teot0389
Semprot Kecil
- Daftar
- 5 Aug 2015
- Post
- 53
- Like diterima
- 11.557
P A R T : I
Kata orang, hidup adalah pilihan. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagiku. Sedari kecil hidupku selalu diatur oleh kedua orang tuaku. Kehendak bebas? Apa itu? Yang aku tau, aku boleh melakukan sesuatu, jika orang tuaku menyuruhku melakukannya.
Mulai dari sekolah, jurusan yang aku pilih saat kuliah, bahkan, sampai style potongan rambutku pun ditentukan oleh mereka. Model bob dengan layer oval, sebahu, disertai poni yang tidak pernah melewati kedua alisku. Selalu seperti itu, tidak pernah berubah sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kata orang hidup adalah pilihan, tapi tidak dengan hidupku. Aku bagaikan pion catur, yang langkahnya sudah diatur dan ditentukan oleh orang yang memainkannya. Termasuk langkahku, saat terlibat dengan sebuah virus mengerikan,
yang bernama; AXN-06.
• • •
Aku lahir dari pasangan suami-istri, yang sudah menikah cukup lama, namun tak kunjung dikaruniai anak. Berbagai cara dicoba orang tuaku saat itu, agar memiliki keturunan. Suntik hormon, minum berbagai suplemen dan vitamin. Bahkan, 3 kali mencoba program bayi tabung di 3 negara yang berbeda pun, tak membuahkan hasil yang memuaskan.
Sampai di usia pernikahan mereka yang ke-20, seolah seperti hadiah dari Yang Mahakuasa, Lily - Ibuku, mengandung aku. Itu sebabnya mereka menamaiku Grace, Grace Angelina Wibisono. Yang artinya; malaikat yang diberi Tuhan lewat kasih karunia-Nya, sedangkan Wibisono berasal dari nama belakang Ayahku.
"Cantik banget namanya, seperti orangnya."
Ujar hampir semua orang, setelah mendengar namaku. Tanpa mereka tau, seberapa besar beban yang aku pikul sebagai anak tunggal, dengan menyandang nama 'Wibisono' di belakang namaku. Sayangnya, aku tidak dapat memilih mau dilahirkan di keluarga yang mana. Seandainya bisa, sudah tentu aku akan menolak untuk terlahir sebagai salah satu anggota keluarga ini.
Ayahku adalah penerus ke-empat sebuah perusahaan farmasi global ternama, yang jaringannya sudah tersebar di seluruh dunia. Setiap butir obat yang kalian telan saat sakit, setiap biji kapsul yang kalian terima dari resep dokter ketika berobat, dan apapun merk multivitamin yang kalian konsumsi setiap harinya untuk daya tahan tubuh, semua diproduksi dari jaringan perusahaan keluargaku.
Kekayaan keluarga kami tidak datang secara tiba-tiba, jauh sebelum aku lahir, kakek dari kakek buyutku, garis pertama dari clan Wibisono, memulainya dari nol. Beliau adalah salah satu, dari 3 orang ilmuwan, yang berhasil menemukan penangkal untuk sebuah virus bernama C-19. Virus yang katanya saat itu menjadi pandemi, karena melanda seluruh penjuru bumi.
Bermula dari penemuan vaksin tersebut, Kakek buyutku yang tadinya adalah seorang kepala divisi Research & Development di sebuah perusahaan farmasi ternama, memutuskan keluar. Kemudian bersama-sama mendirikan perusahaan dengan 2 orang temannya. Mereka mempatenkan dan memproduksi sendiri vaksin hasil temuannya itu, dalam skala besar. Alhasil pundi-pundi uang pun mengucur deras, masuk ke kantong keluarga kami.
Tak hanya itu, mereka juga mengembangkan berbagai macam obat serta multivitamin, yang ternyata, semuanya laku keras di pasaran. Selanjutnya, virus demi virus datang silih berganti. Hampir dalam rentang setiap 30-50 tahun sekali, selalu ada virus baru yang menyebabkan pandemi. Mungkin memang ini cara Bumi menjalankan detoks-nya. Panarion Corp - perusahaan yang saat ini dipegang Ayahku dengan status pemilik tunggal - selalu berupaya menemukan vaksin, untuk mengatasinya.
Melihat keberhasilan tersebut, banyak perusahaan besar di seluruh dunia yang menawarkan kerja sama. Itulah sejarah, bagaimana multi billion dollar company ini bermula. Beberapa kali aku sempat diajak berkunjung oleh Ayahku, mulai dari melihat pabrik tempat produksi, sampai mengunjungi laboratorium, tempat para ilmuwan melakukan riset untuk mengembangkan obat-obatan.
Saat ini, dari 3 founder, hanya tersisa keturunan 'Wibisono' yang masih bertahan. Sebab 1 founder yang lain tidak lagi memiliki penerus di keturunan yang ketiga, sehingga hak-nya berhenti disana. Sedangkan penerus ke-4 dari founder yang satunya, memilih mengundurkan diri beberapa taun silam. Entah apa alasannya, saat itu aku masih terlalu kecil untuk bertanya lebih jauh.
Tak heran kedua orang tuaku begitu kebingungan, ketika sudah menikah puluhan taun, namun tak kunjung memiliki keturunan. Tentu saja tujuan utamanya bukan karena mereka sangat ingin menggendong bayi, juga bukan karena kerinduan mereka, agar pernikahannya terasa lengkap dengan kehadiran sosok buah hati. Sudah jelas, mereka harus punya keturunan, agar bisnis turun temurun yang bernilai triliunan dollar ini, dapat tetap diteruskan oleh garis keturunan Wibisono.
• • •
"Pokoknya kita harus menyiapkan Grace dengan sebaik-baiknya. Usia kita sudah tidak muda, Mah. Waktu kita ngga banyak. Dan harapan kita satu-satunya ada padanya."
Sebuah kalimat yang bukan hanya satu atau dua kali aku curi dengar, dari percakapan Ayah dan Ibuku. Ratusan kali aku mendengarnya. Tapi malam ini ketika aku mendengarnya lagi, aku sudah membulatkan tekad. Aku akan pergi dari rumah ini. Aku muak, aku sudah tidak betah, ini saatnya aku memilih jalan hidupku sendiri.
"Ini hidup Grace, bukan hidup Papa, bukan hidup Mama. Grace berhak memilih mau mengambil fakultas apa, Grace berhak memilih mau berteman dengan siapa, Grace berhak menentukan jalan hidup Grace sendiri. Kenapa semua keputusan dalam hidup Grace harus melalui persetujuan Papa dan Mama? Kenapa? KENAPA?"
"PLAAAKKK!!!"
Selalu berakhir seperti itu, setiap kali aku berusaha menyuarakan isi hatiku kepada mereka. Tangan seorang Ayah yang seharusnya menggandengku dengan penuh kasih, mengusapku dengan kelembutan, membelaiku dengan rasa sayang. Malah menamparku dengan keras hingga meninggalkan bekas kemerahan di pipi, dan rasa sakit yang melekat di hati. Aku sudah lelah menangis, aku bosan terkekang!
Itu sebabnya, kali ini aku sudah mengumpulkan keberanian dan memutuskan untuk pergi. Berbekal beberapa keping koin emas hasilku menabung, uang yang ada di dompet, juga ransel warna hijau army yang berisi sejumlah pakaian, perlahan aku mengendap keluar dari kamarku.
Seperti pencuri, aku berjingkat menuruni tangga setengah lingkaran, menuju ke ruang keluarga di lantai satu. Suasana sudah gelap, nyaris tak ada suara, hanya terdengar suara gemericik, dari filter air sebuah aquarium besar, yang ada di sudut ruangan. Sisanya, keheningan.
Setelah tiba di bawah, dengan setengah berlari aku menuju ke ruang tamu, lalu menempelkan ibu jariku di mesin smart door lock yang ada di pintu.
"biippp.." Suara mesinnya, saat memindai sidik jariku, lalu kunci pintu tersebut pun terbuka.
Aku memutar gagang pintu dengan perlahan. Telapak tanganku berkeringat, nafasku berat, jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Sampai seakan jika disebelahku ada orang, dia dapat mendengarkan detakannya, tanpa perlu menempelkan telinganya di dadaku.
Pintu terbuka dengan sedikit celah, angin malam yang menelisik masuk dari sana, terasa dingin saat menerpa wajahku. Aku menghela nafas dalam-dalam, kemudian membuka pintu lebih lebar, sekedar cukup untuk aku berjalan keluar. Setelah memastikan pintu sudah kembali tertutup rapat, aku melanjutkan berjalan menyusuri taman, menuju ke pagar depan.
"Tok! Tok! Tok!" Suara ketukan jariku di kaca pos security.
Meskipun di dalam pos gelap, dari luar aku dapat melihat Pak Iman terbangun dengan terkejut dari tidurnya, kemudian keluar membuka pintu pos menemui aku.
"Sekarang Non?" Tanya Pak Iman setengah berbisik, saat melihatku.
Aku mengangguk, lalu dia menekan tombol. Sesaat kemudian, pagar kokoh setinggi 5 meter berwarna hitam di depanku, perlahan bergeser terbuka. Pagar yang sekaligus menjadi pembatas, antara kebebasanku dengan rumah tempatku hidup selama 23 tahun ini. Rumah yang memberikanku fasilitas kekayaan, kemewahan, tapi tidak kudapati kebebasan.
Sekali lagi aku menarik nafas dalam-dalam, "No turning back!" Gumamku dalam hati.
"Terima kasih ya Pak, ini buat Bapak" Ujarku pada Pak Iman, seraya menyerahkan kantong merah berisi 5 keping koin emas sebagai tanda terima kasih, atas kesediaannya membantuku. Lalu aku melangkah keluar, melewati pagar, menjauhi rumah.
"Non..!!" Pak Iman memanggilku setengah berteriak, aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.
"Hati-hati.." Ujarnya lagi, dengan raut wajah yang menunjukkan kecemasan.
Aku tersenyum, mengangguk, kemudian melambaikan tanganku padanya.
Aku sudah merencanakan malam ini dari jauh-jauh hari. Dan pak Iman, adalah satu-satunya orang yang aku beritahu mengenai rencana kepergianku ini. Aku terpaksa memberitahunya, agar dia mau membantuku.
Butuh waktu hampir setengah tahun, untuk-ku berhasil meyakinkannya, bahwa hidupku, dan pekerjaannya, akan tetap baik-baik saja setelah aku pergi. Ya setidaknya, seandainya dia tetap dipecat karena turut membantu kepergianku. Paling tidak, aku sudah memberinya cukup modal untuk membuka usaha kecil-kecilan sendiri.
Tak lupa, aku juga sudah meninggalkan sebuah video singkat di kamarku, video yang berisi alasan, penjelasan, dan pesan mengenai kepergianku ini. Berharap orang tuaku akan memahami alasanku pergi, meskipun kemungkinan akan hal itu sangat kecil sekali.
Setelah berjalan sekitar 500 meter, aku melihat sebuah mobil sedan berwarna grey metallic terparkir dengan mesin menyala. Seorang pria yang sudah menjadi sahabatku semenjak semester awal aku kuliah, menungguku disana, duduk dibalik kursi pengemudi.
"Udah nih, yakin?" Ujarnya, setelah aku masuk kedalam dan menutup pintu mobil.
Aku mengangguk lalu menatapnya, "Iya." Jawabku padanya.
Mobil yang aku tumpangi melaju dengan cepat, menembus gelapnya malam. Ah, akhirnya. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari orang tuaku. Pergi dini hari, dengan seorang pria, kabur dari rumah. Aku membuka kaca jendela, lalu menghirup dalam-dalam angin malam yang sejuk menerpa wajahku. Sebuah perasaan yang amat menyenangkan.
"Makasih ya Jay." Ucapku kemudian, memecah keheningan.
"No worries, Gray. Tapi apa kamu yakin, orang tuamu bisa ngertiin kamu? Dengan pesan yang kamu tinggalkan buat mereka." Ujarnya.
"Nope. Mereka pasti akan tetap berupaya nyari aku, tapi aku cukup yakin, kalau tempat persembunyianku nanti aman." Kataku, menjawab kekhawatirannya.
"Yang penting, sekarang.. Kamu anterin aku dulu, ke alamat yang aku kasih kapan hari ya." Ujarku, dengan tersenyum lebar sambil menatapnya.
"Jangan lebar-lebar kalo senyum, mata uda minimalis jadi tinggal segaris" Ucapnya, dengan kalimat yang sering digunakan untuk mengejekku.
"Sialan!" Kataku kesal.
• • •
Jacob mematikan mesin mobilnya, "Ini tempatnya?" Katanya, sambil menatap rumah itu.
"Iyap! Betul. Ini rumahnya." Jawabku, "Yuk, turun." Aku melanjutkan.
Sejenak kemudian, kami sudah berada tepat di depan pagar. Tanganku masuk di sela-sela jerujinya, lalu menekan tombol bel yang menempel di dinding sisi dalam pagar. Satu menit menunggu, tidak ada tanda-tanda sang pemilik rumah akan keluar untuk membukakan pagar.
"Kamu yakin, Grey? Ni rumah kok kayak ga ada penghuninya gini." Tanya Jacob kepadaku.
Aku mengangguk dengan mantap, "Bener kok, aku inget betul, ini tempatnya." Ujarku, meyakinkan Jacob, bahwa rumah di depan kami adalah benar lokasi yang aku tuju.
Aku masih berumur 8 tahun saat itu, ketika hari pertamaku memulai les piano bersama Miss Sherly. Aku masih ingat, karena waktu itu aku jengkel. Aku meminta les balet, namun alih-alih mengabulkan permintaanku, orang tuaku malah tiba-tiba membawa Miss Sherly kerumah untuk mengajariku piano.
"Grace, ini Miss Sherly. Dia dua kali dalam seminggu bakal dateng buat ngajarin Grace piano. Belajar yang baik ya." Ujar Ibuku, saat mengenalkannya padaku. Aku cemberut, memasang tampang masam, tidak menjawab kalimat dari Ibuku barusan.
Awalnya aku belajar dengan enggan, karena aku merasa ini bukan hal yang aku suka. Aku tidak berminat untuk bisa bermain piano. Namun siapa sangka, ternyata pada bulan-bulan berikutnya aku malah sangat menunggu kedatangan Miss Sherly. Dia sosok yang menyenangkan, dia juga mau mendengarkanku, hal itu membuatku merasa nyaman. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyukainya.
Kian lama hubunganku dengan Miss Sherly semakin dekat. Aku kerap bercerita banyak hal padanya. Soal teman sekelasku yang iseng menaruh permen karet di tempat duduk-ku, soal pengalamanku saat pertama kali di ajak ke laboratorium tempat kerja ayahku, soal banyak hal, yang tidak pernah aku ceritakan pada orang tuaku.
Beranjak dewasa, kedekatanku dengannya sudah seperti ibu dan anak. Ah bukan, bukan. Usianya masih terlalu muda untuk disebut sebagai ibuku. Lebih tepatnya, dia seperti kakak-ku. Kakak yang memberikan nasihatnya saat pertama kali adiknya mengalami menstruasi, kakak yang menyediakan telinganya untuk mendengar curhatan adiknya, saat pertama kali mengenal cinta. Beberapa kali aku menginap di rumahnya, dengan alasan ke orang tuaku; ikut summer camp dari sekolah.
Miss Sherly selalu jadi tempat pertamaku bercerita, tentang apapun yang terjadi dalam hidupku. Termasuk saat aku merencanakan kepergianku dari rumah. Dia yang banyak memberikanku masukan mengenai apa saja yang harus aku lakukan, dia yang membantuku menulis script di video yang ku tinggalkan untuk orang tuaku, dia juga orang yang berjasa dalam membujuk Pak Iman, meyakinkannya bahwa hidupku akan tetap aman dan baik-baik saja saat sudah keluar dari rumah.
• • •
Aku kembali memasukkan tanganku ke balik jeruji pagar, memencet tombol bel sekali lagi. Kali ini tak butuh waktu lama, terdengar suara kunci pintu rumah itu terbuka, lalu tampak sosok yang sudah aku anggap kakak sendiri itu, keluar dari balik pintu.
"Duh maaf maaf, udah dari tadi ya? Aku ketiduran nih." Ujarnya kepada kami, sambil membuka gembok pagar.
"Engga kok jie, kami yang maaf, subuh-subuh gini dateng." Ujarku. Aku memanggilnya jie-jie, atau banyak orang lebih familiar dengan panggilan cici/cece. Sebutan untuk kakak perempuan bagi warga keturunan Tionghoa.
Miss Sherly membuka pagar, "Udah udah, santai aja, kan aku yang nyuruh kamu kesini begitu berhasil keluar." Sebuah pelukan hangat darinya, menyambutku.
"Ayo, masuk yok!" Katanya kemudian, mempersilahkan kami masuk.
Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, sejak terakhir aku kemari beberapa tahun yang lalu. Hanya tambahan noda bekas rembesan air hujan, di dinding berwarna putih itu, serta sofa warna hitam yang kini kulitnya tampak sedikit mengelupas, di beberapa bagian.
Ah, satu lagi. Sebuah pigora berukuran besar di dinding, yang berisi foto wisuda David, adik Miss Sherly. Pigora tersebut tidak ada, saat aku terakhir kesini. Di dalam foto itu tampak David memakai toga, disebelahnya tampak Miss Sherly yang terlihat cantik dalam balutan kebaya, lalu Ibunya, yang duduk diantara mereka.
Ayahnya sudah meninggal lama, "Sejak aku kecil, Papa sudah ngga ada." Begitu katanya, saat bercerita. Aku pun tidak berani bertanya lebih detail mengenai hal itu. Yang aku tau, Ayahnya adalah mantan dosen salah satu universitas ternama. Itu saja. Sedangkan Ibunya meninggal 3 tahun lalu, karena sakit jantung yang dideritanya.
Jika dibandingkan dengan rumah yang baru saja aku tinggalkan, tentu rumah ini jauh dari kata mewah. Tapi entah kenapa aku menemukan kenyamanan disini, aku menemukan rasa kekeluargaan disini, dan yang terpenting, aku menemukan kebebasan disini. Tiga hal yang sebelumnya tidak aku temukan disana.
"Ayok diminum dulu..
Grace, ini yang namanya Jacob?" Kalimat dari Miss Sherly membuyarkan lamunanku.
Di hadapanku sudah terhidang dua cangkir berisi teh hangat, dan kue kering yang berjajar di dalam toples mika bening.
"Eh, iya jie, ini Jacob. Jay, ini jie Sherly, yang sering aku ceritain." Ujarku, saling mengenalkan mereka. Ini memang pertama kalinya mereka bertemu, setelah selama ini hanya saling tau dari ceritaku saja.
"Wah beneran ganteng ternyata, kayak yang di ceritain Grace hihi." Celetuk Miss Sherly saat mereka berjabat tangan, sekilas tampak pipi Jacob berubah kemerahan, begitu pun pipiku.
"Ah sial, ngapa part soal ganteng disebut juga sih jieee..! Jadi salting akunya kan..!" Gumamku dalam hati, dengan tatapan terkejut ke Miss Sherly. Dia malah tersenyum jahil, seolah mendengar apa yang barusan aku ucapkan dalam hati.
"Ya udah, habis ini kalian bebersih lalu istirahat dulu ya. Ntar siangan baru kita jalan ke tempat yang udah aku siapkan.
Itu kamar bekasnya Mama uda aku bersihin buat kalian. Aku sediain dua kasur disana. Tapi maaf, yang satu ga ada dipan-nya, hehe.. Jadi cuma di lantai gitu.. Ga apapa yah?." Ujar Miss Sherly, pada kami.
"Waduh, kak. Aku istirahat di sini aja gapapa kok, di sofa aja. Lagian ga enak juga kalo sekamar sama Grace." Sahut Jacob.
Aku menyela, "Lah, ga enak apa si? Sok jaim ih! Kayak kita baru kenal kemaren aja. Lagian kan kamu ga tidur semaleman, nyetir jauh pula, apa iya aku tega ngebiarin kamu tidur di sofa? Uda lah, it's ok Jay. Rileks, santai." Kataku padanya.
Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, saat aku baru selesai mandi. Jacob sudah tertidur pulas, beberapa kali dengkurannya terdengar di telingaku. Kasihan, pasti dia kecapek-an. Begitu pun denganku, badanku terasa lelah, mataku terasa berat. Aku harus istirahat, agar nanti saat melakukan perjalanan ke lokasi selanjutnya, keadaanku sudah lebih segar.
Rumah ini hanya tempat singgahku sementara. Terlalu riskan untuk-ku menetap disini, sebab Pak Iman juga aku beritahu sebelumnya, tentang lokasi tempat ini. Dia menolak bekerjasama, jika dia tidak tahu, kemana aku akan pergi setelah meninggalkan rumah.
Ah sial, aku malah jadi kepikiran. Apakah saat ini kedua orang tuaku sudah melihat pesanku? Apakah mereka mau mengerti dan memahami tindakanku ini? Apakah mereka mengkhawatirkan aku? Apa mereka merasa kehilanganku?
Aku memandangi layar ponsel yang sengaja aku matikan dari semalam. Ada keinginan untuk menyalakannya, agar aku dapat memberi kabar pada orang tuaku bahwa aku baik-baik saja, agar mereka tidak mengkhawatirkan aku, agar mereka tidak memarahi Pak Iman atas kepergianku.
Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga mereka adalah orang tuaku. Aku menyayangi mereka, sekalipun hidupku terkekang. Aku hanya tidak menyukai bagaimana mereka memperlakukanku seperti robot, yang dapat di setting sesuai keinginan mereka, tanpa pernah memperdulikan apa yang aku mau.
"Ahelah Grace! Sejak kapan sih mereka mengkhawatirkanmu?! Dari dulu yang mereka khawatirkan hanya soal penerus dan pewaris, agar Panarion Corp tetap dilanjutkan oleh keturunan Wibisono." Ujarku, pada diriku sendiri
Akhirnya aku memilih untuk meletakkan ponsel itu, ke meja di sebelah tempat tidur, dalam keadaan tetap mati. Rasa kantuk-ku sudah tak dapat ditahan lagi.
• • •
Aku membuka mata perlahan, penglihatanku kabur, mataku berkunang-kunang. Yang kulihat hanya cahaya yang sangat terang, tersorot tepat di depan mataku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, berharap penglihatanku membaik, namun sia-sia.
Suara itu terdengar lagi, "Grace, are you there? Wake up, Grace!"
Aku mengarahkan telinga, ke arah suara itu berasal, "Mama?? Itu suara mama-ku, tidak salah lagi!" Gumamku, dalam hati.
"Ma..arkkhhh! Eeerggghhhh! Rrrgggghhh!" Sial! Tenggorokanku mendadak tercekat, saat hendak membuka suara. Panas, kerongkonganku rasanya seperti terbakar.
"Grace? Thanks God, kamu sudah sadar nak." Ujar sosok, yang saat ini dapat aku lihat siluetnya, berada tepat di depanku.
Mataku belum dapat melihat dengan jelas, namun aku merasakan tangannya menggenggam telapak tanganku, lalu membantuku bangun untuk duduk. Kepalaku terasa sangat berat, bibirku kering, rasa panas di tenggorokanku kini menjalar, turun ke paru-paru.
"Ini, minum ini dulu." Ujar Ibuku, menyodorkan sesuatu ke tanganku, kemudian membantu mengarahkannya ke mulutku.
Aku menenggak habis cairan itu tanpa pikir panjang. Rasanya sedikit asam, pahit. Namun seiring dengan cairan tersebut masuk ke tubuhku, rasa panas di paru-paru dan tenggorokanku berangsur mereda, sakit kepalaku perlahan menghilang, penglihatanku pelan-pelan mulai membaik.
Aku mengarahkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Bukan, ini bukan kamar yang sama, yang terakhir aku ingat sebelum aku memejamkan mata. Ini ruangan yang sangat berbeda. Aku sedang duduk diatas ranjang yang biasa digunakan untuk pasien rumah sakit. Sorot lampu yang tepat berada diatasku, adalah lampu led yang biasa digunakan untuk dokter melakukan tindakan operasi. Pakaian yang aku kenakan juga sudah berganti. Ada banyak kabel menempel di badanku, terhubung ke berbagai alat kedokteran, di sisi kiri dan kanan ranjangku.
"Mah" Kalimatku terpotong.
"Grace. Kamu tenangin diri dulu, ya? Yang penting sekarang kamu udah sadar. Nanti, mama akan ceritain apa yang terjadi." Ujar Ibuku. Dia mengerti, bahwa saat ini, sedang ada ratusan pertanyaan yang muncul di kepalaku.
Dengan berat hati aku mengangguk. Lalu perlahan merebahkan kembali kepalaku. Ibuku beranjak pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
"Klik!" Satu kali suara saklar, dan lampu led yang berada tepat diatasku padam.
Sunyi, hanya terdengar alunan, "bip.. bip.. bip.." dari kardiograf, yang menemaniku.
Sudah 2 jam berlalu sejak Ibuku pergi, aku masih terjaga disini, memegang kepala dengan tangan kiriku, menutup mata. Berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun sia-sia, ingatanku hanya berhenti sampai aku menaruh ponsel, lalu memejamkan mata. Setelah itu, apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku sampai berada di ruangan ini sekarang? Sudah berapa lama aku tertidur? Bagaimana Jacob, dimana dia?
Aaarrgghhh! Sial, otak-ku tak bisa berhenti bertanya-tanya. Baru saja aku berhasil keluar dari rumah, baru sejenak aku menikmati kebebasanku. Tapi disini aku sekarang berakhir, di ranjang pesakitan, tergeletak tanpa tau penyebabnya. Tak terasa air mata menetes dari mataku, aku menangis sampai ketiduran.
"Grace.." Suara Ibuku, memanggilku lagi. "Grace.." Kurasakan tangannya menyentuh lenganku.
Aku bergegas bangun, "Mama, mah please mah, ceritain apa yang terjadi?" Tanyaku, tak sabar ingin segera mendapatkan penjelasan.
"Iya, nanti Mama jelasin. Sekarang minum ini dulu ya, supaya tenggorokanmu ngga terasa panas lagi." Jawabnya, dengan menyodorkan cairan yang sama, seperti yang tadi aku minum.
Warnanya putih seperti susu, kental seperti madu. Kali ini lidahku lebih dapat mencerna rasanya, seperti perpaduan antara mengkudu busuk dengan yoghurt. Asam, tidak berbau, namun rasa pahitnya melekat di lidah, cukup untuk membuatmu mual usai meminumnya. Aku mengelap ujung mulutku, menatap Ibuku.
Matanya terlihat sembab, berkaca-kaca. Rambutnya tampak kusut, seperti orang yang tidak tidur berhari-hari. Dia meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat.
Setelah itu, bulir demi bulir air mata jatuh, menetes, membasahi pipinya. Ini pertama kalinya aku melihat beliau menangis, tepat di depan mataku. Sosok yang selama ini kulihat tegas dan kuat, kini tampak rapuh. Air mataku ikut mengucur bersamanya, tanpa bisa aku tahan.
"Mamah.. Tolong cerita.. Ada apa?" Ujarku pelan, dengan mengusap lembut punggung telapak tangannya.
Ibuku mengangguk, mengusap air matanya, lalu ia mulai bercerita..