Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Belum ada tanda-tanda penampakan update 31 kah?
Hadeeeuuuuh...menanti dan terus menanti:x
 
waduh kayaknya updetnya pas mlm thun baru nih.. bau"ny si gitu :ngupil:
 
Scene 31
Taman Bunga Dua Malaikat




Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana



Trap... trap...

“Baguskan pemandangannya dari sini?” tanyanya kepadaku sambil berjalan ke arahku dengan membawa dua gelas minuman hangat. Rambutnya terurai, dengan kaos sedikit longgar tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya. Celana ketat menutupi hingga dibawah lutut.

“Baru tahu kalau kos kamu ada tempat seperti ini, aku kira atapnya dari genteng.”

“Hi hi hi ya gaklah, kalau dari genting susah entar kalau mau ditingkat bangunannya.”

Dia kemudian duduk disampingku setelah memberikan segelas minuman hangat. Di atas atap kosnya, aku dan dia, duduk disebuah kursi panjang. Duduk untuk melihat kembali bintang-bintang itu. Entah kenapa tiba-tiba dia menyuruhku menemaninya. Kedua tangannya memeluk gelas, didekatkan bibir tipisnya ke mulut gelas, menyeruput pelan minuman didalamnya. Terdengar sedikit decak dari bibirnya dan diakhiri sedikit desah. Sangat menikmati sekali, apalagi setelahnya dia melukiskan senyum di bibirnya dengan mata yang menyipit.

Tenang sekali Dia, setenang malam ini. Sesekali dia memandang lautan bintang di atas kami. Wajahnya seakan bersinar, memantulkan cahaya malam. Bak rembulan kedua yang membuat malam ini lebih bersinar. Heran, aku semakin heran dengan suasana malam ini.

“Des, ada apa to sebenarnya?”

“Gak da apa-apa, emang kenapa?” Dia sedikit menoleh ke arahku, hanya sedikit dengan lirikan matanya yang teduh, kemudian kembali melihat ke arah sebelumnya.

“Oia dah kamu bawa sekalian kan?”

“Udah nih, gede segini masa gak kelihatan.”

“Huh kamu itu gak dengerin ya tadi? Itu gede Ar, tapi kenapa malah bawa yang itu? emang muat?”

“Bukannya tadi kamu suruh bawa yang ini? kamu kan ngomongnya yang gede?”

“Hmmm... makanya waktu tadi aku ngomong jangan malah liatin TV terus, maksudku tadi itu yang disebelahnya Artaaaa, itu memang gede tapi sempit.”

Mungkin kalau ada orang yang mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya saat ini, pasti mengira dia marah. Tapi tidak, wajahnya sangat kalem tidak terlihat jengkel. Malah yang ada senyum.

“Lah, gak muat berarti? Lha emang buat apa sih bawa ini?” tanyaku polos, tapi memang aku sendiri juga bingung.

“Diatas sini dingin kalau malem, itu memang tebel tapi gak lebar, paling cukup satu orang. Ya sudah, gak papa, coba dulu.”

Aku mengangguk dan kemudian membentangkan selimut yang baru saja aku bawa dari kamar Desy. Memang benar, tebel, kalau dilipat jadi kelihatan besar tapi cukup buat satu orang. Dengan pedenya aku selimutkan menutupi tubuhku. Terasa hangat banget, pasti sering di pakai sama Desy.

“Iya Des anget he he he,” ucapku tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Lha terus, aku?”

Aku menoleh ke arahnya kemudian menaikan kedua bahuku. Wajah yang bercahaya, senyum yang indah semuanya berubah. Rasa hangat dari selimut tiba-tiba terasa menjadi dingin.

“Dah ni, kamu saja yang makai, Des.”

Dia kembali menoleh ke arahku. Mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Selimutnya dia tata sedemikian rupa hingga selimut itu cukup untuk menutupi kami berdua. Sangat dekat aku bisa merasakan hangat dari tubuhnya. Sambil mengambil kembali gelasnnya dia menatap kelangit. Aneh...

“Iiih, mbaknya deket-deket.”

“Emang kenapa?”

“Ndak apa-apa mbak. Oia, ada apa to Des? Kok tiba-tiba ngajak aku kesini?”

“Gak ada apa-apa, emang kenapa?”

“Kalau ndak ada apa-apa, aku pulang.”

“Ya sudah pulang saja.”

Jawabannya begitu datar, tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Aku jadi salah tingkah kalau melihat dia seperti ini. Niatnya mau mencari tahu tapi malah kena sendiri. Memang lebih baik menutup mulut dan tidak berbicara sepatah kata pun. Ku ambil gelas, dan menyeruput sedikit demi sedikit minuman didalamnya. Menemani si peramal menikmati minuman yang sama denganku.

Bintang...

Bola mataku berpindah ke sudut mata. Kata Bintang memang lebih identik ketika aku bersamanya. Ketika itu, ah sudahlah yang jelas kelihatannya dia ingin mengingatkan aku tentang kejadian di atas atap rumah sakit. Dalam diam kami menikmati malam ini. Suara seruputan saling beriringan. Semakin malam semakin sepi, semakin terasa keras suara seruputan kami begitupula suara angin yang berhembus. Suara-suara hewan malam yang seharusnya tidak terdengar, karena ini kota, kini terdengar walau samar-samar.

Dia kemudian meletakan gelas disampingnya, begitupula aku. Ku sandarkan tubuhku di sandaran kursi, kepalaku menengadah ke atas melihat langit yang sangat terang. Tak ada awan, semua bintang tampak bersinar dengan terang. Ditambah cahaya rembulan yang tak sempurna, langit malam semakin indah saat ini.

Tiba-tiba dia menarik lenganku, merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Sama seperti ketika di rumah sakit, dia memeluknya. Saat aku menoleh melihat ke arahnya, dia tampak tak peduli, kepalanya ikut menengadah ke atas. Aku tersenyum, mataku kemudian mengikuti arah pandangan matanya.

“Bintangmu masih ada?” aku sedikit terkejut, kemudian bibirku tersenyum.

“Masih, kalau kamu?”

“Masih, dan sangat dekat.”

“Dekat? Sebelah mana? Bintangmu yang mana?” sedikit aku menoleh ke arahnya.

Hening, dia tidak menjawab pertanyaanku. Hanya sedikit menggeser duduknya lebih dekat denganku.

“Ada, sangat dekat,” ucapnya masih melihat ke arah langit. Bibirnya tersenyum manis.

“Dekat dengan bintangku?”

“Bisa jadi.”

“Memangnya kamu tahu bintangku yang mana Des?” dia sedikit menoleh ke arahku dengan posisi kepada menengadah.

“Bintangmu sebelah mana?”

“Eh... Mmmm... yang itu Des,” Aku mengangkat tanganku, jari telunjukku mengarah pada bintangku yang berada dsearah dengan mataku. Secara otomatis tanganku tepat didepan wajah.

“Mana? Yang besar itu atu yang mana? Gak jelas tauk.”

“Huh, yang itu masa ndak kelihatan? Kamunya aja yang gak serius lihatnya Des,”

“Yang mana sih?”

“Hadeuh yang itu... itu lho itu...”

Beberapa kali aku menunjukan bintang yang aku maksud tapi Desy, dia tidak tahu mana yang aku tunjuk. Memang sulit menunjukan bintang yang aku maksud, karena di atas sana ada ribuan bintang. Memang sulit, tapi lama kelamaan jengkel juga.

“Yang mana sih? Gak ada tauk!”

“Argh yang itu!”

“Mana?!”

Sreekk..

“Itu yang itu.. yang it...”

Aku terdiam ketika aku mengetahui posisiku sekarang ini. Duduk disebelahnya, menurunkan sedikit wajahku agar sejajar dengan wajahnya. Yang membuatku terdiam adalah reflekku yang dikarenakan rasa jengkelku. Ternyata, aku menarik pelan kepalanya dengan tanganku yang dia peluk hingga pipinya menempel dengan pipiku.

Deg... Deg... Deg...

Dia masih diam ketika aku memperlakukannya seperti itu. Tak ada tanda-tanda dia bakal memukulku. Aku? aku terdiam dengan posisi ini, sedikit lama. Pelan aku menarik pipiku dari pipinya sambil masih meliriknya.

“Yang mana?” dia menoleh ke arahku bersama dengan wajahku yang ikut menoleh ke arahnya. Wajah kami berhadapan, dia diam tak ada ekspresi apapun.

“Eh, i-itu” tanganku menujuk entah kemana, yang jelas ke atas dan wajahku, wajahnya masih berhadapan.

Sangat detkat wajahku dengan wajahnya. Diam dan hening. Aku bisa meraskan nafasnya dan aku yakin dia juga. Entah setan apa yang merasukiku, aku memajukan mendekat ke wajahnya. Semakin dekat, semakin aku bisa merasaka nafasnya yang mengenai bibirku.

“Yang mana sih?” jawabnya langsung mengalihkan pandangannya. Aku tidak menjawabnya, aku masih diam dengan tangan mengarah ke atas. Aku masih terus memandang wajah manisnya dari samping.

“Oh yang itu ya?”

“Mmmppph...” dia sengaja atau tidak, dia menggeser pipinya menempel di bibirku. Lama sekali aku dalam posisi ini, membuatku semakin diam tak berkutik.

“Kamu kenapa Ar?” dia menarik pipinya menjauh, menoleh ke arahku dan memandangku.

“Ti-tidak a-apa-apa, ka-kamu sudah tahu kan bi-bintangku?”

“Iya, kok jadi culun lagi Ar?”

“Ti-tidak kok, tidak ada apa-apa,” aku menggeser posisiku seperti sedia kala.

“Aku kira mau jadi culun lagi hi hi hi”

Aku sudah melewati masa-masa bersamanya. Sering sekali aku bersamanya, tapi selalu ada rasa gugup. Rasa gugup yang tidak pernah bisa hilang. Aku mencoba menenangkan diriku. Kembali aku menengadahkan kepalaku melihat ke lautan bintang malam.

“Bintangmu sebelah mana?”

“Dekat.”

“Dari tadi dekat terus Des, dekatnya itu dekat dengan bintang yang mana?”

“Sangat dekat, dekat denganku saat ini. Bintang... harapanku,” spontan aku langsung menoleh ke arahnya. Dia masih menengadahkan kepalanya ke langit luas.

“Eh, dekat denganmu? Harapan?”

“Iya, sangat dekat. Dan itu adalah harapanku, bukan masalahkan kalau aku menamainya bintang harapanku.”

“I-iya memang tidak salah, tapi kenapa kamu menamainya dengan... nama itu?”

“Karena aku berharap bisa bersama bintang itu....”

Tiba-tiba dia menurunkan kepalanya. Tangannya menarik tangan kiriku ke belakang pinggangya. Kepalanya dia rebahkan di dadaku, menarik satu tanganku yang lain dan dia letakan diatas kepalanya. Kedua tangannya kemudian memeluk tubuhku. Kami diam tak berbicara. Ketika angin berhembus pelan, pelukannya terasa sangat erat sekali.

“Selamanya,” lanjutnya.

Sungguh aku bingung dengan kata-katanya. Dekat dengannya, dan sekarang yang dekat dengannya adalah aku. Apakah aku yang dia maksud? jika dilihat dari sikapnya yang sekarang ini, kelihatannya memang aku. Apa aku perlu... ah, lebih baik jadangan terlalu percaya diri. Iya kalau benar, kalau tidak.

“Eh, mbak, mbak... main peluk-peluk iwk nan...”

“Gak ada yang marah, aku kan jomblo, Ar. Kalau kamu mungkin ada yang marah.”

Aku menunduk. sedikit menggeser kepalaku untuk melihat wajahnya. Matanya tertutup dan bibirnya sedang tersenyum. Dia terlihat sangat bahagia sekali. Ah, kenapa aku selalu dalam posisi seperti ini?

“Ada apa to Des?”

“Aku gak berani bilang, takut. Tapi kalau dia pasti akan bilang sama kamu, langsung.”

“Takut kenapa? yang maksud kamu ‘dia’ itu siapa?” tanganku bergerak pelan menyisir rambutnya, meletakan rambut panjangnya disela telinganya.

“Ainun.”

Deg, hampir copot rasanya ini jantung. Detak jantungku menjadi sangat tidak normal. Desy, bilang Ainun, itu berarti Winda. Ah, kenapa aku seperti seorang pelaku kejahatan. Kenapa selalu perempuan yang menjadi masalah utama? Disana Ainun, disananya lagi Winda dan disini Desy. Tante Eviela juga. Aku merasa seperti seorang lelaki yang, yang, yang arrghh...

“Aku akan selalu percaya padamu, percaya kalau kamu akan selalu menjagaku. Aku selalu menantimu Ar, sampai kapanpun itu. Jangan ketakutan seperti itu,” ucapnya, telapak tangannya diletakan di dadaku.

Tiba-tiba dia menengadahkan wajahnya kearahku, menggeser tanganku dari kepalanya. Satu tangannya meraih belakang kepalaku, menariknya pelan hingga aku menunduk. Tanpa bisa aku menolak dan bibirnya menempel di bibirku, lama.

“Jangan pernah takut, jika kamu takut, siapa yang akan menjagaku? Tetaplah berani,” ucapnya mengakhiri ciuman di bibir kami. Kembali dia merebahkan kepalanya didadaku, dan aku masih terdiam karena keterkejutan atas apa yang dia lakukan.

“I-iya...”

Tangannya kembali menarik satu tanganku, diletakan kembali di atas kepalanya. Spontan aku mengelus rambutnya. Dia tak lagi berbicara, diam. Nafasnya terdengar sangat teratur sekali, kalau aku menebak dia pasti sudah tidur. Cukup lama aku memandangi rambut hitam yang terasa halus di tanganku dan itu semua membuatku merasakan ngantuk sekali.

Cup...

Ku kecup kepalanya pelan. Aku yakin dia tidak tahu, sebagai rasa terima kasih malam ini. ku geser posisi hingga aku bisa meletakan kepalaku tepat diatas kepalanya. Mataku sudah benar-benar tidak kuat lagi untuk terbuka, lelah sekali rasanya. Hingga semuanya terlihat sangat gelap.

“Aku kangen kamu Ar.”

Terdengar suara pelan tapi sangat jelas. Eh, Kangen? Siapa yang mengatakannya? Ah, aku sudah tidak kuat lagi untuk membuka mataku, mungkin besok pagi aku akan mencari tahu. Siapa coba yang mengatakan kangen pas mata sudah ndak bisa kebuka, masa bodoh. Tidur saja.
.
.
.
“Ssssst... bangun, dah mau pagi.”

Ada yang menonjok-nonjok hidungku dengan ujung jarinya. Mengganggu rasa nyenyak didalam tidurku. Aku tidak mengacuhkannya, masa bodoh, aku masih merasa sangat ngantuk sekali.

“Ar banguuuun, hampir pagi, berat kepala kamu ituuuu.”

“Eghh... Aucchhh...”

Mau tak mau akhirnya aku membuka mataku ketika mendengar Desy berbicara sedikit keras. Aku terkejut ketika membuka mataku. Silau sekali. Matahari sudah menyinari sebagian kepalaku. Ku tarik selimut untuk menutupi wajahku.

“Silau Des.”

“Iya makanya bangun, aku gak bisa bangun tahu. Lagian sumpek!”

Baru aku sadari kalau selimut yang aku tarik untuk menutupi kepalaku, juga menutupi kepalanya. Jelas saja, kepalanya jadi sandaran kepalaku tadi malam.

“Nanti sajalah, masih ngantukhhh. Kamu bilangnya juga hampir pagi, ini sudah pagi,” Ucapku malas.

“Cepetan diangkat kepala kamu, berat.”

“Eh, i-iya...”

Aku angkat kepalaku dan langsung duduk membungkuk menghindari cahaya matahari. Sebenarnya tanpa harus menggeser kepala, dia bisa bangun. Dia kemudian mencubit pipiku sembari berdiri berjalan menuju tangga turun.

“Kemana Des?” tanyaku.

“Mandi, emangnya kamu gak kuliah?”

Astaga! Aku terperanjat dan langsung bangkit mengikutinya. Dengan sedikit berlari mendekatinya, ku rogoh sematpon dalam sakuku. 06:17. Sudah terlalu pagi. Tiba-tiba dadaku terbentur sesuatu, aku langsung sedikit membungkuk. Desy melebarkan siku tangannya untuk menghambat jalanku, pelan kemudian dia mendorongku.

Lidahnya menjulur, mengejekku, lalu dia melangkahkan kakinya dengan cepat. Meninggalkanku yang masih merasakan sakit di dada. Terdengar suara langkah kakinya menuruni tangga seirama dengan keriangan yang aku lihat baru saja. Tidak tahu mengapa dia begitu bahagia sekali, menurutku.

“Ah, Sial. Bakalan lama kalau perempuan mandi” gerutuku sambil melangkah malas menuruni tangga.

Setelah dia selesai mandi, dia keluar dan berdiri didepan pintu, pertanada giliranku untuk mandi. Ya, aku baru saja menunggunya di luar kamar dengan segelas kopi yang dia buatkan. Saat dia melewatiku yang hendak berdiri, tangannya membetet hidungku kemudian dia berlari tanpa merasa bersalah. Tawanya begitu keras aku dengar. Ah, peramal, semalam dia sungguh mmmhhh seksi sekali.

Kutinggalkan Desy dengan tawa kerasnya, masuk ke kamar Desy untuk mandi. Ya sekedar bersih-bersih, asal bersih saja yang penting kelihatan kalau sudah mandi. Selesai mandi, begitu aku keluar dari kamar mandi, Desy memanggilku dari luar kamarnya. Segera aku berjalan menuju arah suara. Aku dan dia, duduk dibangku dengan menikmati sepiring mi instan buatannya. Setelah selesai, kami berangkat kuliah tapi posisi dia duduk tidak seperti ketika sore kemarin. Berbeda, diperen, mungkin karena ini kondisi pagi dimana banyak yang akan melihatnya.

Dalam perjalanan aku mendengar suara-suara dari bibirnya, tidak begitu jelas, samar tapi aku tahu dia sedang menyanyikan lagu. Tubuhnya sedikit bergoyang, aku bisa merasakan itu, jelaslah dia duduknya diujung terus goyang-goyang membuat motorku sedikit kehilangan keseimbangan. Mau marah, masa bodohlah, biarkan, asal dia bahagia.

Di tengah-tengah perjalanan menuju kampus, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Iya aku teringat semalam. Ketika mataku sudah tak kuat lagi untuk terbuka, tiba-tiba aku mndengar suara. Suara perempuan tapi tidak begitu jelas juga. Apa mungkin Desy? karena yang disana cuma ada Desy, jadi pasti dia. Benarkah dia kangen? Ah, nanti coba aku goda saja.

“Sudah sampai Nyonya.”

“Oh iya, terima kasih ya, uangnya besok saja,” dengan lagak seperti seorang nyonya turun dari motor.

“Iya nyah, lha nyonya kok masih disini?” tanyaku mengomentari posisinya yang berdiri tepat disampingku.

“Nunggu.”

“Siapa nyah?”

“Kamu dodol, huh!”

“Lah saya itu Cuma seorang tukang ojek, masa kok ya nyonyah nunggu tukang ojek?”

“Eh, mas, tukang ojek itu nganterin sampe sono, kelas,” aku tersenyum melihat gayanya yang sedikit berbeda hari ini. Setelah motor aku setandarkan, aku turun dan berjalan bersamanya menuju kampus. Sandiwara nyonya dan tukang ojek pun berakhir, ketika aku mulai mengajaknya bercanda.

“Eh, Des boleh nanya?”

“Gak boleh, bayar atuh.”

“Ih..”

“Iya-iya, nanya apa?”

“Semalem itu, e... anu Des, Cuma mau tanya itu...”

“Apa?”

“Endak sih, semalem aku dengar suara cewek, ngo-ngomong Des.”

“Ngomong apa? Yang jelas.”

“Endak sih, heran saja. karena kadang aku juga sering dengar suara perempuan. ha-hanya memastikan saja.”

Tiba-tiba saja wajahnya sedikit memerah, entah kenapa wajahnya memerah. Saat ku lihat perubahan sikap Desy, aku langsung mengalihkan pandanganku kedepan dengan sedikit melirik ke arahnya. Jujur saja aku penasaran dengan suara perempuan semalam, suaranya lembut tapi tidak jelas juga. Apakah itu Ibu, karena suaranya hampir mirip tapi tidak mirip-mirip sekali. Kalau benar itu Ibu, kenapa dia tidak datang ke dalam mimpiku?

“Aku sebenarnya itu mau bangun, tapi ya itu, kok mataku berat banget. Suaranya juga gak jelas, aku kira itu kamu Des,” ucapku mengalihkan pembicaraan. Kalau dari yang aku tangkap kelihatannya memang Desy. Buktinya dia tiba-tiba saja diam.

“Kok diam to Des?”

“to to to to...”

“Iya iya, aku ndeso, he he he” candaku

“Kamu denger ya Ar?”

Bug...

“Artaaaaaa!!!!” tiba-tiba saja lenganku dipeluk dan tertarik kedepan.

“Ih, Umi jahat, masa rebut Arta?”

“Yeee sapa yang rebut, kebetulan saja tadi jalan bareng hi hi hi.”

“Ntar sama Winda, gantian hi hi hi.”

“Iya Winda sayang, sini-sini jangan deket-deket ma Arta ntar ketularan to to to nya lho.”

“Eh, iya bener.”

“Aiiiish,... kalian itu, hadehhhh...”

Winda melepas pelukan di lenganku dan berjalan bersama Desy. Aku hanya menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala. Dua perempuan yang benar-benar selalu bisa membuatku salah tingkah, terkadang, eh sering sekali.

Winda begitu riang hari ini, jalannya seperti tarian yang melukiskan rasa bahagia. Berjalan mundur menghada ke arahku dan Desy dengan langkah begitu riang. Winda yang sedang ‘menari’, Desy yang tampak tersenyum melihat tingkah Winda dan kemudian aku dibelakang Desy. Aku hanya bisa mengamati mereka berdua dari belakang. Disaat Winda membalikan tubuhnya dan berjalan membelakangi kami berdua, disaat itu aku melihat Desy setengah menoleh ke arahku. Menjulurkan lidahnya. Hmmm, pastinya setelah ini dia akan cerita ke Winda dan si malaikat manja ini pasti akan argh. Aku bisa tidak pulang ke kontrakan ini. huh!

Desy, dengan senyumnya menanggapi semua cerita Winda yang entah aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia ceritakan. Aku masih dibelakang mereka, mengikuti mereka, sesekali menoleh ke sekitarku. Hanya sekedar berjaga-jaga kalau tiba-tiba saja si Andrew datang dari belakang disertai pukulan di kepalaku. Dan, aman.

Dari kejauhan pintu kelas terlihat, tanpa aba-aba Winda langsung berlari, meninggalkan aku yang berjalan santai dibelakang Desy. Terdengar suara teriakan Winda ketika sudah berada didalam kelas. Memang dia sedang bahagia sekali, suara keras lama sekali terdengar, biasanya hanya sekali saja di awal.

Disaat Winda sudah berada didalam kelas, langkah Desy semakin pelan membuatku ikut memperlambat langkah. Beberapa meter dari pintu kelas, langkahnya terhenti, begitupula aku. Terdengar hela nafas panjangnya. Sedikit dia membalikan tubuhnya, dia tersenyum.

“Aku yang mengatakannya, kamu terlalu lama tidak datang....”

“Ma-ma-maksudnya Des?”

“Aku benci menunggu.”

Kata-kata yang membuatku membeku sesaat. Tubuhnya berbalik memebalakangiku, berjalan menjauh dan hilang dari pandanganku. Dan aku, aku masih disini berdiri mematung seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Kata-kata yang sama, dan ekspresi wajah yang hampir mirip. Dia dan ‘dia’, orang yang berbeda tapi, ada kesamaan, dengan sedikit perbedaan.

“Ainun... Desy...”bathinku

Aku hirup nafas dalam-dalam. Mulai mengayunkan lagi kakiku. Ah, sama tapi beda dikit. Sama... kalau marahnya. Sudahlah, mungkin aku memang harus menerima nasibku. Nasib dimarahi kalau, mungkin tapi pasti, ketemu dengan yang satunya lagi. Masa bodoh.

“Arrghhh....”

Satu langkah kakiku masuh ke dalam kelas, suasan kelas menjadi sangat ramai. Cacian dan makian aku terima dari Andrew. ya, hanya dia yang sering memakiku. Tak ada yang lain.

Kuliah. Seperti biasa. Suasana perkuliah dengan mereka, tenang, damai dan sejahtera. Hanya berbeda disaat istirahat, sangat berbeda dengan suasana perkuliahan. Apalagi kalau dosen sudah masuk, menjadi sangat tenang. Bahkan aku bisa mendengar suara angin yang berhembus, ah sudahlah terlalu berlebihan. Yang jelas, selama perkuliahan aku lebih banyak diam. Jadi anak baik? Itu suatu keharusan, tak berani menggoda Helena. Aku masih sayang kepalaku, sangat sayang. Sayang karena takut ada piring terbang, buku terbang yang kadang datang tanpa aku ketahui.
.
.
.
Perkuliahan selesai. Sebentar aku duduk didalam kelas, menunggu semua temanku keluar dari kelas. Rasanya sangat malas sekali hari ini, aku tidak tahu kenapa perasaanku seperti merasakan sesuatu yang tidak enak. Aku letakan kening kepalaku di atas meja kursi yang aku duduki. Baru saja aku bermalas-maslan, tiba-tiba tamparan keras di punggungku membuatku terbangun. Andrew. Manusian satu ini, ah sudahlah.

Dia hanya ingin meminjam motorku dan aku disuruhnya memakai motornya. Dia ingin mengantarkan Helena membeli sesuatu di super market, katanya barang bawaanya lumayan besar jika dibawa pakai motornya, susah katanya. Mau tak mau, akhirnya aku bertukar motor dengannya.

Pikiranku semakin kacau dengan Andrew yang langsng pergi begtiu saja. biasanya paling tidak dia mengajakku untuk bercanda sesaat. Entah kenapa berjalannya detik hari ini, perasaanku semakin tidak karuan. Padahal kalau aku ingat lagi, tadi pagi Desy dan Winda... ah padahal tadi pagi masih terasa menyenangkan walau aku bingung.

Aku mulai mengangkat tubuhku dan berjalan ke tempat parkir. Sesampainya di tempat parkir aku berdiri sejenak melihat motor Andrew yang sudah menunggu.

Plak!

“Auchh...” aku menoleh kebelakangku.

“Arta, yuk anterin Winda pulang?”

“Lah, kok ma... sih...”

“Ih, iya Winda itu nungguin Arta. Dah anterin pulang sekarang, kemarin kan Umi, sekarang giliran Winda!”

“Lha ta-tapi...”

“Hmmm.... hmmmm....” bergumam tapi raut mukanya dibuat menjadi sedih, seakan mau nangis. Argh!

“I-iya, iya...”

“Ciyeeeee... ciyeeee... adiknya dilupain nih,” suara yang aku kenal. Aku dan Winda langsung menoleh ke belakang.

“Ana?” ucap kami berdua bersamaan ketika melihat ada Ana yang sedang berdiri tersenyum kepadaku.

Yah, maklumlah, sekarang ini aku jarang main ke mas Raga. Ana sudah tahu semuanya, karena terkadang aku bercerita kepada dia. Walau tidak detail tapi Ana dapat mengerti, begitupula Ani. Apapun yang aku lakukan, aku tetap menjaga komunikasi dengan mereka begitupun dengan kakak perempuanku, Mbak Arlen. Hanya sebentar kami mengobrol dengan Ana, walau sebentar sikap Winda sangat terlihat kalauu dia sayang sekali dengan Ana.

Perubahan sikapnya memang mencolok, mungkin karena kata-kata Ana dikantin waktu itu. Ana bercerita kalau hari ini dia akan pulang naik Taksi dikarenakan pak supir, tidak bisa menjemputnya karena ada urusan. Aku tahu maksud dia adalah Paman Bobo, tapi dia tidak menyebutkan namanya karena ada Winda.

Awalnya Winda menyuruhku mengantar Ana terlebih dahulu tapi Ana menolak. Menolak karena senang melihat kakaknya bersama perempuan cantik dan baik. Dan kata-kata Ana membuat wajah Winda merah padam. Sesaat kemudian Ana pamit dan berlari ke arah gerbang fakultas. Aku masih berdiri bersama Winda memandang langkah Ana yang begitu riang menjauhi kami.

Tiba-tiba...

Sekejap semua di sekeliling Ana menjadi gelap, suasana menjadi sunyi sekejap. Suara setiap langkah kaki Ana terdengar sangat jelas ditelingaku. Aku terkejut, entah kenapa bayang-bayang itu tiba-tiba hadir begitu saja. Jantungku berdetak begitu kencang.

“Kenapa? ada apa?”bathinku.

Aku bingung, kenapa semuanya menjadi gelap, hitam. Walau Ana sudah jauh dariku, aku masih bisa mendengar langkahnya, suara senyum dari bibirnya. Ada apa sebenarnya? Sesaat kemudian suasana kembali seperti semula. Ana sudah tidak terlihat lagi.

Sesaat setelahnya Winda menepuk bahuku, menyadarkanku. Aku tersadar dan langsung melihat ke sekeliling, melihat ke arah Ana yang berlari tapi Ana sudah tidak aku lihat. Setelah Ana menghilang dari pandangan, aku mengantar Winda, menjalankan motor dengan pelan. Pikiranku kacau, benar-benar kacau. Celoteh Winda tidak aku dengar, baru aku bisa mendengar celotehnya ketika dia menepuk keras bahuku.

“Arta, kok lewat sini? Ntar ketangkep polisi bagaimana?”

“Eh, i-iya, aku ingatnya... aduh, bagaimana ini?” baru aku sadari aku melalui jalan utama, bukan jalan alternatif.

“Yeee Winda gak mau tahu, pokoknya sampai kos.”

“Iya, iya.”

Aku sempat menghentikan motorku di pinggir jalan. Sial kenapa aku bisa lewat jalan ini, padahal Winda tidak memakai Helm. Aku memutar otakku, akhirnya tetap melanjutkan perjalanan. Masa bodoh jika ada polisi yang menangkap, tinggal aku serahkan saja motor ini, toh nanti Andrew yang mengurusi he he he. Beberapa saat kemudian sebuah truk melintas melewatiku, dengan cepat aku mengikutinya dari belakang dengan harapan menutupiku dari pandangan polisi.

Hingga disebuah jalan yang lumayan sepi. Dari jauh, kulihat taksi tiba-tiba berhenti dikarenakan ada mobil yang berhenti tiba-tiba didepannya. Posisinya memang sedikit jauh dariku. Pikiranku mengatakan kepadaku untuk berhenti, karena jika aku meneruskannya pasti aku akan terlibat. Aku hentikan motorku.

Berhenti sejenak dari dan melihat dari kejauhan. Winda sedikit protes tapi aku menenangkannya. Dua orang berbaju hitam keluar, mereka dengan paksa memaksa sopir untuk membuka pintu. Dan saat satu orang membuka pintu belakang, yang keluar adalah Ana. Deg, jantungku seakan berhenti. Dengan paksa dia menarik keluar Ana. Segera aku menstandarkan motor, turun dari motor dan menyuruh Winda turun.

“Winda cepat turun!”

“A-ada apa?”

Aku tahu Winda tidak melihat kejadian didepannya, karena saat aku turun dan menghadap ke arahnya dia sedang asyik bermain sematponnya. Aku menarik dua lengan Winda hingga dia turun dan berdiri didepanku. Ku posisikan tubuhnya agar membelakangi taksi, menghalangi pandangan Winda.

“Sudah, kamu pulang pakai taksi atau telpon Desy, ya?”

“Gak mau! Arta jahat!”

“Winda, Sudah! Besok Arta akan ke kos kamu, sekarang kamu harus pulang sendiri!” ucapku sedikit membentaknya, ada sedikit garis ketakutan di wajahnya.

“A-Ada apa sih?!”

“Sudah, aku ada urusan mendadak.”

“Gak mau, Ga...”

Taksi aku lewati, sekilas aku melirik ke arah sopir, dia terlihat sangat syok. Segera aku menarik gasku dalam-dalam, masih ada kesempatan untuk mengejar. Sedan hitam itu masih terlihat oleh mataku. Mereka pasti, ya, mereka pasti musuh dari “keluarga”.

Dia berhenti merengek ketika kedua tanganku meraih kepala. Sedikit kutarik maju dan kutundukan. Entah apa yang ada dipikiranku, aku mencium ubun-ubun kepalanya. Mungkin hanya itu yang bisa aku lakukan. Winda terdiam, aku segera melangkah dan menaiki motorku.

“A-Arta, Hati-hati. Winda masih pengen bareng Arta.”

“Iya, pasti,” ucapku sedikit menoleh ke arahnya. ku acungkan jempol kiriku.

Aku langsung menarik gas motorku, mengejar mobil. Dari spion motorku aku masih bisa melihat wajah khawatirnya. Tapi kalau dia masih bersamaku yang ada hanya sebuah kebodohan. Aku harus tetap menjaga jarak teman-temanku dengan manusia-manusia berbahya. Aku harap dia bisa mengerti.
 
Terakhir diubah:



“Arta kenapa? Arta ada apa?”

Ciit... brrrmmm...

Jeglek... jeglek...

“Ada apa sayang?”

“Ndak tahu Umi, Arta tiba-tiba tadi...”

“Hi hi hi ... ndak apa gak? Sama Arta sebentar saja, bahasanya udah ganti.”

“Iih, Umi... lagi sedih ini.”

“Iya, ada apa? bukannya tadi kamu sama Arta?” tanya umi. Tanyanya gak fokus, ya Uminya lagi nyetir.

“Tadi itu...”

Aku langsung cerita saja, tapi bagian itunya gak aku ceritain sama Umi. Takutnya ntar umi lagi yang bareng sama Arta, terus aku kapan coba? Umi diem saja dari tadi, kayaknya sih lagi mikir dari apa yang aku ceritain kedia.

“Kamu gak liat apa-apa tadi?”

“Tadi itu ada taksi berhenti gara-gara ada mobil yang nyetop didepannya tapi jauh, terus tiba-tiba Arta behenti terus pas dia narik aku turun, jadinya aku gak bisa liat taksinya.”

“Kok gak liat?”

“Ya gak liat Umi, Artanya kan langsung didepanku, nutupin aku jadinya gak bisa liat.”

Umi masih diem saja, mikir lagi. Sebenarnya aku juga lagi mikir, kenapa tadi tiba-tiba Arta menghalangi pandanganku. Sepertinya yang di taksi itu ada seseorang yang dia kenal, tapi kenapa taksinya dicegat sama mobil. Aku jadi inget...

“Oia umi, tadi ketemu Ana, terus Ana bilang kalo dia gak dijemput, bisa jadi...”

“Ana?!”

Mobil langsung ngerem mendadak. Wajah Umi tiba-tiba berubah drastis. Aku sama umi saling pandang. Seakan-akan pikiran kami sama. ya, bisa jadi mobil yang tiba-tiba berhenti didepan taksi itu, dan didalam taksi itu ada Ana, bisa jadi.

“U-Umi, jangan-jangan...”

“Bisa jadi...”

“Terus?” Umi menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

“Ayo Umi kejar Arta, kasihan Arta, nanti kalau Arta kenapa-napa... cepet um..” tak ada respon dari Umi, umi terus memandang ke depan. Pandangannya begitu tajam.

“Umi,” pelan aku memanggil, aku sedikit takut ketika melihat raut wajah Umi yang tiba-tiba saja berubah serius.

“Sssst... Sudah, percayakan saja sama Arta.”

“Ta-tapi kalau A-arta kenapa-napa Umi?”

“Sudah, percaya sama Arta.”

“Umi...” ucapku dengan nada semakin rendah.

“Kalau kita mengikutinya, mencari Arta, yang ada kita membahayakan diri kita, dan pastinya akan jadi beban Arta. Umi percaya Arta tidak bakal kenapa-napa. Umi.... yakin...” Umi terdiam dan menghela nafas panjang, kemudian menoleh ke arahku dan tersenyum manis.

“Umi...”

“Umi khawatirkan?” lanjutku. Kembali Umi menghela nafas panjangnya.

“Kamu juga kan?” balasnya bertanya dan aku langsung mengangguk.

“Tapi kita tidak bisa apa-apa, tidak bisa... yakin sama Arta,” lanjutnya

Mata kami saling berpandangan kemudian aku pun tersenyum mengikuti senyum khawatir Umi. Lelaki itu, dia bukan siapa-siapa, belum ada beberapa tahun kami berdua mengenalnya. Dia datang dengan wajah yang tidak banget sebenarnya, tapi enggak tahu kenapa setelah dia menjadi dirinya sendiri, aku merasa begitu dekat. Mungkin bisa dibilang pernah dekat sebelumnya, tapi gak tahu kapan itu. Dia... gak tahulah tapi aku...

“Kita pulang, besok pagi kita tanya ke dia saja. Kalau dia tidak berangkat, kita ke kontrakannya,” aku mengangguk. Mobil kemudian berjalan kembali.

“Winda tidur di tempat Umi,” ucapku, umi langsung menoleh ke arahku, melempar senyumnya dan yang aku tahu senyum itu sama seperti senyumku. Senyum untuk menyembunyikan rasa khawatir.

“Iya,” jawabnya.

Saat tadi
Saat dia menarik kepalaku
Saat dia meletakan bibirnya di ubun-ubun kepalaku
Rasanya itu sebuah keyakinan jika dia akan kembali
Aku tahu dia bukan siapa-siapaku
Tapi ketika ditempat parkir itu, yang dia berikan padaku
Membuat dia memiliki tempat di ...
Hmmm...
Walau aku sempat nakal ke dia,
Walau aku pernah merasakan bibirnya di bibirku
Tapi yang tadi itu,
Membuatku seperti malaikat di taman bunga,
Paling semalam umi juga,
Aku yakin Umi pasti berada di taman bunga
hi hi hi​
 
Terakhir diubah:
Maafnya suhu dan agan-agan sekalian,
kalau ceritanya lambat, SS juga jarang,
pastinya bikin bosan...
Harap maklum,
karena ini cerita memang nubie bedakan
dengan cerita WL atau yang lainnya,

Yang nyari SS, mohon bersabar,
karena nubie juga nunggu SS, eh...

Maaf ya hu, ndak bisa bales komen satu-satu,
semoga cerita nubie masih bisa dinikmati,
terima kasih



:ngupil:



:ngacir:
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd