Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Part 8


FjIJWVJj_t.jpg


Tok

Tok

Tok

Pintu kayu bercat putih itu aku ketuk. Aku mematung, lidahku kelu, tenggorokanku terasa seperti tersumpal sesuatu, aku tidak bisa mengucapkan satu katapun dari mulut ini, bahkan hanya sekadar mengatakan ‘permisi’. Aku takut... kesal... bingung, entah apa yang aku rasakan sekarang ini, semua campur aduk...

Tok

Tok

Tok

Jantungku berdebar lebih cepat. Tidak ada respon sama sekali dari dalam kontrakan ini. Aku menghela nafas. Setelah menunggu beberapa saat dalam keheningan, aku memutuskan untuk pulang, sepertinya dia sedang pergi.

Krek

Krek

Suara slot kunci pintu itu menghentikan langkahku. Aku membalik badan berbarengan dengan pintu yang terbuka.

“Halo,” Perlahan gadis itu berjalan keluar dari ambang pintu, tersenyum hangat. Aya mengenakan sebuah daster, rambutnya yang terlihat agak basah itu menyebarkan harum yang semerbak. Aku menahan nafas.

“H-halo...”

“Kenapa, mas?”

“Aku... mau ngobrol...”

***​

Aya kembali dengan segelas kopi hitam. Aku duduk di sofa ruang tamu ini.

“Nih, mas.” Aya meletakkan gelas itu di meja kecil yang ada dihadapanku sekarang.

“M-makasih...”

Gadis itu duduk di sofa sebelah kanan. Hening... rasa canggung terasa jelas terjadi diantara kami berdua kali ini. Aya yang aku tau banyak bicara menjadi gadis yang tidak kukenal. Hanya ‘minum apa’ dan ‘tunggu ya’ yang bisa kudengar dari mulutnya tadi. Dan setelah itu, aku hanya menunggu minuman itu datang tanpa berbicara dengannya.

Sekarang pun aku masih tidak berani menatap wajahnya, mataku selalu beralih menatap sudut ruangan atau gelas dengan kopi yang mengepul itu.

Aya menghela nafas lalu berdehem, aku lantas menoleh kearahnya.

“Tadi nunggu lama ya di depan? Maaf ya baru mandi tadi, hehe.”

“Oh, enggak kok, hehe. Pantes wangi.”

“Jadi... gimana, mas Dimas?”

“Emm.. Aku...” Dua jempolku saling mengusap satu sama lain, aku berusaha mengatur nafas. “Aku minta maaf.”

“Mmm...Soal?”

Tatapan mata itu berubah serius.

Sial.

Indah sekali...

Aku menahan nafas.

“Warung bakso...”

“Oh...”

“Itu salah aku. Maaf.”

Aya melipat tangannya diatas paha, kepalanya agak tertunduk.

“Sekarang kamu tahu sifat jelekku ini kan. Aku yang brengsek, kamu enggak usah dengerin apa kata Jinan soal kamu kemarin.”

“hhh... iya, mas. Aku maafin kok. Temen mas juga.”

Aya mengurai rambutnya sambil terus berbicara padaku.

“Yaudah lah ya, mas. Lupain aja. Aku enggak apa-apa kok.”

“I-iya...”

“Ehehe, aku paham kok. Cindy juga pernah cerita kok kalau mas itu agak mesum.”

Mbul... tega bener... tapi bener sih... eh, kamu enggak cerita kalau kita pernah... gituan, kan?

“Dih, sembarangan. Emang iya dia cerita?”

“Ahahaha! Enggak lah mas. Bercanda aku.” Dia tertawa sambil menutupi mulutnya. “Bentar ya mas.”

“Dih ngeselin. Iya iya sana.”

“Itu kopi diminum, mas.”

“Oke.”

Aya bangkit berdiri lalu berjalan masuk ke satu kamar, sepertinya itu kamarnya. Lagi-lagi aku mengalihkan lirikan mataku dari lekuk tubuhnya.

“Mmpgh...”

“Mmhh...”

“AaAhHH... M-mas... U-udah... Udah!”

“Mmghh! A-Aya...!”

Sial.

Celanaku terasa sempit.

Aku meraih secangkir kopi yang telah dibuatkan Aya tadi, meniupnya tiga kali, lalu menyesap kopi hitam itu. Aku melihat jam melalui layar smartphoneku, tertampil waktu 19:47 disana. Sepertinya, urusanku dengannya sudah selesai.

“Mas.”

Aya kembali lagi sambil menguncir rambut panjangnya. Posisi itu membuat dua gundukan yang terlihat pas digenggam itu tercetak jelas dibalik daster warna merah mudanya. Aku menahan nafas, jantungku berdegup lebih cepat. Hawa dingin yang mulai masuk semakin mempersulit situasi ini.

Brengsek!

Penisku kembali tegang. Payudara itu selalu menganggu konsentrasiku. Tubuh itu... tubuh itu... ingin aku rasakan...

Tidak...

Pulang.

Aku harus pulang sekarang!

“Emm... Aya, aku... pokoknya aku minta maaf. Aku harus pulang sekarang.”

Aku bangkit berdiri dari sofa lalu bergegas keluar.

“Eh mas, masih ujan deres banget lho, emang bawa mantol?”

“Bawa.” Jawabku singkat sambil terus melangkah tanpa menoleh kearahnya.

Suara petir kian menggelegar, bahkan jendela-jendela kontrakan ini sampai bergetar. Angin juga bisa terdengar berhembus dengan kencang dari air hujan yang menghantam atap rumah ini.

Grep

Gadis itu meraih tanganku dan menahannya. Sentuhan kulit lembut nan halus itu sudah membuat nafsuku memuncak.

Sial!

Aya, kau sudah membuat satu kesalahan besar…

“Katanya mau ngobrol, sini dulu ah. Nanti mas Dimas sakit.”

Aku hanya mengangguk, menuruti perkataannya. Goyangan pelan yang aku buat di tanganku membuat genggamannya lepas, Aya membalik badan bermaksud kembali ke sofa itu.

“Yaudah mas, ayo sini ngob-Eh?!”

Dengan sekali langkah, kedua tanganku meremas dua gundukan ranum itu dari belakang.

“Massmmhh... Ahh...”

Lenguhan-lenguhan halus keluar dari mulutnya saat aku meremas-remas pelan payudaranya yang masih terbungkus daster itu. Tubuh kami yang sekarang nyaris tidak berjarak ini membuat aroma wangi tubuhnya semakin semerbak memenuhi rongga hidungku. Tak lama, lehernya aku cumbu, aku hirup dalam-dalam wangi tubuhnya itu. Nafasku menderu, semakin liar aku cium dan jilati leher yang mengiurkan itu. Aya tak henti-hentinya mendesah.

Aku menekan tubuhnya hingga punggungnya menempel di dadaku. Otomatis, pantat sekal itu menyentuh tonjolan di celanaku. Dengan masih menyerang dada dan lehernya, aku menggesek-gesekkan penisku pada pantatnya. Empuk. Aya semakin bergerak tidak karuan karena rangsangan yang aku berikan hampir diseluruh tubuhnya.

“Akh... mas! Mmghh...”

Kini bibirku bertemu dengan bibir tipisnya. Beberapa kali bibirnya itu aku kecup sebelum akhirnya aku lumat penuh nafsu. Dia yang awalnya tidak membalas, kini mulai melumat balik bibirku. Berbeda dengan Jinan dan Cindy, sepertinya gadis ini masih belum berpengalaman. Yah, walau bagaimanapun, aku masih menikmati lumatannya ini. Lidah kami saling mengait didalam sana, liur kami pun saling tertukar, nafas kami saling memburu. Kucir rambutnya aku lepas hingga rambutnya kembali tergerai.

Setelah beberapa saat bercumbu dengannya, aku memutar badannya, lalu dengan cepat mendorongnya hingga menempel di dinding. Pergerakan kedua tangannya aku tahan diatas kepalanya.

“Hhh... jujur... waktu di toilet kamu juga nafsu kan...?”

“Eh, eng... enggak...”

Aku kembali meremas payudaranya dengan tangan kananku.

“Aaakkhh...”

Kedua tangannya bergerak-gerak. Namun cengkraman tanganku masih bisa menahannya menempel di dinding.

“Gak usah bohong...”

Tangan kananku kini beralih ke area vaginanya. Aku menggesek-gesek pelan area itu, Aya terlihat makin gelisah. Kedua kakinya bergerak-gerak geli, sepertinya ia mulai gatal karena gesekan itu.

Aya masih tidak menjawab. Baiklah, untuk sekarang, tidak masalah jika dia tidak mau menjawab jujur...

Akh... ekspresinya itu membuatku tak tahan lagi. Aku melepas cengkraman pada kedua tangannya, lalu dengan cepat, aku mengangkat paksa daster itu hingga terlepas darinya. Terlihat sudah tubuh Aya yang kini hanya berbalut bra hitam dan celana dalam berenda dengan warna yang sama.

Fuck!

Dia seksi sekali.

Aya terkejut, ia buru-buru menutup payudaranya itu dengan menyilangkan kedua tangannya, berusaha agar pandanganku terhalangi. Wajahnya terlihat memerah.

“J-jangan, mas...”

Tidak bisa, aku tidak bisa berhenti sekarang.

Aku melepas semua celanaku, penisku yang sudah sepenuhnya tegang itu akhirnya bisa bernafas lega. Aya membulatkan mata begitu melihat batang kemaluan itu, sepertinya ini juga pertama kalinya ia melihat penis didepan matanya secara langsung. Dengan kasar, aku mendorongnya turun, hingga ia terduduk pada lututnya.

“Pegang.” Perintahku.

Aya terlihat ragu sesaat, baru kemudian, tangan kanannya itu memegang penisku.

“Aah...” Aku merasakan sensasi menjalar diseluruh tubuhku begitu kulit lembut nan halus itu menyentuh penisku. “Kocok.”

“Eh, gi-gimana...?”

“Gerakin aja maju mundur...”

Aya mulai menggerakan tangannya maju mundur. Buruk, sepertinya ini adalah pengalaman pertamanya. Namun aku tetap saja bisa menikmati ‘siksaan’ darinya ini. Lama kelamaan, Aya terlihat semakin antusias, kocokannya semakin lama semakin nikmat. Aku biarkan dia menikmati sensasi mengocok penisku untuk beberapa saat, sebelum...

“Sekarang, buka mulut kamu.” Aku mengusap-usap ubun-ubunnya.

Aya mengangkat wajahnya, menatapku heran sambil masih memegangi penisku. Aarrkghh... melihat ekspresinya sambil mengenakan pakaian seperti itu adalah sebuah kesempatan langka nan nikmat.

“Eh? B-buka-mmpgh?!”

Tentu saja Aya terkejut dengan penis yang langsung aku jejalkan ke mulutnya itu. Tangannya memukul-mukul dan mendorong pahaku, berusaha membebaskan mulutnya dari batang kemaluanku itu.

“Oohh...” Aku diamkan beberapa saat penis itu didalam sana, membuat wajah Aya semakin memerah. Entahlah, sepertinya ia jijik dengan benda asing itu, atau malah menikmatinya.

Aya hanya bisa meracau, mulutnya tersumpal. Ekspresi memelas yang ia pasang itu malah membuatku semakin bergairah untuk ‘menghajar’ mulutnya. Aku menjambak rambut panjangnya, lalu dengan sedikit kasar, memaju mundurkan pinggulku sambil terus menahan kepalanya agar tetap di posisi itu. Aya yang kini sudah dalam kendali penuhku tidak bisa meloloskan diri

Ah...

Ah...

Ah...

Aku menikmati tiap sodokanku dimulutnya itu. Aya hanya memejamkan mata. Kedua tangannya yang sejak tadi terus melakukan perlawanan kini hanya diam berpegangan pada pahaku.

Ah...

Ah...

Ah...

Entah sudah berapa kali aku menyodokkan penisku disana, yang jelas, kini aku mulai merasakan aliran sperma itu hampir sampai diujung penisku.

Eerrgghh...!

Crot

Crot

Crot

Crot

Aku memuntahkan semua sperma itu didalam mulutnya. Aya yang tersentak karena mulutya dipenuhi sperma itu sempat ingin meloloskan diri, namun cengkraman tanganku cukup kuat untuk menahan kepalanya, dan memaksanya untuk menampung semua sperma itu didalam mulutnya. Matanya berair, wajahnya lebih merah dari awal tadi.

“Telen.” Perintahku selepas menarik keluar penis itu.

Aya terlihat khawatir.

“Tenang... enggak apa-apa...”

Glek

Aya menelan semua sperma itu, ia sempat ingin memuntahkannya lagi begitu semua sperma itu tertelan.

“Uhuk..! uhuk! Mmngh...”

Aya mengusap air matanya yang keluar.

Kaus ini aku lepas hingga sekarang aku benar-benar telanjang bulat. Aku yang masih belum puas menikmatinya lantas menarik Aya agar berdiri lalu kembali menempelkan tubuhnya di dinding. Kini kedua tangannya aku angkat keatas dan aku tahan diposisi itu, sehingga ketiaknya terbuka.

Sambil menunggu penisku beristirahat, aku rasa aku akan bermain-main dengan tubuhnya lagi.

“Aaahhh... mmpghhaass... G-gelii... aahh...”

Wangi tubuhnya masih terasa, ketiak itu aku jilat dan ciumi, sementara tangan kananku kembali meremas-remas payudaranya yang kini hanya tinggal terbungkus bra saja. Kedua tangannya itu berusaha turun dan lepas dari cengkraman tanganku karena ‘serangan’ yang kembali aku lancarkan, namun tetap saja, usahanya itu masih belum bisa mengalahkanku.

Aya tidak memberikan perlawanan berarti kemudian, bahkan ketika tangan kanan ini mulai mencungkil buah dadanya keluar dari bra itu. Aku akhirnya bisa melihat dua gundukan ranum itu dengan puting kecoklatan yang menggemaskan, keduanya sudah menggeras. Tubuh Aya yang bergerak-gerak ke kanan dan kiri membuat dua buah dada itu berguncang. Semakin menggiurkan.

Wajahku lantas aku benamkan ke payudara kanannya, menekan-nekan lalu melahap puting itu, sedangkan jari telunjuk tangan kananku mulai memutari area sekitar puting kirinya. Aya semakin bergerak tidak karuan, kedua tangannya tegang dan terus berusaha turun dan menyingkirkan tangan yang menahannya itu. Sensasi geli dan basah di puting kanannya dan sensasi gatal di puting kirinya, pertama kali ia rasakan, dan aku yakin, dia menikmati ini.

Puting kanannya terus aku hisap dan jilat-jilat, sedangkan kini puting kirinya mulai aku tekan-tekan dan cubit pelan. Aya menggeleng-geleng sambil terus mendesis dan mendesah penuh kenikmatan.

“Iissh... aAhH... Mmpgh... AangMhH...”

“Mmgh... Mmmphh...”

Nafasku yang tidak teratur itupun sepertinya bisa didengar olehnya.

Selang beberapa menit, tangan kananku meloloskan payudara kirinya, berganti dengan mulutku yang kini melumat dan menjilati puting kirinya. Tangan kananku itu lalu menyusur kebawah, sampai ke luar vaginanya yang masih tertutup celana dalam itu. Dengan empat jari, aku kembali menggesek dan menggaruk-garuk pelan area itu.

“M-mass... g-gatel aahhh...”

Selangkangannya merapat dan bergerak-gerak, namun aku tetap melanjutkannya untuk beberapa saat sambil terus melumat puting kirinya. Perlahan setelahnya, tanganku mulai menyeruak masuk celana dalam itu. Aku menemukan vaginanya yang sudah lumayan basah didalam sana, tak heran dengan semua rangsangan yang sudah aku berikan sejak tadi.

Dengan secepat kilat, aku menurunkan celana dalam itu hingga melorot sampai mata kakinya. Tangan kiriku yang sejak tadi menahan kedua tangannya kini meloloskan mereka. Aku kemudian menarik lalu mendorong tubuhnya ke sofa. Belum sempat ia merapatkan selangkangannya, aku sudah terlebih dulu menahan mereka agar tetap terbuka lebar.

Vagina kemerahmudaan yang tertutup rambut halus itu terlihat sangat menggiurkan, tapi sepertinya aku akan bermain-main dengan jariku dulu walau penis ini sudah mulai tegang lagi. Dengan jari telunjuk dan tengahku, klitoris itu aku mainkan. Aku usap-usap pelan, menggerakkannya kedepan dan belakang.

“Aahhh... G-geliii maass...”

Tak ayal itu membuat Aya kembali mendongak dan terus mendesah. Kocokanku pada klitorisnya semakin cepat, desahan Aya semakin tidak karuan. Aku jadi tambah semangat, kini dua jariku itu aku tusuk-tusukkan kedalam lubang itu. Dengan tempo cepat aku mengobok-obok vagina itu, Aya membuka mulut dan matanya, desahannya seperti setengah berteriak. Ia mengejan, kedua tangannya mencengkram erat sofa itu.

“AAAHHH...! M-MAASS...!!”

Aya orgasme, cairan yang keluar dari vaginanya itupun membasahi dua jariku yang masih ada disana. Nafas Aya tersengal, dadanya naik turun, tubuhnya itu terlihat agak basah dengan keringat. Tubuhnya yang tegang kini berangsur rileks lagi, dua jariku itu aku keluarkan dari dalam vaginanya. Selangkangannya jatuh. Aya masih mengatur nafasnya dengan kepala yang mendongak keatas. Sementara aku mulai mengocok pelan penisku, sepertinya ia sudah tidak sabar mencicipi lubang kewanitaan itu.

Aku mendorong kuat tubuhnya ke samping kiri hingga ia tergeletak di sofa. Aku langsung mengambil posisi berlutut di sofa sambil terus mengocok penisku. Aya membulatkan matanya, dengan nafas yang belum teratur, ia memohon padaku.

“M-mas.. j-jangan... hhh...”

Aku tidak mempedulikan ucapannya barusan, sekarang aku malah membuka selangkangannya lebar-lebar, vagina kemerahmudaan itu kembali terlihat. Nafas sengal Aya masih bisa kudengar, dia menatapku penuh harap agar tidak melakukan itu.

Tidak bisa. Aku harus merasakan vagina itu.

“Mas-AaAhh...!!” Desah Aya ketika penis itu masuk kedalam vaginanya.

“Aya udah enggak perawan...?” batinku ketika menyadari tak ada yang menghalangi penisku hingga nyaris sepenuhnya masuk kedalam vaginanya. Ah, sepertinya tidak... mungkin karena faktor biologis atau mungkin dia pernah terbentur sesuatu.

Masa bodoh, lubang itu masih sempit dan bisa kunikmati. Aku membiarkan penisku menancap disana saat aku mencium bibirnya. Perlahan-lahan, Aya mulai membalas ciumanku, tubuhnya yang semula tegang kini berangsur rileks. Tanganku mencari-cari pengait bra, tanggung rasanya jika tidak dilepas. Aya yang menyadari gerakanku itu mengagkat sedikit tubuhnya, hingga akhirnya pengait bra itu bisa aku lepas dan pembungkus payudara itu aku lempar sembarang sambil terus berciuman dengannya. Kami berdua kini impas, sama-sama telanjang bulat.

Pinggulnya terasa bergerak-gerak, sepertinya sudah mulai gatal dengan benda asing yang ada didalam vaginanya. Aku yang tidak mau berlama-lama lagi memutuskan untuk menggenjot lubang hangat itu, ciuman itu aku lepas agar Aya bisa mendesah sepuasnya.

Plok

Plok

Plok

Vagina sempit Aya seolah memijit dan menelan penisku disetiap sodokannya. Keadaannya yang sudah becek memudahkanku untuk terus menusuknya. Desahan kami berdua nyaris berbarengan setiap kali selangkangan kami bertemu. Aku memandang Aya dibawah sana, payudaranya ikut bergetar seiring sodokanku. Aya terlihat berantakan, sungguh berbeda saat kami bertemu tadi... Rapi, harum wangi.

Ah...

Ahh...

Ah...

Aaahhh....

“E-enaaakkkhhh...!”

“Hm..?”

“T-terus mas Dimas! Aahh...! genjot terrusshh...! Mmmpphhh...!”

Aya menutup mata sambil mengigit bibir bawahnya.

“Tuhh... kan... kamu juga mesummhh...”

“Bodo aaahhh...! t-terus maass...!!”

Plok

Plok

Plok

Perlahan aku menurunkan tubuhku hingga kini dada kami saling bersentuhan, keringat kami pun bertemu, aromanya pun bercampur dan memenuhi ruangan ini. Aku bisa merasakan deru nafasnya, ia menatapku sayu wajahnya memerah lagi. Aku menekan-nekan payudaranya dengan dadaku sambil terus menggenjot vaginanya.

“Nngghh... Mmmghh...!”

Desahannya terus berlanjut.

Plok

Plok

Plok

Beberapa menit berlalu, dan desahan Aya berubah lagi. Sepertinya ia akan mencapai orgasme keduanya. Aku mengangkat tubuhku, lalu aku percepat lagi temponya hingga tubuh Aya benar-benar tegang dan mengejan lagi.

“AAAKKKHHH...!”

Aya mendapat orgasme keduanya, penisku yang sekarang berlumuran cairan orgasmenya itu aku diamkan disana.

Sialan.

Aku masih belum mencapai orgasmeku, tanpa menunggu Aya beristirahat, aku kembali memaju mundurkan pinggulku.

“Mmpgh...!”

“Mmhh...!”

“AaAhHH... M-mas...! U-udah... Udah!”

“Mmghh! A-Aya...! E-enak banget! Aaahh..!!”

Tiba-tiba tangan kiriku bergerak dan mencekik lehernya. Aya terkejut, kedua tangannya langsung memegangi dan berusaha menyingkirkan tangan kiriku itu.

“M-mas! Uhuk! Mmgh..! g-gak bisa nafasshh..!!” Aya menggeleng, ekspresi tersiksanya ini cukup membuatku semakin bergairah. Aku terus mencekik dan menggenjotnya dengan tempo cepat. Mata Aya mulai berair, mulutnya mengangga dan matanya terpejam.

“Mas Dimas! Mmgh..! s-sesek! Aahh..!!”

Aku mulai merasakan aliran sperma itu. Tempo cepat ini terus aku jaga, dan tangan kiriku masih mencekik lehernya.

Sedikit lagi...

Sedikit lagi...

Sedikit lagi...

Eeerrgghhh...!!

Aku melepas cengkraman tanganku, Aya langsung terbatuk-batuk. Penisku buru-buru aku cabut.

Crot

Crot

Crot

Sperma itu tertembak melumuri perut dan sela-sela payudaranya.

Sial!

Aku mengangkat kasar Aya lalu membalik badannya. Memaksanya agar berposisi seperti yang aku inginkan, bertumpu pada lutut dan kedua tangannya. Tanpa menunggu, aku langsung menjejalkan lagi penisku yang masih tegang itu kedalam vaginanya. Aya tersentak.

“AAKKHH! M-maass...! uhuk! u-udah! Beneran aku- Uhuk! U-dah eng-gak k-uaattthh...” Suaranya melemah, tapi aku tidak peduli. Aku masih ingin membuat wajah cantiknya itu belepotan dengan spermaku.

“Tahan!”

Plok

Plok

Plok

Tubuhnya bergetar seiring pantatnya dan selangkanganku bertemu. Desahan Aya terdengar semakin lemah disana. Tangan kananku melilit rambutnya lalu menariknya kuat, kepalanya sampai ikut tertarik hingga sekarang ia mendongak.

“Aaakkgh!” Aya mengerang.

Plok

Plok

Plok

Aku terus menusuk-nusuk vaginanya itu dengan posisi ini, sesekali aku mengendorkan tarikanku lalu menariknya lagi. Desahan Aya sudah menjadi erangan kasar, namun itu tidak membuatku menghentikan jambakan itu.

Ahh..!

Ah..!

Aaahh...!!

Desahanku semakin kuat, begitupun dengan erangannya. Punggungnya mengkilap karena keringat yang sudah benar-benar membasahi tubuhnya, itu membuatku semakin bergairah. Aku tarik lagi rambut panjang Aya itu hingga erangan kasar kembali keluar dari mulutnya.

Sial!

Aya benar-benar membuatku merem melek.

“M-MaaSsS... A-AkKKHH! MMMPGHH...!”

Aya mencapai orgasme lagi.

“Tahan!”

Sepertinya aku juga akan mencapai orgasmeku. Aku melepas cengkramanku pada rambutnya. Badan Aya bergetar, dia hampir oleng jika aku tidak menahan badannya.

“M-mas Dimass...!”

Plok

Plok

Plok

Ini dia!

Aku mencabut penis itu, tubuh Aya langsung roboh ke kanan. Penis yang sudah akan menyemburkan sperma ini aku kocok lagi, tangan kiriku meraih dagunya dan menghadapkannya kearahku.

Crot

Crot

Crot

Aya memejamkan mata begitu sperma hangat itu menyembur melumuri wajahnya. Aku menghela nafas panjang, aku berhasil membuat wajahnya itu belepotan dengan spermaku.

Nafasnya berat, mata indah yang ia miliki itu berubah sayu, air mata mengalir sedikit darisana. Rambut lurus yang tadinya sangat harum, rapi dan indah kini sangat berantakan. Beberapa helai jatuh menutupi wajahnya. Wajahnya yang tadinya berseri kini berubah redup. Tubuhnya pun kini terkulai lemas di sofa. Aku turun dari tempat itu lalu mengambil pakaianku yang tersebar di lantai kontrakannya.

“Hhh... mas Dimas...” Suaranya lemah, matanya semakin menutup.

Aku menoleh kearahnya yang sudah sangat kacau itu. Sepertinya aku sudah sedikit kasar padanya. Setelah mengenakan semua pakaianku, aku menggendongnya ke kamarnya, lalu membaringkan Aya yang masih telanjang itu dikasurnya.

“Maaf...”

Aku mengambil beberapa lembar tissue, mengelap semua sperma yang menempel di tubuhnya.

“Nnghh...” Aya hanya melenguh tanpa membuka matanya. Selimut yang ada disana aku tarik, menutupi tubuhnya. Aya merubah posisi miring memunggungiku.

“Aku pulang dulu...”

Aku yang tidak menanti jawaban darinya itu berjalan keluar, menutup pintu kamarnya lalu bersiap pulang. Hujan kelihatannya sudah tidak selebat tadi.

Eh, tunggu dulu...

Masih ada satu masalah lagi, dan sepertinya harus aku selesaikan hari ini juga...

Aku mengambil smartphoneku yang ada didalam kantong celana, lalu menghubungi seseorang dengan gawai itu. Tak butuh waktu lama untuk gadis itu menjawab voice call dariku.

“Ngapain lo nelpon gue, njing?”



To be Continued...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd