Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 59. Rencana Adibah

Randy menatap wajah orang yang membukakan pintu dengan nanar. Yang ditatap juga tak kalah terkejutnya dengan Randy.

"Ngapain kamu ke sini hah?!" seru seorang wanita yang ada di hadapannya.

Randy menghembuskan nafas berat. Kenapa di saat seperti ini dia harus bertemu dengan nenek lampir. Sejenak arah pandangan Randy menuju ke belakang punggung perempuan itu. Tujuannya datang kemari untuk bertemu dengan Sari.

"Sari yang nyuruh Randy dateng ke sini kok Bun," ucap Sari kepada ibunya.

Adibah pun beralih menatap Sari. Dia tidak habis pikir dengan rencana anak pertamanya itu. Awalnya dia datang ke situ untuk menjenguk menantunya yang habis kecelakaan. Tapi yang didapati justru pertemuan yang tidak terduga.

"Buat apa kamu undang anak berandal ini datang kemari?!"

"Duduk dulu bunda. Nanti akan Sari jelaskan di dalam. Ini berkaitan dengan Annisa."

Adibah mendengus kesal. Dia punya firasat bahwa Sari sedang bersekongkol dengan Randy dan adiknya untuk mendapatkan restu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, karena diam-diam dia sudah merencanakan acara khitbah antara Annisa dan kiai Jamal.

Saat mereka duduk di sofa ruang tamu, sesekali Adibah melemparkan tatapan tak bersahabat kepada Randy. Pria itu hanya membalasnya dengan wajah datar.

"Annisa!" panggil Sari ke arah dalam.

Merasa dipanggil perempuan yang tengah mengenakan jilbab putih dengan dress yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan datang ke ruang tempat mereka berkumpul.

Langkahnya tiba-tiba berhenti melihat seorang pria yang amat sangat dia cintai sedang duduk berseberangan dengan ibunya. Jantungnya berdegup kencang. Sari memang sengaja tidak memberi tahu Annisa akan kedatangan Randy.

Perempuan itu pasti akan menolak dengan dalih belum siap, padahal usia kandungannya sudah semakin bertambah dan Adibah harus segera mengetahuinya.

"Nisa, duduk sini samping kakak!" perintah Sari sambil menepuk-nepuk permukaan sofa di sebelahnya.

Dengan ragu-ragu Annisa menuruti perkataan kakaknya itu. Dia berjalan sambil menunduk tidak berani menatap mata sang ibu.

Setelah mereka berempat duduk, barulah Sari membuka pembicaraan. Adibah tampak memangku pahanya di atas paha yang lain dan melipat kedua telapak tangannya di atas lutut.

"Jadi tujuan Sari mengumpulkan bunda, Annisa, dan Randy ke sini itu untuk membahas tentang masa depan Annisa. Sari berharap bunda mau mempertimbangkan ulang keputusan bunda yang akan menjodohkan Annisa dengan kiai Jamal," jelas Sari dengan pelan-pelan

Dia tahu Adibah orang yang sangat keras. Tidak mudah untuk mengubah pendiriannya, jadi dia harus melakukannya dengan hati-hati.

"Tidak bisa! Keputusan bunda sudah bulat. Annisa tetap akan menikah dengan kiai Jamal," sergah Adibah tidak dapat diganggu gugat.

"Bunda, asalkan bunda tau. Annisa dan Randy saling mencintai. Randy bahkan sampai bela-belain belajar ngaji untuk bisa masuk dalam kriteria bunda."

"Cinta-cintaan yang kamu bahas?! Mau makan apa dengan cinta? Bunda gak akan ambil resiko Annisa nikah sama orang yang gak jelas macam dia," tunjuk Adibah ke arah Randy dengan bola mata yang nyaris keluar.

"Bunda, Randy bukan orang yang gak jelas. Dia orang yang sedang dalam masa berhijrah. Sari yakin kok kalo dia bisa berubah dan bimbing Annisa di jalan yang benar," ujar Sari terus membujuknya.

"Kamu gak tau apa-apa tentang lelaki ini! Dia itu..."

Ucapannya terhenti ketika dia hampir saja membocorkan rahasia yang pernah terjadi antara dirinya dan Randy.

"Dia itu apa?" tanya Sari penasaran dengan kelanjutannya.

"Dia...dia laki-laki yang menyimpang!" tukas Adibah kemudian.

Mendengar ucapan wanita itu membuat telinga Randy panas. Dia pun berdiri dan menunjuk tepat ke arah muka dari calon mertuanya itu.

"Hey, jaga ucapan anda teh! Dari tadi saya diam karena saya masih menghormati anda. Tapi saya tidak terima kalau anda memfitnah saya mempunyai penyimpangan! Atau mungkin kata-kata anda ditujukan ke orang lain yang suka memakan sesuatu yang tak lazim," sindir Randy yang dengan telak langsung mendarat di dada Adibah.

Wajah wanita itu langsung berubah pucat. Tidak dipungkiri bahwa dia takut akan Randy yang membocorkan rahasia tentang dirinya dan kiai Jamal. Tapi egonya selalu menang atas rasa takutnya. Dia malah balik menantang Randy, lagipula lelaki itu tidak punya bukti kalau dia ingin macam-macam.

"Jaga bicara mu! Apa itu yang dilakukan oleh seorang pria yang sedang meminta restu?! Dari sini saja saya yakin akan keputusan saya!"

Melihat ketegangan antara dua orang itu, Sari kemudian langsung melerai. Dia tarik tangan Randy agar kembali duduk. Sari juga tidak berekspektasi akan respon yang ditunjukkan oleh Randy. Annisa pun syok melihat pertengkaran itu. Dia semakin pesimis untuk mendapatkan restu dari ibunya.

"Tenang! Ada satu lagi yang belum disampaikan. Ini mengenai keadaan Annisa saat ini."

Adibah juga kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Sari.

Sejenak Sari melirik ke arah Annisa yang masih belum berani untuk mengangkat wajahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. Arah pandangan Sari kembali ke Adibah.

"Annisa sekarang tengah mengandung anak dari Randy," ujar Sari sambil memperhatikan perubahan raut wajah ibunya.

Benar saja, setelah mendengar kalimat itu sontak Adibah membulatkan bola matanya sempurna dengan mulut terbuka.

"APAAA...?!" seru Adibah yang membuat ketika manusia itu terkejut.

Annisa reflek menatap wajah ibunya yang penuh kekecewaan terhadapnya.

"Annisa! Apa benar yang dikatakan kakak mu ini?!"

"I...iya bunda. M...maafin Nisa," ujarnya seraya bersimpuh di hadapan orang yang telah melahirkannya hampir dua puluh tahun yang lalu.

Annisa menangis meminta maaf di atas kaki ibunya. Adibah hanya bisa diam membeku tidak percaya akan kenyataan yang baru saja ia dengar.

"Kenapa Annisa?! Kamu berhubungan badan dengan lelaki itu lagi?! Dulu kamu juga minta maaf dengan cara yang sama, tapi apa?! Kamu melakukannya lagi! Apa gunanya permintaan maaf kamu Annisa...?!"

Annisa masih terus menangis tanpa menimpali perkataan ibunya. Dada Adibah menjadi sesak. Sekarang dia kembali dipusingkan dengan masalah baru. Bagaimana mungkin kiai Jamal menerima anak yang bukan dari dirinya sendiri?

"Maaf bunda. Maafin Nisa!"

Kembali yang keluar hanya kata maaf. Annisa tidak punya pembelaan apapun. Dia mengakui kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya.

Pandangan Adibah beralih ke arah Randy. Didekatinya lelaki itu dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.

"Dasar laki-laki baj*ngan...!!!"

Plakkk...!!!

Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Randy. Hal itu membuat Sari dan Annisa terkejut.

"Kamu sudah buat anak saya menderita! Kamu sudah menghancurkan masa depan anak saya! Kamu harus diberi pelajaran!"

Kembali satu tamparan dilayangkan oleh Adibah kepada Randy namun kali ini pergelangan tangannya berhasil ditangkap oleh pria itu.

"Asal teteh tau. Saya melakukan hal itu dengan Annisa atas dasar suka sama suka tidak ada unsur pemaksaan sama sekali," sanggah Randy.

"Dan semua itu sudah terjadi. Annisa sedang mengandung anak saya. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Apakah kiai Jamal akan menerima seorang wanita yang tengah mengandung anak lelaki lain?"

Adibah melotot ke arah Randy. Kalimat terakhir darinya mampu membuat Adibah mati kutu. Wanita itu pun dengan kasar menarik tangannya dari genggaman tangan Randy.

"Diam kamu! Pokoknya sampai kapanpun saya tidak akan merestui hubungan kalian! Saya tidak sudi punya menantu seperti kamu! Paham!" ucap Adibah yang kemudian menarik tangan Annisa untuk berdiri.

"Ayo Annisa, kita pulang aja dari sini! Dan kamu Sari! Bunda kecewa sama kamu. Kamu bukannya memihak bunda malah memihak lelaki ini."

"Bukan begitu bunda, tapi..."

"Alah udah! Bunda gak mau denger penjelasan dari kamu lagi!"

Adibah menarik tangan Annisa sedikit kasar sehingga membuat anaknya memekik kesakitan.

Melihat kekasihnya menderita, Randy berusaha untuk melepaskan pegangan tangan Adibah kepada Annisa namun ibunya itu langsung menepisnya.

"Udah Ran, aku gak papa. Jaga diri mu baik-baik," ujar Annisa penuh getir.

Randy terpaksa membiarkan Adibah membawa Annisa. Sejenak saat berada di pintu wanita itu menoleh ke belakang dengan senyum yang dipaksakan dan air mata mengalir di kedua pipinya.

Pria itu kembali terduduk sambil mengusap wajahnya kasar. Kenapa di saat seperti ini dia hanya bisa diam membiarkan wanita iblis itu membawa kekasihnya.

Sari ikut duduk di sampingnya. Dia lipat kedua tangannya di atas paha sembari menghela nafas dalam.

"Kamu yang sabar ya. Bunda memang gak bisa di paksakan seperti itu. Tapi mbak yakin suatu saat pasti hatinya akan luluh juga."

Sesaat Randy melirik ke arah Sari.

"Apa mbak yakin?"

Sari menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia juga tidak yakin akan ucapannya itu. Sangat sulit merubah pendiriannya dari ibunya.

"Kalau semisal kamu gak jadi sama Annisa, apa yang kamu lakukan?" tanya Sari kemudian.

"Mungkin Randy bawa kabur Annisa aja."

"Hah?!" respon Sari kaget.

"Hehehe...cuma becanda kok mbak. Randy punya seribu cara buat teteh nerima Randy."

"Huh...dasar! Terus gimana caranya?" tanya Sari penasaran.

"Ada deh. Mungkin ini satu-satunya cara, tapi Randy belum bisa kasih tau sekarang."

"Kenapa?"

"Nanti juga mbak bakalan tau."

Sari mendengus kesal. Tapi dia tetap mempercayakan hal itu pada Randy.

"Oh ya...om Pram gimana kabarnya?"

"Dia udah baikan tapi belum bisa jalan soalnya kakinya patah. Jadi kebanyakan buat tidur aja," beber Sari.

"Gimana kelanjutannya hubungan mbak sama suami mbak?"

"Entahlah. Untuk saat ini mbak belum bisa memutuskan."

"Oh iya...sebelum lupa Randy punya informasi tentang kasus kecelakaan om Pram."

"Informasi?" ujar Sari memastikan.

Randy mengangguk. Dia lalu menjelaskan tentang kejadian yang diceritakan oleh Dewi tempo hari mengenai latar belakang kecelakaan yang menimpa mereka berdua.

Sari tercengang mendengar penjelasan dari Randy. Sekarang dia mulai paham dengan perubahan perilaku suaminya saat berada di rumah sakit.

Pantas saja Pram sama sekali tidak terlihat khawatir pada selingkuhannya itu yang sama-sama terluka dan dirawat di ruang lain.

Pantas saja Pram mengemis-ngemis cinta padanya setelah sebelumnya dia diabaikan dan ditinggalkan begitu saja demi selingkuhannya.

Ternyata ada sebuah pertengkaran besar sebelum kecelakaan itu terjadi. Hal itu membuat luka yang ditorehkan oleh suaminya kembali terbuka.

Suaminya meminta rujuk karena dia telah dikecewakan oleh Dewi bukan karena dia sadar dan masih mencintai Sari.

Kenyataan itu semakin membuat dirinya mantap ingin bercerai. Baginya tidak ada lagi kesempatan untuk kembali merajut rumah tangga yang telah hancur berkeping-keping.

"Terima kasih Ran, kamu udah kasih tau tentang kejadian yang sebenarnya."

"Mbak gak papa kan?" tanya Randy yang melihat perubahan ekspresi wajah Sari yang muram.

"Iya gak papa Ran."

"Kalo mbak butuh apa-apa jangan segan-segan hubungi Randy."

Sari tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Kalo gitu Randy pamit dulu."

Pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti oleh Sari di belakangnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Randy pun pergi dengan menggunakan motor kesayangannya. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, Sari kemudian mengambil benda pipih miliknya. Menggulir beberapa saat untuk mencari sebuah kontak bernama 'pak Ginanjar'. Entah kenapa dia jadi teringat dengan laki-laki itu.

"Halo?" sapa dari seberang.

"Halo pak Ginanjar?"

"Oh iya Bu Sari. Ada yang bisa saya bantu?"

Suara lelaki itu berubah jadi lebih bersemangat.

"Apa bapak sedang sibuk?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Untuk ibu, saya akan selalu meluangkan waktu."

"Hmm?" Sari merasa heran dengan ucapan Ginanjar.

"M...maksud saya kalau ibu menghubungi pasti ada hal yang penting. Jadi saya akan selalu memiliki waktu untuk berbicara dengan ibu," jelas Ginanjar.

Sari hanya menimpali sekenanya. Dia kemudian menceritakan tentang kejadian yang dikatakan oleh Randy. Pesan berantai itu akhirnya sampai juga di telinga Ginanjar. Pria paruh baya itu yakni, sebaik apapun bawahannya tidak ada yang bisa mengorek informasi sedetail ini.

"Begitulah pak kejadiannya. Jadi bisa dipastikan bahwa janin yang dikandung oleh istri bapak bukanlah anak dari suami saya."

Di depan meja kerjanya Ginanjar tampak mengusap-usap dagunya sambil berpikir ulang. Kalau janin itu bukan anak dari Pram, berarti siapa lelaki lain yang telah berhubungan dengan istrinya? Dia masih tidak yakin kalau anak itu benar-benar darah dagingnya.

"Lalu bagaimana dengan ibu sendiri?"

"Saya?"

"Iya. Maksud saya bagaimana dengan keputusan ibu, apakah tetap akan melanjutkan pernikahan atau ibu memutuskan untuk bercerai?"

Sari terdiam menelan salivanya sendiri. Kenapa Ginanjar malah bertanya tentang hal semacam itu? Bukankah itu adalah privasinya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu.

Beberapa saat tidak mendapat jawaban dari lawan bicaranya membuat Ginanjar cemas. Dia merutuki dirinya sendiri karena menanyakan hal yang tidak etis.

"Maafkan saya apabila pertanyaan saya menyinggung Bu Sari. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan rumah tangga ibu, saya hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi kalau ibu sampai bercerai dengan suami ibu," ujarnya meralat perkataan sebelumnya.

"Tidak papa pak, saya mengerti. Untuk hal itu saya belum bisa memutuskan apa-apa. Jadi tidak ada yang bisa saya katakan lebih banyak lagi."

Sungguh saat itu Sari ingin segera menutup telponnya karena semua informasi sudah dia katakan terhadap lelaki itu, tapi Ginanjar seolah masih ingin mengobrol dengan cara mencari topik pembicaraan.

"Baiklah kalau begitu. Emm...hari Minggu depan apakah ibu ada waktu?"

Sari kembali tertegun.

"Memangnya kenapa ya pak?"

"Saya ingin mengundang ibu untuk sekedar minum teh dan mengobrol. Saya hanya merasa bahwa kita senasib. Mungkin kita bisa bertukar pikiran. Jujur saya ada unek-unek yang memenuhi otak saya tapi saya tidak tahu mau cerita kemana."

Sari semakin tidak mengerti arah pembicaraan Ginanjar. Dia tidak merasa sedekat itu dengannya untuk berbagi rasa, tapi di hatinya ada rasa tidak enak untuk menolak.

"Baiklah saya akan pikirkan lagi tawaran bapak. Sekarang saya tutup telepon dulu. Ada sesuatu yang harus saya lakukan. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Setelah Ginanjar membalas salamnya, dia langsung menutup telepon. Dalam hati dia bertanya-tanya tentang maksud Ginanjar. Sari merasa ada maksud terselubung dari suami selingkuhan suaminya tapi dia kembali membuang jauh-jauh pikiran itu.

•••
Di tempat lain Adibah kembali dipusingkan dengan masalah baru. Kini Annisa tengah mengandung anak dari seorang lelaki brengsek seperti Randy. Tidak mungkin kiai Jamal mau menerima kondisi Annisa saat ini.

Satu-satunya cara agar pernikahan antara kiai Jamal dan Annisa tetap dapat terlaksana adalah dengan membuat kiai Jamal menganggap bahwa janin dalam kandungan Annisa adalah anaknya.

Sampai saat ini kondisi tubuh Annisa masih belum terlalu terlihat bahwa dia sedang hamil meskipun badannya agak sedikit melar. Untuk masalah usia kandungan Annisa, dia akan menyuap dokter untuk berbicara seperti apa yang dia inginkan.

Jadi rencananya kini adalah bagaimana cara untuk membuat kiai Jamal menanamkan benihnya di dalam rahim Annisa. Dengan begitu kiai Jamal akan menganggap bahwa Annisa mengandung anaknya.

Sejenak Adibah memangku dagunya dengan telapak tangan sambil berpikir mengenai rencana yang harus dia lakukan selanjutnya.

Satu per satu algoritma mulai tersusun di kepala Adibah. Rencana yang sedikit terlihat kejam tapi demi tercapainya tujuan, Adibah rela melakukannya.

"Hanya sekali...tidak ada pilihan lain," ucapnya dalam hati.

"Maafkan bunda, Annisa!"

To Be Continue...
 
Banyak yang baca tapi kentang hu hihihi konflik trus kasih penyegaran dikit lah ewe icha atau anisa lagi hehe atau ewe adibah lagi buat dia nurut sama randy wkwkwk
Oke besok-besok deh suhu
Alurnya lebih terasa pas sama icha daripada sama sari
Iya kan Randy sama Icha ada ikatan dari Aira kalo Sari gak ada
Bukan sepi suhu, lagi nyiapin mental buat meresapi kelanjutan jalan cerita mahakarya ini... Karena plot twist yg memang tampaknya berulang kali berputar sehingga membuat kami perlu menebak langkah apa yg akan diambil oleh sang tokoh utama dalam menggapai asa dan rasa yg telah terpatri kepada semua hati yg sengaja dipupuk
:beer::beer::beer:
Terima kasih suhu 🙏
jeng jeng jeng.. dan ternyata yg membukakan pintu ternyata adalaaaah.. debt collector akulaku.. randy beloman bayar cicilan HP.. :p:p:p
Enak aja suhu. Randy beli HP-nya cast dong 🤣
 
Part 59. Rencana Adibah

Randy menatap wajah orang yang membukakan pintu dengan nanar. Yang ditatap juga tak kalah terkejutnya dengan Randy.

"Ngapain kamu ke sini hah?!" seru seorang wanita yang ada di hadapannya.

Randy menghembuskan nafas berat. Kenapa di saat seperti ini dia harus bertemu dengan nenek lampir. Sejenak arah pandangan Randy menuju ke belakang punggung perempuan itu. Tujuannya datang kemari untuk bertemu dengan Sari.

"Sari yang nyuruh Randy dateng ke sini kok Bun," ucap Sari kepada ibunya.

Adibah pun beralih menatap Sari. Dia tidak habis pikir dengan rencana anak pertamanya itu. Awalnya dia datang ke situ untuk menjenguk menantunya yang habis kecelakaan. Tapi yang didapati justru pertemuan yang tidak terduga.

"Buat apa kamu undang anak berandal ini datang kemari?!"

"Duduk dulu bunda. Nanti akan Sari jelaskan di dalam. Ini berkaitan dengan Annisa."

Adibah mendengus kesal. Dia punya firasat bahwa Sari sedang bersekongkol dengan Randy dan adiknya untuk mendapatkan restu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, karena diam-diam dia sudah merencanakan acara khitbah antara Annisa dan kiai Jamal.

Saat mereka duduk di sofa ruang tamu, sesekali Adibah melemparkan tatapan tak bersahabat kepada Randy. Pria itu hanya membalasnya dengan wajah datar.

"Annisa!" panggil Sari ke arah dalam.

Merasa dipanggil perempuan yang tengah mengenakan jilbab putih dengan dress yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan datang ke ruang tempat mereka berkumpul.

Langkahnya tiba-tiba berhenti melihat seorang pria yang amat sangat dia cintai sedang duduk berseberangan dengan ibunya. Jantungnya berdegup kencang. Sari memang sengaja tidak memberi tahu Annisa akan kedatangan Randy.

Perempuan itu pasti akan menolak dengan dalih belum siap, padahal usia kandungannya sudah semakin bertambah dan Adibah harus segera mengetahuinya.

"Nisa, duduk sini samping kakak!" perintah Sari sambil menepuk-nepuk permukaan sofa di sebelahnya.

Dengan ragu-ragu Annisa menuruti perkataan kakaknya itu. Dia berjalan sambil menunduk tidak berani menatap mata sang ibu.

Setelah mereka berempat duduk, barulah Sari membuka pembicaraan. Adibah tampak memangku pahanya di atas paha yang lain dan melipat kedua telapak tangannya di atas lutut.

"Jadi tujuan Sari mengumpulkan bunda, Annisa, dan Randy ke sini itu untuk membahas tentang masa depan Annisa. Sari berharap bunda mau mempertimbangkan ulang keputusan bunda yang akan menjodohkan Annisa dengan kiai Jamal," jelas Sari dengan pelan-pelan

Dia tahu Adibah orang yang sangat keras. Tidak mudah untuk mengubah pendiriannya, jadi dia harus melakukannya dengan hati-hati.

"Tidak bisa! Keputusan bunda sudah bulat. Annisa tetap akan menikah dengan kiai Jamal," sergah Adibah tidak dapat diganggu gugat.

"Bunda, asalkan bunda tau. Annisa dan Randy saling mencintai. Randy bahkan sampai bela-belain belajar ngaji untuk bisa masuk dalam kriteria bunda."

"Cinta-cintaan yang kamu bahas?! Mau makan apa dengan cinta? Bunda gak akan ambil resiko Annisa nikah sama orang yang gak jelas macam dia," tunjuk Adibah ke arah Randy dengan bola mata yang nyaris keluar.

"Bunda, Randy bukan orang yang gak jelas. Dia orang yang sedang dalam masa berhijrah. Sari yakin kok kalo dia bisa berubah dan bimbing Annisa di jalan yang benar," ujar Sari terus membujuknya.

"Kamu gak tau apa-apa tentang lelaki ini! Dia itu..."

Ucapannya terhenti ketika dia hampir saja membocorkan rahasia yang pernah terjadi antara dirinya dan Randy.

"Dia itu apa?" tanya Sari penasaran dengan kelanjutannya.

"Dia...dia laki-laki yang menyimpang!" tukas Adibah kemudian.

Mendengar ucapan wanita itu membuat telinga Randy panas. Dia pun berdiri dan menunjuk tepat ke arah muka dari calon mertuanya itu.

"Hey, jaga ucapan anda teh! Dari tadi saya diam karena saya masih menghormati anda. Tapi saya tidak terima kalau anda memfitnah saya mempunyai penyimpangan! Atau mungkin kata-kata anda ditujukan ke orang lain yang suka memakan sesuatu yang tak lazim," sindir Randy yang dengan telak langsung mendarat di dada Adibah.

Wajah wanita itu langsung berubah pucat. Tidak dipungkiri bahwa dia takut akan Randy yang membocorkan rahasia tentang dirinya dan kiai Jamal. Tapi egonya selalu menang atas rasa takutnya. Dia malah balik menantang Randy, lagipula lelaki itu tidak punya bukti kalau dia ingin macam-macam.

"Jaga bicara mu! Apa itu yang dilakukan oleh seorang pria yang sedang meminta restu?! Dari sini saja saya yakin akan keputusan saya!"

Melihat ketegangan antara dua orang itu, Sari kemudian langsung melerai. Dia tarik tangan Randy agar kembali duduk. Sari juga tidak berekspektasi akan respon yang ditunjukkan oleh Randy. Annisa pun syok melihat pertengkaran itu. Dia semakin pesimis untuk mendapatkan restu dari ibunya.

"Tenang! Ada satu lagi yang belum disampaikan. Ini mengenai keadaan Annisa saat ini."

Adibah juga kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Sari.

Sejenak Sari melirik ke arah Annisa yang masih belum berani untuk mengangkat wajahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. Arah pandangan Sari kembali ke Adibah.

"Annisa sekarang tengah mengandung anak dari Randy," ujar Sari sambil memperhatikan perubahan raut wajah ibunya.

Benar saja, setelah mendengar kalimat itu sontak Adibah membulatkan bola matanya sempurna dengan mulut terbuka.

"APAAA...?!" seru Adibah yang membuat ketika manusia itu terkejut.

Annisa reflek menatap wajah ibunya yang penuh kekecewaan terhadapnya.

"Annisa! Apa benar yang dikatakan kakak mu ini?!"

"I...iya bunda. M...maafin Nisa," ujarnya seraya bersimpuh di hadapan orang yang telah melahirkannya hampir dua puluh tahun yang lalu.

Annisa menangis meminta maaf di atas kaki ibunya. Adibah hanya bisa diam membeku tidak percaya akan kenyataan yang baru saja ia dengar.

"Kenapa Annisa?! Kamu berhubungan badan dengan lelaki itu lagi?! Dulu kamu juga minta maaf dengan cara yang sama, tapi apa?! Kamu melakukannya lagi! Apa gunanya permintaan maaf kamu Annisa...?!"

Annisa masih terus menangis tanpa menimpali perkataan ibunya. Dada Adibah menjadi sesak. Sekarang dia kembali dipusingkan dengan masalah baru. Bagaimana mungkin kiai Jamal menerima anak yang bukan dari dirinya sendiri?

"Maaf bunda. Maafin Nisa!"

Kembali yang keluar hanya kata maaf. Annisa tidak punya pembelaan apapun. Dia mengakui kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya.

Pandangan Adibah beralih ke arah Randy. Didekatinya lelaki itu dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.

"Dasar laki-laki baj*ngan...!!!"

Plakkk...!!!

Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Randy. Hal itu membuat Sari dan Annisa terkejut.

"Kamu sudah buat anak saya menderita! Kamu sudah menghancurkan masa depan anak saya! Kamu harus diberi pelajaran!"

Kembali satu tamparan dilayangkan oleh Adibah kepada Randy namun kali ini pergelangan tangannya berhasil ditangkap oleh pria itu.

"Asal teteh tau. Saya melakukan hal itu dengan Annisa atas dasar suka sama suka tidak ada unsur pemaksaan sama sekali," sanggah Randy.

"Dan semua itu sudah terjadi. Annisa sedang mengandung anak saya. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Apakah kiai Jamal akan menerima seorang wanita yang tengah mengandung anak lelaki lain?"

Adibah melotot ke arah Randy. Kalimat terakhir darinya mampu membuat Adibah mati kutu. Wanita itu pun dengan kasar menarik tangannya dari genggaman tangan Randy.

"Diam kamu! Pokoknya sampai kapanpun saya tidak akan merestui hubungan kalian! Saya tidak sudi punya menantu seperti kamu! Paham!" ucap Adibah yang kemudian menarik tangan Annisa untuk berdiri.

"Ayo Annisa, kita pulang aja dari sini! Dan kamu Sari! Bunda kecewa sama kamu. Kamu bukannya memihak bunda malah memihak lelaki ini."

"Bukan begitu bunda, tapi..."

"Alah udah! Bunda gak mau denger penjelasan dari kamu lagi!"

Adibah menarik tangan Annisa sedikit kasar sehingga membuat anaknya memekik kesakitan.

Melihat kekasihnya menderita, Randy berusaha untuk melepaskan pegangan tangan Adibah kepada Annisa namun ibunya itu langsung menepisnya.

"Udah Ran, aku gak papa. Jaga diri mu baik-baik," ujar Annisa penuh getir.

Randy terpaksa membiarkan Adibah membawa Annisa. Sejenak saat berada di pintu wanita itu menoleh ke belakang dengan senyum yang dipaksakan dan air mata mengalir di kedua pipinya.

Pria itu kembali terduduk sambil mengusap wajahnya kasar. Kenapa di saat seperti ini dia hanya bisa diam membiarkan wanita iblis itu membawa kekasihnya.

Sari ikut duduk di sampingnya. Dia lipat kedua tangannya di atas paha sembari menghela nafas dalam.

"Kamu yang sabar ya. Bunda memang gak bisa di paksakan seperti itu. Tapi mbak yakin suatu saat pasti hatinya akan luluh juga."

Sesaat Randy melirik ke arah Sari.

"Apa mbak yakin?"

Sari menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia juga tidak yakin akan ucapannya itu. Sangat sulit merubah pendiriannya dari ibunya.

"Kalau semisal kamu gak jadi sama Annisa, apa yang kamu lakukan?" tanya Sari kemudian.

"Mungkin Randy bawa kabur Annisa aja."

"Hah?!" respon Sari kaget.

"Hehehe...cuma becanda kok mbak. Randy punya seribu cara buat teteh nerima Randy."

"Huh...dasar! Terus gimana caranya?" tanya Sari penasaran.

"Ada deh. Mungkin ini satu-satunya cara, tapi Randy belum bisa kasih tau sekarang."

"Kenapa?"

"Nanti juga mbak bakalan tau."

Sari mendengus kesal. Tapi dia tetap mempercayakan hal itu pada Randy.

"Oh ya...om Pram gimana kabarnya?"

"Dia udah baikan tapi belum bisa jalan soalnya kakinya patah. Jadi kebanyakan buat tidur aja," beber Sari.

"Gimana kelanjutannya hubungan mbak sama suami mbak?"

"Entahlah. Untuk saat ini mbak belum bisa memutuskan."

"Oh iya...sebelum lupa Randy punya informasi tentang kasus kecelakaan om Pram."

"Informasi?" ujar Sari memastikan.

Randy mengangguk. Dia lalu menjelaskan tentang kejadian yang diceritakan oleh Dewi tempo hari mengenai latar belakang kecelakaan yang menimpa mereka berdua.

Sari tercengang mendengar penjelasan dari Randy. Sekarang dia mulai paham dengan perubahan perilaku suaminya saat berada di rumah sakit.

Pantas saja Pram sama sekali tidak terlihat khawatir pada selingkuhannya itu yang sama-sama terluka dan dirawat di ruang lain.

Pantas saja Pram mengemis-ngemis cinta padanya setelah sebelumnya dia diabaikan dan ditinggalkan begitu saja demi selingkuhannya.

Ternyata ada sebuah pertengkaran besar sebelum kecelakaan itu terjadi. Hal itu membuat luka yang ditorehkan oleh suaminya kembali terbuka.

Suaminya meminta rujuk karena dia telah dikecewakan oleh Dewi bukan karena dia sadar dan masih mencintai Sari.

Kenyataan itu semakin membuat dirinya mantap ingin bercerai. Baginya tidak ada lagi kesempatan untuk kembali merajut rumah tangga yang telah hancur berkeping-keping.

"Terima kasih Ran, kamu udah kasih tau tentang kejadian yang sebenarnya."

"Mbak gak papa kan?" tanya Randy yang melihat perubahan ekspresi wajah Sari yang muram.

"Iya gak papa Ran."

"Kalo mbak butuh apa-apa jangan segan-segan hubungi Randy."

Sari tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Kalo gitu Randy pamit dulu."

Pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti oleh Sari di belakangnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Randy pun pergi dengan menggunakan motor kesayangannya. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, Sari kemudian mengambil benda pipih miliknya. Menggulir beberapa saat untuk mencari sebuah kontak bernama 'pak Ginanjar'. Entah kenapa dia jadi teringat dengan laki-laki itu.

"Halo?" sapa dari seberang.

"Halo pak Ginanjar?"

"Oh iya Bu Sari. Ada yang bisa saya bantu?"

Suara lelaki itu berubah jadi lebih bersemangat.

"Apa bapak sedang sibuk?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Untuk ibu, saya akan selalu meluangkan waktu."

"Hmm?" Sari merasa heran dengan ucapan Ginanjar.

"M...maksud saya kalau ibu menghubungi pasti ada hal yang penting. Jadi saya akan selalu memiliki waktu untuk berbicara dengan ibu," jelas Ginanjar.

Sari hanya menimpali sekenanya. Dia kemudian menceritakan tentang kejadian yang dikatakan oleh Randy. Pesan berantai itu akhirnya sampai juga di telinga Ginanjar. Pria paruh baya itu yakni, sebaik apapun bawahannya tidak ada yang bisa mengorek informasi sedetail ini.

"Begitulah pak kejadiannya. Jadi bisa dipastikan bahwa janin yang dikandung oleh istri bapak bukanlah anak dari suami saya."

Di depan meja kerjanya Ginanjar tampak mengusap-usap dagunya sambil berpikir ulang. Kalau janin itu bukan anak dari Pram, berarti siapa lelaki lain yang telah berhubungan dengan istrinya? Dia masih tidak yakin kalau anak itu benar-benar darah dagingnya.

"Lalu bagaimana dengan ibu sendiri?"

"Saya?"

"Iya. Maksud saya bagaimana dengan keputusan ibu, apakah tetap akan melanjutkan pernikahan atau ibu memutuskan untuk bercerai?"

Sari terdiam menelan salivanya sendiri. Kenapa Ginanjar malah bertanya tentang hal semacam itu? Bukankah itu adalah privasinya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu.

Beberapa saat tidak mendapat jawaban dari lawan bicaranya membuat Ginanjar cemas. Dia merutuki dirinya sendiri karena menanyakan hal yang tidak etis.

"Maafkan saya apabila pertanyaan saya menyinggung Bu Sari. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan rumah tangga ibu, saya hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi kalau ibu sampai bercerai dengan suami ibu," ujarnya meralat perkataan sebelumnya.

"Tidak papa pak, saya mengerti. Untuk hal itu saya belum bisa memutuskan apa-apa. Jadi tidak ada yang bisa saya katakan lebih banyak lagi."

Sungguh saat itu Sari ingin segera menutup telponnya karena semua informasi sudah dia katakan terhadap lelaki itu, tapi Ginanjar seolah masih ingin mengobrol dengan cara mencari topik pembicaraan.

"Baiklah kalau begitu. Emm...hari Minggu depan apakah ibu ada waktu?"

Sari kembali tertegun.

"Memangnya kenapa ya pak?"

"Saya ingin mengundang ibu untuk sekedar minum teh dan mengobrol. Saya hanya merasa bahwa kita senasib. Mungkin kita bisa bertukar pikiran. Jujur saya ada unek-unek yang memenuhi otak saya tapi saya tidak tahu mau cerita kemana."

Sari semakin tidak mengerti arah pembicaraan Ginanjar. Dia tidak merasa sedekat itu dengannya untuk berbagi rasa, tapi di hatinya ada rasa tidak enak untuk menolak.

"Baiklah saya akan pikirkan lagi tawaran bapak. Sekarang saya tutup telepon dulu. Ada sesuatu yang harus saya lakukan. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Setelah Ginanjar membalas salamnya, dia langsung menutup telepon. Dalam hati dia bertanya-tanya tentang maksud Ginanjar. Sari merasa ada maksud terselubung dari suami selingkuhan suaminya tapi dia kembali membuang jauh-jauh pikiran itu.

•••
Di tempat lain Adibah kembali dipusingkan dengan masalah baru. Kini Annisa tengah mengandung anak dari seorang lelaki brengsek seperti Randy. Tidak mungkin kiai Jamal mau menerima kondisi Annisa saat ini.

Satu-satunya cara agar pernikahan antara kiai Jamal dan Annisa tetap dapat terlaksana adalah dengan membuat kiai Jamal menganggap bahwa janin dalam kandungan Annisa adalah anaknya.

Sampai saat ini kondisi tubuh Annisa masih belum terlalu terlihat bahwa dia sedang hamil meskipun badannya agak sedikit melar. Untuk masalah usia kandungan Annisa, dia akan menyuap dokter untuk berbicara seperti apa yang dia inginkan.

Jadi rencananya kini adalah bagaimana cara untuk membuat kiai Jamal menanamkan benihnya di dalam rahim Annisa. Dengan begitu kiai Jamal akan menganggap bahwa Annisa mengandung anaknya.

Sejenak Adibah memangku dagunya dengan telapak tangan sambil berpikir mengenai rencana yang harus dia lakukan selanjutnya.

Satu per satu algoritma mulai tersusun di kepala Adibah. Rencana yang sedikit terlihat kejam tapi demi tercapainya tujuan, Adibah rela melakukannya.

"Hanya sekali...tidak ada pilihan lain," ucapnya dalam hati.

"Maafkan bunda, Annisa!"

To Be Continue...
Keep lancrot
 
Part 59. Rencana Adibah

Randy menatap wajah orang yang membukakan pintu dengan nanar. Yang ditatap juga tak kalah terkejutnya dengan Randy.

"Ngapain kamu ke sini hah?!" seru seorang wanita yang ada di hadapannya.

Randy menghembuskan nafas berat. Kenapa di saat seperti ini dia harus bertemu dengan nenek lampir. Sejenak arah pandangan Randy menuju ke belakang punggung perempuan itu. Tujuannya datang kemari untuk bertemu dengan Sari.

"Sari yang nyuruh Randy dateng ke sini kok Bun," ucap Sari kepada ibunya.

Adibah pun beralih menatap Sari. Dia tidak habis pikir dengan rencana anak pertamanya itu. Awalnya dia datang ke situ untuk menjenguk menantunya yang habis kecelakaan. Tapi yang didapati justru pertemuan yang tidak terduga.

"Buat apa kamu undang anak berandal ini datang kemari?!"

"Duduk dulu bunda. Nanti akan Sari jelaskan di dalam. Ini berkaitan dengan Annisa."

Adibah mendengus kesal. Dia punya firasat bahwa Sari sedang bersekongkol dengan Randy dan adiknya untuk mendapatkan restu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, karena diam-diam dia sudah merencanakan acara khitbah antara Annisa dan kiai Jamal.

Saat mereka duduk di sofa ruang tamu, sesekali Adibah melemparkan tatapan tak bersahabat kepada Randy. Pria itu hanya membalasnya dengan wajah datar.

"Annisa!" panggil Sari ke arah dalam.

Merasa dipanggil perempuan yang tengah mengenakan jilbab putih dengan dress yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan datang ke ruang tempat mereka berkumpul.

Langkahnya tiba-tiba berhenti melihat seorang pria yang amat sangat dia cintai sedang duduk berseberangan dengan ibunya. Jantungnya berdegup kencang. Sari memang sengaja tidak memberi tahu Annisa akan kedatangan Randy.

Perempuan itu pasti akan menolak dengan dalih belum siap, padahal usia kandungannya sudah semakin bertambah dan Adibah harus segera mengetahuinya.

"Nisa, duduk sini samping kakak!" perintah Sari sambil menepuk-nepuk permukaan sofa di sebelahnya.

Dengan ragu-ragu Annisa menuruti perkataan kakaknya itu. Dia berjalan sambil menunduk tidak berani menatap mata sang ibu.

Setelah mereka berempat duduk, barulah Sari membuka pembicaraan. Adibah tampak memangku pahanya di atas paha yang lain dan melipat kedua telapak tangannya di atas lutut.

"Jadi tujuan Sari mengumpulkan bunda, Annisa, dan Randy ke sini itu untuk membahas tentang masa depan Annisa. Sari berharap bunda mau mempertimbangkan ulang keputusan bunda yang akan menjodohkan Annisa dengan kiai Jamal," jelas Sari dengan pelan-pelan

Dia tahu Adibah orang yang sangat keras. Tidak mudah untuk mengubah pendiriannya, jadi dia harus melakukannya dengan hati-hati.

"Tidak bisa! Keputusan bunda sudah bulat. Annisa tetap akan menikah dengan kiai Jamal," sergah Adibah tidak dapat diganggu gugat.

"Bunda, asalkan bunda tau. Annisa dan Randy saling mencintai. Randy bahkan sampai bela-belain belajar ngaji untuk bisa masuk dalam kriteria bunda."

"Cinta-cintaan yang kamu bahas?! Mau makan apa dengan cinta? Bunda gak akan ambil resiko Annisa nikah sama orang yang gak jelas macam dia," tunjuk Adibah ke arah Randy dengan bola mata yang nyaris keluar.

"Bunda, Randy bukan orang yang gak jelas. Dia orang yang sedang dalam masa berhijrah. Sari yakin kok kalo dia bisa berubah dan bimbing Annisa di jalan yang benar," ujar Sari terus membujuknya.

"Kamu gak tau apa-apa tentang lelaki ini! Dia itu..."

Ucapannya terhenti ketika dia hampir saja membocorkan rahasia yang pernah terjadi antara dirinya dan Randy.

"Dia itu apa?" tanya Sari penasaran dengan kelanjutannya.

"Dia...dia laki-laki yang menyimpang!" tukas Adibah kemudian.

Mendengar ucapan wanita itu membuat telinga Randy panas. Dia pun berdiri dan menunjuk tepat ke arah muka dari calon mertuanya itu.

"Hey, jaga ucapan anda teh! Dari tadi saya diam karena saya masih menghormati anda. Tapi saya tidak terima kalau anda memfitnah saya mempunyai penyimpangan! Atau mungkin kata-kata anda ditujukan ke orang lain yang suka memakan sesuatu yang tak lazim," sindir Randy yang dengan telak langsung mendarat di dada Adibah.

Wajah wanita itu langsung berubah pucat. Tidak dipungkiri bahwa dia takut akan Randy yang membocorkan rahasia tentang dirinya dan kiai Jamal. Tapi egonya selalu menang atas rasa takutnya. Dia malah balik menantang Randy, lagipula lelaki itu tidak punya bukti kalau dia ingin macam-macam.

"Jaga bicara mu! Apa itu yang dilakukan oleh seorang pria yang sedang meminta restu?! Dari sini saja saya yakin akan keputusan saya!"

Melihat ketegangan antara dua orang itu, Sari kemudian langsung melerai. Dia tarik tangan Randy agar kembali duduk. Sari juga tidak berekspektasi akan respon yang ditunjukkan oleh Randy. Annisa pun syok melihat pertengkaran itu. Dia semakin pesimis untuk mendapatkan restu dari ibunya.

"Tenang! Ada satu lagi yang belum disampaikan. Ini mengenai keadaan Annisa saat ini."

Adibah juga kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Sari.

Sejenak Sari melirik ke arah Annisa yang masih belum berani untuk mengangkat wajahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. Arah pandangan Sari kembali ke Adibah.

"Annisa sekarang tengah mengandung anak dari Randy," ujar Sari sambil memperhatikan perubahan raut wajah ibunya.

Benar saja, setelah mendengar kalimat itu sontak Adibah membulatkan bola matanya sempurna dengan mulut terbuka.

"APAAA...?!" seru Adibah yang membuat ketika manusia itu terkejut.

Annisa reflek menatap wajah ibunya yang penuh kekecewaan terhadapnya.

"Annisa! Apa benar yang dikatakan kakak mu ini?!"

"I...iya bunda. M...maafin Nisa," ujarnya seraya bersimpuh di hadapan orang yang telah melahirkannya hampir dua puluh tahun yang lalu.

Annisa menangis meminta maaf di atas kaki ibunya. Adibah hanya bisa diam membeku tidak percaya akan kenyataan yang baru saja ia dengar.

"Kenapa Annisa?! Kamu berhubungan badan dengan lelaki itu lagi?! Dulu kamu juga minta maaf dengan cara yang sama, tapi apa?! Kamu melakukannya lagi! Apa gunanya permintaan maaf kamu Annisa...?!"

Annisa masih terus menangis tanpa menimpali perkataan ibunya. Dada Adibah menjadi sesak. Sekarang dia kembali dipusingkan dengan masalah baru. Bagaimana mungkin kiai Jamal menerima anak yang bukan dari dirinya sendiri?

"Maaf bunda. Maafin Nisa!"

Kembali yang keluar hanya kata maaf. Annisa tidak punya pembelaan apapun. Dia mengakui kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya.

Pandangan Adibah beralih ke arah Randy. Didekatinya lelaki itu dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.

"Dasar laki-laki baj*ngan...!!!"

Plakkk...!!!

Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Randy. Hal itu membuat Sari dan Annisa terkejut.

"Kamu sudah buat anak saya menderita! Kamu sudah menghancurkan masa depan anak saya! Kamu harus diberi pelajaran!"

Kembali satu tamparan dilayangkan oleh Adibah kepada Randy namun kali ini pergelangan tangannya berhasil ditangkap oleh pria itu.

"Asal teteh tau. Saya melakukan hal itu dengan Annisa atas dasar suka sama suka tidak ada unsur pemaksaan sama sekali," sanggah Randy.

"Dan semua itu sudah terjadi. Annisa sedang mengandung anak saya. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Apakah kiai Jamal akan menerima seorang wanita yang tengah mengandung anak lelaki lain?"

Adibah melotot ke arah Randy. Kalimat terakhir darinya mampu membuat Adibah mati kutu. Wanita itu pun dengan kasar menarik tangannya dari genggaman tangan Randy.

"Diam kamu! Pokoknya sampai kapanpun saya tidak akan merestui hubungan kalian! Saya tidak sudi punya menantu seperti kamu! Paham!" ucap Adibah yang kemudian menarik tangan Annisa untuk berdiri.

"Ayo Annisa, kita pulang aja dari sini! Dan kamu Sari! Bunda kecewa sama kamu. Kamu bukannya memihak bunda malah memihak lelaki ini."

"Bukan begitu bunda, tapi..."

"Alah udah! Bunda gak mau denger penjelasan dari kamu lagi!"

Adibah menarik tangan Annisa sedikit kasar sehingga membuat anaknya memekik kesakitan.

Melihat kekasihnya menderita, Randy berusaha untuk melepaskan pegangan tangan Adibah kepada Annisa namun ibunya itu langsung menepisnya.

"Udah Ran, aku gak papa. Jaga diri mu baik-baik," ujar Annisa penuh getir.

Randy terpaksa membiarkan Adibah membawa Annisa. Sejenak saat berada di pintu wanita itu menoleh ke belakang dengan senyum yang dipaksakan dan air mata mengalir di kedua pipinya.

Pria itu kembali terduduk sambil mengusap wajahnya kasar. Kenapa di saat seperti ini dia hanya bisa diam membiarkan wanita iblis itu membawa kekasihnya.

Sari ikut duduk di sampingnya. Dia lipat kedua tangannya di atas paha sembari menghela nafas dalam.

"Kamu yang sabar ya. Bunda memang gak bisa di paksakan seperti itu. Tapi mbak yakin suatu saat pasti hatinya akan luluh juga."

Sesaat Randy melirik ke arah Sari.

"Apa mbak yakin?"

Sari menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia juga tidak yakin akan ucapannya itu. Sangat sulit merubah pendiriannya dari ibunya.

"Kalau semisal kamu gak jadi sama Annisa, apa yang kamu lakukan?" tanya Sari kemudian.

"Mungkin Randy bawa kabur Annisa aja."

"Hah?!" respon Sari kaget.

"Hehehe...cuma becanda kok mbak. Randy punya seribu cara buat teteh nerima Randy."

"Huh...dasar! Terus gimana caranya?" tanya Sari penasaran.

"Ada deh. Mungkin ini satu-satunya cara, tapi Randy belum bisa kasih tau sekarang."

"Kenapa?"

"Nanti juga mbak bakalan tau."

Sari mendengus kesal. Tapi dia tetap mempercayakan hal itu pada Randy.

"Oh ya...om Pram gimana kabarnya?"

"Dia udah baikan tapi belum bisa jalan soalnya kakinya patah. Jadi kebanyakan buat tidur aja," beber Sari.

"Gimana kelanjutannya hubungan mbak sama suami mbak?"

"Entahlah. Untuk saat ini mbak belum bisa memutuskan."

"Oh iya...sebelum lupa Randy punya informasi tentang kasus kecelakaan om Pram."

"Informasi?" ujar Sari memastikan.

Randy mengangguk. Dia lalu menjelaskan tentang kejadian yang diceritakan oleh Dewi tempo hari mengenai latar belakang kecelakaan yang menimpa mereka berdua.

Sari tercengang mendengar penjelasan dari Randy. Sekarang dia mulai paham dengan perubahan perilaku suaminya saat berada di rumah sakit.

Pantas saja Pram sama sekali tidak terlihat khawatir pada selingkuhannya itu yang sama-sama terluka dan dirawat di ruang lain.

Pantas saja Pram mengemis-ngemis cinta padanya setelah sebelumnya dia diabaikan dan ditinggalkan begitu saja demi selingkuhannya.

Ternyata ada sebuah pertengkaran besar sebelum kecelakaan itu terjadi. Hal itu membuat luka yang ditorehkan oleh suaminya kembali terbuka.

Suaminya meminta rujuk karena dia telah dikecewakan oleh Dewi bukan karena dia sadar dan masih mencintai Sari.

Kenyataan itu semakin membuat dirinya mantap ingin bercerai. Baginya tidak ada lagi kesempatan untuk kembali merajut rumah tangga yang telah hancur berkeping-keping.

"Terima kasih Ran, kamu udah kasih tau tentang kejadian yang sebenarnya."

"Mbak gak papa kan?" tanya Randy yang melihat perubahan ekspresi wajah Sari yang muram.

"Iya gak papa Ran."

"Kalo mbak butuh apa-apa jangan segan-segan hubungi Randy."

Sari tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Kalo gitu Randy pamit dulu."

Pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti oleh Sari di belakangnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Randy pun pergi dengan menggunakan motor kesayangannya. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, Sari kemudian mengambil benda pipih miliknya. Menggulir beberapa saat untuk mencari sebuah kontak bernama 'pak Ginanjar'. Entah kenapa dia jadi teringat dengan laki-laki itu.

"Halo?" sapa dari seberang.

"Halo pak Ginanjar?"

"Oh iya Bu Sari. Ada yang bisa saya bantu?"

Suara lelaki itu berubah jadi lebih bersemangat.

"Apa bapak sedang sibuk?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Untuk ibu, saya akan selalu meluangkan waktu."

"Hmm?" Sari merasa heran dengan ucapan Ginanjar.

"M...maksud saya kalau ibu menghubungi pasti ada hal yang penting. Jadi saya akan selalu memiliki waktu untuk berbicara dengan ibu," jelas Ginanjar.

Sari hanya menimpali sekenanya. Dia kemudian menceritakan tentang kejadian yang dikatakan oleh Randy. Pesan berantai itu akhirnya sampai juga di telinga Ginanjar. Pria paruh baya itu yakni, sebaik apapun bawahannya tidak ada yang bisa mengorek informasi sedetail ini.

"Begitulah pak kejadiannya. Jadi bisa dipastikan bahwa janin yang dikandung oleh istri bapak bukanlah anak dari suami saya."

Di depan meja kerjanya Ginanjar tampak mengusap-usap dagunya sambil berpikir ulang. Kalau janin itu bukan anak dari Pram, berarti siapa lelaki lain yang telah berhubungan dengan istrinya? Dia masih tidak yakin kalau anak itu benar-benar darah dagingnya.

"Lalu bagaimana dengan ibu sendiri?"

"Saya?"

"Iya. Maksud saya bagaimana dengan keputusan ibu, apakah tetap akan melanjutkan pernikahan atau ibu memutuskan untuk bercerai?"

Sari terdiam menelan salivanya sendiri. Kenapa Ginanjar malah bertanya tentang hal semacam itu? Bukankah itu adalah privasinya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu.

Beberapa saat tidak mendapat jawaban dari lawan bicaranya membuat Ginanjar cemas. Dia merutuki dirinya sendiri karena menanyakan hal yang tidak etis.

"Maafkan saya apabila pertanyaan saya menyinggung Bu Sari. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan rumah tangga ibu, saya hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi kalau ibu sampai bercerai dengan suami ibu," ujarnya meralat perkataan sebelumnya.

"Tidak papa pak, saya mengerti. Untuk hal itu saya belum bisa memutuskan apa-apa. Jadi tidak ada yang bisa saya katakan lebih banyak lagi."

Sungguh saat itu Sari ingin segera menutup telponnya karena semua informasi sudah dia katakan terhadap lelaki itu, tapi Ginanjar seolah masih ingin mengobrol dengan cara mencari topik pembicaraan.

"Baiklah kalau begitu. Emm...hari Minggu depan apakah ibu ada waktu?"

Sari kembali tertegun.

"Memangnya kenapa ya pak?"

"Saya ingin mengundang ibu untuk sekedar minum teh dan mengobrol. Saya hanya merasa bahwa kita senasib. Mungkin kita bisa bertukar pikiran. Jujur saya ada unek-unek yang memenuhi otak saya tapi saya tidak tahu mau cerita kemana."

Sari semakin tidak mengerti arah pembicaraan Ginanjar. Dia tidak merasa sedekat itu dengannya untuk berbagi rasa, tapi di hatinya ada rasa tidak enak untuk menolak.

"Baiklah saya akan pikirkan lagi tawaran bapak. Sekarang saya tutup telepon dulu. Ada sesuatu yang harus saya lakukan. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Setelah Ginanjar membalas salamnya, dia langsung menutup telepon. Dalam hati dia bertanya-tanya tentang maksud Ginanjar. Sari merasa ada maksud terselubung dari suami selingkuhan suaminya tapi dia kembali membuang jauh-jauh pikiran itu.

•••
Di tempat lain Adibah kembali dipusingkan dengan masalah baru. Kini Annisa tengah mengandung anak dari seorang lelaki brengsek seperti Randy. Tidak mungkin kiai Jamal mau menerima kondisi Annisa saat ini.

Satu-satunya cara agar pernikahan antara kiai Jamal dan Annisa tetap dapat terlaksana adalah dengan membuat kiai Jamal menganggap bahwa janin dalam kandungan Annisa adalah anaknya.

Sampai saat ini kondisi tubuh Annisa masih belum terlalu terlihat bahwa dia sedang hamil meskipun badannya agak sedikit melar. Untuk masalah usia kandungan Annisa, dia akan menyuap dokter untuk berbicara seperti apa yang dia inginkan.

Jadi rencananya kini adalah bagaimana cara untuk membuat kiai Jamal menanamkan benihnya di dalam rahim Annisa. Dengan begitu kiai Jamal akan menganggap bahwa Annisa mengandung anaknya.

Sejenak Adibah memangku dagunya dengan telapak tangan sambil berpikir mengenai rencana yang harus dia lakukan selanjutnya.

Satu per satu algoritma mulai tersusun di kepala Adibah. Rencana yang sedikit terlihat kejam tapi demi tercapainya tujuan, Adibah rela melakukannya.

"Hanya sekali...tidak ada pilihan lain," ucapnya dalam hati.

"Maafkan bunda, Annisa!"

To Be Continue...

Part 59. Rencana Adibah

Randy menatap wajah orang yang membukakan pintu dengan nanar. Yang ditatap juga tak kalah terkejutnya dengan Randy.

"Ngapain kamu ke sini hah?!" seru seorang wanita yang ada di hadapannya.

Randy menghembuskan nafas berat. Kenapa di saat seperti ini dia harus bertemu dengan nenek lampir. Sejenak arah pandangan Randy menuju ke belakang punggung perempuan itu. Tujuannya datang kemari untuk bertemu dengan Sari.

"Sari yang nyuruh Randy dateng ke sini kok Bun," ucap Sari kepada ibunya.

Adibah pun beralih menatap Sari. Dia tidak habis pikir dengan rencana anak pertamanya itu. Awalnya dia datang ke situ untuk menjenguk menantunya yang habis kecelakaan. Tapi yang didapati justru pertemuan yang tidak terduga.

"Buat apa kamu undang anak berandal ini datang kemari?!"

"Duduk dulu bunda. Nanti akan Sari jelaskan di dalam. Ini berkaitan dengan Annisa."

Adibah mendengus kesal. Dia punya firasat bahwa Sari sedang bersekongkol dengan Randy dan adiknya untuk mendapatkan restu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, karena diam-diam dia sudah merencanakan acara khitbah antara Annisa dan kiai Jamal.

Saat mereka duduk di sofa ruang tamu, sesekali Adibah melemparkan tatapan tak bersahabat kepada Randy. Pria itu hanya membalasnya dengan wajah datar.

"Annisa!" panggil Sari ke arah dalam.

Merasa dipanggil perempuan yang tengah mengenakan jilbab putih dengan dress yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan datang ke ruang tempat mereka berkumpul.

Langkahnya tiba-tiba berhenti melihat seorang pria yang amat sangat dia cintai sedang duduk berseberangan dengan ibunya. Jantungnya berdegup kencang. Sari memang sengaja tidak memberi tahu Annisa akan kedatangan Randy.

Perempuan itu pasti akan menolak dengan dalih belum siap, padahal usia kandungannya sudah semakin bertambah dan Adibah harus segera mengetahuinya.

"Nisa, duduk sini samping kakak!" perintah Sari sambil menepuk-nepuk permukaan sofa di sebelahnya.

Dengan ragu-ragu Annisa menuruti perkataan kakaknya itu. Dia berjalan sambil menunduk tidak berani menatap mata sang ibu.

Setelah mereka berempat duduk, barulah Sari membuka pembicaraan. Adibah tampak memangku pahanya di atas paha yang lain dan melipat kedua telapak tangannya di atas lutut.

"Jadi tujuan Sari mengumpulkan bunda, Annisa, dan Randy ke sini itu untuk membahas tentang masa depan Annisa. Sari berharap bunda mau mempertimbangkan ulang keputusan bunda yang akan menjodohkan Annisa dengan kiai Jamal," jelas Sari dengan pelan-pelan

Dia tahu Adibah orang yang sangat keras. Tidak mudah untuk mengubah pendiriannya, jadi dia harus melakukannya dengan hati-hati.

"Tidak bisa! Keputusan bunda sudah bulat. Annisa tetap akan menikah dengan kiai Jamal," sergah Adibah tidak dapat diganggu gugat.

"Bunda, asalkan bunda tau. Annisa dan Randy saling mencintai. Randy bahkan sampai bela-belain belajar ngaji untuk bisa masuk dalam kriteria bunda."

"Cinta-cintaan yang kamu bahas?! Mau makan apa dengan cinta? Bunda gak akan ambil resiko Annisa nikah sama orang yang gak jelas macam dia," tunjuk Adibah ke arah Randy dengan bola mata yang nyaris keluar.

"Bunda, Randy bukan orang yang gak jelas. Dia orang yang sedang dalam masa berhijrah. Sari yakin kok kalo dia bisa berubah dan bimbing Annisa di jalan yang benar," ujar Sari terus membujuknya.

"Kamu gak tau apa-apa tentang lelaki ini! Dia itu..."

Ucapannya terhenti ketika dia hampir saja membocorkan rahasia yang pernah terjadi antara dirinya dan Randy.

"Dia itu apa?" tanya Sari penasaran dengan kelanjutannya.

"Dia...dia laki-laki yang menyimpang!" tukas Adibah kemudian.

Mendengar ucapan wanita itu membuat telinga Randy panas. Dia pun berdiri dan menunjuk tepat ke arah muka dari calon mertuanya itu.

"Hey, jaga ucapan anda teh! Dari tadi saya diam karena saya masih menghormati anda. Tapi saya tidak terima kalau anda memfitnah saya mempunyai penyimpangan! Atau mungkin kata-kata anda ditujukan ke orang lain yang suka memakan sesuatu yang tak lazim," sindir Randy yang dengan telak langsung mendarat di dada Adibah.

Wajah wanita itu langsung berubah pucat. Tidak dipungkiri bahwa dia takut akan Randy yang membocorkan rahasia tentang dirinya dan kiai Jamal. Tapi egonya selalu menang atas rasa takutnya. Dia malah balik menantang Randy, lagipula lelaki itu tidak punya bukti kalau dia ingin macam-macam.

"Jaga bicara mu! Apa itu yang dilakukan oleh seorang pria yang sedang meminta restu?! Dari sini saja saya yakin akan keputusan saya!"

Melihat ketegangan antara dua orang itu, Sari kemudian langsung melerai. Dia tarik tangan Randy agar kembali duduk. Sari juga tidak berekspektasi akan respon yang ditunjukkan oleh Randy. Annisa pun syok melihat pertengkaran itu. Dia semakin pesimis untuk mendapatkan restu dari ibunya.

"Tenang! Ada satu lagi yang belum disampaikan. Ini mengenai keadaan Annisa saat ini."

Adibah juga kembali duduk dan mendengarkan apa yang akan diucapkan oleh Sari.

Sejenak Sari melirik ke arah Annisa yang masih belum berani untuk mengangkat wajahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. Arah pandangan Sari kembali ke Adibah.

"Annisa sekarang tengah mengandung anak dari Randy," ujar Sari sambil memperhatikan perubahan raut wajah ibunya.

Benar saja, setelah mendengar kalimat itu sontak Adibah membulatkan bola matanya sempurna dengan mulut terbuka.

"APAAA...?!" seru Adibah yang membuat ketika manusia itu terkejut.

Annisa reflek menatap wajah ibunya yang penuh kekecewaan terhadapnya.

"Annisa! Apa benar yang dikatakan kakak mu ini?!"

"I...iya bunda. M...maafin Nisa," ujarnya seraya bersimpuh di hadapan orang yang telah melahirkannya hampir dua puluh tahun yang lalu.

Annisa menangis meminta maaf di atas kaki ibunya. Adibah hanya bisa diam membeku tidak percaya akan kenyataan yang baru saja ia dengar.

"Kenapa Annisa?! Kamu berhubungan badan dengan lelaki itu lagi?! Dulu kamu juga minta maaf dengan cara yang sama, tapi apa?! Kamu melakukannya lagi! Apa gunanya permintaan maaf kamu Annisa...?!"

Annisa masih terus menangis tanpa menimpali perkataan ibunya. Dada Adibah menjadi sesak. Sekarang dia kembali dipusingkan dengan masalah baru. Bagaimana mungkin kiai Jamal menerima anak yang bukan dari dirinya sendiri?

"Maaf bunda. Maafin Nisa!"

Kembali yang keluar hanya kata maaf. Annisa tidak punya pembelaan apapun. Dia mengakui kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya.

Pandangan Adibah beralih ke arah Randy. Didekatinya lelaki itu dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.

"Dasar laki-laki baj*ngan...!!!"

Plakkk...!!!

Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Randy. Hal itu membuat Sari dan Annisa terkejut.

"Kamu sudah buat anak saya menderita! Kamu sudah menghancurkan masa depan anak saya! Kamu harus diberi pelajaran!"

Kembali satu tamparan dilayangkan oleh Adibah kepada Randy namun kali ini pergelangan tangannya berhasil ditangkap oleh pria itu.

"Asal teteh tau. Saya melakukan hal itu dengan Annisa atas dasar suka sama suka tidak ada unsur pemaksaan sama sekali," sanggah Randy.

"Dan semua itu sudah terjadi. Annisa sedang mengandung anak saya. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Apakah kiai Jamal akan menerima seorang wanita yang tengah mengandung anak lelaki lain?"

Adibah melotot ke arah Randy. Kalimat terakhir darinya mampu membuat Adibah mati kutu. Wanita itu pun dengan kasar menarik tangannya dari genggaman tangan Randy.

"Diam kamu! Pokoknya sampai kapanpun saya tidak akan merestui hubungan kalian! Saya tidak sudi punya menantu seperti kamu! Paham!" ucap Adibah yang kemudian menarik tangan Annisa untuk berdiri.

"Ayo Annisa, kita pulang aja dari sini! Dan kamu Sari! Bunda kecewa sama kamu. Kamu bukannya memihak bunda malah memihak lelaki ini."

"Bukan begitu bunda, tapi..."

"Alah udah! Bunda gak mau denger penjelasan dari kamu lagi!"

Adibah menarik tangan Annisa sedikit kasar sehingga membuat anaknya memekik kesakitan.

Melihat kekasihnya menderita, Randy berusaha untuk melepaskan pegangan tangan Adibah kepada Annisa namun ibunya itu langsung menepisnya.

"Udah Ran, aku gak papa. Jaga diri mu baik-baik," ujar Annisa penuh getir.

Randy terpaksa membiarkan Adibah membawa Annisa. Sejenak saat berada di pintu wanita itu menoleh ke belakang dengan senyum yang dipaksakan dan air mata mengalir di kedua pipinya.

Pria itu kembali terduduk sambil mengusap wajahnya kasar. Kenapa di saat seperti ini dia hanya bisa diam membiarkan wanita iblis itu membawa kekasihnya.

Sari ikut duduk di sampingnya. Dia lipat kedua tangannya di atas paha sembari menghela nafas dalam.

"Kamu yang sabar ya. Bunda memang gak bisa di paksakan seperti itu. Tapi mbak yakin suatu saat pasti hatinya akan luluh juga."

Sesaat Randy melirik ke arah Sari.

"Apa mbak yakin?"

Sari menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia juga tidak yakin akan ucapannya itu. Sangat sulit merubah pendiriannya dari ibunya.

"Kalau semisal kamu gak jadi sama Annisa, apa yang kamu lakukan?" tanya Sari kemudian.

"Mungkin Randy bawa kabur Annisa aja."

"Hah?!" respon Sari kaget.

"Hehehe...cuma becanda kok mbak. Randy punya seribu cara buat teteh nerima Randy."

"Huh...dasar! Terus gimana caranya?" tanya Sari penasaran.

"Ada deh. Mungkin ini satu-satunya cara, tapi Randy belum bisa kasih tau sekarang."

"Kenapa?"

"Nanti juga mbak bakalan tau."

Sari mendengus kesal. Tapi dia tetap mempercayakan hal itu pada Randy.

"Oh ya...om Pram gimana kabarnya?"

"Dia udah baikan tapi belum bisa jalan soalnya kakinya patah. Jadi kebanyakan buat tidur aja," beber Sari.

"Gimana kelanjutannya hubungan mbak sama suami mbak?"

"Entahlah. Untuk saat ini mbak belum bisa memutuskan."

"Oh iya...sebelum lupa Randy punya informasi tentang kasus kecelakaan om Pram."

"Informasi?" ujar Sari memastikan.

Randy mengangguk. Dia lalu menjelaskan tentang kejadian yang diceritakan oleh Dewi tempo hari mengenai latar belakang kecelakaan yang menimpa mereka berdua.

Sari tercengang mendengar penjelasan dari Randy. Sekarang dia mulai paham dengan perubahan perilaku suaminya saat berada di rumah sakit.

Pantas saja Pram sama sekali tidak terlihat khawatir pada selingkuhannya itu yang sama-sama terluka dan dirawat di ruang lain.

Pantas saja Pram mengemis-ngemis cinta padanya setelah sebelumnya dia diabaikan dan ditinggalkan begitu saja demi selingkuhannya.

Ternyata ada sebuah pertengkaran besar sebelum kecelakaan itu terjadi. Hal itu membuat luka yang ditorehkan oleh suaminya kembali terbuka.

Suaminya meminta rujuk karena dia telah dikecewakan oleh Dewi bukan karena dia sadar dan masih mencintai Sari.

Kenyataan itu semakin membuat dirinya mantap ingin bercerai. Baginya tidak ada lagi kesempatan untuk kembali merajut rumah tangga yang telah hancur berkeping-keping.

"Terima kasih Ran, kamu udah kasih tau tentang kejadian yang sebenarnya."

"Mbak gak papa kan?" tanya Randy yang melihat perubahan ekspresi wajah Sari yang muram.

"Iya gak papa Ran."

"Kalo mbak butuh apa-apa jangan segan-segan hubungi Randy."

Sari tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Kalo gitu Randy pamit dulu."

Pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu keluar dengan diikuti oleh Sari di belakangnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Randy pun pergi dengan menggunakan motor kesayangannya. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, Sari kemudian mengambil benda pipih miliknya. Menggulir beberapa saat untuk mencari sebuah kontak bernama 'pak Ginanjar'. Entah kenapa dia jadi teringat dengan laki-laki itu.

"Halo?" sapa dari seberang.

"Halo pak Ginanjar?"

"Oh iya Bu Sari. Ada yang bisa saya bantu?"

Suara lelaki itu berubah jadi lebih bersemangat.

"Apa bapak sedang sibuk?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Untuk ibu, saya akan selalu meluangkan waktu."

"Hmm?" Sari merasa heran dengan ucapan Ginanjar.

"M...maksud saya kalau ibu menghubungi pasti ada hal yang penting. Jadi saya akan selalu memiliki waktu untuk berbicara dengan ibu," jelas Ginanjar.

Sari hanya menimpali sekenanya. Dia kemudian menceritakan tentang kejadian yang dikatakan oleh Randy. Pesan berantai itu akhirnya sampai juga di telinga Ginanjar. Pria paruh baya itu yakni, sebaik apapun bawahannya tidak ada yang bisa mengorek informasi sedetail ini.

"Begitulah pak kejadiannya. Jadi bisa dipastikan bahwa janin yang dikandung oleh istri bapak bukanlah anak dari suami saya."

Di depan meja kerjanya Ginanjar tampak mengusap-usap dagunya sambil berpikir ulang. Kalau janin itu bukan anak dari Pram, berarti siapa lelaki lain yang telah berhubungan dengan istrinya? Dia masih tidak yakin kalau anak itu benar-benar darah dagingnya.

"Lalu bagaimana dengan ibu sendiri?"

"Saya?"

"Iya. Maksud saya bagaimana dengan keputusan ibu, apakah tetap akan melanjutkan pernikahan atau ibu memutuskan untuk bercerai?"

Sari terdiam menelan salivanya sendiri. Kenapa Ginanjar malah bertanya tentang hal semacam itu? Bukankah itu adalah privasinya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu.

Beberapa saat tidak mendapat jawaban dari lawan bicaranya membuat Ginanjar cemas. Dia merutuki dirinya sendiri karena menanyakan hal yang tidak etis.

"Maafkan saya apabila pertanyaan saya menyinggung Bu Sari. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan rumah tangga ibu, saya hanya tidak ingin kejadian ini terulang lagi kalau ibu sampai bercerai dengan suami ibu," ujarnya meralat perkataan sebelumnya.

"Tidak papa pak, saya mengerti. Untuk hal itu saya belum bisa memutuskan apa-apa. Jadi tidak ada yang bisa saya katakan lebih banyak lagi."

Sungguh saat itu Sari ingin segera menutup telponnya karena semua informasi sudah dia katakan terhadap lelaki itu, tapi Ginanjar seolah masih ingin mengobrol dengan cara mencari topik pembicaraan.

"Baiklah kalau begitu. Emm...hari Minggu depan apakah ibu ada waktu?"

Sari kembali tertegun.

"Memangnya kenapa ya pak?"

"Saya ingin mengundang ibu untuk sekedar minum teh dan mengobrol. Saya hanya merasa bahwa kita senasib. Mungkin kita bisa bertukar pikiran. Jujur saya ada unek-unek yang memenuhi otak saya tapi saya tidak tahu mau cerita kemana."

Sari semakin tidak mengerti arah pembicaraan Ginanjar. Dia tidak merasa sedekat itu dengannya untuk berbagi rasa, tapi di hatinya ada rasa tidak enak untuk menolak.

"Baiklah saya akan pikirkan lagi tawaran bapak. Sekarang saya tutup telepon dulu. Ada sesuatu yang harus saya lakukan. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Setelah Ginanjar membalas salamnya, dia langsung menutup telepon. Dalam hati dia bertanya-tanya tentang maksud Ginanjar. Sari merasa ada maksud terselubung dari suami selingkuhan suaminya tapi dia kembali membuang jauh-jauh pikiran itu.

•••
Di tempat lain Adibah kembali dipusingkan dengan masalah baru. Kini Annisa tengah mengandung anak dari seorang lelaki brengsek seperti Randy. Tidak mungkin kiai Jamal mau menerima kondisi Annisa saat ini.

Satu-satunya cara agar pernikahan antara kiai Jamal dan Annisa tetap dapat terlaksana adalah dengan membuat kiai Jamal menganggap bahwa janin dalam kandungan Annisa adalah anaknya.

Sampai saat ini kondisi tubuh Annisa masih belum terlalu terlihat bahwa dia sedang hamil meskipun badannya agak sedikit melar. Untuk masalah usia kandungan Annisa, dia akan menyuap dokter untuk berbicara seperti apa yang dia inginkan.

Jadi rencananya kini adalah bagaimana cara untuk membuat kiai Jamal menanamkan benihnya di dalam rahim Annisa. Dengan begitu kiai Jamal akan menganggap bahwa Annisa mengandung anaknya.

Sejenak Adibah memangku dagunya dengan telapak tangan sambil berpikir mengenai rencana yang harus dia lakukan selanjutnya.

Satu per satu algoritma mulai tersusun di kepala Adibah. Rencana yang sedikit terlihat kejam tapi demi tercapainya tujuan, Adibah rela melakukannya.

"Hanya sekali...tidak ada pilihan lain," ucapnya dalam hati.

"Maafkan bunda, Annisa!"

To Be Continue...
Seru nih kalo ada pembalasan randy ke si adibah sama ntuh aki aki pedo, kasihlah agak kejam dikit hehe
Udh lama gak baca soal revenge gituan
 
Bimabet
Wah kejadian kiai jamal x annisa... Ngeliat ceritanya bakal agak berubah nih petanya, randy mulai kena serangan kiri kanan 😂
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd