dan kanan ranjangku.

"Mah" Kalimatku terpotong.

"Grace. Kamu tenangin diri dulu, ya? Yang penting sekarang kamu udah sadar. Nanti, mama akan ceritain apa yang terjadi." Ujar Ibuku. Dia mengerti, bahwa saat ini, sedang ada ratusan pertanyaan yang muncul di kepalaku.

Dengan berat hati aku mengangguk. Lalu perlahan merebahkan kembali kepalaku. Ibuku beranjak pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini.

"Klik!" Satu kali suara saklar, dan lampu led yang berada tepat diatasku padam.

Sunyi, hanya terdengar alunan, "bip.. bip.. bip.." dari kardiograf, yang menemaniku.

Sudah 2 jam berlalu sejak Ibuku pergi, aku masih terjaga disini, memegang kepala dengan tangan kiriku, menutup mata. Berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun sia-sia, ingatanku hanya berhenti sampai aku menaruh ponsel, lalu memejamkan mata. Setelah itu, apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku sampai berada di ruangan ini sekarang? Sudah berapa lama aku tertidur? Bagaimana Jacob, dimana dia?

Aaarrgghhh! Sial, otak-ku tak bisa berhenti bertanya-tanya. Baru saja aku berhasil keluar dari rumah, baru sejenak aku menikmati kebebasanku. Tapi disini aku sekarang berakhir, di ranjang pesakitan, tergeletak tanpa tau penyebabnya. Tak terasa air mata menetes dari mataku, aku menangis sampai ketiduran.

"Grace.." Suara Ibuku, memanggilku lagi. "Grace.." Kurasakan tangannya menyentuh lenganku.

Aku bergegas bangun, "Mama, mah please mah, ceritain apa yang terjadi?" Tanyaku, tak sabar ingin segera mendapatkan penjelasan.

"Iya, nanti Mama jelasin. Sekarang minum ini dulu ya, supaya tenggorokanmu ngga terasa panas lagi." Jawabnya, dengan menyodorkan cairan yang sama, seperti yang tadi aku minum.

Warnanya putih seperti susu, kental seperti madu. Kali ini lidahku lebih dapat mencerna rasanya, seperti perpaduan antara mengkudu busuk dengan yoghurt. Asam, tidak berbau, namun rasa pahitnya melekat di lidah, cukup untuk membuatmu mual usai meminumnya. Aku mengelap ujung mulutku, menatap Ibuku.

Matanya terlihat sembab, berkaca-kaca. Rambutnya tampak kusut, seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Dia meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat.

Setelah itu, bulir demi bulir air mata jatuh, menetes, membasahi pipinya. Ini pertama kalinya aku melihat beliau menangis, tepat di depan mataku. Sosok yang selama ini kulihat tegas dan kuat, kini tampak rapuh. Air mataku ikut mengucur bersamanya, tanpa bisa aku tahan.

"Mamah.. Tolong cerita.. Ada apa?" Ujarku pelan, dengan mengusap lembut punggung telapak tangannya.

Ibuku mengangguk, mengusap air matanya, lalu ia mulai bercerita..
 
P A R T : II

Di sebuah ruangan, sepasang suami-istri, tengah duduk terdiam menatap layar kaca. Menyimak dengan seksama, setiap kata yang diucapkan anak perempuan mereka satu-satunya, dalam pesan video yang ditinggalkannya. Dia, remaja berusia 23 tahun itu, semalam baru saja kabur meninggalkan rumah.

"Pah, Mah.. Maafkan Grace. Tapi Grace sudah lelah hidup terkekang. Grace ingin bisa hidup mandiri, mengambil keputusan sendiri, serta bertanggung jawab atas keputusan yang sudah Grace ambil.."

Raut wajah si istri, ibu dari anak itu, menunjukkan rasa bersalah. Dia mengusap air yang sudah berkumpul di ujung matanya, sebelum jatuh menetes.

Sedangkan si suami tampak mengernyitkan dahi, mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan anaknya. Matanya memperhatikan, telinganya mendengarkan, tapi otaknya saat ini sedang memikirkan, langkah apa yang harus dia lakukan.

"Kabur kemana dia? Bagaimana caraku menemukannya? Iman sialan! Aku harus menemuinya, aku harus berbicara dengannya!" Ujarnya, di dalam hati.

Ia beranjak dari duduknya, mengambil telepon interkom yang terletak di sebelah televisi, lalu keluar dan menekan-nekan tombol telepon di tangannya.

Sesaat kemudian, interkom di pos security berbunyi. Iman yang saat itu sedang gusar, tau persis, suara siapa yang akan didengarnya saat dia menekan tombol untuk menerima panggilan itu.

"Iman, cepat kamu masuk! Temui aku di ruang kerja!" Ujar pria di seberang telepon, dengan nada tegas.

Dengan gontai Iman melangkah, berjalan masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdebar, ia tau, ia baru saja melakukan kesalahan terbesar, sepanjang karirnya sebagai penjaga keamanan. Membiarkan anak sang pemilik rumah, melenggang keluar tanpa ijin dari ayahnya. Semalaman ia tidak tidur, memikirkan hal itu.

Iman ketakutan, tapi hatinya bimbang. Di satu sisi, dia sadar bahwa ini memang kesalahannya. Di sisi lain, dia merasa iba. Iman tau bahwa Grace - gadis remaja yang sudah ia kenal sejak ia bekerja di keluarga ini 5 taun yang lalu - tidak bahagia. Gadis itu hanya ingin kebebasan dalam hidupnya.

Namun, saat sudah berada dalam ruangan, melihat tatapan penuh intimidasi dari majikannya, nyali Iman ciut. Rasa bersalahnya lebih besar, daripada rasa iba-nya terhadap Grace. Akhirnya Iman memutuskan untuk menceritakan semua.

Iya, semua rencana dan alasan Grace kabur dari rumah, diberitahukan pada ayahnya. Termasuk, soal tempat yang dituju setelah dia berhasil keluar dari rumah. Dan soal 5 keping koin emas yang diterimanya.

Usai mendengarkan Iman bercerita, tak ingin membuang waktu lebih lama, suami-istri itu bergegas berangkat menjemput anaknya. Dibawanya Iman turut serta.

• • •

Sementara itu, di tempat lain..

Seorang pria yang sedang tidur pulas, terganggu karena merasakan seseorang sedang menciumi wajahnya, mencumbui bibirnya, menjilati daun telinganya.

Matanya masih terpejam, ia masih ingin tidur sedikit lebih lama lagi. Badannya lelah, usai mengemudi semalaman. Tapi kemudian, dia merasa ada sesuatu yang kenyal dan hangat, sedang menekan-nekan wajahnya, mengusap lembut bibirnya.

Merasa tak asing dengan benda kenyal itu, ia pun membuka mata, mencoba melihat apa yang sedang mengganggu tidurnya. Benar saja dugaannya, dua gundukan daging kenyal milik seorang wanita, berada persis di depan matanya.

Tanpa perlu disuruh, pria itu langsung meremasnya, mengarahkan puting pemilik payudara itu ke mulutnya. Dilumatnya, diputar lidahnya mengelilingi aerola, membuat puting berwarna merah muda itu makin mengeras, kemudian dihisapnya dalam-dalam.

"Aaagghh.." Desah sang wanita, tertahan, merasakan nikmat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Tangannya mengusap dengan lembut kepala pria di hadapannya, dibiarkannya pria itu menghisap kedua payudaranya, memainkannya bergantian, kiri dan kanan. Seperti seorang anak yang sedang asik menyusu pada ibunya.

Usai puas payudaranya dilumat, wanita itu turun, mencumbu bibir lawan mainnya. Mereka bermain lidah, saling bertukar ludah.

Tapi mendadak sang pria melepaskan pagutannya, menatap si wanita dengan serius, "Grace sudah aman?" Tanyanya.

"Beres, sayang." Jawab si wanita, dengan mengedipkan mata. Kemudian mereka kembali larut dalam cumbuan mesra.

Sherly Anastasia Limantoro, wanita keturunan Tionghoa, berusia 41 tahun. Parasnya cantik, kulitnya putih, senyumnya manis, makin lengkap dengan gingsul di sela taringnya.
237608388-513082496451425-4907195985918485733-n.jpg

Payudaranya membusung, besar namun masih kencang, tercetak bulat sempurna saat ia mengenakan pakaian ketat. Hal itu membuatnya sering menjadi bahan imajinasi bagi setiap follower sosmed-nya.

"Cici pemersatu bangsa."
"Ada yang bulat tapi bukan donat."
"Sabar ya Alejandro, ini ujian."
"Yah, masa gw harus mandi lagi."


Beberapa komentar netizen yang kerap kali ditemui di postingannya. Wanita idaman banyak pria itu, saat ini tengah mengulum batang kejantanan milik Jacob, kekasihnya. Mereka berdua sudah sama-sama telanjang.

"Sluuuurpphh...!! Mmmmhhh..." Dijilatnya batang kemaluan Jacob, dari pangkal sampai kepalanya, bolak-balik dengan lahap. Dikulum dan dihisapnya dalam-dalam, digenggam lalu dikocoknya batang itu.

Setelah itu lidahnya turun, menyapu kedua buah zakar kekasihnya dengan lembut. Dihisapnya bergantian, dimainkan kedua bola itu dengan mulutnya. Puas bermain, lidahnya kembali turun semakin kebawah, menelisik masuk ke lubang pantat, menjilatnya dengan perlahan.

"Uuuughhh..!" Jacob melenguh, merasakan sensasi yang begitu nikmat menjalar dari pangkal pahanya. Tangannya menjangkau, meremas kedua payudara milik Sherly, yang saat ini sedang menggantung dengan sempurna.

"Jepitin pake ini sayang." Pinta Jacob.

Sherly menghentikan jilatannya, lalu mengarahkan batang itu ke dadanya. Tangannya menekan kedua sisi payudaranya, penis yang sudah sangat tegang itu, kini terjepit dengan sempurna. Kemudian Sherly menggerakkan payudaranya dengan tangan, keatas dan kebawah, berirama. Jacob hanya bisa mendesis, merasakan sensasi hangat dan kenyal yang sangat nikmat, mengurut penisnya dengan lembut.

Tak kuat menahan gairahnya yang sudah di ubun-ubun, Sherly melepaskan jepitan payudaranya. Dia menaiki Jacob, mengangkanginya, kemudian dibimbingnya penis Jacob menuju vaginanya. Dipegangnya penis itu, lalu digesek-gesekkan ujungnya di bibir kemaluannya yang sudah basah. Ditekannya batang itu dengan perlahan.

"Aaaaahhh....." Desah Sherly, saat ujung penis itu ambles, menembus lubang vaginanya. Ditekannya kembali, hingga batang tersebut tak lagi kelihatan, masuk, terjepit seluruhnya dengan otot-oto vagina. Sherly terdiam sejenak, kemudian mulai menggoyangkan pinggulnya, seperti sedang menaiki kuda.

"Eehhmmmmhhh..." Desah Sherly, sambil tangannya meremas kedua gundukan montok miliknya. Jacob hanya bisa pasrah, keenakan, merasakan sensasi hisapan vagina pacarnya, yang memijat dan mengurut batang penisnya.

"Luar biasa memang wanita satu ini, umurnya mungkin sudah tidak tergolong muda, tapi kemampuannya di ranjang sangat istimewa." Kata Jacob dalam hati, saat menikmati service dari pujaan hatinya.

Sherly menggerakkan pinggulnya makin cepat, maju dan mundur, naik dan turun. Payudaranya berayun-ayun, bergerak mengikuti irama goyangannya.

Melihat hal itu, tangan Jacob tak tinggal diam. Dicengkramnya payudara besar itu dengan gemas, membuat Sherly semakin beringas.

"Aaaaakkhhh..! Aaaahhkkk...! Haaahhhhsss..! Satu hentakan, diiringi dengan getaran hebat. Sherly mengejang, tubuhnya dilanda kenikmatan orgasme yang barusan dialaminya. Mulutnya menganga, sampai liurnya menetes beberapa.

"Eeeemmmhhhhh..." Lalu Sherly ambruk, tepat di atas badan kekasihnya. Tenaganya terkuras, lemas, tapi ia sangat menikmatinya.

Jacob segera memutar posisi, dibaliknya tubuh Sherly tanpa melepas batang penisnya, kali ini dia yang diatas, memegang kendali. Tak memberikan waktu bagi Sherly untuk istirahat, Jacob langsung menghujami lubang vagina Sherly, dengan sodokan dari batang penisnya secara bertubi-tubi.

Bunyi vagina becek yang tercipta saat bersenggama, memenuhi seluruh ruangan itu. Sherly semakin meracau, tak karuan.

"Oouughhh..!! Sayaaang, kontol kamu enak bangeett.. Eeeemmmmhhh!!"

"Suka ya? Hah? Kamu suka diapain?"

"Sukaa banget! Aku suka di entotin kamuuh sayanghh.. Aaagghh!"


Kalimat demi kalimat jorok yang keluar dari mulut Sherly, membuat Jacob makin menjadi-jadi. Sodokannya semakin kencang. Sherly hanya bisa pasrah keenakan, kedua tangannya ke atas, mencengkram bantal, membuat kedua payudara besarnya bergerak dengan bebas. Melihat hal itu, Jacob kian bernafsu. Ditamparnya kedua payudara besar itu dengan keras, dicengkeram, lalu digoyang-goyangkannya bersamaan.

Setelah itu, dicumbuinya ketiak Sherly. Aroma feromon yang menguap dari keringat di ketiak Sherly, semakin membuatnya bergairah. Pinggulnya masih terus bergerak, sementara lidahnya menjilat setiap jengkal, dari ketiak putih dengan bulu-bulu jarang, milik Sherly. Dijilatnya kiri dan kanan, bergantian.

"Eeeegghhh...! Aku mau.. Aku mau keluar sayang.." Bisiknya, dengan terengah-engah, di telinga Sherly.

"Iyah.. Iyah sayang.. Keluarin, keluarin yang banyak biar kamu puas. Uuuughhhhh..!" Ujar Sherly.

Penis Jacob terasa semakin keras, sedangkan jepitan vagina Sherly semakin mencengkram erat. Gerakan pinggul Jacob makin cepat, jauh lebih cepat dari sebelumnya.

"Aaaaagghhhh..!! Fuck!!! Enaakkk bangeeeeet, ngentot!" Sherly tidak tahan untuk tak berteriak, bola matanya berputar, menyisakan warna putih saja di kedua kelopak matanya.

kemudian disusul dengan lenguhan panjang dari Jacob, "Ouuuugghhhh... Oooough!!!" Tubuh Jacob bergetar, semburan demi semburan cairan hangat dari penisnya, memenuhi lubang kenikmatan milik Sherly.

Dibiarkannya penis Jacob tetap tertancap di dalam, sementara otot-otot dinding vagina Sherly mengurut penis itu, seakan ingin menguras habis setiap tetes sperma yang masih tersisa di salurannya.

Mereka berdua terkulai lemas..

• • •

"Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanya Jacob, usai mereka membersihkan badan.

"Well.." Sherly menatap jam dinding di kamar itu, lalu melanjutkan kalimatnya, "Sepertinya dia masih akan tertidur pulas selama beberapa jam kedepan, karena efek dari obat yang kucampurkan dalam tehnya.'' Katanya.

Jacob terdiam, lalu bertanya kembali, "Lalu, virusnya?"

"Sudah aku suntikkan ke dalam tubuhnya. Saat dia bangun nanti, efeknya akan terasa. Rasa panas yang bermula dari tenggorokan, kemudian perlahan menjalar ke paru-parunya, lambungnya. Hingga 7 hari kemudian, virus itu akan merusak 80% bagian dari organ dalamnya. Umpama dia berhasil hidup pun, dia akan menderita cacat organ dalam."
Ujar Sherly. Dia mengalihkan pandangannya, menatap Grace yang sedang tertidur pulas, lalu tersenyum jahat.

Jacob menelan ludah, membayangkan betapa sakitnya hal yang akan dialami oleh Grace. Sahabat yang dikhianatinya karena dibutakan cinta, pada Sherly kekasihnya. Seketika raut wajahnya berubah, merasa bersalah.

"Ini adalah cita-citaku sejak lama, membalaskan dendam Papaku atas keluarga Wibisono." Lanjut Sherly.

"..Papaku mencurahkan waktu dan pikirannya untuk menciptakan virus ini, namun mereka malah membuatnya mengundurkan diri secara paksa, dengan alasan tidak masuk akal; virus ciptaannya terlalu berbahaya bagi umat manusia.

Lah, emang selama ini virus yang mereka ciptakan, baik bagi manusia? Kenyataannya, virus ciptaan Papa yang tadinya mereka tentang, saat ini malah sedang mereka sempurnakan untuk diluncurkan. Bajingan!

Sekarang, biarlah mereka merasakan karmanya."
Ujar Sherly, penuh emosi.

Jacob meletakkan tangannya ke pundak Sherly, lalu mengusapnya perlahan. "Lantas, selanjutnya apa yang akan kita lakukan, sayang?" Ujarnya kemudian.

Sherly beranjak dari kasur, berdiri tepat di depan Jacob. "Si brengsek itu pasti saat ini sudah tau, kemana anaknya pergi. Jadi sebaiknya kita segera kabur dari sini, menyusul David." Jawabnya.

"Bagaimana dengan sampel virus yang tersisa? Mau kalian apakan nanti?" Tanya Jacob lagi, dengan memandang wanita di hadapannya itu.

Sherly memeluk Jacob, tersenyum, lalu menepuk punggung pria itu sambil berkata, "Nanti juga kau akan tau, sayang."

Kemudian mereka berdua berkemas, segera bergegas pergi dari rumah itu. Meninggalkan Grace seorang diri. Dia masih tertidur lelap, tanpa tau bahwa saat ini, di tubuhnya terdapat virus yang menyebar dengan cepat melalui pembuluh darahnya, bermultiplikasi, dan mulai menggerogoti organ dalamnya.

• • •

Ronny Ignasius Limantoro, ayah Sherly. Merupakan penerus ke-4, dari salah satu founder Panarion Corp. Perusahaan yang selama ini selalu berhasil menemukan vaksin, untuk setiap pandemi yang terlewati. Namun sekaligus, menjadi perusahaan yang menciptakan virus penyebab pandemi itu sendiri. Ironis.

Ronny berhasil menciptakan varian virus baru, yang menurutnya akan dapat menyebabkan wabah hebat bagi umat manusia.

"Virus ini bisa membunuh manusia hanya dalam waktu 7 hari. Semakin hebat efek yang ditimbulkan dari suatu wabah, semakin besar pundi-pundi uang yang bisa kita hasilkan, James." Ujar Ronny, saat menjelaskan virus ciptaannya ke rekan kerjanya, James Ananta Wibisono.

"Tapi, Ron. Ini terlalu riskan. Virus ini terlalu berbahaya. Kamu tau kan, kalau virus itu dapat bermutasi sendiri. Bagaimana kalau mutasinya lebih cepat, dibanding vaksin yang kita buat? Bahaya Ron." Kata James, kepada rekannya.

Demikian James, selalu menolak gagasan Ronny untuk mengembangkan virus hasil ciptaannya. Hal itu membuat perselisihan di antara mereka semakin memanas. Hingga suatu hari, James melaporkan Ronny pada jajaran pemegang saham perusahaan.

"Ronny uda ngga waras, kalau dia masih dibiarkan, hal ini akan berdampak buruk bagi perusahaan." Ujarnya, di tengah rapat tertutup pimpinan dewan komisaris, yang tidak dihadiri Ronny.

Usaha James menghasut jajaran dewan agar mereka sepakat mengeluarkan Ronny, berbuah manis. Skenario disusun dan dijalankan oleh mereka, agar secara legal, seolah-olah Ronny yang mengundurkan diri dari perusahaan.

Haknya dicabut total, sahamnya dihanguskan, namanya dicoret dari kepemilikan perusahaan. Ronny pergi meninggalkan Panarion Corp, membawa sakit hati yang sangat dalam, beserta sampel virus ciptaannya.

Sakit hati membuat hidup Ronny tak karuan, stress dan depresi. Akibatnya, dia menghamburkan hartanya sia-sia. Judi, bermain wanita, narkoba, semua dilakukannya. Hal itu menyebabkan kekayaannya menurun drastis, harta yang tadinya takkan habis dimakan 7 turunan, lenyap hanya dalam waktu 7 taun saja. Tinggal sebuah rumah tua, warisan orang tuanya, yang saat ini dia tempati dengan istri dan kedua anaknya.

Sadar bahwa uang tak lagi mudah ia dapatkan, Ronny memutuskan untuk mengajar, menjadi dosen di salah satu universitas di kotanya. Namun sayang, tak berselang lama ia ditemukan mati. Dengan sebuah pistol di genggamannya, dan peluru perak yang menembus tengkoraknya. Ia menghabisi nyawanya sendiri. Meninggalkan seorang istri dengan dua anaknya yang masih kecil.

Hal itu membuat dendam keluarga Limantoro terhadap keluarga Wibisono, semakin mendalam. Mereka bersumpah, suatu hari nanti mereka akan membalaskan kematian Ronny pada keluarga Wibisono, dengan cara yang tragis.

Mereka menyusun rencana, dan menunggu waktu yang tepat untuk dapat masuk dalam keluarga Wibisono. Seolah semesta mendukung, sebuah kesempatan datang tanpa disangka. Sherly berhasil menyusup masuk sebagai guru les piano untuk Grace, anak perempuan dari keluarga Wibisono. Sherly tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia benar-benar memanfaatkannya untuk mendekati Grace.

Taun demi taun berganti, niatnya untuk bisa mendekati Grace, terwujud jauh melampaui ekspektasinya. Seperti kakak sendiri, demikian Grace menganggap Sherly. Hubungan mereka sangat dekat, dan Sherly memanfaatkan itu untuk mengorek banyak informasi.

Tak berhenti disana, Sherly juga mengencani Jacob, pria yang ditaksir Grace. Awalnya hanya untuk menyakiti hati Grace, namun saat Grace bercerita tentang rencananya kabur dari rumah, Sherly menemukan ide lain. Dia mengajak Jacob bekerjasama, untuk mewujudkan masterplan-nya, yaitu menghancurkan keluarga Wibisono.

• • •

James turun dari mobilnya, menatap rumah yang ada di depannya. "Ronny. Tidak salah lagi, ini kediaman Ronny." Gumamnya dalam hati, kemudian memandang istrinya. Mereka berpandangan, tanpa berbicara, namun saling menunjukkan ekspresi penuh kecemasan.

Jantung suami-istri itu berdegup kencang, mereka tau, keluarga Ronny masih menyimpan dendam atas keluarga mereka. Maka, jika benar Grace ada di tempat ini, sudah tentu hal buruk terjadi padanya.

Berkali-kali James menekan tombol bel rumah itu, lalu berteriak memanggil nama anaknya. Kesal tak kunjung mendapat jawaban, James menggoncang-goncangkan pagar berwarna coklat, yang ada di depannya tersebut. Namun sia-sia, rumah itu kosong, penghuninya sudah melarikan diri. Sedangkan anaknya, masih tergeletak tidak sadarkan diri.

Melihat majikannya kesusahan, Iman dengan cekatan memanjat pagar. Tubuhnya yang atletis, ditunjang dengan kebiasaannya berolahraga, membuat Iman dapat melewati pagar itu dengan mudah. Dalam sekejap, ia sudah berada di dalam. Iman mengarahkan pandangannya ke sekeliling, matanya menangkap gunting rumput yang tergeletak di sudut taman. Diambilnya gunting itu.

"CRAAANKK!! CRAAANKKK!! CRAANKK!!" Dipukulkannya beberapa kali dengan keras gunting rumput itu, ke gembok yang mengunci pagar, hingga rusak.

Pagar berhasil dibuka, mereka bertiga bergegas masuk ke dalam rumah, saling berpencar mencari Grace.

"GRACE??!" Seru James, saat melihat anaknya tertidur lemas, di atas kasur.

Dipegangnya tubuh Grace, kemudian digoncang-goncangkan beberapa kali, berharap anak gadisnya membuka mata. Sia-sia, Grace tetap tertidur, terkulai lemas di pelukan ayahnya. Badannya panas, bibirnya kering, wajahnya pucat, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

Melihat itu, ibunya tertunduk lemas, air matanya mengalir dengan deras. Dadanya terasa sesak, dilanda penyesalan, sekaligus rasa takut kehilangan yang amat hebat. "Tuhan, tolong selamatkan anakku." Ujarnya, berkali-kali di dalam hati. Mungkin seandainya bisa, dia rela menukarkan nyawanya untuk Grace. Agar dia bisa menebus kesalahannya selama menjadi orangtua.

Tubuh Grace digendong keluar oleh ayahnya, didekapnya erat selama perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Tak sulit bagi James untuk mendapatkan akses ke semua fasilitas kesehatan, dia mengenal hampir seluruh kepala rumah sakit di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, begitu ia tiba, dengan cekatan suster dan dokter melakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawa Grace.

James tau betul, apa yang sedang dialami Grace saat ini. Sebab beberapa taun terakhir, dia sedang mengembangkan virus yang sama, yang saat ini sedang ada di dalam tubuh anaknya.

"Ini, tolong siapkan aku obat-obatan ini." Ujar James, memberikan secarik kertas pada salah satu suster yang menangani anaknya. Dengan segera suster itu pergi, melaksanakan perintah yang barusan dia terima.

Diraciknya obat-obatan itu oleh James, dicampur menjadi sebuah cairan berwarna putih kental.

"Aku akan pergi ke lab, tolong berikan ini setiap 5 jam sekali pada Grace, saat dia tersadar nanti. Obat ini dapat membantunya sementara, untuk mengurangi rasa sakit di tubuhnya." Kata James pada Lily, istrinya.

"Pah.. Apa kau sudah berhasil menemukan vaksin, untuk virus ini?" Tanya Lily, padanya.

"Sudah, tapi.. Ehmm maksudku, masih dalam tahap penyempurnaan. Belum selesai sepenuhnya." Jawabnya, dengan gugup. Seperti sedang menutupi sesuatu.

Lily bertanya sekali lagi, "Lalu, apa saat ini kita sudah tertular?"

James terdiam beberapa detik, menatap istrinya, lalu mengangguk perlahan. "Virus ini dapat menular lewat cairan tubuh. Baik keringat, ludah, air seni, air mata, maupun sperma.

Kita, dan semua orang disini yang sudah melakukan kontak fisik secara langsung dengan Grace, sudah terpapar. Hanya saja, gejala yang kita rasakan tidak secepat seperti yang Grace rasakan.

Butuh waktu sekitar 2x24 jam bagi kita, untuk mulai merasakan gejalanya."


Mulut Lily tertutup rapat. Mendengar hal itu, lidahnya mendadak kaku. Sorot matanya tampak ketakutan.

"Jadi..."

James mengangguk, mengerti kalimat apa yang akan dikatakan istrinya. "Wabah sudah dimulai.." Sahutnya, meneruskan kalimat Lily.

• • •

"Apakah kau sudah melakukannya?"

"Sudah.. Satu, kuberikan pada anjing milik penghuni rumah sebelah. Dua, aku memberikannya pada salah satu anak yang sedang bermain di taman. Dan.. Yang ketiga..

aku berikan pada Opa Billy, kakek tua yang sering memarkirkan mobilnya di depan rumah kita."


"Bagus! Bagus sekali! Menurut perhitunganku, paling lambat satu tahun dari sekarang, virus ciptaan Papa ini sudah tersebar ke seluruh dunia. Saat itulah nanti kita akan membalikkan keadaan."

"Tapi.. Aku belum yakin sepenuhnya, dengan vaksin buatanku."

"Bodoh! Kita sudah mencobanya 3 kali bukan? Hasilnya pun memuaskan. Apa yang masih kau khawatirkan?"

"Ci... Sebuah vaksin itu butuh percobaan ratusan kali, baru dapat dipastkan efektivitasnya."

"Waktu kita ngga banyak Dave, ini adalah soal siapa yang lebih dahulu mengeluarkan vaksin. Kita, atau James si keparat itu! Lagipula, kita tidak punya cukup dana, untuk melakukan percobaan hingga ratusan kali."

"Huuhhhfftt.."
David menghembuskan nafas, "Entahlah, aku hanya tidak percaya diri saja."

"Hey! Tatap mataku! Berkali-kali aku bilang, kita tidak bisa melawan Wibisono, jika kita sendiri masih ragu terhadap kemampuan kita.

Ingat ya, Dave! Kita adalah keturunan Limantoro, salah satu ilmuwan terhebat yang pernah ada! Bagaimana bisa kau meragukan kemampuanmu sendiri, hah?!"


David tertunduk, dia memilih untuk mengalah pada kakaknya yang keras kepala.

"Siapkan sampel yang terakhir, aku akan menggunakannya malam ini." Kata Sherly kemudian.
 
P A R T : III

Siapa yang menyangka, sebuah rumah kecil di perbatasan kota, yang dulu dibeli ibuku hasilnya menabung, kini kami sulap menjadi laboratorium mini. Disinilah David, selama 5 tahun terakhir menghabiskan waktunya, menciptakan vaksin untuk virus AXN-06, bikinan ayahku.

Kami sedang berlomba dengan waktu, sebelum Panarion Corp, perusahaan si bajingan itu meluncurkan virus ini, lalu dengan sok pahlawan - seperti yang biasanya mereka lakukan - muncul ke muka umum, mengenalkan vaksin buatannya.

Begitulah mereka menjaga revenue perusahaannya. Diam-diam menciptakan senjata biologis, melelangnya pada negara-negara adikuasa, lalu muncul dengan tampang tak berdosa, mengumumkan obat penangkalnya. Kemudian, mengeruk keuntungan besar dari sana.

Tapi tidak kali ini. Kami, keturunan Limantoro, sudah mencuri start. Dengan menjadikan Grace, anak tunggal mereka, sebagai pasien pertama yang terinfeksi AXN-06. Dan nantinya, setelah wabah cukup meluas, kami akan menjadi orang pertama yang mengenalkan vaksin untuk virus ini.

Memang dana kami terbatas, sumber daya yang kami miliki juga seadanya. Jika dibandingkan dengan mereka, kami ibarat semut yang hendak melawan gajah. Tapi, bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba? Kami adalah semut yang pantang menyerah, keras kepala. Umpama pun nanti kami kalah, setidaknya kami kalah dalam perlawanan, bukan pasrah dengan keadaan.

• • •

Jacob sedang asyik menatap ponsel, saat aku masuk ke kamarnya. Namun sesaat kemudian, pandangannya langsung tertuju padaku. Wajar saja, tubuhku hanya tertutup lingerie warna merah, tanpa bra. Payudaraku yang membusung, tercetak bulat sempurna, dengan puting pink yang menggoda.

Tak berapa lama kemudian, kami sudah bergumul, saling bercumbu mesra. Ponsel yang digenggamnya sedari tadi, kini sudah terlempar entah kemana. Jacob menciumi leherku, menjilat bagian belakang daun telingaku, dia sangat tau bagaimana membangkitkan birahiku.

Malam ini, aku akan menjadi lonte-nya, aku ijinkan dia kembali menikmati tubuhku sesukanya. Kedua payudaraku saat ini sedang menjadi sasaran lidahnya, dijilatnya putingku, diremasnya dengan lembut kedua susuku.

Entah kenapa, aku selalu suka saat lidahnya menyentuh putingku. Hal itu membuatku bergidik nikmat, seakan ada aliran listrik yang menyengat, mengaliri tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membuat memek-ku basah, ingin segera disetubuhi.

Bibirnya kini bergerak turun, ke perut, pusar, lalu menuju selangkanganku. Aaaahh! Aku paling suka bagian ini, bagian dimana dia akan menjilati lubang kenikmatanku. Dijilatnya pangkal pahaku, lalu perlahan lidahnya bergerak ke tengah, menuju memek-ku yang sudah sangat basah. Iya, Jacob memang lihai menarik ulur nafsuku. Dia tidak grusa grusu, perlahan, namun pasti.

Badanku menggeliat, seperti cacing kepanasan, merasakan sapuan lidahnya di sekitar area kemaluanku. Aku mengangkat pinggulku, menyodorkan memek-ku tepat di depan mulutnya, ingin segera merasakan kehangatan lidahnya. Tanpa perlu disuruh, Jacob mencium klitorisku dengan lembut, lalu mulai menjilatinya.

"Aaaaahhhhh..." Aku tak dapat menahan desahanku, saat ujung lidahnya mulai dimasukkan ke dalam, rasa nikmat langsung menjalar ke seluruh tubuhku.

"Saayangghhh, aaahhhh.." Desahku kembali, saat Jacob mengatupkan bibirnya, lalu menghisap kuat-kuat klitorisku.

Dua jarinya ia masukkan ke dalam, dikocoknya lubang memek-ku, membuatnya semakin becek, sambil terus dijilatinya klitorisku. Siaaall, aku tak dapat menahannya lagi.

"Aaaahhhhkkk, aaaakkhhhh.." Tubuhku mengejang, kakiku gemetar. Cairan bening muncrat keluar dari lubang pipisku, nenyembur membasahi wajah Jacob. Herannya, tak ada ekspresi jijik di wajahnya. Justru sebaliknya, ia malah menjilati dengan lahap, setiap tetes cairan yang masih tersisa di kemaluanku.

"Sungguh! Anak ini tidak pernah gagal membuatku orgasme. Kali ini giliranku."

Jacob duduk di tepi kasur, lalu aku jongkok dihadapannya. Seperti budak yang mengerti keinginan tuannya, tanpa dikomando, aku langsung mengulum kontolnya. Ku kocok perlahan, lalu kujilati dari pangkal sampai ujungnya.

Dengan susah payah, aku berusaha memasukkan semua batangnya ke dalam mulutku. Tapi yang ada malah aku tersedak, batangnya terlalu panjang, sampai terasa memenuhi kerongkonganku. Jacob terlihat sangat menikmatinya, saat aku melakukan deep throat pada kontolnya.

Melihat kejantanannya yang sudah tegak sempurna, memek-ku berkedut, ada rasa gatal yang teramat hebat di dinding-dindingnya. Rasa gatal yang hanya dapat dipuaskan, dengan menggaruknya menggunakan kontol.

Kurang ajar! Selalu saja aku menjadi sosok wanita yang binal, saat bercinta dengannya. Kontol, memek, ngentot, dan berbagai kata-kata jorok, mengalir keluar begitu saja dari mulutku. Fuck!

Jacob menarik tanganku untuk berdiri, kemudian menyuruhku membalikkan badan, dia ingin menggenjotku dari belakang. Dengan sigap ku arahkan pantatku tepat di depan kontolnya. Alih-alih segera memasukkannya, Jacob malah menggesekkan kepala kontolnya ke bibir memek-ku.

"Sayaangg, pliss... Masukin.." Pintaku memelas.

Mendengar itu, bukannya segera dimasukin, Jacob malah semakin menggodaku. "Hah? Kenapa? Pengen diapain, sayang?"

"Pengen di-entot sayang.."
Jawabku genit.

Akhirnya batang itu mulai ditekan perlahan, masuk sedikit demi sedikit di lubangku yang sempit. Ku bantu dengan turut menggerak-gerakkan pantatku. Lalu, satu hentakan dari pinggulnya, batang itu amblas seluruhnya, membuatku memekik tertahan.

"Iiiiiikkkkhhhh..." Ku gerakkan otot-otot vaginaku, seperti saat aku melakukan senam kegel.

"Uuughhhhh!!!" Jacob melenguh, saat merasakan kontolnya diurut oleh dinding memek-ku.

Pinggulnya digerakkan, maju mundur, mulai dari perlahan hingga makin lama makin cepat. Sambil sesekali ditamparnya bongkahan pantatku. Entah kenapa, bukannya rasa sakit yang kurasa, malah semakin bergairah aku, saat dia melakukannya.

Posisiku yang menungging, membuat kedua buah dadaku yang montok menggantung bebas, berayun-ayun mengikuti irama sodokannya. Jacob meraih payudaraku, mencengkram keduanya, lalu diremasnya dengan kencang. Sambil kontolnya masih terus menyodok-nyodok rongga memek-ku.

Kami berdua sama-sama menikmati persetubuhan ini, entah sudah berapa kali aku orgasme dibuatnya. Berbagai gaya kami lakukan.

"Ooohhhh, oooouughhh, fuuucckk!" Aku berteriak kencang, saat ia menggenjotku dari atas. Kontolnya terasa makin mengeras, tanda sebentar lagi dia akan ejakulasi.

Kakiku mengapit pinggulnya, lidahku bermain dengan lidahnya. Seiring dengan genjotannya yang semakin kencang, aku makin mendesah keenakan. Tanpa memperdulikan adikku yang ada di kamar sebelah.

"Aaaaahhhh, aaaaakkhhh..." Satu teriakan kencang dan panjang, secara bersamaan keluar dari mulut kami. Tubuhnya bergetar, badanku mengejang.

Pinggulnya menekan tubuhku dengan kuat, membuat kontolnya terbenam lebih jauh ke dalam. Kurasakan cairan hangat membanjiri lubang rahimku, hingga menetes keluar sebagian. Kembali ku gerakkan otot vaginaku, mengurut dan memijat kontolnya dengan lembut.

Jacob mengecup dahiku, "I love you, honey.." Ujarnya, sambil tersenyum tipis.

Aku membalas senyumnya, "I love you too.."

• • •

"Harus banget ya, balik malem ini? Ini udah larut loh.. Kenapa si ga mau berangkat besok pagi aja?"

"Iya sayang, aku cuma pamit pergi 2 hari ke orangtua-ku. Ini aja daritadi mereka uda bolak balik telpon, nanyain posisiku..

..Maaf yah. Janji deh, besok lusa aku kesini lagi, buat ketemu kamu."

"Hmmm, janji?"
Kataku, dengan menyodorkan kelingkingku padanya.

Ia mengaitkan kelingkingnya, "Janji."

"Ya udah. Eh tapi tunggu, kamu harus di vaksin dulu. Ingat, diluar sana kan AXN-06 sudah mulai menyebar."

"Ah, iya. Benar juga."


Aku menggulung kain yang menutup lengan Jacob, lalu menusukkan jarum suntik, tepat di pembuluh darah vena miliknya. Sedetik kemudian, cairan yang ada di suntikan sudah berpindah masuk ke tubuhnya, menuju jantungnya, lalu menyebar ke seluruh organ bersama aliran darahnya.

"Aku balik dulu ya sayang, muaaachh.." Pamitnya, sambil mengecup keningku.

"Iya, hati-hati yah.. Aku tunggu dua hari lagi." Kataku, sambil melambaikan tangan padanya.

Tentu saja Jacob tak pernah kembali. Aku mendapat kabar ia telah mati, 10 hari setelah aku menyuntikkan sampel virus terakhir yang aku punya, ke dalam tubuhnya.

Dengan cepat, AXN-06 menyebar menjadi wabah ke penjuru daerah. Mulai dari tingkat 1 kota, menjadi 1 provinsi, lalu menyebar ke 1 pulau, hingga 1 negara, hanya dalam hitungan 45 hari.

Setiap hari, berita di berbagai media menayangkan kengerian yang ditimbulkan virus ini, jumlah korban meninggal terus meningkat. Tapi aku belum mendengar kabar sama sekali tentang Grace, maupun kedua orangtuanya. Sepertinya mereka memang sengaja tiarap, tak ingin diliput media.

Menurut dugaanku, Grace berhasil selamat. Mengingat statusnya sebagai keturunan Wibisono, pemilik perusahaan farmasi nomor 1 di dunia. Dia pasti dengan mudah mendapatkan fasilitas medis dan berbagai obat-obatan, yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Sementara disini, aku, David, dan penerus keluarga Limantoro yang ada di kandunganku, hidup dari uang hasil menjual rumah warisan kakekku. Rumah berpagar coklat, yang menyimpan banyak kenangan masa kecilku itu, terpaksa harus kami jual rugi, demi membiayai hidup kami sehari-hari. Sambil menunggu moment yang tepat, untuk mengenalkan vaksin yang sudah kami buat, ke masyarakat.

Kami bertahan hidup, berusaha mengirit pengeluaran seminimal mungkin. Dengan kondisiku yang sekarang, tidak mungkin aku mencari pekerjaan. Apalagi banyak perusahaan yang malah mengurangi karyawan.

Lockdown mulai menjadi solusi di berbagai negara. Protokol kesehatan yang biasa mereka terapkan saat terjadi pandemi, kini kembali di giatkan. Aktivitas diluar rumah sangatlah terbatas.

"Sebentar lagi Dave, waktunya tinggal sebentar lagi." Ujarku, saat menyaksikan berita mengenai wabah virus ini, yang sudah mulai menyebar ke negara-negara tetangga.

"Tapi, aku masih ragu ci. Dengan vaksin buatanku."

"DAVE!"
Aku membentaknya, kurasakan janin di perutku bergerak.

"Kita sampai hari ini masih baik-baik saja, sehat, tidak ada tanda-tanda tertular. Itu sudah menjadi bukti bahwa vaksinmu bekerja dengan baik, bukan?" Kataku padanya, sambil memegangi perutku.

David tidak mengangguk, tidak pula menjawab, dia hanya menatap mataku. Dari sorot matanya, tampak masih ada keraguan di hatinya.

Sepertinya ucapanku terlalu jumawa. Mataku dibutakan oleh dendam, dan ego menguasai pikiranku. Seminggu setelah aku berkata seperti itu, David ambruk, terpapar AXN-06 yang sudah bermutasi menjadi semakin ganas. Itu sebabnya vaksin buatan David tak mampu lagi menangkalnya. Hal yang tidak aku perhitungkan sebelumnya.

Tidak, bukan!
Aku memperhitungkannya! Hanya saja..
Aku tak menyangka, virus ini bermutasi secepat itu.

Ini baru menginjak bulan ke 10 sejak aku menyuntikkan sampel pertama ke tubuh Grace, how come it became so fast? Setauku, yang aku pelajari dari virus-virus sebelumnya, butuh waktu paling cepat dua tahun, sebelum munculnya mutasi varian baru.

Aku menatap tubuh adikku yang tak sadarkan diri, dari balik kaca ruang ICU rumah sakit. Sudah 5 hari ia terbaring disana. Kondisinya terus drop, nafasnya harus ditunjang dengan ventilator. 3/4 bagian dari paru-parunya sudah rusak, ginjalnya sudah tak berfungsi. Tak lagi terpikirkan olehku perihal vaksin, mengalahkan keluarga Wibisono, atau apalah itu. Satu-satunya yang kupikirkan saat ini adalah, adikku harus sembuh!

Aku tau, ada harga yang harus aku bayar, saat aku memutuskan untuk menlepaskan virus berbahaya ini. Tapi aku tak menyangka, bahwa aku harus membayarnya dengan nyawa adikku sendiri.

"Come on Dave, bertahanlah! Aku tau kamu kuat. Aku tau kamu seorang pejuang. Please, jangan tinggalkan cicimu ini sendirian." Gumamku berkali kali dalam hati, sambil memandangi fotonya di layar ponselku.

Pandanganku kabur, karena gumpalan air yang mengumpul menutupi penglihatanku. Entah, berapa banyak air mata yang sudah aku keluarkan dari kelopak mataku ini. Aku tersimpuh di pojok ruangan, menjambak rambutku sendiri, sambil terus menangis tersedu.

"Jie.."

Sebuah suara, yang seketika menghentikan tangisku. Aku mengenal pemilik suara ini. Buru-buru ku hapus air mataku.

"Jie.." Panggilnya sekali lagi.

Aku mendongakkan kepala, menatap sumber suara itu. Grace berdiri dengan membungkukkan badan didepanku. Penampilannya sudah sangat jauh berubah, dibanding dengan terakhir kali aku bertemu dengannya.

Ia mengenakan v-neck dress berwarna hitam, dengan kalung permata yang menghiasi lehernya, membuatnya terlihat semakin cantik, dewasa, dan elegan. Wajahnya tampak teduh, menatapku.

"Jie, aku sudah denger kabar tentangmu. Juga tentang ko David." Ujarnya, sambil menyodorkan tangan, hendak membantuku berdiri.

Ku tepis tangan itu. Sekilas aku mendengarnya menghembuskan nafas panjang.

Aku berusaha berdiri sendiri, dengan berpegangan pada kursi di sebelahku. Cukup susah memang, dengan perutku yang sudah membesar, tapi gengsiku jauh lebih besar.

"Jie.. Aku datang untuk membantumu." Ucapnya, dengan lembut. "Aku ngga bisa janji untuk keselamatan ko David, kondisinya sudah terlalu parah. Tapi aku bisa memberikan jaminan, untuk keselamatanmu, dan bayi yang ada di kandunganmu."

Aku hanya diam, tidak bereaksi sedikit pun atas kalimatnya barusan. Meskipun sebenarnya dalam hatiku sedang bergejolak, antara menerima tawarannya atau mempertahankan ego-ku.

"Jie, come on! Sampai kapan, keluarga kita mau saling membalas dendam? Kedua orang tuamu sudah meninggal, begitu juga dengan kedua orang tuaku. Cukuplah berhenti disitu saja. Jangan diteruskan ke kita dan anak cucu kita nantinya."

Kalimatnya barusan, membuat tubuhku sedikit bergerak karena terkejut. Seketika perasaan bersalah menyelimuti hatiku.

"Jujur, sangat berat bagiku buat maafin kamu. Atas semua tindakanmu sebelumnya. Tapi aku sadar, tidak akan ada habisnya jika kita saling membalas dendam.

Aku berhasil selamat dari virus itu, meskipun harus mengorbankan 1 ginjalku untuk di angkat, dan lambungku yang kini hanya dapat bekerja 50 persen dari seharusnya. Tapi aku berhasil melewati semua itu.

Aku juga sudah melewati masa-masa kelam hidupku, saat kehilangan kedua orang tuaku beberapa waktu lalu."
Sorot matanya menatapku dalam-dalam, menembus masuk jauh ke lubuk hatiku.

"Oleh sebab itu, aku datang kesini sekarang. Untuk menggandengmu, membantumu melewati masa-masa sulit ini."

Aku hanya menatapnya, diam membisu, lidahku kelu. Kalimatnya barusan seakan menamparku dengan keras, meruntuhkan ego-ku, meluluhkan dendam yang selama ini tersimpan di hatiku.

"Jie.." Grace meletakkan tangannya di pundakku, menatapku dengan penuh kasih. "Aku sudah mengampunimu." Ujarnya lirih.

Shit! Air mataku langsung menetes tanpa dapat kukendalikan, saat aku mendengarnya berkata demikian. Tanpa sadar tubuhku bergetar hebat.

Grace menarik badanku, lalu memelukku dengan erat. Aku mendengar isakan tangisnya, begitu pula tangisanku yang menggeru-geru.

"Maafkan aku, Grace.. Maafkan aku." Bisikku lirih, berulang kali.

• • •

1 bulan berlalu, sejak kepergian David. Beberapa kali aku masih sering menyalahkan diriku sendiri, atas kematiannya. Seandainya aku tidak dibutakan dendam, seandainya aku bisa sedikit mengecilkan egoku, pasti dia masih ada saat ini. Pikiran-pikiran seperti itu sering terlintas di benakku.

Tapi puji Tuhan, kehidupanku saat ini sudah jauh lebih nyaman, dibandingkan beberapa waktu lalu. Grace benar-benar menjadi malaikat penolongku. Membantuku, dan baby yang ada di kandunganku, melewati masa-masa sukar ini.

Dia memberiku tempat tinggal, berupa 1 unit apartment yang besar dan mewah, yang terletak di tengah kota. Lengkap dengan fasilitas mobil dan supir pribadi, yang siap mengantarku kemanapun aku mau pergi. Uang juga sudah tidak lagi menjadi masalah buatku, Grace memberikan aku satu account bank sendiri, atas namaku, dengan nominal 10 digit di dalamnya.

Dampak dari pandemi akibat AXN-06, sama sekali tak lagi aku rasakan. Malahan, hampir saja aku lupa, bahwa diluar sana, pandemi masih berlangsung. Jika bukan karena pesan singkat dari Grace tadi pagi, yang mengingatkanku untuk jadwal suntik vaksin.

Screenshot.jpg


• • •

Kata orang, hidup adalah pilihan. Well, mungkin saja itu benar. Untuk saat ini.

Tapi nanti.. Slogan itu hanya berlaku untuk-ku. Semua orang - setidaknya, setiap mereka yang sudah di vaksin - tidak punya pilihan, selain tunduk padaku.

- E N D -

 
lomba kali ini banyak tema tentang virus ya....good
 
Wwooowww woowww
Etdahhhh.. Ceritanya keren huu
Kiranya sukses huu!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd