Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG The Wheel Of Life

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER XII



Herra Juliana Jesica


Hanna Tsania Sukoco




Aku tidak tau, bagaimana aku menyikapi sebuah kenyataan tentang Ayahku yang baru aku dengar. Aku benar-benar bingun dengan yang aku rasakan, di satu sisi aku senang mengetahui siapa Ayahku, namun di sisi yang lain aku begitu sedih. Aku sedih dan sakit karena Ayahku, kenapa dia tidak memperjuangkan Ibuku??.... Kenapa dia justru membiarkan lelaki lain memiliki Ibuku, dan kenapa juga dia juga membiarkan aku dan Ibu menderita??....

“Gue tau elo sedang mikirin Ayah lo, daripada lo banyak mikir yang gak jelas, mending sekarang lo ikut gue!!....” ajak kak Herra.

“Ikut kemana??.... Gak usah aneh-aneh lo tuh kak, gue tuh masih di rawat.....” jawabku

“Sudah, gue tuh tau lo bukan laki-laki lemah, luka gini juga gak bakalan bikin elo mati. Dah yuk ikut gue ke tempat kakek, biar jelas semuanya!!....” tutur kak Herra.

“Iya, ok gue ikut. Tapi, nih baju gue gimana??.... Masak pakek pakaian rumah sakit gini ketemu kakek!!....”

“Nanti kita beli, banyak toko baju di pinggir jalan.... Dah ah, sini lo ikutin gue ke parkiran!!.....” ajak kak Herra.

Dengan langkah santai, aku mengikuti langkah kaki kak Herra menuju parkiran. Saat sampai di parkiran, empat orang yang tadi mengawasiku di taman, mereka sudah ada di parkiran. Tak berapa lama, datang lagi satu mobil berisi dua orang.

“Kalian semua pergi ke arah kantor kakek, kami mau kesana!!....” perintah kak Herra ke orang-orang yang menurutku mereka semua ini suruhan kakek.

Tanpa membantah ucapan kak Herra, mereka berenam langsung menaiki dua mobil dan begitu saja keluar area parkir rumah sakit.

“Cepat masuk!!....” ucap kak Herra yang ternyata sudah di dalam mobil.

Dengan santainya, aku ikut masuk ke dalam mobil kak Herra, dan setelah aku masuk, kak Herra segera memacu mobilnya dengan cukup kencang.

Sepanjang jalan, tidak ada obrolan antara aku dan kak Herra. Aku sibuk dengan lamunan dan fikiran tentang Ayahku, sedang kak Herra, dia begitu fokus dengan mobilnya.

“Keluar dulu, kita cari pakaian yang pas buat lo!!....” perintah kak Herra saat kita berhenti tepat di depan sebuah distro.

Beberapa pasang mata melihat aneh padaku saat aku memasuki distro. Mungkin mereka merasa aneh dengan penampilanku saat ini yang mirip pasien rumah sakit yang sedang keluyuran.

“Nih, langsung kamu ganti saja. Gak usah milih gak usah protes, ini anggap aja cocok...” ucap kak Herra seraya menyerahkan kaos, jaket, sebuah celana, dan sepasang sepatu padaku.

Entah sejak kapan dia memilih semua ini, tapi aku merasa cocok saja dengan pilihan kak Herra. Kaos dengan corak minimalis, celana jeans panjang, dan jaket hoodie, penutup kepala jaketku sudah aku kenakan, tak lupa sebuah sepatu mengganti alas kaki yang tadi aku pakai dari rumah sakit.

“Untung semua ada di distro ini, gimana, udah nyaman dengan pakaian elo sekarang??....” tanya kak Herra.

“Lumayan kak, ya sudah cepetan ke tempat kakek!!....”

“Ok, kita meluncur.....” ucap kak Herra, dan kembali dia memacu mobilnya.

Untuk menghilangkan jenuh di perjalanan, aku memainkan handphoneku. Beberapa pesan masuk di handphoneku, Hanna dan Gading silih berganti mengirim pesan padaku. “Kak, Hanna ada kumpulan dengan anggota BEM, ini mau bahas kegiatan MABA, mungkin nanti siangan baru bisa balik ke rumah sakit....” pesan Hanna. “Bro, pelajaran udah mulai. Lo tenang saja, catatan gue lengkap, besok lo salin deh catatan gue...” pesan Gading.

“Iya Han, gak apa. Lagian ini aku mungkin udah pulang. Kalau nanti kamu mau ketemu aku, langsung ke rumah kakekku saja.....” balasan pesanku ke Hanna. “Thanks bro, gue tunggu besok, tapi lo ke rumah kakek gue ya, nih mungkin gue dah pulang sekarang....” balasan pesanku ke Gading, dan tak lupa aku mengirim alamat rumah kakekku ke Hanna dan Gading.

“Yuk keluar, udah nyampek kita!!....” ucap kak Herra.

Aku dan kak Herra segera keluar dari mobil. Kak Herra dengan cepatnya pergi ke tempat receptionist, dia menanyakan keberadaan kakekku. Salah satu dari dua orang receptionist, mengantar aku dan kak Herra menuju ruangan kakek. Katanya hari ini kakek sedang tidak ada kerjaan, beliau cuma diam di ruangannya.

“Oh iya mbak, kalau saya boleh tau, mas yang satu ini siapa ya mbak??....” tanya ramah receptionist yang aku lihat dari badge nama yang menempel di pakaiannya, namanya Sarah Handayani.

“Dia adik aku mbak, namanya Andrian, panggil aja mas Ian.....” jawab kak Herra.

“Jadi, mas ini yang akan gantiin Bapak Julian memimpin perusahaan ini ya mbak??....” tanya Sarah lagi.

“Iya begitu mbak, tapi ini orang masih bandel mbak, kuliah saja belum lulus, jadi masih lama sepertinya buat gantiin kakek.....” sindir kak Herra padaku.

“Pantesan mbak, tuh kepala mas Ian luka, pasti habis berkelai ya tuh mbak??....”

“Iya, berkelai karena kebanyakan cewek ni orang mbak.... hihihi.....”

“Wah, playboy ya masnya???.....” tegur Sarah padaku.

“Suka-suka kalian deh ngomongin apa.....” ucapku ketus dan nyelonong begitu saja keluar dari lift. Tapi tetap saja aku kemudian menunggu dan berjalan di belakang kedua wanita itu lagi, karena aku tidak tau di mana ruangan kakek.

“Sampai sini mbak saya mengantar, Bapak Julian sudah menunggu di dalam. Saya permisi dulu mbak dan masnya.....”

“Pergi juga akhirnya tuh wanita satu....” batinku.

“Tok..tok..tok..” beberapa kali kak Herra mengetuk pintu ruangan kerja kakek.

“Kalian masuk saja!!....” suara kakekku dari dalam ruangan. Sepertinya kakek sudah tau tentang kedatanganku dan kak Herra.

“Cklek.....” pintu di buka kak Herra, kami berduapun masuk ke ruang kerja kakek.

“Her, kamu itu buru-buru banget ngajak adik kamu ini kesini. Tuh lihat, kepalanya saja masih di perban....” ucap kakekku.

“Hehehe... Dianya gak apa-apa kek, lagian Herra gak tega lihat wajah penasaran nih anak, kasihan banget lihatnya kek....” ledek kak Herra padaku.

“Bisa aja lo tuh ngarangnya kak!!.... Bukannya elo yang tadi maksa gue datang ke tempat kakek!!....” elakku.

“Sudah, kalian berdua malah debat di sini. Ian dan kamu Her, duduk!!....” perintah tegas kakek.

Di sofa yang ada di ruang kerja kakek, aku dan kak Herra duduk berdekatan. Sedangkan kakek, duduk di sofa terpisah.

“Herra sudah bilang ke kamu tentang ayah kamu??...” tanya kakek padaku.

“Iya kek, sudah....”

“Tapi, Herra tidak cerita tentang kenapa Ayah kamu ninggalin kamu, benarkan??....”

“Iya kek benar, dan itu yang mau saya tanyakan kebenarannya ke kakek....”

“Baiklah, mungkin ini sudah saatnya kakek cerita semua ke kamu, dan kalian berdua jangan menyela cerita kakek!!....” ucap kakek tegas.

Aku dan kak Herra saling beradu pandang. Sebuah anggukan kami berdua menjadi jawaban ucapan kakek barusan.

“Jadi begini ceritanya......”

“Ibu dan Ayah kamu sebenarnya sudah resmi menjadi suami, istri. Kalau Ibu kamu bilang, kamu lahir di luar nikah, itu cuma sebuah kebohongan.....” satu kenyataan kini aku ketauhi, aku masih diam dan mendengar lanjutan cerita kakek.

“Namun, pernikahan Ibu dan Ayah kamu tidak berjalan baik. Bukan karena pertengkaran atau ketidak cocokan, melainkan karena pekerjaan Ayah kamu, sebuah pekerjaan yang sangat membahayakan hidup kamu dan Ibu kamu. Sampai puncaknya, tepat setelah tiga bulan kamu lahir. Ayah kamu terlibat penggerebekan bandar narkoba, sekaligus penangkapan bos preman paling di cari. Beberapa bandar dan preman beserta bosnya berhasil di ringkus Ayahmu, dan ada beberapa yang tertrmbak mati di tempat, bahkan tidak sedikit yang berhasil kabur....”

“Tapi, setelah peristiwa penangkapan itu, kejadian yang buruk mulai menimpa Ayah kamu dan keluarga besarnya. Ayah kamu pernah di temukan kritis dengan berbagai luka di tubuhnya, kakek dan nenek kamu yang tidak lain adalah orang tua Ayah kamu, di temukan tewas dengan leher nyaris terpenggal, bahkan kedua adik perempuan Ayah kamu, belum di ketemukan sampai saat ini.....”

“Untuk melindungi kamu dan Ibu kamu, Ayah kamu akhirnya memutuskan meninggalkan kamu, Ayahmu menyuruh salah satu anggotanya untuk pura-pura menjadi suami Ibu kamu sekaligus menjadi Ayah kamu. Tapi, kamu tau sendirikan apa yang terjadi dengan Ayah pura-pura kamu itu, dia tewas tertabrak mobil, tepatnya dia sengaja di tabrak dengan mobil oleh seseorang....”

Kakek kemudian menceritakan fakta kenapa keluargaku dulu seperti membenci aku dan Ibuku. Itu mereka lakukan, semata karena nenekku yang ingin melindungi keluarga yang lain dari bahaya yang dibuat Ayahku. Namun nenek sadar dan sangat menyesali perbuatannya setelah anak kesayangannya yang tak lain ialah Ibuku, pergi meninggalkan dunia ini, dan meninggalkan aku sendiri.

Aku kini merasa semua semakin jelas, semua yang aku fikirkan tentang keluarga besarku maupun tentang Ayahku, ternyata tak seburuk apa yang aku fikirkan. Tapi, “kek, sebenarnya siapa yang berbuat keji seperti itu ke keluarga Ayah??....” tanyaku setelah kakek selesai bercerita.

“Mereka pengikut gembong narkoba yang berhasil lolos dari sergapan Ayah kamu, dan juga para preman yang pemimpinnya turut tertangkap. Di tambah banyaknya kasus besar yang di selesaikan Ayah kamu, tentu banyak orang-orang dunia hitam menaruh dendam ke Ayah kamu dan keluarganya....”

“Apa mereka tidak ada yang di tangkap kek, dan kedua tanteku apa tidak pernah di cari??....”

“Sudah banyak yang tertangkap, tapi cuma kroco-kroconya. Pemimpinnya masih berkeliaran. Soal kedua tante kamu, sampai detik ini Ayah kamu dan pihak kepolisian masih terus mencarinya....”

“Kek, apa aku boleh menemui Ayah??....” pertanyaanku, yang langsung mendapat tatapan mata tajam kakek ke arahku.

“Belum saatnya, apa lagi baru-baru ini Ayahku baru saja mendapat tangkapan besar, terlalu beresiko untuk kamu menemuinya. Meski bisa saja kakek menyuruh pengawal kakek untuk menjagamu, tapi ada kalanya manusia tuh lengah, dan kakek tidak mau kamu dalam bahaya....” jawab kakek yang begitu tegas.

“Kek, apa orang-orang yang mencelakain keluarga Ayahnya Ian sudah tau keberadaan Ian dan mendiang Ibunya??....” tanya kak Herra yang kembali bersuara.

“Sampai sekarang, sepertinya mereka belum mengetahuinya, dan sampai kapanpun mereka tidak akan mengetahuinya. Kecuali, kamu Ian atau Ayah kamu melakukan kesalahan, dan mengungkap identitas kamu. Mereka pasti akan mengetahui siapa kamu!!....” kakek kembali menatapku.

“Saat ini kamu aman dari mereka. Namun, lebih baik untuk saat ini kamu tinggal di rumah kakek dulu sampai kamu sembuh, dan lagi nenek kamu pasti senang kalau kamu tinggal di rumah.....” ucap kakek padaku.

“Her, ajak adik kamu pulang!!.... Itu muka adik kamu semakin pucat...” imbuh kakek.

Aku tidak bisa melihat wajahku sendiri, tapi sejujurnya kepalaku saat ini terasa semakin pusing.

“Eh, iya kek. Kelihatannya memang makin pucet wajah elo dek. Herra pulang dulu kek!!....” selesai pamit, kak Herra segera mengajak aku pulang ke rumah.

Saat di perjalanan menuju parkir, aku merasa kepalaku semakin sakit. Kak Herra yang melihat kondisiku semakin memburuk, segera memanggil dua pengawal yang tadi mengikuti kami dari rumah sakit. Mereka berdua membantuku berjalan sampai mobil kak Herra.

Kak Herra yang sudah di dalam mobil, saat melihat aku sudah duduk nyaman di sampingnya, segera dia memacu mobilnya menuju rumah. Satu mobil mengikuti di belakang mobil kak Herra, mobil yang sama dengan yang di rumah sakut, dan pasti para orang suruhan kakek yang ada di dalam mobil itu.

“TIN...TIN...TIN...” Beberapa kali kak Herra membunyikan klakson mobilnya di depan pintu gerbang rumah kakek.

Seorang security, segera menaruh benda mirip kartu di sebuah kotak, dan tak lama pintu gerbang itupun terbuka.

“Kalian cepat bantu Ian, ikutin gue ke kamarnya!!....” pinta kak Herra kepada dua orang pengawal yang sedari tadi setia mengikutiku dan kak Herra setelah mobil kak Herra terparkir di depan rumah kakek.

Aku dibantu dua orang pengawal suruhannya kakek berjalan mengikuti kak Herra yang berjalan di depanku. Kak Herra membawaku ke sebuah kamar yang mungkin luasnya sama dengan luas rumahku.

“Sudah kalian boleh pergi, dan terimakasih....” ucap kak Herra kepada dua dua orang itu setelah membantuku berbaring di tempat tidur.

“Her, kenapa Ian??.... Nenek lihat dia lemas...” teriak nenekku yang sedikit berlari menuju kamarku.

“Gak apa aku nek, cuma tadi lagi banyak fikiran. Istirahat sebentar juga enakan nek....” ucapku ke nenek yang sudah berdiri di samping tempat tidurku.

“Nek, biarin Ian istirahat, nih Herra juga sudah hubungin mas Ferry, sebentar lagi juga datang orangnya....” ucap kak Herra.

“Ya sudah, cucu nenek istirahat dulu. Nenek mau nyiapin makanan dulu, yuk Her kamu bantu nenek!!....”

“Iya nek, ya dah dek, kakak tinggal dulu ya, lo gak apa-apa kan??....”

“Gak apa-apa kak, gue mau istirahat dulu!!....”

Kak Herra dan nenek meninggalkanku sendiri di kamar seluas ini. Kepalaku masih pusing dan sakit. Tapi, aku mencoba untuk istirahat sejenak, dan memejamkan mataku.



~•~​



Aku merasakan angin yang begitu lembut menerpa wajahku. Angin yang terasa seperti hembusan nafas.....

“Eh, Han.... Kamu ngapain??.....” terkejutku saat membuka mata, tepat di depan wajahku ada Hanna yang wajahnya begitu dekat denganku.

“Hihihi, lucu kak Ian tuh kalo terkejut.....” ucap Hanna.

“Lucu sih lucu Han, tapi jangan gini terus!!.... Nanti ada yang datang dikiranya kita mau ngapa-ngapain Han....” tegurku ke Hanna.

“Emang aku mau ngapa-ngapain kak....” selesai berucap, Hanna menutup kedua matanya, dan perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku....

“Ck..ck...ck...ehm....”

“Lo eh, kak Herra!!....” ucap Hanna terkejut dengan kedatangan kak Herra.

Akupun juga terkejut dengan kedatangan kak Herra, suara pintu yang terbuka saja tidak terdengar olehku, atau.....

“Kalau mau enak-enak, pintunya tuh di tutup adekku yang cantik dan ganteng....” tutur kak Herra.

Tuh kan benar filingku, pintunya tadi belum di tutup. Aku arahkan pandanganku ke Hanna yang sudah berdiri tegak di samping tempat tidurku. Tangan kanannya menutupi mulutnya, aku yakin dia sedang tertawa malu, karena menyadari kecerobohannya.

“Malah pada diem, dek elo dah enakan belom??.... Kalau udah, yuk makan, sekalian lo juga Han, tuh nenek dah masakin banyak makanan....” ajak kak Herra.

“Dah mendingan kak, ya udah yuk Han makan dulu!!....” akupun mengajak Hanna makan bersama.


Di tempat makan, ternyata nenek sudah menanti kedatangan kami bertiga. Dengan senyumannya, nenek menyambut kami.

“Sini cucu-cucu nenek makan, ini nenek sudah masakin banyak makanan. Hanna juga sini, kamu kan nanti juga jadi cucu nenek!!....” ucap ramah nenek.

Aku, Hanna dan kak Herra segera duduk di kursi tempat makan. Nenekku sepertinya memang jago masak, semua masakannya terlihat nikmat. Meski terlihat ada beberapa orang pembantu di rumah ini, sepertinya kalau soal masakan, nenekku masih paling jagonya.

“Enak banget masakan nenek....” pujiku setelah mencicipi beberapa suap masakan nenekku. Ya, meski tidak semua aku cicipi, karena ada telor dan ayam bumbu balado yang belum boleh aku makan karena lukaku.

“Kalau enak, makan yang banya!!....” ucap nenek padaku.

Acara makan-makan berlangsung cukup menyenangkan, obrolan ringan menemani setiap makanan yang kami makan. Makan siang yang cukup sempurna bagiku, meski tanpa kedua orangtuaku di sisiku.

“Nih obat lo minum dulu!!.... Tadi mas Ferry yang ngasih, elunya mau di periksa tadi masih tidur. Gak jadi di periksa, tapi nih elo di kasih obat....” tutur kak Herra.

Aku ambil dan segera aku minum obat yang kak Herra berikan padaku. Selesai makan dan minum obat, aku mengajak Hanna duduk-duduk di taman belakang rumah kakek. Suasana siang menjelang sore yang mendung, membuat suasana menjadi sejuk dan nyaman.

“Oh iya kak sampai lupa....” ucap Hanna, dan dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Nih buku catatan, tadi kak Gading yang nitipin. Orangnya gak jadi kesini, katanya ada kerjaan...” lanjut Hanna seraya menyerahkan buku catatan milik Gading padaku.

“Iya terimakasih Han, aku berterimakasih bukan untuk ini saja, tapi untuk semua kebaikan kamu ke aku Han...” ucapku.

“Apa sih kak Ian tuh, aku ngelakuin semua ini karena aku tuh sayang kakak, aku gak mau kakak kenapa-napa lagi....” ucap Hanna, dan dengan wajah murungnya dia menatapku.

Posisiku duduk memang berhadapan dengan Hanna, hanya meja kayu yang menjadi pembatas duduk kami.

Aku pegang tangan Hanna yang sedari tadi berada di atas meja. “Ma'afin aku ya Han, aku memang belum bisa menyayangimu lebih dari teman. Tapi, mulai saat ini, aku akan mencoba menyayangi kamu bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai orang yang special di hidupku.....” ucapku tulus ke Hanna.

Seketika wajah murung dan bibir cemberut Hannya berubah menjadi sebuah senyuman dan raut wajah kebahagiaan menghiasi wajahnya.

Hanna melepas pegangan tanganku, dia segera berdiri dan berjalan ke arahku. Tanpa permisi, Hanna begitu saja mengecup bibirku. Kecupan yang singkat namun terasa begitu nikmat dan hangat bagiku.

“Kak, sini!!....” ucap Hanna seraya menunjuk keningnya.

Aku sangat tau maksut Hanna, akupun berdiri di depannya. Perlahan tanganku memegang dengan lembut kepala Hanna, dan sebuah kecupan aku daratkat tepat di keningnya.

“Terimakasih kak....” ucap Hanna, dan entah siapa yang memulai, kini aku dan Hanna saling memeluk dengan eratnya.

Sedang asik berpelukan, dari tas Hanna terdengar suara handphone Hanna berbunyi.

“Sebentar kak!!....” Hanna melepas pelukannya, begitupun denganku.

“Ya halo Ma!!....” ucap Hanna menjawab panggilan telepon.

“Sepertinya telepon dari orang tuanya...” batinku.

“Oh iya Ma, Hanna lupa. Malam ini ya acaranya, ya sudah Hanna sebentar lagi pulang. Daaa, Ma..... Assalamualaikum.... ” selesai salam, Hanna menaruh Handphonnya kembali ke tasnya.

“Ada apa Han??....” tanyaku penasaran.

“Ini kak, aku kelupaan kalau malam ini ada acara nikahannya anaknya Bude, jadi ini aku pamit pulang dulu ya kak, gak apa kan aku tinggal??....” ucap Hanna.

“Iya dek, gak apa-apa. Ya sudah hati-hati di jalan, dan salam buat Ibu dan Ayah kamu dek....”

“Iya kak, nanti aku salamin. Tapi, temanin aku salam ke nenek dulu dong kak, ya ya!!....” manjanya Hanna kembali keluar.

“Iya, iya.... Yuk ke tempat nenek!!....” akupun mengajak Hanna ke tempat nenek.

Selesai pamit dengan nenek dan kak Herra, Hanna langsung buru-buru pulang. Seperti biasa, ada sopir yang sudah menantinya di dalam mobil.

Setelah kepergian Hanna, aku kembali suduk di taman belakang. Tempat dudukku seperti berada di sebuah bale-bale. Sambil menikmati gerimis yang mulai turun, fikiranku melayang memikirkan perasaanku ke Hanna dan ke beberapa wanita yang sepintas pernah mengusik hatiku.

“Dalem amat ngelamunnya dek, baru juga di tinggal sebentar, udah kangen kelihatannya elo tuh sama Hanna....” tegur kak Herra yang datang dan duduk di sampingku.

“Sok tau lo tuh kak.....”

“La, kalau gak kangen Hanna kenapa lo bengong??.... Mikirin cewek elo yang lainnya ya??.... Hehehehe, makanya jangan kebanyakan cewek dek....” canda kak Herra.

“Gue akuin kak, memang gue lagi mikirin cewek. Tapi, bukan karna gue banyak cewek, melainkan gue tuh bingung dengan bagaimana isi perasaan tuh cewek kak....”

“Oh gitu, itu mudah dek. Wanita tuh sejujurnya mudah jatuh cinta dan sayang ke lelaki, tapi, wanita tuh juga mudah patah hati karena lelaki. Jadi saran kakak sebagai seorang wanita, pilih wanita yang bisa membuatmu nyaman, sayangi dia, cintai dia dan jaga dia. Memang akan ada yang terluka dan sedih, tapi itu sudah jadi resiko seorang wanita mencintai seorang lelaki.....” tutur kak Herra.

“Sebenarnya, sudah ada wanita itu kak. Semua saran lo tuh sudah ada di diri satu wanita....”

“Hanna!!....” ucap kak Herra cepat. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawabannya.

“Ya sudah, elo langsung pilih Hanna saja, selesai kan masalahnya!!....”

“Tidak semudah itu kak, sejujurnya, gue tuh takut bikin Hanna kecewa sama gue di kemudian hari....”

“Itu artinya lo belum yakin dek, mending elo yakinin diri elo. Buat diri elo yakin seyakinnya ke wanita pilihan elo....”

“Ya kak, tapi gue butuh waktu. Membuat yakin tuh gak semudah membalikkan telapak tangan....”

“Kakak tau dek, karena kakak lo ini juga pernah ngrasain ngeyakinin diri sendiri sebelum nerima tuh Mas lo, dek...”

Semua ucapak kak Herra memang benar, tak ada salahnya aku melakukannya. “Terimakasih kak sarannya, lo memang kakak terbaik...” pujiku ke kak Herra.

“Gitu dong, sekali kali kakaknya nih di puji, kan makin sayang ke adek.....” tanpa kuduga, kak Herra memeluk erat lenganku. Tonjolan dadanya yang tak begitu besar sampai terasa empuk di lenganku.

“Kak, udahan meluknya, nanti ada yang tegang!!....” seruku ke kak Herra.

“Sini gue lemesin yang tegang dek, hihihihi.... Mumpung kakaklo yang dokter tuh belum pulang...” senyum genit kak Herra justru semakin membuat sempit celanaku.

Bukannya di lepas pelukannya, kak Herra justru mempererat pelukannya di lenganku, bangkan menggerak gerakkan dadanya di lenganku.

“Hihihihi, gitu aja tegang dek. Hati-hati sekali sentuh muncrat entar.....” bisik kak Herra di telingaku.

“Jorok lo tuh kak, dah ah yuk masuk, makin deras nih ujan!!....” ajakku ke kak Herra.

“Iya dek, yuk masuk. Sekalian itunya nanti di masukin sini ya dek!!....” kak Herra menunjuk selangkangannya yang tertutup celana.

Sedikit aku menelan ludahku saat membayangkan isi di balik celana itu. “Mending gue ama Hanna kak, jelas-jelas masih sempit. Punya situ dah longgar, hehehehe... ” dengan cepat aku menarik tanganku dari pelukan kak Herra, dan segera berlari masuk ke dalam rumah.

“Awas ya lo dek!!....” teriak kak Herra dan berlari mengejarku.

Di dalam rumah, aku melihat nenek sedang asik melihat acara di tv. “Serius amat nek, bagus ya acaranya??....” tegurku sopan ke nenek.

“Kamu Ian, eh Herra juga, ini lagi lihat berita, tuh kamu taukan siapa yang ada di berita??....” nenek menunjuk ke arah layar tv.

Aku dan kak Herra yang berdiri di belakangku bersamaan menatap ke arah tv. Sebuah berita yang menayangkan acara penangkapan bandar narkoba, dan tentu Ayahku lah yang di maksut nenek tadi.

“Tuh kan Ayah elo dek.....” ucap kak Herra.

“Iya nek, itu Ayah, kak Herra dan kakek sudah menceritakan semuanya....” jawabku atas pertanyaan nenek.

“Jadi, kamu sudah tau semuanya??....” tanya nenek dan beliau bangkit dari duduknya.

“Iya nek, Ian sudah tau semuanya....”

Nenekku dengan cepat memelukku. “Apa setelah kamu mendengar kenyataan itu, kamu masih mau ma'afin nenek kamu ini??....” tanya nenekku.

“Iya nek, Ian sudah ma'afin nenek....” jawabku.

“Herra ikut pelukan!!....” tanpa menunggu jawabanku dan nenek, kak Herra ikut berpelukan denganku dan nenek.

“Ingat kau polisi bodoh, gue akan habisin lo, lo ingat kedua adik elo masih hidup dan ada di tangan gue!!.....” teriakan penuh ancaman terlontar daru mulut seorang bandar narkoba, suaranya terdengar begitu lantang dari tv yang sedari tadi kami bertiga tonton.

Aku, kak Herea dan nenek melepas pelukan kami. Kami bertiga saling pandang, terlihat senyum di bibir nenek, sedangkan aku dan kan Herra menatap bingung ke arah nenek.

“Sepertinya, dua tante kamu akan semakin membuat ramai keluarga kecil ini. Nenek dan kakek akan membantu mencari kedua tante kamu biar kita semua bisa berkumpul....” ucap nenek.

Meski aku belum mengenal kedua tanteku, tapi aku senang mendengar mereka masih hidup, dan aku lebih senang karena nenek mau mencari mereka.

Kini justru aku yang memeluk nenekku. “Terimakasih nek, terimakasih.....”



~•~


Saat bersamaan di tempat lain....



“Bangsat, kenata tuh orang begitu bodoh. Pakek acara bilang kalau dua adik polisi bajingan tuh masih hidup....” seorang dengan tubuh tegap dan penuh tato terlihat begitu marah di depan beberapa orang yang terlihat sebagai bawahannya.

“Tenang bos, tenang.... Itu orang tidak sepenuhnya bodoh bos!!....” ucap salah satu anak buah lelaki yang masih terlihat begitu marah.

“Maksut lo apa??.... Dia tuh bodoh!!....” dengan membentak, lelaki itu bertanya ke anak buahnya.

“Begini bos, dengan tuh orang ngungkap tentang tuh kedua adik polisi, bisa saja itu memancing anak dari tuh polisi keluar. Bukannya kita sulit mencari tuh anak!!....” kembali ucapan anak buah lelaki itu yang kali ini membuat senyum sinis terlihat di wajah lelaki yang sedari tadi marah-marah.

“Ada benernya juga elo, selama ini kita cari tuh bocah gak pernah ketemu. Selain tuh polisi pintar menyembunyikan tuh bocah, sepertinya ada pihak lain yang menjaga tuh bocah, dan kali ini seperti kata elo. Kita gunain tuh dua adik polisi bajingan sebagai umpan untuk memancing tuh bocah..Hahahahaha......” terdengar gelak tawa memenuhi seisi ruangan remang-remang yang mereka gunakan buat berkumpul.

“Sekali tuh bocah muncul, gue cincang tuh bocah sampei mati. Seperti ayahnya yang udah nembak mati adik gue.......”




Bersambung.....
Matur nuwun Mbak Yu up date e.Top markotop....
 
Wah jadi deh akhirnya 6K.....


Wkwkwkkwkwk.....


Mantab hu....


Sdh mulai kelihatan alur ceritanya....


Tp klo boleh kasih saran,

Kok alur ceritanya itu kelihatan terlalu tergesa gesa / cepet....

Mungkin bisa kasih spasi dengan helaam nafas / kata2 yg agak pake mikir gitu....


Hanya saran aja....
 
sebenernya ada yg janggal nih dr perkawinan emak sama bapaknya si ian kl dikatakan resmi knp nggak di tanganin juga ke keluarga emaknya secara bapak dr emaknya ian alis kakek si ian duit mungkin lebih bnyk, mungkin nama ato identitas sama tenpat tinggal bisa dimanipulasi ato di asingin... dan knp harus di serahin ke anak buah bapaknya si ian dan ujung2 nya bokap boongan ian mokat emaaknya juga meninggal trus kmn keluarga besar emaknya ketika itu... :gila: pusing ah nebak-nebak mending ikutin alurnya dr tees...
makasih apdetnya neng manis:malu:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd