Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI PERAWAN BAHU LAWEHAN [LKTCP 2018]

Shibuya

Guru Semprot
Daftar
2 Oct 2014
Post
645
Like diterima
294
Lokasi
Ichinomiya Tres Spades Hotel & Casino
Bimabet
PERAWAN BAHU LAWEHAN
QumPF8I.png




Ada sebuah legenda yang menceritakan, dahulu kala seorang raja tengah mengadakan pesta perayaan ulang tahunnya. Ia mengundang semua sahabat karib dari kalangan manusia,dan Jin tanpa terkecuali. Di dalam pesta salah satu Raja Jin bernama Gadra telah jatuh cinta pada Putri raja, Dewi Citra. Gadra sadar perasaannya pada Dewi Citra bukanlah perasaan wajar, dia Jin dan Citra manusia. Namun cinta itu begitu kuat hingga membuat Gadra tak tahan membendungnya.


Suatu malam dengan kekuatan yang ia miliki, Gadra berhasil merebut hati Dewi Citra kemudian hubungan terkutuk itu pun terjadi tanpa sepengetahuan penjagaan istana yang dilengahkan Gadra.


Sehari kemudian Citra hamil namun perutnya membesar layaknya ia sedang mengandung 12 minggu. Istana gempar, Raja murka dan memutuskan persahabatannya dengan Gadra lalu mengusirnya agar tidak pernah kembali ke Istana, kemudian Raja menyuruh tabib menggugurkan janin berdarah campuran itu.


Namun Dewi Citra memohon agar buah cintanya dengan Gadra dibiarkan tetap hidup. Karena sang raja sangat menyayangi Citra ia pun menuruti puterinya..


Tepat di malam purnama seminggu setelah kehamilannya, seorang bayi perempuan cantik lahir ke dunia dengan tanda lahir berupa tanda hitam sebesar logam tembaga di bahu sebelah kiri.


Ia tumbuh menjadi gadis yang amat cantik, namun ia tetaplah anak Iblis yang dikutuk. Cucu raja hidup menderita. Setiap kali berhubungan dengan pria, pria itu akan mati. Dukun istana berkata kutukan akan berakhir jika ke-7 lelaki sudah mati karena mencintainya.



PERAWAN BAHU LAWEHAN


AUTHOR : SHIBUYA

GENRE : DRAMA, SUPRANATURAL,FIKSI,MISTERI

RATE : M (21+)



pFbXQ8S.jpg



Tirai putih transparan melambai pelan seirama mengikuti arah angin yang menerobos melalui celah-celah jendela. Di dalamnya sebuah kamar dibiarkan gelap tanpa penerangan, terkesan dingin, kelam, dan sunyi.


Sinar keemasan matahari sore yang menembus melalui kaca menjadi satu-satunya sumber cahaya. Cahaya yang mengenai salah satu sisi wajah sayu sesosok wanita yang tengah menunduk muram di tepian ranjang. Tangan putihnya gemetar, mencengkeram erat dada terbungkus jilbab hitam yang ia kenakan. Kedua bahunya bergetar naik-turun diikuti sayup-sayup suara isakan yang memecah hening.


Debrina Zahra merasakan sesak memenuhi ruang di dadanya, perasaan percampuran antara hancur berkeping, marah, kehilangan, dan duka mendalam.


Lagi, ini sudah ketiga kali. Calon suaminya mati─mengenaskan, Hasan terseret ombak lautan, Ikhsan jatuh dari tebing gunung, tercabik binatang buas. Kini Deri tertabrak kereta, terbelah─hancur, menorehkan luka di tempat yang sama.


Ia menggigit bibir bawah yang mulai terasa perih, menahan kuat-kuat isakan agar tidak menjadi jeritan, namun itu hanya menambah rasa sakit yang tak bisa lagi ia kuasai. Pertahanan itupun runtuh tanpa disadari. Debrina menjerit, menjerit sekuat mungkin meluapkan rasa sakit yang tak bisa ia gambarkan dengan sederhana.


Kerabat di luar kamar panik berdatangan ingin masuk dan melihatnya, namun tertahan pintu yang terkunci rapat, ketat, tiada akses. Permintaan untuk dibukakan pun tak diindahkan wanita yang sedang dirundung duka. Yang bisa mereka lakukan dari luaran pintu hanya memberi nasehat, kekuatan agar ia tak berbuat nekat. Jujur saja itu semua tak ada artinya bagi Debrina sekarang.


Masih lekat dalam ingatan, siang kemarin pria nahas yang dikenalkan Ayahnya pada suatu pertemuan itu datang ke rumah, mengenakan setelan mahal berwarna abu, rambut tersisir rapi menawan, dan aroma ambergris menguar dari kulit tan-nya yang maskulin. Wajahnya memancarkan senyum cemerlang luar biasa di mata Debrina, seolah memaksanya untuk terus jatuh cinta setiap hari pada pria yang sama.


Didampingi kedua orang tua dan kerabat dekat pria bernama itu Deri melamarnya.


Hari itu Debrina mengenakan setelan berwarna merah pastel mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, tak ketinggalan make-up tipis bernuansa peach natural yang membuat kecantikan alami Debrina semakin bersinar.


Pertukaran cincin dilakukan di depan kedua keluarga. Tak ada keraguan di hati si gadis cantik bermata bundar untuk menerima lamaran Deri. Ia mengangguk malu, kemudian kedua sudut bibir tipis Debrina terangkat menatapi wajah-wajah yang tersenyum lega melihatnya memakai cincin berukir nama Deri di sisi belakangnya, pertanda ia sudah diikat tak resmi oleh pria yang merasa paling beruntung itu.



Deri adalah pemuda baik, dewasa, penyabar, dan penyayang, mempunyai karir bagus di sebuah perusahaan asing, tipe ideal di kalangan wanita. Semua setuju Deri pasangan sempurna jika disandingkan dengan Debrina, seorang desainer muda yang mandiri. Wanita cantik berkulit putih bersih bak salju, jika tersenyum pipinya bersemu merah seperti buah persik. Setiap hari tubuhnya dibalut pakain besar dan tertutup bebas dari pandangan buruk, aura kedamaian saat ia berbicara selalu terpancar bagai sihir siapapun yang diajaknya berdialog. Dia juga wanita soleha yang sangat menjaga ibadah.


Kedua belah pihak-pun sudah memutuskan pernikahan akan dilaksanakan tiga minggu dari sekarang.


Setelah beberapa saat menyelesaikan sesi obrolan ramah-tamah antar kedua keluarga lantas keluarga Deri berpamitan pulang.


Tidak ada firasat buruk. Hanya Deri yang berdiri terlalu lama menatap tunangannya, membuat wanita ini salah tingkah kemudian malu-malu menegur agar tidak melakukan hal itu. Tidak, tidak apa-apa hanya saja yang Debrina tau menatap lama-lama orang yang belum halal baginya adalah sebuah dosa.


"Aku ingin melihatmu lebih lama sebelum hari pingitan ini dimulai. Hanya ingin menyimpan lebih banyak ekspresimu, lalu akan aku ingat jika rindu." Pria itu tersenyum, Debrina tersipu dengan hati berbunga. Namun kegiatan merayu itu harus berakhir saat Ayah Deri mengajaknya segera pulang dan masuk ke mobil. Saat itu Debrina hanya menatap punggung Deri yang perlahan menghilang dari iris matanya dalam diam.


Satu jam kemudian kabar duka datang bagai petir yang menyambar tepat di atas kepala. Petaka yang tak ingin ia dengar. Rombongan Deri mengalami kecelakaan─pemuda itu terlempar dari mobil, tubuhnya terseret kereta sejauh seratus meter─ terpisah-pisah mengenaskan.


Kata orang itu sengkala. Perias wisuda Debrina melihat tanda di punggungnya, Wanita itu lalu menyebar gossip bahwa Debrina wanita pembawa bencana, Deri mati karena ingin menikahinya. Gunjingan itu terus terngiang di telinga, menambah rasa nyeri bertubi dihatinya.


Debrina bangkit menghapus air mata di pipi, berjalan ke meja rias dan mematut diri di depan cermin. Di sana hanya terpantul bayangan wanita dengan tinggi sekitar 155cm, hijab lebar dan pakaian yang besar seolah menelan tubuhnya yang mungil.


'SET!'


Dengan kasar ia menarik kerudungnya hingga terbuang ke lantai, Debrina menangis tersedu membiarkan rambut sepanjang punggung itu tergerai kusut. Kemudian dengan kasar pula mempreteli terusan beserta pakaian dalamnya hingga ia bisa melihat sendiri tubuh telanjang bulatnya di dalam cermin.


Ia amati penampilanya apa ia pantas disebut pembawa kematian untuk orang lain? 'Hei!' Ingin Debrina teriakkan, tidak ada hal keji yang bisa dilakukan wanita lemah, berwajah sendu, dengan kelopak mata yang membengkak, dan tubuh yang lemah di dalam cermin itu! Tapi kenapa orang-orang menyebutnya pembunuh?! Memangnya apa yang bisa dilakukan wanita yang bahkan bibirnya gemetar hanya karna menatap pantulan diri sendiri yang terlihat menyedihkan? Apa yang bisa ia lakukan untuk menyakiti orang lain?



Tangan Debrina perlahan naik menyentuh punggung kanan yang hangat lalu berbalik ke samping menghadapkan ke depan cermin, ia ingin melihat tanda yang ada pada punggungnya. Saat tangan Debrina beralih turun ke lengan ia bisa melihat sebuah tanda lahir berwarna hitam sebesar uang logam, tanda lahir yang membuatnya disebut wanita bahu lawehan.


Air mata Debrina meleleh deras, hanya karna tanda itukah dia terkutuk? Hanya dengan itukah dia bisa membunuh laki-laki tak bersalah? Jika memang iya, apa semua akan berakhir jika dia merusak tanda itu?


Lantas ia mengambil pisau cutter dari dalam laci, menempelkan di pundak benda bermata tajam namun tak punya hati itu. Ia sudah memperkirakan mungkin hanya dengan sekali sayatan dalam tanda terkutuk itu akan hilang dan tidak akan ada yang menyalahkannya lagi.


Debrina sudah tidak bisa memfungsikan otaknya dengan baik, pikirannya sudah dipenuhi segala kebuntuan, dia tak menemui jalan kecuali mati. Keberaniannya terkumpul. Meski awalnya ragu ia siap membayar nyawa menyusul ketiga calon suaminya.


Ia pun memejam disusul lelehan airmata yang mengalir di pipi, lalu menekan pisaunya.


'Tes.'


'BRAK!!'


"DEBRINA!!"


Di sisi luar dari balik tirai berlatarkan langit senja, bayangan hitam berdiri di sana. Kedua mata merah bersinar jahat menatap ke dalam, kemudian perlahan hilang terbawa angin.


®®®®


Udara malam menembus ke dalam kamar gelap dan sunyi melalui jendela, membawa aroma primrose bersamaan dengan cahaya rembulan yang jatuh menyinari tubuh lemah yang berbaring menyamping di balik selimut cokelat.


Lelah di tubuhnya berangsur membaik setelah seharian terus menangis dan berakhir pada percobaan bunuh diri , tubuh itu hanya mengulat tatkala angin membelai rambutnya lembut, terlalu nyaman hingga ia tak mau bangun dari posisinya sekarang.


Sampai sebuah suara memanggilnya pelan.


"Debrina."


Dalam lelap alisnya tertaut, suara itu seperti sangat ia kenali. Namun rasa lelah membuat matanya sulit dibuka walau sangat ingin.


"Debrina."


Lagi, entah untuk yang berapa kali. Mata itu perlahan terbuka, bekas kesedihan masih nampak di sana, sayu sedikit membengkak mengurangi nilai sempurna Debrina. Namun ia tidak menemukan siapapun di sana. Hanya kamar sunyi dan suara serangga malam yang terdengar mendominasi.


"Hei." Bahunya disentuh.


Debrina lantas terlonjak dan bangun. Jantung berdegup keras, napasnya tercekat tatkala melihat sosok Deri sudah duduk di pinggir ranjang. Ia tatapi sosok itu tak percaya, Deri yang sehat tanpa kekurangan satu apapun.


"D-deri?"


Deri menatap Debrina heran, seolah bertanya apa yang salah?


"Deri?" Debrina menyentuh pipi Deri, kulit itu terasa hangat pertanda laki-laki hidup. Air matanya meleleh, betapa ia bersyukur sudah bangun dari mimpi buruk. Mimpi di mana Deri mati mengenaskan.


"Kau mimpi buruk?" Deri menyentuh kepala Debrina mengelus pelan. Gadis itu mengangguk ragu. Lantas Deri memeluknya. "Ceritakan padaku apa yang terjadi, jangan takut aku di sini."


Hangat...Deri tidak pernah memeluknya selama ini karena Debrina menghindari sentuhan dengan laki-laki yang belum haknya. Tapi kali ini berbeda, ia sangat takut jika melihat kenyataan bahwa calon suaminya mati lagi.


"Aku... aku bermimpi," Kata Debrina gemetar. "Kau meninggalkanku. Kau mati. Me-mengenaskan." Namun ia lega saat mendengar jantung Deri yang masih berdenyut tenang.


"Hm? Mengenaskan?" Gumam Deri tidak percaya. "Seperti apa?"


"Kau tertabrak kereta."


"Itu memang mengerikan. Apa kau sangat sedih jika aku benar-benar mati?"


Debrina mengeratkan pelukan. "Tentu saja, tentu saja. Aku mungkin tidak bisa hidup tanpa Deri, aku takut hidup sendiri tanpamu."


"Aku pun tidak mau jika pergi tanpa Debrina. Lantas bagaimana jika mulai sekarang kita pergi bersama?"


Debrina mengernyit. "Pergi ke mana? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Memang aku akan pergi tinggal bersamamu."


"Tidak Debrina, aku sendirian. Aku kesepian di rumah baruku."


"Rumah baru?" Mendadak Debrina merasakan kejanggalan, jantung Deri berhenti berdenyut, tubuh yang ia peluk terasa dingin.


Ragu Debrina mengangkat wajah untuk menatap Deri. Pria itu menatap kosong ke depan, wajahnya pucat. "De-deri?" Debrina menelan ludah, beringsut mundur, perasaan takut tiba-tiba menyelimuti, itu bukan Derinya.


Di dalam kepalanya seolah ada alarm yang memerintahkan untuk segera pergi. Namun sebelum ia benar-benar pergi sosok itu menoleh cepat ke arahnya.


"HIYAAAAA!!!!"


Debrina menjerit ketakutan, yang ia lihat bukan Deri yang ia kenal. Melainkan sosok Deri yang lain, wajah buruk rupa menyeramkan, bahkan seumur hidup baru kali ini Debrina melihat wajah seburuk itu.



"Temani aku Debrina." Sosok Deri bicara, kemudian bangkit mendekati Debrina, menambah kengerian yang ia rasakan.


"Tidaaaak! Tidaaaak...!! Pergi! Kau bukan Deri! Bukan!" Debrina histeris memejamkan mata, tangannya menghalau makhluk yang ingin menyentuhnya.


"Aku kesepian, temani aku." Seolah tuli makhluk seram tersebut mendekat, mengulurkan tangan menyentuhnya.


"KYAAAAAAA!!!"


"Debrina! Debrina! Bangun sayang, ini ummi."


"Umii...ummi.." Debrina yang terbangun dan melompat memeluk Ibunya. Mimpi barusan benar-benar seperti kenyataan.


"Tenang sayang, Ummi ada di sini untukmu. Kau aman." Wanita itu memeluk penuh sayang kepada putri satu-satunya yang ia miliki. Ia usap rambut basah itu menenangkan.


"Deri marah padaku ummi...dia ingin Debrina ikut, tapi dia bukan Deri yang kukenal. Debrina takut ummi..."


"Sssst... tidak apa-apa, kau baik-baik saja. Deri sudah tenang di surga. Itu cuma mimpi sayang." Debrina mengangguk di pelukan Ibunya. "Sekarang kita berdoa, ummi temani." Sekali lagi Debrina mengangguk patuh.


®®®®


Satu minggu kemudian


Debrina bersiap pergi ke Jakarta untuk tinggal bersama tantenya. Ia memutuskan untuk mengembangkan bisnis pakaian yang ia geluti di ibu kota. Ayahnya sempat menolak kepergiannya, namun dengan berbagai pertimbangan iapun diijinkan pergi.


Bagi Debrina ini adalah salah satu jalan agar ia bangkit dari penyesalan atas kematian ketiga calon suaminya. Ia ingin menyibukan diri dengan berbisnis di kota lain menghabiskan waktu untuk bekerja, karena baginya kampung halaman ini hanya berisi kenangan buruk.


Setelah beberapa saat Debrina selesai dengan segala persiapannya ke Jakarta. Ia pun berangkat ke terminal diantar kedua orang tuanya. Namun mereka tidak menunggu sampai Debrina pergi karena kebetulan mereka harus menghadiri pengajian di salah satu rumah tetangga.


“Kau tidak apa-apa kan sendirian?” Tanya Abih.


Debrina mengerucutkan bibir merajuk “Debrina bukan anak kecil lagi.”


Abih dan ummi-nya tersenyum “Tapi bagi orag tua anak tetaplah bayi mereka.” tambah Ummi.


“Aaah Ummmiii…Debrina sayang Ummi dan Abih.” Mereka pun saling memeluk untuk berpisah.


“Baiklah sepertinya sudah hampir telat, kami harus berangkat. Jangan khawatir nanti Abih dan Ummi berjanji akan datang ke Jakarta untuk menengokmu, lagipula bis akan datang sekitar 10 menit lagi kan?” Abi menimpali.


Debrina mengangguk manja. Lalu untuk kesekian kali mereka saling memeluk sampai kedua orang tuanya benar-benar pergi meninggalkan gadis itu berdiri sendirian di kursi ruang tunggu.


30 menit berlalu dari keberangkatan bis yang dijadwalkan, namun sampai saat ini tidak ada tanda-tanda transportasi umum itu akan tiba. Sabar Debrina mencoba membuang waktu dengan membaca buku tentang wanita dan Hijab yang dibawa dari rumah.


Satu jam telah berlalu, beberapa kali ia melihat jadwal keberangkatan yang tercetak di tiket yang ia selipkan di bawah buku, lalu mencoba lebih bersabar lagi dengan meneruskan bacaannya.


Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 17.20. Dua jam sudah ia menunggu, sebentar lagi gelap dan terminal hampir kehilangan sebagian besar orang yang bergantung padanya. Pedangang asongan sudah jarang, beberapa bahkan sudah membawa keranjang kosong. Mungkin ia akan menunggu lagi sampai maghrib, jika tak datang juga ia akan menunda keberangkatannya esok hari.


Di tengah kegelisahan tiba-tiba saja sebuah tepukan mendarat di pundak, Debrina kaget lalu menoleh tepat kepada seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.



"Salam." Orang itu tersenyum ramah, seorang laki-laki berwajah manis sedang menggendong ransel di punggungnya. Namun Debrina yang tak biasa menatap wajah lawan jenis lama-lama hanya tersenyum lalu menunduk sopan.


vu717hb.jpg


"Maaf aku bukan orang jahat. Kalau boleh tau apa kau sedang menunggu bis Kencana jurusan Jakarta?" Tanyanya.


Debrina mengangkat wajah menatap lelaki itu curiga. "Ba-bagaimana kau tau?”


Si pria memberi jawaban melalui matanya yang tertuju pada selembar tiket di tangan Debrina. Debrina tersenyum canggung karena sudah memberi respon ketus.



"Ah. I-iya betul."


"Wah kebetulan sekali kita satu jurusan, aku sudah datang sore tadi tapi kata petugas terminal bis mengalami kerusakan dan tidak bisa diberangkatkan ke Jakarta. Ada pun penggantinya nanti tengah malam."


"Loh ta-tapi kenapa tidak ada pemberitahuan?"


"Ada , nah di sebelah sana." Tunjuk pemuda itu di salah satu papan pengumuman terminal.


Debrina menepuk dahi. "Astaga kenapa aku tidak melihatnya. Kalau begitu terima kasih, kalau kau tidak memberitahuku mungkin aku bisa di sini sampai malam.” Debrina berdiri menyampirkan tas di pundak dan mengambil jaket bersiap pergi. “Sebaiknya aku segera pulang."



"Eh maaf," pemuda itu menghentikan Debrina. Debrina menatapnya sekilas lalu mengalihkan pada dada bidang pemuda itu sebagai gantinya.


“A-ada apa?”


"Mm…begini, aku punya dua tiket. Tadinya aku berencana pergi dengan seorang teman, tapi tiba-tiba dia membatalkan keberangkatan. Kebetulan tujuan kita sama, bagaimana kalau kau pakai saja tiket ini daripada terbuang percuma."



“Eh?” Debrina memiringkan kepala ragu, ia tampak menimbang-nimbang tawaran pemuda itu. Sedang memperhitungkan kerugian dan keuntungan yang akan ia dapat jika menerima atau menolak.



"Lagipula ini keberangkatan paling cepat dibanding bis lain. Bagaimana? Apa-ka," belum sempat menyelesaikan kalimat perhatiannya teralih ke luar terminal. Sebuah bis berwarna biru jurusan Jogja-Jakarta memasuki pelataran. "Ah itu dia datang. Bagaimana, kau pergi atau?"



"Jakarta...jakarta...jakarta..." teriak kondektur yang menurunkan beberapa penumpang. “Ayo cepat masuk jurusan Jakarta.” Lanjut sang kondektur membuat Debrina tertekan di antara dua pilihan. Dia ingin pergi, namun tidak dengan lelaki mencurigakan ini. Bukan apa-apa itu hanya bentuk proteksi diri.


Mesin kembali berderu tanda bis akan segera meneruskan perjalanan. Pemuda itu melihatnya kemudian beralih ke Debrina. "Baiklah sebaiknya aku pergi. Bis akan segera berangkat." Dengan sopan pemuda itu pergi meninggalkan Debrina dan mengejar bis yang mulai berjalan pelan.


Arah mata Debrina mengikuti gerakan si pria, dan saat itu juga Debrina bisa membuat keputusan. Dia akan pergi sekarang.


"TUNGGU!!" dia sedikit berteriak. Pemuda itu menoleh dan berhenti kemudian berlari ke Debrina.


"Aku bawakan kopermu." Katanya. Debrina mengangguk kemudian ikut berlari kecil di belakang pemuda itu.


Setelah berlari kecil mereka berhasil masuk ke dalam bis yang sudah dipenuhi penumpang, Debrina tampak lega, itu artinya dia tidak perlu terlalu takut berada di kendaraan umum di malam hari dengan laki-laki asing.


Mereka duduk berdampingan, Debrina di dekat jendela sesuai nomor tiket. Hal yang membuat ia kurang nyaman. Pemuda tersebut sempat menyadari kekhawatiran Debrina, lantas menjanjikan akan berpindah tempat jika menemukan wanita lain yang mau bertukar dengannya. Debrina mengatakan itu tidak perlu.


"Oh iya," kata Debrina seperti mengingat sesuatu kemudian mengorek isi tas dan mengambil sejumlah uang dan disodorkan ke pemuda itu. "Ini untuk mengganti tiketnya."


Pemuda itu tampak canggung namun kemudian menerima beberapa lembar ratusan ribu itu. "Ah terima kasih." Sebenarnya dia ikhlas saja walaupun tidak diganti, tapi pasti gadis di dekatnya ini akan mencurigainya yang bukan-bukan.


"Seharusnya aku yang berterima kasih."


"Tidak masalah."


Mereka saling tersenyum dan berbasa-basi sedikit sampai akhirnya lelaki itu meminta ijin untuk tidur karena kecapaian.


Setelahnnya tidak ada obrolan lain. perjalanan berjalan lancar meski Debrina hampir tidak tidur karena takut terjadi sesuatu hal yang tak ia inginkan. Bagaimanapun lelaki di sebelahnya ini adalah orang asing, setiap kali ia hampir terlelap Debrina bangun hanya untuk sekedar melirik pria yang belum sempat memperkenalkan namanya itu.


®®®®
Pukul 5.45 Bis yang ditumpangi Debrina memasuki pelataran terminal, ia pun membereskan tas dan selimut yang sejak semalam menutup dan melindungi tubuhnya, selain dari udara dingin juga dari mata penumpang lain. Sementara pemuda itu masih tertidur dengan nyamannya sejak semalaman, Debrina berpikir pemuda ini benar-benar kelelahan.


Namun bis telah berhenti, penumpang lain bangun dan keluar satu persatu meninggalkan Bis. Mau tak mau Debrina harus membangunkan lelaki yang telah menolongnya jika ingin lewat. "Permisi? Ki- kita sudah sampai." Ia menepuk pelan bahu pemuda tersebut. Pemuda itu menggeliat sebentar lalu mengucek mata dan sedikit kaget waktu yang pertama kali dilihatnya adalah bidadari.


"Eh."


"Kita sudah tiba di Jakarta." Ulang Debrina. Sedangkan lelaki itu masih mencoba mengumpulkan ingatan, sesaat ia ingat semuanya.


"Ah astaga... aku belum membereskan bawaanku." Ujarnya celingungkan, lalu menyadari Debrina ingin segera keluar lantas ia memiringkan kaki memberi Debrina akses keluar. "Silahkan."


"Kalau begitu aku pergi, tanteku sudah menunggu di pintu terminal. Terima kasih banyak atas bantuannya." Ucap Debrina sedikit membungkuk, setelah pemuda itu mengucapkan perpisahan Debrina pun pergi meninggalkan bis berjalan menuju pintu keluar menyeret kopernya.


Namun ada hal yang mengganjal di hati saat meninggalkan pemuda itu, seperti ada sesuatu yang terlupakan.


Debrina pun mendadak berhenti dan menepuk dahinya sendiri, lupa menanyakan nama pemuda itu.


®®®®


Suasana di rumah ini tidak berubah sama sekali. Rumah tua yang sudah dipugar beberapa kali agar mempertahankan keasliannya meski beberapa material sudah tidak lagi terbuat dari kayu murni.


Ruang tamunya juga masih menggunakan kursi gambangan yang lama hanya ditambah busa di atas permukaannya. Tembok juga masih dari kayu yang dipelitur kinclong bak keramik beserta hiasan-hiasan klasik bernuansa Jogja.


Rumah yang dulu ditinggali nenek Debrina beserta anak-anaknya ini terlihat kuno namun terkesan mahal dan artistik di jaman sekarang. Sepertinya tante Shalma benar-benar ingin mempertahankan suasana kampung halaman di kota besar ini.


"Sebaiknya kau pakai kamar Bilqis saja Deb. "Soalnya toilet kamar Ibumu mampet." Wanita berusia sekitar 47 tahun bernama Shalma itu berkata, seraya menyerahkan kunci kamar lucu bergantung Doraemon.


"Itu tidak masalah tante." Debrina setuju dan menerima kunci. Kebetulan Bilqis sepupunya sedang kuliah di Belanda dan hanya pulang ketika libur panjang. Sementara tante Shalma tinggal sendiri karena dia seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya dan belum menikah lagi. Rencana Debrina untuk sementara akan memasarkan produk hijab di butik tante Shalma sekaligus menemani tantenya itu agar tidak kesepian.


"Sebaiknya kau mandi lalu kita makan bersama. Tante tunggu di meja makan." Lanjut wanita itu.


Debrina mengagguk patuh, lalu masuk ke dalam kamar sepupunya bernuansa biru bertema Doraemon kesukaan Bilqis.


Setelah meletakkan tas dan bawaan ia bergegas mandi air hangat menghilangkan rasa lelah yang menggelayuti badan. Beberapa saat kemudian ia kembali dan bersiap-siap menyusul tantenya yang sudah menunggu.


Saat memasang jilbab di depan cermin ia terkejut tiba-tiba dari jendela bertirai putih melintas bayangan seseorang.


Jendela itu bertepatan dengan taman belakang berpagar, tidak mungkin ada orang lain yang bebas berlarian di sana sedangkan penghuni rumah hanya mereka berdua, dan ia bisa mendengar tantenya sedang menyiapkan makanan di meja.


Penasaran Debrina memberanikan diri membuka jendela, dari sana Debrina mencium bau aneh yang belum pernah ia hirup, bau itu berasal dari kepulan asap tipis yang terbang melayang dibawa angin.


Entah asap apa, seketika aura horor mulai menyelimuti sekitar. Namun rasa penasaran itu belum terbayar jika Debrina belum melihat yang sebenarnya.


Penasaran ia melongok keluar jendela, kanan-kiri tak menemukan apapun. Tapi tiba-tiba ia mempunyai perasaan aneh, seperti ada yang datang dan berdiri di sampingnya. Dada Debrina berdegup keras, matanya bergerak gelisah. Ia memejamkan mata memberi kekuatan diri seraya berdoa dalam hati agar mahkluk semenyeramkan apapun yang akan dia lihat, tidak akan membuatnya pingsan.


Debrina menengok cepat. Kontan saja ia membeku, sesosok menyeramkan berpakaian serba hitam, kumis tebal dengan rambut yang memutih dan mata yang dikelilingi tanda hitam, makhluk itu membawa semacam cobek yang mengeluarkan asap berbau tidak sedap berdiri di sana.


"KYAAAAAAHH!!!" Debrina kaget setengah mati, ia lari ketakutan ke luar kamar. Hal itu membuat tantenya kaget, "Sayang... kau kenapa?"


Masih mencoba menetralkan napas yang berat tantenya memberi minum. Debrina menerima kemudian setelah tenang ia bercerita.


"A-aku...aku melihat penampakan hantu tante..."


"Hantu??" Wanita itu tak percaya. "Puluhan tahun tante tinggal di sini tidak pernah ada hantu."


"Tapi tante...aku melihatnya!"


"Hantu berwujud apa?" Tanya tantenya masih tak percaya.


Sejenak Debrina mencoba mengingat-ingat, hantu itu berpakaian serba hitam, matanya hitam menyeramkan. Dan saat itu pandangannya teralih pada sosok lain yang berada di belakang tante Shalma membuat Debrina membelak sesak.


Hantu itu berada tepat di belakang tantenya. Tangan Debrina terangkat pelan menunjuk tepat di belakang "I-itu...iituu..."


Tante Shalma menoleh ke belakang dan ia-pun berjingkat kaget. "Astaga!!" Debrina astaga... hampir saja jantungku lepas."Beliau bukan hantu. Ini Kakek Wongso." Terang tante Debrina lega


Debrina melongo mencerna semua, namun perlahan jantungnya berdetak normal mengetahui sosok itu bukanlah hantu.


"Ini Kakek Wongso, paranormal kenalan tante." Lanjut wanita berambut ikal itu menjelaskan.


Debrina tak habis pikir di jaman modern ini tantenya masih percaya paranormal, untuk apa?


"Ya sudah tante akan mengantar kakek Wongso sampai depan. Kau lebih baik makan nanti tante menyusul."


Debrina mengangguk. Sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu takut-takut ia menatap kakek Wongso yang menatapnya tajam.


®®®®

Sebuah mobil terparkir di halaman butik besar bertuliskan 'La Amore', Debrina dan tantenya keluar dari sana kemudian memasuki butik.


Beberapa karyawan membungkuk memberi hormat kepada wanita cantik yang menjadi bos di tempat itu, yang hanya dibalas anggukan ramah.


Sejak beberapa kali Debrina berkunjung ke butik baju-baju pesta dan pakaian pengantin itu, baru kali ini butik terlihat sepi. Jika biasanya ia melihat banyak pasangan mencari baju pernikahan, gadis-gadis muda penyuka pesta,dan ibu-ibu pejabat kali ini hanya sekitar delapan-sepuluh pengunjung tak lebih.


Jadi ini yang membuat tantenya nekat mengambil jasa seorang paranormal? Bedasarkan cerita yang dituturkan pada Debrina tempat ini sengaja dibuat sepi oleh beberapa saingan.


Butik baru di pertigaan jalan menjadi salah satu terduga kecurangan. Setidaknya itu kemungkinan yang dikatakan manager butik.


Debrina ingin tau manager macam apa yang meracuni tantenya untuk percaya hal seperti ini hingga mendatangkan paranormal.


"Jadi tante percaya butik sepi karena ulah dukun?" Tanya Debrina berharap tantenya tidak jatuh terlalu dalam pada kemusyrikan. "Apa tante sudah cek semua? Koleksi tante, pelayanan karyawan tante dan-"


"Debrina tante lebih tau soal itu," liriknya memberi tanda bahwa ia tak butuh ceramah. "Bukannya tante tidak percaya pada Tuhan, tapi tante sudah berdoa sekuat tante, namun tidak dikabulkan. Dan setelah kakek Wongso bertindak pelanggan kembali walau belum maksimal."


"Sebut Tuhan tantee..." kilah Debrina.


"Ah kau ini," tante memutar bola mata mengabaikan. "Oh ada sesuatu yang ingin tante katakan padamu." Lanjutnya menghentikan langkah.


Debrina mengangguk siap mendengar.


"Jadi kemarin kakek Wongso mengatakan sesuatu padaku, dia bicara tentangmu. Ada yang gawat." Tatap tante serius.


"Gawat? Maksud tante?" Debrina membalas tak kalah serius.


Mata tantenya melirik kanan-kiri memastikan tak ada penguping. "Kata kakek Wongso ada aura hitam pekat tak kasat mata menyelimutimu, pagar ghaib yang mementalkanmu dari setiap jodoh yang datang." Katanya kau ini perawan bahu lawehan. Yang berarti..." Wanita enerjik itu menghentikan kalimatnya, ia tidak tega melihat Debrina yang memucat, tak ingin membuat keponakannya sedih karena ia pun tahu Debrina baru saja berduka.


"Ah-ah lupakan," tangannya mengibas. "Meski orang tua itu bisa membantumu sebaiknya jangan. Aku tidak setuju jika kau mengikuti jalanku menjadi umat tipis iman. Tante lebih senang jika kau hanya percaya Tuhan." Lanjutnya kembali melangkah.


Debrina mengangguk pelan, ia pun setuju dan selalu berpikir positif, kalaupun aura hitam itu benar-benar ada ia yakin akan segera hilang jika ia lebih banyak beribadah.


"Good afternoon Mrs. Shalma," keheningan antara tante dan keponakan itu dicairkan oleh suara seseorang. Kedua wanita itu kompak menoleh ke sumber suara.


"Ah Gasta!" Sumringah tante Shalma menyapa pemuda tampan berstelean necis bernama Gasta. Sedangkan Debrina melongo melihat pemuda yang sama sekali tak asing sedang berdiri di depannya, begitu juga dengan pemuda itu.


Dan keduanya pun saling bertatap.


"Hai."Gasta semangat melihat Debrina.


"Ka-kau kan??"


"Loh kalian sudah kenal??" Selidik tante Shalma.


"Ah itu tante..."


"Kebetulan kemarin kami satu bis waktu datang ke sini." Terang Gasta membantu Debrina yang masih terlihat shock. “Jadi ini keponakan yang mrs.Shalma ceritakan?”



“Aha betul sekali.”


Keduanya saling membalas senyum tak percaya, mereka tidak pernah menyangka akan dipertemukan lagi. “Ini seperti mimpi, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Namaku Regasta Abinanda.” Gasta menyodorkan tangannya, canggung Debrina membalas jabatan itu.


“De-debrina mazea.”


“Ah nama yang indah. Kau tau aku tidak bisa tidur semalaman karena belum mengetahui namamu? Kupikir kita tidak akan bertemu lagi.” Kata Gasta sok tampan.


Debrina melirik tantenya dan tersenyum malu.


“Jadi ceritanya kau sedang jatuh cinta pada pandangan pertama?” goda tante Shalma yang merasa keberadaannya seolah ditiadakan oleh kedua pemuda ini.


“Yah kalau kita sama-sama sendiri itu bukan masalah kan mrs?”Gasta nyengir menggaruk kepala sambil melirik Debrina.


“Ya…ya tante pikir kalian cocok. Sebentar lagi di sini akan ada yang cinta lokasi.” goda tante Shalma.



“Maksud tante?” Debrina bersuara.




“Ya maksud tante kau dan Gasta, karena mulai sekarang kalian akan setiap hari bertemu. Dia manager toko terbaik yang pernah tante miliki ,” Mendengarnya Gasta menampik itu terlalu berlebihan. Sedangkan Debrina be- oh- ria dalam hati mengetahui orang ini yang membuat tantenya menyekutukan Tuhan?



“Lalu Gasta mulai hari ini Debrina akan memasarkan produknya di toko ini jadi mohon bantuannya ya.”



Berbeda dengan Debrina tanggapan Gasta justru antusias, pemuda itu senang punya banyak kesempatan bersama gadis secantik Debrina.


"Sorry maam?"


Obrolan hangat mereka harus berhenti saat seorang pegawai datang dengan sopan. Mereka bertiga menoleh. "Iya, Nuri ada apa?" Tanya tante Shalma


"Ada klien atas nama Mr.Agam ingin bertemu."


"Oh baiklah kami memang sudah ada janji,” setelah mengatakannya Nuri mengangguk pergi. “Kalau begitu Gasta tolong temani Debrina keliling." Pinta tante Shalma yang diiyakan kedua pemuda itu.


®®®®


Satu bulan kemudian…


Jarum jam besar di dinding menunjukan angka 09.15. Hari masih terlalu pagi untuk makan cokelat dan bersantai. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini Debrina sering sekali menemukan makanan berbatang segitiga itu di mejanya, dan yang lebih lucu selain pita mini untuk hiasan setiap hari terselip selembar kertas berisi kalimat lucu yang membuatnya tidak bisa menahan senyum.


Seperti hari ini kertas itu berbunyi "Ketika hidup memberiku seratus alasan untuk menangis, Debrina sih datang membawa seribu alasan untuk tersenyum." Matanya-pun melirik pemuda yang tengah nyengir di luar kaca ruangannya. Seolah sengaja membiarkan Debrina berbunga-bunga sendrian ia kembali sibuk mengarahkan bawahannya menata display kebaya.


Sejak mereka berjumpa kembali di butik dan terbiasa bekerja bersama, Gasta memang sering menunjukkan ketertarikannya pada Debrina. Berbeda dengan ketiga calon Debrina yang sudah tiada mereka lebih kalem, sholeh, bahkan merayu Debrina hampir tidak pernah dilakukan karna itu tabu. Sedangkan Gasta adalah tipe yang tidak pernah Debrina bayangkan. Dia seorang pemuda periang, penuh energi, dan kadang kekanakan. Gasta juga pernah bercerita bahwa dia adalah penggemar Tokusatsu, bagi awam seperti Debrina hanya anak kecil yang menggilai pahlawan super dan robot. Tapi entah Debrina merasa Gasta menarik, seperti ada variasi lain dalam kehidupan asmaranya.


Asmara? Debrina menutup wajah cepat-cepat, sambil menggumam tidak mungkin dia tertarik dengan pemuda yang bahkan tidak pernah beribadah itu? Tapi jika itu benar, mungkin Debrina akan mengajarinya nanti setelah mereka menikah.


Menikah? Kali ini pipi Debrina memerah, bisa-bisanya dia memikirkan hal seperti itu. Cepat-cepat dia menyembunyikan wajah di atas kedua lengan yang ia taruh di meja. Tak lama ia memutar kepalanya ke samping, matanya berkedip pelan menatap hamparan bunga di taman dari balik tembok kaca. Wajah Debrina tiba-tiba murung teringat tragedi yang menimpa ketiga calon suaminya. Akankah hal itu akan terjadi juga kepada Gasta kalau pemuda itu berniat menikahinya?


Debrina tidak mau. Benar, sebelum perasaan mereka jatuh terlalu dalam mungkin Debrina harus mengambil sikap tegas untuk dirinya sendiri.


"Permisi miss Debrina?"


"Ah." Debrina terkejut bangun dari meja dan mendapati Nuri sudah berada di depannya.


"Maaf miss, Mr. Agam dari butik In Style sudah datang dan sudah saya persilahkan masuk ke ruangan madam." Kata Nuri sopan.


"Baik terima kasih aku akan segera menemuinya." Jawab Debrina. Karyawan itu mengangguk lalu pergi.


Debrina menghela napas, dia hampir lupa hari ini ada janji dengan pengusaha muda rekan tantenya ini. Meski begitu ia harus berterima kasih kepada tante Shalma yang iseng menawari produk muslimah Debrina pada Agam yang notabene pengusaha itu hanya memfokuskan produk berupa gaun-gaun mewah.


Ah tantenya itu memang pandai merayu orang sampai bos butik terkenal Korea seperti Agam tertarik ingin lebih tau tentang baju muslimahnya. Dan hari ini mereka akan membicarakan tentang produk Debrina yang direncanakan akan dipasarkan di Negeri ginseng itu.


Setelah merapikan jilbab besar berwarna tosca yang dipakainya Debrina lantas bergegas menemui seseorang yang bahkan belum pernah ia temui secara langsung. Hanya melihat sekilas waktu ia datang menemui tante Shalma waktu beberapa kali.


Debrina tersenyum pada seorang pemuda berbadan tinggi saat memasuki ruangan milik tante Shalma, pemuda itu berdiri dan menyambut tangan Debrina yang lebih dulu terulur untuk bersalaman.


"Debrina Mazea." Katanya memeperkenalkan diri.


"Kim-Agam." Jawab pemuda itu.


zh4tb9s.jpg


Dengan isyarat Debrina mempersilahkan Agam kembali duduk. Debrina sempat berpikir pria berperawakan tinggi ini asli berdarah Korea, kulit putih bersih, mata sipit bersinar tajam. Ya sekilas mirip aktor Drama yang sering diceritakan Santi salah satu teman di kampung, dia berharap pria ini lancar berbahasa Indonesia.


"Jadi langsung saja Nona Debrina, apa yang kau tawarkan?" Tanya orang itu terkesan dingin tanpa basa-basi.


Menerima pertanyaan yang menurutnya agak sedikit kasar membuat Debrina gugup. "E...eh...jadi konsep pakaian yang saya tawarkan adalah pakain pesta muslimah sederhana, bersahaja dengan warna-warna lembut dan minim pernak-pernik yang terkesan berle-b."


"Kau pikir itu akan menarik di Korea?" Potong Agam tanpa menunjukan keramahan sama sekali.


"I-itu..." Debrina tak bisa memastikan.


"Apa kau pernah dengar Korea adalah kiblat mode nomor satu di Asia? Aku sendiri tidak yakin muslim di sana menyukai desain baju yang biasa." Kata pria itu meremehkan.


Debrina menelan ludah, mati kutu. "Ah...anda boleh melihat dulu koleksi yang saya punya." Tapi ia tidak menyerah Debrina mengambil katalog yang sudah ia siapkan di atas meja lalu menyerahkan pada Agam.


Pemuda itu dengan cool membukanya, satu lembar-dua lembar. Matanya tampak meneliti beberapa detil model yang terpampang di sana. Sementara Debrina menggosok telapak yang mulai dingin disertai jantung yang berdegup sambil sesekali menjawab pertanyaan Agam. Ini mengingatkannya pada suasana ujian kelulusan.


Tanpa sepengetahuan mereka dari luar Gasta melipat tangan di dada, sedang menatap keduanya dari balik tembok kaca dengan kedua alis tertaut. Mungkin lelaki itu cemburu.


Sadar sedang diamati Agam menoleh, membalas tajam tatapan itu sebentar, seolah itu bukan sesuatu yang penting ia beralih ke Debrina sambil menutup katalog dan melemparnya di meja.


'PLUK'


"Kurasa cukup." Katanya kemudian berdiri mengancingkan kembali jas abunya, mengindikasikan ia akan segera pergi. "Akan aku hubungi lagi nanti."


"Eh." Debrina menyusul berdiri dari tempat duduknya dengan wajah bingung, ‘hanya seperti itu?’ padahal masih banyak yang ingin ia promosikan. Tapi Debrina rasa itu tidak perlu, kemudian dia hanya sedikit membungkuk dan berbisik "Te-trima kasih." Lalu membiarkan pria kasar itu pergi.


Dari balik kaca ruangan Debrina menghela napas lega, ekor matanya mengikuti Agam yang berjalan meninggalkan toko. Debrina sempat berpikir mungkin lebih baik jika pemuda angkuh itu tidak usah menerima produknya, itu akan sangat repot jika dia harus bekerja sama dengan pria irit bicara itu.


®®®®


"Debrina aku melamarmu. Aku ingin kita menikah."


Jantung Debrina mendadak ingin melompat keluar. Pagi itu di ruangannya seorang pemuda berlutut di bawah dengan cincin berkilauan yang sedang disodorkan padanya. Lelaki itu tidak sedang bercanda, ia melihat raut keseriusan terlukis di wajah Regasta Abinanda, pemuda yang akhir-akhir ini dekat dengannya. Dekat karena mereka satu pekerjaan, juga dekat karena sebenarnya mereka saling tertarik.


Seharusnya itu menjadi hal membahagiakan saat seorang yang kau sukai memintamu untuk hidup bersama. Tapi tidak bagi Debrina, pengalaman tragis membuatnya harus menahan kebahagiaan itu. Dia tidak mau membiarkan Gasta celaka karenanya. Karena kata orang ia gadis pembawa maut, percaya atau tidak dia memilih untuk tidak mengambil resiko.


"Gasta, hentikan." Lirihnya pelan menahan sesak. Ia sungguh tak tega menolak pemuda itu. "A-aku tidak bisa..."


Gasta terkejut. Ia bangkit menatap Debrina yang tak mau membalas tatapannya. "Aku menyukaimu, bahkan sejak pertama kita bertemu. Aku tau meski aku bukan pemuda sholeh tapi aku akan belajar."


"Bukan itu masalahnya Gasta, aku tidak mau kau terluka, aku tidak ma-"


"Mungkin klise, tapi ini benar." Gasta menginterupsi. "Hidup dan mati hanya Tuhan yang berhak menentukan, kau tau itu. Dan aku tidak percaya kutukan. Yang aku tau kau anugerah." Katanya menyakinkan Debrina.


Gasta pernah mendengar cerita dari tante Shalma bahkan dari Debrina sendiri tentang kematian ketiga calon suaminya yang disebabkan oleh kutukan yang dibawa Debrina. Namun Gasta tidak percaya, setidaknya dia tidak ingin ditolak Debrina hanya karena mitos konyol tak masuk akal itu.


"A-aku pikir tidak Gasta, sudah cukup aku terluka dan membuat orang lain terluka. Aku hanya ingin kau hidup, itu saja. Tidak apa-apa jika aku tidak menjadi istrimu, tidak apa-apa jika kau menikah dengan wanita lain." Jawab Debrina putus asa.


"Debrina aku mohon." Pinta Gasta memelas, ia tidak peduli harga dirinya. "Aku tau sebenarnya kau tidak percaya pada mitos." Debrina menunduk sedih. "Hei... ayolah, kalaupun takdirku pergi saat sudah memilikimu aku tidak akan menyesal. Kau boleh tidak menikah saat nanti aku benar-benar mati."


"...." debrina terdiam menggigit bibir.


"Debrina..." pinta Gasta menunggu jawaban. Wanita itu masih memantapkan hatinya, banyak pertimbangan, banyak sekali. Tapi ia juga menginginkan Gasta, tanpa disadari Debrina sudah jatuh cinta pada Gasta.


"Percayalah Debrina, aku tidak akan mati karenamu." Gasta masih berusaha, sampai akhirnya gadis itu mengangguk.


"Iya? Kamu mau?" Tanya Gasta yang siap bersorak. Debrina kembali mengangguk.


"Yosssshaaaa!! Kita akan menikah!!" Teriak Gasta bahagia, ia angkat tubuh mungil itu dan membawanya berputar membuat khimar Debrina berkibar. Wanita itu tertawa dan sesekali berteriak agar Gasta menurunkannya.


®®®®


"Jadi anda bersedia memasarkan produk saya di Korea?" Tanya Debrina pada pemuda yang minggu lalu membuat jantungnya berdegub gugup.


Pria itu mengangguk, "Aku akan memilih beberapa model saja, aku rasa tidak buruk mengambil produkmu untuk kalangan menengah kebawah." Jawab Agam.


Debrina merasa sedikit kecewa karena produknya tidak seistimewa yang ia pikirkan. Namun tidak masalah selama produk itu bisa dipasarkan di banyak tempat bahkan di korea.


Di tengah obrolan itu tiba-tiba ponsel Agam berdering, ia pun menjawab. "Halo."


Sementara di tempat lain, "Hahaha aku hampir tidak percaya." Gasta yang berada di mobil tampak sedang bicara dengan seseorang di ponsel dengan semburat bahagia. "Aku sangat bersyukur lamaranku diterima, ah iya tentu saja, kami akan segera me-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba sebuah bayangan hitam menabrak keras kaca depan mobilnya.


'BRAK!'


Pemuda itu terkejut mendadak kehilangan pengelihatan, panik memutar setir ke kanan, namun kehilangan keseimbangan dan dikejutkan oleh sebuah pohon besar yang sudah ada di depannya. Gasta berteriak tak sempat menghindar dan mobil pun menabrak pohon.


'Ciiiiiitttt.... BRAK!!!'


'Tiiiiiiiin....' Lalu hanya suara klakson melengking yang tertindih kepala Gasta menggema ke penjuru jalan raya. Sementara ia merasa tidak mampu lagi bergerak. Darah segar mengaliri wajahnya, turun membashi setir menetes di karpet mobil. Dan setelah itu ia hanya mendengar orang-orang mulai berdatangan.


'Degh.' Debrina menghentikan tangan di atas kertas yang hampir ia tanda tangani. Sebuah dokumen berisi kontrak dengan Agam. Tiba-tiba saja ia mempunyai perasaan buruk.


Melihatnya Agam mengerutkan dahi. "Ada apa? Apa kau berubah pikiran?" Tanyanya.


Debrina menelan ludah melirik Agam membuang perasaan buruknya. "T-tidak." Ia menggeleng samar lalu kembali meneruskan tanda tangan yang sempat tertunda. Ia pun mengesahkan bukti kerja samanya dengan Agam.


"Silahkan." Debrina membiarkan Agam memeriksa lagi dokumennya. Tapi ketukan kasar dari pintu kaca disusul masuknya seorang wanita muda tanpa permisi membuatnya menoleh. Nuri datang tergopoh dengan wajah panik.


"Non Debrina! Mr. Gasta kecelakaan keadaannya gawat!"


"Gasta?" Debrina berdiri, jantungnya terasa berhenti, wajahnya memucat dan seketika ia tidak bisa berpikir apa-apa, kepalanya pusing terasa berputar-putar. Airmata menggenang di pelupuk mata. Ia ingin segera berlari menemui Gasta. Tapi tiba-tiba tubuhnya limbung.


'Bukh.' Debrina jatuh. Beruntung dengan sigap pemuda yang sedari tadi bersikap dingin itu menahan tubuhnya dalam dekapan kedua tangan yang besar.


Mata bertemu mata sebelum akhirnya Debrina memejam dengan air mata mengalir di pelipis kehilangan kesadaran.


®®®®


Embusan hawa dingin menerpa permukaan kulit dengan selang infus yang tertancap, bau obat-obatan, anti septik beserta Alkohol mencampuri udara. Debrina membuka mata lemah, yang pertama kali ia lihat adalah atap berwarna putih bersih.


"Non Debrina kau sudah sadar?"


Ia menoleh ke sumber suara, wanita berseragam putih dibalut blazzer hitam dan rok span senada, yang ternyata Nuri salah satu pegawai tante Shalma sedang menemaninya.


Rumah sakit. Debrina sedikit mengingat kenapa ia bisa sampai di rawat di rumah sakit ini? Padahal seingatnya ia sedang membicarakan bisnis dengan Agam.


Tiba-tiba ia duduk dengan wajah panik setelah sadar, "Gasta?!" Ia ingat tentang Gasta, lalu menatap Nuri berharap mendapat jawaban. "Nuri...?"


"Mr. Gasta baik-baik saja, dia berhasil melewati masa kritis dan sekarang sudah sadar.


"Kalau begitu kau bisa mengantarku ke sana?" Nuri mengangguk dan membantu Debrina turun dari tempat tidur.


Setelah melewati beberapa blok Debrina sampai di depan sebuah kamar rawat bertuliskan nama Gasta. Nuri menunggu di luar membiarkan Debrina masuk sendiri.


Debrina membuka pintu tak sabar, dan betapa ia merasa begitu bersalah melihat Gasta memejam tak berdaya di tempat tidur dengan kepala penuh perban. Tapi jauh dari itu semua Debrina benar-benar sangat bersyukur masih bisa melihat Gasta bernapas.


Merasakan ada hawa seseorang yang datang, Gasta membuka mata kemudian nyengir lemah saat melihat kekasihnya. Sedangkan Debrina berlari kecil menghambur ke tempat Gasta berada.


"Dasar pembohong," Ucap Debrina kesal, Gasta menyipit. "Kau bilang akan berhati-hati!" Rajuknya menangis lucu.


Pemuda itu terkekeh lemah, "Hei Bukankah aku tidak apa-apa?" Tangannya terulur menghapus air mata Debrina."


"Tidak. Kau terluka dan hampir mati! Kau pasti sekarang percaya kutukan itu ada?" Ucap Debrina serius.


Gasta menggenggam tangan Debrina. "Hei, sudah aku bilang ini bukan salahmu. Apapun yang terjadi ini bukan karenamu. Sudah berapa kali aku katakan? Hidup atau matiku Tuhan yang menentukan." Yakin Gasta membuat Debrina sedikit luluh.


"Lagipula ini hanya luka kecil, seorang pria tanpa bekas luka bukan pria sejati."


Debrina mencubit lengan kiri Gasta dengan wajah merajuk. "Pokoknya kau tidak boleh mati." Gasta gemas. Seharusnya Debrina bercermin saat membuat ekspresi seperti itu.


"Aku janji tidak akan terluka lagi." Ucap Gasta mengusap-usap pipi halus Debrina.


Berbeda dengan apa yang ada di benak Gasta, bagi Debrina ini adalah peringatan dari makhluk itu bahwa Gasta tak lagi aman. Dia harus memastikan maut tidak lagi mendekati Gasta bahkan merenggutnya. Tidak kali ini!


®®®®


Malam berkabut menghembuskan udara dingin, bulan tertutup awan gelap, suara anjing menyalak-nyalak agresif seolah menyalaki apapun yang mereka lihat.


Debrina berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Meski terletak tidak jauh dari rumah warga namun kanan kiri rumah itu dikelilingi banyak pohon besar. Kesan mistis langsung ia rasakan saat menginjakkan kaki di atas rumput halaman rumah tersebut.


Ia sempat akan mengetuk pintu namun seseorang sudah terlebih dahulu membukanya.


'Kriiett."


"Nak Debrina?" Debrina terkejut dan hampir melompat begitu melihat sosok yang dikenalnya berdiri di depan pintu.


"Ah...ma-maaf kek." Debrina menunduk takut.


"Tidak apa-apa, mari masuk." Kata orang tua tersebut, kakek Wongso mempersilahkan Debrina masuk.


Debrina ragu, dia tahu Tuhan yang disembahnya tidak akan memaafkan dosa besar ini. Namun ini mendesak. Bukan karena ia tidak percaya kekuatan Tuhan, tapi hanya berpikir logis. Seringkali apa yang diminta dalam doa tak selalu terkabul dengan mudah, meskipun terkabul kadang memerlukan waktu terlalu lama. Ia takut tak punya kesempatan mencegah kematian Gasta. Debrina tidak mau kehilangan Gasta. Seolah ia tidak percaya lagi bahwa hidup seseorang sudah diatur ia akan memaksakan kehendak agar Gasta tidak mati, bahkan takdir Tuhan akan ia lawan demi kehidupan Gasta.


"Jadi bagaimana?" Tanya Wongso yang menemui Debrina di ruang tamunya. Tidak seseram yang ia bayangkan, rumah itu normal khas perumahan kuno, hanya aroma menyan dan minyak perdukunan saja yang membedakan dari rumah normal.


Gugup Debrina menggosokan kedua tangannya sambil menunduk. "S-saya ingin meminta ba-bantuan kakek, tante bilang kakek bisa membantuku menghilangkan kutukan bahu lawehan? Ta-tapi tolong rahasiakan dari siapapun."


Laki-laki berpakaian serba hitam itu manggut-manggut. "Semua bisa diusahakan. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi untuk itu."


"Apa yang harus saya lakukan kek?" Tanya Debrina. Lalu orang tua itu mendekatkan kepala dan membisiki Debrina sesuatu. Debrina tampak melebarkan mata mendengarnya. Ia menunduk menelan ludah setelah Wongso mundur sesudah mengatakan syarat yang harus Debrina penuhi.


"Itu semua tergantung padamu Debrina."


Sejenak Debrina berpikir. Syarat itu memang terlalu berat, dimana ia harus merelakan kesuciannya untuk seorang laki-laki yang mempunyai kelahiran tanggal 6 juni 1989 bertepatan dengan malam selasa kliwon. Dikatakan lelaki ini memiliki kekuatan mistis alami yang bisa menetralkan pagar ghaib Debrina.


Masalah tidak hanya terletak pada ritual penuh dosa besar itu, tapi juga Debrina tak tahu di mana harus menemukan laki-laki tersebut? Kalaupun ia menemukan bagaimana kalau ternyata suami orang? Bagaimana kalau lelaki itu punya penyakit menular? Sungguh ini membuat kepalanya berdenyut. Ia berharap lelaki itu adalah Gasta, namun Debrina tau kekasihnya lahir tanggal 12 mei 1990.


"Jika kau sanggup, kita akan mulai ritual pembersihanmu malam Jumat ini. Kau bisa mencari lelaki itu setelahnya. Jangan takut, kakek hanya ingin membantumu."


Debrina mengangguk. Ia sudah memikirkan segala resiko yang akan ia terima sebelum datang ke sini. Apapun. Semua demi Gasta bahkan Tuhanpun akan ia sekutukan. Mungkin setan di neraka sedang bersorak hari ini melihat satu lagi manusia suci jatuh ke dalam kubangan dosa.


®®®®


Sinar bulan menerangi malam, aroma segar pepohonan yang dibawa angin. Debrina duduk di kursi tanpa sandaran dengan setelan gamis berwarna hitam, di depannya sebuah kuali berisi kembang tujuh rupa beraroma wangi campuran bunga dan minyak ghaib sedang dimantrai seorang kakek yang berpakaian serba hitam.


Malam ini adalah ritual mandi kembang tujuh rupa untuk Debrina. Ia sangat bersyukur prosesi ini Wongso mengijinkannya memakai pakain lengkap.


"Sudah siap?" Tanya lelaki tua itu mengambil satu gayung batok kelapa berisi air bunga. Debrina mengangguk, setelahnya air dingin membasahi kepala Debrina. Ia menggigit bibir bawah saat siraman demi siraman membasahi seluruh tubuhnya. Dingin.


Prosesi selanjutnya kakek Wongso membuka sedikit punggung Debrina yang tertutup gamis hanya untuk menyentuh tanda hitam itu.


"Ini akan terasa sakit, tahan untuk beberapa saat." Pintanya, kemudian orang tua itu terdengar membaca mantra yang Debrina tak mengerti.


Perlahan ia rasakan panas mulai menjalar sekitar punggung. Rasa panas itu semakin kuat seperti bara api yang sengaja ditempelkan di punggungnya.


"Aaah... panas kek. Uuhh...panas.." Debrina menggigit bibir. Lama kelamaan ia menjerit-jerit, mengejang menahan sakit yang luar biasa. Jika saja tidak ditahan kuat oleh Wongso mungkin dia sudah terjatuh.


Pelan paranormal Wongso memindahkan tangannya dari punggung Debrina. Ia amati tanda lahir yang tadi berwarna hitam berubah memerah, lalu perlahan tampak samar sebuah bentuk ular melingkar di dalamnya yang menandai Debrina benar-benar perawan lawehan.


Rasa sakit perlahan menghilang dari punggung, ia sudah bisa duduk mandiri lalu membenarkan kembali baju dan penutup kepalanya setelah Wongso mengintruksikan bahwa prosesi sudah selesai.


Debrina tersenyum senang dengan tubuh yang basah kuyup. Baginya tinggal satu langkah lagi kutukan itu akan berakhir dan ia bisa segera menikah dengan Gasta.


®®®®


Debrina tampak serius di depan macbooknya, ia terlihat hanya membuka kemudian menutup profil facebook teman-teman yang ia kenali lalu mendengus putus asa. Debrina mencari sesuatu yang tak juga diketemukan ; seorang pria yang lahir di tanggal 6 bulan 6 dan tahun 1986 selasa kliwon.


Mata Debrina mengantung kebiruan karena kegiatan itu ia lakukan sudah lebih dari seminggu lamanya, lembur setiap hari, lupa makan, bahkan ia mulai melupakan ibadah yang dulu selalu ia jaga. Seolah itu bukan lagi hal yang besar, ia hanya terpaku pada keberhasilannya dengan Gasta.


"Debrina kau belum makan siang lagi?" Buru-buru Debrina menutup tab facebook dan beralih pada sketsa baju yang belum selesai saat Gasta tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.


"A-aku makan siang nanti." Jawabnya gugup. Saat itu Gasta mendekat mengambil posisi di belakang Debrina yang dipisahkan sandaran sofa besar. Pria itu ingin tahu sampai mana pekerjaan calon istrinya.


"Jika dia terus-terusan membuatmu menderita begini aku yang akan bicara padanya." Kata Gasta merujuk pada Agam yang meminta Debrina mendesain beberapa model baju untuk koleksi musim dingin bulan depan.


Debrina menoleh "Jangan! Cita-citaku adalah menjadi desainer ternama, walaupun itu masih jauh setidaknya Agam memberiku kesempatan untuk memperkenalkan karyaku di Korea. Walau beberapa kali desainku ditolak aku akan berusaha."


Gasta mendengus lelah mendengar jawaban Debrina. "Orang itu memang cerewet dan bermulut pedas ya sampai membuatmu tertekan seperti itu." Ia berdiri, berjalan di salah satu meja dan menuang teh panas dari dalam teko. "Sebaiknya kau memutuskan kontrakmu dengannya. Aku akan mencarikan distributor lain." Lanjutnya sambil menyesap cairan yang mengeluarkan kepulan asap tipis itu.


"Kenapa?" Tanya Debrina tidak puas.


"Aku punya firasat buruk tentangnya."


"Apa itu tanda kau cemburu?" Debrina tersenyum mengejek.


Gasta meletakakan teh dan berjalan di belakang Debrina, ia merendahkan tubuhnya dan menyamakan tinggi dengan Debrina yang duduk sampai bisa menghirup aroma Debrina yang manis. "Sudah kubilang firasat buruk tentangnya," bisik Gasta di samping Debrina, "Terlebih lagi akhir-akhir ini berada di dekatmu terasa semakin nyaman. Aku hanya tidak mau Agam brengsek itu lama kelamaan akan merasa nyaman juga."


"Hei! Kenapa kau bicara kasar tentangnya?"


"Semua desainer di kota ini siapa yang tak mengenal orang arogan itu? Bahkan miss Shalma sempat dibuat putus asa saat menawarkan produknya selama satu tahun ini dan baru disetujui beberapa bulan lalu."


"Oh ya?"


"Ya, dan melihatmu yang bahkan belum genap tiga bulan dikenalnya si brengsek itu menerimamu begitu saja. Bukankah aku patut curiga?"


"Curiga soal apa?"


Gasta sedikit tergagap."Aa...curiga dia tertrik padamu."


"Jadi?" Desak Debrina dengan raut yang sedikit mengejek. Ia tau Gasta sedang cemburu.


"Aku cemburu itu saja." Akhirnya kata-kata itu muncul dan membuat Debrina tersenyum puas. "Haaah kelihatannya kau puas sekali."


"Tidaaak.aku hanya senang, senang karena kau takut kehilanganku."



"Ah Debrina kau ini." Gasta mengacak iseng jilbab Debrina.


Mereka terdiam untuk beberapa saat. Gasta duduk menikmati kopinya, sedangkan Debrina sibuk memikirkan tentang laki-laki itu dan mencari pembenaran atas apa yang dia lakukan, apakah harus menghentikan semua ini atau tetap berusaha?


"Eh Gasta, apa kau mengenal kakek Wongso?" Tanya Debrina tiba-tiba.


Gasta melirik Debrina dari balik cangkir yang masih mengepulkan asap tipis. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan orang itu?"


"Ah tidak. Aku hanya ingin tau kenapa tante Shalma menggunakan jasa paranormal untuk menarik pelanggan." Jawabnya.


Gasta tampak diam sejenak, meletakkan cangkir di meja. "Aku hanya hanya sekedar kenal saja,beberapa rekanku menggunakan jasanya." Kalau soal kenapa mrs.Shalma menggunakan jasa paranormal, kurasa karena dia sedang berusaha memperjuangkan usahanya."


"Bukankah seharusnya tante meminta bantuan Tuhan?" Jawab Debrina.


"Sudah, aku pikir sudah. Tapi mrs Shalma sadar bahwa hanya dengan berdoa saja itu tidak cukup. Karena untuk mendapatkan sesuatu, kau harus mengorbankan sesuatu. Kau tau semua yang bisa diwujudkan hanya dengan sebaris doa itu cuma ada di dalam cerita dongeng."


Debrina terdiam meresapi perkataan Gasta. Dia juga dalam posisi itu, ia sudah berdoa kepada Tuhan untuk melindungi Gasta namun ternyata lelaki itu pernah cekala karenanya. Jadi Debrina rasa langkah mempercayai paranormal bukanlah hal yang salah. Mereka cuma perantara istimewa yang bisa mengabulkan permintaan itu lebih mudah.


"Ah sepertinya aku lapar, dan kau juga harus makan, bagaimana kalau kita masak spaghetti instan?" Ajak Gasta.


"Tentu saja." Debrina mengangguk, mungkin saat ini makan bersama Gasta bisa menghilangkan sedikit tekanan yang ia rasakan.


Di pantry beberapa karyawan sedang makan siang, tersenyum sungkan melihat kedatangan Gasta dan Debrina. Setelah menyapa mereka Gasta meminta Debrina duduk dan menunggu di kursi yang masih kosong. Gasta menjanjikan akan membuatkannya spaghetii spesial.


Mengikuti permintaan Gasta, Debrina membiarkan Gasta memanaskan air di dalam panci. Ia menunggu sambil memainkan ponselnya mencari pria pelengkap syarat ritualnya.


Di tempatnya Gasta membuka lemari penyimpanan mengambil dua bungkus spaghetti instan. Ia mengeluarkan isi dan memasukannya ke panci setelah air mendidih. Tangan kirinya memengang ganggang panci, tangan kanannya sibuk mengaduk spaghetti yang mulai matang.


Namun tiba-tiba saja dari arah jendela kaca di depannya bayangan hitam secepat kilat menembus dan menabrak wajah Gasta, ia reflek menghalau makhluk itu dengan panci berisi air panas tapi malah mencelakainya. Air panas menyiram wajah dan tubuh Gasta sendiri.


'BRRRAAANG!"


Panci terlempar mengejutkan semua orang. Disusul teriakan Gasta yang terjatuh menutupi wajahnya yang terbakar.


"Aaarghhh panas..."


"Gasta!" Melihat kekasihnya celaka Debrina panik. Ia berlari mendekati Gasta yang berguling, berteriak kepanasan.


"Siapapun kumohon panggilkan petugas medis!" Dan sekarang pun Debrina berpikir ini adalah kutukan yang disebabkan olehnya.


®®®®


'Klek'


'Kriieet...'


Pintu kamar terbuka. Dengan tas kecil menggantung di bahu Debrina berjalan lesu memasuki kamar, tatapannya kosong. Setelah menutup pintu ia menjatuhkan diri di kasur menatap lurus ke atap yg berwarna putih.


Ia menghela napas lelah namun lega. Lelah karena ia benar-benar kurang istirahat, dan lega karena luka bakar Gasta tidak parah. Kata Dokter itu keajaiban, tersiram air bersuhu tinggi tapi hanya memerah. Debrina tidak terlalu peduli yang penting Gasta baik-baik saja, bahkan pemuda itu bisa mengantarnya pulang seperti biasa setelah diberi obat.


Namun ia jadi teringat pengakuan Gasta setelah ia paksa untuk jujur dengan apa yang sebenarnya terjadi. Gasta mengaku melihat bayangan hitam sebelum ia tersiram air panas, bayangan yang sama saat ia kecelakaan bulan lalu.


Gasta meminta Debrina untuk tidak terlalu memikirkannya karena bisa jadi itu hanya halusinasi Gasta yang kadang terlalu lelah mengurus toko sekaligus toko accesoris miliknya yang akan segera dibuka minggu ini. Tapi Debrina tetap berpikir ini ada hubungan dengannya, jika dibiarkan akan terus mencelakai Gasta. Nyawa orang itu sangat berharga dibanding karirnya sekalipun.


Ngomong-ngomomg soal karir Debrina jadi teringat desain yang harus dikirimkan Gasta malam ini juga. Ia melonjak bangun dan buru-buru menyalakan macbook dan membuka lembar kerjanya. Tampak sebuah desain gamis berwarna merah dengan ornamen sederhana di bagian dada, menurutnya itu sudah cukup dan siap dikirim ke email Agam.


Kegiatan itu dilakukan secepat mungkin, hanya dengan suara 'Klik.klik.klik' mendominasi, tapi hanya tinggal menekan send ia lupa Email Agam. Debrina berdecak kemudian mengambil berkas kerja samanya dengan pemuda itu dari dalam tas kerja.


'Srek.'


'Srek.'


Ia tampak serius memilah-milah, kepalanya bergerak ke kiri kanan membaca cepat.


'Srek.'


Namun dia berhenti pada lembar berikut, matannya terbelalak dan mulutnya membulat tak percaya melihat lembaran kertas berisi profile Agam mengandung angka-angka yang tak asing.


"I-ini?" Bisiknya tak percaya. 6 juni 1989 Angka-angka itu, angka kelahiran lelaki istimewa yang akan menyelamatkan Gasta.


Debrina menutup mulut, dadanya berdegub tak beraturan, ia mengecek internet mencocokan weton Agam. Seketika hasil pencarian menemukan hasil yang membuatnya ingin meloncat gembira. 'Selasa kliwon.'


Debrina memeluk erat dirinya sendiri seolah memberi selamat dengan wajah bahagia. Akhirnya dia menemukan laki-laki itu, dan yang lebih hebat dia mengenalnya.


Tapi senyum sirna saat mengingat siapa laki-laki itu. Dia Kim Agam, orang paling dingin yang pernah ia temui. Debrina mendadak frustasi memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan Agam.


Tapi kemudian dia mendapatkan ide. Cepat-cepat Debrina bangkit melesat ke kamar mandi, ia akan pergi menemui Agam malam ini juga.


®®®®

Debrina berdiri menatap gedung tinggi apartemen mewah berkaca besar yang tampak seperti balok-balok bercahaya dari seberang jalan.


Salah satu jendela kaca itu adalah kamar milik Agam, tempat di mana penyelamat kekasihnya tinggal. Dan untuk menyelesaikan misi ia harus masuk ke dalam bukan hanya sekedar membahas bisnis, namun untuk melakukan hal yang tak bermoral.


Setelah beberapa kali menimbang ia putuskan untuk melangkah, mendatangi kamar pemuda sesuai instruksi yang diberikan pemiliknya. Sepanjang jalan Debrina masih terus memikirkan apa yang akan ia lakukan, apa merayunya? Mengatakan yang sesungguhnya? Atau apa? Sampai tak terasa ia telah sampai di depan kamar yang dimaksud.


Jantung Debrina berdetak keras, ia menggigiti kuku-kukunya meredam perasaan panik yang belum ia kuasai sedikitpun. Agam memang sudah mengijinkannya datang malam ini dengan alasan Debrina ingin menunjukkan desainnya secara langsung. Tapi setelah itu bahkan tidak tahu bagaimana membuat Agam agar mau bercinta dengannya?


Ia eratkan genggaman di tas laptopnya, menarik napas dan mengembuskan kasar, setelah itu ia memencet bel yang langsung mengeluarkan bunyi nyaring di ruangan Agam.


Tak lama pintu terbuka membuat jantung wanita di luar itu berdetak lebih cepat, disusul sesosok pemuda berpakaian santai yang tak asing untuknya.


"Masuklah." Dan dengan suaranya yang begitu jantan ia mempersilahkan Debrina yang masih mematung.


Debrina mengangguk lalu mengekori Agam memasuki ruangan yang temaram. Saat pertama kali masuk Debrina sedikit takjub oleh interior yang serba putih gading serta berwarna emas. Perabotan antik dan mahal. Seolah menegaskan Agam adalah lelaki berkelas yang mempunyai selera tinggi.


Layaknya tuan rumah dan tamu, Agam mempersilahkan Debrina duduk lalu menawari minum. Wanita itu menjawab jahe hangat, jawaban asal karena gugup, padahal ia tidak yakin minuman semacam itu ada di rumah seorang single seperti Agam.


Tak lama pemuda itu kembali dari dapur dan membawa secangkir minuman panas dan sekaleng bir.


'Kletek.'


"Untukmu." Katanya singkat, meletakkan cairan yg mengeluarkan uap panas di atas meja kaca. Debrina mengangguk, segera mengambil dan meminumnya. Ia pun berharap diracuni obat tidur oleh Agam lalu ditiduri seperti beberapa drama yang pernah Debrina tonton.


"Jadi sampai mana desain yang kau janjikan?" Tanya Agam setelah Debrina meletakkan cangkirnya kembali. Wanita itu mengangguk lalu mengeluarkan macbook kemudian menunjukkan lembaran desain pada Agam.


Disaat Agam meneliti desain tersebut Debrina tak henti menatap wajah Agam. Bukan karena takut desainnya akan ditolak, tapi sedang berpikir bagaimana ia memulai? Bagaimana cara merayu Agam?


"Aku tidak suka detail di pergelangan ini." Kata Agam menunjukkan gambar mengagetkan Debrina yang tak fokus.


"Ba-bagaimana kalau diganti model serut saja?" Jawabnya gagap.


Agam terdiam menatapnya. "Mm..itu mungkin lebih baik."


Dengan detak jantung tak menentu kemudian Debrina memperbaiki desain itu, sambil membicarakan beberapa hal. Namun dengan otak Debrina yang tidak sepenuhnya fokus beberapa kali ia membuat Agam mengerutkan dahi tak paham.


"Mm...Agam boleh aku meminjam toiletmu?" Tiba-tiba Debrina meminta ijin. Pria itu mengangguk, menunjukkan arahnya. Debrina segera pergi karena ia sedang mempunyai rencana.


Sepeninggal Debrina, Gasta sibuk memilah desain-desain lain pada laptop, namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara teriakan wanita.


"Kyaaaaaaaahhh!!!!"


'Gubrak!"


Itu suara Debrina dari kamar mandi, Agam bergegas dan mengetuk pintu memanggil Debrina. Beberapa saat pintu dibuka, dan Agam kaget melihat baju Debrina basah kuyup. "Apa yang terjadi?" Tanya Agam bingung.


Wanita yang sekarang lebih mirip anak kucing itu menunduk "A-aku...terpeleset dan masuk ke dalam bath up."


Lelaki itu menghela napas lega. "Kau ini."


"Maaf, kalau tidak merepotkan bolehkah aku meminjam baju? i-ini sangat dingin."


Dengan malas Agam berkata "Tunggu sebentar."


Setelah kepergian Agam, Debrina tersenyum karena ini adalah bagaian dari rencananya. Ia bergegas melepas semua pakaian lalu melilitkan handuk di tubuhnya. Setelah ini ia akan memakai kaos kebesaran milik Agam tanpa dalaman, dan pasti pemuda itu akan segera memperkosanya.


'Tuk.tuk.tuk.' pintu diketuk.


Debrina cepat-cepat membuka pintu. Ia tersenyum malu-malu menemui Agam dengan penampilan yang sedikit seksi. Sedangkan pemuda itu terlihat sedikit kaget dengan pipi memerah melihat Debrina.


"Ma-maaf merepotkan karena harus meminjam bajumu."


"Ini bukan bajuku." Kata Agam menyodorkan bungkusan baju berwarna tosca lembut yang nampak baru. "Aku ingat masih menyimpan beberapa sample produkmu untuk dibawa ke Korea, jadi pakai saja."


Mendengarnya Debrina ingin sekali mengubur diri hidup-hidup, dia sudah telanjang dan hanya memakai handuk tapi pria itu biasa saja? Malah memberinya pakaian tertutup seperti biasa?


Dengan berat hati Debrina menerima pakaian itu canggung, kembali ke kamar mandi dan merutuki diri sendiri.


Setelah mengalami kejadian memalukan itu Debrina pamit pulang karena waktu sudah menunjuk angka 22.03 malam.


"Terima kasih atas waktunya, Agam. Sampai jumpa lagi." Katanya di depan pintu keluar dengan wajah layu. Agam hanya mengangguk lalu melihat Debrina mulai melangkah pergi.


Tapi kemudian Debrina berbalik, "A-agam, apa nanti aku boleh berkunjung lagi?"


Agam menautkan kedua alis.


"A-aku sedikit stress karena akan menikah, aku pikir aku butuh teman bicara. Karena aku tidak punya teman, a-aku ingin kita berteman." Jawab Debrina. Sedikit aneh memang, tapi ia sudah berusaha.


Agam tersenyum samar. "Datanglah lagi."


"Aah O-oke..." Debrina tersenyum canggung. Meski gagal ia pergi dengan perasaan senang.


®®®®
 
®®®®


Creampie, deepthroat, cumshot, rape. Terhitung sejak malam di mana ia berkunjung ke apartemen Agam istilah-istilah najis bagi kaum suci itu mulai terendap dalam memori Debrina.


Alih-alih menghapal doa seperti yang lalu-lalu, menonon film panas yang menimbulkan sensasi aneh di dalam tubuhnya jauh lebih menyenangkan.


Ini karena Gasta, gadis polos itu menjatuhkan diri ke dalam dosa yang kian dalam, ia belajar cara menggoda pria dengan elegan dari film yang tak kalah nista.


Jam menunjukan angka 19.35. Bermodal ingatan di dalam film-film kotor yang ia lihat Debrina berangkat menemui Agam berharap rencananya kali ini akan berhasil.


Dia berdiri di depan sebuah kamar dengan pintu besi berwarna perak, menekan bel lalu tak lama laki-laki yang hanya memakai kaos polos putih, celana cokelat muda membukakan pintu mempersilahkan Debrina masuk.


Di dalam Debrina meletakkan macbook di meja tamu seperti biasa, ia pun menjawab 'coklat panas' saat Agam menawarinya sebuah minuman.


Tak lama laki-laki dewasa itu kembali dengan coklat panas untuk Debrina dan sekaleng bir untuk dirinya. Kemudian membicarakan kelangsungan kerja sama mereka untuk ke depan.


Pembicaraan soal bisnis itu tak menghabiskan waktu satu jam, keduanya sudah menemukan kata sepakat kali ini. Model yang ditawarkan Debrina diterima, dan akan dikeluarkan beberapa sample untuk itu. Namun alih-alih pulang Debrina masih duduk di kursi tamu asik menatapi layar macbook berselancar di dunia maya.


"Em...Agam, apa aku masih boleh di sini?" Tanyanya.


"...." laki-laki yang berkutat dengan beberapa berkas di meja yang memisahkan mereka hanya melirik.


"Ji-jika kau tidak keberatan aku...aku ingin mengunduh beberapa film karena jaringan internet di rumah sedang terganggu."


"Pakai saja."


"Kalau tidak keberatan bisakah kau membantuku mencarikan film yang bagus?"


Kali ini lelaki itu mengurungkan niat memeriksa kembali berkas-berkasnya dan meladeni wanita yang membuatnya sedikit terganggu. "Film apa yang ingin kau simpan?" Tanyanya lalu menegak lagi bir yang masih tersisa.


"Film porno."


'Glup' Agam hampir tersedak mendengar jawaban Debrina. Apa yang sedang dipikirkan gadis berpakaian tertutup itu?


Debrina tau Agam kaget, ia segera mengklarifikasi omongannya agar tidak dicap wanita mesum, "I-ni aku lakukan karena akan menikah dan ingin membuat Gasta terkesan. "Ya- yaah se-semacam ke-kejutan."


Agam menghela napas memutar bola mata, masih dengan setengah kaleng bir di tangan ia menghampiri Debrina. "Minggir."


Debrina mendongak "Ke-kenapa aku harus mi-minggir?"


"Sesuai permintaanmu aku akan mencarikanmu film porno yang bagus."


"Ka-kau bisa duduk di sini." Katanya menepuk sofa panjang milik Agam. Lelaki itu nampak canggung, namun menurut saja kemauan Debrina.


Memberikan akses penuh perangkatnya pada Agam, Debrina hanya diam di samping saat melihat Agam cekatan mencari sebuah situs porno berbayar menggunakan akunnya.


Gadis itu terbelalak melihat banner-banner bergantian menampilkan gambar tak senonoh menghiasi tampilan situs tersebut.


"Kau suka genre apa?" Tanya Agam tiba-tiba.


"Ge-genre?"


"Ck!" Agam berdecak kesal mengetahui wanita di sampingnya itu benar-benar polos atau pura-pura polos. Namun ia hanya menelan kekesalannya dan mencarikan genre yang menurut Agam cocok untuk Debrina. Mungkin perpaduan softcore,and teen, film untuk pemula.


"Em..i-itu apa tidak sakit?" Telunjuk Debrina menunjuk gambar gif seorang wanita mengangkang dengan kemaluan dijejali timun sebesar lengannya oleh seorang pria.


"Tidak." Jawab Agam cuek.


"Be-benarkah?"


Agam melirik ."Itu tidak akan sakit jika Wanita sudah bergairah."


"Kenapa bisa begitu?"


"Karena lubang milik wanita mengeluarkan cairan pelumas dan elastis."


"Pelumas?"


"Ya, lendir hangat."


"Apa aku juga bisa mengeluarkannya?" Tanya Debrina. Agam mengangguk.


"Bagaimana caranya?"


Agam terdiam tak menjawab.


"Apa Agam pernah berhubungan seks?"


"...."


"A-aku penasar-"


'Greb'


Debrina terbelalak saat salah satu lengannya ditarik Agam dan membuat wajah mereka berdekatan, ia menatap tajam pada Debrina yang masih kaget membuat Debrina bertanya-tanya apakah pertanyaan itu membuat Agam begitu marah?


"Apa maumu?" Tanyanya dingin.


"A-aku...aku hanya ingin tahu cara menyenangkan Gasta nan-ti." Bohong Debrina hati-hati.


"Apa itu tidak terlalu mencolok untuk sebuah rencana menjebakku dengan cara halus?"


Mati! Debrina ketahuan. Apa dia akan ditolak lalu besok gosip tentang hari ini akan tersebar ke semua relasinya?


"Katakan saja apa maumu, aku tidak heran semua wanita ingin tidur denganku. Meski aku tidak terlalu tertarik wanita sepertimu."


'Tsk??!' Debrina ingin marah mendengar jawaban merendahkan itu, dia sedang disamakan dengan wanita lain yang mengejar Agam hanya demi nafsu semata. Tapi mengabaikan mahalnya harga diri Debrina harus rela direndahkan demi Gasta.


Setelah menata hati yang sempat kacau terhina, Debrina membalas tatapan Agam. "A-apa tidak apa-apa? A-aku tidak punya pengalaman sama sekali."


Tanpa menjawab laki-laki itu hanya menatap Debrina dingin membuatnya jatuh terhipnotis mata kelam milik Agam, bahkan ia sempat memuji dalam hati itu adalah mata yang indah.


Perlahan Agam menggerakan tangan keleher belakang Debrina, menariknya ke depan mendekatkan wajah mereka. Ia pandangi wajah cantik Debrina. Membingkai wajah itu dengan kedua tangannya. Mengagumi sebentar semua yang terukir di wajah innocent Debrina.


"Kau lumayan cantik," Ucap Agam menjadi lelaki plin-plan yang beberapa saat lalu bahkan menyatakan ketidaktertarikannya pada Debrina.


Jantung Debrina berdegup keras bertatapan sedekat ini dengan pria, dan yang lebih membuatnya ingin pingsan saat kemudian Agam menempelkan bibir di permukaan bibir Debrina. Gadis itu membelalak. Untuk beberapa saat pandangan mata Debrina terasa gelap, kepalanya pusing lalu ia merasa terbang ke udara. Ini adalah ciuman pertama yang sialnya terjadi dengan lelaki yang bukan sesiapanya.


Bibir Agam menekan pelan bibir beraroma buah berry milik Debrina. Sepertinya Agam tak ingin terburu-buru memperlakukan gadis amatir itu lebih jauh, terbukti ciuman yang ia berikan hanya sekedar menempel diiringi kecupan-kecupan kecil yang membuat Debrina merinding.


Puas Agam menjauhkan kepalanya, menatap Debrina yang memerah seperti udang rebus. Ini sudah di luar tujuan awal untuk menyelamatkan Gasta melainkan Debrina sudah jatuh ke dalam nafsu. Jangankan mendorong dada Agam untuk menjauh layaknya sebuah reflek alam bawah sadar yang selama ini ia tanamkan bahwa itu dosa, Debrina justru memejam saat Agam kembali menekan bibirnya.


"Mmmh..." Ciuman yang awalnya masih sebatas kecupan mulai berubah menjadi jilatan, Debrina merasa jijik. Berusaha berpaling ke kanan-kiri namun Agam tetap mengikuti kemana Debrina berpaling malah semakin ganas menjilati bibirnya, memberikan gigitan-gigitan kecil yang membuat Debrina berakhir dengan menyerahkan diri, hanyut dalam rasa nikmat yang terus ingin ia rasakan.


Tangan Agam bergerak menyingkap penutup kepala Debrina hingga leher putih bersihnya terlihat, tak menyia-nyiakan kesempatan ia sesap leher beraroma lembut perpaduan antara hangatnya vanila dan cendana yang menenangkan.


Debrina tercekat mencengkram lengan berkaus Agam merasakan sensasi geli sentuhan bibir hangat di lehernya. Seharusnya ia marah tapi Debrina hanya mengulat. Jujur saja ini sensasi geli berbeda yang belum pernah ia rasakan.


"Kenapa?" Tanya Agam tanpa melepas bibir dari leher wangi yang mulai jadi candu. Debrina tak menjawab, alisnya tertaut dan matanya sayu. Perlahan laki-laki itu malah menggeser bibirnya keatas menaiki lekuk leher seputih porcelain Debrina lalu berhenti ditelinga "Aku akan menunjukkanmu bagaimana caranya membuatmu basah." Bisiknya busuk.


Sensasi hangat embusan napas di lubang telinga Debrina membuat ia memejam menahan geli yang makin menjadi. Sedangkan pria dingin yang kini mulai memegang kendali atas dirinya tersenyum licik mendapati gadis polos di dalam dekapan itu mendesah tertahan saat lidah hangatnya mulai menggelitik pelan telinga si gadis.


Lidah Agam menerobos lekuk-lekuk telinga Debrina, ujungnya dengan kasar mengorek-orek lubangnya, dikombinasi dengan kuluman lembut, dan gigitan yang yang tak sedikitpun diprotes Debrina. Malah memprovokasi gadis itu untuk mendesah lebih panas.


Setelah puas menjilati telinga Debrina, kepala Agam sedikit menjauh hanya untuk melihat telinga Debrina yang putih menjadi kemerahan dan basah oleh liurnya. Pemandangan itu membuat Agam menyeringai menang.


"Debrina. Apa ini cukup membuatmu basah?" Tanyanya tepat di telinga Debrina.


"Emh..." ia menggeleng. Malu untuk mengakui, padahal ia merasa celana dalamnya mulai basah.


Agam mengelus pelan leher Debrina hingga belahan baju yang menghalangi dada. "Baiklah kita coba lebih banyak lagi."


'Cup!'


Satu kecupan hangat diberikan Agam tepat di tengkuk Debrina, otomatis matanya memejam, mendesah pendek.


"Ini adalah leher." Kata Agam menghirup lagi dan lagi aroma kulit memabukkan milik Debrina yang unik. Ya Debrina tau itu leher, tapi daripada protes ia memilih diam dan menunggu apa yang akan dilakukan pejantan ini. "Bagi wanita ataupun pria sama saja, jika leher mereka dijilat."


'Slreph'


"Ahh..." Debrina mendesah, suaranya lebih terdengar seperti orang terkejut saat benda hangat dan basah menyapu permukaan lehernya membawa sensasi dingin setelahnya.


"Ini akan membuat perutmu bereaksi?"


Debrina menggigit bibir mengangguk. "Eemmh..."


"Ssshh...Ah-aagam." Lidah Agam bergerak lebih lincah menjilat habis permukaan kulit leher Debrina. Gadis itu mendongak seksi seolah mengundang Agam untuk mengakses lehernya lebih. Mengerti maksud Debrina, Agam mengubah jilatannya menjadi hisapan, hisapan dalam yang membuat rasa geli menggila menjalar perut, meninggalkan bercak-bercak kemerahan, tak memberi kesempatan Debrina berhenti mendesahkan kenikmatan, menggelitik lucu merangsang pelumas alami membasahi kewanitaannya,


Puas, Agam sengaja menarik wajahnya dari leher Debrina, membiarkan gadis itu bernapas.


Dengan pipi memerah Debrina membuka mata lentiknya. Saat mata kecoklatan indah itu memberanikan diri menatap wajah Agam, di sana sudah disambut oleh mata kelam Agam yang tak kalah indah. Kedua mata indah itu bertemu kembali membuat jantung keduanya makin berdegup kencang, bedanya kali ini sorot mata dingin dan kelam milik Agam lebih lembut dan hangat.


Perlahan tatapan itu menurun ke dada membusung Debrina yang masih tertutup gamis merah muda.


"Aku boleh menyentuhnya?" Ia meminta persetujuan untuk menyentuh dada ranum menggiurkan Debrina.


"Eh??" Debrina ragu.


"Ini akan membuatmu lebih basah." Agam memberi tahu. "Anggap saja hari ini aku adalah mentor seksmu."


Debrina menggigit bibir dan mengangguk pelan setuju. Pria itu lantas memegang dada kanan Debrina lembut, meremas pelan.


"Ahh..." desahnya menatap wajah tampan Agam.


Agam mendekatkan lagi kepalanya, mencium telinga Debrina, tangannya memilin puting tertutup gamis, lidahnya terjulur menjilat telinga Debrina lalu turun keleher menghantarkan rasa geli nikmat berkali lipat.


"Sshhh...aahh Agam..." Debrina terus memejam, sesekali meringis menahan gejolak yang dibuat Agam, napasnya memburu, dadanya makin berdebar. Agam bersemangat menyentuh gadis di bawah kendalinya ini.


Tak lama Agam berpindah, turun dari kursi lalu berlutut di lantai. Gadis itu menatapnya kecewa, tidak rela Agam berhenti menyentuhnya. Sekarang Debrina ingin sekali memeluk Agam dan membawa pria itu kembali membawanya melayang seperti tadi.


Agam tersenyum. Membelai kepala Debrina. Ia pandangi wajah sayu Debrina yang mulai kacau, kemudian tangannya berpindah memegang kancing baju Debrina. "Boleh aku buka?"


"I-iya." Tanpa berpikir panjang Debrina mengiyakan. Karena sebagian tubuhnya mulai menyukai sentuhan Agam. Ia ingin semua ini diselesaikan hingga rasa penasaran Debrina lunas.


Mendapat lampu hijau Agam tak ragu membuka satu persatu empat kancing Gamis Debrina.


Agam menelan ludah. Iris gelapnya menangkap bongkahan dada berukuran medium terbingkai bra merah berpita lace, kontras sekali dengan dada seputih porcelain. Shit! Celananya terasa menyempit.



Tak sabar ingin melihat payudara Debrina, tangan Agam bergerak berniat membukanya.


"Ah-Agam!" Namun sorot mata itu berkata 'jangan'.


Mengerti apa yang dirasakan Debrina, Agam menggenggam tangan gadis itu. "Tidak apa-apa, hanya aku. Ini akan menjadi rahasia kita berdua. Aku berjanji." Entah kenapa sorot mata dan setiap kata yang meluncur dari bibir Agam selalu membuat Debrina merasa aman. Kali ini pun ia hanya diam tak menjawab, itu cukup membuat Agam yakin wanita ini memberi ijin untuknya.


Tangan Agam cekatan menurunkan gamis melewati bahu Debrina. Kulit putih lembut selembut salju terekspos begitu saja, bersinar cerah di mata kelam Agam. Terakhir hati-hati Agam membuka penutup terakhir dada Debrina dengan menaikkan keatas.


"Ehem..." Gumam Agam, ia hampir saja berdecak kagum keras-keras melihat keindahan Debrina. Namun ia beruntung masih bisa mengendalikan diri. Bahkan napasnya sempat berhenti berdetak saat dada ber-cup B dengan lingkar dada 34 cm itu terpampang di depan mata kelamnya.


Agam tak berhenti menelan ludah terhipnotis dada bulat di hiasi puting kemerahan bak bibir bayi milik Debrina. Segar, transparan, lembut. Entahlah Agam belum pernah melihat dada seindah itu sepanjang petualangan birahinya, bersama jalang maupun dengan kalangan berkelas sekalipun .


Kalau boleh saat ini juga Agam ingin menyergap benda sialan yang membuat kejantanan yang mulai protes ingin segera diloloskan dari balik celana pendeknya. Menjilat, menghisap dengan brutal puting kemerahan itu sebagai balasan telah membuat Junior tersiksa. Tapi Agam cukup kuat menahan diri, kalau tidak dia takut Debrina berubah pikiran.


"Eh." Debrina memalingkan wajah saat Agam terdiam memandangi dadanya, ia merasa sangat malu. Ini pertama kali bagi Debrina menunjukan bagian pribadinya ke orang lain. Jantung pun masih berdentum-dentum tak beraturan, tangannya dingin. Basah.


"A-agam jangan melihatnya seperti itu." Pinta Debrina menyilangkan tangan di dada, tak tahan lama-lama payudaranya ditatap mesum oleh Agam. Tapi pemandangan yang tadi luput dari mata Agam malah menjadi pusat perhatiannya sekarang. Perut putih dan langsing Debrina dengan pusar bersih sebagai titik fokus alaminya. Menarik.


Tak tahan Agam mendekatkan kepala di sana. Mengecup pelan. Perut itu berjingkat geli. "Ahh...jangan!!"


Agam tersenyum. "Kenapa ditutup? Biarkan aku melihatnya." Tangannya mencoba menyingkirkan tangan Debrina dari sana.


"Um...a-aku malu be-bentuknya aneh." Jawab Debrina memejam menghindari bertatapan dengan Agam. Ini terlalu memalukan.


"Aku suka." Kata Agam. Tangannya bergerak menurunkan tangan Debrina dari dada dan berhasil membuat dada itu kembali terekspos bebas. "Buka matamu. Lihatlah saat aku menyentuhnya." Pinta Agam. Menuruti Agam, perlahan Debrina membuka mata lentiknya. "Seperti yang aku katakan,"


'G-glek'


"Sial!" Agam susah payah menelan ludah. Permainan ini menyiksa batinnya yang meronta ingin dipuaskan.Tapi ia harus sabar.


"Debrina ini payudara." Kata Agam, menyentuh benda kenyal, hangat milik Debrina. Membiarkan gadis itu mengigit bibir kegelian. "Bentuknya bervariasi. Ada pria suka yang kecil, ada yang suka bulat berisi." "Aku sendiri suka yang seperti milikmu. Tidak terlalu besar tapi bulat dan kenyal." Bisik Agam seksi. Ia meremas pelan bahkan bisa merasakan puting Debrina terasa mengeras di telapak tangannya. "Dan di tengah ini adalah putting, terdiri dari kulit dan jaringan erektil." Jarinya jahil menyentuh puting Debrina, membuat gadis itu mendesah.


"Aaah hentikan..."


"Ah'. Seharusnya kau jangan mendesah dulu Debrina, kau pikir hanya kau saja yang ingin berteriak? kau tau ini membuatku hampir kehilangan kendali." Rutuk Agam dalam hati.


"Payudara manusia berbentuk

kerucut tapi sering kali berukuran

tidak sama." Agam meremas kedua dada Debrina bersamaan, "Dan dadamu ini lebih besar yang kanan, yang aku remas ini." Terangnya membuat Debrina tak bernapas.


Agam masih asyik meremas dan menekan mainan barunya tidak peduli gadis polos itu menahan geli dengan wajah semerah persik. Bahkan Jari Agam bergerak-gerak melingkar mengikuti bentuk areola Debrina. Sengaja menyiksa.


"Aaah...Agam tanganmu."


Ia menyeringai lebar melirik keatas mendapati Debrina memejam dengan bibir sedikit terbuka, membuatnya semakin terlihat seksi di mata Agam. "Ini adalah puting," lanjut Agam sembari memencet puting Debrina pelan.


"Aaahhh!!" Jerit Debrina. Sela-sela jarinya terisi rambut legam Agam. Menahan kepala pemuda yang asik mempermainkan putingnya. Ia merasakan rasa nikmat yang unik pada ujung payudaranya. Napasnya pun terengah, sedangkan Agam sengaja memelintir kedua puting imut itu lebih lama agar Debrina semakin menggeliat seksi.


"Puting payudara ini mengandung ujung-ujung saraf perasa yang sensitif, dan otot polos yang akan berkontraksi bila ada rangsangan seperti ini." Agam menjulurkan lidah basahnya menjilat pelan puting payudara Debrina, salah satu tangannya meremas lembut dada satunya.


Debrina mendesah. Desahan yang terdengar bak melodi-melodi indah, seperti alunan saxophone dan violin di musim semi, serta musik romantis lainnya. Maka setiap desahan itu keluar dari mulut Debrina membuat Agam bergairah untuk semakin menjilat, mengulum serta menggigit kecil puting itu berlama-lama hingga berubah warna menjadi merah gelap. Kanan kiri Agam memperlakukan kedua payudara itu secara adil.


"Aaaahh...Agam, s-sudah...ah..." Desah Debrina menggila. Jilbab yang masih menempel di kepalanya basah, kusut tak berbentuk, bahkan rambutnya mencuat keluar berantakan.


Agam mengabaikan, itu terlalu berharga untuk ditinggalkan sebentar sekalipun. Ia tidak mau, belum puas bermain. Ujung lidahnya bergerak cepat naik-turun, memutar memainkan ujung puting Debrina yang sempurna mengeras.


"Agh-agham! Berhenti-ugh!" Debrina mengulat nikmat, perutnya terasa geli kewanitaannya basah dan masih terus mengeluarkan cairan yang kurang ia kenali. Tapi entahlah yang jelas Debrina ingin segera dihentikan walau dia suka.


Puas Agam menarik mulut dari puting Debrina yang sudah merah matang dan basah oleh liurnya. Saat Agam melihat wajah Debrina lagi, gadis pemilik rambut selembut sutra di balik jilbab itu sedang bersandar pada sofa. Bibir peach-nya terbuka mengambil udara sebanyak mungkin. Tersengal. Dada polosnya naik turun membuat Agam tak tahan lalu menyerang bibirnya.


"Ummmh! Mmmhh..."


Debrina sedikit gelagapan oleh penyerangan Agam yang tiba-tiba, namun itu tak berlangsung lama karena Agam mampu membuat Debrina merasa nyaman. Dengan bantuan Agam tangan Debrina mengalung di leher kokoh laki-laki itu. Naluri membawa keberanian Debrina membalas ciuman Agam. Bibir keduanya pun saling kecup.


Maafkan Debrina yang amatir. Merasa bosan, Agam menjilati bibir Debrina. Perlahan lidahnya menerobos, membuat bibir Debrina terbuka. Bukan hal yang sulit bagi pria itu membuat lidah mereka bertemu. Dengan kemampuan yang lebih Agam menjilati, menggeluti lidah Debrina yang pasif, mengajak saling tertaut dan membelit panas. Tapi tanpa pengalaman yang Debrina punya ia hanya diam membiarkan Agam bekerja sendiri.


Tak kehabisan akal, Agam yang sudah dipenuhi gairah mengulum lidah Debrina, mengisapnya dalam-dalam, memainkan lidahnya di dalam tenggorokan Debrina yang mulai kewalahan.


Debrina kehabisan napas, tangannya mendorong Agam menjauh. Tapi tak berlangsung lama setelah Debrina mendapatkan sedikit udara, Agam kembali menginvansi mulutnya, mengabsen satu persatu gigi gadis itu dengan lidahnya tanpa rasa jijik. Debrina pasrah menikmati permainan Agam.


"Debrina?" Panggil Agam dengan suara berat-mendesah. Seksi.


Debrina membuka mata perlahan, kedua mata indah yang dipenuhi birahi itu kembali bertemu.


"Debriba balas ciumanku." Pinta Agam merasa permainan ini tidak imbang.


"Tap-tapi tapi ak_"


"Kau hanya perlu melakukannya seperti sedang menjilati es krim." Setelah mengatakannya Agam kembali mengecup bibir Debrina mengabaikan alasan yang keluar dari sana.


Lidah Agam kembali memasuki mulut Debrina, menjilat memancing gadis itu untuk lebih aktif. Tidak sia-sia, Debrina mulai membalas lilitan lidah Agam meski masih terasa kaku. Agam menekan tubuhnya, sambil berusaha membuka kausnya sendiri tanpa melepaskan ciuman.


Setelah kaus putuh polos milik Agam terlepas dari tubuh ia kembali Agam meremas dada Debrina. Meremas-remas dan memilin puting kecil itu sementara ciumannya semakin panas, lunak dan basah. Saling mengigit, menjilat, bertukar saliva dan menelan.


"Ugh!" Debrina mendorong tubuh Agam menjauh merasa kehabisan napas. Ia juga baru sadar Agam sudah tidak memakai kausnya. "A-Agan K-kenapa melepas baju?" Cicit Debrina memalingkan wajah. Ia Merasa malu, deg-degan dan canggung melihat tubuh tegap Agam yang seksi.


"Kenapa? Aku sudah baik menemanimu telanjang. Aku rasa tidak adil jika kau saja yang melepas baju." Jawab Agam. Lalu ia berdiri. Menarik pergelangan Debrina mengikuti agar berdiri. "Aku tunjukan kau sesuatu." Dengan tubuh setengah polos-gamis yang belum dilepas ia menuruti permintaan Agam. Meski ada tanda tanya tersirat di wajah Debrina.


Agam duduk di sofa. Menarik tangan Debrina agar duduk di lantai-posisi yang sama dengan dirinya tadi. Debrina menurut.


Kini Debrina bisa melihat bebas perut kencang Agam, di sana terdapat otot-otot kekar, kokoh, dan sedikit basah karena keringat. Sebagai wanita normal Debrina menelan ludah menahan napas mengagumi keseksian laki-laki di hadapannya ini.


Agam senyum sinis. Membungkuk mendekati wajah Debrina dan berbisik, "Bernafas Debrina."


"E-eh...ti-iya" Debrina menunduk malu, sementara Agam menyeringai lebar. Kemudian laki-laki itu menarik tangan kanan Debrina untuk menyentuh sesuatu di balik celana hitamnya. "Eh?!" Debrina kaget menyentuh benda keras milik Agam yang sudah mengeras.


"Tidak apa-apa. Ini penis, alat reproduksi pria. Sama sepertimu, dia akan mengeras jika sedang bergairah." Agam mengatur napas yang sedikit berat saat membimbing tangan Debrina untuk meremas benda itu. "Hhh...aku akan menunjukanmu bagian-bagiannya. Bukalah." Pinta Agam. Awalnya Debrina enggan, tapi dengan sedikit paksaan ia tidak bisa menolak. Dengan tangan gemetar Debrina memberanikan diri menurunkan resleting Agam.


Dadanya semakin berdegup saat celana dalam Agam tampak menggembung di bagian depan. Sementara Agam tak sabar menurunkan celana pendeknya sendiri hingga terlepas, menyisakan celana dalam Versace berwarna cokelat gelap.


"Sentuh Debrina. Tak sabar Agam menarik lagi tangan Debrina kembali meremas benda keras itu. "Hhh..ssh.." Pria berambut gelap itu mendongak saat tangan Debrina menyentuh miliknya, meski dengan tangan sendiri yang menggerakan tangan Debrina, tapi sudah membuat Agam mendesah.


"A-agam? I-ini me-mengeras? A-apa penis pria selalu begini jika disentuh?" Tanya Debrina polos.


"Hhhhah...ssh." Agam tak menjawab. Ia turunkan satu-satunya penutup kejantanannya itu. Ia tak peduli, cukup Agam menahan sakit.


Debrina melebarkan mata saat benda berukuran 14 cm dengan diameter 4 cm itu sudah berdiri tegak di hadapannya. Cukup besar untuk ukuran orang asia.


"Ssh...jadi. Debrina,mmmh. ketika seorang pria medapat stimulasi seksual dan terangsang. Ah." "Saraf di sekitar penis akan menjadi aktif." Terang Agam. Ia tuntun lagi Debrina menyentuh kejantanannya yang sudah polos tanpa penutup lalu mengisyaratkan untuk menggenggam dan menggerakannya keatas dan kebawah.


Debrina sedikit aneh saat merasakan benda hangat itu di telapak tangannya. "Hal ini menyebabkan otot-otot sekitar pembuluh darah menjadi rileks sehingga darah mengalir lebih banyak ke dalam penis membuat penis kaku dan keras tegak seperti ini." Lanjut Agam menuntun tangan Debrina untuk mengocok lebih cepat dari sebelumnya membuat Agam memejan menarik napas dalam.


"Agam. A-apa aku menyakitimu?" Tanya Debrina khawatir melihat Agam medesis seperti sedang kesakitan.


"Emh...ini bukan kesakitan, tapi aku sedang bergairah Debrina. Sama seperti saat aku memainkan lidahku di puncak dadamu. Kau menikmatinya bukan?"


"Uh..." Debrina menunduk.


"Aku akan sedikit menjelaskan. Ini adalah Glans atau kepala penis," Agam menyentuhkan jemari Debrina pada benda yang mirip kepala jamur tersebut. Walau sentuhan itu membuat Agam tersengat, ia masih berusaha menahan desahan.


"Kepala penis berbentuk seperti ini. Dia sangat sensitif. Batangnya akan semakin membesar dan keras kalau rangsangan yang diberikan bervariasi." Terang Agam sambil menikmati kocokan pelan dari Debrina.


Mata cokelat Debrina mendapati ujung kejantanan Agam mengeluarkan sebuah cairan bening. "Em Agam i-ini cairan apa? A-apa ini sperma?"


Agam menggeleng. "Itu precum. Cairan yang mucul ketika seorang laki-laki sedang terangsang secara seksual. Cairan ini berwarna bening dan kental, berbeda dengan sperma yang berwarna putih pekat" Terang Agam lagi, dijawab dengan anggukkan Debrina.


"Um...Agam, bagaimana rasanya?" Tanya Debrina dengan tatapan polos, membuat hati Agam luluh lantah.


"Tidak seperti sperma, cairan precum tidak berasa sama sekali. Cobalah." Harap Agam mendekatkan kepala Debrina ke penisnya. Debrina menahan karena itu terlalu menjijikan.


"Kenapa? Coba saja, ini bersih." Kata Agam meyakinkan.


Sepertinya kata-kata Agam selalu berhasil menghipnotis Debrina untuk menuruti. Gadis itu kemudian menggenggam lembut kejantanan milik Agam, lalu mendekatkan mulutnya kemudian menjilat ragu.


Saat ujung lidah gadis itu menyentuh ujung batang yang sudah mengacung keras, Agam memejamkan mata. Membiarkan Debrina menjilat benda itu sekali-dua kali merasakan rasa asin yang tidak terlalu mengganggu.


"Ssh...bagaimana Debrina?" Tanya Agam menyipit menahan nikmat sedangkan tangannya mengusap lembut ujung kepala Debrina.


"Umh ti-tidak buruk." Jawab Debrina.


Lelaki itu tersenyum menang. "Kau suka? Kau boleh memainkannya sesukamu."


Mendapatkan kepercayaan dari Agam, Debrina tersenyum manis. Ia tatap wajah Agam dengan tatapan anak anjing yang polos lalu menjilat kejantanan Agam tanpa ragu. Debrina menjilat pelan, lambat-menikmati. Setiap sapuan lidahnya membuat Agam melenguh, dan itu membuat Debrina merasa senang.


Semakin lama jilatan Debrina menjadi kuluman lembut. Entah sejak kapan penis Agam sudah dilahap di dalam mulutnya, menikmati seolah sedang menjilati es krim cokelat kesukaannya tanpa jijik.


Dia memang gadis pintar, cepat belajar, walau terkadang kejantanan Agam terantuk gigi tak terlalu peduli, ia hanya mendesis menahan ngilu, menahan kepala Debrina sebagai isyarat itu sakit. Tapi tak apa, toh rasa nikmat di batangnya jauh lebih banyak.


Membiarkan Debrina bermain dengan penisnya memang bukan hal yang salah karena gadis itu kini telah lebih berani bereksperimen mempraktekan beberapa adegan film porno yang ia lihat.


Ia hisap batang Agam dalam-dalam, tangan lentiknya mengelus pelan testis yang menggantung lucu. Tak hanya itu, lidah Debrina dengan liar menggelitik tepat pada frenulum Agam yang membuat pria itu meringis merasa benar-benar keenakan, nikmat yang menjalar kepalanya terasa panas.


Siksaan Debrina tak berhenti di situ, lidahnya kini memutari kepala penis Agam, turun menjilati semua permukaan batang itu lalu diakhiri dengan deepthroat diikuti hisapan yang panjang.


"Aaaaahhh!! Shit! Debrina...aaahh!aah!" Agam seperti mati kutu, ia hanya megap-megap seperti ikan yang dikeluarkan dari dalam air. Sementara Debrina terbatuk-batuk dan matanya berair kehabisan napas menatap penis Agam yang basah mengacung gagah dengan urat-urat menonjol. Agam pun menghapus air mata Debrina dan berniat mengakhiri ini.


Namun seolah kesurupan Miya Khalifa, Debrina kembali mencaplok penis yang masih berdiri tegap. Ia membuat gerakan naik-turun mengoral batang itu, lalu turun menjilat buah zakar Agam yang kemudian ia lahap juga ke dalam mulut mempermainkannya di dalam dengan lidahnya, sementara tangannya tetap mengocok penis keras yang menggairahkan itu.


"AAAHH!" Agam merasa malu kali ini, mendesah-desah karena seorang amatir. Sementara Debrina sangat menikmati kegiatannya tanpa rasa malu dan jijik, malah ia sangat menyukai rasa dan aroma khas penis Agam yang bercampur dengan salivanya.


Agam tak mau tinggal diam diperlakukan istimewa oleh Debrina, di tengah nikmat beserta erangan yang seolah menyemangati Debrina, Agam berusaha membalas Debrina merasakan kenikmatan yang sama.


Salah satu tangannya menggapai kantung susu Debrina yang tergantung bebas di bawah sana, memilin puting kecil yang dipenuhi syaraf sensitif yang sudah menegang sedari tadi.


"Aakh-Agam??" Desis Debrina melirik wajah tampan Agam yang memejam-terlihat jauh lebih seksi saat terangsang.


Agam membuka mata perlahan, membalas tatapan Debrina dengan tatapan sayu. "Kenapa?"


"A-apa kau menyukai ini?" Tanya Debrina ragu.


Agam tersenyum, "Aaahnm...lebih Debrina... Aku sangat menyukai ini." Jawab Agam yakin.


Debrina tersenyum. Ia kembali meneruskan kegiatannya- memasukan kejantanan Agam kedalam mulut, menjilat, menggelitik ujung penis Agam membiarkan makhluk indah itu meronta dan mendongak liar keenakan. Dalam hati Agam berteriak kencang, betapa lidah Debrina begitu nikmat menyentuh permukaan kulit penisnya.


Semakin lama Agam merasa tak lagi bisa bertahan, benihnya akan segera menyembur keluar. Tapi itu tidak boleh terjadi. Tidak, sebagai pejantan sejati dia tidak boleh keluar lebih dulu. Itu bukan hal terhormat dan patut dibanggakan orang seperti Agam.


Dengan lembut ia menjauhkan kepala Debrina dari kejantanannya. Wajah gadis itu tampak bertanya-tanya.


"Sudah cukup Debrina, masih ada yang harus aku tunjukkan." Terang Agam mengulur waktu agar ia kembali normal. Ia menarik Debrina dalam pelukan, memeluk Debrina dengan hangat. Kedua dada berbeda bentuk saling bergesekan menciptakan sensasi alami yang mengisyaratkan mereka untuk terus menyelam lebih dalam.


"Debrina." Agam membaui lagi wangi leher Debrina yang sudah bercampur salivanya. "Apa kau sudah basah?" Tanyanya sambil meremas bongkahan pantat Debrina yang masih terbungkus gamis yang belum seluruhnya terlepas.


"Huum..." jawab Debrina.


Agam melepas pelukkan, memposisikan Debrina kembali duduk di sofa. "Duduklah," ia usap kening Debrina yang berkeringat, membuka jilbab dan melemparnya jauh kemudian merapikan rambut Debrina yang lengket di wajah. Lalu Agam duduk bersimpuh di depan Debrina.


Tangan kekarnya mengusap lembut paha tertutup Debrina, perlahan elusan lembut itu menyapu hingga ke paha dalam, mau tak mau membuat bawahan gamis tersingkap ke atas. Gundukan keramat milik Debrina yang masih terbungkus celana dalam berwarna merah basah pada bagian depannya.


Debrina menggigit bibir bawah menahan gairah baru yang kembali mengusik tubuhnya. Tak cukup hanya sampai di situ, tangan Agam menarik celana dalam Debrina.


"Jangan!" Cegah Debrina.


"Kenapa? aku hanya ingin lihat." Tanya Agam.


"Ti-tidak, jangan!"


"Ayolah...aku akan terangkan bagian-bagian yang membuatmu akan lebih banyak mengeluarkan cairan." Bujuk Agam


"Tidak Agam, ini tidak boleh! A-aku malu!." Tolak Debrina tegas.


Agam terkekeh mendapat pengakuan Debrina. "Ayolah tidak apa-apa, aku janji akan merahasiakannya."


"Tapi??"


"Percayalah."


Tanpa menunggu lebih lama lagi Agam menurunkan celana dalam Debrina. Hanya dengan sekali tarikan kewanitaan yang dihiasi rambut-rambut halus tertata rapi tersaji di hadapannya.


Agam menelan ludah. Lagi-lagi itu aset pribadi seorang wanita paling indah yang pernah ia lihat. Rambut halus di sekitar pubic, bibir vagina yang putih tembam, lipatannya mengkilat basah oleh cairan yang disebabkan Agam sedari tadi.


Agam menyentuhkan jari telunjuknya di lipatan menggemaskan itu, membuat Debrina mendesah lagi. Lelaki tersebut memang sengaja menggoda Debrina.


Tidak puas hanya menyentuh, pemuda berusia 29 tahun itu menaikan kedua kaki Debrina di permukaan sofa. Jelas Debrina menolak keberatan, ia cepat-cepat mengatupkan selakangan yang sempat ditangkap mata Agam sekilas.


Bukan Agam kalau tidak bisa menaklukan perempuan. Dengan kemampuan merayu Debrina berhasil dibuat melebarkan kedua pahanya kembali, lebih lebar dari sebelumnya malah, membiarkan bagian paling pribadinya terpampang jelas di mata Agam.


Agam menelan ludahnya lagi. Betapa merah lubang kewanitaan Debrina. Itu persis seperti daging mentah─basah, merah dan segar. Agam bersorak dalam hati, entah kenapa makhluk pendosa seperti dirinya masih diberi keberuntungan sebesar ini. Gadis dengan kulit seputih mutiara, berwajah cantik dengan mata sayu sedang memperlihatkan kewanitaan yang menggoda di depan wajahnya.


Agam tak berhenti menatap wajah dan mengagumi lubang kawin Debrina yang basah secara bergantian. Hal itu membuat Debrina risih lalu menutup dengan kedua telapaknya. "Jangan lihat begitu!!"


"...."


"Aku tau kau pasti tidak suka bentuknya."


"Suka." Ucap Agam. Gadis itu salah paham, Agam diam bukan karena tidak suka, tapi karena ia sedang terhipnotis.


"Sangat suka." Ucap Agam tanpa memgalihkan tatapan pada daging segar yang terpampang. Tangan Agam bergerak menyingkirkan telapak Debrina dari sana. Selanjutnya ia mendekatkan hidung mancung miliknya menghirup aroma kewanitaan alami Debrina yang segar memabukkan. Percampuran aroma keringat dan asam vagina tak menyengat.


"Kyaaaaaa!!!!" Debrina menjerit kaget merasa sesuatu yang kasar dan hangat mendarat di lubang senggamanya. Spontan menjauhkan kepala Agam dari sana. Debrina tidak siap, menurutnya ini tidak pantas. Ia tau vagina itu sedari tadi mengeluarkan lendir menjijikan yang sangat banyak.


"Kenapa lagi??" Tanya Agam, malas.


"I-itu kotor! jangan sentuh!"


"Siapa yang sentuh? Aku sedang menjilat."


"I-itu sama saja, menjijkkan!!"


"Aku tidak. Singkirkan tanganmu."


"Tapi Agam..." Rengek Debrina.


"Kita coba sekali, kalu kau tidak suka kau boleh menghentikannya." Usul Agam dingin.


Lagi-lagi Debrina kalah dalam mempertahankan pendapat, mungkin memang sudah menjadi garis takdir bahwa dia tidak akan menang dari pesona pria seperti Agam.


Agam menyentuhkan jemarinya ke kewanitaan Debrina, "Debrina, kita sampai pada titik ini. Vagina milikmu."


"Hu'uh.." Jawab Debrina menahan geli.


"Ini adalah pubik, jaringan lemak yang ditumbuhi rambut." Jelas Agam- mengelus rambut-rambut kewanitaan Debrina. "Ini adalah Labia minora, daging tidak berambut terletak di kedua sisi lubang masuk vagina. Labia minora ini bertemu di bagian atas dan memebentuk penutup klitoris." Sentuhan Agam kembali membuat Debrina mendsis.


"Lalu ini Bibir bagian luar atau Labia Majora. Bagian empuk berlemak yang terletak di kedua sisi vagina. "


"Eemmh..." Jawab Debrina. Agam yakin penjelasan ini dari awal tidak didengar baik oleh Debrina yang sudah terangsang ini. Lagipula dari awal ia tidak perlu menjelaskan ini semua. Tapi bermain mentor dan murid bersama Debrina memberikan pengalaman baru yang mendebarkan.


"Lalu yang terakhir adalah klitoris"


"Aah!! Agam!" Jerit Debrina saat jari Agam menyentuh klitorisnya. Rambut-rambut di kulitnya meremang.


"Klitoris adalah organ kecil yang sangat sensitif. Ini penting dalam reaksi seksual wanita seperti ini." Agam menggerak-gerakan jarinya lebih cepat mengeluarkan bunyi kecipak yang berasal dari lendir Debrina dan tangan Agam. Debrina mendesah hebat, tubuhnya menggeliat, dada membusung seksi dengan puting menguncup keras.


Agam mengabaikan rintihan Debrina, ia sendiri sebenarnya sudah tak tahan ingin segera menyetubuhi Debrina, tapi belum saatnya. "Ini Glans atau kepala klitoris. Ini dapat terlihat dari luar, mencuat seperti benjolan kecil berwarna merah."


"Aaahh... Agam..."


" Ukuran klitoris berbeda dari satu wanita ke wanita yang lain," Agam masih saja bercerita padahal dia tau Debrina sudah total kehilangan akalnya. "Seperti halnya ukuran penis yang berbeda pada setiap pria." Lanjutnya-melirik Debrina yang mendongak pasrah. Pria itu menyeringai melebar.


Setelah yakin Debrina sudah dikuasai birahi Agam tak tahan ingin segera mencicipi daging kecil ditengah-tengah kewanitaan Debrina yang mulai membengkak sebesar kacang.


Ini kesempata. Langsung saja kepala Agam mendekat keselakangan Debrina dan menjulurkan lidah. Ia jilat pelan permukaan basah itu pelan. "Sllrrrp."


"Ssshhh...aaahh...Agam!" Desah Debrina mencengkeram kepala Agam yang sedang asik menjilati kewanitaannya.


Desahan demi desahan mengalun, suaranya membuat Agam semakin rakus menjilati Vagina Debrina yang terus mengeluarkan lendir hangat tiada henti.


"Aaahhh... Agam...su-sudah" Debrina terus meracau merasakan tubuh bawahnya dinikmati Agam, dia merasa terbang ke awan saat ujung lidah Agam menggelitik klitoris, kemudian mencucuk lubang yang banjir itu, mencucup sekaligus menelan cairan asin milik Debrina.


Sampai beberapa saat kemudian Agam masih bernafsu bermain di vagina Debrina, sepertinya Agam sangat menyukai rasa cairan cinta milik Debrina. Tidak peduli Debrina yang sudah meronta-ronta ingin berhenti, nyatanya ia menikmati siksaan nikmat yang diberikan Agam.


Pria pemilik mata sekelam malam itu masih saja menggelitik klitoris Debrina, kali ini satu jarinya ia masukan kedalam lubang kawin sang gadis, mengocok kasar. Debrina merasa sudah tidak ada di dunia, ia melayang, bahkan ia tak bisa mendeskripsikan perasaan apa yang sedang ia rasakan. Debrina tidak tau, ia sama sekali tak menemukan padanan kata yang tepat di dalam arsip ingatannya. Rasa itu seperti ribuan sayap peri-peri menggelitik perut ratanya.


Debrina bergerak liar, sesuatu seperti akan meledak dari dalam tubuhnya.


"Aaahh...Agaaaamm!! Aaaah berhenti." Jerit Debrina meminta Agam menghentikan kegiatannya. Tp pria kurang ajar itu pura-pura tuli, lidahnya seperti mesin terus menyerang Debrina tanpa ampun. Sampai akhirnya Debrina benar-benar tak dapat lagi membendung banyak cairan dari dalam tubuhnya. Vaginanya berdenyut-denyut hebat


"Aaaaaaahhh...." Menekan dalam-dalam kepala Agam pada vaginanya. Tubuh Debrina melengkung ke atas, mengejang saat badai kenikmatan menerpa dan mengalirkan cairan panas dari dalam perutnya yang langsung ditelan habis Agam. Debrina mendapatkan orgasme pertamanya.


"Ennggghhh...Agam..." Erang Debrina merasa seluruh sendinya lepas. Dia tak bisa bergerak, lemas. Perasaan nikmat yang tak bisa ia gambarkan baru saja menerpa telah menguras seluruh tenaga yang ia punya.


Agam tersenyum menang mendapati Debrina tak berdaya di sofa yang telah basah oleh lendir. Setelah membiarkan Debrina memasok oksigen dalam paru-paru Agam berdiri dengan kejantanan yang mengacung. Pelan-pelan ia membaringkan Debrina di sofa dan menindihnya.


Ia ciumi wajah lelah Debrina yang masih terpejam. Bibir, mata, hidung, dan pipi tak luput dari ciuman Agam. Sampai akhirnya wanita itu membuka kedua kelopak matanya.


"Agam..." Sebutnya saat kedua mata mereka bertemu pandang. "Apa yang tadi itu??" Tanya Debrina heran sekaligus malu mengingat dia begitu bergairah, liar dan lepas kendali saat Agam menjilati kewanitaannya.


Agam tersenyum hangat, senyuman yang tak pernah ia tunjukan sebelum ini, lalu mengecup bibir Debrina msmbuat wanita itu bisa mencium bekas lendirnya. "Namanya orgasme. Kau menyukainya??" Tanya Agam sembari mengecup lagi leher Debrina.


"Iy-iya...tapi apa kau juga?"


"Aku belum. Lihat saja." Tangan Agam membawa tangan Debrina untuk menyentuh penisnya yang masih keras.


"Kenapa tidak??"


"Aku ingin kau merasakannya lebih dulu."


"Apa kita tidak bisa merasakannya bersama?" Tanya Debrina sayu.


Agam mengecup tepat di leher Debrina, diteruskan dengan jilatan yang membuat Debrina kegelian memejamkan mata. "Tentu bisa." Agam mulai merangsang Debrina kembali, dengan posisi Debrina yang terbaring di bawah tubuh tegapnya memudahkan Agam menyentuh dan meraba Debrina.


Agam memulai dengan menjilat dan menghisapi leher Debrina, mempertebal beberapa tanda kepemilikan di sana. Lalu ciumannya turun di kedua bukit Debrina yang telah ia jelajahi sebelumnya, menjilat, menghisap dan menggigit kecil puting.


"Ah...aaahhh..." Desah Debrina mendapat rangsangan lagi.


Bibir Agam naik, menjilati dagu, berhenti di bibir Debrina yang mengkilap. Kemudian keduanya saling melumat dan bermain lidah. Bisa Debrina cium aroma kewanitaan dari bibir Agam yang ia nikmati.


Tidak hanya itu, tangan kanan Agam juga bekerja meremas dan memilin bergantian kedua payudara Debrina, membuat wanita itu semakin terbakar api gairah.


Cukup panjang permainan mereka berdua, karena saat mata Agam melirik jam dinding sudah menunjukan pukul 23.20. Itu pertanda mereka bergumul sudah tiga jam lebih.


Tidak mau menunggu lebih lama lagi, Agam menyiapkan kepunyaannya yang besar. Menggesek-gesek pelan di belahan vagina merah milik Debrina, yang direspon dengan desisan nikmat.


Sedikit melebarkan paha Debrina, Agam yang sudah menemukan lubang kenikmatan itu berusaha melesakkan juniornya perlahan.


"Uugh" Debrina menautkan kedua alis. Tangannya mencengkeram erat lengan Agam. Rasa sakit dan tatapan khawatir terukir jelas di wajah sayunya.


"Aku akan pelan-pelan," Bisik Agam. Pegangan tangan Debrina pada lengannya Am mengendur, itu berarti Agam bisa meneruskan pekerjaannya. Menggesek pelan, berusaha memasukan penis kedalam tubuh Debrina.


"Katakan jika sakit," Ucap Agam mengecup bibir Debrina dan mulai menggerakkan tubuh. Maju-mundur.


Debrina meringis sakit saat benda tumpul milik Agam perlahan memasuki lubang sempit kepunyaannya. Baru seperempat mata Debrina sudah berkaca-kaca. Agam berhenti, mengusap keringat Debrina dari kening.


"Haak aah!" Cicit Debrina. Batang milik Agam sudah masuk setengahnya. Dan Debrina menitikan air mata.


"Sakit??" Bisik Agam, menghapus air mata Debrina.


"Hu'uh..." Debrina mengangguk.


Agam cium lagi bibir Debrina, membelit lidahnya dan menghisap dalam untuk mengalihkan perhatian Debrina dari rasa sakit di kewanitaannya. Dia gadis yang cepat belajar bahkan kini sudah bisa mengimbangi Agam dengan baik.


Ketika lelaki itu membuka mata, ia melihat Debrina sedang memejam menikmati pagutan mereka. Ini kesempatan Agam melesakkan kejantanan perkasa itu dengan sekali sentakan.


"Aaaahh!! Sakit!!" Jerit Debrina melepaskan bibirnya dari Agam saat kejantanan milik Agam berhasil menerobos selaput daranya. Sebagai laki-laki sejati Agam menenangkan Debrina, ia usap-usap kening Debrina kemudian mencium pipinya dan membisikan bahwa ini akan baik-baik saja.


Saat Debrina kembali tenang, perlahan Agam menarik penisnya lalu mendorong lagi membuat penyatuan mereka sempurna. Ia terus melakukan itu dengan hati-hati, memperlakukan Debrina layaknya barang antik yang mudah pecah.


"Ahh...ah...ough Agam." Debrina memeluk erat punggung kuat Agam seiring hujaman penis Agam di dalam kewanitaannya yang basah. Rasa sakit beberapa waktu yang lalu hilang entah kemana, berganti nikmat yang Debrina tak tau padanan katanya.


"Debrina...sebut namaku..." Pinta Agam sembari mengulum telinga Debrina. Sementara juniornya menghujam lipatan merah yang menjepit kuat itu.


"Agam..emmmh...Jangan berhenti...jangan berhenti. Aaah...Agam." Seperti permintaan Agam, Debrina mendesahkan namanya di sela-sela percintaan mereka. Hal itu membuat Agam semakin bernapsu menyetubuhi gadis itu.


"Sebut namaku!...oohh...Debrina!" Debrina...ooh! Sial!" Wajah Agam memerah penuh peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Beberapa menetes di dada Debrina. Aroma khas percintaan menguar memenuhi ruang tamu. "Debrina kau nikmat sekali. Aah! Sial...kau membuatku gila." Agam menceracau gemas. Ia merasakan penisnya berkedut, sebentar lagi akan orgasme.


"Agam...emmh! Ahhmm..ah-aku! Akan keluarh! Teriak Debrina, merasakan gejolak sama seperti saat Agam mengoral genitalnya. Gelombang orgasme keduanya hampir menerjang.


Tak hanya Debrina, Agam semakin menggila, hujaman penisnya kuat, cepat dan mulai tak berirama menjemput orgasme melanda.


"Aaaaaahhhhh Agaaaam!!!" Debrina kembali mendapat orgasmenya.


"Iyaaah!! aku juga! ah akuh...ah...Debrina! Shit!! Aaaaahh!!" Lengkuhan panjang Agam mengakhiri sentakan kasar di kewanitaan Debrina, mengalirkan ribuan benih hangat ke dalam rahim Debrina yang beberapa mili meleleh keluar bersamaan dengan lendir kawin Debrina membasahi sofa.


"Ah..hah..hah..hah."


Keduanya terkapar lemas di atas sofa, mengatur napas terengah menikmati sisa-sisa orgasme. Sementara Agam menindih Debrina, kepalanya terbenam di perpotongan leher wanita itu.


'PING!!!'


Ponsel Debrina berbunyi. Seketika ia membuka mata tersadar, kaget mendapati Agam tengah menindihnya tanpa sehelai kain. Ia dorong tubuh kekar itu begitu saja lalu bangun.


"Hei!" Agam manatap Debrina tak paham. Matanya mengekori setiap gerak-gerik Debrina merapikan pakaian. Gadis itu sedang kacau, antara lega, sedih, berdosa dan segala penyesalan yang mungkin tak pernah akan ia lupakan. Ini. Apapun namanya, ia telah menghianati Gasta.


Dalam diam wanita itu cepat-cepat merapikan pakaian dalam yang masih tercecer. Agam berdiri mencoba membantu tapi ditolak dengan kasar.


"Aku bisa sendiri!!"


"Debrina." Ia menyentuh pundak Debrina.


"Jangan sentuh!!" Bentaknya


Tanpa sepengetahuan Agam gadis itu menangis. Sambil membelakangi Agam ia berkata. "Maafkan aku Agam. Aku telah menodai ikatan bisnis kita dengan hal memalukan ini. Aku tidak mau mengingat semua." Ia berbalik, menyeka air mata. "Jadi kumohon lupakan dan rahasiakan ini semua, dari siapapun." lanjut Debrina.


Agam masih menatapnya-diam-penuh teka-teki. Merasa sudah cukup Debrina pamit pergi meninggalkan Agam begitu saja. Ia hanya menatap kepergian Debrina dari kamarnya. Setelah permainan hebat ini Debrina ingin Agam melupakan semua? Tidak mungkin, yang ada ia ingin terus mengulang lagi dan lagi bersama Debrina.


®®®®

Matahri menyorot masuk ke dalam kamar melalui jendela bertirai. Sinarnya menimpa wajah Debrina yang terlihat lelah. Ia hanya menggeliat pelan lalu memiringkan tubuh menghindari terang matahari pagi. Ia harus ke butik, tapi masih terlalu lelah setelah semalaman menangisi percintaannya dengan Agam.


Tiba-tiba dalam pejam ia mengernyit, perutnya terasa sakit. Debrina meraba pelan, meringis."Ssshh...uuh."


Rasa sakit itu seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Matanya masih terpejam namun ia tetap berusaha menyeret tubuhnya bersandar pada sandaran dipan.


Ia mengambil napas dalam berharap sakitnya sedikit berkurang, namun rasa itu bertambah menjadi pedih. Entah kenapa perut Debrina terasa begitu sakit, seingatnya ini bukan berdekatan dengan tanggal menstruasi, ia juga tidak salah makan.


Rasa sakit itu kian menjadi panas seperti mengonsumsi kiloan sambal , bahkan kini Debrina merasa sangat mual dan pusing. "Aaah! Sakit..." Jeritnya seorang diri. Pandangannya mulai kabur dan berputar-putar, ia butuh bantuan seseorang.


Tangan gemetar Debrina meraih ponsel di atas nakas samping tempat tidurnya,susah payah kemudian menghubungi Gasta.


"Ah! Ha.halo...hiks."


"Debrina?" Seseorang di seberang menjawab.


"Ugh. Ga-gasta. A-aku sakit. Aaaakkh!"


'Brak!'


Ponsel Debrina terjatuh, tubuhnya ambruk ke samping, kepala menggantung di tepi ranjang. Ia pingsan.


Di rumah Gasta panik, buru-buru ia pergi mengendarai Rangrover seperti atlit balap. Beberapa kali ia mengumpat di jalanan saat mobil lain menghalangi jalannnya. Rahang Gasta menguat menahan segala rasa khawatir yang teramat. Ini soal Debrinanya yang berharga.


Lima belas menit berkutat di jalan Gasta tiba di tempat tinggal Debrina. Ia mengetuk pintu, memanggil-manggil Debrina namun tidak menyahut. Insting mengatakan Debrina tidak sedang baik-baik saja. Tidak ada pilihan, dengan tubuhnya Gasta mendobrak pintu, melesat ke kamar Debrina sesaat setelah pintu terbuka.


Kamar Debrina pun didobrak. Di tempat tidur Gasta melihat tubuh Debrina tak berdaya. Pemuda itu panik menemukan kekasihnya pingsan.


"Debrina!!" Cepat-cepat Gasta mengangkat Debrina berniat membawa ke rumah sakit, namun gadis itu terbangun lemah.


"Gasta..."


"Hei tenanglah, kita ke rumah sakit."


"Ti-tidak... aku tidak apa-apa."


"Kau pingsan." Gasta khawatir.


Debrina menggeleng di pelukan Gasta mengatakan sudah tidak terlalu sakit dan meyakinkan bahwa itu hanyalah bagian dari drama menstruasinya.


Gasta membiarkan Debrina berbaring kembali. "Bagian mana yang sakit." Tanyanya penuh perhatian.


Debrina mengelus perut sambil meringis. Gasta menyusul meraba, namun wajahnya tiba-tiba berubah seperti sedang tidak percaya dengan apa yang ia dapati.


Perut Debrina membesar tak normal, dan Gasta merasakan ada sesuatu yang hidup di dalam sana.


"Apa yang terjadi?" Tanyanya menatap Debrina curiga.


Merasa tertangkap basah Debrina menangis takut."Ma-afkan aku Gasta, a-aku tidak tau apa yang terjadi!"Demi hidup bersamamu aku rela merendahkan diriku. Aku pernah pergi ke kakek Wongso dan meminta bantuannya."


Gasta menatap Debrina kecewa. "Apa yang kakek Wongso lakukan padamu?"


"A-aku, aku dimandikan. Setelah itu Kakek Wongso memasang pagar ghaib untuk melindungiku."


"Pagar ghaib?" Kali ini Gasta tampak sangat terkejut.


"I-iya. Untuk mengusir hawa jahat. Dan untuk melengkapi ritual itu aku..." Debrina menunduk tak kuasa jujur lebih jauh karena takut menyakiti Gasta. Dan yang lebih buruk Gasta meninggalkannya.


"Apa?" Gasta tak sabar menunggu jawaban.


"Salah satu syarat itu, aku...aku..harus melepaskan keperawananku untuk lelaki lain."


"Siapa?"


"A-agam!" Tangis Debrina pecah.


Seketika Wajah dan mata Gasta memerah, rahangnya mengeras, ia merasa sangat dilukai. Aura kemarahan yang besar terlihat di sana, aura yang tidak pernah ia tunjukan kepada Debrina. Debrina takut.


"Kita ke kakek wongso." Tiba-tiba Gasta menyambar pergelangan Debrina, menggenggam kuat-kuat dan menariknya kasar


"Ah!" Debrina terkejut. Ia benar-benar takut akan kemarahan Gasta yang terasa begitu mengintimidasi. Yang lebih menbingungkan kenapa ia bisa hamil dalam waktu semalam. Mungkinkah ritual dengan kakek Wongso ada hubungannya dengan semua ini?


"Gasta! Berhenti, kenapa harus ke sana!"


"Pertanyaanmu tidak penting, kita harus cepat ke sana!" Gasta menyeret kasar Debrina, membiarkan gadis itu susah payah menyamakan langkah lebar Gasta lalu mendorongnya ke dalam mobil.


Buru-buru Gasta membawa Debrina pergi menemui kakek Wongso, namun di tengah perjalanan bayangan hitam kembali mengganggu dengan cara yang sama,jatuh di depan kaca mobil.


"Gasta! Apa barusan?!" Debrina kaget begitu juga Gasta. Terlebih Debrina yang baru pertama kali bertemu makhluk tak jelas itu.


Gasta sudah memperhitungkan hal ini akan terjadi, ia jauh lebih siap menghadapi sekarang. Ia mengendalikan mobilnya, berkelok-kelok melewati mobil lain, sesekali remnya berdecit menghindari tabrakan. Di dalamnya mereka terpontang-panting, Debrina hanya menjerit-jerit ketakutan hingga Gasta menginjak remnya dan mereka berhenti di jalanan kosong yang sepi.


'CIIIIIITTT'


Seolah tak membiarkan mereka bernapas, pintu kemudi terbuka. Gasta ditarik oleh sesuatu tak kasat mata. Tubuhnya jatuh terseret cepat menyebrangi aspal tanpa perlawanan berarti.


Debrina keluar dari mobil dan berlari menolong Gasta, namun ia tak kuasa. Ia hanya bisa menjerit-jerit memanggil Gasta yang terus diseret masuk ke dalam hutan pinus.


Dari kejauhan ia bisa mendengar Gasta memyuruhnya pergi. "Lari Debrina!! Pergi! Pergilah cari kakek Wongso!"


Tidak, tidak bisa ia meninggalkan orang yang dicintainya begitu saja. Debrina tak mendengarkan Gasta, ia terus berlari mengikuti di mana Gasta dibawa. Setibanya di dalam hutan yang gelap dan sepi Debrina berhenti karena Gasta juga berhenti.


"Gasta!!" Raut lega terpancar di wajah Debrina, ia segera lari menghampiri Gasta yang terengah dengan luka-luka goresan di sekujur tubuhnya.


Namun langkah Debrina terhenti saat melihat Gasta terbatuk, mata melotot- gestur seperti tercekik. Ia menutup mulut tak tega melihat Gasta perlahan terangkat di udara dengan tangan yang berusaha melepaskan cekikan tak kasat mata itu. Kakinya bergerak meronta menahan sakit.


"GASTA!!!" Jeritnya mempercepat langkah.


Saat itu juga mata Debrina membulat, sosok tak kasat mata yang menyakiti Gasta perlahan menampakan diri. Sosok manusia berkulit merah dengan sayap besar mengembang berwarna hitam, memercikan api di setiap helaian bulunya sedang membelakangi Debrina dengan satu tangan panas mengangkat Gasta di udara seolah Gasta makhluk hina yang pantas diperlakukan seperti itu. Yang lebih mengejutkan Debrina saat lelaki tersebut menoleh dengan gagahnya-tersenyum sinis, senyuman yang tidak pernah dilupakan Debrina.


"A-a-agam?" Desisnya tak percaya. "S-siapa?! Siapa kau!!" Tangisnya lolos tak kuasa.


"Khukhukhu... jangan terlalu terkejut."


"Apa yang kau inginkan?!!"


"Aku?" Tanya Agam memutar tubuh berhadapan dengan Debrina. Ia tersenyum licik dengan wajah yang lebih jelek, Debrina bisa melihat wajah tampan Agam berwarna merah, mata yang juga merah, kedua taring besar, sepasang tanduk di kepalanya, dan kening yang berlubang menyeramkan.


"Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan."


"Lepaskan Gasta!!" Debrina membuang rasa takutnya, ia terjang tubuh Agam yang sangat panas bagai bara.


"Khukhukhu... kau tidak akan mengerti!"


"Aaah!"


Ia hempaskan tubuh Debrina menjauh dan tersungkur di tanah yang dipenuhi dedaunan busuk dan kering.


"Persetan! Lepaskan Gasta!" Teriak wanita itu geram mengabaikan nyeri yang melanda. Di genggaman Agam, Gasta meronta memberi isyarat agar Debrina lari.


"Untuk saat ini urusan kita belum selesai Debrina. Aku akan kembali menjemputmu setelah urusanku dengannya selesai." Jawab Agam merujuk pada Gasta yang hampir mati di cekiknya. "Aku tidak mungkin membunuh tikus kotor ini di depan ibu dari anakku."


"A-anak??" Bisik Debrina tak paham.


Setelah mengatakan hal aneh itu Agam menyeringai jahat, kemudian pergi terbang begitu saja bersama Gasta ke dalam hutan.


"Agam! Hentikan! Hentikan!" Debrina berlari mengejar makhluk aneh tersebut tapi langkahnya terhenti saat nyeri yang dahsyat tiba-tiba menyerang perutnya.


"Aaakkh!!" Tubuh Debrina ambruk, ia menangis kesakitan memegangi perutnya. Ada kehidupan lain di sana yang sedang menendang tak normal. Ia tak kuat lagi menahan sakit, menjerit-jerit hingga kelelahan dan pingsan.


®®®®

bWpcpAi.jpg

Suara serangga malam, bau dedaunan basah, dan udara dingin yang terasa mencubit kulit. Debrina terbangun di dalam hutan sendirian. Dia mendongak tampak bingung menatapi langit yang sudah gelap, matahari telah terbenam beberapa jam yang lalu. Samar-samar dari kejauhan suara anjing menyalak di dalam hutan, bersahutan dengan burung malam dan suara hewan lain yang tak Debrina kenali. Tubuhnya meremang membayangkan segala kengerian di tempat ini. Tapi kemudian ia ingat soal Gasta dan Agam. Ia harus segera keluar dari hutan ini dan menyelamatkan Gasta.


Ia bangun susah payah, bertekad kuat, ia tepis segala rasa takut kemudian pergi mengikuti cahaya redup yang berasal dari jalanan.


Debrina berlari mengabaikan kanan-kiri, kadang suara jejak kakinya sendiri membuatnya berlari membabi-buta ketakutan seolah diikuti seseorang. Bahkan sesekali ia menjerit terkejut saat menginjak ranting kering, suasana hutan yang seram membuatnya ingin segera keluar dari sini. Namun di tengah pelarian tiba-tiba saja ia menabrak sesosok hitam yang entah muncul dari mana.


'BRUKH'


"KYAAAAA!!" Debrina terjungkal ke belakang, nyeri langsung menjalar ke seluruh bagian pinggang, perutnya berkontraksi hebat. Saat sosok itu mengulurkan tangan Debrina menjerit "Jangan ganggu aku!!!"


"Nak Debrina!"


Suara itu? Seketika hati Debrina merasa tenang. Itu suara kakek Wongso.


"Kakek?!"


"Iya nduk, ayo berdiri kakek bantu." Tangannya terulur membantu Debrina berdiri.


"Kakek! Apa yang sedang terjadi?! Siapa Agam?! Kenapa Gasta dibawa? Dan kenapa aku hamil secepat i-?! "


"Debrina tenang dan dengarkan kakek."


"Bagaimana aku bisa tenang kek? Calon suamiku diculik setan!" Teriak Debrina frustasi.


"Dengar, Agam adalah raja Jin dari bangsa Gandarawa, ras tertinggi hierarki bangsa Jin di negeri ini. Untuk memperkuat keturunan Gandarawa dia mengincarmu menjadi Ibu dari keturunannya."


"Haah?" Kedua alis Debrina menaut mendengar penjelasan tak masuk akal kakek Wongso, tampak kengerian dan ketidakpahaman terlukis di wajah kuyu Debrina.


"Dengan kata lain dia telah menanam benihnya kepada wanita lawehan dengan kekuatan magis besar sepertimu."


Mulut Debrina terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi tak kuasa.


"Kau Wanita lawehan yang lahir seribu tahun tahun sekali, dia sudah menunggu selama itu untuk memperkuat ras. Kelak keturunannya akan menjadi Raja terkuat bangsa Jin." Tapi leluhurmu tentu tidak ingin membiarkan keturunannya menjadi alat untuk memperkuat bangsa Jin. Leluhurmu telah menanamkan pagar ghaib berkekuatan besar yang membuat mereka bahkan tidak tahan berdekatan dengan bahu lawehan. Rasa sakit yang amat saat mendekatimu dia tahan untuk tujuan besarnya."


"....."


"Malam itu Agam datang ke pada kakek, dia meminta agar menjebakmu. Tidak ada pilihan lain selain menuruti raja Agam, kekuatan terbatas kakek yang hanya makhluk lemah ini tak akan bisa melawan raja dari raja Jin."


"Dengan mengorbankan aku seorang wanita yang lebih lemah?!" Ujar Debrina marah.


"Maaf, kakek terlalu egois. Dia mengancam akan membunuh Gasta cucu kakek."


"Gasta? Cucu kakek?" Debrina memiringkan kepala heran.


Dalam remang orang tua itu mengangguk. "Iya, dia mengancam akan membunuh Gasta. Kakek terpakasa membuka pagar pelindungmu agar Agam bisa mendekatimu dan menanamkan benihnya. Tapi kakek lupa Jin adalah sebaik-baiknya pendusta. Dia ingkar, dia ingin menguasaimu seutuhnya dan tidak akan membiarkan Gasta atau siapapun memilikimu ."


"...." Debrina menangis dalam diam mendengarnya.


"Dengan kata lain dia tidak ingin kamu menikah. Dia ingin melenyapkan Gasta seperti semua calon suamimu yang lainnya."


Tangan Debrina mengepal, dadanya panas menahan kemarahan mengingat semua wajah orang-orang yang telah dibunuh oleh Agam. "Apa yang harus kita lakukan sekarang kek?!" Serunya geram.


"Kamu. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan Gasta. Hancurkan permata merah yang kakek tanam di punggungmu dengan meleburkannya kedalam kawah gunung."


"Permata merah?"


"Iya. Mudahnya itu adalah jantung milik Gandarawa, jika itu dilenyapkan Agam akan kehilangan kekuatan dan menjadi lemah. Maka kau harus menghancurkan benda itu agar dia tidak bisa mendekatimu lagi. "Dan janinmu, dia juga harus dilenyapkan bersama permata itu. Dia bukan bayi manusia."


Debrina tak dapat percayai semuanya, dia berharap sedang bermimpi buruk lalu akan segera berakhir. "Bagaimana aku melakukannya?!"


"Ayo bangkit nak, kau tidak akan mati selama janin itu belum lahir. Kita pergi ke gunung dan selamatkan Gasta."


"Waktu yang kita punya? Apa sempat untuk menyelamatkan Gasta?!" Tangis Debrina putus asa.


"Cucuku tidak akan mati semudah itu. Kakek akan berusaha meminta bantuan, tapi ini akan mengorbankan setengah dari tenagaku, jika sudah sampai di sana setengahnya lagi akan kugunakan untuk mengangkat batu itu dari punggungmu dan mengembalikan pagar leluhurmu agar Jin lain tidak bisa mendekatimu."


"Jin lain?"


"Ya, Jin dari berbagai ras yang ingin menjadi penguasa, tapi kakek dengar sejak kelahiranmu diketahui mereka, Agam sudah mengalahkan mereka sebelum sempat mendekatimu."


Debrina hanya diam menggigit bibir, otaknya sedang mencerna segala hal di luar jangkauan akal sehat. Jadi dibalik ketenangan hidupnya selama ini ada makhluk lain yang sedang menjadikannya objek rebutan.


"Debrina, Setelah ini kau harus berjuang sendiri mengahancurkan batu itu karena mungkin aku tidak akan bisa membantu banyak."


"Kakek..." tangis Debrina.


"Ini bukan waktunya menangis, pejamkan matamu jangan buka jika aku tidak meminta. Kita akan pergi ke kawah." Pinta Wongso. Debrina patuh, memejamkan mata seperti yang diperintahkan. Ia bisa merasa saat kedua tangan Wongso menggenggam kedua tangannya. Dalam posisi berhadapan, Wongso mulai membaca mantra yang lagi-lagi tak Debrina mengerti.


Untuk beberapa saat kemudian Wongso berkata, "Buka matamu, kita sampai." Sesuai perintah Debrina membuka matanya. Ia asing dengan tempat yang sekarang mereka pijak. Sebuah gua lembab berbau kelelawar, gelap, hanya cahaya kemerahan yang berasal dari bukit bebatuan di depannya serta suara gemuruh yang mengganggu telinga. Rupanya mereka baru saja berpindah.


"Kita hanya bisa berpindah sampai di sini, Popobawa tidak berani menginjakkan kakinya lebih dalam lagi dari ini."


"Popobawa?" Tanya Debrina tak paham.


"Jin bersayap dari ras yang lebih rendah dari bangsa Gandarawa, membantu kita sama dengan menantang Agam bangsa Gandarawa. Jadi selebihnya kita akan melewati bebatuan itu untuk sampai ke kawah." Kata Wongso merujuk pada bukit berwarna jingga panas di depan mereka.


Debrina menatapi bongkahan batu di dalam gua, jalan satu-satunya untuk mencapai kawah yang dimaksud Wongso. Penuh bebatuan tajam yang siap menghujamnya jika terjatuh.


"Ayo." Seolah paham dengan ketakutan Debrina, Wongso memulai untuk mempimpin perjalanan ke puncak gunung. Debrina mengikuti dari belakang.


Mereka menapaki jalan berbatu terjal, Debrina bersusah payah apalagi dengan perut yang besar. Pakaiannya pun basah oleh keringat yang seolah tiada henti mengucur, bahkan beberapa kali ia harus menjerit saat terpeleset.


"Sebentar lagi kita sampai nak. Kau harus bertahan sedikit lagi." Kata orang tua itu memberi semangat pada Debrina yang terlihat kehilangan tenaga.


Pada akhirnya mereka sampai di jalan setapak yang menghubungkan mereka dengan jurang kawah berapi. Suara gemuruh dari perut bumi terdengar lebih besar di sini, di depan mereka, sejauh mata memandang cairan panas berwarna jingga bergerak lamban namun mematikan terlihat seperti sungai magma yang tak bermuara.


Debrina takjub oleh pemandangan di sana, berjarak sekitar 300 meter dari tempatnya berdiri ia bisa melihat letupan-letupan magma bersemburat hitam mengerikan. Yang ia tahu apapun yang diterjang lelehan jahat itu akan lebur menyatu dengannya tanpa sisa.


Rasa panas pun terasa membakar tubuh, Debrina merasa seperti domba panggang. Seperti sedang berada di replika neraka, neraka di dunia lain yang tidak ingin ia datangi.


"Duduk Debrina aku akan mulai mengambil permatanya." Debrina menoleh tersadar dari kekaguman sekaligus rasa ketakutan yang ia rasakan, entahlah. Namun kemudian Debrina menuruti perkataan Wongso untuk duduk bersila.


Setelah sebelumnya Debrina menarik ke depan jilbab ke depan dan menurunkan sedikit resleting gamisnya yang sudah kumal, paranormal itu membaca mantra-mantra aneh. Ia hanya merasakan sensasi terbakar yang teramat sangat seperti ritual pertamanya dulu.


Punggung Debrina perlahan mengeluarkan cahaya silau kemerahan, ia meringis saat sesuatu ditarik dengan telapak Wongso dari sana, namun tiba-tiba.


'BUAGH!'


'Sruuukkk.'


"Ohok!!"


Seseorang mendendang dada Wongso. Tubuhnya terpental jatuh, Debrina tersungkur ke depan dan langsung mengalami nyeri hebat di perutnya. Sedangkan permata pun terlepas dari genggaman.


"Jangan membuatku marah Wongso!" Kata makhluk buruk rupa dengan suara besar bak binatang buas yang menjadi pelaku utama terpentalnya laki-laki berusia 70 tahun itu.


Susah payah Wongso berdiri, terbatuk-batuk memegangi dada dengan kaki gemetar. "Raja Gandarawa yang aku hormati, aku tidak bisa membiarkanmu menjadi pemimpin kaum Jin dan menyakiti Gasta."


"OMONG KOSONG! HEEAAARRGHHH!" Gandarawa mengibaskan sayap kuatnya, menghantam tubuh renta Wongso keras.


"Ohok!" Lagi-lagi orang tua itu terpental, memuntahkan darah. Napasnya pun tersengal payah, tenaganya sudah lemah terkuras.


"Jangan buang tenagamu untuk melawanku! Lebih baik kau menjadi hambaku dan patuh! Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!" Kata Agam bengis.


"Tidak Raja! Aku tidak akan lagi mempercayai perkataanmu!" Dengan tenaga yang minim dukun tua itu berdiri, merapal mantra untuk melawan Agam.


Tanpa sepengetahuan Agam, di belakang Debrina merangkak mengambil permata merah yang berpendar di atas bebatuan di depannya.


Wongso yang menyadari Debrina berhasil membawa permata berteriak dan menyuruhnya pergi. "Cepat pergi nduk!" Biar kakek yang mengahadapi dia." Debrina mengangguk bergegas pergi, sementara Agam hanya meliriknya remeh.


Kakek Wongso siap dengan kepalan kedua tangan yang ia mantrai, lalu berlari menerjang Agam.


"Heyaaaaaarghhh"


Mata Agam menajam. Sebelum orang tua itu sempat melawan ia kibaskan lagi salah satu sayap panasnya dan menghantam tubuh lemah Wongso.


'BRAAAK!!'


Orang tua itu terlempar jauh, menghantam tembok batu yang keras, lalu terjatuh begitu saja bagai barang tak berharga, tubuh rentanya tak lagi berkutik, tergeletak lemah tak bernyawa.


"KAKEEEEKKK!!" Melihat kekejaman Agam Debrina menjerit sekuat-kuatnya. Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat hal keji seperti pembunuhan yang sadis itu. Debrina shock, ia merasa akan gila saat ini. Namun belum habis rasa terkejutnya tiba-tiba sesuatu yang ia kandung bergerak menyakitkan.


"Aaaaakkh!!!" Jeritnya kesakitan. "Huh.huh.huh." dia tak bisa bernapas. Bukan atas kemauannya, ia membuka paha lebar secara paksa seperti wanita yang akan melahirkan, lubang kewanitaannya terasa melebar panas seperti sedang dirobek benda tajam.


Bernapas melalui mulut, Debrina menggunakan salah satu tangannya untuk menopang tubuh, satu lagi ia gunakan untuk menaikan gamis hingga mengekspose perut buncitnya. Ia tak peduli lagi pada rasa malu, ia hanya ingin menghentikan rasa sakit itu. Tapi yang ia lihat adalah sesuatu yang mengerikan. Permukaan perutnya kadang membenjol aneh, terkadang berbentuk wajah, kaki ataupun tangan kecil karena bayi itu terus begerak, menendang, dan terasa mencakar seolah memaksa keluar dengan merobek perut Debrina.


"Huh.huh...haaaaahh!!!" Namun Debrina terus mengejan, tak tahan oleh sesuatu yang sedang mengganjal di lubang kawinnya yang mengeluarkan banyak darah. Perutnya semakin mulas, kewanitaannya membuka lebar dan dalam sekali tarikan napas sesuatu menyusul keluar melalui jalan lahirnya.


"Haaaaaaaaaaaaaah!!!"


"Oooeek...ngiiik...ngiiikkk..." Bayi jelek percampuran manusia dan Jin itu terlahir bermandikan darah, berkulit merah kehitaman, mata besar menyala, gigi-gigi runcing dan sepasang tanduk kecil yang belum tumbuh sempurna. Kaki dan tangan berkuku runcing kecilnya meraih-raih di udara, menangis dengan suara jahat menyakiti telinga.


Debrina terperangah pada makhluk yang baru saja ia lahirkan. Ia bergidik ngeri dan mundur, namun ada perasaan sayang. Naluri keibuannya.


"Tidak! Tidak!" Debrina menggeleng, sekuat hati menahan untuk tidak mengingingkan bayi itu.


Agam berbalik menatap Debrina dan bayinya, lalu berjalan mendekat dengan langkah jantan yang tak lagi Debrina kagumi.


Gadis itu menelan ludah, ia tidak bisa menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. Bibirnya bergetar, mundur menyeret tubuh penuh luka ke belakang mengabaikan rasa sakit yang kalah oleh rasa takut yang amat besar.


"Jangan mendekat!" Perintahnya. Tanpa pikir panjang ia rengkuh bayi berwajah jelek yang menyeringai dalam dekapannya. "Atau aku bunuh bayi ini!" Ia mengancam.


"HUAHAHAHAHAHAHAHAH!!!!!" Tawa meremehkan menggegelar ke seluruh penjuru. Mengalahkan suara gemuruh magma yang meletup-letup membuat Debrina menggigil.


"Membunuhnya? Putra mahkota kerajaan Gandarawa? Putera yang aku nantikan selama seribu tahun?" Jangan bermimpi manusia hina! Kau yang menyekutukan Tuhanmu dengan kaumku tidak akan bisa membunuhnya dengan mudah!" Agam mendekat.


"Jangan mendekat!!" Kali ini Debrina meletakkan telunjuk dan jempolnya di antara leher kecil bayi mereka dan menekan, mencekik bayinya.


Bayi itu meronta memekakan telinga, tak disangka kekuatan leluhur Debrina masih berpengaruh pada bayi yang masih lemah itu.


Perbuatan Debrina membuat Agam murka, matanya menajam dan rahangnya mengeras. HEAAAAAARRHHHH!" Ia mengangkat tangan besar yang menyerupai pohon kayu dan mengayunkan pada Debrina. Wanita itu pasrah, memejamkan mata putus asa.


"Jangan sentuh Debrina!" Suara itu kontan menghentikan ayunan tangan Gandarawa. Seorang pemuda yang tubuhnya penuh luka lancang menghentikan sang raja. Pria itu berjalan terseok-seok ke arah mereka.


Gasta datang dengan tombak bermata tiga yang entah ia dapat dari mana. Mungkin dari Wongso atau manapun Debrina tak peduli. Melihat Gasta mata Debrina berbinar penuh harap. Meski kemungkinan lolos kecil setidaknya ia ingin melawan dan mati bersama Gasta.


"Debrina cepat lari ke kawah dan hancurkan permata beserta bayi itu!" Teriak Gasta dari kejauhan. Debrina menurut tanpa protes.


Agam tampak menimbang untuk melumpuhkan Gasta atau Debrina, tapi ia memilih tinggal dan mengincar akan melumpuhkan Gasta terlebih dahulu dengan pertimbangan Debrina tidak akan sempat ke kawah dengan tubuh lemahnya itu.


Dengan jumawa Agam melompat menghadapi Gasta membuat bebatuan yang ia pijak pecah dan menerbangkan debu. "Khukhukhu....ku kira kau sudah mati! Tidak aku sangka kaum rendahan sepertimu bisa bertahan melawanku sejauh ini. Kau berbeda dengan yang lainnya."


"Jangan banyak! Lawan aku! HAAAAAAAARRRG!!!" Tak membuang waktu, Gasta mengayunkan tombak ke arah Agam, namun makhluk itu lebih sigap menepis. Gasta terus mencoba menggunakan tongkatnya, sesekali mengenai tubuh Agam dan mengeluarkan percik api. Namun itu tak berarti apa-apa, Agam jauh lebih kuat menahan sabetan tongkat milik Gasta.


Sekali lagi Gasta menerjang, namun Agam sudah lebih cepat menendang tepat di dada pemuda itu dan membuatnya mundur beberapa langkah.


Di tengah pertempuran tak seimbang itu Debrina terseok-seok menggendong bayi dan membawa permata merah sesekali menengok ke belakang memastikan Gasta masih hidup, rasa panas di luar kemampuan tubuhnya mulai semakin membakar kulit, pertanda ia hampir sampai ke jurang kawah berapi.


Setapak demi setapak ia lalui melewati bebatuan terjal yang sesekali membuatnya tergelincir. Hingga sampai lah Debrina pada tebing kawah berisi lautan lava yang mengubah kulit putihnya menjadi kecoklatan terbakar.


Kini ia berdiri di atas tebing yang di bawahnya mirip replika neraka, napasnya berat melihat aliran lava dari dekat, menelan segala makhluk hidup dan runtuhan bebatuan yang jatuh ke dalamnya membuat nyali Debrina menciut.


Sekali lagi ia menoleh memastikan Gasta mampu bertahan. Tanpa membuang banyak waktu ia siap melempar bayi di dalam pelukannya beserta permata milik Agam. Namun saat tangan Debrina mengayun melempar bayinya Debrina menghentikan. Ia tatapi wajah buruk anak yang baru saja ia lahirkan, walaupun hanya sebentar bayi itu tetap pernah berada di rahimnya, bayi mungil, lemah dan butuh kasih sayang.


Tidak! Debrina tidak akan tega! Bagaiman dia bisa menyakiti bayi kecil itu? Dia adalah ibunya!


Di tengah perdebatan dengan perasaannya sendiri Gandarawa sudah berada tepat di belakang dalam wujud Agam yang ia kenal, tampan.


"Debrina." Gadis itu berbalik. "Ayo kita pulang." Kata Agam mengulurkan tangan yang hanya ditatap benci oleh Debrina.


"Di mana Gasta?!!"


Mendengar Debrina membentak Agam tersenyum remeh. "Dia?" Kembali Agam bertanya, lalu melihat kedua telapak tangannya dengan jumawa. "Dia sudah mati."


"Ha?" Mendengarnya tulang belulang Debrina terasa lemas, ia ambruk terduduk di tepi jurang kawah menangis.


"Baiklah Agam. Ini sudah selesai, kau telah berhasil menghancurkanku hingga aku tidak sanggup menjalani hidupku lagi. Jika kau membunuh Gasta, aku juga akan mati bersama bayimu, dan permata ini! Kurasa ini adil!!" Teriak Debrina menunjukan permata merah yang ia genggam. Tanpa pikir panjang ia pun melompat ke lautan lava.


BVzTcGy.jpg



Agam terbelalak. Sigap ia berubah wujud menangkap tubuh Debrina. Namun saat Debrina sadar telah di selamatkan ia melempar bayi dan permata milik Agam ke bawah. Debrina menangis saat bayinya terlepas dari pelukannya. Perasaannya hancur, tapi bayi itu bukan manusia.


'BRRAAK!' Tubuh Debrina terbanting di bebatuan begitu saja bersama permata yang berhasil dihalau Agam agar tidak terjatuh. Namun sayang sang putera mahkota tak mampu diselamatkan, Agam terlambat.


"VALIIIRRRRHHH!!" Teriak Agam menggelegar memanggil anaknya. Ia Geram melihat bayi itu terlumat habis tanpa bekas di lautan magma bersuhu 2.000 derajat lebih itu.


Debrina tengkurap tidak bisa bergerak lagi, pandangannya kabur. Meski begitu ia masih bisa menatap kaki Agam yang berjalan mendekat. Aura kemarahan yang mengerikan seolah menguar dari tubuh kekar itu.


Namun Debrina tak sepenuhnya menyerah, banyak yang telah dikorbankan untuk ini, ia tidak mau semua nyawa mati sia-sia jika Agam berkuasa. Dalam keadaan lemah ia meraih-raih permata di depannya terbaring. Ia ingin segera melenyapkan makhluk jahat itu di sisa-sisa tenaga yang hampir habis.


Tapi sungguh menyeret tubuh ke depan saja ia tidak mampu. Debrina tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Tidak ada Wongso, tidak ada Gasta, tidak ada siapapun. Namun bisikan hati kecilnya terdengar, benaknya pun terlintas sebuah nama. 'Tuhan.'


Ia memejamkan mata berkata dalam hati. 'Tuhan... jika masih engkau beri aku kesempatan untuk kembali padamu, pinjamkan aku kekuatan untuk mengusir makhluk ini. Jika akhirnya di sini ajalku, aku mohon ampuni segala dosaku.'


Setelah mengatakannya Debrina seperti mendapatkan kekuatan baru, meski tidak seberapa tapi ia bisa mengangkat tubuhnya dan meraih permata itu.


"Huuh..."


"Mau apa lagi Debrina?" Gandarawa kembali ke wujud Agam, ia semakin mendekat. "Menyerahlah dan ikut denganku, kalau kau menginginkan permata itu aku akan memberikannya padamu."


"Tidak!!" Tolak Debrina.


Agam tersenyum."Hei...kalau kau takut dengan wujudku, aku tidak keberatan menjadi wujud ini selamanya." Rayunya dengan wajah dingin.


"Jangan mendekat!" Hardik Debrina, ia susah payah berdiri, terpincang. Namun Agam hanya menatap remeh.


"Debrina. Kita kuasai dunia dengan keturunan-keturunan kita yang kuat. Kau bisa menjadi desainer terkenal di seluruh dunia, seperti impianmu. Kita akan punya banyak budak manusia yang setia melayani bahkan mengorbankan apapun demi kita."


"Tidak!! Aku tidak sudi!!" Namun Agam tetap mendekat. Debrina perlahan mundur. Ia sudah ingat Tuhannya sekarang, ia pun mulai melafalkan doa pengusir setan yang pernah ia hafalkan.


Namun itu tidak berjalan sesuai perkiraannya. Agam tertawa terbahak-bahak meremehkan Debrina.


"Aaah... doa itu, aku bosan mendengarnya. Bahkan hafalanmu tidak lebih baik dariku."


Setelah mengatakannya Agam dengan sombong menirukan doa yang dilafalkan Debrina, bahkan ia bersenandung dengan doa itu. "Itu hanya hafalan omong kosong tanpa arti Debrina! Aku tidak takut!"


Hati Debrina mencelos. Itu membuatnya gentar dan semakin putus asa. Namun ia coba lagi, kali ini dengan perasaan yang tulus memohon ampun, berserah pasrah, percaya penuh bahwa Tuhan akan menolong. Jikalaupun tidak ia menyerahkan hidup dan mati di tangan Tuhan yang Debrina percayai lebih dari apapun, Tuhan yang bahkan menciptakan Gandarawa.


Doa terus mengalun dari bibir Debrina, Agam tersenyum memejamkan mata seolah menikmati alunannya bak lagu. Namun kajaiban datang, tubuh Debrina memancarkan sinar terang sedangkan Agam terbelalak. Rasa panas mulai menjalar di sekujur tubuhnya, terasa membakar seluruh organ dalamnya.


Ia ingin sekali berlari menghentikan doa Debrina, tapi kakinya kali ini berat tak mampu digerakkan, ia hanya bisa meraih-raih Debrina yang mulai mundur mendekati kawah.


"Debrina! Hentikan Debrina! Sial!!" Tubuh Agam seperti dibakar oleh api hitam neraka, ia mulai berubah ke wujud aslinya dan berteriak memaki Debrina bagai binatang buas.


Di tempatnya Debrina kembali berdiri di ujung jurang kawah. Ia pun melempar permata itu ke tengah lava yang panas, permata itu-pun hancur lebur tertelan habis.


Agam ambruk memegangi kepalanya yang terasa panas. Doa tak kunjung berhenti dilantunkan Debrina sambil menatap perlahan tubuh Agam yang hancur, kemudian hilang menyisakan asap hitam beraroma busuk.


"Uhuk!" Debrina ambruk dengan tubuh penuh luka dan darah. Napasnya terengah namun ia merasa begitu lega. Dan dia menangis sejadi-jadinya.


"Debrina!"


Suara itu, Debrina terperangah melihat pemuda yang penampilannya hampir sama sepertinya, penuh luka dan darah kering. Itu Gasta, Gasta yang ternyata masih selamat.


"Gastaaaa..." Debrina menangis, kali ini tangisan tak percaya bercampur bahagia. Gasta masih hidup. Lelaki itu berlari menghambur Debrina tak sabar.


"Berakhir, semua telah berakhir Debrina...semua berakhir." Pemuda itu pun menangis memeluk Debrina penuh proteksi, seolah takut gadis itu lebih terluka dibanding ini. Debrina mengangguk menangis sesenggukan dalam nyamannya dekapan. Kini ia bisa pulang dengan Gasta, calon suaminya.


--TAMAT--

dDqgPwd.jpg

Kebaya pengantin berwarna putih, jilbab senada bertabur permata, kemeja pengantin pria, dan pakaian dalam basah tergeletak kusut di lantai yang dingin. Jika naik sedikit ke tempat tidur di sana seorang wanita sedang memejamkan mata, bergelung nyaman dengan selimut tebal yang hanya menutup sebagian tubuh telanjangnya.


Sementara sang pria bertelanjang dada, menatap bulan besar dari balik jendela yang sinarnya jatuh mencahayai wajah tampannya, menghapus lelah sisa percintaan panas barusan. "Bagaimana Debrina? Kau sudah siap dengan babak selanjutnya?" Tanya pria itu seolah mengajak bicara bulan yang ditatapnya.


"Huum." Wanita yang baru ia nikahi itu mengangguk malu dalam pejam membayangkan hal apa lagi yang akan mereka pelajari dalam kehidupan seks malam pertama ini.


Ia tidak sadar di bawah sinar bulan itu pengantin prianya menyeringai, seringai jahat yang bahkan belum pernah ditunjukkan pada sang istri. Matanya menyala merah, menggenggam sebuah permata merah di tangan. "Sayang sekali bangsa Gandarawa yang berkelas itu tidak beruntung kali ini." Ia berbisik sendiri.


"Apa yang kau katakan sayang? Aku tidak dengar." Tanya si pengantin wanita dengan suara manja.


Laki-laki itu menoleh dengan wujud normal─mata hitam dan wajah ceria "Siap untuk menjadi Ibu dari anak-anakku?" Tanyanya, menggoda.


Debrina berbalik, tersenyum pada Gasta. "Tentu saja." Ia pun tak sabar menyambut suaminya. Kembali bergumul di bawah sinar bulan menyerahkan segala yang ia punya.


Perawan bahu Lawehan

©LKTP 2018
 
Kak... ini kynya lupa nulis tambahan [LKTCP 2018] nya di titlenya... gimana inii:kacau:

izin baca dulu ya kak :baca:
 
Akhhh... Agam... Pic mulustrasimu membuat m i u basah... :alamak: nice story sis
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ceritanya asik, tapi ga fresh, seperti nonton film luar, campuran lokal juga sih.
Anyway tetep menarik.
 
Wah.... idolaku sudah comeback
 
Buset
Cakep nih cerita,
Well done masta
:beer:
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd