Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Work is work, sex is sex [Tamat]

Saya ingin meng-explore cerita tentang rekan-rekan kerja Ted dan Nita, apakah tertarik?

  • Ya

  • Tidak


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Welaaah pikir saya apdet sambil lihatin CS bank suhu ...
 
Siang Boss...kapan Lanjutannya...Mdh2an Tedy bisa jadi ama anita ya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter XXXV
I Will...



Jumat, 3 Juli 2015

Baru pukul 0815, Telphonku tiba-tiba saja berdering pagi ini, di nomor pribadiku, bukan nomor kantor. Siapa lagi menelphon ku di nomor ini, terlebih nomor itu terdak tersimpan di ponselku. Yang pasti ini bukan urusan pekerjaan karena nomor ini bukan untuk kerjaan. Akhirnya aku mengangkat telphone itu setelah berusaha mengingat nomor itu dan tidak berhasil.

Ternyata suara yang berada di balik nomor tidak ku kenal itu adalah Zahra, Teman kuliahku dulu.

“Ted, kamu sudah cek web site belum?”, tanya nya tanpa basa-basi.

“Ha? Siapa ini?” aku malah bertanya kembali karena bingung mendapat pertanyaan basa-basi.

“Zaza, Ted…”, jawabnya cepat, oh iya aku lupa jika dulu panggilannya ada Zaza, Zaza Gray ups.

“kiraian siapa nih yang nelphon, web site apa?”, tanyaku lagi masih tidak tahu website yang dia maksud.

“Web Site kampus, hasil tes masuk mu kemarin Dora”, sudah lama tidak ada orang yang memanggilku dengan panggilan itu. ‘Dora’ dari Theo’Dor-a’ ku, beberapa teman-teman dekatku dikampus dulu memiliki panggilan sendiri-sendiri, seperti Zahra ‘Zaza-Gray’, Edward ‘Dwarf’, Adi ‘Dingdong’, dan beberapa lagi yang kurang berkesan.

“Bisa lewat web-site ya? Aku kira bakalan di email atau sms atau apalah gitu”, jawabku sambil dengan bercanda, seingatku dulu waktu seleksi masuk PTN dulu, pengumumannya lewat koran.

“Sekarang sudah canggih, dasar gaptek! Yang di email itu user dan passwordnya”, jawab Zahra dari sisi lain telphone ini.

“Wah mesti log-in lagi ya, di kantor ngak bisa akses internet luar nih, lewat smartphone bisa kan?”, tanyaku lagi padanya, berhubung dia mengataiku gaptek, sekalian saja pura-pura.

“Bisa lah!”, jawabnya singkat.

“Tapi, kalau kamu sudah nelphon sepagi ini, harusnya aku lulus dan sebenarnya kamu mau telphon untuk kasih ucapan selamat! Ya kan?” jawabku dengan sambil bertanya lagi padanya, dengan analisis yang asal kena, dan juga dengan kepercayaan diri super bahwa aku pasti lulus.

“Ah Kunyuk!!! Sharp as always, iya SELAMAT kamu lulus ujian masuk perguruan tinggi xxxxx”, jawabnya yang mengubah suaranya seperti pengumuman kuis.

“YES! I told you!”, tidak sadar aku berdiri, walaupun tidak terlalu bangga dengan hasil ujianku karena menurutku gampang, tapi aku cukup senang di terima.

Pak Stably lalu mengangkat kepalanya dan melihat ku, aku menatapnya balik, dan menunjukkan dengan bahasa bibir ku “I’M IN!” dan menunjuk kepada diriku sendiri. Pak Stanly hanya mengangkat jempolnya dan tersenyum, dan langsung kembali mengubah ekspresinya menjadi datar, dan menunjukku menyuruhku duduk. Akupun duduk kembali.

“Nice work, tapi kaya memang gampang sih soalnya, di bandingkan gaya pendidikan kita dulu di XXX (kampus Almamater kami)”, sambung Zahra sambil terdengar serius.

“Iya sih, makanya ngak susah amet, padahal ngak belajar banget juga”, jawabku sedikit sombong.

“Masih saja ya sombong kaya dulu! Sudah Aku mau kerja dulu, sekali lagi Congrat ya!”, katanya Zahra nya sepertinya sudah akan mengakhiri pembicaraan kami.

“Thank you so much, see you in campus?”, tentunya aku akan mengucap terima kasih, atas ucapa yang datang padaku kan.

“Yeah, my student”, jawabnya sekarang yang sombong.

“Hahahaha… Siapa yang sombong sekarang… udah mau kerja juga nih… talk soon…bye…”, sekarang lihat siapa yang lagi menyombongkan diri.

“Bye…” suara di ujung sana yang di akhiri dengan telphon yang berakhir.

Tentunya rekan-rekan di ruangan juga mendengar percakapanku, terlebih lagi mereka belum in-zone pekerjaan mereka, jadi masih sempat menguping. Mereka bergiliran memberikanku ucapan, satu persatu, Hans, Frank, Bobby, Santi, Mbak Claudia, Pak Stanly, dan tentunya Inggrid dan Anita.

Setelah berbincang mengenai kampus baruku, itu mereka semua akhirnya di tegur pak Stanly untuk kembali kemeja masing-masing mengerjakan yang perlu di kerjakan, dan membantunya menyelesaikan laporan yang harusnya selesai hari ini.

Di saat yang hampir bersamaan juga, masuk pesan dari Inggrid dan Anita, dan pesannya juga hampir sama. Mau memberikanku kado untuk kelulusanku, aduh kado macam apa yang akan mereka berikan padaku. Dan semoga tidak bersamaan, agar aku bisa mengatur waktu bersama mereka berdua.

***

Seperti seorang banking yang baik, walaupun hanya bagian support, aku harus selalu menghitung pengeluaranku dengan benar dan baik. Tabunganku selama bekerja di bank ini sudah cukup lumayan, 1/3 gajiku untuk menyicil apartementku sekarang, 1/3 ku tabung dan 1/3 kugunakan untuk keperluan harianku dan lebihnya aku tabung, penghasilan tambahan dari melatih di dojo juga lumayan walau tidak seberapa, itu juga masuk dalam tabungan tersendiri agar tidak tercampur dengan gajiku.

Setelah di kurangi dengan uang pangkal, uang pembangunan, uang semester pertama dan kedua, karena rencananya uang semester ketiga dan keempat akan ku tabung lagi selanjutnya, sepertinya masih ada kelonggaran tarik untukku. Ya kelonggaran tarik itu bisa juga untuk membeli mobil sejuta umat yang kalau di lihat di parkiran pusat perbelanjaan akan banyak berderet itu.

Spesifikasi paling rendah dengan mesin 1300cc, interior minum, dan transmisi manual, ya mungkin pasang sensor, kamera mobil, pembungkus jok dan riben gelap tentunya, tentunya, danaku masih bisa lah. Aku harus melakukan perhitungan kembali untuk biaya hidupku sebelum memutuskan jadi atau tidak membeli mobil saat itu. Biaya bensin, parkir, perawatan bulanan, service berkala, asuransi, harus di hitung lagi nih dengan lebih teliti sebelum membelinya, dan belum lagi dekat lebaran biasanya kan ada promo, harus di manfaatkan sebaik mungkin.

-

Setelah bersemedi di mejaku dari setelah jam makan siang, hingga sekarang pulang kantor, dengan table excel yang sudah penuh dengan perhitunganku, aku masih bisa hidup dengan wajar jika membeli mobil ini. Akuputuskan tinggal mencari dealer dengan harga termurah di kota ini, atau mungkin aku bisa melakukan sedikit kontak dari bang Andre untuk mencari kenalan dealer. Karena kalau aku mencari ko Alex sepertinya mobil itu akan keluar tanpa aku mengeluarkan uang. Aku pun segera mengirim pesan singkat pada Bang Andre dengan cacatan tidak boleh diketahui Ko Alex.

Atau mungkin kutanyakan saja pada Inggrid, ayahnya itu juga punya beberapakenalan dealer pastinya karena cukup banyak membeli truk pabrikan yang sama dengan mobil yang akan ku beli ini. Mungkin saja dapat potongan dari kenalannya itu ^-^.



Akhirnya sudah waktunya pulang kerja, aku harus segera merapikan pekerjaanku, dan semuanya. Hari ini sebenarnya aku ingin “bersenang-senang” di Dojo, tapi karena Nita mengajakku untuk keluar, jadi tentu saja aku akan menemaninya, sedangkan Inggrid sendiri memutuskan untuk menemaniku besok sehabis dari Dojo. Indahnya hidupku jika semua terus berjalan dengan lancar seperti ini, tapi akan ada waktunya aku harus memilih antara Nita dan Inggrid, aku tidak mungkin terus bersama dua hati ini, dan hatiku tidak akan bisa selamanya mendua. Aku sadar aku salah, tapi kesalahan ini begitu indah dan nikmat, mungkin karena belum ada konsekuensi yang menyambarku.

Sebelum pulang juga aku meminta izin pada Pak Stanly untuk masuk siang hari senin nanti, karena aku ingin segera mengurus urusan perguruan tinggiku ini, dan bisa menyelesaikan satu masalah ini. Dan karena pekerjaan memang sudah pasti santai Senin ini, dia mengizinkanku, yang pasti jangan absen ketika datang, karena akan terbaca di sistem, lapor saja lupa absen pagi biar HRD tidak tahu, Dia benar bos pengertian.

***



Akhirnya setelah beberes dan mandi di apartementku, aku sudah siap menjemput Nita, dengan motor kesayanganku ini, aku sadar belakangan dia sedikit terbengkalai, belum ku cuci lagi, dan belum ku gosok dengan wax, mungkin besok sebelum ke dojo aku bisa membawanya ke bengkel langgananku untuk menikmati perawatannya, sekali-kali motor ini perlu di manjakan.

Ku naiki motor R15 ku ini, aku menggebernya cukup kencang dalam parkiran apartementku, terasa knalpotnya yang cukup keras tapi bunyinya masih bulat walau kurang perawatan, tetap bertenaga walau dia harus mengantarku tiap hari kemana-mana. Ku angkat kopling motorku, dan sempat wheeling sebentar dan melaju kencang meninggalkan parkiran.

***

Tidak butuh waktu lama 1845 aku sudah berada di depan rumah Nita, dengan knalpotku yang gahar, dan bisa jadi bahan untuk bertengkar dengan polisi sih sebenarnya, tapi aku tetap beberapakali lolos dengan argumen tidak melebihi 90 desibel. Ternyata Nita belum selesai dan Ibunya yang menyambutku dan menyurhku masuk terlebih dulu, dan menunggu di dalam saja.

“Katanya Nak Tedy lolos seleksi S2 ya?” tanya Ai Meily, mengawali pembicaraannya sambil menunggu anaknya dandan.

“Iya ai, baru hari ini pengumumannya”, jawabku sambil tersenyum sumringah.

“Selamat ya Nak” katanya memberikanku semangat.

“Berapa lama itu kuliahnya?” sambil bertanya kembali padaku.

“Kalau umumnya 2 tahun ai, kalau bisa cepat satu setengah tahun sudah bisa lah”, jawabku dengan percaya diri juga aku bisa menyelesaikan secepatnya.

“lumayan juga ya… kamu biaya sendiri?”, tanya lagi, aku mulai merasa Ai Meily menuju ke sesuatu.

“Iya Ai, aku usahakan sendiri semuanya”, jawabku ringan dan cepat, biar terkesan sombong, eh terkesan mampu.

“Orang tua masih ada?” pertanyaan yang sudah menjurus ke orang tua, aku yakin dalam beberapa pertanyaan kedepan akan ada pertanyaan ‘Kamu serius dengan putriku?’, dan ‘rencananya kapan?’

“Syukur, orang tua berdua masih sehat”, jawabku menanggapi pertanyaan Ai Meily yang terus berlanjut ini.

“Katanya kamu asli kota XXXX, orang tua usaha di sana?”, tanyanya lagi, membuatku semakin yakin ujung pertanyaan ini, semoga Nita cepat selesai.

“Iya, dari Kecil sampai kuliah di sana, orang tua usaha properti kecil-kecil”,jawabku memenuhi pertanyaannya, usaha kecil-kecil yang kecil-kecil jadi bukit, aku tidak bohong. Kemudian sejenak Ai Meily terdiam, sepertinya juga menempatkan kata-katanya di susunan yang baik sebelum menjatuhkan pertanyaan selanjutnya.

“Nak Tedy sekarang sudah umur berapa?”, nah ini menuju kesana banget nih pertanyaan.

“Tahun ini 25 ai”, jawabku singkat, dan jelas, dan tidak perlu pertanyaan lagi, tapi pertanyaan selanjutnya pun tiba.

“Nita tahun ini sudah 26 loh nak, kamu serius sama anak Ai?”, sudah ku duga pertanyaan pamungkas dari orang tua ini akan datang padaku, tapi tidak kuduga secepat ini, walau hubungan kami telah jauh, dan walaupun aku siap menikahnya, hatiku kini terbagi antara Nita dan Inggird.

“SERIUS ai!” jawabku dengan suara yang tegas, ya aku serius dengan hubunganku dengan Nita, tidak ada yang tidak serius antara aku dan Nita.

“Bagus kalau begitu, ai lega”, jawabnya sambil tersenyum padaku dan mengelus dadanya, mungkin semua kekawatiran orang tua itu sama, ingin meliha anaknya menikah dan memiliki hidup yang lebih baik bersama orang yang dia cintai.

“Ah Mami, kok tanyanya gitu”, rupanya Nita sudah muncul dari dalam dan dia mendengarkan, aku yakin dia sudah mendengar dari tadi dan hanya ingin mendengar jawabanku juga.

“Kenapa? Mami kan hanya bertanya, kalau Nak Tedy serius ya bagus!”, jawab Ai Meily membela dirinya sendiri yang kedapatan mengintrogasiku.

“Ah bikin malu saja mami ini...” sambil kemudian Nita menyambar tanganku dan menarikku menjauh ke arah luar menuju motorku.

“Sudah ma… Pergi dulu ya…!”, kata Nita sambil menarikku keluar pagar.

“Ai, pergi…” kataku sambil meninggalkan rumah itu dan langsung naik ke motor.

***

Aku dan Nita berboncengan di motorku, Nita memelukku erat, menyenderkan kepalanya ke pundakku, rasanya hangat ketika Nita bersamaku seperti ini. Dalam keadaan ini aku malah teringat Inggrid, dia tidak pernah ku bonceng seperti ini, tidak pernah seperti ini. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku. Nita tidak boleh tahu apa yang sedang kupikirkan ini, dia belum waktunya tahu, dan aku belum siap jika semuanya terbongkar di hadapan Nita.

Kami kesebuah pusat perbelanjaan di kota ini, walau kami harus berjalan dengan jarak tanpa bergandengan tangan agar tidak ada yang melihat kami bermesraan, aku sudah cukup senang bisa jalan berdua dengan Nita. Kami singgah ke pusat permainan di mall itu dan memainkan beberapa permainan, dari mesin basket, air hocky, bola tangkas (ya seperti bola tangkas sebenarnya yang di ganti dengan hadiah tiket), dan juga capit-capitan boneka tapi aku tidak berhasil mendapatkan satupun untuk Nita, sial.

Kami juga berbelanja beberapa barang di bagian supermarketnya, untuk mengisi kulkasku tentunya, karena memang sudah waktunya aku belanja bulanan. Mungkin ketika kami menikah ini juga rutinitas kami, ini juga yang akan kami lakukan mengisi weekend kami. Rasanya simple dan intim.

Setelah selesai berbelanja, tidak terasa juga waktu bergulir begitu cepat jika bersama Nita dan Inggrid, sudah pukul 2130. Jika bersama mereka berdua seluruh waktu di dunia inipun mungkin tidak akan cukup untukku.

Akhirnya kami kembali ke apartementku, setibanya di apartement aku merapikan belanjaan masuk ke dalam kulkas dan lemari-lemari di dapurku, dan beberapa kebutuhan lainnya.

“Ted, karpetmu lagi di cuci?” tanya Nita yang memperhatikan bahwa ruang tamuku kini tidak berkarpet. Tentu saja ku cuci karena penuh dengan iler Nita dan Inggrid karena kejadian semiinggu lalu, dan pastinya sudah berbercak. Lantai dengan partisi kayuku tetap terasa cozy walau tidak tertutup karpet, tapi tentunya debu bisa dengan mudha masuk ke dalam sambungan partisi itu.

“Iya, aku lupa ngambil tuh, padahal sudah beberapa hari…” jawabku dari arah dapur yang masih merapikan barangku.

“Besok aku bantu ambilin deh, mana notanya?”, tanya Nita lagi yang sedang duduk di sofaku dan menyalakan TV.

“Biar saja dulu, suasana baru dulu tanpa karpet”, jawabku lagi sekarang sudah selesai merapikan belanjaan tadi dan keluar dari dapurku.

“Padahal aku suka baring di atas karpetmu loh Ted, apalagi kalau kamu lagi …”, katanya Nita dengan menarik panjang ‘lagiiiii’ nya.

“Lagi apa…?” tanya ku pada Nita memancingnya, sambil mendekatinya yang sedang duduk di sofaku.

“Lagi menguasai budak mu ini..”, sambil Nita merangkulkan tangannya ke leherku dan menarikku untuk mengecup bibirnya. Kali ini, malam ini kami kembali bergumul di atas sofa ini, rasanya erat pelukan Nita di tubuhku, rasanya hangat kecupan ini di tengah apartementku yang dingin.

Ciuman kami berlanjut dalam pelukan yang hangat, rasanya begitu indah bisa bersama dengan Nita. Rapatnya tubuh kami ini terasa sangat hangat, dekapan yang nyaman dan dekat ini. Kecupan ini semakin dalam, rasanya aku ingin meleleh bersatu dengannya, menjadi satu dengan Nita dalam pelukan ini. Ku cumbu bibir manis Nita, ku usap tubuhnya, ke rangkul pinggangnya, ku dekap semakin erat dan erat.

Nita membalik tubuhku yang tadi berada di atasnya, dan kini dia sedang berlutut di atas selangkanganku, dan bibir kami kembali bertemu. Nita mulai menggosok-gosokkan pinggulnya di atas selangkanganku, di gerakkan pinggulnya maju mundur mengesek penisku yang masih terbungkus rapi dalam celanku, membuatku sesak, membuatku ingin segera membebaskannya dari kurungan ini.

Nita turun perlahan, lidahnya mulai menyusuri leherku, dan diapun mengangkat baju kaosku. Nita perlahan mengecup dadaku, dan memainkan lidahnya di putingku, memainkan lidahnya dengan lembut. Ku usap rambutnya yang hitam indah ini, wanita ini begitu memanjakanku, menyerahkan seluruh dirinya padaku, sesuatu yang harus ku syukuri. Setelah bermain dengan putingku yang kanan, kemudian dia berpindah ke yang kiri, dan dia sekali-kali mengecupnya.

Dalam kesibukannya bermain di dadaku, aku meraih kaosnya dan menariknya ke atas, membuat tubuh putihnya terlihat, terbalut senada dengan bra putihnya, tubuh yang indah. Ku remas dada itu, rasanya kenyal dan pas di genggam, benar-benar pas. Rasanay nikmat di telapak tangan ini, rasanya sensasi di sentuhan kulit ini.

Nita kemudian turun dari sofa, dan berlutut di hadapanku, berusaha membuka ikat pinggangku dan membuka celanaku, menariknya turun bersama celana dalamku. Membebaskan penisku dari kurungannya, membelaskannya agar bisa ‘bersarang’ dalam ‘liang’ sorga Nita. Lidah Nita yang basah, langsung menyusuri batang penisku, mengusapnya dari bawah hingga ke atas, dan sebaliknya, menyentuh zakarku dan memainkannya sejenak, dan kembali memasahi seluruh batang penisku.

Perlahan Lidah itu menghantarkan kelapa penisku masuk kedalam rongga mulut yang nikmat ini. Lidah Nita tertap mengusap penisku berkeliling hingga penisku perlahan masuk ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, keluar masuk, semakin lama penis ini semakin terbenam kedalam mulut itu. Kembali ku usap rambut Nita, dia telah berusaha memuaskanku, memberikanku kenikmatan, memberikan ‘Tuan’nya ini kenikmatan dengan bibirnya.

Nita kini memasukkan seluruh batang penisku kedalam mulutnya, dengan sedikit bantuan dari tangannya, dia mengangkat kantung zakarku sedikit keatas, dan dari celah mulutnya Nita menjulurkan lidahnya, dan menyentuh kantung zakarku. Sensasi ini, penis yang sedang di sedot, dan kantung sakar yang di sentuh dengan lidah hangat, rasanya luar bisa. Walaupun tidak lama karena akhirnya Nita terbatuk karena penisku masuk terlalu dalam.

Mulut Nita menjauh dari penisku, aku melihat bibirnya basah dan meneskan liur dari sekujur bibirnya, dan tentunya penisku telah mengkilap basah karena liur yang sama. Kembali Nita memasukkan penisku ke dalam mulutnya, berusaha memasukkannya semakin dalam, hingga hidungnya mengenai tubuhku, dan terasa berberapa kali dia tersedak, tapi tetap dia masukkan. Penisku sendiri seperti menyentuh sesuatu, apakah itu tenggorkannya, apakah itu akupun tidak tahu. Nita kembali mengeluarkan penisku dari mulutnya.

Kini benar-benar basah selangkanganku dengan liur Nita yang mengalir, terbantang liur-liur yang terhubung dari penisku ke bibir Nita, yang kemudian dia mainkan dengan lidahnya, Nita terlihat binal malam ini. Nita menggigit bibirnya dan tersenyum padaku, walau matanya terlihat sedikit berair, karena tersedak tadi.

Nita berdiri dan mulai memelorotkan jinsnya dan menunjukkan celana dalam yang senada dengan branya, alangkah indahnya tubuh sekal di hadapan ku ini, putih, terbentuk dan kuat. Bukan hanya fisik, tapi juga pikirannya cerdas dan jiwanya matang, sungguh beruntung diriku.

Nita beranjak, menuju tasnya yang dia letakkan di samping tv ku, merogoh kedalamnya, mengambil sesuatu dan mengenakkannya. Chockernya kini telah terpasang di lehernya, berwarna biru, kontras dengan warna kulitnya. Nita tersenyum kepadaku dan mengambil posisi bersimpuh, dan mulai mengikat rambutnya ke belakang.

“Violate me Master!” (kalau di terjemahin lurus bisa : cabuli aku tuan), mendengar ucapan Nita itu membuat darahku berdesir, membuatku berkecamuk. Aku pun berdiri, dan menjatuhkan celanaku, kini aku telah telanjang di hadapan Nita. Namun tubuh Nita masih terbungkus bra dan celana dalamnya, tapi takkan lama. Aku berjalan mendekati Nita, dengan tubuh tegap ku dan juga penis yang sudah mengacung keras kini tepat di hadapannya.

Ku sentuh bibirnya dengan jariku, ku permainkan bibir manis ini dengan jariku, ku usap dan ku belai. Lalu ku jejalkan masuk jari telunjuk dan jari tengahku delama mulutnya, hingga dia sedikit tersedak, lalu kutarik lagi. Kulakukan hingga berberapakali, dan membuat matanya berair, dan mulutnya di penuhi liur yang mengalir. Kugerakkan pelan jariku, tidak sedalam sebelumnya dalam mulut Nita, dia memainkan lidahnya, memutar dan menjilatinya, mengisap dan mengecup jariku seperti sedang mengulum penisku. Matanya perpejam menikmatinya, mungkin sedang membayangkan penisku.

Muncul bisikan dalam pikiranku, dalam benakku. Ku tarik jariku dari mulut Nita, bibirnya masih terbuka dan matanya masih terpejam, masih menunggu jariku kembali atau berharap penisku yang masuk kedalam mulutnya. Alih-alih itu, ku layangkan tamparan ke pipinya, “PLAK”. Nita malah tersenyum kecil karena tamparanku itu, dia menikmatinya.

Ku jambak rambutnya dan kutarik kepalanya ke belakang, lalu ku tempelkan bibirku pada telinganya.

“Beg for it, slut”, upcapku lalu ku jilat telinganya membuatnya geli, dan kulihat bibir Nita kembali ternyum manis.

“yes, Master”, jawab suara manja itu, terdengar merdu di telingaku, membuat penisku berkedut.

“I’m your slut, tolong pakailah pelacurmu ini”, sambil Nita merapatkan kedua tangannya seperti sedang memohon padaku, dengan mata yang masih terpejam dengan suaranya yang manja, membuatku semakin saja bernafsu padanya.

“Pakailah mulut kotorku ini Tuan, dan memek basahku ini… Semua hanya untukmu Tuan!’ sambil tangan Nita mengusap bibirnya dan menjamah vaginanya dari luar celana dalamnya. Sangat menggoda, sangat binal, tentu saja akan ku ‘gunakan’ tubuhmu Nita sepuasku, sekehendakku.

Ku hujamkan penisku kedalam mulut Nita dengan cepat, dan langsung menyentuh pangkal mulutnya, membuatnya tersedak, namun Nita tetap mempertahankan kepalanya, dan perlahan menggerakkannya keluar masuk. Menggerakkannya dengan cepat dan mengeluarkan suara percampuran luir dan hisapannya. Tanganku hanya bisa membelai rambutnya ketika Nita memberikanku kenikmatan ini.

Nita masih berusaha melakukannya, namun berselang beberapa saat gerakannya melambat, tubuhku yang sudah di kuasai nafsu ini, tidak ingin kehilangan kenikmatannya. Tanganku yang awalnya membelai rambutnya kini menjambaknya, menahan kepalanya tetap di posisinya, dan pinggulku mulai bergoyang. Merajam dan menghentak masuk kedalam rongga mulut Nita, wajah Nita beberapa kali terhantam di perutku ketika penisku masuk hingga kedalam mulutnya, membuatnya tersedak, dan memuntahkan liur dari antara celah bibir dan penisku.

Nita terengap-engap berusaha mengatur nafasnya ketika penisku ini masih keluar masuk dalam mulutnya, membuatnya mengalirkan liur yang banyak hingga menetes kemana-mana, membasahi pahaku, dan juga kini telah membasahi leher dan branya. Aku sudah tidak tahan lagi, aku harus merasakan vaginanya, aku harus merajam rahimnya dengan penisku, tubuhku menginginkannya.

Aku melepaskan penisku dari mulutnya, tapi bibir Nita seolah ingin mengejar penisku tidak ingin melepaskannya, namun tanganku kembali menjabak rambutnya kebelakang menahan kepalanya. Lalu ku seret dia perlahan dari posisinya, dia merangkak dengan rambut yang tidak ku lepaskan, perlahan ke sofa. Ku banting tubuhnya ke sofa, dengan wajah terlebih dulu, kini posisi Nita berlutut di sofa, dengan tubuh pada bagian sofa, dan bokong yang menungging dan berlutut di lantai.

Segera ku tarik celana dalam Nita turun hingga selututnya, dan kucobel vaginanya yang sudah banjir dengan jariku. Kumainkan jariku, sedikit berputar di dalam sana, mengelus sisi dalam dari vaginanya, terasa hangat dan basah tentunya. Hanya terdengar desahan halus dari bibir Nita dan kedua tangannya seperti membantuku mencabuli dirinya, tangannya membuka bongkahan bokong itu, membiarkanku dapat melihat vaginanya dengan jelas.

Aku kini juga berlutut di belakang Nita, dengan mengarahkan penisku di mulut vaginanya. Menggesek bibir vaginanya, dan mengelus rambut Nita yang terikat.

“Apa kamu sudah siap untuk kontolku?” bisik ku pada Nita, sambil memainkan penisku di bibir vaginanya.

“Iya Tuan, Aku mohon masukkan kontolmu tuan… Penuhi memek ku dengan Kontolmu…”, tidak perlu permohonan kedua dari Nita, ku dorong pinggulku dan memasukkan seluruh penisku sekaligus dalam vaginanya. Terasa menjepit dan hangat, rasanya penisku berkedut ketika memasuki ‘liang’ suarga ini. Terdengar lenguhan panjang dari Nita ketika penisku masuk sekaligus, mungkin dia terkejut, mungkin perih atau mungkin Nikmat, aku tidak peduli lagi.

Aku mulai menggerakkan pinggulku maju dan mundur, begitupun penisku ikut bergerak keluar dan masuk dalam vagina Nita, terdengar bunyi benturan pahaku dan bokong Nita, seperti orang sedang bertepuk tangan, semakin cepat ku gerakkan semakin cepat pula tepukan itu, dan diiringi dengan desahan-desahan dari bibir Nita yang memenuhi ruangan, seolah suara tv tertutup olehnya.

“ah…ah… Tu..an…” desah Nita dalam hujaman-hujamanku yang terus menerus.

Ku tarik kedua tangan Nita kebelakang, menariknya cukup kencang hingga tubuhnya yang sebelumnya terbaring di sofa terangkat, membuat dadanya yang sintal teracung jelas, walau aku di belakang aku bisa melihatnya dengan jelas pantulan kaca terasku. Desahan Nita semakin menjadi-jadi, karena tarikan tangan dan hentakanku ku usahakan seirama, agar semakin dalam dan semakin bertenaga setiap hentakan yang kuberikan padanya.

Tidak butuh lama dengan posisi itu, Nita sepertinya sudah akan jobol, nafasnya semakin tidak beraturan dan semakin merancuh tidak jelas.

“Tuan…… Aku….mau….”, desahnya berusaha menyelesaikan kalimatnya.

“Tahan, tidak boleh sebelum aku….” Belum aku menyelesaikan kalimatku, Nita sudah melenguh panjang dan terasa cairan hangat telah membasahi penisku, ah sialan Nita sudah keluar duluan. Tubuhnya menjadi berat, dan seperti terjuntai saat dia selesai berkedut. Desahannya menjadi lebih kecil, namun aku tidak mempedulikannya, akan ku selesaikan malam ini setelah beberapa hari ini aku tidak tuntas.

Aku lepaskan pengagangan ku pada tangan nita, membuat tubuhnya kembali terbaring di sofa. Tapi kini tanganku melingkar di pahanya menarik tubuhnya lebih keluar dari sofa, dan merapatkan kedua pahanya. Ku peluk paha dan bokongnya itu dan berusaha menghujamkan penisku semakin cepat ke vagina Nita.

“Ah…Ah….ah…” tiba-tiba Nita mendesah lagi, terasa ada cairan hangat lagi yang membasahi penisku, tapi kali ini hingga ke pahaku, oh ia aku lupa kalau Nita Squirt. Kini tubuhnya benar-benar lemas setelah melepaskan cairan itu, seperti seonggok daging yang tak berdaya ku gagahi dari belakang.

Aku kemudian menarik rambut Nita, menjambaknya lagi, menarik tubuhnya naik, dan tepat di telinganya.

“Akan ku banjiri memekmu dengan peju ku”, lalu ku gigit telinga Nita, dan kupercepat gerakan pinggulku, aku sudah akan sampai. Tiba-tiba tangan Nita memengang pahaku, dan seperti berusaha mendorong walau tidak ada tenaganya.

“Jangan… di da…lam tuan…”, Nita merengek dalam desahannya, dia tidak ingin aku menumpahkannya di dalam, bukankah dia adalah budakku sekarang, beraninya dia memerintahku. Kupercepat gerakanku, semakin cepat, dan kasar.

“a..ku bisa… hamil Ted….” Terdengar lagi lirih dari bibir Nita kata itu. Rasanya kupingku panas, aku malah sengaja ingin mengeluarkannya di dalam.

Aku menarik tubuh Nita turun dari sofa, dan membalikkannya dengan cepat agar aku tidak kehilangan tempoku, lalu ku angkat pinggulnya hingga ke atas. Membuat tubuh Nita kini bertumpu pada punggu dan lehernya, membuat vaginanya terbuka lebar di hadapanku dan kakinya bergelayutan terbuka yang kutahan dengan tangannku. Tubuh lemas Nita tidak bisa berbuat banyak, kembali ku hujamkan penisku ke vaginanya. Dengan posisi ini Nita bisa dengan jelas melihat wajahku dan juga penisku yang sedang keluar masuk dalam vaginanya.

Kuhujam penisku semakin cepat dan kencang, membuat tubuh Nita seperti terguncang dengan keras.

“Kalau hamil… kenapa…?” tanyaku pada Nita dengan provocativ, “ Akan… ku nikahi kamu Nit…” dalam hujamanku ucapan ku itu membuat senyum lebar merekah dari bibir Nita. Ku gerakkan lebih cepat pinggulku dan semakin cepat, rasanya sudah sangat dekat.

Ku hujamkan dan ku benamkan penisku dalam-dalam, dan semburan pertama terasa begitu nikmat, mengirimkan getaran keseluruh tubuhku, hingga ketengkukku, belum selesai ku nikmati semburan itu, keluar semburan berikutnya, dan berikutnya, rasanya Nikmat. Ku biarkan penisku dalam vagina Nita, hingga semua kedutan nikmat surga dunia ini berlalu, semuanya ku tumpahkan dalam vagina Nita.

Ku dirikan badanku, dan ketika itu penisku terlepas dari vagina Nita, terdengar seperti bunyi minuman kemasan yang baru terbuka ‘pluk’, spermaku seperti terciprat keluar dari vagina Nita, penisku yang belum layu sepenuhnya terbungkus cairan putih. Spermaku terlihat mengalir sedikit demi sedikit keluar dari vagina Nita yang berkedut. Mungkin karena sudah lama tidak keluar hasilnya membanjiri vagina Nita.

Ku baringkan tubuh Nita dengan baik, di lantai, membiarkannya mengatur nafasnya, begitupula aku yang berusaha mengatur nafasku yang baru saja mencapai kenikmatanku. Aku baru menyadari tubuh kami telah penuh peluh walau di ruangan yang ac ini terasa dingin.

***
 
Chapter XXXV
I Will...



Jumat, 3 Juli 2015

Baru pukul 0815, Telphonku tiba-tiba saja berdering pagi ini, di nomor pribadiku, bukan nomor kantor. Siapa lagi menelphon ku di nomor ini, terlebih nomor itu terdak tersimpan di ponselku. Yang pasti ini bukan urusan pekerjaan karena nomor ini bukan untuk kerjaan. Akhirnya aku mengangkat telphone itu setelah berusaha mengingat nomor itu dan tidak berhasil.

Ternyata suara yang berada di balik nomor tidak ku kenal itu adalah Zahra, Teman kuliahku dulu.

“Ted, kamu sudah cek web site belum?”, tanya nya tanpa basa-basi.

“Ha? Siapa ini?” aku malah bertanya kembali karena bingung mendapat pertanyaan basa-basi.

“Zaza, Ted…”, jawabnya cepat, oh iya aku lupa jika dulu panggilannya ada Zaza, Zaza Gray ups.

“kiraian siapa nih yang nelphon, web site apa?”, tanyaku lagi masih tidak tahu website yang dia maksud.

“Web Site kampus, hasil tes masuk mu kemarin Dora”, sudah lama tidak ada orang yang memanggilku dengan panggilan itu. ‘Dora’ dari Theo’Dor-a’ ku, beberapa teman-teman dekatku dikampus dulu memiliki panggilan sendiri-sendiri, seperti Zahra ‘Zaza-Gray’, Edward ‘Dwarf’, Adi ‘Dingdong’, dan beberapa lagi yang kurang berkesan.

“Bisa lewat web-site ya? Aku kira bakalan di email atau sms atau apalah gitu”, jawabku sambil dengan bercanda, seingatku dulu waktu seleksi masuk PTN dulu, pengumumannya lewat koran.

“Sekarang sudah canggih, dasar gaptek! Yang di email itu user dan passwordnya”, jawab Zahra dari sisi lain telphone ini.

“Wah mesti log-in lagi ya, di kantor ngak bisa akses internet luar nih, lewat smartphone bisa kan?”, tanyaku lagi padanya, berhubung dia mengataiku gaptek, sekalian saja pura-pura.

“Bisa lah!”, jawabnya singkat.

“Tapi, kalau kamu sudah nelphon sepagi ini, harusnya aku lulus dan sebenarnya kamu mau telphon untuk kasih ucapan selamat! Ya kan?” jawabku dengan sambil bertanya lagi padanya, dengan analisis yang asal kena, dan juga dengan kepercayaan diri super bahwa aku pasti lulus.

“Ah Kunyuk!!! Sharp as always, iya SELAMAT kamu lulus ujian masuk perguruan tinggi xxxxx”, jawabnya yang mengubah suaranya seperti pengumuman kuis.

“YES! I told you!”, tidak sadar aku berdiri, walaupun tidak terlalu bangga dengan hasil ujianku karena menurutku gampang, tapi aku cukup senang di terima.

Pak Stably lalu mengangkat kepalanya dan melihat ku, aku menatapnya balik, dan menunjukkan dengan bahasa bibir ku “I’M IN!” dan menunjuk kepada diriku sendiri. Pak Stanly hanya mengangkat jempolnya dan tersenyum, dan langsung kembali mengubah ekspresinya menjadi datar, dan menunjukku menyuruhku duduk. Akupun duduk kembali.

“Nice work, tapi kaya memang gampang sih soalnya, di bandingkan gaya pendidikan kita dulu di XXX (kampus Almamater kami)”, sambung Zahra sambil terdengar serius.

“Iya sih, makanya ngak susah amet, padahal ngak belajar banget juga”, jawabku sedikit sombong.

“Masih saja ya sombong kaya dulu! Sudah Aku mau kerja dulu, sekali lagi Congrat ya!”, katanya Zahra nya sepertinya sudah akan mengakhiri pembicaraan kami.

“Thank you so much, see you in campus?”, tentunya aku akan mengucap terima kasih, atas ucapa yang datang padaku kan.

“Yeah, my student”, jawabnya sekarang yang sombong.

“Hahahaha… Siapa yang sombong sekarang… udah mau kerja juga nih… talk soon…bye…”, sekarang lihat siapa yang lagi menyombongkan diri.

“Bye…” suara di ujung sana yang di akhiri dengan telphon yang berakhir.

Tentunya rekan-rekan di ruangan juga mendengar percakapanku, terlebih lagi mereka belum in-zone pekerjaan mereka, jadi masih sempat menguping. Mereka bergiliran memberikanku ucapan, satu persatu, Hans, Frank, Bobby, Santi, Mbak Claudia, Pak Stanly, dan tentunya Inggrid dan Anita.

Setelah berbincang mengenai kampus baruku, itu mereka semua akhirnya di tegur pak Stanly untuk kembali kemeja masing-masing mengerjakan yang perlu di kerjakan, dan membantunya menyelesaikan laporan yang harusnya selesai hari ini.

Di saat yang hampir bersamaan juga, masuk pesan dari Inggrid dan Anita, dan pesannya juga hampir sama. Mau memberikanku kado untuk kelulusanku, aduh kado macam apa yang akan mereka berikan padaku. Dan semoga tidak bersamaan, agar aku bisa mengatur waktu bersama mereka berdua.

***

Seperti seorang banking yang baik, walaupun hanya bagian support, aku harus selalu menghitung pengeluaranku dengan benar dan baik. Tabunganku selama bekerja di bank ini sudah cukup lumayan, 1/3 gajiku untuk menyicil apartementku sekarang, 1/3 ku tabung dan 1/3 kugunakan untuk keperluan harianku dan lebihnya aku tabung, penghasilan tambahan dari melatih di dojo juga lumayan walau tidak seberapa, itu juga masuk dalam tabungan tersendiri agar tidak tercampur dengan gajiku.

Setelah di kurangi dengan uang pangkal, uang pembangunan, uang semester pertama dan kedua, karena rencananya uang semester ketiga dan keempat akan ku tabung lagi selanjutnya, sepertinya masih ada kelonggaran tarik untukku. Ya kelonggaran tarik itu bisa juga untuk membeli mobil sejuta umat yang kalau di lihat di parkiran pusat perbelanjaan akan banyak berderet itu.

Spesifikasi paling rendah dengan mesin 1300cc, interior minum, dan transmisi manual, ya mungkin pasang sensor, kamera mobil, pembungkus jok dan riben gelap tentunya, tentunya, danaku masih bisa lah. Aku harus melakukan perhitungan kembali untuk biaya hidupku sebelum memutuskan jadi atau tidak membeli mobil saat itu. Biaya bensin, parkir, perawatan bulanan, service berkala, asuransi, harus di hitung lagi nih dengan lebih teliti sebelum membelinya, dan belum lagi dekat lebaran biasanya kan ada promo, harus di manfaatkan sebaik mungkin.

-

Setelah bersemedi di mejaku dari setelah jam makan siang, hingga sekarang pulang kantor, dengan table excel yang sudah penuh dengan perhitunganku, aku masih bisa hidup dengan wajar jika membeli mobil ini. Akuputuskan tinggal mencari dealer dengan harga termurah di kota ini, atau mungkin aku bisa melakukan sedikit kontak dari bang Andre untuk mencari kenalan dealer. Karena kalau aku mencari ko Alex sepertinya mobil itu akan keluar tanpa aku mengeluarkan uang. Aku pun segera mengirim pesan singkat pada Bang Andre dengan cacatan tidak boleh diketahui Ko Alex.

Atau mungkin kutanyakan saja pada Inggrid, ayahnya itu juga punya beberapakenalan dealer pastinya karena cukup banyak membeli truk pabrikan yang sama dengan mobil yang akan ku beli ini. Mungkin saja dapat potongan dari kenalannya itu ^-^.



Akhirnya sudah waktunya pulang kerja, aku harus segera merapikan pekerjaanku, dan semuanya. Hari ini sebenarnya aku ingin “bersenang-senang” di Dojo, tapi karena Nita mengajakku untuk keluar, jadi tentu saja aku akan menemaninya, sedangkan Inggrid sendiri memutuskan untuk menemaniku besok sehabis dari Dojo. Indahnya hidupku jika semua terus berjalan dengan lancar seperti ini, tapi akan ada waktunya aku harus memilih antara Nita dan Inggrid, aku tidak mungkin terus bersama dua hati ini, dan hatiku tidak akan bisa selamanya mendua. Aku sadar aku salah, tapi kesalahan ini begitu indah dan nikmat, mungkin karena belum ada konsekuensi yang menyambarku.

Sebelum pulang juga aku meminta izin pada Pak Stanly untuk masuk siang hari senin nanti, karena aku ingin segera mengurus urusan perguruan tinggiku ini, dan bisa menyelesaikan satu masalah ini. Dan karena pekerjaan memang sudah pasti santai Senin ini, dia mengizinkanku, yang pasti jangan absen ketika datang, karena akan terbaca di sistem, lapor saja lupa absen pagi biar HRD tidak tahu, Dia benar bos pengertian.

***



Akhirnya setelah beberes dan mandi di apartementku, aku sudah siap menjemput Nita, dengan motor kesayanganku ini, aku sadar belakangan dia sedikit terbengkalai, belum ku cuci lagi, dan belum ku gosok dengan wax, mungkin besok sebelum ke dojo aku bisa membawanya ke bengkel langgananku untuk menikmati perawatannya, sekali-kali motor ini perlu di manjakan.

Ku naiki motor R15 ku ini, aku menggebernya cukup kencang dalam parkiran apartementku, terasa knalpotnya yang cukup keras tapi bunyinya masih bulat walau kurang perawatan, tetap bertenaga walau dia harus mengantarku tiap hari kemana-mana. Ku angkat kopling motorku, dan sempat wheeling sebentar dan melaju kencang meninggalkan parkiran.

***

Tidak butuh waktu lama 1845 aku sudah berada di depan rumah Nita, dengan knalpotku yang gahar, dan bisa jadi bahan untuk bertengkar dengan polisi sih sebenarnya, tapi aku tetap beberapakali lolos dengan argumen tidak melebihi 90 desibel. Ternyata Nita belum selesai dan Ibunya yang menyambutku dan menyurhku masuk terlebih dulu, dan menunggu di dalam saja.

“Katanya Nak Tedy lolos seleksi S2 ya?” tanya Ai Meily, mengawali pembicaraannya sambil menunggu anaknya dandan.

“Iya ai, baru hari ini pengumumannya”, jawabku sambil tersenyum sumringah.

“Selamat ya Nak” katanya memberikanku semangat.

“Berapa lama itu kuliahnya?” sambil bertanya kembali padaku.

“Kalau umumnya 2 tahun ai, kalau bisa cepat satu setengah tahun sudah bisa lah”, jawabku dengan percaya diri juga aku bisa menyelesaikan secepatnya.

“lumayan juga ya… kamu biaya sendiri?”, tanya lagi, aku mulai merasa Ai Meily menuju ke sesuatu.

“Iya Ai, aku usahakan sendiri semuanya”, jawabku ringan dan cepat, biar terkesan sombong, eh terkesan mampu.

“Orang tua masih ada?” pertanyaan yang sudah menjurus ke orang tua, aku yakin dalam beberapa pertanyaan kedepan akan ada pertanyaan ‘Kamu serius dengan putriku?’, dan ‘rencananya kapan?’

“Syukur, orang tua berdua masih sehat”, jawabku menanggapi pertanyaan Ai Meily yang terus berlanjut ini.

“Katanya kamu asli kota XXXX, orang tua usaha di sana?”, tanyanya lagi, membuatku semakin yakin ujung pertanyaan ini, semoga Nita cepat selesai.

“Iya, dari Kecil sampai kuliah di sana, orang tua usaha properti kecil-kecil”,jawabku memenuhi pertanyaannya, usaha kecil-kecil yang kecil-kecil jadi bukit, aku tidak bohong. Kemudian sejenak Ai Meily terdiam, sepertinya juga menempatkan kata-katanya di susunan yang baik sebelum menjatuhkan pertanyaan selanjutnya.

“Nak Tedy sekarang sudah umur berapa?”, nah ini menuju kesana banget nih pertanyaan.

“Tahun ini 25 ai”, jawabku singkat, dan jelas, dan tidak perlu pertanyaan lagi, tapi pertanyaan selanjutnya pun tiba.

“Nita tahun ini sudah 26 loh nak, kamu serius sama anak Ai?”, sudah ku duga pertanyaan pamungkas dari orang tua ini akan datang padaku, tapi tidak kuduga secepat ini, walau hubungan kami telah jauh, dan walaupun aku siap menikahnya, hatiku kini terbagi antara Nita dan Inggird.

“SERIUS ai!” jawabku dengan suara yang tegas, ya aku serius dengan hubunganku dengan Nita, tidak ada yang tidak serius antara aku dan Nita.

“Bagus kalau begitu, ai lega”, jawabnya sambil tersenyum padaku dan mengelus dadanya, mungkin semua kekawatiran orang tua itu sama, ingin meliha anaknya menikah dan memiliki hidup yang lebih baik bersama orang yang dia cintai.

“Ah Mami, kok tanyanya gitu”, rupanya Nita sudah muncul dari dalam dan dia mendengarkan, aku yakin dia sudah mendengar dari tadi dan hanya ingin mendengar jawabanku juga.

“Kenapa? Mami kan hanya bertanya, kalau Nak Tedy serius ya bagus!”, jawab Ai Meily membela dirinya sendiri yang kedapatan mengintrogasiku.

“Ah bikin malu saja mami ini...” sambil kemudian Nita menyambar tanganku dan menarikku menjauh ke arah luar menuju motorku.

“Sudah ma… Pergi dulu ya…!”, kata Nita sambil menarikku keluar pagar.

“Ai, pergi…” kataku sambil meninggalkan rumah itu dan langsung naik ke motor.

***

Aku dan Nita berboncengan di motorku, Nita memelukku erat, menyenderkan kepalanya ke pundakku, rasanya hangat ketika Nita bersamaku seperti ini. Dalam keadaan ini aku malah teringat Inggrid, dia tidak pernah ku bonceng seperti ini, tidak pernah seperti ini. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku. Nita tidak boleh tahu apa yang sedang kupikirkan ini, dia belum waktunya tahu, dan aku belum siap jika semuanya terbongkar di hadapan Nita.

Kami kesebuah pusat perbelanjaan di kota ini, walau kami harus berjalan dengan jarak tanpa bergandengan tangan agar tidak ada yang melihat kami bermesraan, aku sudah cukup senang bisa jalan berdua dengan Nita. Kami singgah ke pusat permainan di mall itu dan memainkan beberapa permainan, dari mesin basket, air hocky, bola tangkas (ya seperti bola tangkas sebenarnya yang di ganti dengan hadiah tiket), dan juga capit-capitan boneka tapi aku tidak berhasil mendapatkan satupun untuk Nita, sial.

Kami juga berbelanja beberapa barang di bagian supermarketnya, untuk mengisi kulkasku tentunya, karena memang sudah waktunya aku belanja bulanan. Mungkin ketika kami menikah ini juga rutinitas kami, ini juga yang akan kami lakukan mengisi weekend kami. Rasanya simple dan intim.

Setelah selesai berbelanja, tidak terasa juga waktu bergulir begitu cepat jika bersama Nita dan Inggrid, sudah pukul 2130. Jika bersama mereka berdua seluruh waktu di dunia inipun mungkin tidak akan cukup untukku.

Akhirnya kami kembali ke apartementku, setibanya di apartement aku merapikan belanjaan masuk ke dalam kulkas dan lemari-lemari di dapurku, dan beberapa kebutuhan lainnya.

“Ted, karpetmu lagi di cuci?” tanya Nita yang memperhatikan bahwa ruang tamuku kini tidak berkarpet. Tentu saja ku cuci karena penuh dengan iler Nita dan Inggrid karena kejadian semiinggu lalu, dan pastinya sudah berbercak. Lantai dengan partisi kayuku tetap terasa cozy walau tidak tertutup karpet, tapi tentunya debu bisa dengan mudha masuk ke dalam sambungan partisi itu.

“Iya, aku lupa ngambil tuh, padahal sudah beberapa hari…” jawabku dari arah dapur yang masih merapikan barangku.

“Besok aku bantu ambilin deh, mana notanya?”, tanya Nita lagi yang sedang duduk di sofaku dan menyalakan TV.

“Biar saja dulu, suasana baru dulu tanpa karpet”, jawabku lagi sekarang sudah selesai merapikan belanjaan tadi dan keluar dari dapurku.

“Padahal aku suka baring di atas karpetmu loh Ted, apalagi kalau kamu lagi …”, katanya Nita dengan menarik panjang ‘lagiiiii’ nya.

“Lagi apa…?” tanya ku pada Nita memancingnya, sambil mendekatinya yang sedang duduk di sofaku.

“Lagi menguasai budak mu ini..”, sambil Nita merangkulkan tangannya ke leherku dan menarikku untuk mengecup bibirnya. Kali ini, malam ini kami kembali bergumul di atas sofa ini, rasanya erat pelukan Nita di tubuhku, rasanya hangat kecupan ini di tengah apartementku yang dingin.

Ciuman kami berlanjut dalam pelukan yang hangat, rasanya begitu indah bisa bersama dengan Nita. Rapatnya tubuh kami ini terasa sangat hangat, dekapan yang nyaman dan dekat ini. Kecupan ini semakin dalam, rasanya aku ingin meleleh bersatu dengannya, menjadi satu dengan Nita dalam pelukan ini. Ku cumbu bibir manis Nita, ku usap tubuhnya, ke rangkul pinggangnya, ku dekap semakin erat dan erat.

Nita membalik tubuhku yang tadi berada di atasnya, dan kini dia sedang berlutut di atas selangkanganku, dan bibir kami kembali bertemu. Nita mulai menggosok-gosokkan pinggulnya di atas selangkanganku, di gerakkan pinggulnya maju mundur mengesek penisku yang masih terbungkus rapi dalam celanku, membuatku sesak, membuatku ingin segera membebaskannya dari kurungan ini.

Nita turun perlahan, lidahnya mulai menyusuri leherku, dan diapun mengangkat baju kaosku. Nita perlahan mengecup dadaku, dan memainkan lidahnya di putingku, memainkan lidahnya dengan lembut. Ku usap rambutnya yang hitam indah ini, wanita ini begitu memanjakanku, menyerahkan seluruh dirinya padaku, sesuatu yang harus ku syukuri. Setelah bermain dengan putingku yang kanan, kemudian dia berpindah ke yang kiri, dan dia sekali-kali mengecupnya.

Dalam kesibukannya bermain di dadaku, aku meraih kaosnya dan menariknya ke atas, membuat tubuh putihnya terlihat, terbalut senada dengan bra putihnya, tubuh yang indah. Ku remas dada itu, rasanya kenyal dan pas di genggam, benar-benar pas. Rasanay nikmat di telapak tangan ini, rasanya sensasi di sentuhan kulit ini.

Nita kemudian turun dari sofa, dan berlutut di hadapanku, berusaha membuka ikat pinggangku dan membuka celanaku, menariknya turun bersama celana dalamku. Membebaskan penisku dari kurungannya, membelaskannya agar bisa ‘bersarang’ dalam ‘liang’ sorga Nita. Lidah Nita yang basah, langsung menyusuri batang penisku, mengusapnya dari bawah hingga ke atas, dan sebaliknya, menyentuh zakarku dan memainkannya sejenak, dan kembali memasahi seluruh batang penisku.

Perlahan Lidah itu menghantarkan kelapa penisku masuk kedalam rongga mulut yang nikmat ini. Lidah Nita tertap mengusap penisku berkeliling hingga penisku perlahan masuk ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan, keluar masuk, semakin lama penis ini semakin terbenam kedalam mulut itu. Kembali ku usap rambut Nita, dia telah berusaha memuaskanku, memberikanku kenikmatan, memberikan ‘Tuan’nya ini kenikmatan dengan bibirnya.

Nita kini memasukkan seluruh batang penisku kedalam mulutnya, dengan sedikit bantuan dari tangannya, dia mengangkat kantung zakarku sedikit keatas, dan dari celah mulutnya Nita menjulurkan lidahnya, dan menyentuh kantung zakarku. Sensasi ini, penis yang sedang di sedot, dan kantung sakar yang di sentuh dengan lidah hangat, rasanya luar bisa. Walaupun tidak lama karena akhirnya Nita terbatuk karena penisku masuk terlalu dalam.

Mulut Nita menjauh dari penisku, aku melihat bibirnya basah dan meneskan liur dari sekujur bibirnya, dan tentunya penisku telah mengkilap basah karena liur yang sama. Kembali Nita memasukkan penisku ke dalam mulutnya, berusaha memasukkannya semakin dalam, hingga hidungnya mengenai tubuhku, dan terasa berberapa kali dia tersedak, tapi tetap dia masukkan. Penisku sendiri seperti menyentuh sesuatu, apakah itu tenggorkannya, apakah itu akupun tidak tahu. Nita kembali mengeluarkan penisku dari mulutnya.

Kini benar-benar basah selangkanganku dengan liur Nita yang mengalir, terbantang liur-liur yang terhubung dari penisku ke bibir Nita, yang kemudian dia mainkan dengan lidahnya, Nita terlihat binal malam ini. Nita menggigit bibirnya dan tersenyum padaku, walau matanya terlihat sedikit berair, karena tersedak tadi.

Nita berdiri dan mulai memelorotkan jinsnya dan menunjukkan celana dalam yang senada dengan branya, alangkah indahnya tubuh sekal di hadapan ku ini, putih, terbentuk dan kuat. Bukan hanya fisik, tapi juga pikirannya cerdas dan jiwanya matang, sungguh beruntung diriku.

Nita beranjak, menuju tasnya yang dia letakkan di samping tv ku, merogoh kedalamnya, mengambil sesuatu dan mengenakkannya. Chockernya kini telah terpasang di lehernya, berwarna biru, kontras dengan warna kulitnya. Nita tersenyum kepadaku dan mengambil posisi bersimpuh, dan mulai mengikat rambutnya ke belakang.

“Violate me Master!” (kalau di terjemahin lurus bisa : cabuli aku tuan), mendengar ucapan Nita itu membuat darahku berdesir, membuatku berkecamuk. Aku pun berdiri, dan menjatuhkan celanaku, kini aku telah telanjang di hadapan Nita. Namun tubuh Nita masih terbungkus bra dan celana dalamnya, tapi takkan lama. Aku berjalan mendekati Nita, dengan tubuh tegap ku dan juga penis yang sudah mengacung keras kini tepat di hadapannya.

Ku sentuh bibirnya dengan jariku, ku permainkan bibir manis ini dengan jariku, ku usap dan ku belai. Lalu ku jejalkan masuk jari telunjuk dan jari tengahku delama mulutnya, hingga dia sedikit tersedak, lalu kutarik lagi. Kulakukan hingga berberapakali, dan membuat matanya berair, dan mulutnya di penuhi liur yang mengalir. Kugerakkan pelan jariku, tidak sedalam sebelumnya dalam mulut Nita, dia memainkan lidahnya, memutar dan menjilatinya, mengisap dan mengecup jariku seperti sedang mengulum penisku. Matanya perpejam menikmatinya, mungkin sedang membayangkan penisku.

Muncul bisikan dalam pikiranku, dalam benakku. Ku tarik jariku dari mulut Nita, bibirnya masih terbuka dan matanya masih terpejam, masih menunggu jariku kembali atau berharap penisku yang masuk kedalam mulutnya. Alih-alih itu, ku layangkan tamparan ke pipinya, “PLAK”. Nita malah tersenyum kecil karena tamparanku itu, dia menikmatinya.

Ku jambak rambutnya dan kutarik kepalanya ke belakang, lalu ku tempelkan bibirku pada telinganya.

“Beg for it, slut”, upcapku lalu ku jilat telinganya membuatnya geli, dan kulihat bibir Nita kembali ternyum manis.

“yes, Master”, jawab suara manja itu, terdengar merdu di telingaku, membuat penisku berkedut.

“I’m your slut, tolong pakailah pelacurmu ini”, sambil Nita merapatkan kedua tangannya seperti sedang memohon padaku, dengan mata yang masih terpejam dengan suaranya yang manja, membuatku semakin saja bernafsu padanya.

“Pakailah mulut kotorku ini Tuan, dan memek basahku ini… Semua hanya untukmu Tuan!’ sambil tangan Nita mengusap bibirnya dan menjamah vaginanya dari luar celana dalamnya. Sangat menggoda, sangat binal, tentu saja akan ku ‘gunakan’ tubuhmu Nita sepuasku, sekehendakku.

Ku hujamkan penisku kedalam mulut Nita dengan cepat, dan langsung menyentuh pangkal mulutnya, membuatnya tersedak, namun Nita tetap mempertahankan kepalanya, dan perlahan menggerakkannya keluar masuk. Menggerakkannya dengan cepat dan mengeluarkan suara percampuran luir dan hisapannya. Tanganku hanya bisa membelai rambutnya ketika Nita memberikanku kenikmatan ini.

Nita masih berusaha melakukannya, namun berselang beberapa saat gerakannya melambat, tubuhku yang sudah di kuasai nafsu ini, tidak ingin kehilangan kenikmatannya. Tanganku yang awalnya membelai rambutnya kini menjambaknya, menahan kepalanya tetap di posisinya, dan pinggulku mulai bergoyang. Merajam dan menghentak masuk kedalam rongga mulut Nita, wajah Nita beberapa kali terhantam di perutku ketika penisku masuk hingga kedalam mulutnya, membuatnya tersedak, dan memuntahkan liur dari antara celah bibir dan penisku.

Nita terengap-engap berusaha mengatur nafasnya ketika penisku ini masih keluar masuk dalam mulutnya, membuatnya mengalirkan liur yang banyak hingga menetes kemana-mana, membasahi pahaku, dan juga kini telah membasahi leher dan branya. Aku sudah tidak tahan lagi, aku harus merasakan vaginanya, aku harus merajam rahimnya dengan penisku, tubuhku menginginkannya.

Aku melepaskan penisku dari mulutnya, tapi bibir Nita seolah ingin mengejar penisku tidak ingin melepaskannya, namun tanganku kembali menjabak rambutnya kebelakang menahan kepalanya. Lalu ku seret dia perlahan dari posisinya, dia merangkak dengan rambut yang tidak ku lepaskan, perlahan ke sofa. Ku banting tubuhnya ke sofa, dengan wajah terlebih dulu, kini posisi Nita berlutut di sofa, dengan tubuh pada bagian sofa, dan bokong yang menungging dan berlutut di lantai.

Segera ku tarik celana dalam Nita turun hingga selututnya, dan kucobel vaginanya yang sudah banjir dengan jariku. Kumainkan jariku, sedikit berputar di dalam sana, mengelus sisi dalam dari vaginanya, terasa hangat dan basah tentunya. Hanya terdengar desahan halus dari bibir Nita dan kedua tangannya seperti membantuku mencabuli dirinya, tangannya membuka bongkahan bokong itu, membiarkanku dapat melihat vaginanya dengan jelas.

Aku kini juga berlutut di belakang Nita, dengan mengarahkan penisku di mulut vaginanya. Menggesek bibir vaginanya, dan mengelus rambut Nita yang terikat.

“Apa kamu sudah siap untuk kontolku?” bisik ku pada Nita, sambil memainkan penisku di bibir vaginanya.

“Iya Tuan, Aku mohon masukkan kontolmu tuan… Penuhi memek ku dengan Kontolmu…”, tidak perlu permohonan kedua dari Nita, ku dorong pinggulku dan memasukkan seluruh penisku sekaligus dalam vaginanya. Terasa menjepit dan hangat, rasanya penisku berkedut ketika memasuki ‘liang’ suarga ini. Terdengar lenguhan panjang dari Nita ketika penisku masuk sekaligus, mungkin dia terkejut, mungkin perih atau mungkin Nikmat, aku tidak peduli lagi.

Aku mulai menggerakkan pinggulku maju dan mundur, begitupun penisku ikut bergerak keluar dan masuk dalam vagina Nita, terdengar bunyi benturan pahaku dan bokong Nita, seperti orang sedang bertepuk tangan, semakin cepat ku gerakkan semakin cepat pula tepukan itu, dan diiringi dengan desahan-desahan dari bibir Nita yang memenuhi ruangan, seolah suara tv tertutup olehnya.

“ah…ah… Tu..an…” desah Nita dalam hujaman-hujamanku yang terus menerus.

Ku tarik kedua tangan Nita kebelakang, menariknya cukup kencang hingga tubuhnya yang sebelumnya terbaring di sofa terangkat, membuat dadanya yang sintal teracung jelas, walau aku di belakang aku bisa melihatnya dengan jelas pantulan kaca terasku. Desahan Nita semakin menjadi-jadi, karena tarikan tangan dan hentakanku ku usahakan seirama, agar semakin dalam dan semakin bertenaga setiap hentakan yang kuberikan padanya.

Tidak butuh lama dengan posisi itu, Nita sepertinya sudah akan jobol, nafasnya semakin tidak beraturan dan semakin merancuh tidak jelas.

“Tuan…… Aku….mau….”, desahnya berusaha menyelesaikan kalimatnya.

“Tahan, tidak boleh sebelum aku….” Belum aku menyelesaikan kalimatku, Nita sudah melenguh panjang dan terasa cairan hangat telah membasahi penisku, ah sialan Nita sudah keluar duluan. Tubuhnya menjadi berat, dan seperti terjuntai saat dia selesai berkedut. Desahannya menjadi lebih kecil, namun aku tidak mempedulikannya, akan ku selesaikan malam ini setelah beberapa hari ini aku tidak tuntas.

Aku lepaskan pengagangan ku pada tangan nita, membuat tubuhnya kembali terbaring di sofa. Tapi kini tanganku melingkar di pahanya menarik tubuhnya lebih keluar dari sofa, dan merapatkan kedua pahanya. Ku peluk paha dan bokongnya itu dan berusaha menghujamkan penisku semakin cepat ke vagina Nita.

“Ah…Ah….ah…” tiba-tiba Nita mendesah lagi, terasa ada cairan hangat lagi yang membasahi penisku, tapi kali ini hingga ke pahaku, oh ia aku lupa kalau Nita Squirt. Kini tubuhnya benar-benar lemas setelah melepaskan cairan itu, seperti seonggok daging yang tak berdaya ku gagahi dari belakang.

Aku kemudian menarik rambut Nita, menjambaknya lagi, menarik tubuhnya naik, dan tepat di telinganya.

“Akan ku banjiri memekmu dengan peju ku”, lalu ku gigit telinga Nita, dan kupercepat gerakan pinggulku, aku sudah akan sampai. Tiba-tiba tangan Nita memengang pahaku, dan seperti berusaha mendorong walau tidak ada tenaganya.

“Jangan… di da…lam tuan…”, Nita merengek dalam desahannya, dia tidak ingin aku menumpahkannya di dalam, bukankah dia adalah budakku sekarang, beraninya dia memerintahku. Kupercepat gerakanku, semakin cepat, dan kasar.

“a..ku bisa… hamil Ted….” Terdengar lagi lirih dari bibir Nita kata itu. Rasanya kupingku panas, aku malah sengaja ingin mengeluarkannya di dalam.

Aku menarik tubuh Nita turun dari sofa, dan membalikkannya dengan cepat agar aku tidak kehilangan tempoku, lalu ku angkat pinggulnya hingga ke atas. Membuat tubuh Nita kini bertumpu pada punggu dan lehernya, membuat vaginanya terbuka lebar di hadapanku dan kakinya bergelayutan terbuka yang kutahan dengan tangannku. Tubuh lemas Nita tidak bisa berbuat banyak, kembali ku hujamkan penisku ke vaginanya. Dengan posisi ini Nita bisa dengan jelas melihat wajahku dan juga penisku yang sedang keluar masuk dalam vaginanya.

Kuhujam penisku semakin cepat dan kencang, membuat tubuh Nita seperti terguncang dengan keras.

“Kalau hamil… kenapa…?” tanyaku pada Nita dengan provocativ, “ Akan… ku nikahi kamu Nit…” dalam hujamanku ucapan ku itu membuat senyum lebar merekah dari bibir Nita. Ku gerakkan lebih cepat pinggulku dan semakin cepat, rasanya sudah sangat dekat.

Ku hujamkan dan ku benamkan penisku dalam-dalam, dan semburan pertama terasa begitu nikmat, mengirimkan getaran keseluruh tubuhku, hingga ketengkukku, belum selesai ku nikmati semburan itu, keluar semburan berikutnya, dan berikutnya, rasanya Nikmat. Ku biarkan penisku dalam vagina Nita, hingga semua kedutan nikmat surga dunia ini berlalu, semuanya ku tumpahkan dalam vagina Nita.

Ku dirikan badanku, dan ketika itu penisku terlepas dari vagina Nita, terdengar seperti bunyi minuman kemasan yang baru terbuka ‘pluk’, spermaku seperti terciprat keluar dari vagina Nita, penisku yang belum layu sepenuhnya terbungkus cairan putih. Spermaku terlihat mengalir sedikit demi sedikit keluar dari vagina Nita yang berkedut. Mungkin karena sudah lama tidak keluar hasilnya membanjiri vagina Nita.

Ku baringkan tubuh Nita dengan baik, di lantai, membiarkannya mengatur nafasnya, begitupula aku yang berusaha mengatur nafasku yang baru saja mencapai kenikmatanku. Aku baru menyadari tubuh kami telah penuh peluh walau di ruangan yang ac ini terasa dingin.

***
Thank You Storynya...
Harus Cepet nih Pernikahan Tedy ama Nita...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Wah tinggal nunggu bunting ny aja nih Nita, pas lagi subur malah di sembur..
 
Memang paling enak keluarin di dalem, dan bayangin wanita yang kita sayang akan hamil anak dari benih kita..... Mantap
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd