Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Katrin Dan Kasvin, Sesuatu Yang Tak Terduga

Pemcobel

Adik Semprot
Daftar
25 Jun 2014
Post
120
Like diterima
11
Bimabet
Sungguh tak pernah terbayang oleh Kasvin, dirinya bakal bersetubuh dengan Katrin, sahabat dekatnya sendiri. Walaupun itu persetubuhan yang dilandasi nafsu sekilat, namun keindahannya tiada tara. Mereka bercinta bagai sepasang kekasih yang telah lama tak memadu cinta. Entah siapa yang memulai, sehingga malam dingin itu terlewati dengan percintaan dahsyat berulang, yang membuat tubuh dan tulang mereka bagai terhempas pada titik terendah.

“ehm..hh..” desah Katrin, saat sekali lagi kontol Kasvin menyesak memeknya. Sementara tubuh mungil mulusnya yang sudah tak berlapis apapun itu, pasrah menahan gairahnya akibat remasan, usapan dan kecupan bibir Kasvin. Katrin merasakan kontol Kasvin yang panjang itu menojok hingga ke pangkal rahimmnya. Ia baru tahu kalau kontol Kasvin tak terlalu besar, namun cukup panjang. Cukup representatif bagi memeknya yang kecil. Katrin terpejam menikmati sodokan kontol itu.

Percintaan mereka tidak diawali dengan ritual yang aneh-aneh, karena mereka memang tidak merencanakan percintaan ini. Semua terjadi begitu saja.
“oh..” lagi katrin mendesah merasakan kontol kasvin menggoyang memeknya yang berbulu indah itu. Ia berusaha melakukan jepitan otot memeknya saat Kasvin menekan kontolnya, sehingga kasvin merasakan memek itu meremas kontolnya. Sesekali Kasvin menengahi pompaan kontolnya dengan mengisapi buah dada Katrin. Katrin cukup bangga dengan tubuhnya, meski bertubuh mungil, tapi dadanya cukup besar untuk ukuran tubuhnya, selain itu kulitnya mulus dan putih.

Katrin meraih pantat Kasvin, menginginkan sodokan lebih cepat dan dalam. Walau ia sudah merasakan ledakan orgasme klitoral, namun ia ingin orgasme vaginal yang lebih dahsyat, melalui rangsangan pada g-spotnya. Sementara Kasvin pun menginginkan hal serupa. Namun ia ingin percintaan yang lebih panjang. Ia ingin membuat sahabat yang sering curhat itu, benar-benar terpuaskan.

“ayohh,,vin,” pinta Katrin, menginginkan Kasvin menyerangnya lebih ganas. Kasvin tersenyum, ia menatap wajah Katrin yang sudah memerah, menahan gelombang kenikmatan yang mulai merasuki aliran pembuluh darahnya. Lalu dengan gairah yang sudah membumbung, Kasvin melakukan genjotan lebih cepat.
“ohhh...gitu, vin...ya...ouh” leguh Katrin. Tangannya meraih kepala Kasvin, meremas rambut ikal itu. Leguhan Katrin membuat, kasvin semakin bersemangat. Ia mengecup bibir Katrin yang penuh itu, menghisap mulut itu kencang.
“oupphhhss...” Katrin tersengal mendapat selingan itu.

Di luar hujan menyiram tiada henti dan kuat. Pondok tempat mereka bercinta berderik menaham hempasan angin. Persis pantat Katrin yang menahan hempasan genjotan Kasvin. Sesekali gelegar petir, menyiangi teriakan tertahan Katrin dan gemuruh nafas Kasvin. Daun-daun yang bergoyang dihempas angin, mengikuti goyangan dan tusukan kontolnya pada memek Katrin. Percintan panjang itupun sepertinya sebuah awal kisah mereka selanjutnya.

Tiga jam sebelumnya...

Mobil Angdes jenis carry yang menuju Desa Semoyo itu, berguncang keras. Jalan desa yang hanya disiram batu kali itu, membuat seisi mobil terloncat-loncat. Dalam mobil itu terdapat dua lekaki umuran 50an, satu anak kecil dan dua pasang pria dan wanita muda, umuran 25an. Di depan sang sopir menikmati ”indahnya” jalan dengan sesekali menghembuskan asap rokoknya.
”Masih jauh Pak, desanya?” tanya salah satu laki-laki muda kepada salah satu lelaki tua.
”Masih Mas, kira-kira 2 jam lagi...” jawab sang lelaki tua dengan semangat. Seketika salah satu wanita muda usia itu menyahut kaget
”Apa...? haduh bisa copot nih pinggang”
”Nyante aje San...” sahut wanita satunya disambut gelak tawa sepasang lelaki muda, entah tertawa untuk temannya atau metertawai diri mereka sendiri.

Mobil terus melaju kencang, menembus jalan berkelok, naik dan turun. Sang sopir terus menghembuskan rokoknya, sembari meneliti jalan desa yang kini sudah masuk ke kawasan hutan. Hawa sejuk hutan menerobos hidung. Begitu segar. Sesekali mobil terguncang keras lagi, sampai akhirnya disebuah tikungan tajam dan menurun, sang sopir sepertinya kehilangan kendali, mobil itu meluncur deras menurun. Menerobos semak belukar di yang tumbuh di pinggiran jalan. Se isi mobil terkejut dan berteriak ketakutan. Berusaha untuk berpegangan kuat agar tidak terbanting.

Mobil melaju semakin kencang, sebelum akhirnya masuk ke pinggiran sungai, setelah sempat menghantam pepohonan kecil sebesar lengan. Pohon-pohon itu justru menjadi rem dadakan. Mobil berhenti sempurna tempat di pinggir sungai yang airnya mengalir tenang dan bening. Seisi mobil berloncatan keluar. Syukur tak ada yang cidera parah. Mereka patut bersyukur pada semak dan pohon-pohon kecil yang menjadi ambal lembut untuk si mobil mendarat. Namun mereka tetap shock, benar-benar tak menyangka perjalanan mereka yang sudah lebih dari 3 jam itu, berakhir seperti ini.

Shock penumpang angdes ini seketika berubah menjadi kebingungan, ya, mereka bingung bagaimana mencapai Desa Semoyo. Perjalanan menggunakan mobil saja masih sekitar 1,5 jam lagi. Sementara mobil tidak bisa dipakai lagi karena ia mendarat di tepi sungai, sekira 100 meter dari pinggir jalan. Perlu mobil derek mengevakuasinya. Tapi di tengah jalan desa, di kawasan hutan begini mana ada mobil model itu. Ini kawasan tertinggal. Satu-satunya angdes yang meu masuk desa ini adalah mobil yang ditumpangi. Mau menghubungi siapa pun gak bisa, sinyal ponsel gak ada, ini blank area...

”Gimana ini Vin” tanya lelaki muda kepada cowok tinggi agak kurus namun berbahu lebar, yang ternyata bernama Kasvin. Kasvin menoleh ke temannya itu. Lalu matanya menyapu dua teman wanitanya, Katrin dan Viani.
”hmm, gimana ya Jo...” tanya balik. Lalu melanjutkan :
”Hari sudah semakin gelap nih, kita gak mungkin ngotot kesana,”
”Iya...” jawab Viani, sembari memegang tangan Jo. Mereka memang pacaran.
Kasvin mendekati si sopir, sesaat mereka seperti ngobrol serius. Sementara dua lelaki tua bersama anak kecil tampak mencuci muka di air sungai. Wajah mereka masih pucat pasi. Mereka duduk dibebatuan sembari bengong, tampaknya.


Tak lama kemudian, Kasvin mendekati teman-temanya. Menurut pak sopir, kurang lebih 1 jam perjalanan akan ada satu rumah penduduk. Di sana kalo mereka beruntung pemilik rumah sedang berada di rumah itu, karena biasanya pemilik rumah suka ke kebun mereka dan menginap di pondok mereka di sana. Mereka bisa meminjam angkong, yaitu sejenis angkutan petani yang ditarik sapi yang digunakan untuk mengangkat hasil kebun. Kalau berjalan tanpa henti mungkin Hanya itu informasi singkat dari sopir.

Setelah berembug, akhirnya keempat sekawan itu memutuskan untuk nekat melanjutkan perjalanan, karena bagi mereka menunggu di bibir sungai ini, sama saja gak jelasnya daripada mencoba nekat menembus jalan. Lagian mereka meniti jalan desa. Bukan hutan rimba. Hari semakin gelap, jam sudah menunjukan pukul 6.15. jalanan itu mulai sulit dilihat dengan mata telanjang. Suasana hutan memang menjadikan gelap lebih cepat datang.

Mereka sudah hampir sejam berjalan tanpa henti. Membelah kawasan hutan itu. Namun rumah yang dikatakan oleh si sopir belum juga terlihat. Kaki-kaki mereka sudah mulai menjerit kelelahan...
”Vin kita istirahat dulu ya,...” pinta Katrin.
”Tanggung Rin, bentar lagi..” jawab Kasvin
”Ya, Vin kita stop dulu, lagian buku-buku ini sangat berat,” Jo menyetujui saran Katrin.
”...hmmm lima menit lagi, kalo rumah itu gak keliatan juga, terpaksa kita nginep disini, oke?..” akhirnya Kasvin memutuskan.
Temannya tidak menjawab, tapi mengikuti langkah Kasvin. Kasvin memang sosok cowok yang bertanggungjawab, selintas ia kelihat cuek, tapi kalau sudah kenal, maka sosok ini menjadi sangat ramah dan perhatian. Karena itu banyak cewek-cewek yang suka dengannya. Namun Kasvin sepetinya es yang beku, ia tampak lebih serius di bidang sosial kemasyarakatan, yaitu membagikan buku-buku bacaan bagi daerah-daerah tertinggal. Ia sepertinya belum tertarik untuk mengenal lebih dalam seorang wanita. Ia cukup dikenal di kalangan pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan di kotanya, karena kegiatannya itu.

Kasvin melirik jam digital merk QnQ miliknya. Lima menit sudah berlalu. Namun rumah yang dijanjikan si sopir tidak juga terlihat. Sementara langit tiba-tiba berkilat terang diikuti oleh bunya gelegar petir
”Haduh...jangan hujan dong....” rengek Via.
”Iya, tuhan tolong dong, jangan hujan dulu,” timbal Katrin. Kasvin dan Jo hanya tersenyum geli mendengar rengekan dua gadis itu. Kasvin memperhatikan raut muka Kasvin yang terlihat sangat lelah, Namun demikian di balik jilab coklat muda itu, wajahnya masih terlihat enak dilihat, manis dan imut.

....................
bersambung....
 
makasih all... yang sudah menyemangati...
 
ayoo suhu... dilanjutin...
 
cuma ngecek, apakah banyak respon...ternyata sepi... jadi :( ... yo wis...
 
kelamaan sih... Kirain cerita baru, ngga taunya udah dari bulan agustus..
Mumpung TS nya lagi ol, coba lanjut lagi gan, secara ceritanya ini menjanjikan sebenarnya. :semangat:
 
Iya bro lnjutin dong ceritanya.. Kyanya ceritanya bkalan :mantap: nih.. :semangat: bro..
 
sambungan ......

"Aduh, bahaya kalau hujan..." Kasvin berujar dalam hati. Ia khawatir buku-buka yang dibawa akan kebasahan. Memang sih buku tersebut dibungkus rapi dan dilapisi plastic, sebelum dimasukan dalam kardus. Jumlahnya tak banyak hanya sekitar 200 eksemplar buku dari berbagai jenis bacaan. Ada cerita anak-anak, buku pertanian dan peternakan. Kasvin dan Jo masing-masing membawa 75 eksemplar sendangkan sisanya dibagi dua oleh Katrin dan Via.
Buku-buku ini memang baru sebagai target awal mereka, sebelum nanti akan dikirim dalam jumlah banyak. Kasvin ingin membuka jalan bagi para sponsor untuk dapat membantu desa yang akan mereka kunjungi ini. Ia masih memakai dana pribadi dan sedikit bantuan sahabat-sahabatnya yang berempati. Kalau sudah berhasil baru dia akan mengajukan proposal baik ke pemerintah maupun swasta yang mau membantu.
"Vin, udah mulai rintik nih,...bagaimana?" pertanyaan retoris dari bibir mungil tapi seksi milik Katrin.
Kasvin tersenyum. Ia melirik ke angkasa, langit semakin gelap, kilat senyap bersahut-sahutan. Kasvin sendiri sebenarnya sudah mulai gusar. Namun ia tak mau membuat teman-temannya panic.
"Lanjut aja ya, sesuai janji, lima menit kita pikirkan lagi..." jawab Kasvin sembari mengusap kepala Katrin. Kebiasaan yang memang sering dilakukannya untuk menenangkan cewek berbulu mata lentik itu. Katrin tersenyum. Senyum yang menyemangati Kasvin. Namun entah kenapa, melihat mata Katrin, Kasvin melihat sesuatu yang sulit ia narasikan. Dadanya seketika berdegup kencang. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di aliran darahnya. Tubuh mungil, yang selalu terbungkus hijab itu, terlihat –entah kenapa—menggoda kelelakiannya. Dari jari dan tangan serta wajah yang –hanya itu saja—yang ia lihat selama ini, Kasvin dapat membayangkan betapa mulusnya tubuh Katrin. Tiba-tiba ia membayangkan tubuh mungil itu tengah mengeliat-geliat di bawah tubuhnya.

ah..gila....apa sih ini" Kasvin mencoba membuang khayalan aneh yang gila yang tiba-tiba menyeruak. Ia semakin terkejut ketika --lagi-lagi-- kilasan kilat, satu petir lagi menggelegar kuat.
"waw....." teriak mereka berbarengan.
 
amankan pertamax.
Belum bisa ngasih kritik mas bro..
Kalo saran sih, update berikut tolong dipanjangin lagi, soalny gantung banget kisahnya.
Sampai sejauh ini sih aku rasa baru pengantar saja. Blm ada konflik
Dieksplor lebih jauh bakal keren nih cerita.
Lanjutkan saja apa yang sudah dimulai ini :semangat:
 
sori gan tadi kepotong, nih aku tambahi khusus buat agan chapista
buat yang komen makasih ya, walaupun masih banyak yang silent :

“Aduh, bahaya kalau hujan…” Kasvin berujar dalam hati. Ia khawatir buku-buka yang dibawa akan kebasahan. Memang sih buku tersebut dibungkus rapi dan dilapisi plastic, sebelum dimasukan dalam kardus. Jumlahnya tak banyak hanya sekitar 200 eksemplar buku dari berbagai jenis bacaan. Ada cerita anak-anak, buku pertanian dan peternakan. Kasvin dan Jo masing-masing membawa 75 eksemplar sendangkan sisanya dibagi dua oleh Katrin dan Via.

Buku-buku ini memang baru sebagai target awal mereka, sebelum nanti akan dikirim dalam jumlah banyak. Kasvin ingin membuka jalan bagi para sponsor untuk dapat membantu desa yang akan mereka kunjungi ini. Ia masih memakai dana pribadi dan sedikit bantuan sahabat-sahabatnya yang berempati. Kalau sudah berhasil baru dia akan mengajukan proposal baik ke pemerintah maupun swasta yang mau membantu.

“Vin, udah mulai rintik nih,…bagaimana?” pertanyaan retoris dari bibir mungil tapi seksi milik Katrin.
Kasvin tersenyum. Ia melirik ke angkasa, langit semakin gelap, kilat senyap bersahut-sahutan. Kasvin sendiri sebenarnya sudah mulai gusar. Namun ia tak mau membuat teman-temannya panik.

“Lanjut aja ya, sesuai janji, lima menit kita pikirkan lagi…” jawab Kasvin sembari mengusap kepala Katrin. Kebiasaan yang memang sering dilakukannya untuk menenangkan cewek berbulu mata lentik itu. Katrin tersenyum. Senyum yang menyemangati Kasvin. Namun entah kenapa, melihat mata Katrin, Kasvin melihat sesuatu yang sulit ia narasikan. Dadanya seketika berdegup kencang. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di aliran darahnya. Tubuh mungil, yang selalu terbungkus hijab itu, terlihat –entah kenapa—menggoda kelelakiannya. Dari jari dan tangan serta wajah yang –hanya itu saja—yang ia lihat selama ini, Kasvin dapat membayangkan betapa mulusnya tubuh Katrin. Tiba-tiba ia membayangkan tubuh mungil itu tengah mengeliat-geliat di bawah tubuhnya.

“ah..gila….apa sih ini” Kasvin mencoba membuang khayalan aneh yang gila yang tiba-tiba menyeruak. Ia semakin terkejut ketika --lagi-lagi-- kilasan kilat, satu petir lagi menggelegar kuat.

“waw…..” teriak mereka berbarengan.

Sesaat kemudian, rintik itu berubah menjadi bulir hujan, walaupun belum rapat, namun titik-titiknya mulai membekas di baju anak muda itu. Sementara Pondok yang dijanjikan si supir belum juga terlihat. Mereka sudah berjalan lebih dari waktu yang dibataskan oleh Kasvin.

“Jo..baiknya kita berhenti dulu, kesana…” Kasvin menunjuk ke bawah pohon mahoni besar di pinggir jalan. Mereka berempat berlarian kecil menyelamatkan diri dari bulir air hujan, yang sudah mulai merapat.
“Baiknya kita pake jas hujan ya…” usul Via. Tanpa dikomando mereka mengeluarkan senjata andalan di kala hujan itu.
“Bukunya dijaga ya, masih aman kan?” Tanya Kasvin
“Aman, sejauh ini aman kok,” jawab Jo, Via dan Katrin hanya mengiyakan.

Hujan semakin deras. Mereka akhirnya membuat perlindungan dari ranting pohon, lumayan menghindarkan air agar tidak langsung menetes ke tubuh mereka. Untungnya hujan ini tidak diikuti angin kencang, sehingga mereka cukup aman. Hujan semakin deras dan rapat, sementara hawa yang semakin dingin. Hujan sepertinya memang tak bersahabat.

Malam semakin mendekat, langit gelap akibat awan hujan semakin menghitam. Gelap kian menyelimuti karena matahari sudah selesai menunaikan tugasnya. Keempat anak manusia berpasangan itu, harus membiasakan diri dengan kegelapan. Sebenarnya Kasvin membawa senter, tapi ia sengaja tak menggunakannya. Cuma saat menunggu hujan seperti ini, rasanya menghidupkan senter, sia-sia belaka.

Hampir setengah jam mereka “terjebak” di bawah pohon dan “gubuk” dadakan itu. Hujan masih betah Tiba-tiba Jo terlonjak.
“Kenapa, kamu Jo?” setengah berteriak Katrin, mencoba melawan ramainya riak jatuhnya hujan.
“Itu-itu.. itu ada cahaya kecil…kayaknya itu cahaya lampu dari pondok yang dikatakan mamang supir..” jawab Jo, sambil berteriak juga.
“Iya-iya,… kayaknya itu dari pondok…” Kasvin membenarkan pendapat Jo.

Cahaya yang menari-nari bagai slow-motion itu, sepertinya berasal lampu teplok yang digantung di depan pondok. Kecil sekali, tapi cukup terlihat jelas dari jauh, apalagi dalam kegelapan seperti ini. Entah kebetulan yang sangat kebetulan, tiba-tiba saja hujan perlahan berhenti.

“Yo, kita kesana…” Ajak Kasvin. Sejenak kemudian mereka berempat perlahan meniti jalan tanah berbatu, yang sudah menjadi kubangan berlumpur yang licin.

Akhirnya senter Kasvin berguna juga. Beriringian mereka melangkah, Jo di depan sekali diikuti Via, Katrin dan Kasvin di belakang sekali. Selama perjalan menuju pondok itu, mereka terdiam. Entah sibuk dengan pikiran masing-masing, atau karena mereka sudah terlalu lelah untuk bicara. Bibir mereka serasa kelu karena melawan hawa dingin yang sudah menembus hingga ke tulang itu.

Mungkin ada setengah lebih mereka menyeret kaki mereka hingga akhirnya mereka tiba di pondok itu. Rupanya pondok tersebut cukup jauh, apalagi dengan harus meniti jalan licin nan becek. Tak sabar Jo langsung berteriak memberi salam. Tak lama muncul seorang nenek tua, dari balik pintu. Wajahnya memancarkan keterkejutan dan terkesan beku. Di tangan kirinya ia memegang obor yang membuat suasana semakin terang, tapi di tangan kanannya sekujur parang pemapas rumput sepanjang lebih dari satu meter berkilat-kilat diterpa cahaya obor. Jo yang berada paling depan, tak dapat menyembunyikan kagetnya.

“mma..malam Nek,…” katanya gugup
“Malam, siapa ya?” Tanya nenek itu, sembari melototi satu-satu rombongan yang sudah kelelahan dan kedinginan itu.
“eh, anu Nek, kami tadi tersesat dan kehujanan, boleh numpang berteduh..” Ujar Jo. Nenek itu tak berkedip, wajahnya masih membeku.
“dari mana anak-anak ini, kok malem-malem masih berkeliaran di hutan seperti ini,” Tanya Nenek itu, sembari memperhatikan Via dan Katrin yang sudah menggigil.
“Kami dari Kota Nek, tujuan kami mau ke desa, tapi tadi mobil kami jatuh ke sungai…” jelas Jo lagi. Ia sepertinya kepalang tanggung menjadi juru bicara.
‘ohhh….ya..ya…” Raut muka sang nenek langsung berubah, tidak membeku, seulas senyum kecil membias. Lalu ia menyuruh mereka duduk di bale-bale depan gubuk. Si nenek meletak obornya di tiang depan pondok itu. Lalu mematikan lampu teploknya dan meletakan parang panjang itu.
“Kami boleh bermalam disini Nek?” Tanya Katrin meminta kepastian. Si nenek menoleh ke arahnya.
“Boleh saja, tapi pondok nenek kecil Nak..”

..............................

Malam semakin melarut, pondok kecil itu tiba-tiba menjadi ramai dengan perbincangan hangat dt tengah temaram lampu teplok satu-satunya di dalam rumah itu. Nenek Rumi, si pemilik pondok ternyata sangat ramah. Anak-anak muda itu sungguh beruntung, dapat bertemu dengan nenek Rumi.

“hmmm… air jahenya enak Nek…” Katrin memuji tulus wedang asli bikin nenek Rumi. Hangatnya wedang jahe racikan nek Rumi sedikit banyak mampu mengusir dingin. Mereka juga sempat menikmati ubi rebus yang kebetulan baru saja di masak. Suasana semakin hangat karena tungku memasak nenek Rumi juga menebarkan hawa yang hangat pula dari arah darpur.

Sesuatu yang unik ternyata pondok nenek Rumi tidak sekecil yang dikira, bahkan lebih cocok di sebuat rumah minimalis, karena ternyata pondok ini mempunyai ruang tamu –walaupun sangat sempit, dua bilik kamar, ada kamar mandi pula. Hanya saja memang semua terbuat dari anyaman bambu. Hmm…namun sangat-sangat bisa sekali untuk menjadi tempat beristirahat. Kasvin melirik jam tangannya, jarum jam sudah menunjuk angka 9 lewat 10. Kantuk berat sudah menyerang mereka. Nenek Rumi sendiri sudah berbaring di ruang tamu beralaskan kasur kapuk yang sudah kempes.

“Nenek kok tidur disitu Nek?” Tanya Via
“Eh, gak apa-apa nak, nenek sudah biasa tidur disini, kalian tidur di kamar saja ya. Bagi saja sendiri.” Jawab Nenek Rumi.
“lho kok gitu nek,..” Sergah Kasvin
“udah istirahat sana,” ujar nenek Rumi, sembari menarik selimutnya.

Udara semakin dingin, sementara hujan kembali mendera. Satu per satu air itu berjatuhan perlahan semakin rapat dan lebat. Lima belas menit kemudian Nenek Rumi sepertinya sudah terlelap. Berbincangan hangat justru kembali muncul ketika Via dan Jo ingin tidur sekamar…! Sejoli itu tampak sudah merencanakan sesuatu.
“Ye…gimana Vi…?” protes Katrin
“udah deh, kalian tidur sekamar, lagian Kasvin juga jinak tuh…” lirik Via nakal kea rah Kasvin. Kasvin tersenyum geli. Tanpa menunggu jawaban Katrin, Via menarik tangan Jo menuju kamar depan. Kasvin menatap Katrin yang hanya bengong. Mereka saling pandang.
“jadi?..” Tanya Kasvin
“Ya, gak jadi-jadian,” jawab Katrin, lalu :
“emang Kamu mau tidur di luar?”
“ya kalau kamu tega, terpaksa deh…” jawab Kasvin. Sebentar kemudian terdengar suara petir menggelegar.
“Ya udah deh, kita istirharat saja yok, udah semakin larut perjalanan masih panjang…” ajak Kasvin. Katrin mengangguk. Lalu ia masuk kamar duluan disusul Kasvin. Tak ada kasur hanya ada tikar yang sudah buruk. Untunglah ada selimut yang sepertinya sudah lama sekali umurnya tapi bersih. Kasvin membentangkan selimut itu menutupi tikar itu, sehingga menjadi lebih enak ditiduri.

“Kamu mau sebelah kanan atau kiri?” tanyanya pada Katrin
“Kiri aja,” jawab Katrin memilih tempat yang dindingnya berbatasan dengan kamar sebelah yang ditiduri Via dan Jo. Lalu tanpa basa basi ia lansung menjatuhkan tubuhnya disana. Saat itulah sebersit betisnya yang putih mulus terlihat oleh Katrin, dalam keremangan mata Kasvin bisa melihatnya. Cahaya lampu teplok memang sedikit merebos dari sela-sela dinding. Katrin memang sudah mengganti jeans nya dengan kain panjang, sementara atasanya ia menggunakan kaos putih lengan panjang tapi berbahan agak tipis, memperlihatkan sedikit bentuk dadanya yang ditutupi bh hitamnya. Tidak terlalu besar tapi proposional dan kencang. Tubuh mungil itu beringsut mencari posisi yang enak.

Sementara Kasvin sendiri masih berdiri, ia mengeluarkan celana boxernya. Ia terbiasa tidur dengan celana boxer tanpa celana dalam. Kasvin bingung sendiri. Suasana seperti ini bisa membuatnya malah tidak bisa tidur. Bagaimana mau tidur kalau disebelah ada cewek manis dan suasana mendukung untuk memenuhi godaan syetan. Ahhh... ada-ada saja. Ia mengganti celana gunungnya dengan celana boxernya. K*nt*l nya terasa bebas.

“Ih, kamu gak akan memperkosa aku kan?” canda Katrin
“weee… siapa lagi yang nolak….hahahaha” jawab Kasvin.
Blaarrrr… Petir menyahut. Mereka terkikik.
“Udah ah, tidur yo, Vin…” ajak Katrin
“Vin, karena bantalnya Cuma satu, aku aja yang pake ya…” kata Katrin lagi.
“Ya,,,lah, masa kita tidur satu bantal…” jawab Kasvin
“ih… itu maunya kamu…” balas Katrin.

Kasvin terseyum lalu mengambil tasnya dan menjadikannya bantal. Mereka tidur bersisian, karena tempatnya memang sempit, sesekali tangan Kasvin tersentuh bagian tubuh Katrin. Katrin merasakan hangatnya tangan itu panas dan keras. Suasana ini sebenarnya membuat hayalan Kasvin tadi sore tiba-tiba muncul lagi. Ia merasakan denyut di dadanya semakin cepat dan di selangkangannya semakin mengeras.

Suasana semakin dingin ditemani riuh hujan dan gelegar petir.

Belum lima menit mereka berbaring, perlahan tapi pasti, sayup mereka mendengar suara aneh di kamar sebelah. Katrin dan Kasvin saling pandang memastikan suara itu.

“Gila Jo sama Via, pasti mereka tengah…” Kasvin urung melanjutkan kata-katanya karena ia merasakan ada jari lembut menempel dimulutnya. Gadis mungil itu tersenyum. Tanpa dikomando mereka bangkit dari tidur dan segera mencari celah untuk mengintip aktivitas Jo dan Via. Benar saja dua sejoli tengah bergulat dan kondisi setengah telanjang…………!

...................
bersambung
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Mungkin ada setengah lebih mereka menyeret kaki mereka hingga akhirnya mereka tiba di pondok itu. << setengah lebih apa ya suhu? Jam apa km?

Setengah jam... maaf biasa kalo nulis suka ada kt yg ketinggalan
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd