2. Hari Pertama di Sekolah
Bagi Kim yang baru saja pindah dari kota lainlebih tepatnya dari negara lainke kota ini adalah pengalaman yang tak terlupakan. Papa telah mendaftarkan Kim ke sekolah yang sama denganku. Untuk anak seusianya mau tidak mau ya memang dia harus sekolah, sekalipun di Jerman sana dia mengikuti home schooling. Paling tidak di negara ini mau anaknya seaneh Kim pasti diterima.
Bicara mengenai Kim, aku jadi teringat tentang salah satu tokoh super heroes yaitu Hulk. Bedanya adalah kalau Hulk dari manusia biasa jadi gedhe. Tapi Kim tidak, dari gedhe jadi kecil. Hari Minggu kemarin sebenarnya adalah kami semua harus menyadari apa yang terjadi kepada Kim. Papa dan mama menjelaskan kepada kami apa yang terjadi kepadanya. Kim memang anak biasa pada awalnya. Seperti anak-anak yang lain, hanya saja kebocoran reaktor nuklir membuat dia menjadi sedikit aneh. Nafsu makannya sangat besar, sehingga ia hampir tiap menit pasti makan. Maka dari itulah dia mengalami obesitas akut. Kim dianugerahi IQ tinggi, maka dari itulah di Jerman tak ada satupun yang sanggup untuk bisa menerima dia di sekolah. Dan dia sekolah home schooling. Tanpa teman. Itu sangat menyedihkan. Dan dia mendadak bisa kurus apabila dia berpikir tentang sesuatu hal yang sangat sulit. Tubuhnya akan mengeluarkan uap seperti lokomotif. Kak Luna sendiri hampir tak percaya terhadap apa yang terjadi, tapi dia mulai bisa memahami. Karena Kim tinggal di rumah ini, akhirnya mau tak mau aku harus bisa menerima dia sebagai anggota keluarga kami.
Hari ini sebenarnya aku ingin mengantar Kim untuk pergi ke sekolah. Karena kami sekolah di sekolah yang sama. Hanya saja, dengan tubuh obesitasnya seberat 170 kg, aku tak akan mampu lagi menyuruh dia naik sepeda motorku.
Aku tak bisa memboncengmu kayaknya Kim, kataku.
Nggak apa-apa, aku mengerti, kata Kim. Aku akan naik taksi saja.
Jangan gitu dong! Sebentar! kataku. Aku sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi karena dia memang punya kelainan aneh ini, aku pun melakukan sesuatu hal yang juga aneh. Aku punya tebakan, makhluk apa yang lahir berkaki empat, ketika dewasa berkaki dua, dan ketika tua berkaki tiga?
Gampang, jawabannya manusia, kata Kim.
Doeng! Padahal aku dulu mikirnya setengah mati.
Itu tebakan lama. Aku sudah baca banyak soal tebak-tebakan itu. Oh, aku tahu maksudmu. Baiklah, kau punya buku teka-teki silang? tanya Kim.
Nah, itu dia. Sebentar aku ambilkan, kataku.
Aku pun kembali ke dalam rumah. Aku menuju ke kamarku membongkar-bongkar lemariku. Aku mencoba mencari buku teka-teki silang. Dapat. Sebuah buku teka-teki silang lawas tapi masih kosong belum diisi. Di sampulnya ada gambar cewek dengan pakaian bikini. Khas buku teka-teki silang jaman dulu. Aku pun menyerahkannya kepada Kim.
Nih, kerjain ini dulu deh, biar kamu beruap dan jadi kurus! kataku.
Kim nyengir. Ia mengambil pulpen. Dia lalu duduk di kursi teras sambil membawa teka-teki silang itu. Dia membolak-balikkan halamannya. Aku melihat arlojiku. Hmm...masih lama waktunya. Aku bisa menunggunya. Kecerdasan Kim bisa aku lihat dari cara dia menjawab teka-teki silang itu. Dia sangat cepat menulisnya. Satu halaman bisa diselesaikannya dalam waktu singkat.
Gampang-gampang pertanyaannya, katanya.
Aku mulai melihat uap air keluar dari tubuhnya. Nah, dia pasti habis ini bakal menyusut. Dan benar. Setelah lima belas menit dia mengubek-ubek isi dari teka-teki silang itu, akhirnya selesai semua. Terisi penuh dan dia sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Kayaknya butuh lebih banyak teka-teki silang deh. Dia kurusnya cuma sedikit.
Lumayan-lah kamu kurusan dikit, kataku. Berangkat aja deh. Nanti aku beliin kamu buku puzzle dan teka-teki silang biar lebih kurus lagi.
Di sekolah Kim pun mulai memperkenalkan diri. Papa ternyata sudah mendaftarkan Kim, hanya saja memang benar apa yang dikatakan oleh Kim, dia tidak bisa diterima dengan mudah di sekolah ini. Setelah ia memperkenalkan diri dan duduk di bangku yang kosong. Teman-teman sekelas pun agak heran dengan dirinya. Bukan masalah bentuk fisik Kim melainkan kenapa sekalipun kami sepupu berbeda sekali. Kim bisa berbicara dengan bahasa Inggris, Indonesia, Jerman, Belanda dan Perancis. Terutama soal pelajaran. Dudukku dengan Kim sejajar. Kebetulan saja ada bangku kosong di sebelahku. Selama pelajaran berlangsung dia sama sekali tak memperhatikan justru pikirannya seolah-olah melayang kemana-mana. Saat itulah aku melihat dia keluar keringat dingin. Waduh, dia pasti sedang mikirin sesuatu.
Aku butuh cemilan, Ton! ujarnya.
Heh, mana boleh makan di kelas?! kataku.
Nggak lucu kalau aku di kelas harus mikir dan mutar otak terus-terusan, katanya.
Emang kamu sedang mikirin apa?
Mikirin tentang banyak hal, seperti apa campuran kimia yang dikeluarkan oleh tinta spidol di papan tulis itu, ujarnya.
Mikir yang ringan aja, nggak lucu kalau kamu keluar kelas tiba-tiba kurus, kataku.
Kejeniusan Kim mulai terlihat ketika pelajaran Matematika. Ketika Pak Panca guru Matematika kami memberikan soal untuk dipecahkan. Kim pun mencoba untuk memberikan jawabannya. Pak Panca ini adalah satu-satunya Profesor di sekolahku. Dia telah menempuh pendidikan sampai S2. Orangnya memang sangat enak kalau mengajar. Terlebih lagi soal Matematika. Beliau selalu punya solusi untuk sebuah jawaban. Dan sekarang Pak Panca sedang memberikan soal-soal persamaan di papan tulis.
Ada yang bisa? tanya Pak Panca. Beliau ini mungkin melucu. Anak yang paling pintar di kelas ini namanya Herman. Dia saja nggak mengangkat tangan dan masih mikir. Kim mengangguk-angguk. Apa dia bisa? Oh iya. Biar lebih mantab aku percaya bahwa dia jenius, kenapa nggak Kim saja yang maju.
Kim maju! bisikku.
Kim pun reflek mengangkat tangan. Eh, beneran.
Oh, anak baru. Siapa tadi namanya? tanya Pak Panca.
Kim pak, kataku.
Seperti orang Korea, kata Pak Panca.
Bukan, Kim itu panggilan. Nama saya Arif Nur Hakim, ujar Kim.
Silakan maju, Kim! Pak Panca menyerahkan spidol kepada Kim.
Kim pun berdiri. Tubuhnya yang gemuk itu pun mulai berjalan geal-geol. Di dahi Kim muncul keringat dingin. Si pemilik tubuh super gendut itu pun menerima spidol dari Pak Panca. Lalu ia tulis sesuatu di papan tulis. Yaitu x = 5.
Ini pak jawabannya, ujar Kim.
Seluruh ruangan kelas tertawa. Pak Panca mengerutkan dahi. Apa maksudnya itu? Rumus-rumus persamaan itu cuma dijawab dengan x = 5? Tunggu dulu. Tidak begitu saja Kim menulis.
Dari mana bisa dapat jawaban itu, kamu jelaskan pakai rumus! kata Pak Panca. Coba, kamu sudah sampai mana belajarnya?
Ada banyak cara sebenarnya, tapi yang jelas jawabannya ini. Bapak mau cara yang panjang atau cara yang pendek? tanya Kim.
Pak Panca tertawa. Murid-murid yang lain juga tertawa. Aku tidak. Karena aku tahu apa yang akan terjadi. Semua teman-teman sekelas bakal dibuat bengong setelah ini. Sebab Kim itu bukan manusia biasa. Dia anak yang terkena radiasi nuklir ber-IQ sama seperti Einstein.
Baik-baik, cara yang panjang saja. Biar bapak sama semua teman-temanmu melihatnya, kata Pak Panca. Ia ingin menguji Kim.
Baiklah, ujar Kim.
Maka dimulailah pertunjukan ini. Aku bisa sedikit melihat uap air keluar dari rambut Kim yang basah. Kim pun mulai menulis di papan tulis. Entah rumus apa yang dia jelaskan. Pak Panca menunggu Kim selesai menulis. Aku yakin saat ini guru paruh baya itu sedang terbengong-bengong menyaksikan apa yang ditulis oleh Kim di papan tulis. Dan benar. Dia menggaruk-garuk janggutnya sambil mengerutkan dahi. Aku cuma tersenyum, hanya saja aku khawatir dengan kondisi Kim. Tidak lucu kalau sampai-sampai di depan kelas ia jadi kurus mendadak.
Setelah beberapa saat lamanya dia menulis di papan tulis, akhirnya Kim pun menyelesaikannya. Seluruh papan tulis penuh dengan tulisannya untuk menghasilkan persamaan x=5. Dan ini tidak lucu kukira. Semuanya terbalik, dari yang pertama kali menertawakan Kim sekarang terbengong-bengong melihat papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus yang hanya Pak Panca saja yang mengerti. Kim menyerahkan spidol kepada guru Matematika itu.
Kamu mendapatkan cara ini dari mana? tanya Pak Panca.
Baru saja, jawab Kim.
Iya, caranya benar. Tapi ini terlalu tinggi levelnya. Ini sudah level mahasiswa dan saya membuat desertasi dengan cara ini. Sebelum ini kamu sekolah di mana? tanya Pak Panca.
Di Hamburg, Jerman, pak, jawab Kim polos.
Seluruh mata menoleh kepada Kim. Pak Panca pun mengangguk-angguk. Dan aku tahu ekspresi wajah-wajah yang tadinya menertawakan Kim. Mereka seperti berkata What in the world is that?
Di hari pertama sekolah Kim langsung mendapatkan perhatian dari seluruh teman sekelas. Juga dari para guru-guru. Hal ini tentu saja membuat pamorku pun sedikit naik di mata semua orang. Aku punya sepupu yang jenius.
Setelah jam pelajaran pada hari itu habis. Aku pun bertanya kepada Kim ia ingin ikut ekskul mana. Dan aku tak yakin dia akan mau mengikuti ekskul yang berbau olahraga, sebab ha itu tidak ia butuhkan. Mungkin ia akan ikut ekskul keorganisasian seperti PMR, Pramuka atau mungkin mau mencoba beradu akting di ekskul teather.
Emangnya nggak ada ekskul yang lebih menarik yah? tanya Kim.
Misalnya? tanyaku.
Misalnya seperti Kreativitas Sains gitu?
Aku berpikir sejenak. Tak faham maksud dari ucapannya.
Maksudku seperti karya ilmiah, jelasnya.
Oh, aku mengerti maksudmu. Rasanya nggak ada, jawabku. Atau kau mau ikut ekskul beladiri atau olahraga?
Dengan tubuh seperti ini? Yang benar saja kamu. Aku bisa langsing tidak dengan cara seperti itu dan aku tak akan sanggup untuk bisa melakukannya, kata Kim. Sesuai dugaanku. Dia pun mengeluarkan sebungkus wafer dari sakunya dan mengunyahnya.
Susah kalau begitu, kataku.
Kira-kira boleh nggak ya kalau aku bikin sendiri gitu?
Wah, coba tanya Wakasek Kesiswaan. Beliau yang menjadi koordinator seluruh ekskul.
Ide bagus. Aku akan coba ke sana.
Ini udah siang bro, seluruh murid dan guru udah pulang. Tinggal yang ekskul saja yang ada di sekolah ini.
Ah iya, lupa. Ya udah deh, besok aja, Kim memakan lagi sepotong wafer.
Dari kejauhan aku melihat Yunita. Tampaknya ia sedang ikut ekskul PMR. Wah, melihat dia sedang berlatih membuat tandu darurat bikin aku deg-deg-ser. Aku sudah naksir dia semenjak masuk SMA. Tapi yah, namanya cinta searah, susah banget buat deketin dia. Belum apa-apa aku sudah takut duluan.
Iya, yang namanya cinta itu buta. Dan yang namanya cantik itu relatif. Aku tertarik kepada Yunita karena aku menganggap dia itu cantik. Kami dulu sekelas sebelum kemudian ketika naik kelas kami diacak. Kami berpisah di kelas dua ini. Tapi aku tetap menyapanya, tetap dekat juga sih.
Kau kenapa, koq bengong? tanya Kim.
Ah, nggak apa-apa, jawabku.
Kamu mau ekskul dulu? Pulang bareng? Kalau gitu aku mau ke perpustakaan aja buat ngisi waktu, ujar Kim.
OK, nanti kalau ekskulku sudah selesai latihannya aku akan susul kamu di perpustakaan, kataku.
Kim mengangguk setuju. Aku hanya bisa melihatnya pergi meninggalkanku dengan langkahnya yang kalau diibaratkan seperti bedebum, bedebum, bedebum. Tapi anaknya baik koq. Dia menyadari kekurangan dirinya. Paling tidak, sepupuku ini masih menyimpan banyak rahasia. Aku punya banyak pertanyaan untuk dia.
Setelah menghabiskan waktu berlatih ekskul basket bersama teman-temanku, aku pun segera menyusul Kim ke perpustakaan. Hari sudah mulai sore. Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aku masih memakai baju tim basket saat itu. Aku masuk ke perpustakaan mencari Kim. Tidak sulit untuk menemukannya. Meja tempat Kim berada dipenuhi tumpukan buku-buku yang menjulang. Apa ia baca semua buku-buku itu? Aku menghampirinya. Oh tidak.
Hai Ton, udah selesai? sapanya. Ini tidak lucu. Ia sekarang jadi kurus.
Kamu barusan ngapain? tanyaku. Ntar kalau orang-orang lihat kamu bagaimana?
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membaca buku-buku ini, kata Kim.
Sebanyak ini kamu baca semua? aku terbelalak melihat buku-buku yang ada di mejanya tebal-tebal semua. Anak ini memang benar-benar gila.
Kurang lebih tiga puluh buku aku sudah hafal, kata Kim.
Kau jangan bercanda, mana mungkin kamu hafal semua ini?
Aku belum bilang kepadamu. Selain aku punya kemampuan seperti yang sudah aku terangkan kepadamu. Aku pun punya ingatan fotografis. Menghafal satu halaman buku itu hanya butuh waktu satu detik. Aku pun bisa menceritakan kepadamu seluruh isi buku-buku ini, katanya dengan wajah polos.
Itu sebabnya kamu jadi kurus, aku manggut-manggut.
Trus bagaimana sekarang? tanya Kim.
Ya sudah, aku akan bonceng kamu. Kebetulan kamu jadi enteng sekarang, kataku.
Ini nggak dibalikin dulu? tanya Kim.
Ah, kelamaan biar petugas perpustakaan yang melakukannya! kataku sambil menggandeng tangannya. Kim sedikit mengencangkan ikat pinggangnya karena celananya sekarang kedodoran. Lebih tepatnya seluruh bajunya kedodoran.
Di luar perpustakaan kami berpapasan dengan seorang cewek. Dia pakai kacamata, wajahnya seperti keturunan Tiong Hoa. Namanya Lusi. Bukan sekelas denganku, tapi kalau soal juara kelas Lusi selalu juara kelas dan nilainya terbaik se-sekolahan. Dan selalu mendapatkan pujian dari guru-guru. Ia juga pernah ikut lomba olimpiade matematika ketika kelas satu dan jadi juara membawa pulang medali emas. Kalau ditanya apakah dia membayar SPP dan uang gedung, jawabannya ia sekolah di sini gratis karena dapat beasiswa tiap bulannya.
Lho, mau pulang Ton? tanya Lusi.
Iya, jawabku.
Itu siapa? Anak baru? tanyanya.
Iya, jawabku. Aku tak mau ia curiga dengan keberadaan Kim. Karena sekolah ini tidak siap dengan apa yang terjadi dengan Kim. Mereka semua bakal heboh kalau mengetahui kelainan yang diderita oleh Kim. Kim melambaikan tangan kepada Lusi. Cewek itu tersenyum manis kepada kami.
Singkat cerita, kami selamat. Dan sudah berada di atas jalan raya melaju dengan kecepatan penuh menuju rumah. Ini sebenarnya salah satu keuntunganku. Kondisi Kim sekarang berat badannya sedang ringan-ringannya. Jadi aku tak khawatir akan merusak sepeda motorku. Tapi ketika di jalan kami mampir dulu ke swalayan untuk membeli camilan bagi Kim. Sebab perutnya benar-benar mudah lapar. Setelah ia habiskan uangnya keluar membawa satu tas plastik besar berisi snack, kami melanjutkan perjalanan kami. Aku melarang dia makan di atas motor. Karena aku bersikeras kalau dalam kondisi dia sekurus ini, motorku bakal bisa melaju cepat. Dan ia pun akhirnya mengalah.
Seteleah sampai di rumah aku pun benar-benar lega. Kim langsung turun dari sepeda motor sambil membawa tas plastiknya. Mama tampak senang melihat kami sudah pulang dan agak terkejut melihat Kim yang kurus.
Wah, kamu habis ngapain? tanya mama.
Cuma baca-baca di perpustakaan koq tante, jawab Kim.
Dan dia menghafal seluruh buku-bukunya, sambungku.
Kim, kamu jangan selalu begini. Ingat teman-teman di sekolahmu itu belum siap menerima keadaanmu. Tante takut terjadi apa-apa dengamu, kata mama.
Iya, aku setuju, aku menimpali.
Iya, lain kali tidak akan aku ulangi. Seharian sekolah membuatku lapar. Sebenarnya aku tahan banget. Perutku sakit sekali, kata Kim.
Kak Luna tampak di ruang keluarga sedang menonton televisi. Melihat kedatangan Kim ia mengerutkan dahi. Ia juga heran dengan tubuh Kim yang kini kurus.
Wah, Kim! Kamu kalau seperti ini cakep juga ya, puji Kak Luna.
Yee, sama sepupu bilang cakep. Sama aku nggak pernah tuh bilang cakep, kataku. Kim menggeleng-geleng sambil tersenyum dan berlalu menuju ke kamarnya.
Emang bener koq, weekkk! Kak Luna menjulurkan lidah.
Koq nggak kuliah? tanyaku.
Nggak ada jadwal kuliah hari ini. Di rumah aja, katanya.
Aku langsung berlalu masuk ke kamarku. Setelah aku mandi dan ganti baju, kemudian langsung mengerjakan tugas sekolah. Hari itu tak ada yang istimewa selain mama dan papa menasehati Kim untuk tidak memperlihatkan sesuatu yang aneh di sekolah. Biarlah keanehan pada dirinya hanya keluarga ini yang mengetahui. Jangan sampai orang lain mengetahuinya. Sebab mereka belum siap. Bisa-bisa Kim bakal dijadikan bahan percobaan atau diculik atau yang lain. Kami tak bisa membayangkan andai itu terjadi.
Setelah makan malam. Aku mengajak Kim ke halaman belakang. Halaman belakang rumah kami ada sebuah kursi dan meja bundar terbuat dari marmer. Biasanya dipakai kami ketika ingin santai. Di halaman ini juga biasanya mama dan pembantu menjemur pakaian. Rerumputan tampak tercukur rapi oleh penjaga kebun. Sebuah box AC tampak terlihat di pojok tembok. Halaman ada tiga lampu yang berada di beberapa sudut untuk memperlihatkan kesan taman. Sayangnya halaman belakang ini terhalang rumah tetangga, sehingga kami tak bisa melihat apa-apa kecuali tembok menjulang.
Kim, aku sebenarnya memang terlalu apa ya namanya, serasa aneh dengan entah kau sebut kelebihan atau kekuranganmu. Hanya saja aku sejak dari dulu tertarik dengan hal-hal yang berbaukau tahu seperti cerita detektif. Nah, kemarin ketika aku bertanya tentang Kak Luna kuliah apa, engkau bisa menjawabnya. Aku ingin tahu pola berpikirmu, karena aku yakin kau bisa menjelaskannya kepadaku. Aku sampai sekarang masih penasaran bagaimana kau bisa tahu. Jujur tak ada satupun kira-kira petunjuk di ruang keluarga itu yang mengarah ke jawaban itu. Ataukah memang kau cuma ngawur saja? Tapi kurasan tidak, kataku.
Kim membawa sebungkus kacang dan sebungkus snack keripik kentang yang ia tadi beli di swalayan. Ia memasukkan dua buah keripik kentang ke mulutnya. Tubuhnya kini sudah gemuk lagi. Menurutku ini sesuatu yang cepat. Bahkan terlalu cepat bagi orang yang barusan kurus sekarang timbunan lemak tiba-tiba langsung terbentuk di tubuhnya. Aku pun masih berharap ini adalah mimpi dan cuma ada di dalam negeri dongeng. Tapi setiap kali aku menampar pipiku, rasanya sakit sekali.
Sebenarnya mudah kalau kau tahu cara berpikirku. Aku hanya mengumpulkan hal-hal yang aku perhatikan saja sewaktu masuk ke dalam rumah ini, kata Kim.
Contohnya? tanyaku.
Aku melihat stiker tertempel di jendela rumahmu, dan stiker itu yang memberitahukanku, jawab Kim.
Ah, aku ingat stiker itu. Stiker bertuliskan Fakultas Kedokteran dari kampus tempat Kak Luna kuliah. Jadi karena itu? Aku pun bertanya, Karena itu?
Sebagian, tapi itu hanya fakta kecil. Tidak bisa dijadikan acuan sebagai bukti. Sebab stiker itu bisa saja diberikan oleh orang lain. Aku sendiri terkadang diberi stiker oleh temanku, atau kau misalnya akan diberi stiker oleh seorang pegawai salah satu perusahaan media misalnya dan kamu tempelkan di kaca jendela mobil atau di motor atau di pintu. Seperti itu. Tapi fakta pertama itu tidak kuat. Kemudian aku sambung dengan fakta berikutnya yaitu tumpukan majalah di bawah meja, kata Kim.
Aku melirik ke arah tumpukan majalah di bawah meja.
Majalah itu ada yang aneh, yaitu sebuah buku tentang kedokteran. Dan buku ini tidak akan mungkin ada di rumah ini kecuali memang ada yang kuliah di jurusan kedokteran, jelas Kim. Dan fakta kedua ini lebih kuat dari fakta pertama. Fakta ketiga adalah tante dan Om Hartono sama sekali tidak berprofesi sebagai dokter. Maka dengan ini aku menyimpulkan Kak Luna kuliah di sana.
Aku pun puas mengangguk-angguk dengan penjelasan Kim, Luar biasa. Kau bisa tahu dengan cara semudah itu.
Aku cuma mengumpulkan fakta-fakta, siapapun pasti bisa. Kau juga bisa koq. Itu mudah, kata Kim sambil memasukkan keripik kentang kemulutnya lagi.
Tapi sejujurnya, kau cepat banget bisa gemuk lagi, kataku.
Untuk bisa gemuk lagi, paling tidak aku membutuhkan enam ribu kalori. Ini belum maksimal. Aku akan terus merasa lapar kalau kaloriku kurang dari ukuran itu. Dan tubuhku sangat cepat untuk mencerna makanan. Maka dari itulah aku selalu membeli snack dengan kalori tinggi, ujarnya. Aku tak bisa membayangkan hidup seperti Kim. Sangat merepotkan.
Kalau misalnya kamu nggak makan apa yang akan terjadi? tanyaku.
Nggak apa-apa sih, hanya saja dalam waktu satu jam, aku akan lemas. Satu jam setelah itu aku akan kehilangan kesadaran. Satu jam setelahnya mungkin aku akan mati, jawabnya dan dia tak mengubah nada bicaranya, seolah-olah soal mati itu sudah biasa.
Oh, aku tak tahu kalau bisa separah itu. Trus apa ada cara untuk sembuh? tanyaku.
Kim menggeleng. Sampai saat ini aku tak tahu. Bahkan ayahku saja tak tahu cara untuk mengobatinya. Sampai ia pun meninggal dunia.
Aku tak bisa membayangkan kalau menjadi dirimu. Tapi sejujurnya, aku mulai suka denganmu. Kau memang unik, paling tidak kau bisa membuat teman-temanku terpesona oleh kepintaranmu. Kau sempat membuat jengkel Herman. Dia selama ini selalu pintar dalam masalah matematika. Melihatmu mengerjakan soal tadi, dia pasti berkata dalam hatinya 'wah saingan berat nih'
Kami tertawa lepas. Kim ini orangnya lugu. Dan dia baik. Hanya saja aku belum mengenal dia lebih dalam lagi.
***~o~***