pendekarguolowo
Adik Semprot
FANTASI SATU HARI
"Jiwa-jiwa merdeka, membebaskan imaji, menembus sekat-sekat antar ruang dimensi: realita, mimpi, dan fantasi"
"Jiwa-jiwa merdeka, membebaskan imaji, menembus sekat-sekat antar ruang dimensi: realita, mimpi, dan fantasi"
-BAGIAN SATU-
2020.
"Dadah papa....," Jefri, 7 tahun, anakku, melambaikan tangan dari celah jendela di jok belakang, berpamitan, hendak sekolah dia.
Aku melepasnya dengan senyum, tanganku membalas lambaian tangannya. Bukan dengan lambaian penuh, sekadar mengangkat telapak tangan. Aku yakin Jefri cukup paham dengan jawabanku.
"Papa jangan lupa token listrik, sudah Mama kirim lewat WA. Cek." Istriku berucap dari jok depan, tepat di belakang kemudi. Ada kesan ketegasan yang kutangkap dari sorot matanya. Tampak jelas walaupun terfilter kacamata yang terpasang di sana. Tatapan dominan.
Aku hanya membalas dengan isyarat tangan. Tak beda jauh dengan balasan untuk anakku satu-satunya tadi. Jempol dan jari telunjuk membentuk lingkar sempurna, tiga jari lain kubuka lebar-lebar. Isyarat OK.
Jendela depan ditutup penuh. Suara mesin mengaum. Tak lama, sedan abu-abu itu perlahan-lahan melaju, menjauh, meninggalkanku. Bau knalpotnya masih kuingat jelas. Bau bahan bakar mentah, tanda tak dirawat. Kendaraan itu terus melaju, dengan kilauan yang sesekali terlihat, pantulan sinar matahari pagi. Berbelok di ujung blok, lalu menghilang, sampai akhirnya tak lagi terlihat.
Di samping kiriku, agak ke atas, mesin berlayar kecil itu berbunyi tanpa henti. Lampu isyarat berkedip merah. Mengikuti irama bunyi-bunyian tadi. Bunyinya bertempo, konstan, semacam alarm. Sudah sejak tengah malam ia protes, kelaparan. Aku tak suka keluhan macam itu. Terlebih suaranya, benar-benar mengganggu. Menjijikkan.
Mataku terpicing, berusaha membaca layar kecil di ujung atas.
[2,17 kWh]
Kuhela nafas pendek, kupencet satu tombol, suara berisik tak lagi kudengar, menyisakan lampu kecil yang masih berkedip, konsisten memperingatkan sang pelanggan.
Sejurus kemudian, langkah tanpa semangat membawaku berjalan masuk ke rumah. Kutunda urusan pencet nomor token. Seharian ini aku bakal di rumah, kurasa tak harus buru-buru menuntaskan tugas.
Dari arah lantai atas kudengar suara langkah kaki. Si pemilik langkah tampaknya tengah tergesa. Kesunyian rumah di pagi ini ternyata tidak cukup hanya diganggu oleh suara isyarat stand meter listrik di depan. Langkah kaki yang menyerbu tangga besi itu, di ujung belakang rumah, penghubung lantai pertama dengan bangunan atas. Menimbulkan bunyi berisik, melengkapi keributan di Senin pagi.
"Pelan, Kek" ucapku, tegas, setengah berteriak.
Kek, bunyinya mirip suku kata terakhir dari Ka-kek, kadang sedikit meleset keinggris-inggrisan ke pengucapan "Cake". Panggilan kesayangan untuk adik perempuanku satu satunya, Nike. Bernama asli Sri Lestari. Lalu darimana nama Nike? Panggilan kesayangan yang dibuat teman dan sahabat si pemilik nama. Akibat kelakuan adik kesayanganku yang sedikit di luar normal itu. Nike mendapuk dirinya sebagai kolektor produk Nike, garis keras, militan. Saking militannya, asli atau KW-3 tak ambil pusing dia, diembat semua. Hobi aneh yang seolah melengkapi kelakuannya yang luar biasa tomboy. Tomboy yang militan, sejak lahir sampai semester lima ini.
"Telat kuliah mas," jawabnya enteng saja.
Sepotong roti tawar disambarnya dari meja makan, tepat di bawah tangga. Digigitnya roti itu.
"Kuny.. chiii..... mot... cor?..." Nike berucap, sembari mengunyah roti itu. Tangan kanannya nyadong, pose menagih utang. Berharap aku serahkan kunci motorku satu-satunya.
"Lha motormu mana?"
Tatapan Nike tajam ke arahku. Dilahapnya lagi sisa potongan roti, hingga tandas tanpa sisa. "Habis bensin semalam. Kutitip di kosan Andre."
Aku kembali menghela nafas.
"Ambil di saku jeans, dalam kamar mandi. Saku kanan. Nggak usah nyari yang lain. Nggak ada uang kusimpan di situ"
Mimik muka Nike berubah, sok imut, riang.
"Terima kasih Kakaaaakkkk... sekalian pulsanya kakak??," goda Nike, lengkap dengan wajah bersenyum lebar.
"Ah, Telek," jawabku, tak lagi kupandang wajah itu. Aku melangkah ke arah mesin cuci di ruang belakang, ada banyak cucian yang musti kubereskan. Cuacanya mendung sedari tadi, kuduga bakal segera turun hujan, sebaiknya segera kubereskan urusan cuci-peras-jemur sebelum siang.
Di ruang belakang, pojok dekat tangga, mesin cuci sudah selesai memutar. Sekali lagi kudengar bunyi pengganggu kesunyian. Kali inibcukup berfaedah, penanda tugas sang mesin pemutar telah selesai. Kubuka tutup atas, segera kupindahkan ke ember besar di samping ruang cuci. Dari luar, suara Nike kembali terdengar.
"Aku pulang malam yo mas. Bye...Love you, mmmuaaahhh..."
"KAREPMU..." jawabku, ketus.
---
Seember penuh, cucian setengah kering itu kubawa sepenuh tenaga ke lantai atas, area jemur. Sesampai di sana, kuluruskan sebentar tulang-tulang ringkihku. Menggeliat. Lumayan nyaman. Tiga-empat potong baju baru saja terpasang di tali jemuran.
"Gludak...glodak....gludak...."
Suara dari rumah sebelah mengganggu konsentrasiku. Kaos oblong yang hendak kupasang di alat penggantung, terlepas dari genggaman. Jatuh ke lantai. Lantai yang belum sempat kusapu, boro-boro kupel. Agak kesal, kuambil kain itu sambil membungkuk.
"Krekkk..."
Oh, SHIT....
Suara tak baik. Aku sedikit mengaduh. Tulang punggungku terkilir sepertinya, keseleo, sudah ada cacatku di situ, cedera kambuhan. Nyeri betul.
Aku meringis kesakitan, sembari membetulkan posisi punggung, kupaksa berdiri lurus. Apes betul pagi ini.
Kupandangi tembok pembatas rumah kami, ke arah suara yang tadi menggangguku. Ada pembatas glassblock, bermotif kotak kotak kecil di dinding itu. Di satu bagian ada pula semacam lubang angin. Kedua celah itu, membuat suara dari satu rumah dapat didengar di ruang bersebelahan. Pun si penghuni bisa saling intip. Di beberapa kesempatan, bahkan bisa transfer barang. Lilin, pulpen, uang, kabel charger, tali, lolos semuanya. Yang penting asal bisa lewat aja.
Di balik dinding kulihat wajah seseorang, tampaknya dia mengintipku. Situasi yang aneh, kami saling intip.
"Kenapa mas Herman?" tanya sang pengintip
Aku memaksakan diri tersenyum. Senyuman basa basi. Berusaha menyembunyikan rasa sakit.
"Keseleo mbak."
"Gak kenapa-kenapa kan? Mau disalep kah? Koyo ada juga ini" tanyanya lagi, sekalian menawarkan bantuan.
"Nggak lah mbak, santai aja. Cedera ringan. Sepele," kembali kulayangkan senyum, sedikit lebih lebar dari yang pertama tadi. "Apa mau bantu jemur sekalian sini Mbak?"
"Mmmm... Boleh. Nanti gantian ya, Mas Heri yang ngurus cucianku."
Mas Heri? Siapa pula itu? Herman namaku woy! Semena-mena dia ganti nama orang.
"No deal. Pihak kedua memberikan syarat yang terlalu memberatkan. Perjanjian terpaksa batal," balasku.
Di ruang sebelah, Mbak Yanti cekikikan. Suaranya merdu. Semerdu saat sang pemilik melantunkan tilawah selepas maghrib. Aku tak terlalu paham soal seni baca kitab itu, yang jelas aku tak pernah protes, kunikmati saja irama-irama yang merambat dari dinding pembatas kami.
Senyum mbak Yanti adalah juga pemandangan indah bagiku. Bahkan lewat celah sekecil itupun, wajahnya tetap tampak cantik. Pipinya merona merah. Ah, seandainya aku punya kesempatan bersetubuh, bercinta, atau dalam situasi ini, berselingkuh, barang sekali saja, satu kali, maka tentulah wanita itu yang akan kupilih. Mbak Yanti yang kupilih.
Tak berani menatap pemandangan itu lama-lama, kembali kusibukkan diri mengurus cucian yang bertumpuk. Kucukupkan interaksi dengan tetangga sebelah.
Sang pengintip tadi, sekaligus pemilik mesin cuci jadul bin super berisik, sekaligus penghuni (atau pemakai?) rumah sebelah, bernama Yanti. Yanti Suhendro Mangunkusumo… atau Mangayubagyo? Siapa gitu lah, pokoknya nama bernuansa kental jawa. Nama Jawa, logat bicara Jawa, tapi perawakannya lebih mirip orang Arab, ada sedikit kesan eropa timur juga. Kulit putih, hidung mancung, bibir tipis, matanya itu yang tak lazim. Warna biru kehijauan. Unik sekali. Mata yang juga jadi daya tarik tersendiri bagi kami, kaum bapak-bapak komplek. Setidaknya obrolan tentang Mbak Yanti selalu bisa jadi pengusir kantuk saat ronda malam. Detail sosok Mbak Yanti seharusnya tak bisa kuceritakan terlalu banyak. Hampir setiap saat beliau mengenakan busana tertutup, full. Gamis panjang warna gelap, hijab lebar, kaos kaki, kaos tangan, kadang bercadar. Terlebih saat harus pergi keluar rumah, tak akan ada yang mengenali.
Beruntung, satu kenangan rahasia pernah kualami. Kenangan yang sedikit banyak bisa memberi gambaran seperti apa penampakan Mbak Yanti dibalik pakaian serba tertutup itu. Pernah sekali waktu, Mbak Yanti kudapati tengah menyiram tanaman di halaman depan, di pot-pot tanaman sekitaran teras. Dia bercelana training pendek, warna gelap, dan kaos lengan pendek warna putih, yang sedikit kedodoran. Di halaman yang berpagar tinggi dan tertutup itu, santai saja dia berpakaian, tanpa hijab. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Kumanfaatkan waktu itu sebaik-baik, dengan mengintip. Ada lubang angin di dinding carport, pemisah rumah kami bagian depan, yang bisa kupakai.
Aduuuhhhh mak, pemandangan indah itu. Rejeki tak disangka-sangka.
Kulit perempuan itu putih cerah, bersih, sedikit rona kemerahan, berkilau karena bias-bias cahaya pagi dari berbagai sudut. Tampak mulus, padahal hanya dari bagian tangan, kaki, dan sekitaran leher ke atas. Tubuhnya tampak seksi, postur ideal, lekukan-lekukan di pantat, pinggang, terlihat sangat menggoda. Samar-samar sebenarnya, tapi entah kenapa naluri lelakiku meyakininya. Tubuh bagian atasnya itu loh. Idaman betul, bak artis layar kaca. Dadanya menggembung, tak terlalu tampak bentuknya, tapi kurasa pasti bisa memuaskan para pria lapar. Besar pasti, tak cukup tanganku meremasnya, mungkin. Wajah Mbak Yanti pagi itu juga tampak segar, tak ada make-up seingatku, kecantikan alami.
Aku masih khusyuk mengintip. Penis mulai tegang, membayangkan aku yang kerempeng, berkulit gelap ini bisa menikmati tubuh indah Mbak Yanti. Satu hal yang betul-betul memaksa si penis tegang maksimum, adalah rambut Mbak Yanti. Rambutnya panjang, sedikit bergelombang, tebal, lebat, warnanya sedikit pirang, terlebih saat terpapar cahaya. Sesekali Mbak Yanti menyibak rambut, menyingkap area sekitar kuping yang juga indah, bersih, dengan warna kulit putih cerah.
Makin pusing aku. Pusing-pusing enak.
Satu aksinya kemudian, benar-benar kurang ajar. Darahku mendidih dibuatnya. Saat jari-jari lentik mbak Yanti, mengurut rambut indah itu, seolah menata ekor kuda, mengikatnya satu kali. Bagian wajah samping dan lehernya yang jenjang terpampang lebar-lebar. Aiiiih, lemah aku dibuatnya.
Mbak Yanti adalah Monica Belucci muda.
Tak sadar tanganku telah memulai aksi, mengelus-elus batang yang terasa makin kaku, masih dari luar celana.
Mataku terpejam. Fantasiku membumbung...
***
Membayangkan diriku menikmati Mbak Yanti. Tidak, kami akan saling menikmati.
Kulucuti pakaian nya satu-persatu.
Kupaksa mulutnya mengoral penis tegangku, kupaksa masuk, mentok. Biarkan saja ia tersedak, biarkan ia menderita. Saat penderitaannya memuncak, segera kuhempaskan tubuhnya di kasur. Kugagahi. Kasar, tempo tinggi, tanpa jeda. Payudara ranumnya tentu tak boleh terlewat, wajib kuremas kasar, lalu kukenyot tanpa ampun. Aku yakin arus kenikmatan turut ia rasakan. Arus yang akan menuntunnya ke alam lain, membuat mulutnya tak kuasa untuk turut campur, mendesah dan mengerang, mengeluarkan suara-suara erotis. Suara yang juga mengantar syahwatku ke level tertinggi.
Pun aku yakin, Mbak Yanti tak cukup puas dengan penetrasi ringan. Lubang pendamping di sebelah dalam, perlu pula kujelajahi, lubang anus. Kontolku yang telah licin akibat pelumas cinta milik si Embak, kupastikan lancar merobek lubang pantat itu. Akan kudorong kuat-kuat, memaksa Mbak Yanti berteriak. Teriak sakit, teriak nikmat, aku tak peduli, tak kuambil pusing. Akan kupenuhi liang dubur itu dengan kontol beruratku.
Hingga waktu itu tiba, tahap penghabisan. Mulutnya yang kujadikan korban pertama.
Cprotttt....cruutt...crooottt...crooot...crtooott....
Mulut binalnya kuwajibkan menampung spermaku yang muncrat, lalu menelan cairan kental itu.
Babak satu selesai. Tak ada jeda, babak kedua, ketiga, keempat, segera menyusul kemudian...
***
Aku kembali ke dunia nyata...
Celanaku sudah basah, tembus, rembes akibat kelakuan oknum tersangka yang bergelantungan di selangkangan.
Loh, eh. Loh, eh...
Aku ngecrot dari dalam celana!
Kuperiksa lubang intip itu, Mbak Yanti sudah tak tampak lagi. Sementara lubang pipisku basah luar biasa, puas tanpa izin.