Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI terima kasih sudah pernah membacanya [LKTCP 2018]

Bimabet
Eh sapa tau TAM ini best seller ya.. jd tergoda menerima tawaran diterbitkan.

Terbitkan...! Terbitkan...! :mantap:

Mau lebih detil n kompleks ga bs terbentur 20k words. Ntar deh kushare versi uncut nya.

Tapi sebelum itu, tolong di-share dulu uncut version-nya ya, doc... hitung-hitung member Semprot ini sebagai beta reader-nya... :ampun:
 
Keren. ....... :mantap::mantap:

Cerita yg bikin nubie nongol lagi dimari, banyak yg nubie dapet dr cerita ini walau buat buat nubie plotnya masih 'lumayan', mungkin karena keterbatasan max. 20k kata.

Tapi kalo dipikir2 tema udah berat kalo plotnya berat juga mungkin akan bikin reader males baca.

Congrats buat ceritanya, thanks buat share cerita ini
:ampun::ampun::ampun:
 
gatel kalo ga komen asli ceritanya nambah pengetahuan ane pak dokter , oh ya kemaren ane nonton film split dengan 24 kepribadiannya kalo ada waktu coba di tonton pak dokter sama pmin pendapatnya hehehe
 
Hmmm...
Ini cerita yang luarbiasa... ga kebayang caranya bikin.plot se rapat itu.. sangat padet...

Satu yang di tangkap disini...
Si 'Three in One" .. (bener yak 3 in 1.. ato lebih..?) punya kesamaan..,
Mereka secara individu adalah manusia yang 'mudah bergaul' dengan wanita....
Mungkin lebih seru kalo karakter ' mereka/dia' adalah karakter yang tak punya kemiripan satu dengan lain nya... (jadi inget 'two face' nya Batman) 'dark' nya akan lebih kental...

Top... layak jadi kandidat juara...
 
Ampun, keren bikin pusing karena pusing jadi makin keren tapi bikin pusing belum tentu keren, hayoo pusing kaan..
SAMA:mati:
 
serasa nonton detektif conan aja alur cerita n endingnya susah ditebak... mantap pak eko
 
dancuk, iki keren tenan cuk. Salut untuk Anda Pak Dokter Gifted. Kebetulan teman saya ada yang schizophrenia, entah kenapa tulisan2 macam ini selalu menarik. harus sambil bukain wikipedia tentunya.

salam
 
Terakhir diubah:
** 11**

Xaver tersentak karena kepalanya terbentur bathup. Dimatikannya air hangat yang mengalir masuk, dilihatnya sekelilingnya lalu bangun, keluar dari kamar mandi berlilitkan handuk. Xaver bergerak sangat cepat seperti dikejar waktu sambil mulutnya bergumam sangat cepat.

“Namaku Xaver, aku adalah Xaver. Namaku Xaver, aku adalah Xaver. Namaku Xaver, aku adalah Xaver.. namaku..” katanya berulang-ulang dengan mata berkilat-kilat bergerak cepat ke kiri, kanan, atas bawah, menandakan otaknya yang berpikir cepat.

Sepuluh menit kemudian Xaver sudah di dalam mobil, melesat kearah utara, kearah apartmennya yang entah sudah berapa lama tak dikunjunginya.

“eh pak Xaver.” Sapa receptionist apartemen. Xaver hanya melambaikan tangan lalu menuju ke locker dan mengambil kunci kamarnya. Setibanya di kamar, Xaver membungkukkan badan, mencari sesuatu di dalam lemari. Sebuah handphone. Sambil menunggu proses charging, Xaver meraih HP yang ada di tasnya. Diperhatikannya HP itu beberapa saat.

“Nanda sudah bahagia ya, seperti Hilda dan Mei Fang. Hidup ini tak adil. Jatah kebahagiaan hanya milik segelintir orang. Huh!” Xaver berkata dengan suara keras. Dibukanya galeri foto di HP, lalu dengan emosi dia memandang satu sosok di foto itu.

“Kamu, kamu merebut hidupku! Hahaha!! Bagian terlucunya adalah aku menyadari kita dua jiwa yang berbagi satu tubuh.Tetapi kamu tidak menyadarinya!” Xaver berdiri dan memandang ke cermin kecil yang cukup untuk menampung wajahnya.

“Aku akan membunuhmu, lalu aku akan memiliki tubuh ini seutuhnya!”

Prakk! Kaca itu retak dihantamnya.

“Tapi! Bagaimana caranya aku bisa mencabut jiwamu?” Xaver membuka laci meja di sebelahnya, mengeluarkan sebuah buku tulis. Ditulisnya disitu jam kesadarannya di bath up tadi.

“Dulu aku hanya diberi kebebasan beberapa jam singkat dalam sebulan. Lalu beberapa jam dalam tiga minggu. Sekarang, sudah makin baik untuk jiwaku, beberapa jam dalam seminggu. Tapi ini tidak adil!” Xaver berdiri lalu berjalan tak tentu arah di dalam kamar apartemennya itu. Matanya memandang dinding kamarnya.


Puluhan foto gadis-gadis tertempel disana.


“hehehehe, gadis-gadis cantikku yang malang. Hidup kalian sama menyedihkannya seperti hidupku. Sebatang kara, dikhianati cinta, disiksa penyakit menunggu ajal. Jika hidup tak bisa dinikmati, apa artinya hidup?” Xaver menyentuh foto-foto gadis itu dan mengelusnya.

“Setidaknya aku memberi kalian kebahagiaan sesaat, dan membantu kalian untuk berani meninggalkan hidup ini. Mei Fang, Hilda, Nanda.. mereka sudah bahagia karena berani mengambil keputusan. Bukankah hidup harus saling membantu?” Xaver melihat baterai HP-nya mulai terisi sekitar 30%. Dicarinya satu kontak di HP itu.

“Halo?” sapa seorang wanita.

This is Xaver, not him.” Kata Xaver. “where are you love, do you have time for us?”

“Sure babe, m alone. Come here please, I miss ya.” jawab wanita itu. “nafasmu kenapa begitu terburu-buru, kamu sakit?” wanita itu terdengar kuatir.

“Wait, I’ll be there. Have you found any idea about how to kill his soul?” tanya Xaver.

“As I said, give him clear messages that..”

“No, I will never agree with that. No clear messages!“ potong Xaver tegas.

“I’d prefer secret messages, cryptogram or else. I want to speaks with his unconscious mind. Slow or fast, he will get my secret message, and realize my existence!”

“You did, i know that babe. And whatever your decision is, I am in! I love you!” kata wanita itu.

“I love you too! But we will never get married, if we don’t kill his soul.” Kata Xaver.

“yes. Because his soul has no love for me. Come here babe.. we could have discussion here..” ajak wanita itu.

“but still.. we have no idea yet” keluh Xaver.

“saya berpikir, jika jiwa kalian sudah saling menyadari keberadaan masing-masing, barulah kalian bisa disatukan.”

“Disatukan? Bagaimana jika penyatuan itu membuat kami tidak mencintaimu? Separuh hati mencintaimu tidak akan cukup bukan?”

“separuh jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.”

“apa maksudmu?”

“aku kuatir kalau dia menolak keberadaanmu, dia akan berusaha membunuh jiwamu.”

Xaver terdiam sesaat.

“Kalau begitu, ide menyatukan jiwa kami mungkin ide yang buruk.” Katanya pelan.

“Tapi pesan sudah terlanjur dikirimkan.” Kata wanita itu.

“Buruk, tetapi itu yang terbaik bagiku. Kalau dia menyadari keberadaanku, aku harap bisa langsung berbicara dengannya. Artinya, jatah kesadaran jiwaku akan bertambah banyak, menjadi seimbang dengannya.” Xaver menarik nafas panjang.

“Sama-sama hidup selamanya, berperang selamanya atau..” kata wanita itu.

“Salah satu dari kami akan mati selamanya.” sambung Xaver lalu menutup telpon. Diketiknya broadcast message:


Bunuh diri adalah cara pemberani mengimpresi pengecut dengan serat mentalnya.

Cara kita berkata pada Sang Pencipta,

“kau tidak bisa memecatku. Aku yang keluar!”

kalian yang pemberani, kalian adalah malaikat yang ingin pulang kepada kebahagiaan.


Dikirimnya pesan itu ke ribuan kontaknya, baik di facebook, email maupun kontak di aplikasi chat nya. Xaver tersenyum puas melihat apa yang baru dikerjakannya.

“sebuah kehormatan, menyebarkan virus kebaikan. Sedikit pertolongan untuk kalian yang hidup menderita di dunia ini.”

Dicarinya salah satu gadisnya yang fotonya tertempel di dinding kamarnya.

“Chen Lie, apakabar?” sapa Xaver ketika mendengar telponnya diangkat.

“Xaver, masih hidup kamu? Aku baru saja menerima pesanmu.” jawab Chen Lie dengan nada datar. Wajah kuning pucat Chen Lie dengan kantong mata gelap terbayang di pikiran Xaver.

“Pertanyaan bodoh. Kamu masih tetap bodoh! Kita akan tetap hidup Chen Lie. Kehidupan mendatang menunggu kita.” Jawab Xaver cepat dengan dengus nafas kesal.

mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah manah-sasthanindriyani prakrti sthani karsati” kata Chen Lie dingin.

“iya. seperti halnya sang roh terkurung di dalam badan, seterusnya mengalami perpindahan di dalam badan ini, dari masa kanak-kanak sampai tua. Begitu juga kalau kalau tubuh sudah rusak dan tidak dapat dipakai, maka sang roh akan berpindah mencari tubuh lainnya seperti halnya seseorang memakai pakaian baru dan menanggalkan pakaian lama yang sudah usang, demikian seterusnya. “ kata Xaver.

“terakhir setelah kita bertemu, aku hampir berani melakukannya. Tetapi sekarang tidak. Kecuali ada yang bersedia menyuntikku mati. Melompat dari gedung, gantung diri, menenggak racun, menembak kepalaku, semuanya menyeramkan bagiku. Aku tak bisa.” Suaranya tetap datar tanpa ekspresi.

“atau aku boleh meminjam tanganmu untuk menembak kepalaku? Itu cara mati yang paling sedikit rasa sakitnya bukan?” tanya Chen Lie.

“Hidupmu lebih baik sekarang?” Xaver menggelengkan kepala, mulai yakin bahwa Chen Lie yang sekarang memang belum bisa bunuh diri. Dia masih terlalu penakut. Sugesti-nya harus diberikan lagi.

“apakah ada kehidupan yang lebih baik dari seorang putri yang diperkosa Papa kandungnya setiap nafsunya muncul? dan ketika Omku tanpa sengaja memergoki kami, beberapa hari kemudian, dia justru yang ganti memerkosaku!” tanya Chen Lie.

“dan kamu orgasme menikmati kedua penis itu? Berpura-pura lupa mengunci pintu kamarmu setiap malam supaya mereka bisa masuk disaat Mama dan saudaramu tertidur? itu pilihanmu sayang. Aku mengerti. Kalau kamu ingin bertahan di kehidupan yang sekarang pun, aku akan mendukungmu.” Xaver mulai tenang. Chen Lie bukan sasarannya sekarang. Xaver harus terlebih dahulu menghancurkan rasa takut Chen Lie.

“kamu gila Xaver. Tidak ada seorang anak yang bisa menikmati penis papanya. Air mataku tidak pernah kering walaupun hatiku tinggal dalam kemarau abadi. Penis om-ku pun sama menjijikkannya, bau pesing dan bekas bintil herpesnya. Kamu penuh dengan omong kosong, Xaver. Kamu hanya muncul sebulan sekali.” Sanggah Chen Lie.

“Aku akan lebih sering muncul.”

“Tragis ya diriku. Satu satunya pria yang mengerti apa yang kualami pun hanya muncul sebulan sekali.”

“bukannya kamu sudah punya pacar? Rudy?”

“dia bukan pacar aku. Dia hanya mau seks.”

“Masih ketemu?”

“Masih, kalau aku yang ingin. Tapi aku lebih menikmati caramu membuatku orgasme, Xaver. Kasar, perih, tapi sungguh nikmat. Tidak ada perih senikmat yang kamu berikan. Aku kecanduan ribbed penis-mu.”

“aku muak dengan puisimu”

“kamu tidak merindukan lobang analku? Teriakanku yang lebih keras dari lolongan serigala ketika menikmati gigitanmu yang membekas di putingku?” tanya Chen Lie.

“sampai bulan depan.” Jawab Xaver seolah tak peduli.

“sampai bulan depan” Jawab Chen Lie tak kalah dingin.


Brrrrmm! Xaver menginjak pedal gas kuat-kuat, dia harus segera bertemu wanita yang dicintainya, bercinta sepuasnya, sebelum kembali ke rumah itu, ke bath up itu, dan kembali merelakan tubuh ini dikuasai jiwanya lagi. Xaver tidak mau tertidur di pinggir jalan dan membuat kehebohan kalau pria itu tersadar Xaver sudah membawa tubuh mereka pergi semalaman.


**12**



“Pagi dokter Redit..” sapa Ellen, perawat cantik di Rumah Sakit ini. Dia yang paling sering kuminta membantuku karena kecerdasan dan kemampuan Ners nya.

“Hai Ellen. Cerah sekali senyumnya?” tanyaku membalas senyumnya.

“Iya dong. Lihat dokter ganteng sih. Hahah..” canda Ellen seperti biasa. Aku ikut tertawa. Kami sudah cukup akrab untuknya berani bercanda sepeti itu.

“bisa aja kamu. Palingan semalam baru ketemu pacar.” Balasku. Kupandang postur tubuhnya yang kurus tinggi, mungkin sekitar 166cm. Kulitnya cerah terawat. Rambutnya lurus, dan payudaranya sekitar 36b. Wajahnya berhiaskan bola mata yang indah, bibir yang tidak tebal dan tidak tipis, sungguh cantik. Aku mengaguminya diam-diam, tetapi tak pernah melangkah jauh. Aku akan segera meninggalkan Indonesia, punya pacar LDR akan membuat masalah baru.

“Engga dok. Ellen single kok. Oh ya dok, tadi ada yang cari namanya Ibu Viona.” Jawabnya. Ternyata masih belum punya pacar. Aku jadi teringat beberapa teman dokter yang juga masih mencari-cari pasangan.

“Ibu Viona?” aku lupa nama-nama pasienku sebelum membuka buku pasien.

“bukan pasien dok. Psikolog yang pernah jadi pembicara bersama dokter di workshop dua bulan lalu?” Ellen berusaha mengingatkanku.

“Dia menunggu di ruanganku?” tanyaku. Ellen menganggukkan kepala.

“Iya dok. Kok seperti penting sekali sampai dia pesan harus bertemu dia dulu dok.”

Aku menganggukkan kepala lalu memandangnya.

“thank ya Ellen. Ntar kalau ada temanku dokter yang ganteng, kukenalin ya!” kataku sambil berlalu. Ku percepat langkah kakiku menuju ruang praktek.

“Pagi Bu Viona, tidak biasanya pagi-pagi kesini?” kataku sambil menjabat tangannya.

“Maaf mengganggu ya dok. Saya kemaren mendapatkan pasien bernama Adonis. Saya ingin berdiskusi dengan dokter Redit tentang kasusnya. Mengapa saya sangat tertarik, karena Adonis mengenal Hilda dan Nanda. Saya sudah menghubungi AKP Agus dan ternyata di HP kedua gadis itu malang itu, ada nomor HP Adonis.”

“wow!” aku terkejut. “kemaren diskusinya hangat tentang Darius ya. Sekarang tiba-tiba muncul Adonis. Symptoms-nya apa Bu?” tanyaku. Ibu Viona mengeluarkan buku amnanesisnya lalu membacakannya untukku.

“Maaf Ibu. Amnanesisnya cuma itu?” tanyaku. Ibu Viona terkejut.

“Iya dok. Apa ada data yang terlewatkan oleh saya?”

“Mohon maaf, sepertinya Ibu belum menanyakan pengalaman abusive yang dialaminya, kemudian Substance Use Disorder, anxiety, depression, sejarah genetika keluarganya?” pertanyaanku dijawab dengan gelengan kepala penuh rasa malu oleh Bu Viona.

“Saya tidak melihatnya cemas dan depresi, dok. Sebaliknya, dia sangat percaya diri dan bahkan menggoda saya sexually.” Kata Bu Viona. Sesaat aku menangkap pandangan matanya seperti mau mengatakan sesuatu yang tak kupahami.

Aku berdeham. “Ibu ada rekaman videonya? Apa sudah dilakukan hypnosis untuk menggali?” pertanyaanku kembali dijawab dengan gelengan kepala Bu Viona. “maafkan kelalaian saya dok. Malah dia yang sempat menawarkan diri untuk hypnosis. Adonis ini seorang certified hypnotist.

“Ya, saya bisa mengerti kok Ibu. Pengalaman membantu kita lebih baik. Kita sama-sama belajar ya Bu.“ aku tak pernah ingin membuat kepercayaan diri seorang professional runtuh. Apalagi reputasi Bu Viona yang sudah berhasil menolong banyak pasien dan kliennya. Satu kasus baru yang belum pernah ditangani memang membuat seseorang seperti harus belajar dari awal lagi.

Pandangan matanya kembali percaya diri. Sungguh penting membuat mood seseorang menjadi baik. “Terima kasih dok. Oh ya, diagnosa dokter apa? Saya ingin diskusi sekaligus belajar karena dokter satu-satunya orang yang saya kenal pernah menangani DID sekaligus FPP dan lainnya. Literatur yang saya punya juga sangat terbatas.”

“Karena data kurang, semua pintu terbuka. Bisa jadi Adonis menderita DID.” Kataku. “dan bisa jadi juga, yang berbicara dengan ibu bukan Adonis, tetapi kepribadiannya yang lain, atau yang lain lagi jika kepribadiannya lebih dari dua. Akan terlalu rumit untuk dijelaskan secara teori, tetapi dari pengalaman praktek, kasus-kasus demikian sudah pernah terjadi.”

“Jadi, bisa saja dia berpura-pura mengarahkan saya untuk berpikir bahwa dia memiliki symptoms selain DID, sehingga diagnosa saya, dia tidak mengalami DID?” Wajah Bu Viona memerah. Aku menganggukkan kepala.

Case yang pernah saya tangani pada seorang gadis berumur 21, tiga kepribadian dalam satu tubuh. Setelah Saya memberitahu salah satu kepribadian bahwa dia mengalami DID, dalam satu bulan dia secara mengejutkan punya kemampuan untuk mengenali kedua kepribadian yang lain. Sementara dua kepribadian yang lain tetap tidak sadar apa yang dialaminya.”

“Aduh sulitnya! Bagaimana jika Adonis saya rujuk ke dokter Redit? Bersediakah menanganinya? “ Aku langsung menggelengkan kepala.

“Sebenarnya saya sangat tertarik Ibu. Apalagi kasus DID enam kali lebih banyak dialami wanita, bukan pria. Jika benar Adonis mengalami DID, ini sungguh langka. Tetapi mohon maaf Ibu, saya ada rencana lanjut study ke luar negeri, dan untuk proses persiapannya saya jadi sangat sibuk dan kelelahan. Saran saya ibu Viona tetap bersedia menangani Adonis, nanti saya bantu.” Jawabku. Aku sangat tertantang membantu Adonis, tetapi aku juga harus sadar diri dengan keterbatasan fisikku. Sudah berkali-kali aku kelelahan.

“Baiklah dok. Saya akan berusaha menolong Adonis. Apakah menurut dokter Redit, Adonis ada hubungannya dengan Nanda dan Hilda?”

“Kenyataan bahwa Adonis mengenal Nanda dan Hilda itu bisa menjadi sebuah thesis yang menarik Bu. Tetapi kenyatan bahwa Adonis seorang playboy juga sebuah antithesis. Sangat mudah diterima akal, seorang playboy mengkoleksi ratusan nomor HP gadis-gadis cantik. Lain cerita jika Adonis seorang introvert atau antisocial.” Jawabku.

“Hm, jadi dokter tidak melihat dua kasus ini berkaitan? Saya sih melihatnya, faktor kemungkinan DID dan faktor kedua gadis mengenal Adonis, bisa menjadi dua faktor yang saling menguatkan, layak untuk diselidiki.”

“Maksud saya begini, Bu. Jika Adonis positif DID, bisa jadi kepribadian lain dari Adonis lah yang berkaitan langsung dengan kedua gadis itu. Bukan Adonis secara mental. Mungkin Adonis sendiri malah tidak sadar, di HP nya ada kontak Hilda dan Nanda.” Aku melihat ekspresi terkejut dan Bu Viona.

Wuih, iya juga ya dok.”

“Saya setuju kok dengan ibu. Setuju bahwa Adonis layak untuk diselidiki”



**13**

Aku tak begitu memperhatikan diskusi di grup WA Investigasi Kriminal karena kesibukan yang luar biasa. Lunch time, sambil menyetir, barulah aku membuka HP dan memperhatikan bahwa diskusi kembali ramai terjadi di grup. Pihak kepolisian berterima kasih atas informasi yang diberikan Bu Viona, dan Adonis akan diproses untuk diselidiki. Perdebatan mulai mengalir dengan pusat perhatian adalah Darius dan Adonis.


Bu Vina : “Saya yakin Adonis akan bersikap kooperatif. Saya akan membawanya dalam sesi hypnotherapy nanti malam”


Dr.Hendra : “direkam Video ya Bu. Apa memakai GSR Bu?” kata dr.Hendra.


Bu Viona : “Iya dok. Nanti akan direkam. Tidak pakai dok, saya lebih memandang GSR sebagai pseudoscience, mohon maaf kalau ada yang tidak setuju dengan saya. ”


Dr.Hendra : “gpp Bu. Justru saya belajar dari ibu sebagai pakar.”


Dr.Danita : “Jadi deg-degan nih nungguin hasilnya. Apa kira-kira Adonis ada hubungannya dengan Nanda dan Hilda ya?”


Pak Luki : “laah ya pasti ada hubungannya to Budok, wong di HPnya ada. Mereka memang kenal. Cuma apakah hubungannya cuma teman atau mantan pacar kan kita belum tahu.”


Dr.Danita : “hahaha.. pak Luki ini mesti kok. Maksud saya apakah Adonis bisa menjadi tersangka pembunuh Nanda dan Hilda?”


Bu Rita : “Belum ada bukti, jangan membuat opini yang mengarahkan. Awas tersesat lho.

Biarlah pihak kepolisian bekerja, Bu Viona menggali informasi dari Adonis. Sebelum ada data, lebih bijak jangan berandai-andai. Ini bukan novel lho.”


Dr.Danita : “Pendapat kan boleh saja, Bu. Grup ini kan membantu polisi juga. Kalau tidak ada grup ini, tidak akan ada bantuan dari dr.Redit di cryptogram, dan sekarang Bu Viona menolong juga.”


Aku tersenyum membaca perang argument Bu Rita yang ESTJ dan dr.Danita yang ENFP.


Pak Luki : “Wes kalem wae.. ditunggu hasil hypnosis-nya. Feeling saya kok kedua gadis itu memang bunuh diri. Hasil penyelidikan TKP dan otopsi nekropsi kan bukti kuat yang kita sudah punya.”


Dr.Hendra : “Menurut saya bunuh diri Nanda itu sebuah kepastian, sebagaimana bunuh diri Hilda. Saya mempertaruhkan nama baik saya sendiri untuk itu.”


Sebuah pernyataan yang mengejutkanku. Sebuah titik breaking area di Critical Mind ku Ketika synapses melompat saling mendekati, menyalakan cerebellum-ku.. Walaupun Aku bisa membayangkan beberapa kemungkinan dimana sebuah kasus pembunuhan terlihat sebagai bunuh diri, tapi aku tidak akan mempersulit dr.Hendra. Beliau sangat berpengalaman. He deserves my respect. Aku percaya dia sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat pernyataan seberani itu. Aku meludahkan bias keraguanku dan menelan keyakinan dr.Hendra. Lebih baik bagiku memilih berdiam diri dan meneruskan membaca.


Pak Luki : “wah, tajam ini. Sahabat kita yang melakukan proses otopsinya berani menjaminkan kepakarannya senilai nama baik. Ini patut diapresiasi.”


Dr.Danita : “mantap dok Hendra!!” kata dr.Danita.

Bu Linda : “Tumben aktif Pak Luki? Biasanya cuma muncul sebentar lalu sibuk ngopi.”


Bu Linda : “Kalau bunuh diri sudah pasti, pihak kepolisian harus menemukan kaitannya dengan pesan cryptogram, lalu pesan foto tikus Charlie Putter itu.”


Pak Luki : “Hahaha.. nggih bu Linda, ini baru ngopi, makanya pikiran terang, bisa ikut ber brain storming.”


Percakapan mereka mendadak membuatku teringat akan cahaya yang diberikan dr.Danita melalui pertanyaannya di kedai Soto Madura. Benang merahnya, tanpa sadar baru saja diberikan oleh Ibu Viona padaku.


Benang merahnya sekarang bercahaya.​


Ketegasan dr.Hendra seperti mengikatkan satu ujung benang merah bercahaya itu pada satu tiang pancang yang kokoh, sedangkan ujung yang lain terikat pada pesan rahasia cryptogram dan foto tikus bermuatan Charlie Putter.

**​

Aku memasuki satu warung nasi padang yang sangat ramai di depan Apartemen Metropolis itu. Harga warung, tapi rasanya juara dunia. Sambil menunggu pesananku tiba, aku menuliskan kembali pesan rahasia itu:

I DARE YOU. HE TOLD ME TO KILL MYSELF. CHARLIE PUTTER PARTIED US.​

Pikiranku mengelana. Bunuh diri, Darius seorang Vet, Charlie Vet, Harry Potter, Charlie Putter, Sihir, Adonis, Dissociative Identity Disorder, Playboy, Hypnosis, Tikus. Aku mulai mengelompokkannya. Darius Vet, Charlie Vet, Harry Potter dan Sihir adalah keywords yang muncul ketika teringat Darius.

Adonis, playboy, DID, Confident, Hypnosis adalah keywords yang muncul ketika teringat Adonis. Aku menggelengkan kepala tak puas. Satu-satunya benang merah yang mirip dari Darius dan Adonis adalah Sihir yang memiliki kemiripan dengan Hypnosis. Dan itu adalah cahaya yang diberikan dr.Danita.


“Redit, apakah memberitahu seseorang agar bunuh diri sebuah tindakan kriminal?” tanya dr.Danita.

Pertanyaan itu kini menyala terang. Seperti begini:

“Redit, apakah menghipnotis seseorang agar bunuh diri sebuah tindakan kriminal?”

“apa mungkin Darius membunuh Nanda dari jarak jauh?” tanya dr.Danita. Pertanyaan yang ditertawakan banyak anggota grup.

“mungkin saja kalau ada bom remote control” canda dr.Hendra. “tapi lagi-lagi ini bunuh diri. Tidak ada keraguan tentang ini”


“Ini sih bukan bom remote control..” wajahku menegang. Lebih mirip bom waktu.

Tanpa sadar kugigit bibirku. Lelah, tetapi sedikit lega, Seperti tiba di sebuah pit stop dari sebuah perjalanan panjang.

“Pak, minumnya apa?” tegur penjual nasi padang.

“Oh, es teh manis jumbo ya pak..” jawabku. Sambil menikmati nasi padang, sambel ijo dan rendang, aku kembali memperhatikan chat WA grup.


AKP Agus : “Sepertinya pesan di HP Nanda, tulisan Charlie Putter di atas foto tikus adalah penegasan keterlibatan Darius. Artinya, ini bukan bunuh diri. Tetapi alibinya sempurna. Kami juga belum menemukan cara membunuh sehingga sangat menyerupai bunuh diri, dan apa motifnya. ”


Bu Rita : “Lho apa ya masuk akal Darius memberi tahu orang bahwa dia pelakunya, pak Agus? Tidak masuk akal juga korban yang memberitahu kita, karena ada kata I DARE YOU dan terlalu rumit jika korban harus mengedit foto.”


Bu Rita selalu berpikir logis dan dia berani mengungkapkan pendapatnya.


AKP Agus : “Mungkin Darius terlalu percaya diri dengan alibinya yang terlihat sempurna.”

Ini sih mengulang argumennya yang lalu.


AKP Agus : “Begitu kami berhasil membongkar tekniknya, maka habislah dia.”

AKP Agus semakin berterus terang bahwa pihak kepolisian mencurigai drh.Darius.


Dr.Danita : “Seperti psikopat yang menantang kepolisian untuk membuktikan?”

AKP Agus : “Benar ibu dokter Danita.”


Aku reflek menggelengkan kepala.


Pak Karno : “Maaf baru bergabung lagi sahabatku semua. Saya ikut membaca dan berpikir, beberapa pertanyaan yang muncul dari kasus ini tidak mudah untuk dijawab. Mohon ijin bertanya, menurut pak AKP Agus, bagaimana dengan fakta bahwa Adonis mengenal kedua gadis tersebut? Apakah masuk dalam pertimbangan? Mohon maaf ya, kesan yang saya tangkap, pihak polisi sudah mulai mengerucut pada drh.Darius.”


AKP Agus : “Siap, tidak masalah Pak Karno. Terima kasih waktunya untuk ikut berpikir. Adonis memang mengenal kedua gadis yang telah meninggal, tetapi Adonis juga seorang playboy yang mengkoleksi nomor HP gadis-gadis cantik. Pendapat ini saya dapatkan dari Ibu Viona, yang kami pikir masuk akal.”


Bu Viona : “hahaha, bukan pendapat saya kok. Itu ide thesis-antithesis nya dokter Redit.” Bu Viona : “selama belum ada data dari penggalian saya terhadap dugaan DID yang dialami Adonis, saya pikir memang Adonis masih diluar lingkaran.”


Lala : “Bapak Ibu, ada update mengejutkan nih. Anak buah saya, Iptu Yudi punya ide cemerlang, mencari mutual contact dari kedua HP, masing-masing milik Hilda dan Nanda. Iptu Yudi menemukan ada tiga orang pria yang sama-sama memiliki kontak Hilda dan Nanda. Salah satunya adalah Adonis. Lanjutin Yud..”


Iptu Yudi : “Yang dua lagi, salah satunya atas nama Xaver. Nomor HP aktif, tetapi tidak diangkat telponnya ketika kami hubungi, sampai kemudian no hp tersebut tidak aktif lagi, mungkin dimatikan. Sudah kami lacak registrasi ke sim card provider, ID nya fiktif. Salah satunya lagi juga mencurigakan. Di HP Nanda tersimpan dengan nama Ari, di HP Hilda tersimpan dengan nama Rita. Nomor ini tidak bisa dihubungi sama sekali.”


Bu Rita : “Lho kok namanya sama denganku. Tapi jenis kelamin tidak jelas ya. Antara Ari dan Rita.”


Iptu Yudi : “Iya siap Bu Rita, demikian. Jika Bapak Ibu memperhatikan dan mengingat..”


Iptu Yudi typing..


Dr.Danita : “Ari bukannya nama mantan tunangannya Nanda?”

Iptu Yudi : “Betul sekali, itu yang saya mau ketik. dr.Danita masih ingat ternyata.”


Pak Karno : “Wah jadi makin rumit ya! Muncul dua orang baru yang bisa di posisi sama-sama mencurigakannya dengan Adonis, jika faktor mutual contact dengan kedua gadis itu dipertimbangkan.”


Dr.Danita : “Gila! Jadi Ari mengenal Hilda dan di HP Hilda tersimpan dengan nama Rita! Apakah Ari berselingkuh dengan Hilda?”

Bu Rita : “Selingkuh bisa jadi. Tapi ingat, nama sama belum tentu orangnya sama lho ya.”


Aku lagi-lagi dibuat kagum oleh Ibu satu ini. Benar-benar logis dan tidak mudah terpengaruh.


Bu Linda : “Betul. Harus dipastikan dulu.”

Iptu Yudi : “Anak buah saya sudah bergerak. Ari sudah diinterogasi dan beliau bersikeras tidak mengenal Hilda. Itu juga bukan nomor HPnya. Mungkin ini Ari yang lain.”


Dr.Danita : “Kebayang gak sih kalau Darius ternyata adalah Xaver. Nomor nakalnya gitu?”


Aku beberapa kali dibuat tersenyum oleh pertanyaan kreatif dari dr.Danita. Dia sangat membantu kami semua berpikir dengan pertanyaan-pertanyaannya yang out of the box.



Kompol Suhadi : “dok Danita, nomor nakalnya berapa, saya boleh tahu?”

Dr.Danita : “hahahaha.. pak polisi ini ya, muncul-muncul godain saya. Istrinya pasti sedang bapak tugaskan untuk menyelidiki kasus bunuh diri di Afrika ya pak?”


Bu Linda : “ya ada kemungkinan sih, si Xaver atau Ari itu bisa juga nomor nakal dari salah satu bapak-bapak di grup ini kan? Hayo ngaku! Hahahaa”


Kompol Suhadi : “Lho Bu Linda, kan nomor nakal saya, ibu sudah punya?”

Bu Linda : “Nah, nah, habis godain dokter Danita sekarang godain saya.”


Kompol Suhadi : “hahaha, maaf ibu-ibu. Itu dikarenakan kalau saya menggoda mbak Lala, saya bisa di pecat hari ini juga. Seram.”


Bu Linda : “Santai saja pak Suhadi. Kita biasa bercanda. Kalau mbak Lala cocoknya dengan dr.Redit. Saya masih heran mereka belum jadian. Eh, jadi OOT…Hihihi..”


Aku spontan terkekeh membaca chat Bu Linda. Lala betul-betul gadis yang aku akan siap bercinta dengannya kapanpun, tapi aku tak pernah berpikir membina hubungan serius dengan seorang polisi.



Lala : “@Bu Linda! Ada-ada saja. Om Redit sih ga mungkin mau ama ABG seperti saya. Hihihi.”


Bu Rita : “Jangan sampai terjebak drama yang kita ciptakan sendiri ya.”

Bu Rita : “Tetaplah logis. Akan teramat sulit mencari pemilik nomor HP yang tidak jelas ID-nya. Hanya keberuntungan luar biasa yang bisa membuat kita tahu.”


Pak Karno : “setuju bu Rita!”

Pak Karno : “Fakta bahwa ada pesan bertuliskan Charlie Putter di kematian Nanda membuktikan bahwa kematian kedua gadis SALING BERHUBUNGAN. Dan kalau ini pembunuhan terencana, maka pembunuhnya seorang yang genius. Dia bisa membuat dua kejadian pembunuhan terlihat persis sebagai bunuh diri.”


Dr.Hendra : “Setuju pak Karno. Kedua kematian gadis saling berhubungan. Tetapi kematian keduanya pasti karena bunuh diri.”


Bu Viona : “Well, kita sekarang punya drh.Darius, Xaver, Ari dan.. Adonis. What a mess!

Bu Viona : “Sepertinya kasus ini direncanakan dengan matang oleh seorang yang genious”


Aku membaca chat mereka dengan kebanggaan dan kekaguman. Mereka para professional yang berpendirian, logis, berani dan saling menghormati perbedaan pendapat. Beberapa dari mereka tinggal di luar Surabaya, tetapi terasa dekat. Aku menyetir mobilku lebih pelan dari biasanya. Di setirku, kuletakkan HPku. Kubaca chat mereka, sambil terus berpikir. Masih ada beberapa beberapa kejanggalan.

Cittttt!! Duggg!!
TIIIN!! TINN!!
Aku ngerem mendadak karena tersadar sesuatu dan akibatnya mobilku ditabrak dari belakang. Kubuka pintu mobil dan bertemu seorang pengendara motor yang matanya melotot ke arahku.

ASU kon cuk! Matamu nang ndi? Iso nyetir opo ora?” amarahnya meledak.

“maaf pak. Motornya pecah pak? Saya ganti nanti.” Kataku sambil memeriksa motornya. Kendaraan lalu lalang jadi macet karena mobilku berhenti. Klakson mobil dan motor bersaut-sautan. Tidak ada yang pecah di sepeda motornya.

“Tidak ada yang pecah pak. Sebentar ya pak, saya ambil uang sebagai permintaan maaf saya.” Kataku lalu berjalan ke arah mobil. Dompetku di dalam tas. Kuambil selembar lima puluh ribuan lalu kuhampiri bapak yang masih melotot itu. Kusodorkan uang lima puluh ribu yang langsung diterimanya.

“Hati-hati lain kali!” teriaknya lalu pergi. Aku tersenyum, ternyata dia bisa berbahasa Indonesia. “terima kasih pak” aku balas berteriak, lalu kembali ke mobil.

Ku terdiam beberapa menit, memberi warna dan suara pada baris-baris pesan misterius itu. Keringat dingin bermunculan. Jantungku berdetak sangat cepat ketika aku mulai menyadari rangkaian pesan dari Hilda dan Nanda.

“Astaga, astaga! AKU BARU MELIHATNYA SEKARANG!” teriakku di dalam mobil. Aku menekan pedal gasku dan mulai bergerak, cepat dan makin cepat.

“Pelakunya jamak..ckckc.. lebih dari satu!” aku tertawa keras dalam mobil.

“Kalau mereka pelakunya. Masih terlalu sulit untuk membuktikannya!” kataku keras sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan apa yang baru kusadari. “dasar tikus dan penyihir!” teriakku tanpa sengaja memukul klakson mobil. TINNNN!!!

“Bagaimana caraku menangkapmu? Apakah aku harus menggunakan sepotong keju atau ikan asin?”

Aku tak bisa menggambarkan betapa lega hatiku, telah tiba pada sebuah dimensi pemahaman yang baru. Sekaligus betapa penasarannya aku merangkai setiap detil kisah yang mengejutkanku ini. Masih banyak yang belum kumengerti, tetapi sepertinya aku boleh membiarkan rasa kantukku kembali datang. Aku mudah lelah akhir-akhir ini. Mungkin karena sudah lama aku tidak berolahraga. Kuambil HPku, kutelpon sahabatku, Cintya. Kami sama-sama penggemar Robusta.

“Cintya.. nge-gym bareng yuk?” ajakku. Cintya seorang dokter spesialis radiologi.

“Hei, Redittt! Wah parah lu! Ga pernah ada kabar. Boleh-boleh, aku kebetulan mau nge-gym juga nih. Tapi aku ajak teman gapapa ya. Ntar lanjut ngopi dong kita?”

“teman atau pacarmu? Kalau kamu ajak pacar, aku ntar dicuekin.”

Cintya tertawa. “udah putus aku ama si Tony. Aku ajak Bella. Kamu kalau mau ajak teman boleh juga, tapi yang ganteng ya. Ntar kamu kukenalin dengan Bella, aku deketin temanmu. hahha”

“tetep aja kamu nih. Tony udah sehat lahir batin gitu putus. Ganteng kalau udah punya istri gimana?”

“jadi pelakor one night stand boleh lah..hihihi..”

“gila! Parah parah..” kudengar tawa Cintya makin keras.

“maklum jomblo, jablai dong. Kalau kamu kan fix gay, ups..

hei, enak aja aku normal ya! Ah bilang aja mancing-mancing! Ga berani to the point.” Balasku. Dia sahabatku yang paling bocor. Apa yang ada dipikirannya selalu disampaikan.

“kamu ganteng sih, Redit. Tapi kurang laki gitu. Kurang ganas. Ga napsuin. Hahahaha.. Ok, see you tonight ya babe, muachhh!” Cintya tertawa lalu menutup telpon. Aku tertawa sendiri jadinya teringat peristiwa itu.

Beberapa bulan lalu Cintya mabok, menelponku minta dijemput dan di rumahnya dia horny, melepas bajunya, memainkan payudaranya yang sangat besar, size 38D, dan menantangku bercinta. Aku menolaknya karena aku tidak mau memanfaatkan situasi yang mungkin akan disesalinya. Sejak malam itu, Cintya selalu meledekku. Aku tak pernah lagi menjadi laki-laki dimatanya.


**​

Tiba di apartemen, tubuhku kembali memintaku untuk tidur siang. Kuambil HPku, lalu mencari nama Ellen.


Aku : “Ellen, ntar malam aku off ya, mau nge-gym.

Ellen : “loh dok, ada dua pasien. Masa dibatalkan?”

Aku : “iya bilang aja ganti besok pagi atau malam. Kamu buat alasan apa gitu lah.”

Ellen : “Siap. kok tumben nge-gym dok?”

Aku : “ya itulah. Gampang capek. Udah lama ga olahraga.”

Ellen : “Ok dok. Nanti Ellen atur, tenang aja.”

Aku : “thank ya Ellen. Aku tidur dulu. See you tomorrow

Ellen : “iihh.. enaknya. Iri deh. Nasib suster, dok! Hahaha.. met napping dok!”


Aku tak membalas chat terakhirnya. Kupasang alarm pukul 17.00. Dua jam tidur sudah cukuplah. Kumatikan lampu kamarku, lalu membaringkan tubuh lelahku. Pikiranku melayang membayangkan pesan rahasia yang baru saja kusadari artinya. Aku harus segera memberitahu Lala dan AKP Agus. Tapi sebelum itu aku harus menemukan caranya membunuh kedua korban dan membuatnya seolah-olah bunuh diri. Lalu aku harus menemukan cara menjebaknya. Tanpa jebakan, mustahil mendapatkan bukti.


**14**


Jenggala room Hotel Sheraton Surabaya. Sekitar 40 orang berkumpul, mayoritas adalah dokter hewan yang sedang lunch dan having fun. Mereka baru saja selesai mengikuti seminar dan workshop “Teknik dan Interpretasi Sitologi Penyakit Kulit pada Hewan Kesayangan” di klinik fakultas kedokteran hewan Universitas Airlangga. Acara telah selesai kemaren, tetapi siang ini mereka berkumpul untuk lunch, ngobrol dan menjalin networking.

Tiba-tiba lampu mati dan terdengar suara, “seperti yang sudah dijanjikannya kemaren, sebentar lagi, rekan kita drh.Darius akan menghibur kita dengan satu trik mental magic. Rekan-rekan diharapkan tenang.” Para dokter yang sempat terkejut karena lampu mati langsung tertawa dan bertepuk tangan.

Dua menit kemudian lampu menyala. Semua mata memandang kearah lantai yang sudah diletakkan selembar kertas. Di samping kertas itu itu telah diletakkan pensil dan amplop. Fokus mereka teralihkan ke depan, tak menyadari pintu terbuka sedikit dan dua orang polisi berpakaian sipil masuk ke dalam ruangan. Mereka adalah Iptu Yudi dan Lala.

Darius berdiri di sudut kanan ruangan dengan senyum lebarnya, lalu mengundang dua penonton yang mau ikut terlibat. Dua orang dokter hewan, yaitu drh.Fitri dan drh.Ajeng spontan maju ke depan disambut tepuk tangan rekan-rekannya.

Ajeng diminta untuk berdiri di saklar lampu, tugasnya adalah mematikan dan menyalakan lampu. Darius tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak.

“Terima kasih semua rekan untuk tetap tenang. Fitri, sekarang saya meminta anda untuk memikirkan nama seseorang yang sudah meninggal, tetapi orang itu haruslah tidak saya kenal.” Kata Darius sambil memberi kode kepada Ajeng untuk mematikan lampu.

“Walapun ruangan ini gelap gulita, tetapi saya yakin Anda masih bisa menuliskan nama orang yang sudah meninggal itu di kertas yang ada dengan huruf besar semuanya. Jika sudah, sobek-sobek kertas itu, remas-remas dan gulung membentuk bola, lalu masukkan ke dalam amplop. Jika sudah, tutup amplopnya, lalau pegang amplop itu menempel dahi Anda.” Perintah Darius.

“Sudah” jawab Fitri. “lampu boleh dinyalakan” kata.Darius.

Terlihat Darius memejamkan mata, lalu beberapa detik kemudian menatap amplop di dahi Fitri dan berkata dengan suara keras, “Nanda!”. Fitri kemudian mengacungkan jempolnya disambut gemuruh tepuk tangan dan teriakan pujian dari rekan-rekan Vet lainnya.

“Apa kabar dok?” sapa Lala ketika Darius sudah kembali ke kursinya.

“Eh, siapa ya?” Darius terkejut sesaat, tetapi langsung mengenali Iptu Yudi.

“Maaf mengganggu. Kami membutuhkan anda untuk beberapa pertanyaan.” Kata Lala tenang dengan tatapan mata dingin. “Sekarang.” Lanjutnya tegas. Dengan bahasa tubuh enggan dan raut wajah marah, Darius berdiri dari kursinya dan berjalan mengikuti Lala dan Iptu Yudi.


**15**


“Hai love, udah lama menunggu? Maaf ya aku terlambat” sapa Meilani. “bipolar ku sungguh menyiksa, Red.” Aku sedang berbaring di kamar hotel di kota Batu, ketika Meilani akhirnya menyusulku.

Kulihat wajah pucatnya. Kecantikannya mirip Alexandra, princess dari kerajaan Luxembourg dengan kulit putih cerah, bibir merah muda, rambut kecoklatan dan sorot mata yang tajam. Payudaranya menyembul menantang, tidak besar, tidak kecil. Bagian terindah darinya adalah kecerdasan visualnya. Seorang prodigy spasial intelligence. Di usianya yang ke tujuh tahun, Meilani sudah mampu melukis foto. Siapapun yang melihat karyanya akan berpikir itu foto, padahal hasil goresan tangannya. Tetapi bipolar mengacaukan otaknya.

“maafkan aku, aku belum mampu menyembuhkanmu.” Kataku pedih.

“bukan salahmu kalau kamu bodoh,Red. Hahaha.. Aku tak pernah memintamu lebih dari pelukan hangat dan kehadiranmu.” Balasnya. Tawanya tak ternoda sakit yang dirasakannya.

“kamu bohong. Kamu memintaku menghamilimu.” Kataku dengan senyum mengembang. Kulihat matanya berbinar.

“Tapi aku belum hamil juga. Kamu harus periksakan spermamu, Red.” Meilani mencubitku.

“Mungkin spermaku bermasalah. Tapi kamu juga belum diperiksa.” Elakku.

“masa kita bercinta tujuh kali sehari, tiap tiga hari selama masa suburku dan aku belum hamil karena salahku?” Meilani mengusap-usap rambutku.

“aku tak sempurna Red, a prodigy girl yang cacat otak. Kamu juga, a gifted man yang hmm.. tak sempurna. Anak kita mungkin akan terlahir sempurna, perpaduan kita.” Bisiknya.

“aku pria biasa love, cuma kamu yang menganggapku gifted dan semua rekayasa afirmasimu untuk membuat otakku memproduksi endogenous morphine.” Aku tak layak menerima pujiannya.

“haha.. Redit, Redit.. that’s why I love you so much.” Bisiknya. Mata kami saling memandang. Kukecup bibirnya dan dengus nafas cinta kami menyatu. Sayup-sayup kudengar melody lagu twinkle-twinkle little star.. makin lama makin keras.

“itu pilihan nada panggilmu Red? Kamu tetap lucu!” ledek Meilani. Lagu itu makin keras dan sangat keras. Kulihat Meilani menutup telinganya dan matanya mulai ketakutan.

“REDITTT..!!” teriak Meilani.

Aku terbangun oleh bunyi panggilan di HP. Kesadaranku diambang pulih dan mengantuk. Fuckin’ dream!

“Redit! Ketiduran ya? Jadi gabung ga, aku udah di gym nih!” tanya dr.Cintya.

“Iyaa jadi. Aku dah pasang alarm tapi ga kedengaran sepertinya.” Kataku. Alarm dengan bunyi seaneh dan volume sekencang itu sore ini gagal membangunkanku. Kulihat jam, 17.30. Tubuhku masih terasa lelah dan ingin ambruk lagi rasanya. Kupaksa diriku untuk bangun dan berjalan ke kamar mandi. Tanpa membuka baju, kunyalakan shower dan membiarkannya mengguyur tubuhku. Srrr..

Kau menghilang begitu saja, mungkin Tuhan yang menculikmu

Kamu masih hidup atau mati, aku tak punya hak untuk tahu?


Ketika kantukku mulai pergi, barulah kutelanjangi diriku. Aku kembali memimpikannya. SHIT! Apakah benar cinta pertama tak pernah mati? Jantungku berdetak keras, terasa sesak. Air mataku mengalir deras bercampur cipratan air shower, tak tertahankan, tumpah. Aku meledak dalam emosi tangisku.


**​


“Halo Lala, ada apa?” tanyaku sambil melangkah masuk ke dalam gymnasium.

“kamu dimana? Lagi praktek ga? Ada yang mau kubicarakan. Bisa ketemu?”

“Aku off nih. Baru sampe gym. Kesini aja.” Ajakku.

“kamu sendirian atau ada teman?”

“ada dr.Cintya sahabatku. Dia ada ajak temannya juga sih.” Jawabku. Aku menuju receptionist dan meminta kunci locker.

“Selesai kamu fitness aja deh. Jam berapa selesai?”

“jam 8 mungkin ya. Ngopi mau? Tadi diajak Cintya ngopi.”

“boleh. Nanti aku ikut mobilmu ya. Aku kesana biar diantar Yudi atau siapalah.”

“sip..” jawabku. Aku teringat Bu Viona yang akan bertemu Adonis malam ini. Ku kirim pesan WA, untuk menitipkan beberapa pertanyaan.


**16**


“Selamat malam Bu Viona. Senang bertemu lagi.” Kata Adonis mengulurkan tangannya, disambut jabat tangan Bu Viona. Adonis melepas blazer nya yang langsung menebarkan aroma parfumnya dan kaos tipis ketat memperlihatkan otot tubuhnya yang terbentuk dari pengorbanannya diet dan gym-ing.

Bu Viona jadi teringat tubuh suaminya yang seorang tentara, sama kekarnya dengan Adonis. Bu Viona diam-diam mengeluh dalam hati karena sudah lebih dari dua bulan tidak bercinta karena suaminya sedang bertugas ke Papua. Ditambah lagi, kharisma Adonis menguasai ruangannya. Jantungnya berdebar melihat senyum dan tatapan mata Adonis yang sangat percaya diri, yang dengan sengaja menebarkan rayuan tanpa katanya.

Di sisi yang lain, teringat akan kemungkinan Adonis-lah tokoh kunci dari kematian Hilda dan Nanda, Bu Viona berusaha keras melupakan kekagumannya pada Adonis.

“Adonis kan bisa self hypnosis, jadi kita tidak akan kesulitan untuk bekerjasama ya. Boleh tahu apa yang bisa membantumu lebih mudah masuk ke dalam trance state?” tanya Bu Viona.

“musik jazz ballad Bu Viona. Jazz dengan tempo sangat lambat” jawab Adonis. Bu Viona membuka laptopnya dan mulai memilih lagu dari youtube. Bu Viona kemudian memasang Handphone nya pada sebuah lazypod dan menyiapkan mode video recorder.

“Adonis tidak keberatan kan kita rekam video?”

“siap Bu. Seperti yang ibu sampaikan di telpon tadi siang. Apapun boleh, asal kepala saya sembuh sakitnya dan jelas bagi saya apa sebenarnya penyakit saya.” Jawab Adonis tegas.


Video recording on.


“Adonis, ayo rileks ya. Silakan menutup mata.” Ajak Bu Viona dengan suara lembut. Adonis menutup mata.

“tarik nafas yang dalam, hembuskan perlahan-lahan. Berkatalah pada diri sendiri, aku akan semakin rileks.. dan rasakan bahwa Adonis menjadi lebih rileks dan semakin nyaman. Sekarang, pusatkan perhatian pada bagian atas kepala Anda. Rasakan sensasi rileks yang ada disana, perintahkan kepala Anda menjadi rileks. Sementara musik jazz favoritmu akan membantumu semakin rileks, suara-suara yang lain juga akan membantumu semakin rileks. Rasakan bahwa kamu makin mengantuk, nikmati saja..” kata Bu Viona pelan sambil memperhatikan reaksi tubuh Adonis. Kalimat-kalimat induksi berikutnya diberikan Bu Viona dengan sabar.

Tahap berikutnya Ibu Viona melakukan deepening. Mengajak Adonis untuk membayangkan dirinya berada di lokasi favoritnya dengan tujuan membuat Adonis masuk semakin dalam ke dalam trance nya.

“Bayangkan.. kamu berada di lokasi yang sangat kamu sukai. Bisa pantai yang hangat dengan suara ombaknya. Bisa gunung yang dingin dengan pemandangan indahnya. Bisa dimanapun. Semua pemandangan dan suara yang ada, nikmatilah dan itu akan membuatmu semakin nyaman dan rileks.. semakin dalam.” Kata Bu Viona. Beberapa detik terdiam, Bu Viona melihat selangkangan Adonis membesar.

Astaga.. dia ereksi. Apa yang dibayangkannya, lokasi apa yang disukainya sampai dia ereksi? Ckckck… batin Bu Viona. Perasaannya sedikit terguncang melihat tonjolan yang luar biasa di selangkangan Adonis.

“Bagus.. nikmatilah.. buat dirimu senyaman mungkin..” suara Bu Viona menjadi berat, menahan debar jantungnya. Setelah bisa menguasai dirinya sendiri, kemudian Bu Viona melakukan depth level test sampai yakin bahwa Adonis sudah masuk ke hypnotic state cukup dalam.

“Selamat malam. Jika benar, tolong gerakkan sedikit telunjukmu. Jika salah, tolong berdiam diri saja.” Kata Bu Viona, lalu mengambil nafas panjang. Dibacanya sekilas buku berisi daftar pertanyaan yang akan digalinya.

“apakah bisa mendengar pertanyaan saya, Ari?” tanya Bu Viona sambil memperhatikan telunjuk tangan kanan Adonis. Sebuah pertanyaan jebakan. Mungkin saja Ari adalah Adonis.


Telunjuk itu diam.​


“apakah bisa mendengarkan pertanyaan saya?” tanya Bu Viona mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa nama.


Telunjuk itu bergerak, sebuah jawaban iya.​


“apakah namamu Adonis?” tanya Bu Viona, berdebar menanti jawaban.


Telunjuk itu diam.​


**16**



“Sori ya ga jadi gabung ngopi. “ kata Lala begitu duduk di dalam mobilku. “gapapa. Ini kita mau kemana?” tanyaku sambil menginjak pedal gas.

“kafe atau apalah yang sepi. Aku pusing dengan kasus ini. Rumit. Tadi aku dan Yudi ketemu lagi dengan Darius. Dia perform sulap.. dia bisa menebak walaupun ruangan gelap gulita dan dia berdiri dari jarak jauh!” Lala menjelaskan padaku semua detil yang dilihatnya tadi.

hmm.. nyctalopia.” kataku. “Lalu apa dugaan kalian memang Darius terlibat?”

“bahasa Indonesia aja deh. Bisa kucabut SIM mu.” Ancamnya. Kami tertawa.

“Darius tidak menunjukkan kesedihan terhadap kematian Hilda, seperti terlalu mudah melupakan Hilda. Tetapi Orang tua Hilda sangat percaya dengan Darius. Mereka percaya Hilda bunuh diri karena Hilda sangat sensitif sekaligus sangat nekad. Sering terjadi, hal kecil saja sudah membuat Hilda mengancam bunuh diri. Sangat mudah marah dan sangat pemberani. Bahkan ortu Hilda lebih percaya Hilda punya pacar selain Darius karena sejak dulu Hilda terkenal gampang jatuh cinta. Redit, Yang tadi itu apa, Nikta-Lopia?”

“Hehehe.. Nyctalopia itu Rabun Senja. Itu trik mental magic dari Paul Curry.” Kataku lalu menjelaskan rahasia trik sulap yang dilakukan Darius. Lala menatapku dengan tatapan mata yang itu.

“La, kupikir ini adalah kasus amygdala yang rumit. Serumit maze” Kataku berusaha mencari-cari kalimat yang sederhana.

“Amigdala? Aku nyimak deh” kata Lala.

Amygdala itu sederhananya bagian otak yang berperan dalam reaksi emosi. Tawa dari Hilda dan Nanda, Kenekatan mereka untuk bunuh diri, Hilda yang no fear dan Nanda yang pemberani, itu semua mata rantai tanda amygdala yang rusak”

“Rusaknya karena apa? Lalu tulisan Charlie Putter?

“Amygdala bisa rusak karena stroke, aneurisma, kejang epilepsy, trauma dan depresi atau bisa juga stress berkepanjangan.”

“Mereka berdua sepertinya sehat secara fisik. Berarti pemicunya depresi?”

“Betul. Atau stress berkepanjangan. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya membuat kedua gadis itu stress berkepanjangan sampai akhirnya amygdala-nya rusak.”

“lalu? Sudah ketemu jawabannya?”

“dengan sihir” jawabku. Lala menoleh ke arahku. Aku tertawa geli melihat ekspresinya.

“Redit!” lenganku dihantamnya. Sambil meringis menahan sakit aku kembali menjelaskannya.

“Atau pelakunya mencari gadis-gadis yang memang sudah rusak amygdala-nya.”

“Rumit.”

“Seperti kataku, ini bukan hanya labyrinth. Ini maze. Jalan masuk dan jalan keluarnya banyak variasi. Apalagi lawan kita sangat cerdas.”

“Kalau gadis-gadis itu sudah rusak amygdala-nya?”

“Pelakunya melakukan sugesti yang terus menerus pada Hilda dan Nanda, sugesti agar kedua gadis itu percaya bahwa bunuh diri adalah jalan keluar dari penderitaan yang dialaminya dan sugesti agar mereka berani bunuh diri.”

“Astaga! Kejam tetapi cerdas. Pelakunya sulit untuk dibuktikan bersalah lho..” kata Lala.

“Iya, tidak ada sentuhan fisik, alibi sempurna, keputusan bunuh diri tidak dapat diprediksi, bisa terjadi kapanpun.”

“Perfect crime?” Lala bertanya pada dirinya sendiri. Aku tekekeh.

“Aku tidak percaya ada perfect crime di dunia nyata. Well, mungkin ada perfect crime di novel, dengan desain rumit dan pengkondisian tertentu, misalnya dengan pakar yang omitted. Tetapi di dunia nyata, yang selama ini digaungkan sebagai perfect crime hanyalah pelaku kriminal yang beruntung kasusnya ditangani polisi bodoh. Jika polisi mau bekerja sama dengan pakar, kupikir nyaris mustahil melakukan perfect crime di jaman sekarang.”

“Om Redit, setiap aku ngobrol denganmu, aku dapat sesuatu yang baru lho. Kamu membuatku lebih banyak tahu.” Katanya. Aku menelan pujiannya yang tulus.

“jarang ada polwan pintar merayu” ledekku.

“Om kan belum laku. On sale pula. Jadi perlu lah dipuji dikit biar bahagia.” Balasnya. Ekspresinya menantang bercanda.

“kalau single mengakibatkan ga bahagia, kamu juga ga bahagia dong” aku meladeni becandanya.

“aku selalu bahagia sih. Dulu bahagia banget ngeliat ada dokter kepergok ngeliatin aku, hahahaha”

“cuk!” umpatku teringat peristiwa di kantor polisi itu. Aku kalah telak. Lala makin keras tertawanya.

“iya ngeliatin karena kasihan. Masa cantik-cantik masih jomblo.” Balasku setelah terpikir ide untuk melawannya.

ciye kasihan. Malu ngakuin kalau tertarik. Hahahaha…” Lala menatapku dengan mimik lucunya. Aku tertawa lagi. Maju berperang kata melawan Lala adalah sebuah keputusan salah yang bisa dibenarkan, berujung kekalahan yang bisa dinikmati.

“Tertarik sih, tapi seram dengan pistolnya. Seharusnya kalau masih ABG tuh bawa boneka..” Aku ga mudah menyerah walaupun sudah babak belur.

Ciye seram dengan pistol. Suntiknya kalah gede ya Om.. hahahaha..” Tuh kan. Setiap usahaku dimentahkannya dengan mudah.

“Eh, suntik yang mana dulu? Kalau yang itu, ga kalah kok. Bisa bikin bahagia!” Aku masih bisa menemukan sedikit perlawanan.

“hahahaha.. si Om. Sok gede! Abis ini pasti sok kuat! Padahal kalau disentuh dikit udah..“ Lala tak melanjutkan candaannya. Mata kami kembali bertemu beberapa saat. Entah kenapa satu tatapan mata mengubah arus komunikasi kami dengan drastisnya. Aku merasakan suasana di dalam mobil yang dingin ini mulai berubah. Aku ingin berkata sesuatu tapi tertahan di bibirku. Lala juga tiba-tiba terdiam. Jantungku berdebar keras. Kami terdiam dalam kesunyian yang mendebarkan. Seperti kedua jiwa yang sedang kehausan tetapi sama-sama menunggu, berharap salah satu dari kami lebih dulu bertindak.

“kita kemana ini jadinya?” tanyaku memecah keheningan.

“terserah.” Jawabnya dengan suara parau. Lala jelas sedang menahan deru nafasnya.

“Apartemenku ya?” tanyaku. Ini bukan cryptogram.

“yup..” katanya sangat pelan nyaris berbisik, lebih dari cukup untuk membuat penisku terbangun.

Aku menyalakan radio Suara Surabaya dan dalam diam kami mendengarkan traffic report. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Lala, membiarkan dirinya dibawa ke apartemen di tengah malam. Beberapa saat kemudian ketika penyiar bercanda dengan salah seorang penelpon, tanganku tanpa tujuan menekan tombol, mencari gelombang radio yang lain. Suara Adele menghentikanku mencari gelombang radio yang lain.


If this is my last night with you

Hold me like I'm more than just a friend

Give me a memory I can use

Take me by the hand while we do what lovers do

It matters how this ends

'Cause what if I never love again?



“yuk masuk” ajakku. Lala menatapku canggung. Kami masuk ke apartemenku. Sejak dia, aku tak pernah membawa satu gadis pun ke sini. Bagaimana kalau ternyata dia masih hidup?

“berantakan” kata Lala. Suaranya sudah mulai normal walaupun masih terdengar malu. Kegarangannya sebagai polisi sudah lenyap di dalam mobil tadi.

“butuh sentuhan wanita” Kataku.

“tinggal panggil cleaning service,Om!”

“Kalau mau mandi..” Kataku sambil menyodorkan sehelai handuk bersih. Lala pasti tahu aku menginginkannya tidur disini. Lala menerimanya lalu masuk ke kamar mandi.

Aku mendengar suara shower menyala ketika kubaringkan tubuhku yang hanya memakai celana pendek dan kaos. Ku buka HP dan mencari tahu apakah ada kabar dari Bu Viona.

“Om, ada kaos?” kepala Lala melongok dari pintu kamar mandi. Aku melompat membuka lemari dan mencari kaos oleh-oleh kekecilan yang biasa dibelikan oleh pasien. Lala menyambar kaos yang kuberikan. “Kamu ga mandi sekalian?” tanyanya.

“Aku boleh gabung?” tanyaku dengan senyum menggodanya. Lala menganggukkan kepala. Dibukanya pintu kamar mandi. Aku menatap terpana pada tubuh tinggi nya yang berhiaskan payudara bulat penuh dengan puting kecoklatan. Mata kami bertatapan penuh arti. Kulepas celana pendek dan celana dalamku. Dengan penis tegang berdiri aku melangkah ke kamar mandi.

“Sini..” katanya lembut. Tubuhku mulai basah terguyur shower. Dituangkannya sabun cair ke tubuhku dan tangannya, lalu Lala menggosok tubuhku. Sentuhannya begitu lembut. Aku memejamkan mata dengan rileks. Kunikmati sentuhan tangannya.

“Ugh” desahku ketika penisku digenggamnya.

“Om nakal.. suntiknya panjang, besar dan keras” bisik Lala.

“Adek Lala juga nakal. Jangan main-main suntik ntar luka..” balasku.

“Om, Adek sakit. Periksa dong..” bisik Lala.

“yang mana yang sakit Adek Lala?” tanyaku. Tanganku dipegangnya, diarahkannya ke payudaranya. Posisinya kini tepat di depanku. Mataku tetap terpejam.

“Disini Om.. rasanya jantungku bermasalah.”

Aku memeluknya dari belakang lalu kuremas lembut payudaranya.

“Ogh.. kok diremas Om? Nakal yah..” desahnya. Kedua telapak tanganku meremas-remas kedua bongkah kenyal di dadanya. Bibirku mulai menelusuri lehernya.

“Agh.. agh.. lebih keras Om..” desahnya. Tangannya menggenggam penisku dan mengocoknya. Dengus nafas kami mulai seirama, seiring kedut-kedut nikmat di penisku yang tegang maksimal. Kepalanya terangkat, bibirnya mencari bibirku. Kami saling menghisap dan beradu lidah.

Tangan kiriku masih meremasi nenen kirinya sementara tangan kananku mulai meraba vaginanya. “Achhh..” desah Lala semakin keras. Pinggulnya bergerak-gerak merespon jari-jariku, seperti menyodorkan vaginanya. Dengan pelan kutekan clitoris-nya, membuat tubuhnya menggelinjang makin kuat, seperti tersentak-sentak. Bibirku digigitnya cukup keras.

“Ugh..” kami berpagut-pagutan kehausan. Jariku makin berani, sesekali sengaja kumasukkan sedikit ke vaginanya, lalu ku keluarkan lagi. Masuk lagi, keluar lagi, membuat Lala mendesah-desah makin cepat. Ah…ah…ah..ah…ah

Beberapa menit merangsangnya, Lala lalu memposisikan dirinya menungging dengan tangan berpegang pada bak air. Dibimbingnya penisku masuk perlahan ke vaginanya. Kubantu mengarahkannya dan dengan perlahan, sempurnalah penyatuan tubuh kami. Kurasakan penisku masuk sempurna di vaginanya. “Aichh… enak..” erang Lala. Mulai kudorong penisku. Bisa kurasakan vaginanya yang rapat menjepit penisku. Setiap gerakanku menggesek dinding vaginanya, seperti menelan vitamin untuk jiwaku. Tanganku memegang pinggangnya lalu kudorong penisku lebih cepat.

Lala mendesah makin keras bahkan sesekali berteriak sangat keras. Ternyata berisik sekali mbak polisi cantik ini. Mulutnya tak pernah diam lagi, selalu mengeluarkan suara dengan berbagai kata ajaib dari planet Lala.

Setiap dorongan penisku yang bergesekan dengan vaginanya adalah garansi sensasi nikmat yang membuat aku sadar, sebentar lagi aku bisa meledak menembak rahimnya. Tak mau selesai secepat ini menarik lepas penisku dan menarik badannya agar menghadap ke arahku.

“hihi, faktor U ya Om? Uda mau kalah kan?” ledek Lala. Nafasku menderu. Aku berjuang menahan diri untuk kembali siap bertarung.

“di kasur yuk” ajakku. Lala menganggukkan kepala. Kami mengeringkan badan terlebih dahulu baru naik ke ranjang dengan tubuh sama-sama telanjang. Aku menelusuri tubuhnya yang indah dengan mataku.

“seksi..” bisikku.

“kamu ganteng” katanya. “Cuma tolong perutnya dikondisikan.” Kata setelah melirik perutku yang mulai muncul.

“kamu bilang gitu ke anak buahmu yang gendut-gendut?”

“engga lah. Terserah mereka mau perut gimana.” Jawab Lala. Tangannya menggenggam penisku lalu diurutnya pelan.

“cucunya mak erot ya La?”

“Redit pernah anal?” tanya Lala. Aku menggelengkan kepala.

“Aku juga ga pernah” sambungnya.

“mau coba?” tanyaku. Lala memandangku hanya sepersekian detik. Aku tak paham maksudnya. Justru mulutnya yang kemudian melahap penisku lalu mulai menghisapnya.

“Ugh…” desahku. Tangannya memainkan testisku dan lidahnya sesekali menjilat keduanya. Sengatan nikmat kembali kuterima. Menjalar cepat, membuat penisku kembali menegang sempurna.

Lala merayap naik ke atas tubuhku, dipegangnya penisku, diarahkannya ke vaginanya. Kami kembali bersatu. Lala mulai bergoyang dan sekarang dia yang mengendalikan tempo. Aku terpesona melihat wajah cantik dengan mata sange dan payudara indah menggantung bergoyang-goyang di atasku ini. Penisku kadang terasa ngilu, tapi kenikmatan yang kurasakan melebihi rasa ngilu-nya. Lala bergerak liar, pantatnya naik-turun menyebabkan gesekan maksimal pencipta kenikmatan. Fisiknya benar-benar kuat, dengan kecepatan seperti itu, Lala tidak terlihat lelah. Tapi kali ini aku lebih siap. Kunikmati pertarungan ini dengan santai. Aku bisa merasakan orgasme ku masih jauh. Cukup waktu untuk membuatnya keenakan.

“Arghh…” Lala menggoyangkan pinggulnya makin cepat, ke kiri, ke kanan. Vaginanya basah kuyup, tetapi tidak terlalu becek. Gesekan masih bisa kami nikmati bersama.

“Red… Rediittt..” Lala mengerang-erang. Kedutan-kedutan di penisku terasa makin cepat dan nada suara Lala makin melengking tinggi. Tiba-tiba tubuhnya seperti tersentak dan beberapa detik kemudian Lala ambruk di dadaku. Nafasnya terengah-engah seperti baru lari belasan kilometer.

“Aduh.. gila, enak banget..” katanya dengan nafas tersengal-sengal. Kutelusuri punggung halusnya dengan rabaanku. Penisku masih masuk ke vaginanya. Beberapa menit kami terdiam. Lala menikmati orgasmenya sampai deru nafasnya mereda.

“Kamu di atas deh, biar cepat dapat.” Bisiknya lalu tubuhnya rebah ke sampingku. Kakinya terangkat, menyambutku yang menindihnya. Penisku kembali masuk dan kali ini aku ingin mendapatkan puncak kenikmatan itu.

Sodokanku langsung dengan kecepatan tinggi. Lala membantuku dengan suara berisiknya seperti joki memecut kudanya. Akhirnya aku merasakan orgasme ku mendekat. Tanpa ragu kupercepat tusukanku dan dengan lega kutembakkan spermaku ke rahimnya. Kubiarkan penisku berkedut-kedut menyemprotkan peluru kental lengket sampai habis. Kulihat matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan.

Tubuhku lemas penuh kepuasan. Aku telentang di sampingnya. Tak pernah kusangka, Polisi muda berprestasi ini sekarang berbaring di sampingku dengan spermaku berenang-renang berlomba mencari sel telurnya.

“siap punya baby dariku?” bisikku. Lala tertawa.

“baru selesai haid kemaren. Nafsuku menggila setiap selesai haid” jawabnya. Ah, sudah pasti tidak akan hamil.

“oh.. aku beruntung dong?” candaku.

“biasanya dildo di rumah sebagai sasaranku. Aku sudah bertahun-tahun ga bercinta dengan manusia.” Lala memelukku. Diciumnya bibir, pipi, kening dan mataku. Nyaman sekali. Aku ganti mencium matanya yang terpejam.

“aku sudah memecahkan pesan rahasia dari kematian Hilda yang sebenarnya..” kataku. “tapi aku belum yakin 100% dengan pesan kematian Nanda. Belum ketemu koneksinya.” Lanjutku.

“oh ya? Kok baru cerita sekarang? Apa isi pesan rahasianya?” tanya Lala dengan mata sayu. Aku mengelus-elus rambutnya.

“ternyata dibalik cryptogram itu ada anagram-nya. Begitu menyadarinya, aku jadi tahu siapa Charlie Putter” Jawabku.

“anagram?” raut wajahnya menandakan Lala tidak mengerti apa itu anagram.

“huruf yang sama dari suatu kata atau kalimat, jika diacak dan disusun ulang bisa membentuk kata atau kalimat lain.” Kataku.

“contohnya?”

Justin Timberlake adalah anagram dari Im A Jerk, But Listen. Contoh lain, Rise To Cum adalah anagram dari Tom Cruise

“Oh ya.. sepertinya aku paham. Kalau Charlie Putter?” kata Lala dengan suara pelan tanpa semangat.

The Culprit Are.. Pelakunya lebih dari satuJawabku. Rasa kantukku tiba-tiba menyerang.

“Maaf kalau aku ketiduran..” bisikku.

“gapapa, aku juga ngantuk.. banget..” sahutnya sambil meletakkan kepalanya di dadaku.

Charlie Putter Partied Us adalah The Culprit Are Darius Pet?” gumamku dengan nada tanya. “aku masih belum paham arti pesan kematian Nanda. Charlie Putter di atas mouse tanpa ekor.” Tak ada respon dari Lala. Aku pun tak kuat lagi menahan kantuk.


**17**


Pukul 1 dini hari, AKP Agus melewati jalan sepi di sebelah Pasar Atom. Matanya menangkap sosok pria dan wanita berjalan keluar dari Kuliner Nasi Cumi. Sang wanita kemudian masuk ke mobil ketika AKP Agus menurunkan kaca mobilnya dan berteriak menyapa. Pria itu seperti tak mendengar.

“dokter Darius!” panggil AKP Agus untuk kedua kalinya. Darius melihatnya sebentar, seperti tak mengenalinya, lalu malah masuk ke dalam mobil dan pergi dengan cepat. Keheranan dengan sikap Darius, AKP Agus memutuskan untuk membuntuti mereka.


**​

Meli tersenyum puas setelah hujan orgasme-nya bersama Adonis sejam yang lalu. Baginya tak ada kontol sekeras pacar playboy-nya ini. Ditambah wajah ganteng dan kharisma-nya, Meli akhirnya belajar menerima bahwa wanita lain akan mengejar Adonis. Meli juga sadar dia bukan wanita cantik dan seksi yang akan dengan mudah mendapatkan pria sekualitas Adonis. Setelah berpikir panjang, Meli mengambil keputusan mau berbagi, asalkan setiap dia membutuhkan, Adonis siap. Toh, dia juga bisa merasakan kontol lain selain Adonis. Meli setuju dengan perkataan Adonis, hidup cuma sekali harus dinikmati, jika tidak bisa dinikmati, itu kebodohanmu.

Mata Meli terbuka. “Do…?” wajahnya kebingungan. Adonis tidak ada disampingnya. “Adonis!” teriaknya. Tidak ada jawaban. “dasar gigolo, pulang ga pernah pamit! Selalu begini!”. Dengan kesal Meli mengambil selimut dan menutup tubuh telanjangnya.

Di jalan, Adonis membawa mobilnya sekencang mungkin. “Sweety, are you home? Yes I know its already midnite. But I miss you!” teriak Adonis. “Aku kesana ya? Be ready!” Senyum Adonis merekah bersama penisnya yang kembali mengeras.



**​


Mataku tiba-tiba terbuka. Kurasakan hawa dingin menusuk kulitku yang telanjang. Kulihat tak ada Lala di sampingku. Aku bergerak mencari pakaian dan HPku. Pukul 06.00. Ku telpon Lala.

“Lala, kamu dimana?” tanyaku.

“Redit, kita harus bicara sekarang.” Nada suaranya tegas dan dingin.

“Iya, ada apa? Mau ketemu dimana?” tanyaku sedikit gugup dengan perubahan sikapnya.

“Aku akan ke apartemenmu. Tunggu saja.” Jawabnya cepat.


Tiga puluh menit kemudian, nyaris bersamaan dengan selesainya aku mandi, pintu kamarku di ketok. Lala masuk dan langsung memelukku dan bibir kami saling melumat. Setelah beberapa detik, Lala melepaskan ciuman kami. Ditariknya handukku.

“kamu pulang jam berapa tadi?” tanyaku. Lala tak menjawab dan malah berjongkok, menghisap penisku. Aku mengerang merasakan kenikmatan hisapannya. Penisku kembali menegang. Lala mengerjakan tugasnya dengan sengat lihai. Hisapannya berhasil membuat penisku dialiri sensasi gila itu. Aku berjuang menahan serangan nikmatnya, tapi Lala sepertinya ingin aku menyemburkan spermaku ke mulutnya. Kupusatkan perhatianku pada rasa nikmat di penis, berusaha membantu Lala mencapai puncakku, lalu kusemprotkan spermaku. Penisku berkedut-kedut di mulutnya. Dihisapnya sampai habis dan ditelannya spermaku.

“Ok, Redit. Kurasa kamu sudah siap untuk berbicara denganku. Hehehe” Lala tersenyum. “Hasil hypnosis Adonis?” tanyaku. “Iya, tapi bukan cuma itu. AIHHH!” jerit kecilnya terlontar ketika kugendong tubuhnya masuk ke kamar.

**​

Pukul sembilan lebih aku masuk ke ruang praktekku dengan langkah penuh kebimbangan. Aku masih tergoncang, tak menyangka bahwa pembicaraanku dengan Lala tadi pagi mengubah banyak hal dalam caraku memahami kasus kematian Hilda dan Nanda. Cryptogram dan anagram yang kusadari, lalu peristiwa semalam, ditambah lagi Bu Viona sudah memberi kabar kepada Lala hasil sesi hypnosis-nya dengan Adonis. Semuanya begitu kompleks dan mencengangkan. Kaitan antara kematian Hilda dan Nanda sudah begitu jelas. Banyak pintu terkunci dari maze ini sudah terbuka. Aku hanya membutuhkan satu bukti lagi untuk akhirnya mengungkapkan rahasia kasus ini dan mengungkapkan sedikit kejanggalan yang masih tersisa dalam pesan kematian Nanda.

Kulihat Ellen sedang mengotak atik mouse komputer.

“Pagi Ellen. Apa kabarnya? Berapa pasien pagi ini? Ada apa dengan mouse-nya?”

“Pagi dok, pasiennya lima hari ini. Mouse nya tadi Ellen coba kok rewel. Nanti Ellen minta mouse baru deh.” Katanya lalu memandangku. Hari ini pakaiannya membuat puting payudaranya tercetak dibalik seragamnya. Fiuh, untung spermaku sudah dikuras habis oleh Lala.

“Ellen, tolong minta mouse yang besar ya. Itu sebenarnya kekecilan untuk tangan saya.” Pesanku.

“Wah, kalau besar bukan mouse Dok. Tapi Rat..” kata Ellen.

“Rat?” kataku memastikan.

“Ih dokter sok ga tau deh. Mouse kan kecil dok. Kalau besar ya Rat!” Ellen tertawa. Aku ikut tertawa mendengar candaannya, yang entah kenapa membuatku teringat sesuatu yang sangat mengganggu.

“Dok, tadi Ellen bawain makanan. Siapa tahu suka..” kata Ellen membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke atas meja, seperti nasi kotak.

“Wah kebetulan aku belum sempat sarapan” kataku.

“Nasi campur empal Bu Yudi dok. Kalau Ellen sih doyan banget.

“Trus kamu sendiri sudah sarapan belum?” tanyaku. Ellen menggelengkan kepalanya.

“Lah, ya ayo dimakan sama-sama aja gimana?” tawarku. Kubuka nasi kotak itu. Ada telur, tahu, mie, ayam, empal, kering tempe, acar dan sambal. “Isinya banyak nih, cukup buat berdua” Kataku. “Seriusan dok? Makan sekotak berdua?” Ellen terkejut. Aku menggelengkan kepala.

“Kita bagi dua. Kalau makan sekotak berdua ntar kita sungkan-sungkan lagi makannya.” Kataku. Ellen bergegas keluar dari ruang praktek dengan senyum mengembang. Perawat satu ini memang murah hati. Sebelum aku meninggalkan Indonesia, bolehlah aku mendekat dengannya. Aku memang menyukainya, tapi cukuplah begini. Kupikir Lala akan membunuhnya, jika dia tahu aku menyukai Ellen.

Aku sedang menerima telepon ketika Ellen masuk kembali. Kuberi dia kode untuk membagi makanan. Selesai telepon aku tertegun melihat dua piring berisi makanan. Di piringku, ada ayam, tahu, acar dan sambal.

“Kok kamu tahu semua yang kusukai?” tanyaku keheranan. Ini sih bukan tebak-tebakan, terlalu tepat.

“Saya jadi perawat disini sudah berapa tahun, ingat ga?” tanyanya.

“Lama. Sejak aku di Rumah Sakit ini.” Jawabku. Ellen menganggukkan kepala. “Cukup waktu untuk memahami selera makanmu, dok.” Ellen melemparkan anak panah senyumnya, menancap tepat di hatiku.


Eh, RAT?


“Dok?” panggil Ellen. Aku mematung. Tubuhku tak bisa bergerak ketika kusadari foto tikus di pesan kematian Nanda bukanlah mouse tetapi rat. Aku tiba-tiba menyadari semuanya. Terang benderang terbentang di depanku seperti sebuah siaran langsung. Koneksi kematian Hilda dan Nanda, cara membunuh mereka dan siapa kedua pelakunya.


Euphoria kemenangan menyerangku.



“Dok? Kok diam saja?” tanya Ellen. Aku berdiri, kuhampiri Ellen, kutarik tubuhnya berdiri, kucium bibirnya dengan buas. Ellen membalas ciumanku tak kalah ganas. Bibir kami saling menghisap, lidah kami saling menjilat, nafas kami terengah-engah. Kutarik seragamnya sampai putus kancing-kancingnya, kubuka cup bra-nya lalu kulahap dengan rakus buah dada kenyalnya. Ellen dengan cekatan melepas kancing celanaku dan dengan sedikit gerakan, celanaku jatuh, kusingkap roknya, kutarik celana dalamnya. Srrk.. Sobek, bersamaan dengan celana dalamku yang turun sampai ke pahaku.

Penisku menerjang masuk ke vaginanya yang ternyata masih kering. “Aduh” jeritnya lalu menutupi mulutnya sendiri agar suaranya tak keluar ruangan. Beberapa kali aku memompa, vaginanya mulai basah. Ellen mulai mendesah nikmat dan aku memompanya makin cepat. Letupan letupan kecil di penisku berakhir dengan ejakulasi sedikit semen encer tanpa sperma. Ellen menatapku dengan wajah shock. Aku seperti baru saja memperkosanya, tetapi dia membantuku.

“maafkan aku. Aku menyukaimu.” Bisikku. “Sekarang keluarlah, sebelum pasien datang dan melihat Seragammu rusak” kataku.


**18**


Xaver tiba-tiba tersadar. Lagi-lagi tubuhnya sedang terendam di sebuah bath up. Dengan perlahan, Xaver bangkit berdiri. Dikeringkannya tubuhnya lalu keluar dari kamar mandi. Diambilnya HP dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja.

“Love..its me, not him. Where are you? I miss you!” Kata Xaver.

Xaver.. Im Home..” balas gadis itu.

“kamu tidak merindukanku?” tanya Xaver dengan nada keras. Gadisnya belum membalas ungkapan kerinduannya.

“Tentu saja aku merindukanmu!” jawab gadisnya.

“kamu tidak ingin aku ke rumahmu? Kamu tidak ingin bercinta denganku?” Xaver berteriak. Biasanya gadisnya selalu mengundangnya datang. Tapi kali ini berbeda. Sikapnya tak seperti biasanya.

“Xaver, kamu lelah. Jangan marah-marah. Kalau kamu ingin bercinta, kemarilah.” Ajak gadisnya. Xaver menutup telpon, lalu keluar dari kamar apartemennya. Ketika membalikkan badan hendak menutup pintu kamarnya, Xaver tak menyadari satu pria bertubuh tinggi berotot menghampirinya. Pukulan pria itu melayang, menghantam tengkuknya.


***

Mata Xaver terbuka dan langsung menutup matanya karena silau. Sebuah lampu sorot diarahkan ke kasurnya. Perlahan Xaver menyingkir dari arah lampu sorot itu, lalu membuka matanya, mencoba mengenali dimana dia berada. Sebuah kamar yang asing dengan meja dan satu peti mati. Kamar itu tidak berjendela. Ada satu cermin besar di dinding. Xaver menyambar HP-nya di meja lalu menuju pintu kamar.


Terkunci.​


“Fuck!! Aku dimana? Mana kunci kamar sialan ini?” teriaknya lalu bergerak mencari-cari. Sekitar lima menit kemudian Xaver mulai berteriak marah lalu menggedor-gedor pintu kamar itu.

“BUKAAAAA!! DUG! DUG!” kakinya mulai menendang-nendang, tapi tak ada hasil. Pintu itu kokoh dan tak mungkin rusak oleh kekuatan tendangannya. Xaver teringat HP-nya. Dicarinya kontak seseorang lalu menelponnya.

“Hei Love its me, not him. Sesuai yang mengerikan terjadi. Aku terbangun dan tak tahu sedang berada dimana. Kamar tanpa jendela dan pintu terkunci.” keluh Xaver.

Xaver.. ada yang ingin kubicarakan” Kata gadis itu. “Apa maksudmu? Cepat bantu aku. Baru saja kukirim posisi GPSku, cepatl jemput aku you fuckin idiot!” teriak Xaver muntab.

“Aku sungguh menyayangimu. Tapi aku..” suara gadis itu terputus-putus. Tiba-tiba terdengar suara anak kecil bernyanyi dengan suara menangis.


Balonku tinggal empat..


Xaver menoleh ke arah HP-nya. Itu nada panggil telponnya!

“Halo?” sapa Xaver dengan ragu.

Love, Aku menunggumu, kenapa kamu lama sekali?” Xaver tersentak mengenali suara itu .

“Mei Fang, kamu dimana? Bukankah kamu sudah pergi bertahun-tahun yang lalu?” tanya Xaver. Sekelebatan ingatannya melayang ke rumah tua sepi tanpa tetangga di kaki gunung itu. Dia sendiri sudah melihat Mei Fang tergeletak tak bernyawa disana.

“Kapan Love?!” teriak Mei Fang.

“aku sudah membantumu!” balas Xaver berteriak. Telpon itu terputus. Xaver meletakkan HP itu lalu berusaha membuka peti mati itu lagi. Tiba-tiba Xaver tertawa.

“Ooh. Aku tahu, ini permainanmu! Aku tidak akan kalah!” Xaver memejamkan matanya lalu tangannya terulur membuka pintu kamar.


Klik. Kamar itu terbuka.​


Keluar dari kamar, Xaver bergerak ke arah denting piano yang cukup keras. Di sebuah ruang keluarga, terlihat Hilda sedang memainkan pianonya dengan rambutnya yang panjang terurai menutupi wajahnya dan seutas tali melilit di lehernya.


Do re mi.. do mi do mi..



Hilda menyadari kehadirannya. Hilda bergerak, duduk di atas tuts piano dan membuka kedua pahanya. “Sayang.. aku kangen.” Ucapnya sambil tangannya meremas-remas buah dadanya sendiri.

“Hilda? Kamu sudah berangkat Hilda. Bagaimana mungkin kamu masih hidup?” teriak Xaver. “kamu selalu benar, sayang. Papa mama tak pernah menyayangiku. Papa terus memaksaku belajar dan belajar, mengatakan aku wanita sial yang sangat bodoh sementara papa sibuk meniduri tante Rina dan mama mengencani brondong-brondong lebah bicara. Sayang..aku sudah menurutimu menuliskan huruf-huruf aneh ini, sekarang, kemarilah..”

“HAHAHA, ini PALSU!” Xaver melesat pergi, mencoba keluar dari rumah itu, tetapi semua pintu terkunci.


FUCK YOU XAVER!!


Xaver mendengar teriakan itu. Dengan gesit Xaver bergerak memasuki sebuah kamar yang pintunya sudah terbuka. Enam belas ekor kucing menatapnya, salah satunya kepala tanpa tubuh, matanya menyala merah. Miaw!! Dilihatnya sosok Nanda dengan bola mata putih pucat menatapnya, dengan pistol terarah ke kepalanya sendiri. Dor! Tubuh Nanda layu tergeletak.

Cittt! Citt!

Seekor tikus besar menerjangnya. Xaver menghindarinya. Tikus itu menatapnya sesaat lalu berdiri selayaknya manusia, berjalan dengan kedua kakinya, keluar dari kamar. Xaver mengikutinya dan melihat asap membungkus tikus itu, lalu tikus itu berubah menjadi..


Dirinya.​


Mereka saling berhadapan. Pria di depannya tersenyum.

“pesan kematian yang menarik Xaver. Satu, tikus itu terbalik. UPSIDE RAT. Bukan UPSIDE MOUSE.”

Xaver hendak membalas perkataan pria itu, tapi entah kenapa mulutnya terkunci. Justru pria itu yang terus berbicara.

Dua, tulisan Charlie Putter ditulis di antara telinga dan mata tikus artinya tulisan itu di kepala tikus. OTAK DARI KEJAHATAN INI.”

“Tiga, tikus itu hidup. KAMU MASIH HIDUP XAVER.”

Empat, ekornya tidak ada. TIDAK ADA AKHIR.”

Lima, hurufnya berwarna merah. DARAH AKAN TERUS TERTUMPAH.”

Enam, Charlie Putter, The Culprit Are, PELAKUNYA ADALAH KITA!”


Xaver tertawa terbahak-bahak sampai air matanya merembes keluar. Tiba-tiba Xaver bisa bersuara lagi.

“kau berhasil memecahkannya!” teriaknya. Xaver menerjang pria itu, memukul sekuat tenaganya, tetapi pria itu menghilang.

“Aku disini! berjalanlah ke depan cermin, Xaver!”

Xaver berlari kembali ke kamar tempatnya semula, melangkah menuju ke cermin. Xaver melihat dirinya sendiri. Telanjang.

“aku akhirnya menyadari keberadaanmu. Terima kasih untuk usahamu mempersatukan kita.” Kata pria di dalam cermin. “Tapi aku sungguh kecewa kau membiarkan Mei Fang pergi..” mata pria itu berkaca-kaca.

“ Aku membantunya mendapatkan kehidupan yang LEBIH BAIK!”

“aku berusaha membahagiakannya!” kata pria dalam cermin.

“Tidak. Kamu hanya memperpanjang penderitaannya. Mei Fang tidak pernah ingin mati. Ia hanya ingin rasa sakit itu pergi.” Xaver menempelkan telunjuknya ke cermin. “Aku adalah versi yang lebih kuat dari kerapuhanmu!” teriak Xaver.

“Kau pikir membunuh gadis-gadis itu adalah bukti kekuatanmu?” tanyanya. Xaver menggelengkan kepala.

“Itu keputusan mereka sendiri.” Sanggah Xaver.

“Kau men-sugesti mereka Xaver. Dulu aku berpikir seseorang menanam bom waktu ke otak gadis-gadis malang itu. Tapi aku salah. Kau menanam bom ranjau ke ratusan gadis!”

“Ribuan.. dan kalau viral, hitung sendiri.” Xaver tersenyum bangga.

“Beberapa dari mereka menginjak ranjau sugesti itu. Perbuatanmu sungguh keji.”

“tenang saja, kita tak akan dipenjara karena bom ranjau itu, kita bisa berbagi tubuh, aku adalah nyalimu. Kamu adalah otakku.” Xaver terkekeh.

“Kita? Hidupmu sebentar lagi berakhir Xaver..” nada pria dalam cermin itu menguat.

“berakhir? Kamu pikir kamu lebih kuat dariku?” Xaver tertawa terbahak-bahak. “Kau genius, tapi penakut. Aku yang sebentar lagi akan membunuhmu!”

“Satu-satunya kekuatanmu hanyalah cinta gadis itu Xaver, Laura. Benar kan?” tanya pria itu. Xaver terperanjat.

“Apa jadinya kalau aku merebut hatinya dan membuat Laura jatuh cinta padaku? Kau ingat telpon terakhirmu dengannya? Kau merasakan perubahan sikapnya?” pria dalam cermin itu tersenyum penuh kemenangan. Wajah Xaver memucat. Amarahnya meledak. Di hantamnya cermin di depannya.


BRAGG!!​


Cermin itu tidak retak sedikitpun. Pria dalam cermin itu mengeluarkan pistol dari punggungnya. Ditodongkannya pistol itu ke arah Xaver yang kaku tak mampu bergerak.


“goodbye Xaver!”

DOR!​


Xaver bisa melihat gerakan peluru itu berputar cepat, bergerak melewati cermin dan menembus kepalanya. Xaver terdiam tak percaya. Perlahan cermin di depannya mencair lalu berasap dan hilang. Xaver merasakan tubuhnya terlempar keluar menembus kamar itu, melayang-layang berputar-putar. Sosok Mei Fang, Hilda, Nanda, mereka terbang dengan sayap-sayap putih berkilauan, wajah mereka tersenyum dan bertiga menghampiri, menarik tangan Xaver lalu terbang melesat ke langit.

“kau tahu mengapa kau kalah dariku, Xaver? Sayangnya kau tak layak untuk tahu!”

Wajah terakhir yang diingatnya, wajah Laura yang dicintainya itu mulai memudar, lalu menghilang.


**​


Aku tersentak bangun di kursi. Di depanku, Bu Viona dan Lala memandangku dengan senyum mengembang.

“Selamat datang kembali Redit” sapa Bu Viona. Kubalas senyum mereka.

“Tengkukku masih sakit lho di hajar Yudi. Lala, thank ya menolongku. Idemu memasang hidden cam mempercepatku untuk percaya kalau justru aku yang terkena DID.”

Aku sudah sangat curiga kepadaku sendiri, lelah yang kualami, berjam-jam yang hilang dari hidupku, sungguh sulit percaya Xaver adalah diriku, sampai Lala menceritakan peristiwa malam itu setelah kami bercinta. Aku pergi seperti orang yang tak mengenali Lala sama sekali.

“CHARLIE PUTTER PARTIED US adalah anagram dari The Culprit Are Praeditus” kataku. “Xaver menggunakan are dan bukan is karena pelakunya adalah kami berdua. Sebuah pesan bawah sadar bahwa kami berbagi tubuh yang sama.” Kataku.

Upside Rat juga anagram dari Praeditus” lanjutku. Aku baru sadar itu Rat dan bukan mouse karena si Ellen.

“Redit, sekarang beristirahatlah dulu. Kami akan rekayasa semua berita yang di publish. Pertanyaan di grup, aku yang tangani” Kata Lala.

Please jangan. Kita bertemu dulu saja dengan semua yang berkepentingan. Aku akan meminta maaf pada mereka. Selajutnya biar proses hukum yang bekerja. Aku tidak masalah kok harus bercinta di penjara.” Mata mengedip nakal ke arahnya. Lala tertawa.

“aku senang, amygdala maze-nya terpecahkan.” Kata Lala. Kupandang Bu Viona.

“Terima kasih bantuannya ya Bu. Ibu berhasil membunuh Xaver dan menyelamakan Praeditus.” Aku sungguh lega bisa membuka mata dan menyadari aku lah yang hidup.

“lho, semua teknik regression, amygdala hijack, reality mirror dan lainnya kan dokter sendiri yang mengajarkan pada saya. Sejak Adonis berpura-pura terhipnotis, saya sempat kehilangan kepercayaan diri. Terima kasih Dok!” Kata Bu Viona dengan mata berbinar.


**​


Mei Fang adalah nama china dari Meilani, gadis dengan tattoo bunga di bahunya. Aku berdiri di depan pusaranya, tempat yang layak baginya. Aku merenungi apa yang telah kami lewati bersama dalam tawa dan tangis. Polisi akhirnya berhasil menemukan tulang belulangnya, di sebuah rumah tua tanpa tetangga di kaki Gunung Bromo, rumah yang aku tak pernah tahu sebelumnya. Mei Fang bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri, seperti yang dilakukan Nanda. Di kamarnya ditemukan sebuah amplop yang aku pun tak mau membukanya. Amplop itu kini kuletakkan di dalam laci mejaku.

Ditengah pahit dan sakit perasaanku kehilangan Meilani, aku masih punya sedikit rasa syukur karena setidaknya pertanyaanku tentang menghilangnya Meilani sudah terjawab. Hatiku tertambat pada perhatian tulus Ellen, tetapi kehebatan seks Lala juga membuatku menginginkannya lagi. Ah entahlah.


**​


“Xaver, finally youre gone.. Im sad but.. I have a little happiness. Masih ada satu penghalang, aku tak tahu apakah dia akan memilihku atau memilihnya. Hm.. mungkin aku harus membunuh wanita itu..” bisik suster cantik itu. Matanya menatap fotonya berdua dengan Xaver saat mereka baru selesai bercinta di kamarnya. Suster itu langsung menutup HP-nya ketika mendengar langkah kaki mendekat.

“Selamat Pagi, Ellen. Apa kabarnya?” sapaku. Suster bernama lengkap Ellen Laura itu tersenyum dan mengeluarkan dua kotak makanan.“Pagi dok! sarapan yuk dok? Aku ada bawa makanan” ajaknya. Aku menganggukkan kepala.

“Hmm.. maaf, dokter Praeditus Kevin?” tanya seorang nurse tiba-tiba dengan wajah manisnya yang terlihat bingung. Sepertinya dia baru bekeja di sini.

“Iya, saya. Ada apa?” tanyaku.

“Ada pasien bernama Chen Lie, katanya sudah ada janji dengan dokter.”


** TAMAT **

IKXSZ XDMAAW FKVAS NRAAZ. ZGKO CVAAWRPE(F=C)
great story with fullness of illusion
sangat layak mendapatkan vote-nya
------------
TKS TLAH BERBAGI
TUHAN MEMBERKATI !
 
Mantap! Gak akan bosan walau dibaca berkali-kali! You are really gifted. A genius of your kind
 
Bagus banget ini ceritanya,
pantas lah kalo jadi juara,
:jempol:

ITu ogut baca di atas kayanya ada typo deh,
Charlie Weasley itu kakak nya Ron Weasley, bukan adiknya,
CMIIW,,

Mantap Cuk,,
Sepakat kalo ada yang bilang seperti nonton Film Hollywood,
:ampun:
 
Bimabet
Wuah nih cerita paling hebat :tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan:

Pokoke :mantap:

I'm ur fan bruh.. ! :semangat: :ampun:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd