Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

superkudit

Adik Semprot
Lomba Cerpan
Daftar
5 Jul 2018
Post
149
Like diterima
46
Bimabet
dcdwE9R.jpg



uh5gDYI.png

Percikan air laut membasahi sweater hitamku saat turun dari kapal motor yang kami tumpangi. Suasana pantai yang damai sedikit mengobati lelah dan duka kami. Lima tahun setelah lulus SMA, setelah semua anak-anak remaja itu tumbuh dewasa dan mulai belajar akan kenyataan dunia, kami mendapat kabar bahwa Bu Rasti, wali kelas kami tercinta di kelas XII IPA 3 meninggal dunia.

Kabar itu datang melalui sebuah surat dengan kertas hitam, tidak hanya kepadaku, semua teman sekelasku mendapatkannya. Tentu saja kami terkejut dengan berita itu, kelas XII IPA 3, angkatan ke-8 memang kelas yang sangat dekat dengan Bu Rasti, beliau bukan hanya sosok guru cantik yang disegani, cara mengajarnya dalam Biologi pun mudah dimengerti. Tapi lebih dari itu, beliau adalah motivator terbaik kami. Masih segar dalam ingatan kata-kata yang dikatakan Bu Rasti kepadaku ketika aku galau saat ingin mengirimkan naskah ceritaku pada penerbit.

Laila, jangan takut gagal, justru banyak-banyaklah gagal, karena dari sana kamu bisa belajar bagaimana caranya untuk jadi pemenang!”

Itu adalah kalimat yang menjadi motivasiku, tiga tahun ditolak penerbit, belasan naskah kembali ke rumahku, hingga akhirnya dua tahun lalu aku berhasil menerbitkan buku pertama. Novel detektif Lentera Anomali yang kini laris di pasaran, sekarang sedang mengerjakan jilid ketiga.

Jasa-jasa Bu Rasti itulah yang membuat kami sekarang berada di pulau ini, karena pulau kecil yang entah apa namanya ini adalah kampung halaman Bu Rasti, serta tempat dimana beliau akan dimakamkan.

Aku dan enam kawanku lainnya memang baru datang hari ini, ada Jessie yang pakaiannya paling seksi, Sri si kacamata yang dulu pernah menang lomba karya tulis ilmiah, Arman si ketua kelas dan kapten tim basket yang kini bertindak sebagai organizer kami, menyiapkan travel dan segalanya, memang cowok yang bisa diandalkan!

Lalu ada Kribo yang punya banyak kelakar, kudengar dia kini jadi Youtuber yang membuat konten vlog dan video-video lucu walau aku yakin itu hanya alasan saja supaya bisa ngelawak terus-terusan. Lalu ada Bobby, seorang geek di kelas yang selalu baik padaku. Setelah itu ada sahabatku Rana, atlet lari tingkat kabupaten.

“Eh, guys, fotoan yuk!” ajak Kribo seraya mengatur HP dan Tri-Podnya

Jessie menarik tangan Sri ke tepian, membelakangi pemandangan pulau yang asri dan natural. Rana dengan girang mendorong punggungku, padahal dia hapal betul aku alergi dengan kamera.

“E-eh?! Rana!” jeritku pelan, namun dirinya hanya nyengir penuh rasa kemenangan.

Cheese!”

oOOcnbJ.jpg

“Oh, ntar sekalian kirim fotonya ke anak-anak, bilangin kita udah sampe, biar mereka gak pada khawatir!” timpal Arman.

Setelah selesai berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Bu Rasti. Kami menapaki anak tangga di pinggir tebing. Arman bilang kita cukup mengikuti hilir sungai menuju hulu, tak ada kendaraan bermotor di sini sehingga kami terpaksa berjalan kaki. Untunglah ini hanyalah pulau kecil.

Selamat Datang di Desa Gandamayu.

Tanda jalan dari batu terlihat setelah lima belas menit setelah menaiki tangga.

Napasku sudah ngos-ngosan sejak tadi, wajar saja aku sangat jarang berolah raga. Mungkin cuma sebulan sekali itupun hanya jalan-jalan untuk beli bakso di ujung komplek.

“Ma-masih jauh, Ran?” bisikku.

“Udah capek? Mau kugendong? Sini!” goda Rana.

Langsung kucubit Rana, gadis berkulit gelap ini adalah sahabatku, rambut pendek, periang, juara dua lari seratus meter tingkat kabupaten, walau tergolong tomboy dia adalah anak yang manis dan populer di sekolah. Itu karena kepribadiannya yang seperti matahari, selalu bersemangat, ceria dan memiliki kharisma seorang pemimpin. Hanya saja dia punya kebiasaan buruk, cerewet dan sangat suka menjahiliku.

Kami telah bersama semenjak SMP dan dia selalu berdiri di depanku layaknya pahlawan dalam game-game RPG. Ya, dia memang pahlawan bagiku yang hanya gadis suram korban bully. Berkatnya aku yang sudah hampir putus sekolah berhasil menyelesaikan studiku hingga kuliah, berkatnya kehidupan SMA ku tak lagi penuh siksa dan cemoohan. Walau aku seringkali diabaikan, bahkan orang-orang tak mengingat namaku hingga setengah semester. Tapi itu jauh lebih baik daripada menyayat diri di kamar mandi.

Kami beristirahat di sebuah tikungan yang lumayan luas. Bobby yang sudah mandi keringat mengibas-ngibaskan tangannya bak kipas. Jessie dan Sri juga tampak lelah, mereka bersandar ke tembok batu sambil minum air mineral yang dibawanya.

Rana menggembungkan pipinya kearahku, kesal karena dicubit.

“Nih tetek ngerepotin banget!”

Tanpa aba-aba dia menggoyangkan bongkahan daging payudaraku. Saking kagetnya aku hanya mematung. Para cowok malah melongo dengan mulut mangap melihat itu.

“Ck! Kalian ini udah gede masih kayak anak kecil aja!” cibir Sri lalu mengelap kacamatanya.

“Hehe, sori... sori...” balas Rana.

“Asem lah... Lupa ngerekam!” gerutu Kribo.

“Hiiy!” pekikku sambil menutup dada.

“Wah cari masalah nih si Kribo!”

Tentu saja itu membuatnya jadi bulan-bulanan Rana. Aku menjauh dan berjalan ke pagar, melihat indahnya pemandangan pantai di bawah. Rambut panjang yang kukepang satu bergerak tertiup angin laut yang kencang.

“Laila gak berubah ya, masih sama kaya SMA dulu.” gumam Bobby sambil menyodorkan minuman isotonik.

Eh? Apa maksudnya? Itu pujian atau ledekan?

Aku berterimakasih lalu menoleh ke sekeliling. Bobby mungkin benar, aku masih begini-begini saja jika dibandingkan semua orang yg telah berubah. Jessie terlihat seperti wanita dewasa, tubuhnya seksi, pakaiannya juga modis. Walau kelakuannya masih slutty seperti dulu, tapi jelas terlihat dia sudah lebih matang dalam berpikir. Saat di perjalanan, dia bercerita kalau bekerja sebagai foto model sambil menyelesaikan kuliah fashion.

Lalu ada Sri yang walaupun masih seperti papan talenan, tapi dia terlihat lebih kalem, lebih bisa menahan diri untuk tidak berdebat dengan orang lain. Aku tak terlalu yakin, tapi dari aksesoris seperti totebag dan topi yang dibawanya, kurasa dia bekerja di perusahaan IT besar. Mungkin seorang programmer.

Kribo semakin mirip dengan brokoli, dandanannya memberi kesan kebebasan. Arman malah terlihat seperti seorang eksekutif muda sekarang, Rana bilang dia baru balik dari studi di Belanda.

Lalu Rana sahabatku, kalau diingat-ingat dulu dia hanyalah cewek item dekil yang berlarian kesana-kemari. Sekarang gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang aduhai. Masih bertarung dengan skripsinya.

Kulirik Bobby yang senyum-senyum kepadaku.

“Bo-Bobby... Sekarang kerja dimana?” gumamku canggung.

“Eh? Aku buka rumah makan kecil-kecilan... Kalau kamu?”

Hanya senyuman yang bisa kuberikan padanya, malu sekali kalau bilang aku ini hanya pengangguran yang hampir 24 jam waktuku habis di depan laptop, padahal aku hanya bekerja selama dua sampai empat jam. Sisanya hanya menonton video random di youtube atau menulis fanfiction homoseksual. Kalau aku bilang penulis, dia pasti bertanya tentang buku ku, lalu ceritanya, dan banyak lagi pertanyaan yang mungkin cukup memalukan untuk ku jawab.

“A-aku... kerja lepas...” ujarku kehabisan alasan.

Pemuda gemuk itu tersenyum, “Sudah kuduga kamu memang nggak berubah...”

Entah apa maksudnya, aku tak mengerti. Hanya senyuman canggung yang bisa kulemparkan padanya saat ini.

***​

Tiga puluh menit kemudian kami sampai di desa. Sangat unik menurutku, di pulau kecil yang ukurannya kurang lebih hanya lima kilometer ini ada aliran sungai air tawar. Karang yang mengelilingi pulau juga membentuk tembok bukit yang kini ditumbuhi rerumputan hijau jika dilihat dari desa. Mungkin pulau ini sejatinya sebuah gunung dasar laut yang sedikit ujungnya muncul ke permukaan? Tak ada yang tahu, dan sepertinya tak ada yang peduli selain diriku. Kami melewati jalan setapak menuju pemukiman penduduk yang sepertinya terdiri tak lebih dari lima puluh kepala keluarga.

unq2kFi.jpg

“Duh, gak ada sinyal!” keluh Jessie sambil menapaki jalanan kecil.

“Jangan main HP melulu!” sindir Sri, membuat Jessie mendengus kesal.

Tapi keluh kesah Jessie sebenarnya mewakili kekhawatiran semua orang. Hampir serentak kami mengeluarkan smartphone masing-masing dan mengecek sinyal operator seluler. Tak ada sinyal samasekali sini. Padahal di pantai tadi masih ada sedikit, sepertinya bukit-bukit ini menghalangi pancaran gelombang dari menara provider seluler.

“Pantes aja anak-anak gak ada yang bales WA, gak ada sinyal sama sekali!” gumam Rana.

“Trus kita cari rumah Bu Rasti gimana??” timpal Kribo

“Tanya warga lah!”

Sri membalas Kribo dengan nada meremehkan, memang meyebalkan memang tapi dia ada benarnya.

“Sek tak tanyake warga!”

Kribo berjalan ke arah seorang pria untuk menanyakan alamat, tak lama dia kembali dengan senyum puas.

“Ketemu?” Sri menanyakan.

Follow me!” seru cowok keriting itu sombong.

Kami mengikuti Kribo berjalan ke arah pria tadi. Bapak itu menyambut kami dengan ramah, usianya tak terlalu tua, mungkin sekitar tiga puluh tahunan.

“Murid-muridnya Bu Rasti ya? Kemarin teman-temannya juga ke sini ramai-ramai, mari saya antar ke pondok!”

Bapak itu meminta kami mengikutinya, sementara Kribo hanya cengengesan. Selama melewati rumah-rumah warga, aku merasa sangat tidak nyaman. Orang-orang tampaknya sedang sibuk mempersiapkan sebuah festival atau semacamnya. Selagi mereka bekerja, tiap orang yang kulewati menatap kami dengan tatapan tajam, mirip seperti bagaimana Sri melihat orang lain. Aku menunduk, melihat antara ujung dada besarku dan kaki Rana. Sesekali kuperhatikan rumah-rumah dan penduduk desa. Ketika Arman bilang tempatnya ada di desa terpencil aku sudah berpikir kalau di sini akan dipenuhi orang-orang tua, tapi tak satupun lansia terlihat. Yang paling tua mungkin berumur sekitar empat puluh tahunan dilihat dari postur dan wajahnya.

“Mar! Ini murid-muridnya Rasti dateng lagi!”

Bapak itu memanggil seorang wanita yang kurasa seumuran dengan Bu Rasti.

“Dik, kenalkan ini Marni, adiknya Bu Guru Rasti.”

“Oh, kami turut berduka, Mbak...” dengan sigap Arman menyalami Marni.

Satu-persatu kami bersalaman dengan wanita itu, beliau tersenyum sendu lalu mengangguk kepada bapak yang mengatarkan kami. Bapak itu pun pamit, menyerahkan kami kepada Marni.

***​

Akhirnya kami sampai di pondok peristirahatan. Di sebuah rumah yang kayu kokoh beratapkan ijuk. Lokasinya berada tepat di ujung jalan yang membelah desa. Jadi kuasumsikan tempat ini sebenarnya adalah balai desa, atau bangunan serbaguna yang digunakan untuk acara-acara tertentu. Bagian bawah atapnya tak terlalu tinggi, Arman bahkan bisa menyentuh langit-langitnya jika dia melompat.

Ketika kami masuk hanya ada satu ruangan berbentuk seperti aula, cukup luas mungkin ukurannya sama dengan kelas kami saat SMA. Tapi empat itu kosong, perabotanpun tak ada.

“Maaf ya dik, maunya mbak ajak ke rumah, tapi di rumah lagi penuh banyak barang-barang,” Mbak Marni menerangkan

“Rumahnya Bu Rasti yang mana, Mbak?”

Rana bertanya iseng, Mbak Marni tersenyum, lalu menunjuk rumah panggung besar di ujung jalan, berseberangan dengan jarak kurang lebih lima ratus meter dari bangunan ini.

“Itu yang di sana.”

Aku mendongak ke luar, dari tampilannya rumah itu lebih mencolok daripada rumah lainnya. Keluarga Bu Rasti pasti orang penting di kampung ini.

“Maaf Mbak, temen-temen saya yang lain mana ya?” tanya Arman

“Oh, mereka sudah berangkat duluan, dik.”

“Berangkat ke mana?” tanya Sri datar.

“Ke prosesi upacaranya, besok kita ke sana kok.”

Mbak Marni tersenyum ke arah Sri, seorang anak datang membawa nampan berisi ubi rebus dan teh-hangat. Kami pun duduk mengerubungi nampain cemilan itu bersama dengan Mbak Marni.

“Prosesi upacaranya gimana Mbak? Maaf sebelumnya?” Arman penasaran.

“Di sini sebagian besar penduduknya Penghayat Kepercayaan, Dik... Kepercayaan dari jaman leluhur dulu, Gandamayit namanya” terang Marni, “jadi pas ada yang meninggal, orang-orang undangan ikut nari, nanti bakal disiram-siram pake air sungai, nangkep belut, seru kok, apalagi kalo rame-rame”

Jujur aku tak tahu pasti ritual seperti apa yang akan mengiringi pemakaman Bu Rasti, tapi dari cara menjelaskannya, yang terbayang adalah lomba tujuh belasan di komplek perumahanku.

“Wah! Seru nih! Untung kameraku ready!” sahut Kribo bersemangat ketika mendengar penjelasan Mbak Marni.

"Mau direkam?" tanya Rana.

"Iyalah! Kapan lagi liat kalian kalang kabut nangkepin belut?!"

Tentu saja Kribo yang paling bersemangat, pada dasarnya dia memang rajanya bersenang-senang.

“Duh, mana gue lupa bawa baju item lagi!” keluh Jessie.

“Mbak-Mbak, nanti kudu pakai baju item-item gitu atau baju bebas berarti?”

Rana bertanya, karena dirinya juga sebenarnya juga hanya membawa satu set pakaian hitam.

Mbak Marni terdiam, melihat kami satu persatu, dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu tersenyum, “tenang saja, nanti bakal seragam kok...”

Rana dan Jessie menghela napas lega mendengarnya.

Jam kini menunjukan pukul enam sore, Mbak Marni mohon pamit agar kami bisa istirahat, karena malam nanti katanya prosesi adat sudah dimulai. Setelah menyantap beberapa potong ubi rebus, aku menggeser pantatku dan sisa teh di gelasku dari kerumunan menuju pojokan, mengeluarkan laptop kecil dan mulai menulis kelanjutan naskah novel.

Sri membaca novel di pojokan, novel yang ku tulis rupanya! Tapi sepertinya dia tak tahu aku penulisnya. Sementara Rana, Kribo, Jessie dan Bobby bermain kartu sambil mengenang kebaikan-kebaikan Bu Rasti, termasuk masakan yang beliau buat, jajanan yang hampir tiap minggu dibagikan cuma-cuma kepada kami. Aku tak melihat Arman, mungkin jalan-jalan membunuh rasa bosan.

Matahari sudah terbenam sejak tadi, jam di pojok kanan bawah layar laptopku menunjukan setengah delapan malam. Kelopak mataku semakin terasa berat, pusing dan semua teks yang ada di layar terlihat buram. Kulihat Sri sudah tertidur. Rana yang memiliki stamina atlet juga tak kuasa menahan kantuk.

“La, bagi paha... Mau bobok!” ujar Rana manja sambil merangkak ke arahku.

Kulipat laptop dan kusingkirkan dari pangkuanku, sehingga Rana bisa membaringkan kepalanya di pahaku. Kribo juga ambruk dengan posisi yang sepertinya tak nyaman, seperti patung seni avant-garde, begitu juga dengan Jessie.

“Permisi, Laila...”

Bobby berjalan sempoyongan ke sampingku untuk mengambil tasnya namun akhirnya jatuh dalam lelap. Aku masih berusaha melawan, entah kenapa rasa kantuk ini tak terasa natural. Seolah kami dipaksa untuk tidur. Beberapa kali kuangkat kepalaku, namun pada akhirnya aku tak kuasa melawan. Semua cahaya seperti padam begitu saja.

***​

“Uuh...”

“La... Ella, bangun... Tolongin aku...”

Rana mengguncang bahuku, kuangkat kelopak mataku, masih setengah mengantuk berusaha melihat sekitar. Gelap, aku tak bisa melihat apa-apa kecuali bayangan Rana.

“La... Bajuku...” bisiknya.

“Kenapa bajunya Ran?” ujarku ogah-ogahan.

Rasa kantuk langsung hilang 100% ketika Rana menyentuh payudaraku. Jarinya bergerak-gerak di atas puting susuku, tanpa dibatasi oleh kain dari baju yang kukenakan sebelumnya, atau bahkan bra yang menopang gunung kembar ini.

Kudorong Rana karena kaget, kuraba bagian dadaku, terasa kulit yang lebih tebal dari bagian lainnya, lalu kuraba selangkanganku, tekstur kesat seperti rambut dan semakin licin ketika semakin ke bawah. Tak hanya buah dadaku, liang peranakanku juga terekspos tanpa perlindungan apapun. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa aku bugil? Kemana pakaianku? Hanya itu pertanyaan yang terlintas di kepala.

“Kerjaannya Kribo ini pasti!!” bisik Rana marah.

Jika itu benar, maka ini sungguh sebuah lelucon yang jahat! Tanganku menggerayangi lantai untuk mencari kain, seharusnya tak jauh kecuali Kribo membuangnya. Jemari ini berhenti karena menyentuh sesuatu yang... lucu. Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi benda ini lembek sekaligus tidak lembek, kuremas-remas sampai akhirnya benda itu makin keras dan besar.

“Aduh... Aduh!!”

Terdengar suara Bobby mengaduh kesakitan, apa yang kupegang juga seperti bergerak menjauh, menarik tanganku yang masih mencengkramnya.

“Saklarnya mana nih?” seru Kribo, sepertinya sedang mencari saklar lampu.

“Ja-jangan” aku berusaha menjerit tapi suaraku tertahan, ketika lampu sudah dinyalakan secara tiba-tiba.

Di depanku wajahku ada sebuah gelondongan daging besar yang mengacung ke hidungku, ada kantung keriput dipangkalnya yang dipenuhi rambut pendek acak-acakan. Itu adalah sebuah penis, dengan ujung yang terbuka karena telah disunat.

“Eh?”

Bobby menunduk bingung, melotot ke arah payudara jumbo, dengan putting besar berwarna coklat muda yang menggantung di bawah leherku. Sementara aku mendongak ke atas, hingga kami bertatap muka, melongo seperti orang bodoh. Tidak hanya aku dan Bobby. Semuanya terdiam, semuanya telanjang bulat di ruangan itu.

“Hyaaaah!!”

Sri menjerit keras, dia langsung berjongkok, merapatkan kedua kaki dan menutupi dadanya dengan tangan. Diikuti dengan Rana juga Jessie. Boby dengan sigap membalikan badannya, sementara Kribo menonton ketelanjangan kami. Secara refleks pemuda keriting itu mematikan lampu, sebelum kami berteriak lebih keras. Walau ruangan sudah gelap cahaya bulan yang menembus teralis kayu jendela tanpa kaca cukup memberi penerangan untuk melihat apa yang terjadi.

Aku bisa melihat penis milik Bobby dan Kribo perlahan kembali tegang melihat kami. Tentu saja, saat ini ada empat wanita telanjang bersama mereka. Wajar jika keduanya terangsang melihat ini semua.

“Kribo! Ini kerjaanmu kan?!”

Rana berdiri, sepertinya dia ingin sekali memukul wajah orang orang itu namun tak bisa beranjak lebih jauh karena tangannya kutarik lagi. Aku punya firasat tidak enak tentang ini semua.

“Enak aja nuduh-nuduh!” bela Kribo “kalo ini kerjaan ku, kalian semua udah tak rekam kali!”

Kalimat si keriting itu membuat para gadis menjerit jijik.

“Mati aja sana, dasar anjing!” umpat Sri

“Pakaian kita! Tas, semuanya hilang!”

Kami langsung menoleh ke sekeliling mendengar kata-kata Bobby. Dia benar, tak ada apapun yang tersisa, hanya badan kami.

Belum reda rasa panas amarah di dada, jantung yang sedang sensitif ini diberi kejutan tambahan dengan pintu yang didobrak keras.

Arman jatuh tersungkur, sama seperti kami dia juga telanjang namun tubuhnya penuh baret dan memar.

“Arman, lo kenapa?!” pekik Jessie, tertutup oleh suara jeritan kami.

“Tutup pintunya!! Jangan ada yang keluar!!”

“Memangnya kena.... pa...”

Kribo yang menoleh ke luar pintu membeku, tubuhnya gemetaran dan langsung membanting pintu. Ditariknya kunci slot kecil sambil menoleh panik.

Aku berdiri sambil terus menutupi dada dan kemaluanku. Tak sengaja kulihat sesuatu yang bergerak beberapa meter dari jendela. Mataku tarbelalak tak percaya, tenggorokanku terasa kering, ini sungguh sureal, seperti berada dalam buku H.P. Lovecraft!

“Ran... Rana... Itu apa?”

Rana dan lainnya menoleh ke jendela dengan teralis-teralis kayu itu. Sosok manusia berjalan bak orang mabuk, tapi bukan itu yang membuat tubuh kami dibekap oleh terror. Ada yang mencuat dari kepala orang itu, tiga buah tentakel tebal yang mungkin panjangnya sekitar satu meter, bergerak bebas seperti gurita.

VvczKVz.jpg

Semua terdiam dan menoleh ke arah Arman.

“Monster...” bisiknya.

***​

Lima menit berlalu, kami hanya berdiam di pondok ini, Rana duduk bersila di sampingku. Putingnya yang gelap berdiri menantang karena tertusuk udara dingin. Tubuh kami berdempetan saling menghangatkan. Para lelaki berada di sisi pintu, sementara Sri duduk di pojok, kami semua meringkuk malu. Hanya Jessie yang tampaknya sudah tak mempermasalahkan ketelanjangannya, bahkan di hadapan cowok-cowok.

Jessie memang terkenal slutty saat SMA, saat ini katanya dia bekerja sebagai model dan cukup sering melakukan sesi nude-photoshot. Wajar saja dia cepat beradaptasi dengan situasi ini walaupun punya tubuh yang menggoda pria.

Garis lekukan tubuh Jessie terlihat begitu indah ketika memantulkan sepercik cahaya bulan, payudaranya menggoda, sedikit lebih besar dari milik Rana dengan puting berwarna pink, begitu juga dengan area kewanitaannya yang dicukur plontos serta terawat.

Aku menunduk, walau tertutup dengan onggokan daging khas mamalia ini, penglihatanku seolah bisa menembusnya dan melihat lipatan lemak menggelambir di perut. Mungkin bukan obesitas, tapi jelas tak bisa dibilang langsing. Rana sih selalu bilang aku ini montok, atau sintal saat menggunakanku sebagai bantal, tapi tetap saja itu bukanlah sinonim dari “langsing”. Aku juga sering mendengar orang bergunjing dibelakang tentang betapa besarnya payudara dan bokongku, bagaimana cowok-cowok ingin meremasnya, bagaimana itu membuat cewek-cewek iri, tapi mereka mungkin akan kecewa ketika melihatnya tanpa tertutup apa-apa begini. Areola yang bertengger di ujungnya begitu besar, bahkan walau tertutup bra, tepian coklat muda masih terlihat menyembul. Terlebih, aku juga menyadari bahwa aku memiliki inverted nipples setelah beberapa waktu lalu melihat bentuk puting susu Rana yang imut dan menantang.

“Ga usah takut La, aku di sini!” gumam Rana menenangkan.

Jika berpelukan seperti ini, kontras warna kulit kami begitu terlihat. Rana berkulit sawo matang dengan puting kecil berwarna hitam. Mungkin tak terlalu istimewa, tapi perutnya rata, tak menggunung-gunung sepertiku, paha dan kakinya juga kencang! Apalagi didukung dengan wajah manis itu, para cowok pasti ereksi karena melihat tubuh Rana dan Jessie, atau mungkin Sri yang punya tipe badan “petite”.

Dibandingkan denganku yang berkulit putih pucat, berwajah suram dengan lingkaran hitam di bawah mata, dengan tubuh seperti ini juga keseharianku yang hobi bermalas-malasan, aku lebih mirip seperti seekor panda daripada manusia.

“Jangan-jangan... Temen-temen yang lain udah...”

“Jess!!” kami langsung menampik asumsi Jessie.

Aku lupa kalau kami seharusnya tak sendirian di sini, masih ada 29 teman sekelasku yang datang sehari sebelumnya, tapi tak satupun batang hidungnya kelihatan. Wajar saja jika Jessie memikirkan hal terburuk.

“Jangan-jangan, kita ini dijadiin tumbal...” gumam Sri tiba-tiba.

“Tumbal apa?!” timpal Rana.

“Monster itu... Yang kita tau dia nyerang Arman, berarti emang gak friendly samasekali!”

“Jadi dia makan orang?!”

Kesimpulan tiba-tiba Bobby membuat kami merinding.

“Gak tau, yang jelas kita harus keluar dari sini!” ujar Arman, berusaha memotivasi.

“Caranya, kita nggak punya senjata lho!”

Kami kembali terdiam, Rana ada benarnya. Keluar pintu itu berarti besar kemungkinan kami akan berhadapan dengannya, dan berhadapan dengan sesuatu yang kita tak tahu sejauh apa kemampuannya adalah tindakan bodoh.

“Mungkin... Kalau kita lari sampai keluar desa...”

“Lari? Lari katamu?”

Bobby memotong kata-kata Rana, berjalan ke arah kami dengan penis yang masih tegang.

“Terus yang gak kuat kayak aku atau Laila gimana? Mau kalian tinggalin? Mau kalian korbanin biar bisa kabur, gitu?”

“Bob, aku nggak bilang gitu!”

“Aku tau kalo aku nggak penting, aku cuma orang culun, tapi aku nggak mau mati, Ran!”

“Bo-Bobby... tenang dulu!” bujukku pelan.

“Aku nggak mau ditinggal sendirian di sini!”

“Bro, nggak ada yang bakal ninggalin kamu!”

Kini Kribo juga mulai khawatir, terlebih Bobby sudah terlalu dekat diriku dan Rana. Aku menoleh ke arah Arman, Sri dan Jessie, semuanya mendekat, berusaha menarik Bobby.

“Bobby... Tenang dulu!” Rana meninggikan suaranya.

“Kalo aku mati sekarang, paling enggak aku mau ngerasain yang namanya ngentot sama cewek beneran!”

Dengan cepat Bobby merobohkan tubuhnya ke arah Rana. Memaku tubuhnya ke lantai kayu yang dingin.

“Bobby, jangan macem-macem!”

Dorongan kasar Rana tampaknya tak membantu banyak pada serangan tiba-tiba, apalagi dengan beban sebesar ini. Tangan kanan Bobby mencekik leher cewek sawo matang itu, beberapakali Rana terbatuk karenanya. Sementara tangan kirinya memandu sang penis untuk membobol vagina Rana.

Susah payah Bobby membidik penisnya agar tepat di liang senggama Rana, terlebih Arman dan Kribo berusaha menarik Bobby ke belakang, namun dia punya kekuatan mentah layaknya Herkules. Jessie dan Sri yang menjerit samasekali tak membantu apa-apa. Suara decak terdengar dari arah pangkal paha Rana. Sahabatku langsung memekik, sepertinya cowok tambun itu berhasil memacak kejantanannya ke dalam vagina itu.

Dibandingkan badan Rana, Bobby jelas jauh lebih besar, perutnya yang buncit menekan perut rana yang atletis. Dada coklat Rana dengan puting hitam kecil yang bertengger tajam di puncaknya berguncang tiap perempuan itu meronta. Walau sepintas aku bisa melihat rambut kemaluan Bobby dan Rana mengikat satu sama lain, berbeda denganku, Rana memiliki jembut tipis di bagian atas bibir vaginanya yang kehitaman. Mungkin dia melakukan trimming untuk merawatnya agar tak tumbuh liar.

Otot-otot kemaluannya yang kuat membuat Bobby semakin sulit menerobos, ditambah kudengar otot manusia akan semakin tegang jika berada dalam tekanan seperti cekikan, atau jepitan kuat. Bagaimana Bobby mencekik Rana tentu saja berimbas pada tempiknya yang makin menjepit kontol Bobby.

Aku tak percaya Bobby melakukan hal kejam kepada Rana. Saat SMA dia adalah anak yang manis, sangat suka bercanda dan sering membantuku saat piket pagi. Faktanya, Bobby mungkin satu-satunya anak cowok yang betah ngobrol denganku. Kami memang punya kesamaan yang aneh, yaitu sama-sama penyuka teori konspirasi. Kami sering berbicara tentang hantu, alien, atlantis, bahkan teori tentang alchemy dan elemen Tuhan. Bisa dibilang aku dan Bobby adalah seorang geek, atau otaku hal-hal berbau misteri.

Tapi kini sahabatku sedang dalam masalah, Rana yang selalu berdiri di depanku, menjadi perisaiku sedang diperkosa oleh si sahabatku yang lain itu. Kudorong tubuhku maju, kupegang wajah Bobby lalu mendorongnya sekuat tenaga. Terlihat canggung memang, namun efektif, dia melepaskan jerat cekikannya dari leher Rana. Membuat gadis itu bisa bernapas kembali, walau terengah-engah.

“Aku nggak mau mati... Aku nggak mau mati...”

Dia merangkul tubuhku, membekap punggungku dengan kedua tangannya. Masih dalam posisi menindih Rana, menggenjotnya cepat sehingga kedua payudaranya berguncang hebat. Cengkraman kuat Bobby membuat jantungku berdegup kencang, aku sangat ketakutan. Bobby membuka mulutnya lebar-lebar lalu melahap puting kananku. Aku syok, gemetaran, berusaha mendorong bahunya namun tenaga kami sangat jauh perbandingannya.

Tetesan air mata pria tambun itu jatuh di atas buah dadaku, dia menangis seperti bayi sambil menyusu kepadaku, pinggulnya masih bergoyang menyetubuhi sahabatku. Suara Rana yang terus memaki Bobby menggema pelan, aku juga melihat Arman yang berusaha menarik tubuh Bobby menjauh dari kami berdua. Tapi semuanya terasa lambat, seperti efek slow motion yang sangat dramatis. Entah mengapa aku jadi sangat bersimpati kepadanya.

Kata orang sifat manusia yang sebenarnya terlihat saat berada dalam tekanan, saat kematian berada di depan mata. Jika itu benar, maka yang kulihat dari Bobby bukanlah seorang pemuda gendut yang cabul, melainkan seorang anak cengeng yang telah putus asa dengan asmara, dia melampiaskan keputusasaan itu kepada Rana. Tanpa sadar kupeluk lehernya kubekap wajahnya yang masih menetek kepadaku. Aku menangis bersamanya.

Suara gemeretak di samping rumah membuat kami membatu, siluet besar menggeliat terlihat berjalan di sisi jendela. Keributan ini pasti telah mengundang perhatian makhluk belut itu. Bobby masih sesenggukan, aku berusaha menyeka air mataku dan mengajaknya turun dari atas perut Rana. Penis Bobby yang mulai lemas tercabut, diikuti oleh cairan kental yang keluar dari dalam vagina Rana juga ujung penis Bobby.

Kulihat sahabatku itu menangis dalam kepanikan, dia mengorek pintu rahimnya agar semua sperma Bobby tak masuk dan membuahi sel telurnya. Aku sangat ingin memeluknya dan menangis bersamanya saat itu, namun gemeretak di luar pondok kami membuat semua orang kaku ketakutan. Monster tadi menyadari keributan yang kami buat, dan kini berusaha masuk ke rumah!

“Psst...!”

Kami menoleh ke belakang, Sri dan Jessie menemukan sebuah pintu rahasia di pojok lantai. Mereka turun ke pintu itu. Aku dan Arman membantu Rana berdiri, kami berjalan ke arah lubang pintu. Tetapi Bobby terdiam, duduk bersimpuh melihat kami, sementara Kribo akhirnya meninggalkannya dan menyusulku ke arahku.

“Bobby, sini!” bisikku

Pemuda itu menggeleng, “Pergi... Aku pantas mati...”

Suara gemeretak di pintu terdengar makin keras, pintu itu tak akan bertahan lebih lama lagi. Setengah berlari kuhampiri Bobby.

“Maaf, Laila... Sama kamu, sama Rana... Aku...”

Perasaan bersalah karena dikuasai rasa takut, aku paham betul, tapi tak ada waktu lagi, aku harus membujuk Bobby agar mau turun. Kupegang kedua pipi tembemnya, kucium bibirnya dengan tiba-tiba. Aku tak tahu darimana ide itu muncul, terlitas begitu saja. Kurasa aku belajar dari bagaimana Rana menjahiliku selama ini. Ketika dia syok, kutarik tangannya, tak ada perlawanan. Kami berdua turun dengan selamat.

***​

Napas kami terengah-engah, lorong sempit dan gelap itu terasa begitu sesak karena kini dipenuhi tujuh orang. Mataku yang sudah beradaptasi dengan kegelapan masih bisa melihat samar-samar sejauh satu atau dua meter ke depan, tapi aku tahu lorong ini cukup panjang karena suara kami bergema.

Rana menghampiri Bobby di anak tangga, tangannya diangkat tinggi-tinggi lalu diayunkan cepat. Suara tamparan di pipi menggema di sepanjang lorong. Pria itu tak merespon, tertunduk dalam penyesalan, tapi Rana belum puas. Dia menjambak rambut Bobby lalu memukulnya hingga tersungkur ke lantai.

“Aku pikir kamu orang baik Bob! Aku salah! Aku kecewa banget!”

“Ran! Rana, udah!!”

Aku dan Arman berusaha memisahkan keduanya. Rana langsung memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Hilang sudah senyum ceria yang selalu menghiasi wajah manis Rana. Matahari yang selalu melindungiku kini berubah menjadi hujan deras yang memilukan. Jujur saja melihatnya seperti itu membuat hatiku hancur. Menurutku Rana adalah orang yang suci, yang murni, sehingga melihatnya tertimpa musibah adalah hal yang paling tak kuinginkan. Walau begitu, aku juga tak bisa membenci Bobby. Bukan berarti aku membenarkan tindakannya, hanya saja... Aku merasa mengerti perasaannya. Rasa takut akan ditinggalkan dan dianggap sebagai lalat kecil yang bisa diinjak seenaknya. Aku telah mengalami itu semenjak SMP, membuatku depresi hingga Rana menyelamatkanku.

“Rana... Aku di sini, aku selalu ada untukmu...” bisikku di telinga Rana.

Kami menyusuri terowongan dalam kesunyian yang canggung dan tak mengenakan, semuanya hanya ingin pulang. Rasa paranoid tak hanya muncul dari monster di luar sana, tapi juga kepada kawan kami sendiri. Saat ini semua mengantagoniskan Bobby karena telah memperkosa Rana, walau aku sebenarnya menaruh simpati kepadanya, tapi aku tetap harus waspada. Tidak hanya kepada Bobby, tapi yang lainnya juga. Mungkin hanya Rana yang bisa kupercaya saat ini.

Setelah lima belas menit berjalan, aku bisa melihat jalan keluar. Arman yang berjalan paling depan mempercepat langkahnya, begitu juga dengan kami. Namun tiba-tiba dia berhenti.

“Kenapa, Man?” tanya Jessie.

“Itu... “

Arman menunjuk ke ujung lorong, ada sesuatu yang muncul, berjalan sempoyongan ke arah kami. Dari figurnya seperti perempuan bertubuh ramping.

“Intan!!”

Teriakan Jessie membuat kami terkejut, kupicingkan mataku. Dia memang mirip dengan Intan, salah satu teman sekelas kami yang jadi anggota gengnya Jessie.

“Intan, lo ga apa-apa?! Mana yang lain?”

Jessie setengah berlari ke arahnya, entah kenapa aku punya firasat buruk tentang ini.

“Tan, lo... Kenapa?”

Ketika jaraknya hanya tinggal dua meter dengan tubuh Intan, Jessie menghentikan langkahnya, aku bisa merasakan kalau ada keraguan dalam diri Jessie. Yang dia lihat di depannya bukan Intan yang dia kenal. Benar saja, sesuatu meletus dari mulut dan dubur Intan. Benda abu-abu panjang itu menggeliat, intan mengejan dan berjalan secara tidak normal. Itu tentakel yang sama dengan makhluk di atas.

“Hiiiy!!”

Jessie terjungkal ke belakang, tentakel-tentakel itu merangkak ke arah Jessie dan berhasil melilit kakinya kanannya, Jessie menendang wajah tak bernyawa Intan, namun Intan memegangi Jessie agar tak banyak bergerak, sehingga belut yang ada di mulutnya lebih leluasa menerobos selangkangan Jessie.

Bitch! Get off!!” jeritnya murka.

Suara berkecipak seirama dengan gelinjang tubuh bugil Jessie yang intens.

Haaa!! Pull it out!! Pull it out!! You gonna break my pussy!”

Salah satu tentakel berhasil menerobos masuk ke kemaluannya, cukup dalam sehingga membuat Jessie bergelinjang kesakitan.

Dengan panik Arman, Kribo dan Rana berlari dan menolong Jessie. Namun Intan merangkak mundur sehingga tubuh Jessie menempel dengannya ikut tertarik, seperti melihat sepasang anjing yang sedang gantet. Jessie terus meracau, memekik kesakitan dan berusaha mencengkram lantai dengan jari-jari lentiknya. Kantong asi yang bertengger di dadanya bergoyang bak jelly setiap tubuhnya bergeser.

Rana akhirnya berhasil meraih tangan Jessie, lalu dibantu menahan oleh Arman agar tak dibawa oleh Intan. Aku memegang pinggang Rana, membantu menarik.

FUUUCK!! Pelan-pelan!! Pussy gue bisa hancur!!!” umpat Jessie di sela teriakan.

“Jes, minggir kaki mu!!”

Kribo berlari ke arah Intan dan menendang wajah zombie teman sekelas kami itu dengan keras.

“Aiiieee!!!”

Jeritan Jessie melengking dan bergema di lorong, diikuti oleh semburan air kencing yang tak terkendali. Tampaknya tendangan Kribo tadi membuat tentakelnya tertarik secara paksa, memberikan gaya tarik kuat seperti bagaimana kita menarik tali tambang, hanya saja kali ini terikat dalam rahim Jessie. Walau begitu, tendangan Kribo memberikan sedikit ruang kosong antara mulut Intan dan Vagina Jessie.

“Minggir!”

Sri mendorong Kribo kesamping lalu mengangkat pahanya setinggi yang dia bisa. Tanpa aba-aba, diinjaknya badan tentakel yang menghubungkan Jessie dengan Intan itu.

Selama beberapa detik Jessie mengejan, sementara mayat Intan langsung tengkurap tak bergerak. Sisa badan belut yang menembus anusnya juga mulai lemas dan akhirnya mati.

“A-ada... something... Ada yang masuk... Ke dalem pussy gue...” desah Jessie, napasnya ngos-ngosan, air mata mengalir di pelipis matanya.

Rana membantunya duduk di mulut terowongan agar mendapat cukup sinar. Aku segera berlutut di hadapan Jessie yang masih berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Air seninya baru saja berhenti, bibir kemaluannya masih menganga, memperlihatkan daging pink cerah di dalamnya.

Sesuatu di dalam situ menarik perhatianku, kusentuh dengan jari telunjukku. Lembek dan berlendir, seperti balon yang berisi air. Kuperhatikan dengan seksama kantung penuh urat transparan itu, ada sesuatu di dalamnya, berkedut.

sSLk94l.jpg

“Hiiiy!”

Aku tersungkur, kaget dan ngeri, tak tahu benda apa yang ada di dalam vagina Jessie, tapi yang jelas itu hidup!

“Kenapa, La?!”

Rana yang terkejut ikut melihat ke arah rahim Jessie. Kribo, Bobby dan Arman juga menunduk untuk melihat tempat paling sensitif milik Jessie itu. Tentu saja mereka satu-persatu malah ngaceng setelah melihatnya dari dekat dan jelas.

“Jangan malah ditontonin, keluarin!!” Amuk wanita yang kemaluannya jadi pameran itu.

“Sri... Sini! Liat yang di dalem memeknya Jessie,” ujar Kribo tanpa berpaling dari pemandangan di depannya.

Sri berjongkok di samping Jessie, mengorek liang senggama cewek jangkung di hadapannya dan menarik benda misterius itu keluar. Cairan kewanitaan mengalir dari lubang vagina Jessie setelah sumbatannya tercabut. Sebuah benda yang menyerupai nukleus yang pernah kami pelajari di biologi SMA.

Bedanya ukurannya sangat besar, kurang lebih hampir sebesar bola tenis. Sedikit transparan dan penuh cairan di dalamnya, ada sesuatu yang mewakili nukleolus berwarna putih pucat terkoneksi dengan urat-urat melingkar. Wajah kami berenam semakin dekat dengan benda itu saking penasarannya. Tiba-tiba inti dari bola itu berkedut.

Refleks, Sri melemparnya ke tanah hingga pecah. Kami juga tak kuasa menyembunyikan rasa terkejut dan mundur. Beberapakali makhluk kecil tersebut menggeliat pelan hingga akhirnya tak bergerak lagi. Sepertinya benar-benar mati.

“Ini embrio, kayanya tentakel itu naruh telurnya di dalam tubuh manusia,” gumam Sri datar saat memeriksa kembali apa yang baru dibuangnya itu.

Aku bergidik ngeri mendengarnya, teringat adegan film Alien, Jessie dan lainnya juga langsung menghindar.

“Itu binatang apa? Tau gak Sri?” tanya Kribo.

Sri menggeleng, dia berjalan ke arah tubuh Intan yang sudah tak bernyawa. Diangkatnya ujung dari makhluk yang keluar dari mulut, lalu beralih ke ujung yang keluar dari anusnya. Memperhatikan bagian interior binatang itu secara seksama. Untuk seorang wanita muda, apalagi yang bertubuh paling kecil di antara kami, Sri benar-benar memiliki nyali yang besar. Aku memang sudah lama tahu, terutama setelah paham betul bagaimana kepribadiannya. Sri adalah cewek cerdas berlidah tajam, sangat sedikit empati yang ditujukan dengan orang lain, tak jarang membuat lawan bicaranya jadi sakit hati dan dia tak menyesal akan itu. Gampangnya dia adalah gadis berengsek bemental baja.

Karena penasaran kami mengintip apa yang dilihat Sri. Bau busuk langsung menyengat saluran pernapasan kami. Kututup hidungku, Jessie, dan Arman sampai terbatuk-batuk. Bagian dalamnya jauh lebih menjijikan dari yang kukira. Cairan dan gumpalan-gumpalan coklat yang berada di sekitar “mulut” belut itu adalah kotoran manusia. Kini kuperhatikan seksama ada gigi-gigi kecil melingkar di sekitar dinding interior belut itu. Bentuknya tak tajam, tapi susunannya mengingatkanku pada ikan lamprey.

“Kayak hibrida belut sama cacing pita!”

Sri mencolek sedikit lendir yang melapisi binatang itu, mengoleskannya ke pergelangan tangannya. Setelah beberapa saat dia meringis, lalu menggaruk-garuknya. Dia berjalan ke arah Jessie dan memeriksa paha dan kaki perempuan itu.

“Eh! Sri! Mau ngapain lo!”

Tak hanya Jessie, kamipun heran dengan apa yang dilakukan bocah nyentrik itu. Dia menepuk selangkangan Jessie.

“Uaaah”

Jessie mendesah, kulihat cairan bening menetes sedikit dari organ kewanitaannya. Wow, dia orgasme, bahkan sampai ejakulasi hanya karena tepukan sederhana?

“Lendirnya bikin kulit kita makin sensitif, hati-hati!” gumam Sri datar, tanpa rasa bersalah.

Jessie hanya menggerutu pelan saat satu-persatu kami melewati mayat Intan. Mataku masih tak bisa berpaling dari tubuh lemas Intan yang terbaring mengerikan, seperti sate dengan makhluk berlendir sebagai pengganti tusuk satenya.

***​

Kami akhirnya keluar dari terowongan, berjalan sambil menunduk melewati rerumputan. Napasku memburu karena takut, kulihat siluet beberapa monster di pemukiman, cukup jauh. Namun ada bangunan rumah panggung kecil di pinggir tebing yang menarik perhatianku. Tempat itu seperti pepunden, kuil kecil yang posisinya terisolir dari desa, aku tak bisa memastikan ukurannya, kurasa hanya 3x3 meter.

Setengah berlari, kami berusaha mencari tangga tempat kami masuk tadi. Masuk melalui rimbun pepohonan menuju tangga di bukit tempat kami masuk ke desa, namun perbukitan itu seakan menjauh. Kakiku sakit, beberapa kali ranting pohon bergesekan dengan kulitku memberi luka lecet dan memar. Namun entah kenapa aku melewati gubuk kecil itu lagi. Seperti mengalami fenomena Deja Vu.

“Apa-apaan ini! Dari tadi kita jalan muter-muter aja!!” geram Jessie ketika kami kembali sampai di sisi danau.

“Padahal aku yakin kita berjalan lurus...” gumam Arman lirih.

“Sekarang gimana?” bisik Rana dan Kribo bersamaan.

“Umm... Anu, sebenarnya...”

Tanpa melanjutkan kata-kataku, kuacungkan jari telunjuk ke arah rumah kecil itu yang kulihat tadi. Semuanya menoleh ke arah yang kutunjukan, beberapa masih gagal paham.

“Emang kenapa itu gubuk?” Jessie mengernyitkan kening.

“Me-menurutku itu bukan sekedar gubuk biasa, tapi semacam pepunden, tempat persembahan kecil.”

“Tau darimana?” Kribo meragukan.

“Ornamen di atapnya terlihat mewah kalau hanya sekedar digunakan untuk menyimpan gabah, dan bangunannya itu terlalu kecil untuk jadi tempat tinggal orang penting,” terangku, “jadi kemungkinan satu-satunya ya menyimpan sesuatu yang ada hubungannya sama Penghayat Kepercayaan Gandamayit ini!”

Semua orang melihatku tanpa kata-kata, sepertinya ada yang salah dengan kata-kataku, tapi aku tak tahu yang mana.

“Ke-kenapa?”

“Katanya Rana kamu kuliah ambil jurusan psikologi kan? Memang diajarin yang beginian di kampus?” tanya Arman heran.

“Eh?! Anu...” Aku tergagap, tak berani bilang kalau sebenarnya sejak SMA aku sudah menulis cerita detektif, jadi kemampuan deduksiku juga ikut terasah karena terbiasa memperhatikan hal-hal kecil saat mencari referensi.

“Udahlah, kita cek aja!” sela Sri ketika melihatku panik.

Satu demi satu kami berjalan mengendap ke arah bangunan yang kucurigai sebagai pepunden itu. Kami bertujuh sampai di samping bangunan. Bobby, Kribo dan Rana menoleh ke berbagai arah, melihat apakah situasi sudah aman. Ketika dirasa cukup aman, Rana menaiki anak tangga dan membuka kunci slot, lalu membuka pintu lebar-lebar. Kamipun menyusulnya, masuk ke dalam rumah kayu seukuran 3x3 meter itu.

Di dalam ada lampu pijar kecil yang menerangi ruangan. Interiornya mirip seperti aula tempat kami istirahat pertama kali, namun ada beberapa perabotan kali ini. Selain lampu pijar di atas, ada rak kecil berbentuk segitiga, mengikuti bentuk atapnya. Berisi guci-guci kecil sebesar telapak tangan untuk menaruh air kembang, namun yang menarik perhatian kami adalah sebuah patung kayu berbentuk manusia dengan cabang-cabang sebagai kepalanya, dan kotak kayu besar yang terpaku di tengah ruangan.

“Kenapa sih desa ini? Absurd banget asli!” ujar Kribo sambil menutup pintu.

“Aku nggak tahu, tapi kaya ada sesuatu yang membuat kita terjebak di desa ini?”

Rana mengangguk, “seperti ada di dimensi lain...”

“Ini kayak setan-belut-thingy itu gak sih?”

Jessie mengambil patung kayu itu, bentuknya memang mirip dengan monster-monster tadi. Sri mengambilnya dari tangan Jessie, membolak-balik secara seksama.

“Sepertinya mereka sesuatu yang dipuja.”

“Jadi ular-zombie itu semacam dewa bagi Penghayat Gandamayit gitu?” tanya Arman.

“Seriusan deh, mending cari nama yang gampangan buat nyebut mereka, lidahku capek nyebutnya!” gerutu Kribo.

“Ganda... Mayit...”

Kami menoleh ke arah Bobby yang duduk bersila di depan pintu. Si gendut itu menunjuk ke atas, spontan kami mendongak. Torehan-torehan berbagai aksara, mulai dari aksara latin, jawa, dan banyak lagi yang tak ku kenal. Tapi dari sana aku tahu, nama kepercayaan Gandamayit berasal dari sebutan spesies tersebut.

Ukiran di langit-langit papan terlihat cukup jelas walau terpapar cahaya yang redup. Tak hanya tulisan, beberapa gambar juga terukir di beberapa tempat, seperti gambar-gambar di candi kuno. Aku meraba palang kayu yang dipenuhi visual bagaimana Gandamayit mengambil alih tubuh manusia untuk bisa bergerak di darat. Terlihat gambar figur manusia, lalu figur itu berendam di sebuah kolam, menungu beberapa Gandamayit masuk melalui dubur dan bersarang di perutnya. Manusia yang menjadi inangnya itu akan tetap hidup, menjalankan aktifitas seperti biasa, menggantikan fungsi usus besar. Dan ketika sang inang meninggal, apapun penyebabnya. Gandamayit akan mengambil alih tubuh inangnya selama makhluk itu masih utuh.

“Ini... Mengerikan...” bisik Rana disampingku, sementara aku hanya menutup bibir dengan tangan.

“Di sini juga ada...”

Kribo dan Jessie menyusuri sisi dinding satunya. Aku beralih kepada mereka, yang di sini adalah ilustrasi tentang inkubasi telur-telur Gandamayit yang dimasukan ke dalam rahim seorang wanita. Aku melirik Jessie yang meraba bagian bawah perutnya. Dia yang paling dekat dengan ini semua di antara kami, karena Gandamayit baru saja bertelur di dalam vaginanya.

“Kalau ini adalah ritual desa, berarti semua orang....” ujarku pelan.

“Termasuk temen-temen kita...” timpal Jessie, badannya disandarkan di dinding lalu merosot lemas, teringat akan Intan.

Arman mengetuk-ngetuk kotak yang berada di tengah ruangan, lalu menggoyang-goyangkan bagian atasnya hingga terbuka.

“Err, guys... Coba lihat ini!”

Kami menghampirinya, sebuah buku tebal dengan sampul yang terbuat dari bahan kulit hewan. Kami membaca isinya, sebuah jurnal penelitian yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia ejaan lama. Tentang penemuan spesies belut Gandamayit dan upaya pembudidayaannya di desa ini. Belut dengan kekuatan magis yang mampu memberi kesaktian yang dipakai oleh para pendekar untuk melawan penjajah. Beberapa nama tokoh sejarah tercantum di buku ini. Ketika mencapai halaman terakhir, kami terkejut melihat nama yang tertera di akhir buku sebagai kredit penulis.

Rasti Astika, 1918

Tahun 1918, Indonesia bahkan belum merdeka, tapi nama Bu Rasti tercantum di buku itu.

“Ini maksudnya apa? Hey?” tanya Sri gelisah.

Halaman kusam itu kubolak-balik, mencerna kembali tiap kata demi kata. Ada sebuah halaman yang menempel. Kubuka perlahan agar tak rusak, sebuah foto monokrom yang sudah menguning tertempel di salah satu sisi kertas.

Foto seorang menir belanda berbaju putih yang memegang belut itu. Disampingnya berjejer sekelompok pria dan wanita telanjang. Sepintas mungkin itu terlihat seperti foto sebuah ekspedisi ke suku pedalaman, namun wajah seorang wanita membuatku terkejut.

“Ini... Bu Rasti...”

Sri merebut foto itu, yang lain juga tampak penasaran dan langsung memperhatikan foto itu. Ketika sibuk meneliti gambar lawas tersebut, kulihat ada sesuatu tertulis di balik kertas foto.

waEWN3b.jpg

Apa artinya?

“Anu... di baliknya ada tulisan!”

We hebben filosoof steen gevonden... Apaan?” baca Rana bingung.

“Itu bahasa Belanda, artinya...” Arman menahan napasnya, “kami menemukan batu bertuah...”

Aku langsung menoleh ke Bobby, kulihat dia juga menatapku terkejut.

“Batu bertuah itu, apa?!” tanya Jessie bingung.

“Batu keabadian!”

Kami menyahut bersamaan. Bobby menepuk telapak tanganku, kami kegirangan di pondok kecil itu. Tentu saja membuat yang lain bingung. Batu bertuah adalah sebuah substansi legendaris, yang bahkan tak ada dalam tabel periodik. Kasarnya ini adalah sebuah elemen baru! Sebuah substansi yang bisa mengubah logam menjadi emas, yang memberimu keabadian. Banyak yang berusaha mencarinya.

Tarikan kuat dari belakang menjauhkanku dari Bobby.

“Jangan dekat-dekat!”

Rana menengahi kami, dia sungguh membenci Bobby semenjak apa yang terjadi di rumah itu.

“Ahh... Umm... Bu Rasti... Beliau dulunya pasti juga bagian dari ini semua...” gumamku, kembali tersadar pada realita.

Arman menegakan badannya, menunjukan batang yang berdiri tegang di bawah perutnya, “terus gimana ini? Kalo diem gak ngapa-ngapain, kita pasti ketangkep suatu saat nanti!”

“Rumah Bu Rasti! Buku itu... Buku itu ditulis sama Bu Rasti kan?” tanyaku meyakinkan. “pasti ada jalan keluar lain dari sini!”

Semuanya terdiam, menatapku dengan kening mengernyit saat kusimpulkan semua yang ada di pondok ini. Bodohnya aku, malah mengatakan hal yang tidak-tidak! Aku menunduk, merasa bersalah setelah mengutarakan hipotesa tersebut

“Lu-lupakan saja...”

“Ella kamu cerdas!!” Rana mencengkeram lenganku, membuat dada kami yang ukurannya sangat berbeda berguncang keras layaknya balon air yang bergetar. Aku hanya mengangguk pelan.

“Tapi gimana Gandamayitnya? Lo pada udah liat kan pas dia... Ngentotin gue! Mereka itu tenaganya kaya kuda!”

Ya... Mana aku bisa lupa melihat seseorang manusia bisa gantet layaknya anjing seperti itu, butuh tenaga empat orang agar Jessie bisa lepas dari tusukannya.

“Kita butuh pengalih perhatian supaya yang lain bisa bergerak lebih leluasa!” gumam Sri dingin.

“Sri! Jangan gitu!” bentakku, pada dasarnya dia ingin kami meningalkan salah satu teman kami sebagai umpan, seperti yang ditakutkan Bobby.

“Sri ada benarnya, mereka mungkin aja ada banyak dan kuat, tapi geraknya sangat lambat, gak terorganisir!” ujar Arman meluruskan, “kita butuh orang yang gesit, yang larinya cepet!”

Semua orang menoleh ke arah Rana. Tidak... Tidak, ini tak boleh terjadi! Rana tak boleh pergi sendirian!

“Jangan! Jangan Rana! Nggak boleh!”

Aku tak bisa berpikir jernih lagi, kuremas bahu Sri, lalu Arman, benar-benar seperti orang kesetanan.

“A-aku aja! Aku yang jadi umpan! Aku yang gantiin Rana, kalau aku mati nggak ada yang akan sedih! Tapi kalau Rana.. Kalau Rana...”

“Ella!!!”

Rana membentak, aku menolehnya ketakutan, Bobby juga tampaknya sangat khawatir. Semua orang terdiam. Mereka pasti berpikir bahkan sebagai umpanpun, aku tak akan berguna. Aku hanyalah perempuan yang lamban dan menjadi hambatan bagi mereka.

Rana mengusap air mata di pelipisku, dia menatapku dengan sendu.

“Gak apa-apa, La...” gumam gadis berkulit coklat itu.

Dengusan lelah terdengar dari hidung Sri, “Laila, kami masih membutuhkanmu buat urusan lain!”

“Huh?”

“Sadar nggak sih kalo dari tadi kamu itu dari tadi udah bantu kita lewat deduksi-deduksi sok detektif itu?”

“Ah? Maksudnya? Tapi kan... Sri yang lebih tahu soal monster itu...”

“Yang kulakuin cuma mengulang apa yang tertera di buku, nggak lebih kayak ensiklopedi!” tampik Sri, “tapi kamu beda, aku udah lihat bahkan dari baru masuk desa, kamu memperhatikan sekeliling, itu bukan muka turis bego kayak Jessie, itu muka orang belajar dan mengolah data di otak!”

“Hey!!” protes Jessie.

“Lentera Anomali itu kamu yang nulis kan?”

“Eh?! Hu-uh...”

“Lentera Anomali?” tanya Kribo dan Arman berbarengan.

“Novel detektif, walau fiksi tapi dari gaya tulisannya aku bisa tahu kalau si penulis itu pengamat yang detil sama hal-hal kecil karena bisa bikin kasus-kasus nggak terpikirkan macem itu!”

Aku tersanjung, namun sangat malu. Bahkan Rana tak tahu kalau aku adalah seorang penulis buku, hanya Bu Rasti yang tahu.

“Laila... Kamu adalah kunci supaya kami bisa keluar dari sini!” ujar Rana lirih.

Aku melihat ke sekelilingku, semuanya tersenyum. Rasa paranoid berubah menjadi harapan. Kenapa aku tak menyadarinya sedari tadi. Inilah yang seharusnya kami lakukan, saling melengkapi dan membantu dalam satu kesatuan, bukannya curiga dan galau tak jelas!

Selama beberapa menit kami berdiskusi, kuungkapkan semua kemungkinan yang ada di kepalaku, Bobby menceritakan tentang batu bertuah secara mendetail, lalu bersama Sri kami berusaha menarik garis untuk menghasilkan informasi yang sekiranya bisa kita pakai. Sementara Kribo dan Jessie mengumpulkan apapun yang bisa dijadikan senjata, Arman dan Rana membuat rencana pengalihan dan rute melarikan diri.

Akhirnya diputuskan kami akan membagi kelompok menjadi tiga tim. Tim pengalih, Arman dan Rana bertugas untuk menarik perhatian Gandamayit sebagai umpan hidup, mereka akan berjalan lebih dulu agar bisa membuka jalan kami. Kelompok kedua adalah tim investigasi, yaitu Sri, Kribo dan diriku sendiri, bertugas untuk menyusup ke rumah Bu Rasti dan mencari petunjuk. Lalu Bobby dan Jessie bertugas untuk melindungi dan menghalau siapapun yang berusaha mendekati kami, mereka adalah tim penjaga. Dan saat matahari sudah terbit, kami akan menyusup ke rumah Bu Rasti.

***​

Matahari menyembul di cakrawala. Kribo dan Sri berjongkok di depanku, sembunyi selagi menunggu aba-aba dari Rana dan Arman. Sementara Jessie dan Bobby beberapa meter di belakang kami agar bisa mengawasi dengan leluasa. Beberapa menit kemudian terdengar suara Rana yang berteriak, berusaha menarik perhatian mayat-mayat yang dikendalikan para Gandamayit.

Rana melompat sambil mengayunkan kedua tangannya ke atas. Kami bisa melihat gunung kembarnya naik-turun kencang, jika ukurannya sebesar milikku pasti akan sangat menyakitkan melakukan itu. Beberapa Gandamayit di sekitarnya berjalan patah-patah menuju sumber suara. Sembilan, tidak... Ada sekitar tiga belas ekor yang berjalan pelan, dua ekor merangkak dengan dua tangannya karena kaki mereka tak lengkap lagi. Arman memberi isyarat bagi kami, lalu berlari ke arah Rana. Mereka berlari sambil terus memprovokasi belut-belut itu agar semuanya terfokus pada mereka.

Tanpa membuang waktu, kami berlari melewati jalanan desa yang sudah lebih sepi itu. Fokus ke rumah besar yang di tunjukan oleh Mbak Marni kemarin sore.

“Hyahhh!”

Jeritan Sri membuatku dan Kribo terkejut, kami menoleh kebelakang, melihat seekor Gandamayit bertubuh pria kurus menangkapnya. Tangannya hanya satu, rusuk-rusuknya tercetak di dada saking kurusnya, kulitnya pun sudah membiru, menandakan itu adalah mayat lama.

Gumpalan coklat menetes dari mulut dua belut yang menggantung di kepalanya, jatuh ke bahu dan punggung Sri yang meronta-ronta. Sampai akhirnya sebuah gelondongan kayu menghantam leher monster itu.

“Lari!! Biar kami yang urus di sini!!” teriak Bobby, sementara Jessie memukul-mukul makhluk yang sudah ambruk itu membabi buta, kotoran kecoklatan muncrat kemana-mana tapi dia sudah tak peduli. Kebenciannya terhadap Gandamayit membuat wanita langsing itu kalap.

Kami langsung mengambil langkah lebar-lebar hingga akhirnya sampai di depan rumah Bu Rasti.

“Pintunya kekunci!” seruku.

“Minggir!”

Kribo mengangkat kayu yang dibawanya lalu dipukulnya jendela kaca yang ada di samping pintu. Dibukanya kunci slot dari dalam, lalu membukakan jendela itu seperti buku.

“Angkat aku!”

Kami mengangkat pantat Sri agar bisa naik melalui jendela. Kami bisa mendengar suara mengaduh Sri saat badannya menghantam lantai, namun tak lama, suara ceklek di pintu membuat kami bernapas lebih lega. Aku dan Kribo masuk dan menutup pintu kembali.

“Kribo jaga pintunya, kalau Jessie sama Bobby udah sampai langsung bawa masuk!” perintah Sri, “Laila, bantu aku cari petunjuk apapun yang ada hubungannya sama Gandamayit!”

Aku mengangguk lalu berjalan ke sebuah kamar di sisi kiri ku, Sri memeriksa ruangan yang ada di ujung lorong dan Kribo mengobrak-abrik ruang tamu. Di dalam kamar, kulihat sebuah lemari pakaian. Kubuka dengan harapan menemukan sesuatu untuk menutupi tubuh kami, walau sudah sangat terlambat, tapi lemari itu hanya berisi tumpukan guci tanah liat yang ditutup dengan sumbatan kayu.

Kubuka sumbatan itu, aroma busuk yang terkompres di dalamnya langsung memenuhi ruangan. Tanganku mengibas-ngibas sambil terus terbatuk, kupanjangkan leherku untuk mengintip isi guci tersebut.

Telur! Tidak, bukan telur, melainkan bayi-bayi belut berwarna putih pucat dan gemuk, seperti ulat kelapa bentuknya. Menggeliat di dalam guci yang penuh dengan lendir. Kututup kembali guci tersebut lalu memeriksa rak di bagian atas lemari. Ada beberapa buku serupa dengan yang kami temukan di pondok kecil itu sebelumnya.

Kubolak-balik isi buku itu, ada yang berisi tentang penjelasan lengkap anatomi belut-belut Gandamayit, buku kedua tentang ritual seperti yang terukir sebelumnya namun lebih rinci, buku ketiga tentang sesuatu yang disebut “Anak Surga”. Kubekap ketiga buku tersebut di depan dadaku, lalu keluar dari ruangan.

“Aku dapat petunjuknya!” gumamku cepat.

Kribo mengangguk, “panggilin Sri!, kita cabut!”

“Sri, ayo keluar dari sini!”

Tak ada respon, aku berjalan pelan ke arah lorong namun suara perempuan yang begitu pelan membuatku menghentikan ayunan kaki.

“Sri... Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku mulai ketakutan.

Suaranya mirip seperti Kayako dari film horror The Grudge, seperti suara orang yang tersedak, atau kesakitan.

“Sri... Jawab aku, ayo kita pergi...”

“Mau pergi kemana? Kalian mau melewatkan pesta utamanya?”

Aku memicingkan mataku, itu bukan suara Sri! Gadis itu seperti tercekik, dengan ekspresi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mulutnya menganga meneteskan liur dan uap dari napas hangat, matanya berputar ke atas, seolah berusaha melihat dalam tengkoraknya. Aku mundur perlahan, kututup mulut dengan dua tanganku. Sri tidak sendiri, seseorang memeganginya dari belakang. Mengangkatnya hingga membuat cewek bertubuh mungil itu hampir tak menyentuh tanah. Dua belut setebal lenganku menusuk pantat dan vaginanya secara bergantian seperti sebuah piston.

“Ouuhhhh!!” lenguh Sri ketika gelondongan panjang di dua lubangnya masuk semakin dalam, membuat gundukan kecil di perutnya.

“Laila... Tolong... Herk!!”

Darah segar mengalir pelan di paha kurus Sri. Perempuan petite itu meronta lemah, meminta pertolonganku.

Sosok wanita di belakang Sri tersenyum seram kepadaku. Itu Mbak Marni! Sama seperti kami dia juga telanjang. Marni mencumbu putting Sri lalu mengulumnya seolah itu permen lolipop. Aku terpaku, wanita yang mengaku adik dari Bu Rasti ternyata memang salah satu dari mereka, orang-orang yang menjadi inang Gandamayit. Bisa kulihat dari beberapa belut yang menggelayut di antara kakinya. Dua sudah menancap pada alat vital Sri, sementara dua lainnya menggantung bebas, bergerak-gerak sambil terus meneteskan cairan coklat.

Salah satu belut melesat dan langsung melilit pergelangan kakiku. Menggoyahkan keseimbanganku sehingga terjungkal. Dia berusaha menarikku sambil seperti yang dilakukan Intan pada Jessie sambil terus menyodomi Sri yang lemas di pelukannya.

“Lepasin! Lepasin!!”

Jariku mencakar lantai, tentakel tebal mulai menjalar, membelit paha dan menjalar hingga perutku.

“Haahhhh!!”

Mulas dan mual rasanya, semakin kuat lilitannya, semakin besar pula stress yang diderita jeroanku.

“Bangsat!!”

Kribo merangsek maju, berusaha menyergap Mbak Marni, namun satu leher Gandamayit yang tersisa membantingnya ke samping. Aku dan Sri menjerit kesakitan, motion ekstrim yang dilakukan salah satu tentakel yang menggantung di dubur Mbak Marni juga menggerakan tentakel yang menyerang kami berdua secara instan dan cepat.

“Ahuuuhhh... Ahuuuhh... Apa... Maumu!!”

Dengan segenap tenaga Sri meremas Gandamayit licin yang membelit badannya. Bisa kulihat dibalik suaranya yang serak basah itu, dia sangat marah.

“Kami mau kalian turut serta ke ritual kami, memberi nutrisi dan menjadi ibu dari Anak Surga.

“Jangan bercanda, dasar sundal!!”

“Kribo, jangan!!”

Tapi peringatanku terlambat, setika tangannya hampir meraih Sri, memberi secercah harapan ada anak itu, tentakel satunya melesat dan membelit leher Kribo.

“Gaghhh!!”

“Walah... Walah... Gimana toh jagoannya malah kalah...”

Wanita itu berjalan ke arah Kribo, Sri yang terpasak di depannya kejang-kejang dengan panik, akupun tak kuasa melawan tarikan tentakel Gandamayit itu saat menyeretku.

“Kamu ini kok ya munafik banget... Lihat tuh kontolmu ngaceng ngeliatin cewek-cewek ini dientotin.”

Kaki Mbak Marni menginjak testis Kribo dengan pelan, gumpalan kulit itu menggeliat di sela jempol kaki Marni. Walau ekspresinya jauh dari keenakan, tapi tongkat milik lelaki keriting itu menunjukan hal yang berbeda.

“Bangsat!! Jauhi kontolku!!” geramnya.

“Kamu boleh bilang gitu, tapi tubuhmu gak akan bisa bohong,” goda Marni.

Dia mengocok penis Kribo dengan jari kakinya sambil terus menyodok vagina dan anus Sri yang mendesah kesetanan.

Keduanya mencapai klimaks berbarengan, air mani kribo menembak tinggi hingga mengenai tubuh Sri dan Marni di atasnya, sementara Sri mengejan untuk mengeluarkan hujan di area selangkangannya.

“Eeee... Cuma gitu aja?”

Mbak Marni terlihat kecewa, sepertinya Sri dan Kribo hanyalah mainan baginya. Aku berusaha tenang, mencari sesuatu yang bisa kuraih tanpa menarik perhatiannya. Kulihat ada pensil tergeletak di bawah kolong lemari. Dengan hati-hati kuulurkan tanganku untuk meraihnya.

“Huuugggh!!”

Belitan di perutku malah semakin kuat, sedikit gas dalam perutku keluar dengan paksa karena tekanan yang begitu besar.

“Duuh, yang di sini malah kentut! Kalian murid-muridnya Rasti memang nggak diajarin sopan santun ya? Memang Rasti cuma ngajar biologi aja ke kalian?”

Wanita sinting itu terus bicara sendiri, semua sumpah serapah kami diabaikan olehnya. Kami bertiga benar-benar tak dianggap sebagai manusia. Marni berjongkok, dielusnya batang kejantanan Kribo sampai kaku kembali lalu memandu tongkat berbulu itu ke liang senggamanya yang menggelambir dan kendur.

“Ahhhh, gimana rasanya itil mbak? Anget kan? Enak kan? Memeknya mbak ini udah dientotin sama semua orang di desa!”

Kribo hanya meronta-ronta, kakinya menendang-nendang ke lantai di belakang punggul Marni. Sementara pinggul wanita itu bergoyang pelan, menggiling penis Kribo dalam vaginanya. Lilitan Gandamayit di perutku semakin erat, Mbak Marni menarik tubuhku agar mencapai jangkauan tangannya. Dia melempar tubuh Sri yang sudah lemas bak boneka kosong.

Aku mengangkang di sampingnya, pantatku terangkat ditopang lututku dengan pusar mengarah ke langit-langit rumah.

1tKFpRC.jpg

“Mbak!! Kumohon, lepasin kami!”

“Haah? Kalian ini dapat kesempatan sekali seumur hidup buat ngerasain surga lho, kok malah mau pergi!”

Marni menepuk-nepuk kemaluanku yang tembem, menelusuk ke dalam dan mengobok-oboknya.

“Hahahaha, kelentitnya Dik Laila ini gede juga ya...” ujar Marni sambil mencubit klitorisku.

“Ahiiiiyyy!!!”

Aku menjerit kesakitan, kelentit adalah bagian paling sensitif di vagina, saat disentuh dan digosok pelan saja rasanya sudah geli, apalagi dijepit dengan dua jari seperti itu.

Mbak Marni tertawa seperti maniak sambil terus menggoyangkan pantatnya di atas tubuh Kribo, tangannya tak berhenti memblender liang peranakanku sampai benar-benar basah. Aku dan Kribo terengah, oksigen seperti ditarik keluar dari paru-paru kami.

Dia memijat kedua gundukan tembem berminyak di antara pahaku, jarinya menelusuri liang peranakanku, membukanya selebar yang ia mampu lalu menciuminya.

"Tempiknya Dik Laila... Baunya khas... Kaya tempiknya Rasti!" bisiknya menggoda.

Mbak Marni merapatkan tubuhku dengan Kribo, pemuda itu tampaknya sudah tenggelam dalam nikmatnya goyangan pantat Marni. Dia menatapku dan tiba-tiba berusaha melumat bibirku. Kribo benar-benar terbawa suasana dan kini ingin memperluas jangkauan persetubuhannya denganku!
Secara refleks kujauhkan wajahku, dia yg menyadarinya langsung mengerti posisinya, namun tak kuasa menolak surga dunia yang ditawarkan Marni.

Tangan Kribo kini telah bebas, bukannya digunakan untuk melarikan diri, si bodoh itu malah meremas payudara Marni dengan liar. Buah dada berukuran sedang itu pas digenggamannya, tertarik ke kiri dan kanan seiring gerakan liar Kribo.

Marni tersenyum, dia menggenjot pantatnya makin kuat sehingga Kribo mencapai klimaks dan kehabisan energi. Kocokan tangannya terhadap memekku juga makin cepat. Aku menahan semua cairan kewanitaan yang seharusnya sudah muncrat sedari tadi. Rasanya sangat menyiksa, aku sangat ingin melepaskan semua rangsangan seks yang terakumulasi dari pinggul ke bawah, tapi aku tak boleh kalah! aku tak boleh jatuh dalam permainannya seperti apa yang terjadi pada Kribo!

*****​
 
Terakhir diubah:
PRAK!!

Huh? Ada apa ini? Beberapa detik kupejamkan mataku sehingga tak tahu peristiwa apa yang sedang terjadi. Serpihan kayu berjatuhan. Tubuh Marni terpuruk ke tembok, belitan Gandamayit juga sudah terlepas dari tubuh kami.

Perlahan aku bangun dari posisiku, akhirnya mengeluarkan semua cairan kewanitaanku dengan deras. Sangat banyak hingga milikku menyatu dengan sperma milik Kribo yang juga masih mengalir di lantai kayu. Aku bahkan tak percaya kalau aku bisa memproduksi cairan vagina sebanyak ini, mungkin cukup untuk mengisi satu cangkir kecil!

Aku mendongak ke arah sosok di depanku, Sri masih masih memegang sisa-sisa kursi kayu. Sri! Kamu badass banget!!

Dia memunggungi kami lalu mengangkat kayu yang di tangannya. Dengan cepat diayunkan ke bawah, memenggal salah satu tubuh tentakel Gandamayit yang tadinya membelit perutku.

“Tidaaaakkk!!!!”

Marni menjerit, suaranya melengking tajam, memekakan telinga kami. Wanita itu menggulung tentakel besar itu dan menangisinya, menciuminya layaknya seorang ibu yang menimang jenazah anaknya.

“Aku akan membunuhmu!! Aku akan membunuh kalian!!”

”Sri, lari!!” seru Kribo serak.

“Dokumennya!!”

Aku berbalik menuju buku-buku yang sempat terjatuh, namun sabetan salah satu Gandamayit menghantam pingangku hingga terpelanting ke samping.

“Laila!!”

Entah siapa yang berteriak, suara mereka menggema. Sebuah tangan kecil diulurkan ke arahku, kugenggam tangan untuk membantu berdiri.

“Aduh!”

Nyeri dan ngilu terasa di kakiku, sepertinya terkilir. Sambil tertatih kulihat Marni menatap kami marah. Salah satu tentakel mengantung tak bernyawa di antara kedua pahanya, tapi tiga lainnya bergejolak ke segala arah bagai api. Mirip seperti tokoh Doctor Octopus dari film Spider-Man.

Kami berjalan seperti dua orang pincang. Sri selalu meringis ketika mengayunkan pahanya. Tentu saja, vagina dan duburnya dihajar habis-habisan sampai hancur tak berbentuk. Menganga dan tak bisa tertutup lagi. Kotoran mencret sesekali keluar dari dubur Sri karena ototnya sudah tak mampu menutup. Walau begitu dia masih mau berbalik dan menolongku.

Aku memang satu kelas dengan Sri sejak SMP, tapi aku tak terlalu mengenalnya, hanya tahu Sri sebagai perempuan cuek yang hanya peduli nilai dan dirinya sendiri, aku tak berani mendekatinya karena dia ketus padaku. Dia tak takut pada siapapun atau apapun, jika ada yang menurutnya salah, maka dia akan mengungkapkan pendapatnya saat itu juga. Sri adalah anak cerdas dan eksentrik.

“Ayo cepat!!” Kribo menahan pintu agar kami bisa keluar.

Tapi tiba-tiba meja yang dari tadi berada ditengah ruangan melayang dan menghantam Kribo dan lis pintu. Memblokade jalan keluar kami.

“Laila!! Sri!!”

Bisa kudengar teriakan Kribo dari luar. Kami terjebak bersama... Makhluk ini...

Ini buruk! Sangat-sangat buruk! Aku dan Sri tidak dalam kondisi prima, kami jelas tak bisa melawan. Ayolah Laila, berpikir! Perisai!! Pasti ada sesuatu di sekitar sini yang bisa kujadikan pelindung!

Belum sempat mengambil keputusan, cambuk-cambuk tentakel Marni melesat ke arah kami. Tanpa pikir panjang kupeluk Sri, membiarkan punggungku menjadi tameng daging.

“Laila!! Apa yang kamu lakuin?!” jerit perempuan petite itu.

Dadaku berguncang di bahunya setiap cambukan menerpa punggung. Walau tentakelnya berlendir, saat dipecut oleh mereka rasanya sakit sekali. Seperti dipukul dengan keras menggunakan selang besar.

“Dasar pengganggu! Minggir!!”

Salah satu tentakel itu melilit perutku dan menghempaskanku ke samping.

Ketika berusaha berdiri dengan bertumpu pada kursi kayu di sampingku. Kulihat Marni membelit kedua belah paha mungil Sri. Dia meronta, memukul-mukul wajah, mencakar, melakukan apapun yang dia bisa untuk lepas namun hasilnya nihil.

Marni menampar Sri, membuatnya berhenti melawan.

“Nyawa untuk nyawa!!” ujarnya penuh dengki.

Kini Sri menghadap ke arahku, seperti pertamakali kutemukan dia saat diperkosa Marni. Walau ukuran dadanya tergolong kecil, secara keseluruhan bagiku dia memiliki tubuh yang imut. Kulit kuning langsat, tonjolan kecil di dadanya seperti milik anak SMP dengan puting coklat yang kecil namun terasa pas. Jembutnya, walau tak ditrimming seperti Rana atau plontos seperti Jessie, tapi rambut yang tumbuh disekitarnya sangat tipis. Dia benar-benar memiliki tubuh seperti anak yang baru memasuki masa remaja, walau pada kenyataannya dia beberapa bulan lebih tua dariku.

Namun sekarang, vagina kecil dan imut itu sudah berubah menjadi lubang yang mengerikan. Menganga lebar karena disodok dengan keras sebelumnya. Daging merah pucat di dalamnya membuka sehingga cervix milik Sri terlihat dan hampir ambrol ke luar dari tempat semestinya.

Tanpa membuang waktu, Marni mendorong tentakel terakhir yang dimilikinya, perlahan masuk ke dalam vagina Sri yang masih menganga lebar. Awalnya Sri hanya menggelinjang, tapi semakin dalam Gandamayit itu masuk, ekspresinya berubah. Sri menjerit-jerit pilu, darah menyembur kencang dari vaginanya diikuti lengkingan nyaring gadis bertubuh mungil itu.

Ini tidak normal, darah sebanyak itu... Jangan-jangan Marni berusaha menembus badan Sri melalui genitalianya!!

“Jangan, hentikan, kumohon!”

Aku terjatuh ke depan mereka, wajahku hanya satu meter dari selangkangan Sri yang perlahan dibor dengan monster menjijikan! Dari sini aku bisa melihat pemandangan horror itu dengan jelas. Paha dan selangkangan Sri sudah berubah warna menjadi merah karena banyaknya darah yang menyelimutinya.

“Gehhhg!!!”

UUqL6m6.jpg

Sri memuntahkan darah dari mulutnya, mengalir di bukit kecil dengan puting manisnya hingga ke pusar. Aroma busuk tercium, sesuatu berwarna kuning jatuh ke lantai, bercampur dengan genangan darah. Sri mengeluarkan semua kotorannya yang lembek karena tekanan di vaginanya, membentuk gundukan seperti tai sapi segar.

Tak lama setelah itu, bukan hanya darah dan tinja yang mengalir dari sana. Gumpalan-gumpalan kecil daging berjatuhan seperti manik-manik. Astaga, Sri benar-benar dihancurkan dari dalam!!

“La... La...”

Bisikan lemah dari atas membuatku mendongak, Sri yang hampir terpejam menatap mataku. Tangannya bergerak gemetaran, kelingkingnya menyentuh hidung lalu menunjuk ke arahku pelan.

Genangan air membasahi mataku. Aku tahu betul gestur itu, karena akulah yang menciptakannya sebagai gimmick tanda permohonan maaf. Itu adalah gestur yang dilakukan protagonis novelku ketika menyesal telah melukai perasaan sahabatnya!

Aku tak mengerti, untuk apa dia melakukan itu, tapi bagiku... Itu seperti sebuah isyarat perpisahan.

Muntahan darah terakhir keluar, tangan Sri menggantung lunglai tanpa energi. Air mata masih membasahi pipinya, namun matanya terlihat kosong seperti mataku.

Marni menjatuhkan tubuh Sri tepat di kehadapanku. Kulihat selangkangannya. Vaginanya benar-benar hancur, tak bisa dikenali lagi. Seperti sebuah terowongan kosong dengan genangan darah merah.

Gandamayit yang baru saja menjamah vagina Sri itu memuntahkan sesuatu ke depan dadaku. Aku terpaku dengan mata terbelalak. Itu adalah sebuah ovarium yang masih berbalut darah! Ini adalah rahim milik Sri, kantung kecil yang harusnya Sri gunakan sebagai tempat melindungi bayinya saat mengandung nanti.

Masih tak percaya, aku merayap di kubangan darah menuju tubuh Sri.

“Sri... Bangun, Sri...”

Kugoyangkan tubuhnya, tapi tak ada respon, matanya tak berkedip, tak bernapas...

Kupeluk badannya, kucium dahinya, air mata mulai mengalir karena sedih, takut, marah. Kami mungkin tak terlalu akrab saat SMA, tapi Sri tak pernah menilai penampilanku, dia adalah cewek paling kompeten yang pernah kutemui, dia pemberani, dia adalah fans dari novel yang ku tulis, Sri adalah temanku, namun kini dia sudah... Mati...

“Sekarang giliranmu!” geram Marni.

Aku sudah tak peduli, ini kali pertama aku melihat secara langsung orang tewas dengan keji. Aku tak punya kesempatan melawan, jika dia ingin membunuhku, aku hanya berharap dia melakukannya dengan cepat. Marni membuka kedua kakiku, memperlihatkan memek hitamku dengan bebas. Aku mengerti, sepertinya dia juga ingin mengeborku seperti Sri.

Aku....

Akan mati.

***
Tepat ketika Gandamayit yang masih berbalut sisa darah dari Sri menyentuh bibir vaginaku, sebuah tinju dari lengan besar mendarat di leher Marni, membuatnya jatuh ke kursi di samping kami. Terdengar suara gemeretak tulang dari arah Marni. Tampaknya dia terjatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu, hingga mematahkan lehernya.

“Laila! Kamu nggak apa-apa?!”

Kulihat siluet pria berbahu lebar di hadapanku, wajahnya tak terlalu jelas karena cahaya matahari yang masuk dari pintu belakang yang baru dia dobrak. Tapi dari suara yang pelan dan bersahabat itu...

Bobby!! Bobby yang cengeng itu datang menyelamatkanku!

“Laila...” Bobby memegang bahuku, menyadarkanku dari mimpi buruk yang baru saja kulalui.

“Bobby... Sri... Sri udah...”

Aku menangis dalam pelukan Bobby, kurasakan kepalanya menoleh ke arah mayat di samping kami. Dada kami berhimpitan, aku bisa merasakan degup jantungnya yang semakin kencang, dia juga mungkin bisa merasakan detak jantungku. Bobby memelukku erat, membiarkanku menangis keras di bahunya.

“Ugh! Makhluk menjijikan ini!!”

Jessie yang baru masuk langsung menginjak sisa Gandamayit yang masih menggeliat di anus Marni. Kini tubuh itu tak menggelinjang lagi, tak berusaha bergerak karena belut monster itu sudah dihabisi Jessie.

“Ayo kita keluar, di luar mulai gak aman! Mana Sri?” tanya Jessie.

Aku dan Bobby tak menjawab, hingga akhirnya ketika Kribo datang, Jessie menyadari bahwa onggokan tubuh penuh darah di sampingku itu adalah Sri. Perempuan itu gemetaran, sementara Kribo menahan rasa mual melihat kondisi mayatnya.

“Laila, kamu bisa jalan?” tanya Bobby.

Aku menggeleng, “Kakiku terkilir...”

Pria tambun itu berbalik dan membungkukan badannya di depanku, memunggungi tubuhku.

“Ayo!”

Aku langsung tahu maksudnya, kurangkul leher Bobby, dia langsung meraih pangkal pahaku dan menopangnya dengan tangan besarnya. Tubuh Bobby, walau berbau keringat tapi terasa nyaman, mungkin karena lebih berlemak sehingga empuk, payudaraku tertekan kuat di punggungnya. Kami menyadari itu dan tersenyum kecut bersama.

“Petunjuknya ketemu kan?” tanya Jessie, aku hanya mengacungkan dokumen-dokumen yang sebagian terkena darah.

“Ayo kita cabut!”

Kami keluar lewat pintu belakang, namun tiga ekor Gandamayit menyadari keberadaan kami dan mulai mengejar, seiring waktu jumlahnya betambah, mengayun-ayunkan kepalanya seperti cambuk. Sabetannya mengenai punggungku, walau kekuatannya tak sebesar Marni, tapi lebam-lebam bekas serangan pembunuh Sri itu membuat pecutan mereka makin terasa ngilu.

Gandamayit itu mengejar berkelompok, beberapa yang merangkak melaju lebih cepat. Aku menoleh dengan sangat ketakutan, Bobby memang tergolong kuat, aku sudah merasakan sendiri bagaimana dia bisa melawan tenaga tiga orang demi memperkosa Rana. Walau begitu beban tubuhnya ditambah beban dariku menurunkan kecepatan berlarinya, ditambah tampaknya Bobby mulai kelelahan. Ketika salah satu kepala Gandamayit itu semakin mendekati kaki Bobby, Kribo berbalik dan menendang binatang tersebut. Memberi waktu bagi kami untuk akhirnya bisa menjaga jarak.

Kami berbelok ke sebuah gang kecil, berlari dan akhirnya tembus ke sisi jalan lainnya.

“Itu mereka! Bawa ke altar!!” teriak seorang pria.

Aku dan Bobby menoleh, itu adalah bapak yang menunjukan jalan kepada kami kemarin sore! Dia bersama beberapa warga membawa beberapa pentungan dan kini mengejar kami. Di pantatnya juga ada tentakel-tentakel. Persis seperti Mbak Marni.

Bobby yang menggendongku, mulai ngos-ngosan dan bermandi peluh dia tak pernah melepaskan cengkraman tangannya di pahaku.

“Guys ke jembatan!” seru Jessie cepat.

Kami mengikutinya ke jembatan kecil yang berdiri di atas sungai, tak terlalu tinggi memang. Aku tak melihat para warga, tapi suara teriakan mereka terus terdengar. Mereka tak jauh.

Jessie dan Kribo mendahului kami, mereka beberapa meter di depan kami, hampir sampai ke seberang jembatan. Ketika Bobby melangkahkan kakinya di sebuah batu dia tergelincir. Tubuh kami menggelinding ke bawah jembatan, mendarat tanah berlumut.

“Uhhh... Bobby, kamu nggak apa-apa?”

Telingaku berdengung, pandanganku terpecah-pecah. Kulihat Bobby tergeletak di pinggir sungai. Derap langkah warga terdengar makin dekat. Dengan tertatih-tatih, aku menghampiri Bobby. Darah segar mengalir dari dahinya. Pasti terbentur batu saat jatuh tadi!

Tanpa membuang waktu, kutarik badan besarnya ke bawah jembatan, kupeluk dan kuapit tubuhnya di bawah papan-papan kayu berdebu hingga suara hentakan kaki warga desa berlalu.

Kurasa kami aman sekarang...

Untuk sementara

***
Kubasuh darah dari kening Bobby dengan air sungai yang jernih. Percikan air tampaknya membangunkan pemuda tambun itu. Kepalanya bersandar di pangkuanku, jadi tentu saja dia kaget ketika membuka mata dan apa yang menyambutnya adalah daging susu berukuran masif milikku. Sampai-sampai langsung mencoba bangun, namun dada ini menghalangi.

“Ah... ah! Maaf!”

Kutekan dadaku yang sudah kubasuh dari darah agar Bobby bisa duduk dengan benar.

“Bobby... Kamu udah mendingan?!”

“Udah... Makasih La... Kalau kakimu gimana?”

Aku memijit pergelangan kakiku, masih terasa nyeri. Cowok itu sepertinya melihatku meringis sakit. Bobby merangkak lalu mengurut kakiku. Perlahan dia mengelusnya, memijat-mijat, menggoyangkan pergelangannya searah jarum jam. Awalnya memang sakit, tapi semakin lama terasa makin baik.

“Kamu jangan jalan dulu, Laila... Nanti biar kugendong aja...”

“Kita istirahat dulu aja sampai lebih aman, Jessie sama Kribo pasti juga lagi sembunyi...”

Selama beberapa menit dia mengurutku. Penisnya kembali ereksi karena sesekali dia mencuri intip ke arah puting susu ku. Sudah kuduga bentuknya sangat aneh! Dimana pentilnya? Bobby pasti berpikiran demikian. Kututupi mereka dengan tanganku, membuat Bobby terkejut, sepertinya sadar karena kuperhatikan.

“Ma-maaf...” gumamnya

“Iya?”

“Aku gak bermaksud ngeliatin, tapi... uh...”

Pria gemuk itu termenung, tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Aku juga hanya menunduk malu, padahal sudah beberapa jam kami bersama dengan tubuh telanjang. Kupikir aku mulai terbiasa, tapi ketika tinggal berduaan gini, rasa malunya jadi berlipat-lipat menyerang.

“Aneh sekali kan...” ujarku pelan.

“Apanya?”

Perlahan kubuka tutupan tanganku, membiarkan Bobby menatap puting coklat pucat yang menjadi permata kantong ASI ini.

“Areolanya lebar, pentilku masuk, nggak ada imut-imutnya kaya punya Rana dan Sri, nggak seksi kaya Jessie...”

“Laila... Kamu seksi!”

“Ha... Uh... Tapi aku nggak langsing kaya yang lain, kata orang aku kaya kunti-”

“Aku ga peduli kata orang, kamu cantik!”

Angin berhembus di atas kami, dadaku berdegup kencang, pipi dan telingaku terasa panas. Ini kali pertama seseorang selain ibuku mengatakan diriku cantik. Aku yang saat SD penyakitan ini, yang saat SMP selalu diledek karena wajahku seperti kuntilanak, yang saat SMA seringkali diabaikan layaknya hantu kelas.

“Bahkan dari SMA dulu aku suka kamu, La...” bisik Bobby pelan.

Belum habis rasa terkejutku dia malah memberi kejutan lain, aku menolehnya yang kini tertunduk malu. Dia menyatakan cinta padaku? Di saat-saat seperti ini? Aku sudah banyak membaca novel, novel ringan jepang apalagi. Menyatakan cinta pada situasi hidup dan mati itu pertanda buruk! Ini adalah death-flag!

“Aku ini loser, pengecut, badan doank gede tapi nyali ga ada!” lanjut Bobby, “saat itu aku ga pernah berani bilang, terlalu takut ditolak, tapi sekarang aku ga mau mati dalem penyesalan!”

Kini aku sadar kenapa Bobby bisa dengan mudah kubujuk ketika berusaha bunuh diri kemarin, dia telah lama menyukaiku. Aku tak tahu harus menjawab bagaimana, Bobby mungkin memang satu-satunya cowok yang dekat denganku, kami punya banyak kecocokan, hobi kami sama, bahkan banyak hal yang lebih nyaman kuceritakan bersama dirinya ketimbang Rana. Aku juga menyukainya, tapi hati, mata dan logika ku semuanya seperti bertolak belakang. Di satu sisi, Bobby memberi sensasi yang sama seperti bagaimana aku melihat Rana, dan setelah semua ini, hatiku makin lantang mengutarakan bahwa Bobby adalah yang cocok untukku. Di sisi lain, jelas Bobby jauh dari kesan pria tampan dan keren layaknya Sasuke dan Itachi Uchiha, dua husbando fiksi ku.

“La... Kamu mau ga jadi paca-”

Sebelum Bobby menyelesaikan kalimatnya, kututup bibir pemuda itu. Aku tak ingin mendengarnya sekarang, aku juga tak ingin menjawabnya sekarang. Bukannya aku ingin menolaknya, aku malah sedang mempertimbangkan perasaan yang berkecamuk di hatiku ini. Memori masa lalu dan kenangan hingga beberapa menit lalu berputar di kepala, bagaimana Bobby dulu bersikap padaku, bagaimana dia menangis, bagaimana dia menggendongku tanpa mengeluh. Bobby memang tak seatraktif Arman dari segi fisik, tapi hatinya jauh lebih besar dari itu. Dia punya hati seperti protagonis novel remaja!

“Jangan sekarang, kumohon... Tapi nanti... Saat kita keluar dari sini, saat kita bisa menyelamatkan lainnya, katakanlah itu padaku! Aku akan memberi jawabannya langsung saat itu juga!”

“Tapi bagaimana kalo kita gagal? Bagaimana kalau kita mati atau kejebak di sini selamanya?”

Tak ada kata-kata keluar dari pita suaraku. Aku tak tahu harus menjawab apa.

Kurasakan tangan Bobby meluncur ke pantatku, mengangkat bongkahan daging montok tersebut dan meletakannya di atas pangkuan bujangan itu layaknya hidangan sarapan.

Wajah kami berdekatan hingga dahi kami bertemu, kulihat mukanya memerah, Bobby juga sepertinya menyadari mukaku yang sudah seperti udang rebus ini. Aku tak melawan, bukan karena tak bisa, melainkan tidak ingin.

VkKvsml.jpg

“Aku menginginkanmu, Laila...” bisiknya.

Terdengar begitu cheesy, namun dengan segala perasaan yang dikeluarkan bersama kalimat itu, semua terasa mesra.

Lengan yang tebal melingkari punggungku, Bobby membenamkan wajahnya di sela-sela payudaraku. Napasnya yang berat dan pelan membuatku geli. Entah apa yang harus kulakukan, semua informasi dan pengalaman tentang seks kudapat dari komik homo dan sebuah timun dari kulkas. Aku tahu istilah foreplay, blowjob, dan semacamnya, tapi tak mengerti melakukannya dengan benar. Jadi aku hanya mematung dan tersenyum pada Bobby... Sambil melotot.

“Sekarang gimana?”

Astaga Bobby!!! Jangan tanya aku!! Yang dari tadi panas-panasin kan kamu! Sebal sekali rasanya dengan anak ini, dia juga nggak ada pengalaman, tapi dengan nekatnya memperkosa Rana dan sekarang ingin melakukan hubungan seks denganku.

“Ka-kayak Rana..?” tanyaku.

“Jangan kayak Rana...”

Mata kami bertemu, aku bingung dengan apa keinginan anak ini. Sekelibat ide sinting melintas di kepalaku. Senyumku melebar penuh arti, perlahan aku merosot hingga dadaku berada di atas pahanya.

“Bobby... Suka susu ku, kan?”

“Eh? Hah? Susu?”

Entah seperti apa kelihatannya, itu upaya terbaikku untuk jadi lebih genit dengan meniru gaya Jessie, tapi sepertinya gagal total.

Hyahh!! Malunya!! Aku cuma bisa fokus pada daging kejantanan besar berwarna hitam di bawah daguku ini. Kuapit batangnya dengan kedua payudaraku, lalu kugerakan tubuhku maju dan mundur dengan perlahan. Penisnya tenggelam sepenuhnya dalam jepitan gunung kembar, sesekali bisa kulihat ujungnya, namun kembali tertutup daging bagian atas dadaku.

“Guuuuhhh!! Sssh...!! Terus La... Jepitan tetekmu mantap!” racau Bobby.

Semakin Bobby berkata kotor padaku semakin aku merasa terangsang. Suara tepukan terus terdengar ketika bagian bawah tetekku menyentuh pahanya. Sesuatu keluar dari lubang kencing Bobby, cairan kental berwarna bening mengalir layaknya lava. Inikah air mani? Peju sungguhan?!

Aku penasaran!

Kudekatkan bibirku lalu mencumbu ujung penis milik Bobby, awalnya hanya jilatan kecil, namun kini kulahap benda besar itu. Saat tidak sedang ereksi, ukuran titit miliknya itu memang tak seberapa besar, mungkin cuma tiga perempat dari panjang telunjukku dan tebalnya sama dengan dua jari ku. Tapi saat ini panjang dan tebalnya bertambah dua kali lipat. Mulutku hampir tak muat jika harus mengulum semuanya.

“Hekkk!!!”

Tekanan besar mendorong kepalaku sehingga seluruh penis Bobby masuk hingga kerongkongan. Bobby menekan kepalaku dengan kuat, seperti tersedak paha ayam goreng utuh rasanya, sakit!

*Crott!* *Splurt!*

Peju hangat ditembakan ke tenggorokanku, kuantitasnya cukup banyak sehingga dengan cepat air mani Bobby membanjiri mulutku. Sebagian tertelan, tapi tak sedikit yang kumuntahkan keluar. Bobby mencabut penisnya yang mulai lunglai.

“Hekk... Hekk....”

Hanya itu suara yang keluar dari mulutku, cairan putih kental seperti lem kertas masih mengalir.

“Laila, kamu ga apa-apa?”

Aku menggeleng, tersenyum agar dia tak perlu khawatir. Merasakan tubuh wanita adalah hal yang sangat diinginkannya, dan sebagai seseorang yang menyelamatkanku, mengobati luka-luka ku, tubuhku ini mungkin hadiah yang cocok sebagai trofi untuk sang pahlawan.

Kami merapatkan punggung ke batu pondasi jembatan. Bobby memelukku dari belakang, pantatku berada tepat di atas penisnya yang kini kembali tegang. Vaginaku sudah basah, tanpa kusadari aku mulai memainkan bibir memekku.

Kami bercumbu, telapak tangannya dengan liar meremas dada kiriku, bermain dengan puting yang inverted ini. Sesekali berusaha masuk ke celahnya untuk mengeluarkan pentil yang tersembunyi di dalam sana.

“Setubuhi aku...” bisikku nakal.

Kurasakan sesuatu menjalar di bawah punggungku. Bobby berusaha memandu penisnya masuk ke... Eh? Tunggu... Itu bukan lubang yang...

“Bo-Bobby, itu... Boolku...” bisikku canggung

Bobby hanya mencium pipiku lalu memacak anusku dengan penis gemuknya.

Aku melenguh seperti sapi betina, rasanya seperti berak, tapi berak yang sangat besar dan arahnya terbalik.

“Sakit... Aduh...”

“Ah! Maaf... Biar kucabut...”

“Jangan!”

Pria itu diam, kemaluannya baru masuk setengahnya di duburku tapi aku mulai menikmati sensasi ini. Bobby mengangguk lalu menekan perutku, aku sedikit berjongkok, menggunakan beban tubuhku agar titit Bobby amblas sepenuhnya. Namun tepat ketika aku merasakan pangkal kontolnya, sesuatu di dalam anusku terdorong diikuti rasa mulas melanda.

Jangan-jangan..? Astaga... Aku tak ingin memikirkan itu...

Kubelokan wajahku, raut wajah khawatir kalau dia menyadarinya.

“I-itu tadi... Eekmu, Laila?”

Dia menyadarinya!!! Ingin mati saja rasanya, aku lupa kalau sejak kemarin aku tak sempat ke toilet! Harusnya aku tak melakukan anal!! Bodohnya diriku ini!

Kutekuk kedua lututku, tanganku juga menutup wajahku. Malu sekali rasanya, pengalaman seks pertamaku adalah anal seks, aku lupa membersihkan anusku sehingga limbah di dalamnya masih utuh, parahnya burung partner seks ku berabrakan dengan pupuk organik itu!

Kini baik aku dan Bobby tak berani bergerak, tak ada genjotan, goyangan atau apapun. Penis itu hanya bersarang di duburku begitu saja.

“Kulitmu halus ya.... Rasanya dingin, tapi di dalem situ hangat... Aku gak mau lepas dari kamu!” gumam Bobby.

“Kalau begitu jangan dilepaskan...”

Kubelai rambut Bobby lalu bersandar ke dadanya. Posisi kami kini setengah berbaring karena tanahnya sedikit miring. Tapi ini adalah posisi sempurna.

Waktu baru berlalu lima menit, tapi rasanya seperti seabad. Kami beristirahat seperti ini, dengan tititnya terpaku kuat di duburku. Dia menceritakan kehidupan pribadinya setelah lulus SMA, begitu juga denganku. Sesekali kami juga mengenang suka-duka masa SMA. Tertawa bersama, menangis bersama. Saat ini, aku dan Bobby adalah satu.

“Jawabanku adalah iya...”

“Huh?” Bobby tampak bingung ketika aku bergumam hal aneh tiba-tiba.

“Jadi pacarmu, aku mau, Bobby...” bisikku malu.

Cowok gendut itu tersenyum lalu menciumi leherku.

“Uhh... La, aku mau pipis!”

Kalimat pendek itu langsung merusak suasana, baru saja kami mendapat momen-momen romantis setelah cukup lama dibangun, tapi kepolosan anak ini menghancurkan segalanya. Aku harus memperbaiki momen!

Ketika Bobby akan menarik kontolnya, kukencangkan otot anusku.

“Eh?”

“Kamu udah nolongin aku, kamu udah kaya pahlawanku, Bobby,” ujarku, “aku wanitamu, aku adalah trofi yang layak kau terima, gunakan aku semaumu, bahkan sebagai toilet sekalipun.”

“Laila, kamu yakin? Sepertinya banyak banget lho!”

Aku tersenyum kearahnya, “kalau begitu kita lakukan bersama...”

Jemariku membuka bibir vaginaku, angin kencang tertiup membuat daging bagian dalamnya merasa geli. Tak lama Bobby mengejan, semburan air panas yang kencang menyemprot anusku. Aku juga mendorong apa yang kumiliki dengan kuat, air kuning berbau pesing membuat jalur lengkung dari urethra sebagai hilir membentuk muara di pinggir sungai. Kencing Bobby juga merembes dari sela-sela pantatku. Dia tidak bercanda saat bilang air seninya banyak, sudah lebih dari satu menit sepertinya, tapi masih terus keluar. Kotoranku yang tadinya menyentuh ujung penis Bobby terdorong makin dalam, perutku juga sedikit kembung, seperti seorang wanita hamil muda. Bobby mengelus-elus perutku layaknya seorang ayah yang menanti bayi dalam perut istrinya.

“E-Ella! Bobby kamu apain Ella!!”

Pekik nyaring dari suara yang sangat kukenal mengagetkanku, sebagian sisa kencing Bobby langsung merembes kencang karena tekanan dari organ dalamku.

“Bangsat! Minggir dari temenku!”

Kulihat Rana dan Arman berdiri bingung di samping kami, badan mereka kotor karena debu dan tanah.

“Ini bukan salah Bobby, Ran!”

Kata-kataku tak diindahkannya sama sekali, Rana mengambil sebongkah batu kali dan berjalan ke arah kami. Langkahnya terhenti ketika melihat genangan air di bawah selangkangan kami, terlalu banyak jika banjir kecil itu adalah dari air mani.

“Dasar babi, sekarang Laila yang kamu jadiin WC ya?!”

“Tu-tunggu, Ran!”

Masih menempel pada Bobby, aku berusaha menghalau Rana. Sementara lelaki itu berusaha mencabut kontolnya dari anusku.

“Tu-tunggu, Bobby! Kalau dicabut sekarang...”

Tapi terlambat, sumbatan duburku telah ditarik sepenuhnya. Otot-otot yang masih rileks tak akan sempat menegang tepat waktu.

“Haaaaaa!!!”

Aku mencengkeram bahu Rana ketika cairan bertekanan tingi memaksa keluar dari lubang pembuanganku. Sisa air seni Bobby menyembur. Rana menjatuhkan batu yang dipegangnya, Bobby juga tak percaya dengan apa yang dilihat. Tentu saja, wanita yang dia suka, yang baru saja secara resmi menjadi pacarnya melakukan sesuatu serendah ini. Setelah semua kencing Bobby dalam perutku habis, kubekap tubuh Rana hingga dada kami berhimpitan. Dia tak melawan, tak juga berkata apa-apa. Hanya menatapku syok.

“Haaa... Haaa... Heh... Hehehe... Maaf, Ran... Aku... Udah nggak bisa jadi cewek normal lagi...”

Emosiku campuraduk, mataku sendu, tapi bibirku tertawa, aku merasa jijik dan membenci diriku sendiri saat itu. Perasaan yang sama yang kurasakan saat SMP, aku ingin... Mati...

Apa yang terjadi kali ini sungguh gila, walau semua kejadian ini tak disengaja, tapi entah kenapa aku menikmatinya. Dilihat saat ngentot, ditonton saat buang hajat, rangsangan eksibisionis ini membuatku mencapai klimaks dan lemas.

“Kenapa harus sama dia... Aku ini selalu ada buatmu, kan?”

Rana menatapku dengan sendu, lega yang kurasakan mendadak pergi ketika melihat mata sahabatku itu. Rana... Menangis!

Bibirnya bergetar, mata coklat yang indah itu berkaca-kaca. Dia terisak sambil berusaha menghapus air mata. Bisa kurasakan dia seperti ingin menyembunyikannya, tapi ekspresi itu, air mata itu, tak mungkin kami tak tahu kalau Rana meluapkan rasa sakit hati.

“Maaf... Maaf... Aku...”

Rana membuang wajahnya dariku, berjalan cepat menjauh namun segera dihentikan Arman.

“Lepasin! Lepasin!!” bentaknya dalam isakan.

“Terlalu berbahaya di sini! Kita harus pergi, suaranya Laila tadi pasti narik perhatian Gandamayitnya!”

Bobby mendekat dan menggendongku setelah membilas belahan pantatku dengan air sungai. Mungkin merasa bertanggung jawab dengan penghinaan habis-habisan yang kualami ini karena secara teknis, setengahnya adalah salah lelaki itu.

****

Panas mentari mulai menusuk kulit, bintang utama itu posisinya sudah hampir di atas kepala kami. Mungkin sekitar pukul sepuluh atau sebelas saat ini, sembali ke kuil kecil tempat kami menyusun rencana sebelumnya. Sudah kuceritakan tentang Sri yang dibunuh Mbak Marni, warga desa mengejar kami, serta bagaimana kami terpisah dengan Jessie dan Kribo.

Rana mengisolasi diri dengan duduk di pojokan, memalingkan wajahnya dari kami seperti sedang merajuk. Aku memang sering menghadapi tingkahnya yang menyebalkan, tapi tak pernah semenyebalkan ini. Apa sih maunya?

“Ran... Kamu kalau ada masalah omongin!” hardik Arman yang tampaknya mulai terganggu.

“Gak juga!” jawabnya ketus.

Jelas ada masalah! Rana belum pernah ngambek seperti ini, mungkin dia butuh waktu agar bisa tenang. Kupegang bahu Arman, menggeleng pelan agar mau membiarkan Rana sendiri dulu untuk saat ini. Lebih baik kami fokus pada petunjuk yang sudah kami dapat.

“Jadi mereka membiarkan Gandamayit tinggal di dalem perut, sebagai ganti untuk mendapatkan tubuh awet muda?” ujar Bobby usai membaca buku anatominya.

Aku mengambil dokumen itu dari Bobby, membuka salah satu buku berisi anatomi Gandamayit, bentuknya kurang lebih seperti apa yang dikatakan Jessie, tapi di halaman belakang, ada satu yang ilustrasinya berbeda. Bukan belut atau cacing panjang seperti lainnya, melainkan sosok humanoid berwujud balita. Di buku dikatakan ukurannya sama seperti bayi berumur beberapa bulan. Secara bentuk juga cukup mewakili manusia, hanya saja kaki dan tangannya digantikan oleh tentakel pendek.

Kubuka buku satunya, sepuluh halaman pertama hanya berisi informasi yang sudah kami ketahui namun di halaman berikutnya, informasi tentang ritual yang disebut “kelahiran kembali” menarik perhatianku. Aku memanggil Bobby untuk membaca bersama.

“Lihat deh, katanya ini ritual Kelahiran Kembali!”

“Apa maksudnya?” tanya Bobby heran.


Aku menggeleng lalu membalik halaman selanjutnya. Aku teringat kenapa orang Belanda di buku sebelumnya mengatakan batu bertuah yang membawa keabdian, itu pasti merujuk pada ritual ini!

Kubaca pelan karena ejaan lama menyulitkanku, ritual Kelahiran Kembali adalah sebuah ritual dimana seseorang yang disebut Anak Surga terlahir dari ibu yang baru. Apa itu ada hubungannya dengan Gandamayit berwujud bayi itu? Itukah Anak Surga? Bobby merapatkan badannya denganku, menunjuk sebuah tulisan di pojok bawah.

“Bagian Anak Surga akan lahir kembali ke dunia setelah satu abad ini agak menggangguku... Yang ada di dokumen sebelumnya itu tahun berapa, La?”

Sambaran listrik melintas di otakku, kenapa tak terlintas itu sebelumnya?!

Kubuka dokumen pertama kami, kucocokan dengan struktur anatomi si Anak Surga ini. Dengan ritual seratus tahun sekali untuk berganti inang, berarti si Anak Surga ini spesial! Perlakuannya bagai raja jika dibandingkan Gandamayit yang lain.

"Batu Bertuah... Bukan sebuah batu!"

"Hah?" Bobby keheranan

Aku memperlihatkan ilustrasi embrio Anak Surga yang dimaksud kepada Bobby.

"Inilah Batu Bertuah sumber keabadian dan kekuatan mereka, sebuah janin!"

"Janin?? Tunggu! Artinya kita bisa bunuh sumber kekuatan mereka?"

Aku mengangguk mantap, secercah harapan bersinar di hati kami.

Kami sudah melihatnya, Gandamayit yang kami kira bergerak sendiri-sendiri, ternyata bisa mengikuti perintah, bergerak secara terkoordinasi, pasti setidaknya ada satu pusat kendali yang memberikan perintahnya! Jika pusat kendalinya hancur, maka seluruh Gandamayit yang ada di sini bukanlah jadi ancaman berarti!

"Ritual Kelahiran Kembali ini diadakan seratus tahun sekali! Aku udah baca, itu adalah prosesi memindahkan janin ke inang yang baru!"

“Seratus tahun yang lalu itu... 1918! Berarti ritualnya sekarang?!” sahut Bobby terkejut.

"Tapi... Itu dipindahin dari inang ke inang tiap seabad? Yang jadi masalah sekarang inangnya siapa?"

"Kita nggak perlu cari tahu siapa, aku tinggal menyerahkan diri sebagai inang yang baru, nanti juga muncul sendiri!"

Rana menyeletuk tiba-tiba di pojokan. Dadaku terasa panas mendengar sahabatku mengatakan hal itu dengan dingin. Seolah nyawanya tak ada artinya lagi, pada dasarnya, dia ingin bunuh diri!

"Rana!! Kok kamu ngomongnya gitu?!" bentakku karena sudah sangat marah.

Gadis itu tak menjawab, bahkan tak berani menatap wajahku ketika aku menghampirinya.

"Kamu dan Bobby yang harusnya hidup bahagia, alasanku hidup satu-satunya udah direngut dariku..."

Amarahku meluap, kutampar pipi Rana dengan kuat. Bobby dan Arman hanya diam melihat pertengkaran kami. Air mata kekecewaan mengalir saat melihat Rana berubah menjadi diriku di masa lampau. Kupeluk Rana kuat-kuat seolah tak ada kuasa langit dan bumi yang bisa memisahkan kami.

"Kamu itu matahariku, Ran... Jangan pernah padam..."

"Maafkan aku... Maafkan aku.."

Tangisan Rana pecah dalam tubuhku.

"Guys... Jadi sekarang gimana?" tanya Bobby.

Kami bergabung untuk kembali berdiskusi, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, aku membaca isi buku itu hingga halaman terakhir. Mataku menatap tajam, perasaan sedih, kecewa, marah, kaget, semua bercampur jadi satu ketika melihat sebuah foto di halaman terakhir. Foto Bu Rasti yang perutnya buncit seperti ibu hamil, memegang tangan seorang anak remaja berambut gondrong. Keduanya telanjang dan tersenyum ke arah kamera.

"Ini... Bu Rasti lagi hamil!" bisikku.

Rana dan Bobby melihat foto itu dan terkejut.

"Maksudmu, Bu Rasti selama ini inangnya?" tanya Rana memastikan.

"Tapi Bu Rasti kan udah meninggal!" timpal Bobby.

Aku hanya menatap sahabatku itu tanpa kata-kata, kemungkinannya memang kecil. Kecuali...

"Eh, ini cowok kok mukanya kaya kenal?"

Kurebut foto itu dari tangan Rana. Kemungkinan Bu Rasti sebagai inangnya memang tak bisa kupastikan, walaupun beliau tengah hamil di foto ini. Terlebih beliau sudah meninggal! Kecuali... Itu semua hanya bualan untuk menjebak kami! Setidaknya itu yang terpikir dalam kepalaku ketika melihat sosok pemuda di samping Bu Rasti. Semakin aku melihat wajahnya, semakin perasaanku tak enak.

“Ra-Rana... Bobby, kalian dapat surat undangan itu dari siapa?”

Suaraku gemetaran, takut tapi aku harus memastikannya.

“Eh? Arman dateng ke kostan...”

“Aku juga dari Arman...” tambah Bobby.

“Mobil... Transportasi... Sama berhubungan dengan desa ini... Siapa yang ngurus?”

“Ar... man...”

"Bu Rasti... Benar-benar sudah meninggal kan?"

Semuanya terdiam, menoleh ke arah Arman yang tersenyum menyeramkan pada kami. Pelan-pelan kuangkat foto itu hingga sejajar dengan wajahku. Gambarnya dengan jelas terlihat di samping bahu Arman. Pemuda yang berada dalam foto, yang berdiri di samping Bu Rasti, tak lain dan tak bukan adalah Arman! Dia adalah salah satu dari mereka!

Bobby menganga saking kagetnya, sementara Rana langsung berdiri.

“Lari!!” teriaknya.

Aku memutar badanku, merangkak untuk keluar ruangan kecil itu. Bobby langsung membuka pintu dan jatuh terguling. Harapan kami makin sirna ketika kini semua warga telah mengelilingi kami bertiga. Jumlahnya ada belasan, belum lagi mayat-mayat dengan Gandamayit yang menjulur dari mulut dan anusnya.

“Aaah!!”

Aku menjerit kecil, kututup mulutku agar suaranya tak keluar lagi. Tangan kananku meraih-raih telapak tangan Rana, menggenggamnya erat penuh teror.

Setidaknya ada lima mayat yang kukenal. Itu adalah sisa teman sekelas kami. Sisca, Andre, Tuti, Wildan dan Yayan! Mereka sudah mati dan berubah jadi zombie mengerikan itu!

“Tak ada gunanya melawan, bergabunglah dengan ritual ini!”

“Dalem mimpimu!” bentak Rana lalu meludah wajah Arman yang baru saja keluar dari kuil.

“Sudah kubilang melawan itu percuma kan? Lagipula cepat atau lambat kalian bakal seperti mereka!” balas Arman sambil mendongak ke samping.

Kami menoleh ke arah yang dituju. Beberapa warga mendorong sesuatu bergantian hingga akhirnya dua sosok yang kami kenal jatuh di hadapan kami.

“Jessie! Kribo!!” jeritku.

Keduanya mengaduh dan menatap kami tak berdaya. Tubuhnya dipenuhi luka baret dan memar, anus keduanya juga berdarah. Mereka pasti sudah disodomi secara brutal oleh warga.

“Bawa mereka ke altar!” perintah Arman.

Satu-persatu tentakel Gandamayit muncul dari bokong warga, menggeliat mengerikan. Aku menoleh ke belakang, tentakel itu juga muncul dari belakang Arman! Para warga menggiring kami seperti bebek menuju sebuah gua. Aku membantu Jessie berjalan sementara Bobby memapah Kribo karena air setinggi betis yang ada di dalam gua ini menyulitkan mereka.

“Kenapa?!” geram Rana pada Arman yang berjalan didepannya.

“Gue pikir lo itu temen kami!”

Kami menatap tajam ke arah pria tegap itu, rasa sakit hati jelas tersayat di jantung. Arman, cowok teladan yang sigap, yang selalu membantu dan punya jiwa pemimpin ternyata bagian dari mereka. Dialah yang menjebak kami agar datang ke desa Gandamayu, dialah yang mengatur segalanya, bahkan berpura-pura diserang ketika keluar pondok kemarin.

“Aku memang teman kalian, tapi jika kalian mau kooperatif, kita semua akan jadi keluarga!”

“Orang-orangmu udah ngebunuh Sri, Intan, temen-temen kita!!” maki Kribo.

“Kalian juga bunuh Marni, kan? Apa bedanya?”

Apa sebenarnya yang ada dalam kepala Arman? Dalam kepala orang-orang ini. Jelas-jelas mereka yang memulai, Sri dibunuh secara keji, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

“Arman... Kamu sudah sinting!”

Kukepalkan tanganku, aku marah! Sangat-sangat-sangat marah! Tak hanya karena menipu kami selama ini, dia juga melakukan hal yang tak terbayangkan jahatnya, seperti iblis!

“Laila... Laila... Laila... Kamu pikir cuma sembarang orang yang bisa ikut ritual ini? Kamu pikir kenapa kalian, kelas IPA-3 yang dibawa kemari?”

Arman menghentikan kalimatnya ketika kami memasuki sebuah rongga besar, sepertinya pusat dari gua itu. Lumut bercahaya fosfor menjadi penerangan sekeliling tempat itu. Walau digenangi air dangkal, namun ada batu berundak luas yang membentuk panggung, lengkap dengan karang yang menjadi singgasana di tengahnya.

fIbQWBm.jpg

Warga desa, pria dan wanita semuanya berjalan mengelilingi aula yang dibentuk oleh alam itu. Mayat kawan-kawan kami yang dikendalikan oleh Gandamayit bertumpuk di saluran masuk, membentangkan tentakel lebar-lebar sehingga membentuk tembok organik agar kami tak bisa keluar.

“Nana!!”

Jessie berlari ke arah seonggok tubuh yang tergeletak di pinggir altar.

“Na, lo gak apa-apa kan? Nana!!”

Tak mempedulikan yang lain, kami menghampiri Jessie. Betapa kagetnya diriku ketika melihat sosok itu. Dia adalah Nana, salah satu geng Jessie selain Intan yang sudah tiada.

“Ehe... Hehehe... Tetek...”

Nana menggerakan tangan lemasnya untuk menyentuh dada Jessie. Kami menarik Jessie mundur karena takut terjadi apa-apa.

“Entot aku... Entot aku...”

Perempuan di hadapan kami terlentang memposisikan tubuhnya, mengangkang dan memperlihatkan vagina menganga lebar.

“Ngentot... Ngentot...”

Satu-persatu suara desahan terdengar di sekeliling kami. Mereka yang sudah dari tadi di sini menggerayangin satu sama lain, melakukan hubungan badan tanpa peduli apapun lagi. Ini sama saja dengan pesta seks besar-besaran!

Aku memeluk lengan Bobby, orang-orang ini telah lebih dulu datang daripada kami, mereka sudah menjalani siksa neraka jauh lebih berat dan lama hingga tak mampu berpikir logis, dikuasai oleh nafsu seksual, membuat mereka hanya menginginkan seks. Mereka... Adalah sisa kawan-kawan sekelas kami!

“Ini buruk sekali, tak ada yang cocok, kuharap Anak Surga menyukai apa yang tersisa!”

Suara wanita yang sangat kami kenal membuatku tertegun, aku melirik singgasana karang, seorang wanita paruh baya dengan perut buncit seperti hamil sembilan bulan turun perlahan. Menapaki tangga yang tak rata. Wajah lembut itu menatap kami kosong, melewati kawan-kawan kami tanpa adanya empati, tak peduli jika mantan anak didiknya melakukan sesuatu yang tabu.

“Bu... Rasti.. Kenapa Ibu ngelakuin ini?” bisikku...

“Oh Laila, kamu ternyata datang, dari dulu Ibu tau kalau kalian ini spesial, salah satu dari kalian pasti bisa menjadi ibu yang cocok untuk Anak Surga!”

“Apa maksudnya itu semua?”

Rana menghardik, suaranya yang lantang menggema.

“Tentu saja karena Ibu sayang kalian... Desa Gandamayu adalah surga, semuanya hidup dalam kenikmatan abadi, tak terikat oleh waktu.”

Kenikmatan abadi yang tak terikat oleh waktu? Maksudnya seks? Kusentuh jembut di bawah pusarku, kulihat selangkangan kawan-kawanku. Aku benar-benar tak menyadarinya, bahkan sebelum baju kami hilang, ketika kami menjejakan kaki di pulau ini, libidoku secara abnormal meningkat. Semenjak SMA, aku memang cukup aktif secara seksual walau hanya sebatas masturbasi, mengosok vaginaku hampir tiap hari, tapi ketika berada di Gandamayu, semuanya seperti meningkat dua kali lipat! Satu-satunya yang menahan kami adalah insting survival untuk lari dari kematian. Prioritas utama kami selama ini.

Bahkan setelah diingat-ingat, semua ancaman yang mendekati kami sebenarnya mengarah untuk merangsang impuls seks kami! Bagaimana kami ditelanjangi dalam satu ruangan yang sama adalah pemanasan dan itu berhasil mempengaruhi Bobby. Insiden mayat Intan berhasil membuat Jessie berada di puncak orgasme. Bagaimana Marni mempermainkan alat vital Kribo dan Sri dengan brutal, bahkan romansa-bawah jembatan yang kulakukan bersama Bobby, yang berakhir dengan... Sesuatu yang akan menjadi aib seumur hidupku juga berkat rangsangan seksual yang dibangun sejak kemarin.

“Aiiiiyh!!” Lepasin! Lepasin gue!”

Jeritan Jessie menarik kembali pikiranku kembali ke badan, aku berjalan pelan ke belakang, namun sesuatu menahan kedua kakiku.

“Hiiiy!!” pekikku tak sanggup menahan takut dan jijik.

Belut-belut gandamayit berenang di air yang berada di sekitar kami. Gua ini adalah habitat asli mereka! Kami sudah skakmat!

***
Bu Rasti mengayunkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah sambil mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti. Warga desa yang mengelilingi kami mengikuti gerakan juga lantunan mantra seram yang disenandungkan Bu Rasti.

“Ini.. Ritualnya?”

Arman mendorongku hingga terjatuh di kolam dangkal itu. Pemuda itu menatapku dengan mata melotot dan senyum lebar. Gandamayit yang berenang di sekitarku berusaha menerobos anusku tanpa membuang waktu. Pemandangan horror saat melihat kematian Sri terlintas di kepalaku. Aku meronta, mengapit pantatku kuat-kuat agar mereka tak bisa masuk, aku tak ingin bernasib seperti Sri.

Seekor Gandamayit berhasil menusukan kepalanya, namun sebelum dia bisa merayap lebih jauh, kucengkeram lehernya dengan kuku tanganku lalu melemparnya ke samping.

Dengan cepat aku merangkak dan meraih Rana yang masih megap-megap di sampingku. Kuseret tubuh kami ke atas batu berundak, lalu berbalik dan menyeret Bobby dan Jessie, lalu Kribo.

“Hiiiy!!”

Sesuatu menjilati bibir vaginaku. Belut-belut itu bisa naik ke atas sini?! Ku tendang Gandamayit di belakangku dengan lutut, namun bukan suara cipratan benda berlendir yang terdengar, melainkan erangan Rana.

Aku berbalik, melihat Rana tersungkur dan kini membenarkan posisi tubuhnya lagi lalu merangkak ke arahku, merayap dan memaku bahuku ke lantai. Napasnya berat terengah, wajahnya penuh keraguan namun merah seperti sedang horny.

“Ra-Rana! Apa yang kamu lakukan?”

Dia menatap mataku tajam sembari menurunkan wajahnya perlahan, napas kami bertemu, hidung kami beradu. Aku terpaku dalam rasa bingung, takut, kaget hingga bibir kami menyatu. Miliknya yang tipis melumat bibir pucatku, lidahnya menari dan bergumul dalam mulutku.

Apa yang terjadi sebenarnya? Aku tahu Rana selalu mencolek bagian-bagian sensitif di tubuhku, berkata hal-hal jorok, tapi itu dalam konteks candaan! Atau... Itu semua samasekali bukan bercanda?! Tidak... Tidak! Mustahil Rana itu lesbian! Dia populer di kalangan cowok-cowok!

Jessie, Kribo, bahkan Bobby, semuanya menunjukan gejala yang sama seperti Rana. Bisa kulihat sekelibat tentakel menggeliat dari selangkangan Jessie. Mereka bereaksi pada jampi-jampi Bu Rasti! Mereka pasti dicuci otak!!

“Fwah!! Ran! Sadar Ran! Kamu dicuci otak!”

Sekuat tenaga kukerahkan agar bisa mengangkat tanganku, kutampar pipi Rana namun dia memelukku erat. Pinggul Rana bergoyang tak mengindahkan bulu kemaluannya yang tipis bergesekan dengan jembut lebatku.

“Aku suka kamu La, dari dulu...”

“Hah? Ka-kamu ngomong apa, Ran?”

“Aku udah sama kamu dari SMP, aku berusaha ngelindungin kamu, sampai SMA, sampai kuliah, kita selalu bareng... Tapi kamu malah ngentot sama Bobby!” Rana terisak, “kamu jahat, La...”

Aku tak mengerti, selama ini aku menganggap Rana sebagai teman terbaikku. Tapi aku tak tahu kalau dia menganggapku lebih dari itu! Rana benar-benar seorang lesbian! Itu artinya, semua candaan kotor yang dia lakukan padaku selama ini benar-benar dilandasi nafsu seksual?!

“Aku tau kamu juga suka La... Aku liat history internet mu... Gambar-gambar kartun homo kan? Kamu suka kan?”

Rana menyusupkan tangannya di antara kami, mulai mengobok-obok liang peranakanku dengan liar. Aku menggelinjang mendapat treatment handjob yang luar biasa brutal. Rana tahu betul tempat-tempat yang menjadi turn-on ku sehingga dengan mudah dia membawaku ke puncak klimaks.

Rana turun ke dadaku, memeras gundukan lemak itu seperti memerah susu sapi. Begitu keras hingga putingku yang selama ini tersembunyi di balik areola besar mencuat keluar, bahkan bagiku, itu adalah kali pertama aku melihat putingku sendiri. Ukurannya kira-kira sebesar satu ruas jari kelincing.

Kulihat Kribo dan Jessie bersetubuh tak jauh dariku, sementara Bobby bermasturbasi dan perlahan merangkak ke arahku. Dia mengemut putingku yang sudah berkeliaran bebas, menghisapnya seperti bayi. Rana masih menggerayangi perutku dan kini mulai menjamah bagian selangkangan.

“Huh?!”

Sensasi geli namun tajam terasa di dalam dada kiriku, seperti ditusuk jarum kecil namun makin kuat ketika Bobby menyedotnya dengan tenaga penuh. Si gembul itu akhirnya melepasnya setelah puas, menyeka mulutnya yang tampak baru saja melenyapkan dahaganya. Cairan putih mengalir pelan dari ujung puting coklat ini.

Laktasi? Tapi bagaimana mungkin?! Aku tidak sedang hamil! Tak mungkin aku hamil, persetubuhanku dengan pria satu-satunya itu melalui anal, dan aku tak pernah memasukan penis sungguhan ke dalam vaginaku!

Tiba-tiba rambutku dibelai lembut, Bu Rasti bersimpuh di samping wajahku sambil tersenyum hangat.

“Haah... Haaah... Hentikan ini... Kumohon, kembalikan teman-temanku...” pintaku.

“Yang kulakukan hanya membuat mereka menunjukan hasrat terdalamnya, inilah mereka yang sebenarnya, Laila...”

“Ha-hasrat?”

“Ya, Gandamayu adalah surga tempat dimana kita bisa menjadi diri kita sendiri, tempat untuk bersama dan membentuk ikatan keluarga yang abadi, bukankah itu indah?”

“Bohong... Ibu bohong... Nggak ada yang indah dengan ini semua...!”

Bu Rasti mendengus, lalu menepuk tangannya ke atas. Semua orang langsung terdiam. Hanya Rana, Bobby, Kribo dan Jessie yang masih sibuk dengan aktivitas seksnya.

“Stop! Bobby! Rana!” bentakku.

Kutarik tubuhku, Bobby berhenti menggerayangi tubuhku, namun Rana masih dengan buas melahap tempikku tanpa peduli bau pesing di bawah sana.

“RANA!!”

Begitu kutinggikan suaraku, tak hanya Rana yang diam, Jessie dan Kribo juga, bahkan kini semua orang menoleh ke arahku. Situasi ini sangat tidak mengenakan, aku tak suka menjadi pusat perhatian, tapi sekarang semua orang menatapku seperti bintang utama di atas pangggung, mengharapkan sesuatu terjadi padaku.

Bu Rasti tersenyum, tangannya menopang berat badannya yang sedang hamil itu. Cairan dalam jumlah yang tak masuk akal mengalir. Aku menutup mulutku yang menganga, air ketuban Bu Rasti pecah dan dia bersikap biasa saja akan itu!

“Laila, menurutmu kenapa kamu dan teman-temanmu melalui ini semua?”

Aku menggeleng.

“Karena kalian berhak mendapatkan surga, kalian sudah menjalani hidup yang terlalu keras di luar sana...” gumamnya lembut.

“Bagaimana dengan Sri? Lalu Intan? Lalu Sisca? Andre? Lainnya yang kalian bunuh dengan keji!” geramku sambil melirik ke arah mayat beberapa kawan sekelasku yang membentuk tembok penghalang.

“Mereka layak mendapatkannya!” seru Jessie tiba-tiba.

“Jessie! Apa maksudmu?!”

“Lo mungkin ga tau, La... Tapi Intan itu udah ngejebak gue! Dia yang bikin gue kudu ngelayanin om-om waktu SMA, dia ngejual gue, temennya sendiri!”

“Andre sama Sisca mengancamku, memerasku supaya aku mau jadi babu mereka,” timpal Bobby pelan.

“Lalu... Sri? Dia orang baik, dia anak pintar...” gumamku tak percaya setelah mendengar pengakuan mereka.

“Hahahaha?! Orang baik?! La! Kamu nggak sadar selama ini aku ngelindungin kamu dari siapa! Cewek-cewek bego yang ngebully kamu itu bukan bully sebenarnya! Tapi Sri! Dia dalang kenapa kamu hampir bunuh diri, La!!”

Aku terenyuh mendengar pernyataan Rana. Memori yang telah kukubur dalam-dalam menyeruak dalam ingatan. Aku melihat diriku yang masih berseragam putih-biru. Aku menunduk di depan guru yang mengomeliku sambil melemparkan sebuah buku catatan. Ketika berjalan kembali ke bangku, olok-olok semua orang menyayat telingaku. Cewek cabul, lesbong, bisikan-bisikan itu terus terdengar di kelas.

Lalu ruang kelas berubah menjadi kamar tidurku, ibuku menamparku dan terlihat sangat marah lalu menangis. Ruangan kembali berubah, kini menjadi bilik toilet wanita di sekolah. Menangis sambil memegang sebuah cutter.

“Si Laila itu jijikin banget, nulis karya ilmiah kek ketimbang cerita homo! Pasti gak belajar agama!”

Ketika aku akan menyayat pergelangan tanganku, kamar mandi sempit itu berubah menjadi kelasku lagi. Kulihat sosok gadis pendek berkuncir kuda membaca isi catatanku tanpa ijin. Matanya bergerak dengan ekspres jijik, lalu memasukan buku itu di kolong meja salah satu siswi yang menyebarkan fanfiction homoseksualku hingga heboh satu sekolah.

Aku melihat gadis itu berjalan dengan buku catatanku yang lain, itu adalah catatan tempat aku menyimpan bahan-bahan untuk lomba menulis essay yang akhirnya tak pernah kuikuti karena terlanjur jatuh dalam depresi.

Kenangan terus berputar hingga akhirnya aku berdiri di lapangan bersama teman-teman sekelasku. Kami bertepuk tangan kepada Sri yang mendapatkan penghargaan dari kepala sekolah karena membawa nama sekolah ke tingkat nasional setelah memenangkan lomba karya tulis ilmiah.

Semua memori itu kembali mundur hingga aku melihat wajah Rana di hadapanku. Air mataku mengalir di pipi. Aku mengerti sekarang, ini semua berhubungan. Sri mencuri data-data penelitianku dan menulis jurnal menggunakan data itu atas namanya sendiri, dia membuatku dibully hingga depresi, dia menghancurkan hidupku! Dan pada saat-saat terakhirnya, dia memohon maaf kepadaku.

“Hehe... Hahahahaha...”

Tawaku pecah dan menggema di gua itu, sebuah tawa yang memilukan karena hati ini serasa hancur setiap suaraku keluar. Bu Rasti benar, desa Gandamayu jauh lebih baik daripada dunia luar. Tempat ini adalah tempat penuh cinta, kami bisa berjalan telanjang tanpa ada yang perlu menghakimi bagaimana fisik kami. Kami bisa mengungkapkan cinta kami, berhubungan seks, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, segila apapun tanpa takut dibatasi norma. Kami bisa menjadi bahagia untuk selamanya, dan apa yang kumaksud selamanya adalah... SELAMANYA.

“Ella... Kamu sadar kan setelah dapet pencerahan itu? Kami juga melihat kebenarannya, lebih baik ada di sini...”

Rana menggenggam tanganku, lalu diikuti Bobby. Jessie dan Kribo juga mendekatiku, diikuti oleh sisa teman-teman sekelasku yang saling bergandengan tangan, senyum bahagia tersungging di bibir mereka. Semuanya yang ada di sini adalah anak-anak bermasalah, yang mendapat perlakuan tak adil di masa mudanya.

“Ibunda, kita tidak punya banyak waktu lagi...” gumam Arman kepada Bu Rasti.

“Waktu apa?” tanyaku.

“Kelahiran kembali, Anak Surga harus berpindah inang, dikandung dalam rahim wanita yang kuat dan suci, sepertimu...” gumam Bu Rasti pelan.

Aku mengerti sekarang, semuanya sangat jelas! Ritual itu adalah tentangku untuk menjadi pembawa kebahagiaan bagi teman-temanku! Mereka ingin aku menjadi “Ibu” yang selanjutnya setelah seratus tahun Bu Rasti mengemban tugas ini!

Rana dan Bobby menopang badanku saat berusaha berdiri. Aku mengangguk pada Bu Rasti, dibalas senyuman dan sorakan semua orang.

Bu Rasti memegangi tanganku untuk menaiki tangga-tangga besar menuju singgasana, terkadang aku harus sedikit memanjat. Kulihat sesuatu menyembul sedikit dari vagina Bu Rasti yang besar. Itu... Seperti sebuah kepala!

Guruku mendaki batu-batu terjal ini sambil melahirkan?! Dan dia bahkan tak khawatir sedikitpun tentang itu!

“Bu Rasti! Ada yang keluar!” pekikku karena khawatir.

Beliau hanya tersenyum sampai akhirnya kami tiba di singgasana tersebut. Walau kubilang singgasana, tapi itu samasekali tak berbentuk seperti kursi. Yang ada di puncak tangga bebatuan itu adalah batu besar dan rata yang telah ditumbuhi lumut tebal, bagian sampingnya terdapat gundukan seperti pembatas. Ukurannya mungkin sebesar kasur.

“Jadi bisa kita mulai ritualnya?”

Suara Arman mengagetkanku, dia berdiri di belakang kami bersama Rana dan Bobby yang tak kalah bingungnya.

Bu Rasti mengangguk lalu memintaku berbaring di sampingnya. Aku menurutinya dengan perasaan gelisah, hatiku dag-dig-dug tak karuan, ini seperti perasaan yang sama ketika menunggu hasil rapat editorial untuk menerbitkan bukuku dulu.

Kami tiduran berjejer, Arman mengambil sebuah mangkok berisi cairan kental dan mengoleskannya ke bagian bawah pusar kami, lalu turun hingga kemaluan.

“Hnnngh!”

Aku menggelinjang ketika Arman mengoleskan lendir itu ke dinding vaginaku.

Tak berselang lama, pria itu mendudukan kami berhadap-hadapan. Mengangkang seperti kodok dengan bersandar pada gundukan di samping batu. Ini posisi yang tepat untuk melahirkan. Bisa kulihat dengan jelas tubuh Bu Rasti yang dulunya seksi itu kini mengembung seperti ikan buntal, puting hitamnya meneteskan ASI dan sebuah kepala kecil menyembul dari rahimnya.

rudRbmk.jpg

Walau mirip seperti bayi orang, tapi bayi itu jelas bukan manusia. Matanya besar dan berwarna hitam seperti penggambaran alien, mulunnya kecil dan manis, namun tak memiliki hidung. Ada rongga-rongga di samping kepalanya sebagia pengganti telinga, mirip insang pada ikan.

Arman berbisik pada Bobby dan Rana, mereka mengangguk dan naik ke panggung batu itu bersama kami. Bobby memeluk Bu Rasti dari belakang sementara Rana memelukku. Tangan Bu Rasti menyusuri selangkangannya, melewati kepala bayi yang menyembul untuk memandu kontol Bobby masuk menuju anusnya, sementara seekor Gandamayit keluar dari dubur Rana, berusaha menusuk pantatku.

Kali ini aku tak akan melawan, kulemparkan senyuman pada Bobby yang hampir menyodomi Bu Rasti, lalu kucium pipi Rana. Aku memang bukan seorang lesbian, tapi aku rela menjadi boneka daging pelampiasan nafsu sahabatku ini karena hingga akhir, dialah yang peduli denganku.

Rana mengangguk pada Bobby dan perlahan mulai melakukan penetrasi pada anus kami.

“Ouuuhhh!!” lenguhku.

Bu Rasti juga menganga lebar karena menikmatinya.

Begitu kontol Bobby dan tentakel Rana masuk di tubuh kami, Arman mengangkat tangannya tinggi-tinggi diikuti sorak sorai semua orang. Dari atas sini aku bisa melihatnya, para warga mulai bergabung ke panggung batu, menarik pasangan mereka, begitu juga dengan teman-teman sekelas kami. Jessie bahkan menarik dua orang lagi selain Kribo yang menggenjot memeknya, dia ngentot, disodomi dan melakukan blowjob bersamaan. Semua orang di bawah sana melakukan hubungan badan secara liar.

Pemandangan orgy besar-besaran ini membuatku makin panas. Kugosokan tanganku di bibir vagina searah jarum jam, jari tengahku menelusuk ke dalam liang peranakanku. Bisa kudengar tawa Arman dan lainnya melihat kelakuanku yang sedang Horny.

Rana dan Bobby perlahan menggenjot kami, aku mendesah, menngerang dalam tiap goyangan pinggul Rana. Tak hayal pinggulku juga ikut bergerak-maju mundur seirama dengan gerakan Rana. Sensasi di anusku berkali-kali lipat lebih nikmat daripada saat disodomi Bobby, mungkin karena ini ada gerakan maju mundur secara dinamis yang terjadi di dalam sana. Rana mendesah, matanya merem-melek setiap menggenjotku. Kubelai rambut pendeknya, lalu kulumat bibir mungil gadis berkulit sawo matang itu.

Sementara Bobby mengentot pantat Bu Rasti dengan semangat, setiap sodokannya membuat bayi di rahim wanita itu keluar sedikit demi sedikit.

“Ouuh... Iya, terus begitu Bobby... Sodomi Ibu, sayang! Dorong terus bayinya sampai keluar!”

Seruan-seruan nakal keluar dari mulut Bu Rasti, tangannya meraih kontol Arman lalu mengocoknya. Pemuda itu tersenyum lalu naik ke atas batu dan berdiri di depan muka Bu Rasti. Dipegannya kepala wanita itu lalu secara perlahan dia menyodokan penisnya ke mulut guru kami.

Bayi itu sudah keluar hingga pinggang, membuat perut Bu Rasti sedikit kempes, dia memiliki tangan kecil namun kakinya berbentuk seperti belut, mirip seperti puteri duyung dalam cerita-cerita. Bu Rasti benar-benar melakukan proses persalinan sambil diperkosa oleh murid-muridnya!

“Bu! Aku mau keluar!” jerit Bobby.

“Aku juga, Bu!” tambah Arman.

“Huuuuggghh!!”

Ketiganya mengejan kuat, semburan cairan lengket keluar dari vagina Bu Rasti membuat bayi yang sudah setengah keluar itu meluncur dan terbebas dari rahimnya. Aku dan Rana hanya melongo melihat pemandangan itu sambil terus bergoyang.

Bobby dan Bu Rasti ngos-ngosan lalu bercumbu. Pacarku itu meremas payudara Bu Rasti hingga ASInya keluar, lalu minum dari sana. Sementara Arman menggendong bayi setengah belut yang menggeliat ke arahku.

“Kamu sudah siap, Laila? Sekarang Anak Surganya akan kumasukan ke dalam rahimmu”

Rana menahan bahuku, “tenang, aku bersamamu La...”

Aku tersenyum lalu mengangguk pada Arman. Pemuda itu berlutut, lalu mengarahkan sang Anak Surga ke vaginaku. Tangan kecil bayi itu membuka liang peranakanku dan masuk secara paksa ke sana.

“Aaaahh!!! Auuuhh!! Sakit... Aaaahhh!!”

Jeritanku menggema, kakiku menendang-nendang ke udara, membuat Arman terjungkal. Pergerakan bayi itu berhenti, baru kepalanya yang masuk ke dalam memekku. Melihat itu, Bu Rasti mencabut pantatnya dari kontol Bobby yang kini dipenuhi noda kuning. Wanita tersebut mencumbuku, membelai jembutku dengan penuh kasih sayang.

“Tidak usah dilawan, Laila... Sakitnya hanya sebentar, itu sepadan dengan menjadi sumber kebahagiaan kawan-kawanmu, yang sebentar lagi akan menjadi keluargamu.”

Aku mengangguk, napasku masih terangah ketika Bu Rasti memberikan isyarat pada Bobby dan Arman untuk memegangi pahaku.

Mereka mengangguk lalu memacak paha gendutku ke lantai. Bu Rasti mengelus punggung Anak Surga itu dan dia kembali menggeliat.

“Auuhhhh! Sakit... Perih!!”

Erangan-erangan memilukan terus keluar selama lima belas menit. Beberapa kali aku pingsan karena tak kuat menahan sakitnya, entah sudah berapa air kencing yang keluar, bahkan tinjaku juga keluar.

Prosesi ritual menyakitkan itu akhirnya selesai. Perutku membuncit karena kini mengandung Anak Surga. Sensasi geli terasa di dalam rahimku, sepertinya bayi itu bergerak dan menggelitiki organ kewanitaanku itu.

“Huh? A-apa yang terjadi?”

Aku melihat perutku perlahan kempes dan kembali ke ukuran normal.

“A-apa ritualnya gagal?”

“Sebaliknya, Anak Surga menerimamu sebagai ibu barunya... Proses penyerapannya berhasil” jawab Bu Rasti.

Aku tersenyum lalu menoleh ke belakang. Eh? Rana tampak meringis kesakitan, perutnya sedikit buncit.

“Lho, Rana! Kamu kenapa?!”

“Kenapa... Kenapa, kamu berak langsung ke boolku!”

Dia mencubit putingku sambil berusaha tersenyum. Aku melirik anus kami, masih terhubung oleh tentakel Gandamayit. Astaga, aku lupa! Pada dasarnya belut-belut ini membentuk sebuah selang, ujung satu dan lainnya terhubung. Saat proses unbirthing tadi aku mengeluarkan banyak sekali tai, namun tak ada satupun yang berceceran! Semuanya pasti masuk ke dalam anus Rana.

“Bobby! Pegangin Ella, entot dia kalau perlu! Aku mau balas dendam!”

“Eh?! Balas dendam?”

Bobby langsung memelukku, kini aku diapit oleh sahabat dan kekasihku, dengan cepat Bobby menusukan penisnya ke vaginaku dan mulai menggenjot. Rana juga melakukan hal yang sama dengan anusku.

“Ahhh, Laila, aku cinta kamu!!!”

“Aku juga mencintaimu, Bobby!”

Kami bercumbu dalam threesome selepas ritual, tak mempedulikan Bu Rasti dan Arman yang cengar-cengir menonton kami.

“La, aku juga mencintaimu...”

Rana mencium pipiku, lalu kusambut bibirnya dengan kecupan. Cukup lama kami bercumbu dan menarikan lidah kami bersama.

“Ran, maafin aku...”

Kami langsung berhenti ketika Bobby meminta maaf kepada Rana, sambil terus mengentot memekku. Si gendut ini tahu betul cara merusak suasana.

Rana hanya tersenyum, “sini, Bobby!”

Pacar dan sahabatku kini bercumbu dengan liar. Sungguh aneh, tak ada rasa cemburu padahal kekasihku diciumi oleh wanita lain. Aku malah merasa tenang dan... bahagia.

Kontol Bobby terus menggenjotku, kecepatannya makin intens, Rana tak mau kalah. Mereka seperti berkompetisi dengan tubuhku sebagai arenanya.

“La, ijinkan aku menghamilimu, biar aku jadi ayah dari anak-anakmu!”

Ini dia, kata-kata cheesy khas Bobby! Tampaknya dia ingin menembakan spermanya ke dalam telur-telurku.

“Jadilah suamiku, Bobby!” bisikku.

Rana cekikikan di belakangku, meledek betapa cringe dialog kami itu. Aku dan Bobby menoleh dengan tatapan sebal, dia yang menyadarinya hanya tersenyum kecut, lalu menghela napas.

“Kalau begitu aku juga La...Ijinkan aku jadi suamimu,” bisik Rana lembut.

Kurangkul leher Bobby dan Rana, kudekatkan wajah mereka ke arahku. Air mata haru turun perlahan, aku tak kuasa menahannya ketika kurasakan pejuh Bobby masuk ke dalam vaginaku, juga gelondongan kotoran padat Rana yang terdorong masuk ke duburku.

Kini intisari dari kedua orang yang sangat kusayangi mengalir dalam tubuhku, sesuatu yang sangat intim dan personal bagi mereka. Kami bertiga telah menyatu sebagai keluarga.

Terimakasih... Suami-suamiku...

***
Hampir sembilan bulan telah berlalu semenjak kami datang ke Gandamayu. Perutku sudah membesar, hamil oleh anak pertama kami. Buah hati hasil senggamaku dengan Bobby.

Aku duduk di kursi kayu depan gubuk kami, telanjang bermandikan matahari. Jessie di seberang rumah kami sedang menyiram tanaman di seberang, lalu Kribo keluar dari rumah dan mencumbunya, mengangkat paha wanita itu dan langsung bersetubuh di hadapanku. Aku melambai pada mereka, keduanya tersenyum dan melambai balik sambil terus melakukan aktivitas suami istri itu.

Kulihat jalanan desa di depan rumah kami. Beberapa warga bercengkerama dan bersenda gurau, anak-anak bermain dan berlarian, sementara beberapa ada yang bersenggama di halaman atau di manapun mereka menginginkannya.
Arman menyekop segunduk kotoran untuk diberikan pada mayat Sri dan Marni yang dibangkitkan kembali, kini bertindak sebagai hewan peliharaan Bu Rasti.

Bobby dan Rana baru saja datang dari ladang, sepertinya ubi di kebun kami sedang panen. Rana memberikan satu renteng ubi kepada Jessie dan Kribo, keduanya berterimakasih tanpa menghentikan aktivitas senggama itu. Bobby duduk di sampingku dan langsung mencium bibirku.

Rana bergabung dengan kami, kucumbu mereka dengan mesra secara berigiliran. Kami tersenyum, mengelus perutku bersama-sama. Tak ada yang berubah dari kami, kata-kata Bobby sembilan bulan lalu menjadi nyata karena kini kami adalah manusia abadi yang tak terikat waktu.

E0WT1gy.jpg

Kini kami semua adalah keluarga, dalam rahimku terkandung buah kebahagiaan kami. Aku bahagia menjadi istri dua sahabatku ini. Tak ada yang menghakimi kami untuk mendapatkan kebahagiaan, tak ada batasan yang mampu menghalangi kami. Bahkan hukum alam sekalipun.

Di sini, semua orang bahagia. Di desa asri yang damai dan penuh cinta ini...

Desa Gandamayu... Memang sebuah surga.




18np76B.png
 
Terakhir diubah:
Udah baca semua om superkudit, hahahaha
Keren banget, apalagi pake gambar buatan sendiri harusnya jadi nilai plus

Moga2 menang om :D
 
Wanjiirrr keren ceritanyaaaa...

:ampun::ampun:
Thanks suhu sudah berhasil memposting ceritanya yg ******* (dilarang spoiler) :Peace:



:beer:
Smoga bisa terpilih jdi juaranya.:mantap:

Wahhh! Terimakasih dukungannya Suuhu! :ampun:
Minder banget aslinya mau bikin cerita gini, belum pernah nulis cerita panas dan entry yang lain pada sangar-sangar!
 
Kereeen banget ceritanya. Gambarnya juga salut banget. Bikin sendiri lagi. Pasti Suhu sangat total mempersiapkan cerita ini. Semoga sukses, Suhu.
 
Mantep ini mah ceritanya...
Berasa nonton pelem...
Semoga bisa menang om... :semangat:

Hahahaha thx Hu, semoga menghibur atas bawah.

keren bangeet brada :jempol: ane demen banget lho cerita yang fetishnya level 'hell' macem gini :panlok4: baru liat cover + tagar-tagar warningnya aja ane udah langsung ngiler pengen cepet2 baca :pandaketawa: Endingnya juga ane suka, tipe-tipe ending fav ane banget dah :panlok1:


( Laila oh Laila... :nenen: :pandaketawa: )

Wah sama, Hu... saya juga demen yang ekstrim sih kalo untuk fiksi.

Kereeen banget ceritanya. Gambarnya juga salut banget. Bikin sendiri lagi. Pasti Suhu sangat total mempersiapkan cerita ini. Semoga sukses, Suhu.

Terimakasih dukungannya Hu! XD
 
Ga ada yg minat buat ngangkat jadi hentai original indonesia pertama nih?

Cadas suhu! Epic!
 
Ga ada yg minat buat ngangkat jadi hentai original indonesia pertama nih?

Cadas suhu! Epic!

Sebenernya udah ada beberapa komikus yang bikin Hu, jadi saya gak bakal bisa jadi yang pertama.
Tapi kalo komik hentai orisinal indo, kebetulan saya lagi ngerjain project begitu. Doakan biar bisa kelar sebelum akhir tahun, Hu.
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd