Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Setunggalatus Pati [LKTCP 2018]

Enyas

Tukang Semprot
UG-FR+
Daftar
6 Jun 2012
Post
1.136
Like diterima
583
Bimabet
[LKTCP 2018]
Story written by. Enyas


Suara derit pegas springbed terdengar mengikuti gerak ranjang kala sepasang manusia berlainan jenis sedang bercinta dengan hebat di atasnya. Sang gadis berambut hitam panjang dengan lekuk tubuh ramping tanpa sehelai benangpun menatap manja ke arah pasangannya. Kulit sawo matang cerah gadis itu tampak berkilau berbasuh keringat, ia mendesahkan kenikmatan di setiap gerakan pinggulnya. Gadis itu terus mendesah seiring liukkan tubuhnya yang semakin kencang. Beradu nafas dengan pria yang kini berbaring di bawahnya, mengejar kenikmatan duniawi yang sukar dilukiskan.

“Aku… mau… keluar…” ujar sang pria di sela nafasnya yang memburu.

“Nghh… jangan di dalam…” timpal sang gadis yang alih-alih berhenti, ia malah mempercepat liukan pinggulnya.

Sang pria mengangkat punggungnya, kedua tangannya memeluk tubuh sang gadis dan dengan cepat posisi mereka berpindah menjadi yang biasa disebut missionaris atau konvensional dimana kini sang prialah yang berada di atas dan mengambil kendali. Tanpa banyak kata-kata, tanpa banyak ancang-ancang, sang pria menghentakkan pinggulnya dengan kencang berulang kali. Membuat tubuh sang dara melejit menjerit dalam kenikmatan yang tak terbantahkan lagi.

Dan dalam satu hentakan kuat, diikuti erangan dari keduanya, menjadi iringan merdu berakhirnya persetubuhan mereka. Sang gadis masih memekik pelan, matanya menatap pasrah ke arah sang pria saat kedutan demi kedutan dinding kewanitaannya menyambut semprotan-semprotan hangat dalam rahimnya. Tubuh sang pria ambruk di atasnya. Nafas mereka masih tersengal-sengal. Dengan lembut sang gadis mengusap punggung telanjang pasangannya, seolah mengapresiasikan rasa terima kasih atas kenikmatan yang baru saja diberikan.

Sang pria berguling pelan ke samping sang gadis. Menatap langit-langit kosong sebelum beranjak duduk di atas ranjang, masih di sebelah tubuh menggoda sang dara yang baru saja ia nikmati.

“Sembilan puluh sembilan,” ujar Sang pria lirih diantara nafasnya yang sudah mulai teratur. Lirih namun cukup jelas untuk sampai ke telinga sang gadis.

“Mmh?” sang gadis bertanya malas sebelum dengan satu gerakan cepat, sang pria menutup wajahnya dengan bantal. Membuatnya kesulitan bernafas. Gadis itu terus meronta, menjerit, namun semua rontaan dan jeritnya teredam oleh bantal tebal. Tidak lama kemudian jeritan dan rontaan itu berhenti. Begitu pula detak jantungnya.

*_*_*
Shavia tersenyum saat gadis pelayan datang membawa matcha float pesanannya. Jari jemarinya yang sedari tadi asyik menari di atas keyboard notebook miliknya terhenti untuk beberapa saat. Setelah memastikan semua pesanan telah tersedia, gadis pelayan itu mohon diri dengan sopan. Shavia merespon tata krama gadis pelayan tersebut dengan mengucapkan terima kasih.

Jari lentik gadis penulis cerita misteri tersebut menyendok ice cream yang menjadi topping minumannya. Ia sangat menyukai aroma matcha yang bagi sebagian orang terasa seperti kotoran burung. Gadis itu berhenti mendadak saat ia merasakan hawa dingin ganjil mengelus tengkuknya. Sebuah perasaan yang ia alami beberapa kali dalam sebulan ini. Shavia meletakkan sendoknya dan memandang sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang tidak biasa. Namun ia tak menemukan satu kejanggalan apapun. Shavia menarik nafas panjang dan kembali menyendok minumannya.

“Hai,”

Shavia menjatuhkan sendoknya ke lantai kafe, menimbulkan kegaduhan kecil karena terkejut dengan sapaan seorang pria yang tidak dikenalnya. Dia benar-benar tidak melihat atau menyadari kedatangan pria itu sebelumnya. Shavia melayangkan pandangannya ke arah suara dan menemukan sesosok pria berambut rapi, dengan kemeja dan celana jeans yang tak kalah rapi. Pria itu tersenyum.

“Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu,” Pria itu berjongkok mengambil sendok yang dijatuhkan oleh Shavia. Memberi isyarat pada pelayan untuk membawakan sendok bersih.

“Ah ya, aku terkejut,” timpal Shavia.

“Kau sendiri? Boleh aku menemani?”

“Tidak, terima kasih,” Shavia menggeleng. Gadis pelayan datang dan memberinya sendok bersih. “Aku sedang menunggu seseorang.”

“Namaku Bima,” pria itu memperkenalkan diri tanpa mempedulikan isyarat penolakan dari Shavia. “Kau Shavia kan?”

Shavia memandang ke arah Bima dan mengernyitkan dahinya. “Kau mengenalku?”

“Aku melihat namamu di daftar pesanan,” jawab sang pria tenang.

“Maaf, tapi aku sedang sibuk,” Shavia kembali mengalihkan perhatiannya pada notebook miliknya.

“Oke, tapi mungkin kita bisa…”

“Ada masalah? Shavia?” suara pria lain memecah pembicaraan antara Bima dan Shavia.

“Joe!” Shavia tersenyum. “Kenapa lama sekali?”

“Aku harus mampir ke rumah Nenekku, ada barang-barang antik yang sedang dalam penawaran. Aku sudah memberitahumu lewat SMS, kan?” Joe beranjak ke kursi tepat di hadapan Shavia. “Siapa pria ini?” tanya Joe sembari memandang tajam ke arah Bima.

“Namaku Bima,” Bima mengulurkan tangannya untuk berjabat. Joe memandang tangan tersebut tanpa bereaksi.

“Kenalanmu?” tanya Joe pada Shavia. Shavia menggeleng. “Dia menganggumu?” tanyanya lagi, kali ini Joe melemparkan pandangan mengancam ke arah Bima.

“Aku tidak bermaksud mengganggu,” Bima tersenyum tenang.

“Kalau begitu, pergilah. Kami ada urusan,” usir Joe. Bima tersenyum dan mengangguk mengerti.

“Sampai jumpa lagi, Shavia,” Ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kafe.

Joe mengambil duduk tepat di hadapan Shavia, tidak lama kemudian seorang gadis pelayan datang membawa expresso pesanannya. “Sepertinya kau memiliki fans,” goda Joe yang ditimpali oleh tawa renyah Shavia.

“Kau masih sibuk dengan barang-barang antik milik nenekmu?” tanya Shavia kemudian. “Apa ada cerita mistis yang menarik?”

Joe mengangkat bahunya. “Bagaimana dengan guci tua yang penuh kutukan?” ia menawarkan materi cerita untuk ditulis Shavia.

“Terlalu umum,” Shavia menggeleng seraya menyendok kembali float-nya. “Aku butuh sesuatu yang baru, yang bisa dikombinasikan dengan mitos dan kriminal.”

“Seperti sebuah pemujaan?” Joe menuangkan sebungkus gula ke expresso miliknya. “Sebuah ritual?”

“Semacam itulah.”

“Aku bisa menunjukkan buku tua milik Nenekku. Aku pernah membacanya sekilas. Buku aneh tentang sihir dan ritual. Isinya bukan hal yang baik, sebagian besar.”

“Contohnya?”

“Ritual memanggil roh yang memerlukan darah bayi yang lahir di bulan purnama, ritual yang membuat kita jadi kebal dengan mengkonsumsi darah orang yang baru saja meninggal.”

“Kedengarannya menarik,” mata Shavia berbinar. Seolah ia telah mendapatkan pencerahan inspirasi. “Kau sahabat yang selalu memberiku jalan keluar dari kebuntuan inspirasi, Joe. Boleh aku meminjam buku itu?”

“Kenapa tidak?” Joe menyeruput minumannya. “Akan kuantarkan ke apartemenmu besok sore. Hari ini jadwalku lumayan padat. Ada sebelas pemotretan yang harus kuselesaikan sampai besok.”

“Kau masih melakukan hal menjijikkan seperti dulu?”

Joe tersenyum. “Kalau yang kau maksud ‘hal menjijikkan’ itu adalah pemotretan telanjang. Ya! Aku masih melakukannya. Itu adalah bagian dari seni dan apa yang kau harapkan dari seorang fotografer yang bekerja untuk majalah pria dewasa?”

Shavia tertawa renyah mendengar pembelaan sahabatnya tersebut. “Aku hanya bercanda.”

“Aku tahu, Shavia. Ngomong-ngomong, Saudara sepupuku ternyata mengoleksi bukumu.”

“Oh ya?” Shavia tertawa geli. “Kurasa saudaramu salah memilih bahan koleksi,” kelakarnya.

“Serius. Dan saat dia tahu kau sahabatku, dia memintaku menanyakan sesuatu.”

“Dan apa pertanyaan itu?”

“Kenapa tulisan-tulisanmu minim ilustrasi? Semacam gambar ilustrasi rupa tokoh-tokoh utama, misalnya. Beberapa penulis sering melampirkan ilustrasi tokoh-tokoh utama di awal tulisan mereka.”

Shavia tersenyum manis mendengar pertanyaan tersebut. Jemarinya kembali bergerak di keyboard notebook-nya.

“Karena aku bukan penulis yang malas,” jawab gadis manis itu kemudian. “Dan tulisanku bukan untuk dibaca orang yang malas berimajinasi.”

“Maksudnya?”

“Tahukah kau bahwa ilustrasi visual terbaik adalah yang muncul dari buah pemikiran dan imajinasi diri sendiri?” Shavia menghentikan jemarinya dan menatap ke arah Joe. “Senjata terkuat sekaligus sarana terbaik seorang penulis adalah kemampuannya merangkai kata untuk menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Aku tidak akan menggunakan ilustrasi gambar yang hanya akan membatasi daya imajinasi pembacaku. Tidak akan.”

Shavia berhenti untuk menyisip minumannya.

“Aku hanya akan memberikan deskripsi perihal rupa tokoh-tokoh dalam ceritaku lewat kata-kata. Seperlunya saja, agar pembaca dapat meracik kata-kata tersebut dengan imaji tangkapannya sendiri yang akhirnya membentuk visualisasi rupa dan wujud dari karakter tersebut. Dan itu adalah ilustrasi visual terbaik. Dengan begitu imajinasi pembaca terkait tokoh-tokoh utama akan lebih hidup.”

“Aku mengerti sekarang,” Joe mengangguk-angguk.

“Yang kusajikan adalah tulisan, Joe. Bukan komik atau serial TV dimana gambaran tentang cerita dan tokoh utama tidak bisa lepas dari apa yang digambarkan oleh komikus. Dan yang kutulis ini novel, bukan cerita dongeng bergambar untuk bocah taman kanak-kanak,” kalimat terakhir yang diucapkan Shavia memancing Joe untuk tertawa.

Joe melirik ke arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya. “Oke, aku harus pergi, akan kukabari kau setelah aku menemukan buku ritual tersebut. Oke?”

“Pastikan celanamu sedikit longgar, Joe.” Kelakar Shavia. Joe mengangkat pundaknya sembari tersenyum lalu bergegas meninggalkan kafe.

*_*_*
Shavia berjalan santai ke arah mobilnya yang terparkir di parkiran mall tempat kafe yang baru saja ia kunjungi. Sesaat ia menangkap suasana ganjil kala mendapati tempat parkir yang sangat sepi. Hanya ada beberapa mobil di situ, padahal saat itu adalah jam aktif dimana mall biasanya sangat ramai pengunjung. Gadis berambut hitam lurus itu tetap melangkah ke arah mobilnya. Mengabaikan keganjilan yang ia rasakan. Kadang Shavia menganggap profesinya sebagai penulis kisah misterilah yang membuatnya jadi acapkali memperhatikan hal-hal detail dan malah merubahnya menjadi seorang paranoid.

Dan tiba-tiba langkahnya terhenti kala hawa dingin yang ganjil mengelus tengkuknya. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan tadi saat di kafe dan beberapa bulan terakhir ini. Tubuhnya sedikit berjengit kala hawa dingin itu terasa semakin dingin, seolah bergerak menjalar dari ujung jemari tangannya, naik hingga ke bahu dan tengkuknya.

SRETTT

Shavia berbalik seketika, ia mendengar sesuatu dari belakangnya namun ia tidak melihat apapun. Ia sangat yakin untuk beberapa detik, ia melihat ada bayangan hitam berkelebat tepat di belakangnya.

“Halo?” Shavia memutuskan untuk bersuara. Panggilannya memantulkan gema di sepanjang tempat parkir lantai lima yang sepi tersebut. Hawa dingin kembali mengelus tengkuknya.

SRETT

Sekali lagi Shavia menangkap sekelebat bayangan, ia berbalik dan memicingkan mata kala sosok seseorang berdiri jauh di ujung bangunan. Sosok itu tampak berjalan ke arahnya.

“Ada orang di situ?” Gadis penulis itu tak bisa menyembunyikan gemetar yang terdengar jelas dari nada suaranya.

“Ada masalah, Neng?” sosok tersebut bersuara. Shavia menghembuskan nafasnya lega. Sosok itu mendekat dan Shavia melihat seorang pria berseragam satpam mall. Gadis itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, menertawakan ketakutannya yang bodoh.

“Tidak apa-apa Pak, saya hanya terkejut,” Shavia melempar senyum ke arah satpam yang terus mendekat. Satpam itu tidak membalas senyumannya dan saat itulah Shavia sadar bahwa ada yang aneh pada diri satpam tersebut. Pria berseragam itu membawa sebilah pisau di tangannya dan kini menghambur ke arahnya.

Reaksi gadis itu sedikit terlambat, ia berbalik dan berlari namun satpam itu sudah terlalu dekat untuk memberinya sebuah sabetan yang melukai pundak kanannya, membuat Shavia terjengkang jatuh ke belakang. Satpam itu mengangkat kembali pisaunya, pandagannya tertuju tajam ke arah Shavia.

BRAKK!!

Satpam itu terjerembab jatuh di lantai beton. Semua terjadi begitu cepat, Shavia hanya mendengar derap lari dan seseorang menabrak satpam tersebut jatuh ke samping. Shavia melihat ke sosok yang baru saja menyelamatkannya dan ia mengenalinya. Itu Bima. Belum sempat Shavia mengucapkan kalimatnya, Bima memberinya isyarat dengan jarinya agar diam. Pria itu memandang ke arah satpam yang bangkit dari jatuhnya. Masih dengan sebilah pisau di tangannya.

Satpam itu memandang tajam ke arah Bima dan menghambur ganas ke arahnya. Bima dengan cekatan bergerak ke samping, menghindari sabetan liar sang satpam dan mendaratkan lututnya di perut sang satpam. Nyaris bersamaan dengan gerakan sikunya yang menghantam punggung tangan satpam tersebut. Membuat pisaunya bergelontangan jatuh di lantai beton.

Di luar perkiraan, tendangan lutut Bima gagal menjatuhkan sang satpam. Alih-alih jatuh, sang satpam justru memeluk kaki Bima dan mendorong pria itu jatuh terjengkal. Tidak berhenti di situ, Sang satpam menindih tubuh Bima dan mendaratkan pukulan-pukulannya tepat ke wajah sang pria. Beruntung bagi Bima ia sempat menggapai pisau yang terjatuh tidak jauh dari tempatnya dan melesakkan pisau itu menembus tenggorokan penyerangnya. Darah segar mengambur membasahi wajah dan pakaian Bima. Bima lantas mendorong tubuh sang satpam yang tak lagi bernyawa. Ia memandang ke arah Shavia, wajah manis gadis itu menunjukkan kengerian dan ketakutan yang diracik padu dengan kepanikan.

“Di mana mobilmu?” Seru Bima kemudian. “Kita harus pergi dari sini!”

“A.. apa yang terja..”

“Akan kujelaskan nanti!” Bima beranjak dan membantu Shavia bangkit. “Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini!”

*_*_*
Honda Brio merah milik Shavia berhenti di lahan parkir lantai dua di apartemen tempat ia tinggal. Gadis itu tampak risau, tentu saja, siapa yang bisa tenang setelah mengalami kejadian yang baru saja terjadi padanya. Ia bahkan tidak sadar telah membawa serta Bima ke apartemen tempat tinggalnya. Tidak ada pembicaraan di sepanjang perjalanan. Shavia hanya fokus pada satu tujuan; pulang ke apartemennya.

“Tenangkan dirimu,” Bima membuka pembicaraan. Mereka berdua masih ada di dalam mobil milik Shavia.

“Kau membunuhnya…” ujar Shavia. “Sebaiknya kita ke polisi dan…”

“Bukan pilihan yang baik,” potong Bima. “Karena saat ini, hanya aku yang bisa melindungimu.”

“Melindungi?” Shavia menatap Bima penuh tanda tanya. “Apa maksudnya?”

“Kau sedang dalam bahaya,” Bima mengatur agar nada bicaranya tidak membangkitkan kepanikan dalam diri Shavia. “Seseorang mengincarmu.”

“Mengincarku? Apa salahku?”

“Kau tidak salah. Kau hanya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan saja. Atau tepatnya, kau berada dalam keluarga yang kurang menguntungkan. Aku ingin memberimu peringatan tadi, tapi kau dan temanmu mengusirku sebelum aku sempat menyampaikan apapun.”

“Kau membuntutiku? Sejak dari kafe?” Shavia tampak sangat tidak senang.

“Kau sudah mati jika aku tidak melakukannya,” Bima membalas tatapan Shavia dengan pandangan yang memberikan kesan tegas dan tajam. “Kau putri tunggal dari keluarga yang memiliki darah istimewa. Dan itu yang membuatmu terancam saat ini.”

“Darah istimewa?”

“Datanglah ke alamat ini besok,” Bima memberikan kartu namanya. “Lupakan apa yang terjadi hari ini dan jangan beri tahu siapapun tentang apa yang terjadi! Lakukan dan kau akan sangat membantuku untuk menjaga keselamatanmu. Itu alamat rumahku, aku akan menceritakan semuanya, sedetail-detailnya! Sekarang, istirahatlah,” tepat setelah itu, Bima keluar dari mobil dan bergegas pergi. Meninggalkan Shavia yang masih terjebak dalam ketidakmengertiannya.

*_*_*
Bima sedang menyeduh segelas kopi saat bel pintu rumahnya berbunyi. Ia lantas bergegas membuka pintu dan mendapati Shavia di pintunya. Hanya saja gadis itu tidak sendiri.

“Kau harus mengajaknya?” Bima merujuk ke Joe yang berdiri di belakang Shavia.

“Dia sahabatku, dan dia menjagaku. Aku tidak mengenalmu.”

“Baiklah,” Bima bergerak ke samping, mempersilahkan Shavia dan Joe untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan Shavia? Dan siapa kau?” Joe memberondong Bima dengan pertanyaan bahkan sebelum mereka sempat duduk di ruang tamu milik Bima.

“Kemarilah,” Bima memberi isyarat pada Joe dan Shavia untuk mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar. Joe dan Shavia mendapati dekorasi kamar yang sangat tidak biasa. Ada banyak sekali foto gadis dan klipingan koran, serta beberapa yang sepertinya dicetak sendiri oleh Bima.

“Ini…”

“Mereka yang dinyatakan hilang dalam dua tahun terakhir ini. Sebagian besar dari mereka hanya berakhir jadi lembar laporan di kepolisian,” jelas Bima.

“Bagaimana kau bisa mendapat data ini?” Shavia bertanya. “Dan apa hubungannya denganku?”

“Aku punya orang dalam di kepolisian. Mereka juga yang membantuku membereskan masalah satpam yang hendak membunuhmu di parkiran kemarin.”

“Itu… Nadya?” Joe tampak terkejut. Ia melangkah mendekati foto salah seorang gadis berambut pendek yang tertempel di dinding.

“Kau mengenalnya?” Shavia bertanya.

“Dia modelku,” jawab Joe singkat. “Dan aku sulit menghubunginya sejak sekitar setahun yang lalu… dia hilang?”

“Kemungkinan besar dia sudah mati,” Bima menimpali dengan tenang. “Mereka korban dari ritual keabadian.”

“Apa?” Shavia mengernyitkan dahinya. “Ritual keabadian?”

“Sebuah ritual yang dapat menjadikan seseorang menjadi abadi,” Bima memberi isyarat agar mereka kembali ke ruang tamu. Joe dan Shavia kembali ke ruang tamu dan duduk di atas sofa coklat terang.

“Dalam mitos kuno Jawa, ritual ini di sebut setunggalatus pati,” Bima kembali menjelaskan. “Kau memasukkan pati ke dalam tubuh lawan jenismu atau menerima pati dari lawan jenismu ke dalam tubuhmu. Jumlah pati yang harus kau dapatkan adalah seratus orang.”

Pati?” Joe mengernyit. “Artinya seratus orang harus mati?”

Pati juga memiliki makna lain kan?” Bima menimpali. “Pati bisa berarti mati juga bisa berarti inti.”

“Jadi dalam hal ritual ini, mati atau inti?” kali ini Shavia yang bertanya.

“Keduanya,” jawab Bima tegas. “Sepengetahuanku, ritual itu lebih menekankan pada menerima atau memberi inti dari lawan jenis. Tapi bisa juga berarti membunuh seratus lawan jenis.”

“Dan yang dimaksudkan inti adalah nyawa?”

“Bukan, Shavia,” Bima memandang wajah manis gadis tersebut. “Inti dari kehidupan yang masih berupa benda mati.”

“Sperma,” Joe menyimpulkan. Bima mengangguk membenarkan.

“Jadi memberi atau menerima sperma dari seratus orang?” Shavia memperjelas.

“Dan juga membunuh mereka,” Joe menambahkan. “Kau ingat tentang buku yang aku ceritakan padamu kemarin, Shavia? Kurasa aku pernah membaca tentang ritual tersebut di buku itu.”

“Buku?” Bima tampak tertarik.

“Buku tua peninggalan neneknya. Almarhum neneknya meninggalkan sebidang tanah luas di pinggir kota dan bangunan tua berisi puluhan barang antik untuknya,” Shavia menjelaskan.

Bima beranjak meninggalkan ruang tamu setelah meminta Joe dan Shavia agar menunggunya di ruang tamu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan secarik foto.

“Ini bukunya?” Bima menyodorkan foto sebuah buku bersampul kulit dengan gambar gunungan wayang dan huruf kuno yang tidak jelas pada covernya.”

“Ya,” jawab Joe. “Bagaimana kau bisa tahu sebanyak ini? Siapa kau sebenarnya?”

“Akan kujawab pertanyaanmu nanti,” Bima kembali duduk. “Yang terpenting dalam ritual setunggalatus pati ini adalah penutup ritual tersebut.”

“Penutup?” Joe dan Shavia bertanya nyaris bersamaan.

“Sembilan puluh sembilan dari seratus orang yang jadi bahan ritual tersebut bisa siapa saja. Tapi kunci keberhasilan ritual tersebut ada pada orang ke seratus.”

Bima berhenti sejenak, memandang ke arah Joe dan Shavia bergantian.

“Orang ke seratus harus memiliki darah istimewa,” lanjutnya.

“Darah istimewa? Kau menyebutnya kemarin, kau bilang aku memiliki darah istimewa, apa darah istimewa itu?” Shavia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Rasa penasaran tampak jelas tergambar di raut manisnya.

“Aku belum terlalu paham tentang apa sebenarnya darah istimewa itu, yang aku tahu darah istimewa memberimu kemampuan untuk melakukan semacam trik sihir,” Bima menjawab. “Darah istimewa hanya diturunkan pada anak pertama yang lahir dari darah istimewa lainnya. Pemilik darah istimewa akan meninggal tidak lama setelah anak pertamanya lahir. Penyebab kematiannya bisa apa saja, penyakit, kecelakaan, apa saja.”

“Maksudmu Shavia terancam bahaya karena ia memiliki darah istimewa?” Joe mencoba menarik kesimpulan. Bima mengangguk.

“Tidak mungkin…” kilah Shavia. “Ayahku memang meninggal karena kecelakaan mobil dua hari setelah Ibuku melahirkanku. Tapi itu pasti hanya kebetulan.”

“Ya, Bima,” Joe menimpali. “Apa yang dialami Shavia bisa terjadi pada siapa saja. Bagaimana kau bisa yakin Shavia memiliki darah istimewa?”

“Aku punya tiga hal yang memastikan bahwa Shavia memiliki darah istimewa. Yang pertama adalah ini.”

Bima mengeluarkan sebuah kompas kecil berbahan perak dari sakunya. Jarum kompas itu menunjuk ke arah Shavia.

“Kompas ini berisi ajian atau sihir yang bisa menunjuk ke arah darah istimewa terdekat” tukas Bima tenang. “Dan seperti kita lihat, dia menunjuk ke arahmu, Shavia.”

“Dua hal lainnya?” tanya Joe penasaran.

“Kejadian kemarin, dimana Shavia diserang oleh seorang satpam yang pikirannya telah dimanipulasi untuk menyerang Shavia,” Bima berkata yakin. “Dan yang ketiga adalah karena aku juga berdarah istimewa, aku merasakanmu. Apa kau tidak merasa seperti dingin mengusap tengkukmu?”

“Ya… aku merasakannya akhir-akhir ini…” Shavia mengusap tengkuknya. “Itu kau?”

“Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah orang,” timpal Bima. “Aku mengawasimu dalam dua bulan terakhir. Tadinya aku memutuskan akan terus mengawasi dan menjagamu dari jauh, kalau saja kita tidak kehabisan waktu.”

“Kehabisan waktu?” ujar Joe penuh tanda tanya.

“Pelaku sudah mendapatkan sembilan puluh sembilan korban. Kau berikutnya.”

“Kau bilang darah istimewa memberi kemampuan sihir pada pemiliknya, aku tidak bisa melakukannya jadi kurasa aku bukan darah istimewa,” Shavia masih saja berdalih.

“Kau hanya tidak tahu caranya,” Bima tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.

Joe dan Shavia hanya bisa diam saat seluruh furniture di ruang tamu itu melayang di udara. Menit berikutnya Bima menurunkan tangannya, nyaris bersamaan dengan turunnya semua furniture yang melayang. Bima memandang bergantian ke arah Joe dan Shavia, seolah memberi pernyataan bahwa apa yang disampaikannya panjang lebar bukanlah isapan jempol atau bohong belaka.

KRIINGG….

Dering ponsel mengalihkan perhatian mereka. Bima memeriksa ponselnya yang berdering dan beranjak meninggalkan ruangan setelah sebelumnya memohon ijin kepada Joe dan Shavia.

“Kau tidak percaya padanya kan?” Joe berbisik setelah memastikan Bima meninggalkan ruangan.

“Semua memang tidak masuk akal, Joe,” timpal Shavia, juga dengan berbisik. “Tapi saat ini, penjelasannya adalah yang paling berhubungan dengan keanehan-keanehan yang aku alami.”

“Tapi kita tidak mengenalnya, kau tidak mengenalnya.”

“Kau sudah memeriksa soal Nadya?” Shavia menanyakan perihal model yang fotonya terpasang di dinding kamar Bima.

“Ya,” jawab Joe. “Aku sudah mengirim SMS ke rekan-rekanku. Tak seorangpun tahu di mana Nadya sekarang.”

“Dia hilang. Itu artinya yang disampaikan Bima benar.”

“Kau percaya dia?”

“Tidak sepenuhnya, Joe,” Shavia menghela nafas panjang. “Kau akan membawakan buku ritual itu padaku? Mungkin ada jawaban dari buku itu. Setidaknya jika aku memang bagian dari sebuah ritual, aku harus tahu bagaimana cara kerja ritual tersebut.”

“Aku harus mencarinya dulu, akan kubawakan padamu besok.”

“Terima kasih, Joe,” Shavia menatap mata sahabatnya dan tersenyum. “Kita baru dekat saat kuliah, namun kau sudah menjadi sahabat yang selalu ada untukku. Ingat saat kau menghiburku dengan kemampuan ventriloquistmu di hari ulang tahunku itu? Aku membutuhkanmu saat ini, Joe.”

“Dengar, Shavia. Kita bisa menemukan cara untuk melindungimu sendiri, kita tidak memerlukan Bima.”

“Dia telah melindungiku satu kali, Joe, dia punya pengetahuan, sihir. Dia meyakinkanku bahwa dia bisa melindungiku,” Shavia berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Tapi aku tidak mengenalnya, karena itu aku butuh kau, sahabatku untuk menemaniku,” tambah gadis itu sebelum mendapatkan tanggapan berupa senyuman dan anggukan dari sahabatnya.

Sementara Joe dan Shavia berbisik-bisik, Bima menerima panggilan teleponnya. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kurang senang atas panggilan tersebut.

“Apa yang kau lakukan?” Bima membuka pembicaraan di telepon tanpa salam ataupun basa-basi.

“Gadis itu ada di tempatmu?” ujar suara seorang laki-laki di seberang telepon.

“Ya, dan aku tidak suka kau ikut campur urusanku,” timpal Bima ketus. “Aku akan mengatasi semua ini, mengerti?”

“Aku hanya membantumu dengan cara yang termudah, Pisces,” suara di seberang memanggil Bima dengan sebutan ‘Pisces’. “Jika gadis itu mati, tugasmu selesai dengan mudah.”

“Dia tidak bersalah, Virgo,” Bima mendengus. “Dia tidak harus mati. Ini bukan abad ke enam belas! dan kau tahu aku tidak pernah setuju dengan pembantaian atas orang-orang yang tidak bersalah!”

“Kau tahu? Kau selalu memilih cara yang rumit saat kau bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat dan efisien.”

“Ini tanggung jawabku! Dan itu berarti metodeku! Sekali lagi kau ikut campur dengan kemampuan manipulasi pikiranmu itu, aku tidak akan tinggal diam!”

“Hey hey… aku hanya berusaha membantu, oke?”

“Tugasmu adalah melakukan pembersihan. Fokuslah pada hal itu,” dan tanpa menunggu balasan dari sang penelepon, Bima menutup panggilannya lalu bergegas kembali menemui Joe dan Shavia di ruang tamu.

“Maaf menunggu, itu tadi panggilan yang tidak bisa aku lewatkan,” ujar Bima sekembalinya ia ke ruang tamu.

“Apa langkah kita untuk melindungi Shavia?” Joe mengambil inisiatif untuk melontarkan pertanyaan.

“Kau bisa terus menemani Shavia untuk memastikan tidak ada hal buruk terjadi padanya,” jawab Bima tenang. Joe lantas menggeleng.

“Aku tidak bisa bela diri,” timpal Joe.

“Setidaknya kau bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu. Untuk sementara ini, kau bisa membawa ini,” Bima mengambil sebuah tanaman mawar dalam pot kecil. “Letakkan ini di dalam apartemenmu, dia akan menghalau niat jahat untuk masuk ke dalam kamar. Jika mawar merah ini berubah warna, itu artinya dia gagal menghalau dan niat jahat itu telah masuk ke dalam apartemen.”

“Sebuah mawar dalam pot?” nada suara Joe terdengar meremehkan. “Jika mawar itu berubah warna artinya kecil kemungkinan Shavia untuk selamat. Apa kau tidak memiliki ide lain yang lebih baik?”

“Ada satu,” Bima menatap ke arah Shavia dalam-dalam. “Dan ini adalah cara yang paling efektif.”

“Apa itu?” kali ini Shavia yang bertanya.

“Untuk menyelesaikan Setunggalatus Pati, pelaku harus memasukkan spermanya ke dalam tubuhmu melalui persetubuhan. Jika kita menghalangi persetubuhan itu terjadi, kita menggagalkan ritualnya. Dan ia harus menemukan darah istimewa lain.”

“Kedengarannya bagus,” timpal Joe. “Bagaimana kita menghalangi persetubuhan itu?”

“Dengan menaruh mantra pengunci pada tubuh Shavia,” Bima kembali memandang ke arah Shavia. “Sehingga tidak ada orang lain yang bisa membuka atau merobek pakaian yang dikenakan Shavia kecuali Shavia sendiri.”

“Dan jika tidak bisa menelanjangi Shavia artinya tidak bisa menyetubuhinya. Aku suka rencana itu!”

“Ehm… kalian tidak lupa kalau aku ada di sini, kan?” protes Shavia. “Kalian bicara seolah-olah membayangkan aku ditelanjangi dan disetubuhi.”

“Tolong jangan tersinggung, Shavia,” Bima mencoba meluruskan. “Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”

“Baiklah,” Shavia mengangguk mengerti. “Kau bisa melakukannya? Mantra pelindung itu?”

“Tentu aku bisa,” jawab Bima pasti. “Tapi…”

“Tapi apa?” Joe bertanya.

“Mungkin kau akan kurang suka dengan cara memasang mantra pelindung tersebut.”

Joe dan Shavia saling berpandangan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bima.

“Apa maksudmu aku kurang menyukai caranya?” Shavia mengambil inisiatif untuk bertanya.

“Aku harus memasangnya langsung pada tubuhmu.”

Mata Shavia terbelalak. “Kau tidak harus meniduriku untuk memasang mantra itu kan?!” nada suara gadis itu meninggi.

“Tidak… tidak…” Bima menggeleng sambil tersenyum. “Aku hanya harus mengusapkannya langsung pada tubuhmu. Hanya menyentuh.”

“Itu sama saja, Brengsek!” Joe berdiri dari kursinya, tampaknya ia sangat marah.

“Itu untuk melindunginya!” Bima bersikeras. “Aku tidak akan macam-macam. Kau akan mengawasi saat aku memasang mantra pelindung itu. Jika aku melakukan sesuatu yang salah, hajar aku.”

“Baik, lakukanlah,” Shavia memberi ijin pada Bima untuk menyentuh tubuhnya.

“Shavia!” Joe mengajukan protes, kalimatnya terhenti saat Shavia memandang tajam ke arahnya, pandangan yang seolah menunjukkan bahwa keinginannya tak dapat lagi diganggu gugat.

“Kau akan menjagaku agar Bima tidak macam-macam kan? Joe?” tanyanya tanpa melepaskan pandangan ke arah Joe. Joe mengangguk. Shavia mengalihkan pandangannya ke arah Bima. “Kau boleh menyentuhku sekarang.”

Sekali lagi Bima menggeleng. “Bukan begitu caranya, Shavia. Aku harus menyentuh tubuhmu secara langsung. Itu artinya kau harus melepas semua benda yang menempel di tubuhmu. Kau harus telanjang bulat.”

Dan tepat setelah Bima menyelesaikan kalimatnya, sebuah bogem mentah dari Joe mendarat telak ke rahangnya.

*_*_*
Shavia memejamkan matanya, mencoba menguatkan mentalnya, sebelum jari jemari lentik gadis itu mulai bergerak melepas kancing kemejanya satu persatu. Gadis itu seolah dapat merasakan denyutan jantungnya sendiri setiap kali satu kancing keluar dari tempatnya. Waktu terasa berjalan sangat lamban sebelum kancing terakhir kemejanya terlepas. Jemarinya menggenggam bagian depan kemejanya selama beberapa detik, sebelum bergerak membuka, menampakkan buah dadanya yang membusung kencang, tertutup oleh bra berwarna cokelat muda.

Debar jantungnya semakin kencang. Ia bahkan merasa mampu mendengar dengusan nafas Joe dan Bima yang saat ini berada tidak jauh dari tempatnya. Seakan ia dapat merasakan sapuan tatapan mata kedua pejantan tersebut. Salah satu syarat agar mantra pelindung dapat dipasang di tubuhnya memang ia harus menanggalkan sendiri pakaiannya di hadapan sang pemasang mantra. Dan Bima sang pemasang mantra harus tetap memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh Shavia.

Kemeja itu tanggal sudah. Shavia kembali menarik nafas panjang, yang tanpa ia sadari justru membuat buah dadanya bergerak seiring kembang-kempis parunya. Dengan satu gerakan cepat, Shavia meraih kancing celana jeansnya.

“Pelan, Shavia,” ujar Bima tenang. Tidak kentara adanya perubahan dari nada bicara pria tersebut. Ia tampak sangat tenang seolah ini bukanlah hal yang besar. “Kau harus bergerak pelan agar auramu senada dengan gerakanmu.”

Shavia mengangguk mengerti tanpa membuka kelopak matanya. Jemari gadis manis itu perlahan menggapai resleting celananya dan menurunkannya pelan. Jemari lentik itu lantas pindah ke bibir pinggang celana dan dengan gerakan pelan mendorongnya ke bawah. Lepas.

Gadis itu kini hanya berbalut bra dan celana dalam, lekuk indah pinggulnya tak lagi terbungkus. Berdiri tidak jauh dari Bima, lelaki yang baru dikenalnya dan juga Joe, sahabatnya sendiri. Rasa malu berbaur hina kini menggerogoti batinnya. Ia akan bertelanjang diri untuk pertama kalinya di hadapan pria yang bukan kekasihnya.

“Buang ragumu,” seolah mampu menangkap pergolakan batin yang ada dalam diri Shavia. Bima berucap. “Fokus pada tujuan awal. Kita bukan melakukan ini untuk bersenang-senang.”

Kalimat yang diucapkan Bima cukup efektif menepis perasaan negatif yang sempat muncul dalam batin gadis manis tersebut. Shavia meraih kaitan bra di punggungnya, melepas kaitan tersebut dan dengan perlahan namun pasti bra tersebut meninggalkan tubuhnya. Buah dada gadis itu membusung indah, kencang dan padat. Joe sempat terpana atas pemandangan yang dilihatnya namun buru-buru membuang pandangannya karena malu. Bima tetap memandang tanpa reaksi.

Dan penderitaan itu seolah sampai pada klimaksnya kala Shavia mengenggam bibir celana dalamnya sebelum menurunkannya perlahan. Garis liang kewanitaanya tampak bersih, berwarna sedikit lebih cerah dari bagian tubuh lainnya dengan rambut kemaluan yang tumbuh jarang-jarang. Untuk sesaat, gadis itu berhenti bergerak. Ia telah telanjang bulat di hadapan dua laki-laki yang bukan kekasihnya. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya, pasrah.

Sekelebat takut membuat gadis itu mundur setengah langkah kala ia merasakan Bima bergerak mendekatinya. Shavia buru-buru mengendalikan rasa takutnya, menanamkan keyakinan bahwa ini bukan dilakukannya untuk bersenang-senang. Ini yang terbaik dan dia harus kuat. Matanya yang terpejam membuat indera lain pada tubuhnya lebih peka dari biasanya. Ia seolah dapat merasakan, mendengar tarikan demi tarikan nafas Bima yang semakin dekat.

“Bertahanlah,” ujar Bima tanpa ekspresi. Pria ini sungguh tenang. “Ini takkan lama.”

Shavia tak bisa menahan sentakan kecil yang keluar dari tubuhnya kala ia merasakan hawa dingin yang sangat menyentuh tengkuknya. Kali ini bukan hanya hembusan hawa dingin, ia dapat merasakan sentuhan telapak tangan pada tengkuknya. Ya, Bima menyentuhnya. Sebuah sentuhan tangan yang sangat dingin, seolah tanpa suhu tubuh. Tubuh telanjang gadis itu bergidik saat tangan dingin itu bergerak lembut melingkari lehernya, BIma kini menggunakan kedua tangannya, turun perlahan ke pundak sang gadis. Degup jantung Shavia seolah memenuhi ruangan, alis gadis itu mengernyit, seolah menahan sesuatu.

“Lepaskan, jangan dilawan,” instruksi dari Bima, meminta agar Shavia berusaha untuk melepaskan ketegangan yang muncul di setiap bagian tubuh telanjangnya.

Tangan dingin Bima bergerak menelusuri lengannya, turun hingga ke telapak tangan sebelum kembali naik ke pundak dan berpindah halus ke punggung Shavia. Gadis itu kembali tersentak, namun tidak sehebat saat pertama kali tangan dingin itu menyentuhnya.

Tanpa sepatah katapun, tangan dingin Bima menelusuri punggung sang gadis, memberikan sebuah rasa geli yang janggal. Shavia merasa sedikit relaks, usapan di punggungnya menimbulkan kenyamanan yang tidak bisa dilukiskannya. Tangan itu bergerak menyusuri lekuk pinggulnya sebelum melingkar ke bagian perut gadis manis tersebut. Jantung Shavia kembali berdegup kala tangan dingin itu bergerak naik dari perutnya, merayap ke bagian bawah buah dadanya.

“Nghh…”

Sebuah erangan kecil terlepas dari bibir sang gadis, kala tangan dingin itu menyentuh bagian bawah buah dadanya. Tidak berhenti di situ, Bima terus bergerak ke atas, menyusuri dua tonjolan yang membusung padat dan indah, melewati aerola dan putting sang gadis. Degup jantung sang gadis semakin kencang, ada rasa yang seolah menggerogotinya. Ia tidak hanya merasakan dingin dan nyaman kala tangan dingin itu menangkup buah dadanya melainkan juga kenikmatan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan. Tubuh Shavia bergetar, bergetar atas rangsangan yang tak terbantahkan.

Bima tak bermain lama di buah dada gadis itu. Tangannya kembali bergerak turun menyusuri perut dan menyamping ke pinggul sang gadis. Lalu dengan satu usapan lembut turun ke pantat bulat gadis itu. Shavia tidak lagi bisa menghentikan getaran tubuhnya, sesekali ia mengerang lirih, mengerangkan rangsangan berat yang kini melandanya. Tangan bima kembali menyamping, mengusap bagian samping paha gadis itu, turun ke lutut sebelum kembali merayap naik dan dalam satu gerakan lembut, ia merayap masuk ke paha bagian dalam Shavia.

Mendadak Shavia kehilangan keseimbangannya, tubuh telanjangnya jatuh dan bersandar ke Bima yang rupanya berdiri tepat di belakangnya. Setiap usapan tangan dingin Bima membuatnya mendesah, tanpa ia sadari, kedua pahanya semakin membuka, seolah memberi akses pada tangan dingin Bima untuk menjamah bagian terintim dari tubuhnya.

Dan Bima menyambut reaksi alamiah Shavia dengan satu gerakan ke bagian kewanitaannya. Membuat desahan Shavia menjadi jeritan kecil. Tubuh telanjangnya yang tersandar ke badan Bima bergetar hebat, ia dapat merasakan letupan orgasme dalam tubuhnya, diikuti cairan yang seolah tak terkendali, keluar merembes deras ke bibir kewanitaannya.

Bima masih tak bereaksi, tidak ada suara apapun yang keluar dari pria tersebut. Meski dalam rengkuhannya seorang gadis manis telanjang mencapai orgasmenya. Dengan tenang Bima memberi isyarat pada Joe untuk maju membantunya. Kini tubuh telanjang Shavia bersandar pada Joe sementara Bima kembali meneruskan gerakan tangannya, menyusuri bagian depan paha sang gadis dan terus turun hingga ke mata kaki. Joe sendiri hanya diam memandang tubuh telanjang sahabatnya yang kini tersandar lemas ke tubuhnya, Shavia masih mengatur nafasnya. Joe sendiri mati-matian menahan penisnya yang menegang keras di dalam celananya.

Bima menyelesaikan tugasnya tanpa banyak komentar. Ia memberi isyarat pada Joe untuk membaringkan Shavia yang kini terlelap ke atas sofa. Joe menangkap maksud Bima dan mengangkat tubuh telanjang sahabatnya lalu membaringkanya ke atas sofa.

“Sudah selesai,” ujar Bima, masih dengan ketenangan misteriusnya. “Setelah Shavia terbangun dan mengenakan pakaian maka tidak ada yang bisa melepas pakaian itu kecuali Shavia sendiri.”

Joe diam. Duduk tidak jauh dari Shavia yang masih telanjang bulat.

“Kau bisa menggunakan kamar mandiku jika ingin melepaskan ereksimu,” timpal Bima melihat keadaan Joe yang tampaknya tengah terangsang berat. “Atau kau bisa menidurinya, ia takkan bangun meski kau menidurinya dan ia juga tak akan sadar. Aku akan tutup mulut.”

“Aku baik-baik saja,” jawab Joe sembari beranjak ke jendela dan memandang ke halaman depan rumah tinggal Bima. Bima tersenyum.

*_*_*
“Apa mantra pelindung ini benar-benar bekerja?” Shavia bertanya sembari mengancingkan kembali kemejanya. Hari sudah menjelang malam kala ia terbangun dan menemukan dirinya tanpa busana. Gadis itu sempat panik karena tidak menemukan siapapun di dekatnya. Namun beberapa menit kemudian Joe dan Bima kembali setelah mengambil buku ritual peninggalan Nenek Joe.

“Kita coba saja,” Jawab Bima tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku ritual tua tersebut. “Joe, coba kau buka pakaian Shavia.”

Tanpa diminta dua kali, Joe beranjak menuju Shavia dan mencoba membuka kancing kemeja yang dikenakan gadis itu. Dia meleset beberapa kali.

“Gunakan kekerasan, Joe.” Perintah Bima. Joe mencengkeram kuat-kuat leher kemeja Shavia dan mencoba merobeknya. Gagal, kemeja itu tetap utuh membungkus tubuh Shavia.

“Yup! Mantra itu berhasil,” ujar Bima kemudian. “Selama kau tidak melepas pakaianmu sendiri, tidak akan ada yang bisa menyetubuhimu.”

“Baiklah,” Shavia mengangguk. “Kalian dapat sesuatu?”

“Ada beberapa syarat mutlak dalam setunggalatus pati,” Joe angkat bicara. “Salah satunya adalah selisih usia antara pelaku ritual dan korbannya tidak boleh lebih dari dua tahun.”

“Jadi kami memeriksa data gadis yang hilang. Yang termuda berusia dua puluh tahun dan yang tertua dua puluh empat tahun,” Bima menambahkan. “Artinya, pelaku berusia diantara itu.”

“Dua puluh dua tahun,” Shavia menarik kesimpulan. “Dia seumuran denganku.”

“Ya,” Joe membenarkan kesimpulan Shavia. “Itu akan sedikit membantu kita untuk berhati-hati.”

“Sebelum itu, Shavia,” Bima meletakkan buku ritual tua yang tadi dibacanya. “Sebaiknya kau mengisi perutmu. Kau hampir seharian di sini dan tidak makan apapun.”

“Aku baik-baik saja,” tukas Shavia. “Aku tidak bisa sembarangan dalam hal makanan.”

“Dia diet ketat,” Joe memperjelas. “Hanya makan makanan rendah kalori yang ia timbun di apartemennya.”

“Hmm… di sini tidak ada makanan seperti itu.”

“Begini saja, bagaimana kalau kita lanjutkan besok?” Shavia memberi usulan. “Aku merasa lelah dan butuh istirahat. Lagipula ini sudah mulai malam.”

“Ide yang bagus,” Joe setuju. “Aku juga masih ada beberapa urusan malam ini. Kita lanjutkan saja besok.”

“Jadi besok kalian akan kembali kemari?” Bima bertanya.

“Bagaimana kalau besok kita ke rumah nenekku?” Joe mengajukan usul. “Di sana ada banyak barang antik, mungkin kita bisa menemukan petunjuk lain, semacam cara mendeteksi pelaku ritual mungkin.”

“Atau kita bisa menemukan pusaka yang berguna,” timpal Bima. “Kurasa itu ide yang bagus.”

“Aku akan menjemputmu besok, Shavia, kau masih ingat jalan ke rumah Nenekku tadi Bima?” tanya Joe yang dijawab dengan anggukan Bima.


“Baiklah,” Shavia mengangguk setuju. “Aku pamit dulu, terima kasih untuk hari ini, Bima.”

“Sama-sama, Shavia.”

*_*_*

 
Terakhir diubah:
Bima memarkir mobilnya di depan sebuah rumah tua bergaya belanda kuno dengan jendela-jendela berukuran besar di dindingnya. Rumah itu berada di tengah-tengah lahan yang cukup luas yang ditanami beraneka jenis pohon besar, Beringin, jati dan mahoni dan beberapa tanaman berukuran besar memberi kesan rumah itu berada di tengah-tengah hutan.

“Nenekmu punya selera yang eksentrik,” komentar Bima saat ia melihat Joe membuka pintu rumah. “Kaya dan eksentrik,” tambahnya. “Aku benar-benar merasa ada di tengah hutan yang jauh dari peradaban.”

“Semasa hidupnya beliau memang suka menyendiri,” ujar Joe sembari tertawa. “Dan fanatik terhadap hal-hal mistis. Bahkan barang-barang mistis. Harusnya kemarin aku menyuruhmu ikut masuk ke dalam.”

“Sepertinya Nenekmu punya hidup yang menarik.” Bima mengikuti Joe masuk ke dalam rumah. Rumah itu memiliki langit-langit yang tinggi, ruangan yang luas penuh dengan rak-rak kayu berisi buku tua dan barang-barang tua berbahan kuningan. “Wow,” Bima tampak takjub.

“Lebih hebat dari museum, kan?” kelakar Joe.

“Dimana Shavia? Kau tidak menjemputnya?”

“Dia bilang dia akan datang sendiri setelah mengantarkan cetakan naskahnya ke penerbit.” Joe membuka lemari es yang mungkin jadi satu-satunya barang modern di rumah tersebut. “Soda? Bir?”

“Soda saja,” jawab Bima. “Aku tidak bersahabat dengan alkohol.”

“Ngomong-ngomong, aku menemukan buku ritual lain di basement,” Joe melempar sekaleng soda yang dengan tangkas diterima oleh Bima.

Basement?” Bima membuka sedikit kaleng soda di tangannya, kaleng itu berdesis pelan. “Tempat ini punya basement?”

“Semacam gudang besar penuh barang antik yang tidak terbuat dari kuningan. Aku menemukan buku tua itu juga di basement. Kemarilah.” Joe memberi isyarat pada Bima untuk mengikutinya.

Bima mengikuti Joe, memasuki sebuah ruangan yang berfungsi sebagai dapur. Ada tungku batu berukuran besar di salah satu sudut ruangan. Joe membawa Bima ke sudut ruangan lain, ke sebuah pintu kayu tua yang dilapisi pernis mengkilat. Saat Joe membuka pintu tersebut, Bima dapat melihat anak tangga berbahan batu. Joe mempersilahkan Bima untuk melihat lebih dekat. Bima maju melangkah.

“Oke, Fix,” ujar Bima. “Nenekmu punya hidup yang penuh petualangan.”

“Tunggu sampai kau melihat ke dalam ruangan.”

Joe menuruni tangga batu yang mengantar mereka ke ruangan bawah tanah. Bima mengikuti tepat di belakangnya. Ruang bawah tanah itu cukup luas, sama luasnya dengan ruang tamu rumah tinggal Bima. Ada tujuh peti kayu berukuran besar di tepi ruangan tersebut.

“Nenekku menyimpan hampir semua barang serunya di dalam peti-peti tersebut.”

DING! DONG!

Dering bel pintu yang terdengar cukup kuno mengalihkan perhatian mereka berdua.

“Kurasa itu Shavia,” ujar Joe. “Kau tunggulah di sini,” tambahnya sembari meninggalkan Bima sendiri di ruangan bawah tanah.

Selagi Joe membukakan pintu untuk Shavia, Bima memandang sekeliling. Ruang bawah tanah tersebut hanya diterangi oleh dua lampu remang-remang. Satu-satunya lubang hawa ruangan berasal dari exhaust yang menempel di dekat tangga masuk ruangan. Minimnya sirkulasi udara membuat ruangan itu terasa lembab. Bima melangkah mendekati salah satu dari tujuh peti di sisi ruangan dan membuka tutup peti tersebut. Barang-barang antik tua seperti keris, meja lampu, beberapa liontin tampak berserakan di dalam peti tersebut. Bima mengambil barang tersebut satu persatu, seolah sedang mencari sesuatu.

DUAGG!!

Suara debuman keras mengejutkan Bima. Suara itu diikuti bunyi berkelontang yang biasanya dihasilkan oleh jatuhnya barang-barang berbahan logam. Suara itu berasal dari luar ruang bawah tanah.

“Joe?” panggilnya setengah berteriak. “Kau baik-baik saja?”

Tidak ada jawaban. Bima menaiki tangga batu bergegas ke luar ruangan untuk melihat keadaan Joe. Tidak ada siapapun di dapur.

“Joe?!” Bima terus memanggil sembari berjalan menuju pintu utama di ruang tengah. Sama seperti di dapur, ia tidak menemukan siapapun kecuali beberapa cawan berbahan kuningan yang tergeletak di lantai. Sepertinya cawan-cawan itulah sumber bunyi kelontangan yang tadi didengarnya.

Dan Bima terlambat bereaksi kala ia merasa seseorang menatapnya dari belakang. Pria itu berusaha berbalik secepat yang ia bisa namun kalah cepat dengan terdengarnya suara letupan senjata.

Dan sebutir peluru menembus kepalanya.

*_*_*​

Mobil yang dikemudikan Shavia berhenti parkir tepat di samping mobil milik Bima. Gadis manis itu masih sempat merapikan rambutnya sebelum bergegas turun. Ia sedikit terkejut saat menemukan pintu depan rumah peninggalan Nenek Joe terbuka cukup lebar.

“Joe?” ujarnya ragu-ragu. Dia mengenal sahabatnya sebagai sosok yang cukup rapi dan teliti. Kecil kemungkinan Joe berlaku ceroboh dengan membiarkan pintu depan terbuka. “Joe? Bima?” panggil gadis itu lagi sebelum memutuskan masuk ke dalam rumah tua tersebut dengan perlahan dan hati-hati. Ini memang bukan pertama kalinya Shavia datang ke rumah peninggalan Nenek Joe. Ia sempat beberapa kali kemari bersama Joe.

“Aah!!” Shavia berteriak kaget saat ia mendapati Bima yang tersungkur berdarah di lantai, tidak jauh dari cawan-cawan berbahan kuningan yang berserakan di lantai. Mendadak gadis itu menyadari adanya bahaya, ia berbalik dan berlari ke arah mobilnya. Membuka pintu mobil, masuk dan mulai menyalakan mesin mobil.

KRIIING… KRIIING….

Ponselnya berdering, membuatnya terkejut. Shavia melihat nama JOE sebagai pemanggil.

“Joe? Joe?” Shavia memanggil Joe dengan nada yang penuh kepanikan. Tidak ada jawaban dari seberang, panggilan tiba-tiba saja diputuskan. Shavia sudah hendak memacu mundur mobilnya ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Masuklah ke ruang bawah tanah. Jika ingin sahabatmu selamat.

Isi pesan itu membuat Shavia bergidik. Ia tahu bahaya menunggunya di sana. Tapi siapapun itu, bisa saja dia mendatanginya dan menyeret paksa dirinya. Bisa saja saat ini pelaku sedang mengamatinya dari luar rumah, mungkin dari belakang mobilnya. Shavia menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada siapapun di belakang mobilnya. Sebuah pesan kembali masuk.

Kau benar-benar ingin sahabatmu mati? Ke ruang bawah tanah. SEKARANG!!

Shavia mematikan mesin mobilnya. Ia tidak bisa meninggalkan sahabatnya begitu saja meski ia tahu itu sama saja dengan masuk ke kandang macan. Gadis itu membuka dashboard mobilnya dan mencari benda apapun yang bisa ia gunakan sebagai senjata, gadis itu menemukan sebuah obeng panjang. Ia menyelipkan obeng tersebut di saku belakang celananya. Shavia bukan gadis bodoh, sebagai langkah antisipasi, ia menghubungi nomor darurat kepolisian. Setelah memberikan alamat kepada pihak berwenang barulah gadis itu turun dari mobilnya dan melenggang ke ruang bawah tanah.

Kala ia sampai di anak tangga batu terakhir, ia terkejut melihat Joe yang terikat di kursi, tepat di tengah ruangan. Mata Joe tertutup kain, begitupula dengan mulutnya. Tangannya tampak terikat ke belakang.

“Joe!” Shavia bergegas mendekati Joe untuk melepaskan tali tambang yang mengikat sahabatnya itu.

“Selangkah lagi dan dia mati!”

Sebuah suara terdengar, suara itu memiliki nada yang janggal, tidak seperti suara manusia pada umumnya. Suara itu sedikit cempreng dan lirih, seolah ada yang mencekik leher pemilik suara. Shavia menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mencoba menemukan sang pemilik suara, namun nihil. Tidak satu sosokpun terlihat selain dirinya dan sahabatnya yang terikat.

“Tutup pintu di belakangmu!”

Suara itu kembali memberikan instruksi. Shavia memutar otak, rasanya ia mengenali suara tersebut. Gadis manis itu berbalik dan menutup pintu. Mengikuti instruksi adalah pilihan yang terbaik baginya, ia sudah memutuskan untuk masuk ke dalam jebakan dan ia tak ingin ada kerugian tambahan yang terjadi.

“Siapa kau?” Shavia memberanikan diri untuk bertanya meski ia gagal menyembunyikan getar ketakutan di nada suaranya.

“Tidak penting,” jawab suara tersebut. “Buka pakaianmu!”

Gadis itu diam. Mantra pelindung adalah satu-satunya pelindung yang ia miliki saat ini. Bima telah tewas, Joe terikat. Dan siapapun sosok yang kini mengancamnya tidak akan bisa membuka pakaian yang ia kenakan. Ia telah memanggil polisi, jadi yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah mengulur waktu sebisanya.

“Tunjukkan dirimu!” gadis itu memutuskan untuk menunjukkan sedikit perlawanan.

“Jawaban yang salah.”

Tiba-tiba tubuh Joe yang terikat terkejang-kejang, seluruh tubuhnya bergerak seolah merasakan sakit yang amat sangat. Sepertinya Joe menjerit, namun jeritannya tertahan oleh sumpalan kain di mulutnya. Melihat apa yang terjadi pada sahabatnya membuat dara manis itu kembali didera kepanikan. Tidak lama kemudian, Joe kembali diam tak bergerak.

“J..Joe?”

“Dia masih hidup,” suara itu kembali terdengar. Tapi jika kau tidak segera membuka pakaianmu…”

“Aku mengerti,” Gadis itu menyerah. Ia meraih kancing kemejanya dan melepas satu persatu kancing tersebut dalam gerakan yang sengaja dilambat-lambatkan. Gadis itu masih berusaha mengulur waktu sampai bantuan dari pihak berwenang sampai.

“CEPAT!!”

Bentakan suara itu mengejutkan Shavia. Spontan Shavia mempercepat gerakannya. Gadis manis itu melepaskan kemejanya dengan terburu-buru mengabaikan obeng, salah satu senjata yang ia siapkan, terjatuh ke lantai. Gerakannya makin cepat kala ia melihat Joe kembali terkejang-kejang di hadapannya. Tubuh Joe berhenti bergerak saat seluruh pakaian yang menutupi tubuhnya telah tanggal. Mantra pelindung yang jadi jaminan keamanan satu-satunya telah runtuh.

“Bagus,” ujar suara misterius tersebut.

“Lepaskan Joe,” Shavia mencoba menemukan cara lain untuk menjamin keselamatannya. Setidaknya, jika Joe bebas, ia dapat membantu Shavia menghadapi siapapun pemilik suara misterius tersebut. “Joe tidak ada hubungannya dengan semua ini!”

“Baik, kau lepas saja ikatannya,” di luar perkiraan, suara misterius itu justru mengabulkan permintaan Shavia.

Tanpa membuang kesempatan, Shavia bergegas melangkah ke arah tangan Joe yang tampak terikat di belakang kursi. Dengan cepat tangan gadis itu meraih tali tambang yang mengikat tangan sahabatnya. Dan saat itulah ia menemukan bahwa tambang tersebut hanya melilit longgar di pergelangan tangan Joe. Joe tidak terikat sama sekali. Saat itu pula ia menyadari bahwa suara misterius tersebut sama dengan suara yang pernah ia dengar di hari ulang tahunnya. Ventriloquist yang pernah dilakukan oleh Joe. Shavia terlambat bereaksi, tangan Joe mencengkeram pergelangan tangannya.

Shavia menarik tangannya, berusaha lepas dari cengkeraman Joe. Namun tenaga Joe jauh lebih kuat darinya. Dengan sigap Joe berdiri dan berbalik, mendorong tubuh telanjang Shavia hingga terjatuh ke lantai lembab. Shavia memberi perlawanan dengan meluncurkan tendangan ke arah perut sahabatnya. Berhasil, tendangan itu telak mengenai Joe dan membuat pria itu terhuyung ke belakang. Gadis itu berusaha bangkit dan lari ke arah pintu secepat yang ia bisa. Namun langkahnya terhenti kala Joe yang telah pulih menerjangnya jatuh. Tubuh telanjang gadis itu meronta, namun tak banyak yang bisa ia lakukan lantaran tubuhnya kini tertindih oleh Joe.

“Kena kau!” ujar Joe sembari menindih rapat-rapat tubuh telanjang Shavia. Shavia masih memberikan perlawanan, mengayunkan kedua tangannya dengan membabi buta. Perlawanan itu berhenti kala Joe berhasil menangkap tangan Shavia dan mendorong kedua tangan itu ke atas kepala sang gadis. Joe lantas menahan kedua tangan tersebut dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mulai membuka celana dan mengeluarkan batang kejantannya yang telah mengeras.

“Jangan! Joe! Aku sahabatmu!” Pinta Shavia mengiba.

“Ini tujuanku sejak awal, Shavia. Aku menginginkan keabadian dan untuk itu aku memerlukan kepercayaanmu.”

Shavia terus menggeleng, berusaha meronta kala ia merasakan gesekan dari sesuatu yang tumpul dan hangat di kewanitaannya. Ia berusaha merapatkan kedua kakinya, namun terhalang oleh kaki Joe yang berada di antara kakinya. Joe menggerakkan kakinya, membuka paha gadis manis bertubuh indah yang tak lama lagi akan ia nikmati.

“Tidaakkk!!” Jerit Shavia kala batang kejantanan Joe mulai menyeruak masuk ke dalam tubuhnya. Badannya terlonjak ke atas saat Joe memasukkan penisnya dengan kuat dan kasar. Gadis itu merasakan perih yang berbaur dengan perasaan geli ketika dinding-dinding kewanitaannya yang sensitif tergesek oleh kulit hangat dan keras milik sahabat yang kini memperkosanya. Bulir air mata keluar dari mata indah gadis itu.

Sang pejantan melenguh, setelah berhasil memasukkan seluruh batangnya ke liang Shavia. “Ouhh, enak,” gumamnya dalam ekspresi kenikmatan. “Punyamu sempit sekali, Shavia,” tambahnya diiringi senyuman sinis.

Shavia tak lagi dapat melakukan apa-apa, ia masih meronta, mencoba melawan Joe yang kini memompa liang surgawinya. Tubuh Joe yang menindih rapat tubuhnya membuat rontaannya tak berarti apapun. Rontaan demi rontaan malah semakin membuat energinya terkuras, sedang di lain pihak, setiap rontaan Shavia justru memberi kenikmatan lebih, seakan gadis itu membalas gerakan pinggul Joe.

Hingga akhirnya tenaga sang gadis itu benar-benar terkuras. Rontaannya melemah sebelum benar-benar berhenti. Shavia kini memejamkan matanya pasrah, Tubuhnya bergoyang-goyang lemah seiring pompaan Joe pada kelaminnya. Ia tak lagi dapat melawan, semakin ia melawan rangsangan pada setiap titik sensitifnya yang tergesek terus menerus, semakin ia merasa tak berdaya. Air mata gadis itu terus mengalir, batinnya hancur. Pria yang dipercaya olehnya, yang dianggapnya sebagai sahabat terbaiknya kini menikmati tubuhnya secara paksa. Memuaskan nafsu birahi dengan tubuhnya. Terus memompa dan memberi rangsangan kenikmatan yang tidak dapat ia tolak. Tubuhnya terangsang, gerakan batang kejantanan Joe semakin mudah karena pelumas alami yang semakin banyak. Namun batin sang gadis remuk redam. Shavia sama sekali tak menikmati persetubuhan sepihak ini.

Tidak ada perlawanan lagi kala Joe menarik lepas penisnya dan dengan mudahnya membalik tubuh indah Shavia. Joe menarik pinggul Shavia terangkat ke belakang, memaksa Shavia bertumpu pada lutut dan sikunya. Gadis itu sedikit mengerang saat tubuhnya kembali dimasuki, kali ini dari arah belakang. Joe mempercepat pompaannya. Membuat buah dada kencang gadis itu berayun makin kuat. Membuat Shavia tak bisa menahan desahan yang keluar dari bibirnya. Bukan desahan kenikmatan, namun desahan yang keluar begitu saja akibat gesekan kuat dan kencang pada dinding-dinging kewanitaanya.

Gerakan pinggul Joe semakin kencang tak beraturan. Membuat tubuh Shavia terhentak-hentak. Beberapa kali kepala gadis itu terhantuk kerasnya lantai. Namun gadis itu tak lagi peduli, ia larut dalam kehancuran batinnya sendiri. Ia hanya ingin ini semua cepat berakhir. Ia bahkan tak lagi peduli manakala Joe melesakkan penisnya dalam-dalam dengan satu hentakan kuat diikuti semburan demi semburan hangat memenuhi rahim Shavia. Joe menyelesaikan ritual Setunggalatus Pati-nya tanpa perlawanan yang berarti.

Setelah semprotan terakhir. Joe mengatur nafasnya, menarik lepas penisnya dan membiarkan tubuh telanjang Shavia tergolek ke samping. Ia masih belum selesai mengatur nafasnya kalah rasa sesak mendadak memenuhi dadanya.

“AAARGH!!”

Joe mengerang hebat, menekan dadanya yang terasa sesak dengan kedua tangan. Nafasnya tersengal, seakan ia tenggelam di lautan yang sangat dalam tanpa mampu bernafas sedikitpun. Jeritan pria itu seakan mengembalikan kesadaran Shavia. Meski seluruh tubuhnya masih terasa lemas, gadis itu berusaha bangkit. Joe masih menjerit kesakitan sebelum tiba-tiba tersungkur dan diam.

Shavia memandang ngeri ke arah sahabatnya. Gadis itu masih berusaha bangkit, ia terkejut saat Joe tiba-tiba bangkit seolah tak terjadi apa-apa.

“Aku berhasil!!” sorak Joe, suara lantangnya menggelegar di seisi ruang bawah tanah yang tertutup itu. Seringai jahat terpapar di wajahnya ketika ia memandang tajam ke arah Shavia. Ia lalu beranjak mendekati Shavia yang masih terseok-seok bangkit. Joe menghambur ke arahnya.

Shavia terkejut kala tangannya menyentuh sesuatu yang keras, kecil dan panjang. Ia menoleh dan menemukan obengnya. Dengan cepat Shavia meraih obeng tersebut dan tanpa ragu menghujamkan obeng itu ke arah Joe.

JLEBB!!

Obeng panjang tersebut menancap di perut Joe, membuat pria itu terhuyung-huyung mundur. Ekspresi wajah pria itu menggambarkan rasa sakit yang sangat. Joe menggenggam gagang obeng tersebut dan menariknya lepas. Darah merembes pada kaos yang dikenakannya, ia memegangi lukanya, dan secara mengejutkan, luka itu menutup dengan sendirinya.

“AKU BERHASIL!!” Serunya dengan nada penuh kepuasan. “LIHAT! SHAVIA!!” ia memandang menyeringai ke arah Shavia. “AKU ABADI!!”

Shavia bergidik ngeri, apa yang ada di hadapannya kini bukan lagi sahabatnya, melainkan seorang psikopat gila yang bukan lagi manusia. Shavia berhasil bangkit dan lari ke arah pintu. Namun ia belum sempat membuka pintu ketika Joe bergerak cepat dan mengayunkan obeng di tangannya ke arah lehernya.

“STOP!!”

Shavia berteriak spontan di tengah kepanikan dan ketakutannya. Matanya terpejam erat, menunggu detik-detik obeng menghujam dirinya. Namun tak ada yang terjadi, tak ada rasa sakit, tak ada tusukan ke tubuhnya. Gadis itu membuka mata dan mendapati Joe tepat di hadapannya, tangan kanannya terangkat, memegang obeng yang siap ditusukkan pada Shavia. Namun ia berhenti mematung, seolah waktu terhenti.

Dan Shavia tak mau membuang waktu, ia menepis kebingungan akan apa yang terjadi. Gadis itu membuka pintu ruang bawah tanah dan menghambur menaiki tangga batu. Lari tergopoh-gopoh ke arah pintu utama, mengabaikan fakta bahwa saat ini tubuhnya telanjang bulat tak tertutup sehelai benangpun. Hanya satu kata yang saat ini ada dalam benak dan pikiran gadis tersebut ; LARI!

Gadis tanpa busana itu menghambur ke pintu utama, memutar gagang pintu dan membukanya. Dan langkahnya terhenti ketika ia menemukan seorang laki-laki berbadan tinggi, berkacamata tanpa bingkai, dengan rambut ikal panjang menghadangnya di balik pintu.

“Wow, What a nice body,” pria itu menyeringai mengomentari tubuh telanjang Shavia. Shavia tercekat tak mampu berkata ataupun bergerak saat pria itu memandang matanya.

“Namaku Virgo,” ujar pria itu kemudian.

*_*_*​

Joe masih mematung di ruang bawah tanah Neneknya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mengapa tangan dan kakinya tak mampu bergerak, mengapa lidahnya kaku hingga tak satupun suara keluar dari mulutnya. Pelan namun pasti, ia mendengar derap langkah menuruni tangga batu. Pria itu tak sanggup menyembunyikan rasa terkejutnya saat tahu siapa yang datang memasuki ruang bawah tanah.

“Sangat disayangkan apa yang tertulis dalam buku tentang Setunggalatus Pati kurang lengkap,” Bima melangkah mendekati Joe sembari tersenyum.

“Di dunia ini tidak ada yang gratis, Joe,” Bima mengulurkan tangannya, mengambil paksa obeng di tangan kanan Joe. “Sebenarnya kau tidak perlu membunuh. Cukup dengan memasukkan spermamu ke dalam tubuh sembilan puluh sembilan wanita dan satu darah istimewa saja.”

Bima menarik kursi yang ada di tengah ruangan ke hadapan Joe lalu duduk di atasnya.

“Tapi jika kau tidak membunuh mereka, sebagai gantinya kau akan menjadi budak para wanita itu. Kau akan memiliki kepatuhan yang nyata kepada mereka. Langkahmu membunuh sembilan puluh sembilan wanita itu sudah benar. Satu-satunya kesalahanmu adalah Shavia. Shavia berkata STOP dan tubuhmu mematuhinya,” Bima memutar-mutar obeng di tangannya, memainkannya.

“Seharusnya kau membunuh Shavia terlebih dulu, lalu menyetubuhinya dan menumpahkan spermamu ke dalam tubuhnya selagi ia masih hangat,” Bima beranjak dari kursinya. Berdiri sangat dekat di hadapan Joe.

“Itu yang kulakukan pada gadis ke seratusku,” ujar Bima disertai satu tusukan ke leher Joe.

T A M A T
========================
==================
============
=====
===
=
Darah merah segar memancar bercipratan dari tenggorokan Joe dimana sebuah obeng menancap dalam, merobek nadi lehernya. Bima memandang dingin ke arah Joe yang sedikit menggelepar kesakitan, mengabaikan cipratan-cipratan darah yang menodai pakaiannya. Tidak lama setelah itu, terdengar langkah menuruni tangga batu. Bima tidak perlu menoleh untuk melihat siapa pemilik langkah tersebut. Pria tinggi berambut panjang ikal, dengan seringai menyebalkan di wajahnya, Virgo, melangkah masuk ke ruang bawah tanah.

"Kau tahu itu takkan membunuhnya kan? Pisces?" Virgo membuka pembicaraan sembari melangkah untuk melihat sosok Joe lebih dekat.

"Tapi memberinya rasa sakit yang amat sangat," jawab Bima tanpa ekspresi. "Sepertinya kau menepati janjimu, Virgo."

"Well... Aku masih hidup," Virgo merentangkan tangannya sebagai ekspresi yang menyatakan bahwa dia baik-baik saja. "Tidak perlu khawatir, gadismu baik-baik saja. Dia bukan gadis yang bodoh, apa kau tahu kalau gadismu memanggil sepasukan polisi kemari? Dia membuatku sedikit kewalahan harus memanipulasi orang sebanyak itu sekaligus."

Bima tersenyum. Hanya tersenyum mendengar cerita Virgo.

"Ospiuchus," Virgo menatap ke arah Joe. "Sayang kehadiranmu adalah ancaman bagi kami."

Virgo mengeluarkan sebilah pisau kecil panjang dari saku pinggangnya. Mata pisau itu berwarna merah tua kecoklatan, terbuat dari tembikar.

"Kau atau aku?" Tanya Virgo seraya menyodorkan pisau tersebut ke arah Bima.

"Biar kulakukan."

Bima mengambil pisau tersebut dari tangan Virgo. Dan tanpa ragu menusukkan pisau tersebut tepat ke jantung Joe. Dalam satu tusukan pasti yang kuat. Pisau itu menembus jantung Joe, ia menggelepar beberapa saat sebelum kulitnya berubah memucat lalu menyusut. Menyisakan tulang terbungkus kulit tanpa daging.

"Well done!" Virgo bertepuk tangan.

*_*_*​
 
Terakhir diubah:
reserved. entah untuk apa.
 
Anjir unexpected ini ahahaha

Thx sudah mampir. Maaf seadanya ya...

Kereennnn….!!!!

Thx udh dibaca. Sorry kalau kurang memuaskan.

Asyik.... Alur cerita yg bikin Endingnya gak disangka2

Alurnya lurus gak belok-belok loh. Wkwkk

Gila..., gue kira virgo tokoh antagonisnya

Aq juga tadinya ngira gitu eh...

sang master turun gunung hihihihihi mantap suhu

Kapan aq naik gunungnya yah? Kok sudah turun??
 
Wah keren nih trik buat mengalihkan pembaca buat mikir pelakunya siapa.
Bisa dicontek hahaha.

Overall ceritanya cadas banget Hu!
 
Wanjir...

Twistnya keren.
Dan arhhhh dilarang Spoiler.


Thanks bang enyas, sudah berhasil memposting ceritanya di LKTCP kali ini.

Thanks sudah diberi kesempatan. Seadanya yaa..

Wah keren nih trik buat mengalihkan pembaca buat mikir pelakunya siapa.
Bisa dicontek hahaha.

Overall ceritanya cadas banget Hu!

Hahaha masih banyak yang lebih layak untuk ditiru kok.

Alur twistnya mantap

Alurnya maju Tok masbrooo

Izin pasang dam dulu disini kakak :)


:baca:

Huss huss... Tidak menerima pengguna tenda. Wkwkwk
 
berharap dibikin cerbungnya, dari nama2 tokoh laki2nya (virgo dan pisces) berarti masi ada 10 lg yg blum tereskpos ( klo ga salah dan ga sok tahu) hehehehe
 
Aku pengen bikin diskotik disini tp ga punya modal
:benjol:
 
Benar ! tanpa ilustrasi pun,ceritanya mantap....
Terima kasih sudah menghibur ,Suhu
 
virgo opo pisces ?
 
Bimabet
Akhirnya bisa menikmati coretan om @Enyas setelah sekian lama.
Kandidat juara nih ceritanya.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd