Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    497
***

Brum! Brum! Brum!

Aku membelah jalan dengan perasaan ringan. Bagiku, melakukan kebaikan kecil seperti barusan bukan semata-mata ingin minta balasan. Pun tidak selamanya otakku hanya soal selangkangan.

Menurutku, mengembalikan senyuman cerah di wajah orang yang kubantu sudah cukup membuat kesehatan mental serta moodku di zona bagus.

Selain daripada itu, sedikit banyak aku mengetahui jikalau membangun rumah tangga, sekaligus menghidup istri dan anak itu cukup kompleks. Termasuk pilar penting adalah ekonomi. Percuma saja hanya modal cinta dan kontol kalau si kepala keluarga tak memberi nafkah yang cukup. Terlebih biaya hidup zaman sekarang semakin mahal.

Total belanjaan dengan nominal 8 juta dua wanita di warung tadi sudah cukup menjelaskan kalau hidup itu sejatinya butuh uang. Memang sih uang bukan segalanya. Tapi segalanya butuh uang. Mungkin kalau dunia ini masih menerapkan barter, barulah uang tak banyak bicara.

Sekarang, motor RX King yang kutunggangi telah tiba di pelataran rumah Kakek. Tak banyak yang berubah. Ya iyalah. Baru berapa jam aku meninggalkan rumah, masa iya rumah ini tiba-tiba berubah jadi istana. Bajingan.

Brum! Brum! Brum!

Aku turun dari motor. Mematikan mesin. "Umi! Ini ditaruh mana?" setengah teriak, aku bertanya sambil menenteng dua sak karung berisikan masing-masing jagung dan kelapa berukuran besar.

"Taruh ndek teras ngarep ae, Be. Mengko aku seng ngurus." (Letakkan di teras depan saja, Be. Nanti aku yang ngurus.) Nenek menyahut dari arah ruang tamu sambil menghembuskan asap rokok kretek.

"Habis gini aku disuruh apalagi, Umi?" aku bertanya lagi sembari berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku seka keringatku yang menetes di pelipis. Baru kusadari kulitku yang semula putih kini gosong terpapar sinar ultraviolet.

Tepat saat aku berdiri di depan Nenek yang duduk di ruang tamu sambil bersila, aku terperanjat saat mendapati wanita tua super binal itu hanya menggenakan kutang putih khas orang desa. Sedang bawahan sang Nenek hanya menggenakan kain jarik sebatas pusar.

Harusnya aku sudah biasa melihat pemandangan ini setelah beberapa hari tinggal di Desa Gentengan. Akan tetapi, namanya juga shock culture, aku masih terheran-heran. Sebab, tak hanya Nenek yang suka berpakaian terbuka mengundang birahi anak muda sepertiku, melainkan wanita-wanita desa yang aku temui di toko kelontong sebelumnya, pun di sepanjang jalan pulang juga sama.

Bagaimana bisa orang-orang di desa ini, terutama para lelaki, menahan godaan terindah yang tak pernah ditemui di sudut kota mana pun?

Apa wanita di desa ini saking bebasnya berpakaian, sampai menghiraukan ada aku yang mengalami fase keingintahuan lebih akan seluk beluk tubuh wanita?

Terlebih aku sudah merasakan dengan kesadaran penuh dua wanita yang telah aku gauli, pun aku puaskan.

Semakin heran, tatkala aku duduk berseberangan dengan Nenek, di mana tanpa sungkan ia meloloskan kutang hingga menyembulkan dua payudara yang sebesar gaban.

Walau dua bulatan itu mengendur, tak menyurutkan mata dan nafsuku memandang penuh gairah. Aku pandangi terus menerus, hingga tanpa sadar batang kejantananku mengeras tanpa bisa ditahan.

Kurang ajar ini si Palu Gatot. Sudah ngecrot tiga kali, masih saja menuntut jatah. Tidak ada puas-puasnya ia menebar benih. Mana tak ada rasa terima kasihnya kepadaku. Yang mana, lututku lemas sampai gemetar dibuat jalan. Perhatian sedikitlah soal staminaku yang sudah terkuras habis bersama Bu Rini. Bajingan.

Hatcu!

Aku bersin agak keras. Debu ruangan membuat hidungku gatal. Efek kecapekan sedikit meriang. Kontan saja ingusku meler dari lubang hidung.

"Woi!" seru si Palu Gatot, yang dari moncongnya ikut mengeluarkan lendir sisa pengencrotan sebelumnya akibat tersentak kaget.

"Cok. Kok ikutan meler kamu, Tot?"

"Gimana nggak meler kalau kamu bersin udah kayak orang asma. Asu."

"Udah nggak usah dibahas. Sekarang kamu harus tau kan bilang apa ke aku?"

"Kamu berharap aku mengucapakan sembah bakti dan terima kasih kepadamu? Mimpi!"

"Dobol!"

Plak!


Aku tampol si Palu Gatot yang masih saja berisik. Yang kemudian, aku atur ulang posisinya selembut mungkin.

"Rene, Be. Mentil disek. Awakmu pasti ngelak."(Sini, Be. Netek dulu. Kamu pasti haus.) Nenek menepuk-nepuk kursi panjang di sebelah kiri, mengkode diriku agar mendekat.

Aku berdiri. Berjalan menyamping memutari meja kayu untuk mengambil tempat duduk yang ditunjuk oleh Nenek.

Dengan langkah kaku, berikut badan menggigil panas dingin, aku menatap lekat wajah Nenek tepat pada kedua mata yang mulai layu. Begitu mempesona. Terlebih wajahnya yang manis campur genit-genit manja suka membuat cenat-cenut.

Andai aku orang lain, aku takkan menyangka jika wanita tua di sebelahkj ini umurnya tiga kali lebih tua dariku. Itu terbukti pada wajah Nenek yang jauh dari keriput. Mulus halus seperti jalan aspal. Begitu pula rambut hitam Nenek yang sama sekali tak memutih, masih tetap hitam, panjang, lurus, dan berbau khas wanita desa. Sungguh menggugah gairah. Aku sampai meneguk ludah menghadapi pesona Nenek yang memiliki aura luar biasa menggetarkan iman.

Nakal, genit, cuek, dan sompral.

Gambaran Nenek yang sudah memiliki empat orang anak dan sembilan cucu. Dan di ruang tamu ini, cucu tertua yang tak lain adalah aku sendiri, dimanjakan dengan segenap jiwa dan raga.

“Nanti lek capeknya sudah hilang, langsung ae lebokno manukmu nang njero apemku, yo?” (Nanti kalau capeknya sudah hilang, langsung aja masukkan burungmu ke kemaluanku, ya?) ujar Nenek lembut, penuh kasih sayang, dan gila.

"Kalau Kakek lihat gimana, Umi?" aku bertanya takut-takut, mengingat sang Kakek yang tengah stroke duduk di atas ranjang menghadap tepat ke arah ruang tamu.

"Orang itu?" Nenek menoleh kepada Kakek, mengulas senyum manis terkesan menggoda. "Emang orang stroke bisa apa?"

Aku menggaruk rambutku kasar. "Lah? Umi mau kita main di sini? Di depan Kakek?!"

"Main opo? Aku ero'e kenthu. Wes gek ndang, sat-set. Ojok kakean omong. Tempekku wes cenat-cenut kepingin diobok-obok pentunganmu seng gede ndelondeng iku, lho, Be." (Main apa? Aku tahunya ngentot. Sudah buruan, sat-set. Jangan banyak bicara. Memekku sudah cenut-cenut kepingin diaduk-aduk kontolmu yang besar luar biasa itu, lho, Be.) Ucapan yang terlontar dari bibir tebal Nenekku ini, menjadi titik balik peningkatan drastis pada karakternya yang penuh kejutan.

"Mentil ae aku, Umi. Kenthu'e engkok sek." (Menetek saja aku, Umi. Ngentotnya nanti dulu.)

Aku bersiap-siap menetek. Terlebih dahulu berbaring di paha Nenek, kemudian memegangi sebelah susu Nenek, lalu menaikkan kepala mencari puting.

Slurp!

Aku caplok puting Nenek. Kuhisap kuat sampai memancar ASI super lezat dari dalam susunya memenuhi rongga mulutku.

"Ssshhh ... Beee ... hmm ... ganas banget kamu. Haus beneran kayaknya ini." Nenek mendesis dan merintih keenakan. Satu tangannya terulur mengelus rambutku. Sedangkan tangan lainnya merambat masuk ke dalam celanaku mencari kontol. Setelah dapat, dipegang dan dikocoknya penuh perasaan.

Slurp! Slurp! Slurp!

ASI yang keluar dari susu Nenek sebelah kanan telah habis kutegak. Lantas berganti sebelah kiri. Sedikit aku merangkak naik sampai kepalaku tiba di payudara kirinya yang sepertinya sudah tak sabar untuk kuhisap habis ASI di dalamnya.

"Be," panggil Nenek, dengan suara serak.

"Kenapa, Umi?" aku menyahut, sambil tetap mengenyot puting kirinya yang mulai semakin lama menegang seiring semburan ASI keluar deras.

"Kamu tak suruh nganter makanan tadi pagi kok baru pulang jam segini. Pasti habis kenthu sama Rini, ya?" Nenek bertanya, agak sinis.

"Umi marah?"

Nenek mengurut-urut kontolku yang tak kunjung mengeras meski celana pendekku sudah ia pelorotkan sebatas lutut. Wajar saja ia bertanya demikian. Orang biasanya kontolku langsung berdiri kalau sudah dikocok seperti ini. Faktanya, si Palu Gatot jelas sedang meditasi setelah sebelumnya mengeluarkan cairan panas sebanyak tiga kali.

"Umi ndak marah. Umi cuma cemburu."

"Maafin aku, Umi." Aku yang sudah puas menetek segera bangkit. Duduk seperti semula di samping Nenek sambil membakar rokok. Dua kali hisapan rokok, barulah aku kembali berkata, "Aku tau aku salah. Tapi Umi jangan khawatir. Aku tetap mencintai Umi. Hanya Umi satu-satunya wanita di hidupku saat ini yang aku cintai dengan ugal-ugalan."

Nampak Nenek menghela nafas panjang. Ia ikut merokok. Tentu saja mengambil rokokku. "Ndak perlu minta maaf, Be. Dan kamu ndak sepenuhnya salah. Wajar aja kalau kamu mencari wanita lain. Umi ndak apa-apa. Lagian Umi ini sudah tua. Jelas kamu ada rasa bosen kalau kenthu sama Umi."

Aku hisap rokokku, lalu kuletakkan di atas asbak. Kepalaku miring memandang Nenek yang terlihat sedih sekali. Aku ulurkan kedua tanganku menyeka air matanya yang mulai menetes.

Bajingan. Total dua wanita sudah kubuat mengeluarkan air mata. Terlebih wanita-wanita itu memiliki tempat tersendiri di dalam hatiku. Betapa bajingannya membiarkan mereka bersedih seperti ini tanpa melakukan apa-apa.

Nenek menoleh. Menatapku sendu. Matanya berkaca-kaca siap menumpahkan air mata.

Namun, secepat kilat aku melumat bibir Nenek. Memagutnya dengan penuh perasaan cinta.

"Umi, jangan pernah menganggap Umi ini tua. Aku kan udah bilang, Umi ini umurnya aja yang tua, tapi wajah sama badan Umi kayak wanita muda." Aku memandang Nenek dalam. Tatapan serius tak ada bercandanya. "Lihat aku, Umi."

Nenek yang semula tertunduk, kini membalas tatapanku. Ia menarik ingusnya sebentar, lalu cemberut lucu.

"Ada kelihatan wajahku bohong sama Umi?" tanyaku, tegas.

Nenek menggeleng dua kali. "En-endak."

"Berarti Umi udah percaya kalau aku cintanya sama Umi?"

"Su-sudah."

"Berarti Umi udah siap doang buat cerita soal semuanya biar aku juga percaya Umi?"

Wajah Nenek berubah tegang. Ia menatapku gelisah. "Cerita soal apa, Be?"

Aku menghela nafas berat, lalu menurunkan tanganku yang semula menangkup kedua pipi Nenek. Kuambil rokokku yang sisa setengah, lalu menghisapnya sampai asap mengenai mata. Perih. Aku kucek sebentar sambil menahan asap rokok di dalam dada, kemudian menghembuskannya kencang ke depan.

Sedetik, aku membuka obrolan serius yang sudah sedari tadi aku tahan-tahan. "Nenek. Tolong kasih tau aku. Sebenarnya ... aku ini anak siapa?" tanyaku, seraya menatap lurus ke depan.

"Ck! Rini memang ndak bisa dipercaya menjaga rahasia." Lain ditanya, lain pula jawaban Nenek. Ia ikut merokok. Ditahan di bibir, sementara kedua tangannya sibuk memasukan buah dadanya ke dalam bra.

Aku tetap diam. Menunggu dengan dada berdebar kebenaran dari mulut Nenek. Diceritakan atau tidak, niatku tidak akan berubah. Aku tetap akan menikahi Nenek apa pun yang terjadi. Persetan apa kata dunia. Bodo amat juga meski memek Nenek bekas banyak kontol. Bagiku, selama api cintaku ke Nenek masih menyala panas, bagaimanapun kondisi wanita binal itu akan kuterima.

"Sejauh mana yang kamu tau dari Rini, Le?" Nenek tak lagi memanggilku seperti biasa. Suaranya pun terdengar lugas.

"Mati suri sampai dirawat Bu Rini selama 10 bulan."

"Le, Nenek tau kalau kamu lagi bingung tentang semua ini. Sebelum Nenek cerita dari awal sampai kedatanganmu di sini, Nenek ingin kamu berjanji satu hal sama Nenek."

"Iya."

"Nenek mau kamu berjanji untuk ndak lagi mencoba menjadikan Nenek istrimu." Nenek berkata serius.

Aku mencebik. "Itu jelas sulit. Nenek tau aku mencintai Nenek."

"Le, banyak hal yang harus kamu pertimbangkan sebelum kamu nantinya menyesal. Untuk sekarang, hanya itu yang Nenek inginkan. Nenek ndak mau menikah sama kamu. Dan kamu ndak berhak memaksa Nenek."

"Omong kosong!" geramku marah. Emosiku tak terkendali.

"Dengarkan Nenek, Kobe!" bentak Nenek, tak kalah keras.

"Aku nggak akan mendengarkan Nenek kalau itu yang Nenek mau! Aku tetap akan menikahi Nenek meski kita sedarah! Sekarang, besok, atau di masa depan nanti, itu sama aja! Nenek memang bukan cinta pertamaku, tapi Nenek cinta sejatiku!"

PLAK!

Tamparan keras dilayangkan Nenek menghantam pipiku sampai kepalaku miring ke kanan. Jelas saja emosiku kian memuncak. Aku tetap Nenek dengan sorot tajam.

"Tampar lagi! Ayo, tampar lagi, Nek! Coba buat aku sadar, siapa tau aku bakal berubah pikiran! Ayo!" aku berteriak penuh emosi.

Nenek terprovokasi. Matanya tajam menghujam mataku. Tangannya terkepal. Nenek berdiri. Dan sedetik, ia menerjang maju sambil meraung kencang.

BAM!!!

Satu pukulan keras dari kepala tangan Nenek menghantam rahang kiriku. Namun, aku tak bergeming. Masih kokoh meski pukulan barusan tergolong kuat hingga mampu membuat hidungku mimisa.

BAM!!!

Tak berhenti di situ, Nenek melayangkan tinjunya lagi. Kali ini tangan kirinya yang meluncur tepat di keningku. Kendati darah terus mengucur dari hidungku, tetap saja pukulannya tak membuatku tumbang. Inilah yang dinamakan usaha mengkhianati hasil.

PLAK! PLAK! PLAK!

Tangan Nenek terbuka. Menampar area wajahku sekuat tenaga. Cap merah di telapak tangan, juga di pipiku, menjadi saksi bisu betapa beringasnya Nenek.

"Kobe!" Nenek berteriak frustasi. Ia menangis sambil terus memberikan tamparan di pipiku. Lama-kelamaan, tamparannya melemah seiring wajah Nenek merah medam menahan perasaan berkecamuk yang menggebu.

Berhenti. Atau setidaknya Nenek istirahat seraya memegangi tangannya yang sakit. Ia meringis. Masih tetap menatapku semakin tajam terdistraksi kebencian. Aura negatif ketidaksukaan akan eksistensi diriku di hadapannya menguar tanpa ada niat menutupi.

"Kamu cucu durhaka, Kobe," ucap Nenek, dengan suara serak.

Aku menatapnya dingin. "Dan Nenek adalah wanita jalang yang dicintai cucu durhakamu ini!" jawabku, seraya menyeka darah dengan punggung tangan.

"Kenapa, Kobe? Kenapa harus sama Nenek?" Nenek tertunduk. Surai rambutnya jatuh menutupi wajah. Ia mulai menangis meraung-raung. "KENAPA?!" semakin keras tangisan Nenek seiring dirinya menghambur ke arahku. Memukul-mukul dadaku dengan kepalan tangan bagian dalam. "Hiks ... kenapa ... kenapa ... kenapa kamu tega bikin Nenek terlihat buruk di depan cucunya sendiri? Hiks ... hiks ... Kobe ...."

Aku tak bergerak. Aku juga tak berniat menghibur. Hanya bibirku yang dengan bangsatnya berkata, "Apa yang sudah jadi milikku, selamanya akan jadi milikku. Termasuk tubuh dan hati Nenek."

Nenek tercengang. Ia mendongak dengan mata sembab. Bibirnya bergetar, berikut sorot matanya tersirat kekecewaan luar biasa. "Jadi selama ini kamu menganggap serius semua ucapan Nenek, ya? Hah! Padahal Nenek cuma bercanda demi nyenengin hati cucu Nenek. Kenapa kamu bawa-bawa perasaanmu setelah apa yang kita berdua lakukan selama ini? Kenapa, Kobe?!"

Aku memiringkan kepala. "Bercanda?"

"Mana ada seorang Nenek mencintai cucunya sendiri? Mana ada? Ndak ada!" Nenek menggeleng kuat. Ia menatapku dalam sekali, sebelum kembali berkata, "Lebih wajar Nenek sama Adam daripada bocah gila kayak kamu!"

Dadaku sakit bagai tersayat ribuan belati. Koyaknya keteguhanku bersamaan pula dengan hancurnya hatiku berkeping-keping. Badanku lemas seperti tak bertulang.

Bagaimana bisa wanita kurang ajar ini mempermainkan cintaku kepadanya? Apa ia sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan baru saja melukai hatiku? Tak hanya terluka, jantungku seperti dicabut, diinjak, dan dibuang ke tong sampah.

Yang kemudian, akal sehatku menguap begitu saja. Tergantikan emosiku perlahan naik. Membuncah. Terlebih Nenek berani mencatut nama Adam di obrolan kami. Sadar tidak sadar, pandanganku seketika gelap menyorot sekitar. Anehnya, hanya ada sosok Nenek yang terlihat jelas di depan mata.

"BANGSAT!"

Satu kata penuh makna dari bibirku terlontar. Dan dengan sendirinya badanku bergerak maju. Menjambak rambut Nenek, lalu kuseret ke dalam kamar.

Praktis saja perlakuan kasarku ini membuat Nenek meronta-ronta. Ia memukul, menendang, dan meneriakkan segala jenis makian kepadaku.

Aku tak mendengarkan. Aku sudah kalap. Yang ada di pikiranku hanya memberi pelajaran kepada wanita jalang satu ini agar ia sadar posisi agar ia tahu jikalau aku bukan seorang laki-laki yang bisa diremehkan. Bajingan.

Sesampainya di dalam kamar, kubanting Nenek ke atas ranjang. Cepat ia bergerak ingin turun sambil menggeram menatapku marah.

Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku cekal pergelangan tangannya erat, lalu kembali kuhempaskan badannya tanpa melepaskan kuncian.

"Bajingan! Kobe bajingan! Lepaskan Nenek, bajingan!" Nenek berseru murka.

HAHAHAHAHAHA!

Tawaku membahana seperti maniak. Gairah nafsu telah terkontaminasi oleh amarah yang sedang menari-nari indah.

Kontan saja wajah Nenek berubah ketakutan. Badannya lemas lunglai. Perlawanannya mengendur untuk sesaat, lantas matanya terpejam. Tangisannya memang tidak keluar dari bibir yang sering mengulum banyak kontol, tapi air matanya tetap meleleh dari dua sudut mata.

Pergulatan batinku masih berseteru. Yang satu mengatakan untuk berhenti. Yang lain mengatakan untuk menuntaskan.

Ya, akan kutuntaskan. Jika tidak dengan Nenek, maka tidak dengan siapa pun!

Mulailah aku dengan menarik kasar bra putih Nenek. Lanjut lagi mencabik-cabik kain jarik coklatnya sampai koyak. Pun celana dalam putih pudar turut kusobek sekuat tenaga.

Sekarang, terpampang di depan mata tubuh bongsor nan montok dari atas sampai bawah. Pantas saja semua lelaki, termasuk aku, betah berlama-lama bersinergi dengannya merengkuh kenikmatan. Susu besarnya yang kendur, berikut areola besar sempurna berwarna hitam yang di puncaknya ada puting seukuran dot bayi warna senada, tak mengurangi keindahannya. Pun memek tembem nan gundul berhiaskan klitoris sebesar biji kacang polong. Turun ke bawah ada hiasan unik labia minora berwarna coklat kehitaman menggelambir di kedua sisi. Bagian dalamnya yaitu labia mayora-nya jauh lebih segar lagi meski warnanya tak jauh berbeda.

Aku semakin kesetanan. Luapan nafsuku sudah tak tertahankan. Aku menatap Nenek dengan buasnya. Kemudian, aku satukan dua pergelangan tangan hanya menggunakan kuncian tangan kiri.

Slurp! Slurp! Slurp!

Aku menghisap kedua putingnya bergantian. Kanan dan kiri. Jilatan demi jilatan. Gigitan kuat aku berikan sampai kedua putingnya membengkak dan menonjol. Tak ketinggalan remasan kasar menggunakan tanganku yang bebas di kedua susu besarnya. Sesekali aku menamparnya kasar sampai memerah.

"Awwww!" Nenek memekik keras. Badannya menggelinjang ke sana-ke mari. Mencoba berontak, tapi aku cengkeram lebih erat pergelangan tangannya.

"Diam!" bentakku. Aku hentikan hisapanku hanya untuk menatap Nenek yang wajahnya menoleh ke kanan sambil menatapku gelisah. Lalu, aku kembali memandangnya nyalang seraya mendesis, "Nenek jangan mengeluarkan suara apapun, atau aku akan lebih gila! Ngerti?"

Nenek menangis pasrah. Ia mengangguk kecil, lalu menutup mata seraya menggigit bibir bawahnya.

Sejurus, kegiatanku kembali berpusat pada area payudara Nenek. Kembali aku hisap, jilat, dan gigit sampai benar-benar puas.

Kemudian, aku lepaskan cekalan tanganku. Badanku beringsut ke bawah. Kedua tangan kugunakan untuk membuka paha Nenek selebar-lebarnya. Aku memandangi sejenak memeknya yang tak kalah tembemnya dengan milik Bu Rini.

Lick! Lick! Lick!

Buas aku memakan daging mentah Nenek. Bibir serta lidahku berputar-putar melakukan jilatan, hisapan, dan gigitan gemas. Aku tarik bibir memeknya yang menggelambir itu sampai melar. Kanan dan kiri. Seketika cairan memek Nenek keluar. Aromanya tajam menusuk hidung.

Slurp!

Setiap cairan Nenek aku telan bulat-bulat. Klitorisnya aku gesek dengan tanganku. Kemudian, tangan kananku menggantikan tugas bibir dan lidahku untuk segera menusuk masuk ke dalam liang senggamanya.

Clup!

Dua jari masih kurang.

Clup!

Aku tambahan satu jari sanpai tiga jariku mentok tertelan di dalam memek beceknya. Itu pun masih ada sedikit ruang.

Bajingan. Baru kusadari betapa longgarnya memek Nenek. Jiwaku semakin bergejolak memikirkan berapa banyak dan berapa lama puluhan kontol bersarang di dalam sana.

Sebentar, aku naikkan jariku ke atas mencari titik g-spot. Setelah ketemu, langsung saja aku kocok dengan cepat dan kasar.

Clek! Clek! Clek!

Suara kecipak cairan cinta Nenek bersinggungan dengan tiga jariku di dalam relung memeknya mempermudah gerakan yang kulakukan.

"AHHHHH! AMPUNNNN!" tiba-tiba Nenek menjerit, melengking.

Bajingan!

Aku sudah bilang untuk diam. Wanita ini memang keras kepala tak mau mendengarkanku. Jeritan dan desahannya jadi satu kala pahanya mulai bergetar-getar. Memeknya mengempot-empot jemari tanganku yang setia mencocol liang surgawinya.

Sampai tak lama, saat Nenek mulai mengejang seiring denyutan hebat di memeknya kian terasa, aku hentikan kocokan jariku.

Plop!

Aku cabut detik itu juga, kemudian mencengkram daging segar itu agar tak berkontraksi.

Jelas saja Nenek tersentak. Wajahnya sudah merah. Gusar. Kentang. Lalu, mendengus kesal. "Ahhhh ... Beee ... kok berhenti?"

Aku tak menjawab. Badanku merangkak naik, lantas ...

Plak! Plak!

Dua tamparanku mengarah pada pipi Nenek sampai merah. Tak berhenti di situ, aku mencekik lehernya cukup dengan satu tangan sampai ia megap-megap meronta-ronta tak karuan. Kakinya menendang-nendang, dan tanpa sengaja batang kontolku yang susah ereksi sedari tadi.

"Bangsat! Diam kamu, orang tua!" sentakku, geram.

Aku sudah gelap mata. Aku layangkan beberapa kali tamparan di pipi, juga payudaranya sampai tercetak warna merah cak tanganku.

Nenek bergumam tak jelas. Ia menangis sambil menatapku tajam. Lama-kelamaan, rontaannya mulai melemah. Lemas. Tepat pada saat Nenek sudah hampir kehabisan nafas, barulah aku melepaskan cekikanku.

Sejurus, aku jambak rambut rambut Nenek sampai kepalanya terayun di tepi ranjang. Kemudian, secara tangan maling kuloloskan celanaku hingga batang kontolku menjuntai. Sedikit menurun tingkat ereksinya karena sempat ditendang oleh wanita binal satu ini.

"Makan ini kontolku, lonte!"

Hap!

Aku pegang rahang Nenek sampai mulutnya terbuka lebar, lalu kulesatkan batang kontolku sampai mentok.

Tanpa berlama-lama, segera aku pompa pinggulku dengan brutal. Menghujam kuat rongga mulut Nenek yang sudah sepenuhnya tersumpal kontol. Sementara pantatku berayun, kedua tanganku bergerak meremas kedua susunya. Aku tekan kuat sampai ASI memancar keluar membasahi badan.

Glok! Glok! Glok!

Suara peraduan kontolku yang perlahan mulai tegang maksimal melawan mulut Nenek. Sesekali terkena gigi, tapi tak mengurangi kecepatanku memperkosa mulutnya. Sampai di mana saliva Nenek keluar sedikit demi sedikit menambah intensitas rasa geli bercampur hangat kala kontolku kebenamkan sampai tenggorokan.

Nenek tersedak. Matanya melotot. Air matanya yang sudah kering kembali mengalir. Ia tak lagi berusaha melawan. Memilih pasrah meski sedikit tersiksa akan perlakuan kurang ajarku kepadanya.

Plop!

Setelah puas, aku cabut batang kontol penuh air liur dari mulut Nenek. Yang kemudian, aku menjambak rambutnya lagi sampai dirinya kuposisikan menungging di atas ranjang.

Masih tetap memegangi rambut Nenek, aku bersiap melakukan penetrasi. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku arahkan moncong kontolku, dan langsung menggasak masuk tanpa tedeng aling-aling.

BLESSSSS!!!

Sampai mentok hingga ke pangkal, kontolku sekali sentak tertelan sempitnya memek Nenek. Benar adanya kalau tiga jariku masih sedikit meninggalkan ruang saat aku memasukinya. Namun, dengan kontolku yang sebesar lengan bayi, rasa sesak nan sempit menjempit terasa pas tanpa adanya cela. Seolah memeknya sudah terbiasa dengan kontolku.

Sebelum menggenjot, terlebih dahulu aku tarik rambut Nenek sampai kepalanya mendongak ke atas. Membuat punggungnya sedikit tertekuk ke bawah. Lalu, aku berkata mengancam, "Kalau Nenek ndesah, aku nggak akan kasih Nenek pipis. Paham?"

Nenek mengangguk tanpa suara. Aku malah tidak puas. Jambakan pada rambutnya aku kencangkan sembari tanganku yang lain mencengkeram kedua pipinya.

"Jawab, jalang!"

"I-iya ...."

"Iya apa?!"

"Nenek nurut."

"Bagus. Sekarang aku genjot, ya."

Plok! Plok! Plok!

Aku tarik kontolku sampai tersisa kepalanya, lalu aku benamkan sekuat tenaga. Cairan kemaluan Nenek yang mulai keluar menambah sensasi tersendiri saat gerakan barusan kuakukan beberapa kali.

"Ohhhh ... ohhhhhh ... tempekmu enak banget, lonte .... ohhhhhh ... ssshhh ... sssshhh ... lonte bangsattt ... ahhhh ... susumu besarrr ... ahhhh ... enakkk ...." Aku mengerang keenakan.

Dapat kurasakan nafas Nenek tertahan, lalu berhembus berat. Dadanya berdebar kencang kala kedua tanganku bergerilya meremas dan memerah ASI-nya. Putingnya yang besar tegak menantang begitu keras ketika tersentuh jariku.

Plok! Plok! Plok!

Keras hentakan demi hentakan pinggulku berayun-ayun. Tak kenal lelah. Seolah staminaku yang sebelumnya terkuras habis akibat persetubuhanku bersama Bu Rini, kini kembali prima. Entah darimana tenagaku ini, yang jelas aku semakin gencar mengobrak-abrik memek Nenek.

Menit berganti menit. Posisiku masih belum berganti. Dan tepat panas sinar matahari merangsek masuk membakar kulit melalui jendela, kurasakan memek Nenek mengempot-empot. Denyutannya terasa pasti.

BLESSSS!!!

Aku hujamkan dan kudiamkan kontolku di dalam liang senggama Nenek saat tahu ia akan mencapai klimaks. Aku tak bergerak sedikit pun.

Nenek sempat menoleh ke belakang dengan wajah mengiba.

Aku menyambutnya sambil menyeringai. "Kalau pengen keluar, usaha sendiri."

Plok, plok, plok!

Benar saja, setelah aku mengatakan kalimat kejam itu, badan Nenek bergerak dengan sendirinya. Maju-mundur dengan tempo pelan. Satu tangannya terulur ke belakang menyentuh klitorisnya sendiri.

Kurasakan deru nafas Nenek kian tak menentu. Badannya bergetar lagi. Keringatnya membuat tubuhnya mengkilat, berikut aroma alami wanita binal itu semakin menambah rangsangan.

Tiba-tiba, gerakan Nenek mulai tak beraturan. Ia bergerak liar bak cacing kepanasan. Satu tangannya yang sibuk menggosok klitorisnya sendiri kian gencar dilakukan. Berbeda dengan tangannya yang meremas sprei kasur.

Sedetik ...

Serrrrr! Serrrrrrr!

"UGHHHHH!!!" Nenek melenguh tertahan. Badannya menggelinjang hebat bersamaan dengan semburan cairan orgasme memarimasi batang kontolku yang tertanam sampai leher rahim.

Sejurus, Nenek ambruk dengan punggung rebah di kasur. Nafasnya tersengal-sengal. Sementara pantatnya masih menonggeng tersumpal kontol.

Di sisi lain, memek Nenek yang masih berdenyut kencang membuat batang kejantananku berasa dipijit manja. Setelahnya, aku naikkan badanku sedikit. Posisi menunggang, tentu saja.

Plok! Plok! Plok!

Sambil memegangi kedua pundak Nenek, aku mengeluar-masukkan kontolku memompa memeknya. Banjir sekali. Sampai-sampai bunyi kecipak peraduan kelamin kami santer terdengar merdu.

Untuk beberapa saat lamanya, badan Nenek mengejang lagi. Pahanya merapat dan kian sempit menjepit saat kontolku dengan ganasnya mengaduk liang senggamanya sampai berbusa.

Dan ...

Serrrrrrrr! Serrrrrrrr!

Nenek mendapat orgasme-nya yang kedua. Sebelum ia berteriak, aku sumpal mulutnya menggunakan bekas celana dalamnya yang sebelumnya kurobek.

JLEBBB!!!

Kuhentakkan begitu kerasnya batang kemaluanku sedalam-dalamnya sembari menikmati sensasi semburan. air panas dari lubang surgawi.

"Enak nggak?" tanyaku, sambil mencabut celana dalam dari mulut Nenek.

"Hah ... hah ... hah ...." Hanya dengus nafas Nenek yang terdengar. Selebihnya ia diam seolah klimaks kedua yang baru saja ia raih sudah menjadi jawaban.

Plop!

Setelah badan Nenek berhenti mengejang, aku putuskan mencabut batang kontolku dari sarangnya. Bertepatan pula badan Nenek ambruk dengan posisi telungkup.

Jangan salah. Nafasku juga sama kembang kempis. Sembari mengatur pernafasan, kugunakan kausku mengelap batangku yang penuh lendir. Lalu, sisi lain kaus yang masih kering kugunakan untuk menyeka memek Nenek.

Plak! Plak! Plak!

Aku tampar sebanyak empat kali pada pantat semoknya. Kemudian, aku renggangkan kedua paha Nenek. Tiga jariku aku masukkan ke memeknya dengan posisi terbalik. Aku kocok sampai berbusa putih nan berlendir.

Sampai di mana pandanganku tertuju pada lubang hitam anus Nenek. Aku tercengang. Baik memek mau pun dubur Nenek berkedut-kedut seiring tanganku semakin cepat merojoh-rojoh lubang kemaluannya.

Nafsuku kian berkobar. Aku hisap jempol kiriku, lalu aku lesatkan masuk ke dalam pantat.

Nenek tersentak. Menoleh ke belakang. "Emhhhh!"

Aku menatapnya diam. "Sssttt!"

Clek! Clek! Clek!

Jemari kedua tanganku bersatu padu berdansa di dua lubang. Berbagai aroma seketika menusuk indera penciuman. Ada aroma tak sedap, tapi anehnya itu semakin membuatku menggebu.

Sampai di mana badan Nenek menggelinjang. Nenek merintih lirih sambil terisak. Ia lelah, tapi aku masih tak ingin berhenti.

Crats! Crats! Crats!

"AHHHHHHH!!!" desahan keras Nenek mengawali semburan kuat cairan bening bertubi-tubi memancar dari celah memek Nenek membasahi sprei. Tangan dan dadaku ikut menjadi korban pancuran air squirt-nya.

Detik itu juga, aku keluarkan seluruh jariku dari dua lubang Nenek. Membiarkan Nenek menuntaskan squirt-nya yang masih keluar sedikit.

Gila. Luar biasa Nenek kalau sudah kencing. Tidak tanggung-tanggung, kasur sampai basah kuyup dibuatnya. Belum lagi memeknya berkedut-kedut seperti pantat ayam.

Sekali lagi pandanganku terarah di lubang anus Nenek yang berwarna hitam kemerahan. Aku sudah kelewat bernafsu. Gairahku tak dapat terbendung meski Nenek memintaku berhenti sekali pun.

Juh! Juh! Juh!

Begitu banyak ludahku mengenai tepat di dubur Nenek. Ada yang sedikit tercecer, lalu aku satukan sembari mengusap-usap pantatnya, yang mana aku masukkan sedikit demi sedikit air liurku ke dalam anusnya menggunakan telunjuk.

Gelengan kepala Nenek tanda ia tak setuju kalau aku mengusik anusnya. Namun, aku seperti biasa. Pura-pura tidak melihat, dan tidak peduli.

Clep! Clep! Clep!

Terasa seret dan sempit dubur hitamnya saat jariku keluar-masuk mengobel-ngobel.

Cukup. Aku renggangkan kedua paha Nenek. Tak lupa kukumpulkan sebanyak mungkin ludahku sebagai pelumas tambahan untuk kontolku agar dapat mempermudah jalan masuk si kontol menjelajah gua paling gelap di muka bumi. Lalu, kupegang pinggiran kedua buah pantat Nenek agar liang anusnya terbuka, dan ...

Slebbb!

"Sssshhh!" aku mendesis tertahan kala kepala kontolku mulai menyeruak masuk.

Gila. Lubang pantat Nenek sangat kecil sekali. Begitu sesak dan macet meski sudah berlumuran ludah sebagai pelicin. Aku jadi berpikir jikalau lubang ini tak pernah dimasuki oleh kontol-kontol liar di luar sana. Masuk pun jelas ukuran batang mereka standar saja. Itu terbukti saat aku mencoba mendorong kontolku lebih dalam, dindingnya kelewat rapat.

Aku mencoba sabar. Mendiamkan sejenak kepala kontolku yang sudah terlanjur masuk untuk beradaptasi.

Di sisi lain, Nenek pun menjerit, "Ehmmmm! Sa-sakitttt! Jangan diterusin, Be!" seraya bergerak maju agar kontolku terlepas dari anusnya.

Namun, aku tak ingin membiarkan Nenek melakukan itu. Aku menahan kuat pantat Nenek dengan tangan kiri agar ia tak banyak aksi. Sementara tangan kanan kugunakan sebagai penahan punggungnya agar diam.

"Dasar lacur! Jangan gerak-gerak!" hardikku, kesal.

"Ampun ... sudah ... sudah ... mmmhhhh ... keluarin kontolmu ...." Kepala Nenek menoleh ke belakang. Wajahnya nampak melas. Air mata turut meleleh seiring dirinya yang rintihan kesakitan.

"Aku cabut, tapi Nenek harus nikah sama aku."

"Ndak!"

"Harus!"

"ENDAK!"

"Jancok! Dasar lonte nggak tau arti menyerah! Ngentot!" aku memakinya. Nenek tidak bisa dibujuk bagaimanapun caranya. Satu-satunya jalan adalah memberinya ganjaran karena telah membuatku terkukung di dalam jurang nafsu yang dasarnya terdapat cinta tabu nan haram.

Amarahku bercampur birahi tak tertahankan. Aku semakin berada di zona paling gila seumur hidupku.

Dengan cepat aku menindih badan Nenek, dan secara otomatis gerakanku yang tiba-tiba ini sedikit demi sedikit mendorong masuk batang kontolku menyeruak di dalam dubur.

Slebbb! Slebbb!

Prettt!


Ah, bajingan! Jadi begini rasanya anal seks. Centi demi centi kontolku terbenam sampai setengah hingga menimbulkan gesekan panas yang membuat pantat Nenek berbunyi. Bau tak sedap langsung menusuk hidung.

Aku abaikan. Atensiku lebih memilih menikmati relung tak berujung yang semakin lama sensasinya kian nikmat tak terperi.

Meski belum tahu tekniknya bagaimana bermain anal, aku hanya menggunakan insting. Terlebih dahulu aku mendiamkan kontolku. Sambil mengatur nafas, aku mengangkat sedikit pantatku sampai kontolku tinggal seperemat, lalu mendorong lagi sampai setengah. Tarik lagi, dorong lagi. Dan di gerakan kelima ketika kontolku sudah mulai lancar, barulah aku lesatkan kontolku dengan kekuatan penuh.

BLESSSSS!!!

PRETTTT!!!


Tusukanku terarah lurus. Aku paksakan masuk meski kontolku tersiksa bukan main. Mentok sepenuhnya batang coklatku bersarang di dalam rongga pantat Nenek. Menjebol lubang pembuangan kotoran, yang rasa-rasanya sayang kalau hanya jadi pajangan.

Perih. Enak. Panas. Geli. Tapi juga sesak. Sempitnya anus Nenek membuatku terpejam. Menikmati empotan duburnya memijit-mijit kontol.

"Hhh ... hhh ... hhh ...." Aku ngos-ngosan. Peluh menetes dari pori-pori membasahi badan. Perjuangan membobol anus Nenek terasa melelahkan ketimbang memasak hidangan untuk lansia.

Plok! Plok! Plok!

Aku menghujam dengan tempo pelan sampai kontolku benar-benar bisa leluasa menggesek dinding anus Nenek. Lalu, genjotan kupercepat sampai pantatnya kembali terkentut-kentut.

"Mentok, Be! Ahhhh! Pantat Nenek sakittt! Perih, Be! Ahhhh! Ahhhh! Pelan-pelan, Beeee!" racau Nenek, belingsatan. Tangannya meraih lenganku. Lalu, ia cakar-cakar bersamaan dengan geliat badannya bergerak tak tentu arah.

"Ughhhh ... enak banget pantatmu, Sayang! Ohhhh ... Lonteku sayang ... ohhhh ... sempittt ... nyaman banget ngenthu silitmu, Sayang!" aku melenguh kesetanan.

Kuhiraukan perih di lenganku akibat ulah Nenek. Kuhiraukan pula darah yang menetes terkena cakaran. Aku memilih fokus menggenjot anus Nenek yang semakin ke sini, semakin ke sana. Suara benturan dan nyanyian pantat Nenek menjadi backsound bagaimana diriku yang tiada henti tanpa menurunkan tempo tusukan memborbardir lubang belakangnya.

Hingga beberapa saat lamanya persenggamaan anal seks yang kian panas aku mainkan, Nenek sudah tak lagi meronta-ronta. Tenaganya habis. Kini, Nenek memilih diam membiarkan. Sesekali mendesah jika diperlukan.

JLEBBB!!!

Pada tusukan terakhir, aku angkat pantatku sampai kontolku hampir terlepas, kemudian aku turunkan pantatku sampai mentok ke dasar dubur, lantas kudiamkan menikmati empotan lubangnya.

"Bajingan! Enak banget, cok!" seruku, keras. Tanganku refleks mencari kedua susu Nenek. Meremas. Memilin-milin.

"Kobeeee ...." Nenek merintih. Antara sakit atau nikmat. Hembusan nafas panasnya menyapu pipiku yang wajahku berada di dekatnya.

Aku dan Nenek saling mendiamkan untuk waktu yang lama. Aku yang sibuk meremasi susu besarnya sambil mencupang lehernya, dan Nenek yang sedang berusaha mengatur nafas.

Aroma tubuh Nenek yang sangat segar tercium hidungku membuat nafsuku mulai terpompa. Sampai akhirnya, aku merasakan cengkraman kuat dinding bergerigi anus Nenek serta merta mengundang kontolku berdenyut kencang. Aku gerakkan kontolku di dalam sana. Semakin enak. Aku lakukan lagi. Semakin nikmat.

Bajingan. Aku tidak tahan lagi. Aku ingin menembak saat ini juga. Tergesa-gesa diriku bangkit. Membalikkan tubuh Nenek dengan kasarnya, lalu aku tekan lutut bagian dalamnya ke atas sampai dua lubang kenikmatan Nenek terkuak lebar. Menganga. Merekah indah. Bau kewanitaan bercampur bau pesing kian menambah dorongan birahiku yang meledak-ledak.

Lick! Lick! Lick!

Aku jilat dari klitoris, lubang memek, sampai dubur Nenek tiada rasa jijik. Yang ada hanya kelezatan pada indera pengecap, yang senantiasa menari-nari di atas daging kelewat matang depan mata.

Puas, cepat aku posisikan moncong kontolku di depan gua hitam Nenek yang nampak berkedut.

BLESSSS!!!

"Ahhhhhh!" aku dan Nenek mendesah keras saat di mana aku menjejalkan kontolku ke dalam anus sekuat tenaga. Biar masih terasa rapat dan sesak, aku paksakan demi meraih kenikmatanku sendiri.

Ya, Nenek sudah tak terhitung berapa kali dirinya klimaks. Sekarang giliranku yang ingin mengajar puncak yang sebentar lagi tiba.

Plok! Plok! Plok!

Sambil menggenjot, aku memandang Nenek yang terkulai lemas dengan dada naik-turun. Matanya merem-melek. Hidungnya buka-tutup seperti halnya bibir tebalnya yang mendesis-desis lirih.

"Ahhhh ... ahhhhh ... Sayang ... pantatmu enak, Sayang ... ahhhh ... pantatmu kayak tempek perawan ...." Desahku, tersendat-sendat. Seiring datangnya aliran panas yang mulai terkumpul dan mengendap di kepala kontol, kupercepat pompaanku sembari meremas paha Nenek sampai memerah.

"Uhmmm ... mmm ... hmmm ... ssshhhh ... ssshhhh ... hmmm ...." Gumam Nenek, yang badannya mulai berkeringat lagi. Pun anusnya sengaja ia kencangkan menjepit kontolku.

Aku terus mengayun. Tarik. Dorong. Jempol tanganku ikut serta menggapai klitorisnya. Mengusapnya sampai memeknya mengeluarkan cairan merembes ke pangkal paha.

Plok! Plok! Plok!

Aku sudah mencapai batas. Aku genjot anus Nenek dengan tenaga penuh. Geli bercampur nikmat menggelitik kulit kontol. Sampai akhirnya ...

"AKU NGECROT, NEKKKKK!!!" aku meraung keras sekali. Seolah aku berada di tengah hutan tak peduli jika ada orang berada di sekitar rumah. Tak peduli.

Crot! Crot! Crot! Crot!

Aku benamkan sedalam-dalamnya kontolku ke dalam dubur sempit Nenek. Badanku kejang. Pun terasa ringan. Bersamaan dengan menyemburnya spermaku mengisi penuh lubang anus Nenek yang ikut berdenyut keras.

Aku ambruk menindih tubuh Nenek. Dada kami menempel erat. Aku cari bibirnya, lalu aku lumat sambil terus mengejang menuntaskan semprotan air mani yang masih belum menunjukkan kapan akan berhenti.

Serrrrr! Serrrrrrr!

"Kobeeee ...." Kedua tangan Nenek memeluk punggungku. Pinggulku menyentak ke atas. Bergetar hebat. Dari lubang memeknya, memancar cairan orgasme yang meleleh membasahi selangkanganku.

Nafas kami sama-sama memburu. Detak jantung kami bersatu padu saling adu kecepatan.

Detik demi detik berlalu. Menit demi menit terlewati tanpa adanya gerakan berarti. Hanya bahasa tubuh kami yang berbicara mencoba memahami satu sama lain.

Cup!

Aku lepaskan pagutan bibirku di bibir Nenek. Mata wanita binal itu layu sekali. Kemudian, Nenek menangis. Lagi.

Suka sekali Nenek menangis tanpa sebab. Ah, atau aku saja yang tidak bisa memahami situasi pasca klimaks, ya?

Perlahan, nafasku mulai teratur. Emosiku pun turut mereda. Bersamaan dengan kembalinya kesadaran akal sehatku, aku mengerjapkan mata. Rasa bersalah jelas saja memenuhi rongga dadaku kala isak tangis Nenek tersedu sedan.

"Ma-maaf." Aku terbata. Tak tahu harus memasang ekspresi seperti apa, aku hanya menatap Nenek datar.

Jangankan menjawab, Nenek masih saja terus menangis. Semakin keras saat aku mulai mengusap rambutnya yang lepek terkena keringat.

"Nek ... jangan nangis, ya." Aku kembali berucap, lembut. Kubelai surai rambutnya sampai aku bisa melihat kelakuan bangsatku. Yang mana, bekas merah tamparan di pipinya membentuk cap tangan.

Aku bingung sekarang. Laksana monyet ketinggalan rombongan, aku hanya celingak-celinguk seperti orang bodoh. Bodoh sekali. Bagaimana aku bisa setega ini memperlakukan guru yang telah mengajari dan membimbingku merengkuh kenikmatan duniawi.

Karena Nenek tak kunjung buka suara, kuputuskan mencabut batang kontolku. Tepat saat aku menarik si kontol clutak, Nenek menahan punggungku. Ia menggeleng pelan.

"Nek?" bisikku, serak.

"Jangan dicabut dulu, Be. Pantat Nenek masih perih," ujar Nenek dengan suara parau. Ia sudah tak lagi menangis. Bibirnya justru melengkung seperti bulan sabit. "Kobe sudah puas, Le?" sambungnya, lembut.

Aku terpekur di tempat. Kupandangi intens wajah Nenek. Mencoba mencari ekspresi lain. Nihil. Aku tak menemukan apa pun selain keikhlasan, juga ketulusan pada air mukanya. Justru Nenek tersenyum lebar sampai gigi putihnya terlihat.

"Maafin aku, Nek. Maaf. Aku sudah jahat sama Nenek. Maaf ...."

Giliran aku yang menitikkan air mata. Dadaku bergemuruh. Kemudian, tumpahlah tangisan di pelukan Nenek. Semakin hanyut diriku manakala kedua tangan Nenek penuh kasih sayang membelai rambut dan belakang kepalaku.

Tak kudengar sahutan dari mulut Nenek. Hanya elusan ringannya ia lakukan. Menenangkanku, jiwaku, nafsuku, serta amarahku.

Sampai kemudian, aku merasakan kenyamanan luar biasa menyelimuti sanubari. Mataku perlahan terpejam dengan sendirinya. Kegelapan yang terasa damai merengkuh tubuhku. Lalu, aku terjatuh ke dalam gelombang ketenangan nan menghanyutkan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd